Anda di halaman 1dari 10

Hubungan Pengetahuan Keluarga tentang Perilaku Kekerasan dengan Kesiapan

Keluarga dalam Merawat Pasien di Rumah Sakit Jiwa Daerah


Provinsi Sumatera Utara Medan

ABSTRAK
Perilaku kekerasan merupakan salah satu bentuk perilaku yang sering ditunjukkan
oleh pasien gangguan jiwa. Pengetahuan keluarga yang adekuat sangat dibutuhkan
dalam merawat pasien dengan perilaku kekerasan. Menerima kenyataan adalah kunci
pertama proses penyembuhan dan pengendalian perilaku kekerasan pasien. Penelitian
deskriftif korelasi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan keluarga
tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan keluarga dalam merawat pasien. Dengan
ini digunakan teknik purposive sampling, sebanyak 32 responden berpartisipasi pada
penelitian ini. Instrumen penelitian terdiri dari kuesioner karakteristik responden,
kuesioner pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dan kuesioner kesiapan
keluarga dalam merawat pasien. Data disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan
persentase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden (90,6 %)
memiliki pengetahuan yang baik tentang perilaku kekerasan, dan memiliki kesiapan
yang cukup sebanyak 84,4 %. Pada penelitian ini r = 0,138 ; p = 0,45 ; p > 0,05 . Hal
ini menunjukkan bahwa hipotesa penelitian (Ha) ditolak yaitu hubungan rendah
antara tingkat pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan
keluarga dalam merawat pasien dirumah. Karena banyak faktor-faktor lain yang
mempengaruhi kesiapan keluarga dalam merawat pasien yaitu struktur keluarga,
sistem pendukung, sumber daya keluarga. Oleh karena itu perawat harus mampu
memberikan pendidikan kesehatan jiwa dan mampu melibatkan peran serta keluarga
dalam merawat pasien dirumah dan keluarga diharapkan dapat melaksanakan lima
tugas kesehatan keluarga.

Kata kunci: Pengetahuan Keluarga, Kesiapan Keluarga, Pasien perilaku kekerasan


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah
laku tersebut (Purba, 2008). Menurut Stuart dan Laraia (1998), perilaku kekerasan
dapat dimanifestasikan secara fisik (mencederai diri sendiri, peningkatan mobilitas
tubuh), psikologis (emosional, marah, mudah tersinggung, dan menentang), spiritual
(merasa dirinya sangat berkuasa, tidak bermoral). Perilaku kekerasan merupakan
suatu tanda dan gejala dari gangguan skizofrenia akut yang tidak lebih dari satu
persen (Andri, 2008).
Perilaku kekerasan menjadi masalah di banyak Negara seperti Amerika,
Australia, dan negara-negara maju lainnya. Bentuk kekerasan yang sering terjadi
seperti perkelahian, pemukulan, penyerangan dengan senjata, tawuran, perampokan,
perkosaan, penganiayan, dan pembunuhan (Evan, 2000 & Shalaa, 2001 dikutip dari
Budiharto dkk, 2003).
Menurut Towsend (1996 dalam Purba, 2008), terdapat beberapa teori yang
menyebabkan terjadinya perilaku kekerasan. Salah satunya adalah berdasarkan teori
psikologik yaitu teori psikoanalitik dan teori pembelajaran. Pada teori psikoanalitik
menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan dan
rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri
rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan yang dapat meningkatkan
citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Sedangkan berdasarkan teori
pembelajaran, anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran orang tuanya
sendiri. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua
yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk
berperilaku kekerasan setelah dewasa.
Hal ini terkait dengan pengetahuan keluarga dan pola asuh keluarga. Pengetahuan keluarga
mengenai kesehatan mental merupakan awal usaha memberikan ilklim kondusif bagi
anggota keluarganya. Sebab keluarga merupakan sistem pendukung utama yang
memberikan langsung pada setiap keadaan sakit klien. Keluarga mempunyai peranan baik
sebagai penyebab, penyulit, maupun penyembuhan.
Keluarga sebagai unit bertanggung jawab untuk membantu anggota
keluarga mengembangkan potensi, membantu pencapaian cita-cita atau tujuan
individu dan keluarga dan menggalakkan autonomi dan fleksibilitas diantara anggota
keluarga ( Keliat, 1992 ). Mengingat bahwa lingkungan pergaulan yang pertama adalah
keluarga, maka tingkah laku agresif (kekerasan) dalam keluarga harus dihindarkan
sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga meupakan salah satu penyembuhan yang sangat
berarti. Agar tercapai dukungan yang optimal maka keluarga harus memiliki pengatahuan
dan kemampuan yang berkaitan dengan lima tugas kesehatan keluarga yaitu
menganal masalah kesehatan, mengambil keputusan yang tepat untuk mengatasi
masalah, merawat anggota keluarga yang mempunyai masalah kesehatan, memodifikasi
lingkungan untuk mampu memanfaatkan fasilitas kesehatan secara
tepat (Keliat, 1992). Berdasarkan data di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera
Utara Medan bahwa jumlah pasien gangguan jiwa pada tahun 2008 tercatat sebanyak 1.814
pasien rawat inap yang keluar masuk rumah sakit dan 23.532 pasien rawat jalan di
rumah sakit tersebut. Pada data yang diperoleh mulai januari sampai april 2009
tercatat bahwa 1.790 pasien rawat inap dan 3.885 pasien rawat jalan yang mengalami
gangguan jiwa skizofrenia paranoid dan gangguan psikotik dengan gejala curiga
berlebihan, galak, dan bersikap bermusuhan. Gejala ini merupakan tanda dari pasien
yang mengalami perilaku kekerasan (Medikal Record, 2009).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada bulan September
2009 terhadap tiga keluarga pasien didapat data bahwa mereka tidak tahu merawat
pasien dirumah, mereka juga megatakan kesulitan dalam memberikan obat pada
pasien dan agak kesal menghadapi perilaku pasien yang suka marah-marah bahkan
mengamuk tanpa alasan yang jelas.
Berdasarkan latar belakang peneliti tertarik untuk melakukan penelitian hubungan
pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasa dengan kesiapan keluarga merawat pasien.
Universitas Sumatera Utara

1.2. Pertanyaan Penelitian

1.2.1. Bagaimana pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan pada pasien


dengan gangguan jiwa ?
1.2.2. Bagaimana kesiapan keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan pada
pasien dengan gangguan jiwa ?
1.2.3. Bagaimana hubungan pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan
dengan kesiapan keluarga merawat pasien ?

1.3.

Tujuan Penelitian

1.3.1 Mengidentifikasi pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan


1.3.2 Mengidentifikasi kesiapan keluarga merawat pasien perilaku kekerasan
1.3.3 Mengetahui hubungan antara pengetahuan keluarga tentang perilaku
kekerasan dengan kesiapan keluarga merawat pasien

1.4.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai
pihak, yaitu :

1.4.1.

Praktek Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi tambahan bagi
perawat tentang gambaran pengetahuan keluarga sehingga memudahkan
perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan dan menyelenggarakan
pertemuan keluarga di rumah sakit jiwa.

Universitas Sumatera Utara

1.4.2
Pendidikan Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi bagi mahasiswa
keperawatan sehingga dapat menjadi perawat yang dapat mengidentifikasi
kebutuhan pasien dan keluarga.

1.4.3.

Penelitian Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data tambahan bagi
penelitian berikutnya yang terkait dengan pengetahuan keluarga dan
kesiapan keluarga merawat pasien gangguan jiwa..

Universitas Sumatera Utara

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pengetahuan


2.1.1. Pengertian Pengetahuan
Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu
knowledge. Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa defenisi
pengetahuan adalah kepercayaan yang benar ( knowledge is justified true belief ).
Sedangkan terminologi menurut Drs. Sidi Gazalba ( 1992 ) pengetahuan adalah apa
yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pengetahuan tersebut adalah hasil dari
kenal, sadar insaf, mengerti dan pandai.
Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau
segala sesuatu perbuatan manusia untuk memahami suatu objek tertentu.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang. Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari
oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama dari pada yang tidak didasari oleh
pengetahuan ( Notoadmojo, 1993 ). Pengetahuan dapat berwujud barang-barang fisik,
pemahamannya dilakukan dengan cara persepsi baik lewat indera maupun lewat akal,
dapat pula objek yang dipahami oleh manusia berbentuk ideal atau yang bersangkutan
dengan masalah kejiwaan.
Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental merupakan awal usaha
dalam memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluraganya. Keluarga selain
dapat meningkatkan dan mempertahankan kesehatan mental anggota keluarga, juga

Universitas Sumatera Utara

dapat menjadi sumber problem bagi anggota keluarga yang mengalami persoalan
kejiwaan keluarganya ( Notosoedirdjo & Latipun, 2005 )
Berdasarkan

penelitian

dari
bahan

National

Mental

Health

Assosiation/NHMA ( 2001 ), diperoleh bahwa banyak ketidakmengertian ataupun


kesalahpahaman keluarga mengenai gangguan jiwa, keluarga menganggap bahwa
seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak akan pernah sembuh lagi. Namun
faktanya, NHMA mengemukakan bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa dapat
sembuh dan dapat mulai kembali melakukan aktivitasnya.
National Mental Health Association ( NMHA ) mengemukakan hal-hal yang
perlu diketahui oleh keluarga agar dapat menyikapi dan mengontrol emosi dalam
menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa ( Koening, 1996 ),
yaitu :

Membangun harapan yang realistis dalam keluarga dan kepada


penderita gangguan jiwa sehingga keluarga memiliki kesabaran dan
tetap mendukung anggota keluarganya yang mengalami gangguan
jiwa.

Pendekatan secara spiritual membantu keluarga dalam menghadapi


penderita gangguan jiwa.

Mencari bantuan dari petugas kesehatan ataupun sumber media


lainnya dalam mendapatkan informasi yang benar tentang gangguan
jiwa.

Komunikasi sangat penting untuk membangun kepercayaan antara


keluarga dengan penderita gangguan jiwa. Komunikasi yang baik

Universitas Sumatera Utara

secara tidak langsung dapat membuat penderita gangguan jiwa dapat


mengungkapkan perasaan yang dirasakannya dan kelurga diharapkan
mengerti bahwa kondisi yang mereka alami membahayakan apabila
penderita gangguan jiwa mempercayai untuk mengungkapkan
perasaannya.
2.1.2. Tingkat Pengetahuan dalam domain kognitif
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan :
1.

Tahu ( know )
Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali ( recall ) sesuatau yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari
atau rangsangan yang diterima. Oleh sebab itu tahu merupakan tingkat
penegtahuan yang paling rendah.

2.

Memahami
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat mengintrepetasikan materi
tersebut secara benar.

3.

Aplikasi
Aplikasi diartikan sebgai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi real ( sebenarnya ). Aplikasi ini
dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus,
metode dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

Universitas Sumatera Utara

4.

Analisis
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur
organisasi dan masih ada kaitannya satu sam lain.

5.

Sintesis
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu objek bentuk keseluruhan yang
baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formasi-formasi yang ada.

6.

Evaluasi
Evaluasi berkaitan dengan kemepuan untuk melekukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini
didasarkan pada suatu kriteri yang ditentukan sendiri, atau menggunakan
kriteria-kriteria yang telah ada.
2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Notoadmojo ( 2003 ) pengetahuan dipengaruhi oleh faktor :
a. Pendidikan
Pendidikan adalah proses belajar yang berarti terjadi proses pertumbuhan,
perkembangan atau perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih
matang pada diri individu, keluarga atau masyarakat. Beberapa hasil penelitian
mengenai pengaruh pendidikan terhadap perkembangan pribadi, bahwa pada
umumnya pendidkan itu mempertinggi taraf intelegensi individu.

Universitas Sumatera Utara

b. Persepsi
Persepsi, mengenal dan memilih objek sehubungan dengan tindakan ysng
akan diambil.
c. Motivasi
Motivasi merupakan dorongan, keinginan dan tenaga penggerak yang berasal
dari dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu dengan mengesampingkan hal-hal
yang dianggap kurang bermanfaat. Dalam mencapai tujuan dan munculnya motivasi
dan memerlukan rangsangan dari dalam individu maupun dari luar. Motivasi murni
adalah motivasi yang betul-betul disadari akan pentingnya suatu perilaku akan
dirasakan suatu kebutujan.
d. Pengalaman
Pengalaman adalah sesuatu yang dirasakan ( diketahui, dikerjakan ) juga
merupakan kesadaran akan suatu hal yang tertangkap oleh indera manusia. Faktor
eksternal yang mempengaruhi pengetahuan antara lain meliputi : lingkungan, sosial,
ekonomi, kebudayaan dan informasi. Lingkungan sebagi faktor yang berpengaruh
bagi pengembangan sifat dan perilaku individu. Sosial ekonomi, penghasilan sering
dilihat untuk memliki hubungan antar tingkat penghasilan dengan pemamfaatan.
2.2 Konsep Keluarga
2.2.1.

Defenisi Keluarga
Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan

hubungan sosial. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu kesatuan
sosial yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya. Sedangkan dalam
dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh

Universitas Sumatera Utara

adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara satu
dengan lainnya, walaupun di antara mereka tidak terdapat hubungan darah (Shochib,
1998).
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya
dengan seseorang. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu membentuk
homoestatis akan dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota keluarganya
dan kemungkinan dapat meningkatkan ketahanan para anggota kelurganya dari
gangguan-gangguan mental dan ketidakstabilan emosional anggota keluarganya.
Usaha kesehtan mental sebaiknya dan seharusnya dimulai dari keluarga. Karena itu
perhatian utama dalam kesehatan mental adalah menggarap keluarga agar dapat
memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluarga yang mengalami gangguan
kesehatan mental ( Notosoedirdjo & Latipun, 2005 ).
Sebagai bagian dari tugasnya untuk menjaga kesehatan anggota keluarganya,
keluarga perlu menyusun dan menjalankan aktivitas-aktivitas pemeliharaan kesehatan
berdasarkan atas apakah anggota keluarga yakin menjadi sehat dan mencari informasi
mengenai kesehatan yang benar yang dapat bersumber dari petugas kesehatan
langsung ataupun media massa ( Friedman, 1998 ).
2.2.2. Fungsi Keluarga
Menurut Effendy ( 1998 ), ada beberapa fungsi keluarga yang dapat
dijalankan keluarga :
Fungsi pendidikan, dalam hal ini tugas keluarga adalah mendidik dan
menyekolahkan anak unuk mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak
bila kelak dewasa nanti.

Universitas Sumatera Utara

Fungsi sosialisasi anak, tugas keluarga dalam menjalankan fungsi ini adalah
bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang
baik.
Fungsi perlindungan, keluarga melindungi anak dan anggota keluarga dari
tindakan-tindakan yang tidak baik, sehingga anggota keluarga merasa
terlindungi dan merasa aman.
Fungsi perasaan, keluarga menjaga secara instuitif, merasakan perasaan dan
suasana anak dan anggota lainya dalam berkomunikasi dan berinteraksi satu
dengan lainya sehingga ada saling pengertian satu sama lain.
Fungsi religius, keluarga memperkenalkan dan mengajak anggota keluarga
dalam kehidupan beragama untuk menenamkan keyakinan bahwa ada
kekuatan lainya yang mengatur kehidupan ini dan akan ada kehidupan lain
setelah dunia ini.
Fungsi ekonomis, keluarga dalam hal ini mencari sumber-sumber kehidupan
dalam memenuhi fungsi-fungsi keluarga lainnya.
Fungsi biologis, keluarga meneruskan keturunan sebagai generasi penerus.
2.2.3. Tugas Keluarga dalam bidang kesehatan
Untuk dapat mencapai tujuan kesehatan keluarga, keluarga harus memiliki
tugas dalam pemeliharaan kesehatan para anggotanya dan saling memelihara.
Tugas kesehatan yang harus dilakukan oleh keluarga ( Freeman, 1981 dikutip
dari Effendy, 1998 ) yaitu :
1) Mengenal gangguan

perkembangan

kesehatan

setiap

anggotanya.
Keluarga menegnal perkembangan emosional dari anggota keluarganya

Universitas Sumatera Utara

dan tingkah laku ataupun aktivitas yang normal atau tidak untuk
dilakukan. Hal ini erat hubungannya dengan pengetahuan keluarga akan
gejala-gejala gangguan jiwa.
2) Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat. Segera
setelah keluarga mengetahui bahwa ada kondisi anggota keluarag tidak
sesuai dengan normal maka sebaiknya keluarga memutuskan dengan cepat
tindakan yang harus dilakukan untuk keseimbangan anggota keluarganya
dengan segera membawanya ke petugas kesehatan.
3) Memberikan pertolongan kepada anggota keluarganya yang sakit dan
yang tidak dapat membantu diri sendiri karena cacat fisik ataupun mental.
Karena penderita gangguan jiwa tidak bisa mandiri untuk memenuhi
kebutuhan aktivitas hidupnya.
4) Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan
perkembangan kepribadian anggota keluarga. Keluarga membuat iklim
yang kondusif bagi penderita gangguan jiwa di lingkungan rumah agar
merasa nyaman dan merasa tidak diikucilkan dari keluarga.
5) Mempertahankan hubungan timbale balik antara keluarga dan lembagalembaga
kesehtan yang menunjukkan pemanfaatan dengan baik fasilitasfasilitas kesehtan yang
ada. Untuk kesembuhan penderita gangguan jiwa,
keluarga harus memiliki banyak informasi mengenai kesehtan jiwa
anggota keluarganya dari lembaga petugas kesehatan yang ada.

Universitas Sumatera Utara

Ketidakmampuan keluarga dalam melaksanakan tugas kesehatan terdiri atas :


1) Ketidaksanggupan mengenai masalah kesehatan keluarga karena
Kurangnya pengetahuan / ketidakmampuan fakta akan penyakit
ganggguan jiwa.
Rasa takut akibat masalah yang dihadapi serta aib yang harus dihadapi
membuat keluarga tidak fokus dalam mengenal masalah gangguan
jiwa yang dihadapi anggota keluarga.
2) Ketidaksanggupan keluarga mengambil keputusan dalam melakukan
tindakan yang tepat, disebabkan karena :
Tindakan memahami mengenai sifat, berat dan luasnya masalah
gangguna jiwa yang dihadapi keluarga.
Keluarga tidak sanggup memecahkan masalah karena kurang
pengetahuan dan kurang baik itu dalam hal biaya, tenaga dan waktu
dalam penanganan anggota keluarganya yang mengalami gangguan
jiwa.
Tidak sanggup memilih tindakan diantara beberapa pilihan.
Tidak tahu tentang fasilitas kesehatan yang ada
Sikap negatif terhadap masalah kesehatan yang ada
Fasilitas kesehatan yang tidak terjangkau terutama bagi keluarga yang
ada di pedesaan.
Universitas Sumatera Utara

3) Ketidakmampuan merawat anggota keluarga yang sakit, disebabkan


karena :
Tidak mengetahui keadaan penyakit misalnya sifat, penyebabnya,
gejala dan perawatannya
Kurang atau tidak ada fasilitas yang diperlukan untuk perawatan
Tidak seimbang sumber-sumber yang ada dalam keluarga, misalnya
keuangan dan fasilitas fisik untuk perawatan.
Konflik individu dalam keluarga, keluarga tidak peduli dan lebih
menyalahkan satu dengan lainnya mengenai keadaan anggota
keluarganya.
4) Ketidakmampuan menggunakan sumber di masyarakat guna memelihara
keehatan disebabkan karena :
Rasa asing dan tidak ada dukungan dari masyarakat, adanya anggapan
dan pemahaman masyarakat yang negative terhadap gangguan jiwa
membuat keluarga merasa malu.
Tidak tahu bahwa fasilitas kesehatan itu ada
Kurang percaya terhadap petugas dan lembaga kesehatan.
2.3.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Keluarga dalam Manerima


Pasien Gangguan Jiwa
Rivai ( 1996 ) mengatakan bahwa rumah sakit jiwa seringkali mengalami

kesulitan memulangkan klien ke pihak keluarga, sebab setiap kali hanya dalam waktu
beberapa hari akan kambuh kembali, selain itu keluarga pasien sering menolak

Anda mungkin juga menyukai