Dikembangkan pertama kali oleh dr. Herman Kabat (neurology/psikolog) dari Amerika
Serikat pada tahun 1950-an yang kemudian dikembangkan oleh Margaret Knott
(fisioterapis) dan Dorothy Voss (okupasi terapis) hingga tahun 1970-an. Pada awalnya
PNF lebih ditekankan pada berbagai kasus muskuloskeletal. Tetapi kemudian
dikembangkan juga untuk kasus-kasus neurology termasuk hemiplegia (stroke)Prinsip
umumnya adalah dengan pemberian stimulasi tertentu untuk membangkitkan kembali
mekanisme yang latent dan cadangan-cadangannya maka akan dicapai suatu gerak
fungsional yang normal dan terkoordinasi.Prinsip-prinsip yang mendasari adalah:
Proses tumbuh kembang
Prinsip-prinsip neurofisiologis
Ilmu gerak (biomekanika)
Beberapa dasar teori neurofisiologis yang masih sering dijadikan acuan, misalnya:
- Suatu program spesifik untuk melatih kembali kontrol motorik spesifik dengan
menghindarkan gerakan yang tidak perlu atau salah
- Biomekanika
- Ilmu perilaku
Asumsi
Proses belajar, bahwa orang dengan disabilitas memiliki kebutuhan belajar yang sama
dengan orang normal
Kontrol motorik: antisipasi, persiapan dan kelangsungan gerak
Latihan spesifk +++, lingkungan bervariasi
Input sensorik mempengaruhi gerak
Plastisitas otak dipengaruhi oleh kejadian di alat gerak
Peran pasien:
Peran fisioterapis:
Memberikan instruksi
Menjelaskan
Memberikan penilaian
Mengatur lingkungan latihan/aktivitas
Filosofi:
- Melatih vs melakukan terapi kepada pasien- Didalamnya termasuk latihan
aktivitas fungsional dan pengulangan latihan- Dimulai seawal mungkin begitu
pasien dinyatakan stabil dari sisi medis
- Kognitif
- Instruksi
- Demonstrasi
- Motivasi
- Penentuan tujuan
- Catatan kemajuan
- Manipulasi lingkungan
Analisa aktivitas
- Observasi
- Perbandingan
- Analisa
Komponen pokok:
- Instruksi
- Instruksi
- Latihan + feedback verbal dan visual + mengarahkan gerak dengan pegangan
- Evaluasi ulang
- Merangsang fleksibilitas
Latihan:
Tujuan feedback:
- Pemahaman tentang hasil terapi, menghasilkan belajar yang cepat dan bersifat
permanen
Seketika
Metode progresivitas
- Fase kognitif: fase otomatisasi dalam belajar. Latihan hingga gerakan tersebut
menjadi suatu gerakan yang otomatis.
Kelebihan metode MRP
- Prinsip-prinsip umum yang dapat diterapkan pada pasien dengan variasi yang
banyak
- Latihan aktif
- Sedini mungkin
- Aktivitas spesifik
- Variasi latihan
- Motivasi
Stroke adalah defisit neurologis mendadak susunan saraf pusat yang disebabkan oleh
peristiwa iskemik atau hemoragik (Setyopranoto, 2004). Insidensi stroke iskemik 81 %
dan stroke hemoragik 19 % (Sidharta, 1995). Stroke non hemoragik terjadi akibat suplai
darah berkurang (iskemia) atau terhenti pada sebagian daerah di otak tapi tidak sampai
terjadi perdarahan. Sedangkan stroke hemoragik terjadi karena dinding pembuluh
darah robek (akibat tekanan darah yang tinggi dan mendadak). Kondisi ini
mengakibatkan fungsi otak terganggu (Misbach, 1999).
Setelah penyakit jantung koroner dan kanker, stroke menduduki urutan ketiga
penyebab kematian di negara barat. Insidensi stroke 25 % terjadi pada usia 65 tahun
dan 50 % pada usia 75 tahun (Carr dan Shepherd, dikutip Bonita dan Beaglehole, 1992).
Menurut data di Amerika Serikat, insidensi stroke adalah sekitar 500.000 orang setiap
tahun, dan prevalensinya adalah sekitar 800 per 10.000 penduduk (Soeroto, 2003). Di
Indonesia stroke menjadi pembunuh nomor tiga setelah penyakit infeksi dan jantung
koroner (Lumbantobing, 2002). Sedangkan khusus Jawa Barat, penyakit ini sudah
menjadi pembunuh nomor satu sejak tahun 1986 (Widjajakusuma, 2004). Menurut
data Depkes yang dikutip oleh Setyopranoto (2004) bahwa jumlah penderita stroke
yang dirawat di rumah sakit meningkat dari waktu ke waktu. Salah satu contoh di RS
Cipto Mangunkusumo Jakarta, hingga tahun 1995 rata-rata dirawat 726 penderita
stroke dengan case fatality rate ratarata 37,2 %. Adapun tahun 2000, terdapat 1.000
pasien yang dirawat. Menurut Sudomo (2006) jumlah penderita stroke di Indonesia
kian meningkat dari tahun ke tahun. Diperkirakan di Indonesia setiap tahun ada
500.000 penduduk terkena serangan stroke, sekitar 2,5 % atau 125.000 orang
meninggal, dan sisanya cacat ringan maupun berat.
Gejala stroke harus menjadi kewaspadaan, khususnya bagi mereka yang beresiko kena
stroke, seperti para pengidap darah tinggi, kencing manis, lemak (lipid) dalam darah
yang tinggi, atau mereka yang mengidap penyakit jantung, atau gabungan dari
penyakit-penyakit tersebut (Handrawan, 2004).
Stroke merupakan masalah serius karena dapat menyebabkan kematian, kecacatan,
dan biaya yang dikeluarkan sangat besar, maka diperlukan usaha pencegahan untuk
terjadinya stroke primer maupun stroke sekunder. Kasus stroke juga bisa muncul
sebagai stroke yang berulang. Jika serangan stroke pertama tidak ditindaklanjuti
dengan upaya menghentikan proses yang memupuk terbentuknya kembali faktor-
faktor penyebab stroke, cepat atau lambat, serangan stroke susulan akan muncul lagi.
Serangannya bisa muncul di lokasi otak yang sama, atau bisa juga di area otak lain
dengan gejala dan manifestasi yang tentu berbeda (Hariyono, 2004).
Stroke juga sering menimbulkan permasalahan yang kompleks, baik dari segi
kesehatan penderita, ekonomi maupun sosial serta membutuhkan penanganan yang
komprehensif termasuk upaya pemulihan dalam jangka waktu yang lama bahkan
sepanjang sisa hidup pasien (Mulyatsih, 2003). Secara ekonomi, dampak dari insidensi,
prevalensi dan akibat kecacatan karena stroke akan memberikan pengaruh terhadap
menurunnya produktifitas dan kemampuan ekonomi mulai dari ekonomi, tingkat
keluarga sampai pengaruhnya terhadap beban ekonomi, masyarakat dan bangsa
(Sudomo, 2006). Lumbantobing (2002) berpendapat bahwa banyak masyarakat awam
yang tidak menyadari bahwa stroke sangat berbahaya. Informasi ini sering tidak
didapat oleh masyarakat kalangan menengah kebawah. Yang perlu diketahui adalah
sesungguhnya stroke merupakan keadaan gawat darurat. Stroke membutuhkan
penanganan sesegera mungkin, sama hal nya dengan penyakit jantung. Jika pada
penyakit jantung terjadi serangan jantung, sedangkan pada stroke terjadi serangan
otak.
Problem pada pasca stroke yang paling dominan biasanya gangguan fungsi motorik,
koordinasi dan keseimbangan serta gangguan aktifitas fungsional, selain gangguan-
gangguan neurologis fokal lainnya sesuai area otak yang mengalami kerusakan. Pada
pasien pasca stroke ditemukan adanya gangguan fungsi motorik karena kelayuhan otot
dan gangguan koordinasi dan keseimbangan (Carr dan Shepherd, 1987). Keseimbangan
yang cukup tidak hanya dibutuhkan untuk berjalan tetapi juga semua aktifitas pasien
yang dilakukan selama hidupnya. Kemampuan mempertahankan keseimbangan
merupakan dasar untuk melakukan semua gerakan terampil yang diperlukan untuk
perawatan diri dan kerja. Oleh karena itu keseimbangan sangat penting untuk
mengembalikan kemampuan fungsional pasien dengan kasus pasca stroke. Selain
latihan gerak fungsional itu sendiri latihan gerak fungsional diberikan dengan harapan
pasien lebih mandiri dalam melakukan aktivitasnya (Davies, 1994).
Tujuan fisioterapi pada penderita pasca stroke adalah untuk meningkatkan kualitas
hidup, dapat bekerja kembali sesuai dengan pola gerak yang normal atau mendekati
normal serta menurunkan tingkat kecacatan (Sudomo, 2006). Untuk mengatasi
banyaknya gangguan tersebut diatas, banyak sekali manajemen rehabilitatif yang bisa
digunakan mulai dari metode tradisional sampai dengan metode aktual seperti
Proprioceptif Neuromusculair facilitation (PNF), Brunstrom, Bobath, Motor Relearning
Programme (MRP) dan masih banyak lagi metode pendekatan yang bisa di berikan
kepada pasien stroke yang pada prinsipnya adalah berdasarkan teori
neurodevelopment, neurofisiologi dan kontrol motorik spesifik.
Salah satu metode yang cocok digunakan dalam penanganan gangguan fungsi motorik,
gangguan koordinasi dan keseimbangan dalam melakukan aktifitas fungsional adalah
Motor Relearning Programme. Motor Relearning Programme merupakan program yang
melatih kembali kontrol motorik yang berdasarkan pemahaman kinematik dan kinetik
gerakan normal, kontrol dan latihan motorik. Latihan ini harus diberikan sedini
mungkin sebab pelatihan motorik sedini mungkin akan meningkatkan kapasitas
pembelajaran adaptasi otak (Carr dan Shepherd, 1987).
Sesuai penelitian yang dilakukan oleh Birgitta Langhammer dan Johan Stanghelle
menunjukan hasil bahwa pasien yang ditangani dengan metode Motor Relearning
Programme mendapatkan pemulihan yang lebih cepat dibanding pasien yang ditangani
dengan metode Bobath. Pada 61 pasien stroke ditunjukkan hasil bahwa metode Motor
Relearning Programme dapat memberikan hasil yang baik dalam meningkatkan fungsi
motorik, keseimbangan dan aktivitas fungsional pasien. Dengan dipakainya metode ini,
akan dapat memperpendek masa rawat inap pasien di Rumah Sakit (Langhammer &
Stanghelle, 2000). Namun demikian, pilihan untuk menggunakan pendekatan selain
Motor Relearning Programme pada kenyataannya masih banyak dipakai di lapangan.
Hal inilah yang menarik bagi penulis untuk mengangkat metode Motor Relearning
Programme sebagai pendekatan yang dipakai pada Karya Tulis Ilmiah ini.