Anda di halaman 1dari 23

BAB 4 STATEGI PEMENUHAN

KEBUTUHAN PANGAN RUMAH


TANGGA PEDESAAN UNTUK
MENDUKUNG DESA MANDIRI
PANGAN

4.1. Strategi Penyediaan Pangan


Ketersediaan pangan secara makro tidak menjamin tersedianya pangan di tingkat
mikro rumah-tangga penduduk. Produksi prtanian di lokasi tertentu pada musim panen
mengakibatkan terjadinya konsentrasi ketersediaan pangan di daerah produksi selama musim
panen. Pola konsumsi yang relatif sama di antara individu, antar-waktu dan antar-daerah,
mengakibatkan adanya masa-masa defisit (paceklik) dan lokasi-lokasi defisit pangan. Dengan
demikian, mekanisme pasar dan distribusi pangan antar lokasi dan antar waktu dengan
mengandalkan stok pangan, dapat berpengaruh terhadap kesetimbangan antara ketersediaan
dan konsumsi, serta berdampak pada harga yang terjadi di pasar. Faktor harga juga terkait
dengan daya beli rumah tangga terhadap pangan. Meskipun bahan pangan tersedia di pasar
namun jika harganya tinggi (dan daya beli rumah tangga rendah) akan mengakibatkan rumah
tangga tidak dapat mengakses bahan pangan yang ada di pasar. Kondisi ini memicu timbulnya
kerawanan pangan.
Penduduk rawan pangan adalah mereka yang tingkat konsumsi energinya rata-rata 71-
89 % dari kecukupan energi normal. Sementara penduduk dikatakan sangat rawan pangan
jika hanya mengkonsumsi energi kurang dari 70% dari kecukupan energi normal. Jumlah
anak balita dengan status gizi buruk dan gizi kurang di daerah rawan pangan biasanya juga
cukup banyak. Kondisi ini menunjukkan bahwa ketahanan pangan di tingkat nasional atau
wilayah tidak selalu berarti bahwa tingkat ketahanan pangan di rumah tangga dan individu
juga terpenuhi. Masalah-masalah distribusi dan mekanisme pasar yang berpengaruh pada
harga, daya beli rumahtangga yang berkaitan pendapatan rumah tangga, dan tingkat
pengetahuan tentang pangan dan gizi sangat berpengaruh pada konsumsi dan kecukupan
pangan rumah tangga.
Konsumsi, jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh faktor-faktor: jenis pangan,
jumlah / produksi pangan dan ketersediaan pangan. Tingkat konsumsi lebih banyak
ditentukan oleh kualitas dan kuantitas bahan pangan. Kualitas pangan mencerminkan zat gizi
esensial yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan
jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka
unsur kualitas dan kuantitas harus dapat terpenuhi.
Salah satu strategi penyediaan pangan dalam rumahtangga adalah memanfaatkan
sumberdaya yang dimiliki rumahtangga, khususnya rumahtangga miskin adalah pemanfaatan
waktu dari masing-masing anggota keluarga pada kegiatan publik dan domestik yang dapat
menghasilkan income. Tingkat partisipasi kerja isteri untuk kegiatan publik cukup besar,
dapat mencapai hampir setengah dari tingkat partisipasi suami. Hal ini mencerminkan bahwa
isteri merupakan pencari nafkah tambahan untuk rumahtangga sangat menentukan dalam
memenuhi kebutuhan kecukupan pangan rumahtangga. Selain isteri ikut berpartisipasi dalam
kegiatan publik, anak laki-laki dan anak perempuan kadangkala juga ikut berpartisipasi
dengan tingkat tingkat partisipasi yang sangat beragam.

Gambar. 4.1. Strategi Penyediaan Pangan Rumah Tangga

4.2. Ketahanan dan Kecukupan Pangan


Konsep ketahanan pangan tersebut paling tidak melingkupi lima unsur pokok, yaitu:
(1) berorientasi pada kebutuhan rumah tangga dan individu; (2) Setiap saat bahan pangan
tersedia dan dapat diakses; (3) mengutamakan aksesibilitas pangan bagi rumah tangga dan
individu; baik secara fisik, maupun sosial-ekonomi; (4) bertujuan pada pemenuhan
kebutuhan gizi secara aman; (5) sasaran akhir adalah hidup sehat dan produktif.
Indikator terpenuhinya kebutuhan pangan rumah tangga a.l. (1) tersedianya pangan secara
cukup, kuantitas dan kualitasnya; (2) aman (dan halal); (3) merata (menurut ruang dan
waktu); dan (4) terjangkau oleh individu dan/atau rumahtangga. Upaya mewujudkan
ketahanan pangan minimal harus melingkupi empat aspek berikut:
a. Penyediaan pangan dalam jumlah yang cukup, ketersediaan pangan dalam arti luas,
meliputi bahan pangan nabati dan hewani / ikani untuk memenuhi kebutuhan
karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral beserta derivatifnya, yang bermanfaat
bagi kesehatan manusia.
b. Pemenuhan pangan dengan kondisi yang aman, bebas dari cemaran biologis, kimia, dan
benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia,
serta baik dan halal.
c. Penyediaan pangan dengan kondisi yang merata, dalam arti pangan yang harus tersedia
menurut dimensi waktu dan ruang.
d. Penyediaan pangan yang dapat dijangkau, bahan pangan mudah diperoleh rumah tangga
dan / atau dengan harga yang terjangkau.

4.2.1. Kekurangan Pangan


Beberapa penyebab terjadinya kekurangan pangan adalah:
a. Gagal panen yang terjadi karena adanya gangguan dalam berusahatani seperti banjir yang
terjadi di beberapa daerah seperti sekarang ini, serangan hama dan penyakit tanaman dan
sebagainya. Semua itu mengakibatkan produksi dan ketersediaan pangan yang dihasilkan
dari usahatani tidak mampu mencukupi kebutuhan masyarakat. Akibatnya, sebagian
masyarakat kekurangan pangan karena tidak dapat mencukupi kebutuhannya. Untuk
mencukupi kekurangan pangan di dalam negeri, pemerintah bisa saja melakukan impor,
tetapi selain hanya akan menguras devisa negara, juga sangat rentan jika
menggantungkan pangan dari luar negeri. Jadi idealnya ketersediaan tersebut bersumber
dari dalam negeri.
b. Masih tingginya angka pengangguran di Indonesia. Tingginya angka pengangguran ini
berkorelasi langsung terhadap menurunnya tingkat pendapatan masyarakat, yang berarti
daya beli terhadap pangan menurun dan akhirnya akses terhadap pangan pun semakin
sulit diwujudkan.
c. Kendala dalam distribusi pangan, yaitu masih terbatasnya sarana dan prasarana baik
berupa alat transportasi dan perbaikan/ pembangunan jalan yang bisa mengangkut
bahan pangan dari satu tempat ke tempat lainnya. Akibat kurang mendukungnya sarana
dan prasarana tersebut, sering terjadi pasokan pangan di suatu daerah terlambat datang,
sehingga masyarakatnya mengalami kekurangan pangan. Kendala lain dalam distribusi
pangan adalah, akibat terjadinya perubahan musim seperti musim kemarau panjang atau
banjir, sehingga tidak ada alat transportasi yang dapat membawa bahan pangan ke suatu
daerah. Masalah lain adalah, pungutan liar yang dilakukan oknum tertentu atau preman di
terminal/ pelabuhan maupun di jalan terhadap pengemudi yang membawa bahan pangan,
sehingga harga jual bahan pangan di tingkat pedagang eceran sudah sangat mahal. Semua
ini yang menanggung risiko "biaya kemahalan" adalah konsumen yang terpaksa membeli
walaupun dengan harga tinggi.
d. Naiknya harga pangan. Kecenderungan berkurangnya stok pangan yang disebabkan gagal
panen, serangan hama tanaman dan lainnya akan berpengaruh langsung terhadap
ketersediaan pangan di pasaran, sehingga antara ketersediaan dan kebutuhan pangan
tidak seimbang. Kalau sudah demikian, harga pangan diperkirakan akan naik. Naiknya
harga pangan ini menyebabkan, sebagian kelompok masyarakat, khususnya kalangan
bawah akan semakin sulit memenuhi kebutuhan pangannya. Hal ini lebih dirasakan lagi
oleh mereka yang menganggur karena tidak ada pendapatan untuk membeli pangan.

4.2.2. Cara Mengatasi Kurang Pangan


Beberapa cara untuk mengatasi kekurangan pangan adalah:
a. Untuk mengatasi turunnya produksi pangan di suatu daerah akibat gagal panen karena
kebanjiran, serangan hama penyakit tanaman dan lainnya, pemerintah daerah harus
berupaya membantu berbagai kesulitan petani. Misalnya memperbaiki irigasi, bantuan
teknologi usahatani, penyediaan benih bermutu, penyediaan alat dan mesin pertanian,
bantuan permodalan dan yang tidak kalah penting adalah bantuan pangan.
b. Mengingat masih tingginya angka pengangguran, untuk mengatasi dan membantu
masyarakat yang belum memperoleh pekerjaan, pemerintah harus merancang program
padat karya, sehingga bisa menyerap tenaga kerja yang banyak. Pemerintah
mengalokasikan dana untuk program beras bagi keluarga miskin (Raskin). Setiap keluarga
miskin mempunyai jatah membeli beras murah sebanyak 20 kg/ bulan untuk setiap
keluarga.
c. Untuk mengatasi masalah gangguan dalam distribusi pangan, pemerintah daerah harus
mampu memperbaiki dan menyediakan sarana dan prasarana jalan serta alat transportasi
yang memadai. Hal yang tidak kalah penting adalah menghilangkan terjadinya ekonomi
biaya tinggi berupa pungutan yang tidak logis dengan alasan untuk pemasukan kas
daerah dan sebagainya. Untuk itu berbagai pungutan yang memberatkan modal
transportasi bahan pangan harus dikurangi, sedangkan untuk mengatasi terjadinya
pungutan liar di jalan perlu adanya pengamanan angkutan bahan pangan secara memadai.
d. Sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) yang ada mulai dari tingkat provinsi sampai
kecamatan harus dioptimalkan peranannya, terutama dalam mengantisipasi secara dini
gejala terjadinya rawan pangan di suatu wilayah. Untuk itu pemerintah daerah mulai dari
gubernur sampai camat harus memerintahkan kelompok kerja (Pokja) SKPG yang telah
dibentuk untuk membuat peta potensi pangan dan daerah yang mempunyai potensi
terjadi rawan pangan. Dengan adanya peta tersebut, maka pemantauan dini terhadap
ketersediaan pangan dapat dilakukan dengan baik, sehingga jika ada gejala kekurangan
pangan pada sekelompok masyarakat dapat diatasi secara dini, sehingga tidak ada warga
yang kekurangan atau rawan pangan dan kelaparan.
Ada lima cara untuk mengatasi kerawanan pangan :
1. Penganekaragaman Pangan
Penganeka-ragaman dilakukan agar masyarakat tidak hanya tergantung pada beras sebagai
pangan pokok tetapi juga mulai mengkonsumsi pangan non beras misaalnya dari umbi-
umbian, kacang-kacangan, serealia non beras, sagu, dan sebgainya. Apabila terjadi kekurangan
beras, masyarakat tidak perlu kuatir lagi karena sudah tersedia bahan pangan lain yang tidak
kalah dengan beras.
2. Perlindungan lahan-lahan produktif
Pemerintah harus secara tegas melindungi lahan-lahan subur untuk ditanami tanaman
penghasil bahan pangan. Jangan ada lagi penggusuran lahan produktif hanya untuk
kepentingan komersial.
3. Peningkatan konsumsi pangan lokal
Masyarakat harus mencioba mencintai bahan pangan lokal sendiri dan mengurangi bahan
pangan impor. Untuk itu perlu digalakkan konsumsi pangan lokal dan mengurangi impor
pangan.
4. Peningkatan produksi pangan
Pemerintah melalui perguruan tinggi dan lembaga penelitian harus mampu memperbaiki
produksi berbagai bahan pangan. Tidak hanya beras tetapi juga bahan pangan lain agar
mencukupi untuk konsumsi seluruh masyarakat.

5. Pemanfaatan lahan non produktif untuk tanaman pangan


Lahan-lahan non produktif yang selama ini tidak ditanami karena dianggap kurang subur
harus diberdayakan agar mampu dimanfaatkan untuk tanaman pangan. Lahan rawa-rawa
misalnya harus dicoba untuk ditanami padi yang cocok untuk daerah tersebut. Lahan kapur
juga harus dicoba dengan tanaman pangan lain yang sekiranya mampu tumbuh di tempat
tersebut.
4.2.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Ketahanan Pangan
Aspek pangan dari aspek ekonomi didasarkan atas akses individu atau rumah tangga
terhadap pangan. Akses pangan yang tinggi menggambarkan kemudahan individu semakin
mudah untuk mengakses pangan. Akses suatu pangan rumah tangga semakin tinggi maka
semakin tinggi ketahanan pangan. Berbagai penelitian yang telah dilakukan terdapat faktor-
faktor yang mempengaruhi tingkat ketahanan pangan sebagai berikut :
a) Sukandar, dkk. (2006) menguji pengaruh jumlah anggota keluarga, umur, dan pendidikan
istri terhadap ketahanan pangan rumah tangga yang diukur dengan pangsa pengeluaran
rumah tangga. Hasil pengujian menunjukkan nyata bahwa jumlah anggota keluarga, umur,
dan pendidikan istri berpengaruh nyata terhadap ketahanan pangan.
b) Amirian, dkk. (2008) menguji umur KK, umur istri, Pendidikan KK, pendidikan Istri,
jumlah keluarga, pendapatan keluarga, pekerjaan tambahan KK, pekerjaan tambahan istri
dengan analisis uji korelasi spearman. Hasil pengujian menunjukkan berdasar
ketersediaan pangan pokok 70% tahan pangan, berdasar akses 65% rumah,berdasar
pemanfaatan pangan 43,3% tahan pangan, berdasar komposit 63,3% tahan pangan, dan
terdapat beberapa faktor nyata berhubungan dengan ketersediaan energi per kapita per
hari.
c) Husinsyah (2008) menguji dampak progam aksi desa mandiri pangan terhadap indeks
ketahanan pangan. Hasil pengujian menunjukkan program aksi desa mandiri pangan
berpengaruh terhadap tingkat ketahanan pangan, dan terdapat perbedaan sebelum dan
sesudah pelaksanaan desa mandiri pangan.
d) Purwaningsih, dkk. (2010) menguji harga pangan, pengeluaran rumah tangga, indeks
harga geometri stone, jumlah anggota keluarga, jumlah anggota keluarga, tingkat
pendidikan kepala keluarga, wilayah desa-kota terhadap tingkat ketahanan pangan rumah
tangga. Hasil pengujian menunjukkan harga pangan siginfikan dan perpengaruh positif,
elastisitas komoditi pangan bersifat non giffen, hubungan antara komoditi saling
mengganti, makanan dan minuman menunjukkan hubungan paling kuat sebagai
pengganti beras, kecuali rumah tangga rawan adalah mie.
e) Fathonah, dan Pasodjo (2011) menguji hubungan tingkat pendidikan pengelola keluarga,
pendapatan rumah tangga, struktur demografi terhadap ketahanan pangan. Hasil
pengujian menunjukkan RTKP lebih tahan daripada RTKW dan tingkat pendidikan RTKP,
RTKW berhubungan dengan tingkat ketahanan pangan seluruh rumah tangga.
f) Purwaningsih, dkk. (2011) menguji pengaruh pendapatan rumah tangga, jumlah anggota
keluarga, pendidikan kepala keluarga, lapangan usaha, dan wilayah terhadap tingkat
ketahanan pangan rumah tangga. Hasil pengujian menunjukkan semua variabel
berpengaruh terhadap tingkat ketahanan pangan dengan tingkat signifikasi 5%.
g) Sianipar, dkk. (2012) menguji pengaruh pendapatan petani, jumlah anggota keluarga,
pendidikan petani, harga beras, harga gula, harga sayur, harga ikan, harga telur, harga
minyak goreng, harga minyak tanah, dan dummy petani transmigrasi lokal terhadap
ketahanan pangan. Hasil menunjukkan variabel pendapatan, minyak goreng, minyak
tanah signifikan dan berpengaruh terhadap tingkat ketahanan pangan.
Selanjutnya dari berbagai faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap tingkat
ketahanan pangan rumah tangga, maka ketahanan pangan rumah tangga tani desa mandiri
pangan dianalisis dengan menggunakan faktor pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga,
umur kepala keluarga, tingkat pendidikan kepala keluarga, dan kemampuan rumah tangga
memenuhi kebutuhan uang yang diaplikasikan dalam bentuk tabungan sebagai variabel
independen, dan variabel dependennya adalah ketahanan pangan rumah tangga yang diukur
dalam pangsa pengeluaran pangan rumah tangga.
4.3. Konsep Desa Mandiri Pangan
Strategi perencanaan Desa Mandiri Pangan dapat ditempuh dalam beberapa tahapan.
Pada tahapan kultural, perlu adanya penjelasan secara berkesinambungan tentang arti
pentingnya kecukupan pangan. Dalam konteks ini, status kehormatan bagi petani atau
pedagang tidak dipandang sebagai kelas sosial yang rendah, melainkan mereka sama
hormatnya dengan warga masyarakat lain yang telah memberi sumbangan bermakna bagi
masyarakatnya. Dengan penghormatan seperti itu, mereka tidak lagi mengukur segala
aktivitasnya hanya pada pertimbangan ekonomi. Jadi, perlu ada perubahan paradigmatik yaitu
kehormatan manusia diukur dari sumbangsihnya bukan pada status sosialnya.
Tahapan ke dua ialah tahapan-sosial, di mana suatu aktivitas yang bermakna, baru
akan memperoleh hasil yang optimal kalau tercipta sinergi di antara potensi-potensi yang ada.
Dalam konteks ini, simpul-simpul sosial seperti para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan
tokoh-tokoh di bidang profesinya masing-masing, dijadikan aktor-aktor penting untuk
memikirkan secara bersama bagaimana mewujudkan kecukupan pangan. Proses seperti ini
melibatkan banyak pihak guna mengubah ide-ide personal menjadi ide kolektif. Apabila
konsep tentang kecukupan pangan telah menjadi ide kolektif, maka prinsip yang harus dianut
ialah semuanya mendapat untung sesuai dengan kuantitas dan kualitas sumbang-sih nya.
Tahapan ke tiga adalah level action, tokoh-tokoh dan para aktivis desa diajak untuk
membiasakan aktivitas dengan mengawali perencanaan yang matang sesuai dengan
kemampuan bernalar (lintas sektoral), daya tahan mental (misalnya tahan kritik, mudah
menerima masukan, dsb), dengan kerangka analisis yang elevan.
4.3.1. Lumbung di Desa Mandiri Pangan
Dalam program pengembangan Desa Mandiri Pangan, Desa mendapatkan dana
bantuan sosial (bansos) untuk mengembangkan lumbung pangan non komersial. Warga desa
dapat meminjam pangan di lumbung desa tersebut. Ada tiga kegiatan yang dapat
menggunakan dana bansos untuk Desa Mandiri Pangan.
Pertama, dana bansos untuk kegiatan simpan pinjam. Pinjaman dapat digunakan untuk
beragam kegiatan apapun. Misalnya untuk pengobatan keluarga sakit, keperluan anak sekolah,
maupun untuk mengembangkan pertanian di desa. Ke dua, dana bansos tersebut dapat
digunakan untuk kegiatan produktif usaha kecil pertanian. Ke tiga, untuk pengembangan
lumbung pangan masyarakat non komersial di desa. Lumbung pangan desa diharapkan dapat
menciptakan kemandirian pangan masyarakat perdesaan. Masyarakat dapat meminjam
pangan yang tersimpan di lumbung itu, pada musim paceklik atau tidak punya pangan.
Anggota masyarakat yang meminjam harus mengembalikan pada saat panen dengan
tambahan yang disepakati.
Melihat kondisi secara fisik dasar faktor-faktor potensial yang dimiliki Kabupaten
Sekadau untuk dikembangkan antara lain adalah :
1) Sekitar 430.105 Ha atau sekitar 79 % dari luas wilayah Kabupaten Sekadau mempunyai
kemiringan 0 15 %, merupakan wilayah yang cukup sesuai untuk pengembangan
kawasan budidaya terutama perkebunan, pertanian dan perkotaan/perdesaan
(permukiman, industri, dll).
2) Terdapat 2 (dua) sub sistem DAS sebagai bagian dari sistem DAS Kapuas yaitu DAS
Sekadau dan DAS Belitang yang mempunyai potensi sebagai sumberdaya air dan
sumberdaya energi. Di kawasan hulu Sungai Sekadau yang umumnya berupa kawasan
pegunungan dengan kemiringan di atas 15 % terdapat begitu besar sumberdaya air yang
dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, sumber air baku dan juga sebagai daya
tarik wisata minat khusus seperti arung jeram, river cruising dan lain-lain. Beberapa sub
kawasan bahkan dapat dikembangkan sebagai waduk buatan seperti kawasan Riam Terap
Pugan pada Aliran Sungai Menterap Hulu dan Aliran Sungai Menterap Pugan di
Kecamatan Nanga Taman (berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh
Pemerintah Kabupaten Sekadau Tahun 2009).
3) Iklim di wilayah Kabupaten Sekadau berdasarkan klasifikasi Schmid dan Ferguson
termasuk iklim type A yang sangat basah dengan curah hujan antara 2500 s/d 5000 mm
per tahun. Kondisi iklim tersebut sangat menunjang bagi kegiatan pertanian khususnya
pertanian lahan basah dan kecukupan tersedianya sumberdaya air.
4) Wilayah Kabupaten Sekadau memiliki jenis tanah yang secara umum dapat dikembangkan
untuk budidaya pertanian secara umum (termasuk perkebunan, pertanian tanaman
pangan, hortikultura, perikanan, dll).
5) Berdasarkan Kedalaman efektif tanahnya, terdapat sekitar 78 % dari luas wilayah
kabupaten merupakan tanah yang mampu menunjang tumbuhnya perakaran tanaman
(kedalaman efektif tanah > 90 cm).
6) Sekitar 83 % dari luas wilayah Kabupaten Sekadau merupakan tanah dengan tekstur
sedang yang cukup sesuai untuk pengembangan kegiatan budidaya pertanian.
Kondisi seperti ini telah memberikan suatu gambaran kepada kita bahwa lumbung di
Desa Mandiri Pangan berperan sebagai fungsi sosial terutama dalam menyediakan cadangan
pangan bagi keluarga dan masyarakat di desa. Selain itu, juga diharapkan agar lumbung di
Desa Mandiri Pangan ini dapat berperan ganda sebagai fungsi ekonomik maupun fungsi sosial
bagi keluarga dan masyarakat dengan mengintegrasikan model pemberdayaan lumbung
pangan modern antara lain:
(1) menguatnya permodalan usaha kelompok,
(2) meningkatnya posisi tawar (bargaining position) anggota dalam penjualan hasil usaha
tani,
(3) berkembangnya keterampilan teknis anggota kelompok,
(4) terjalinnya hubungan kemitraan dan jaringan usaha kelompok,
(5) berkembangnya usaha kelompok menuju skala yang mampu memberikan peningkatan
pendapatan yang layak bagi anggotanya dan
(6) meningkatnya cadangan pangan minimal sebesar 3 (tiga) bulan kebutuhan konsumsi
masyarakat.
Keberadaan lumbung desa mandiri pangan ini telah merupakan suatu tradisi-kearifan
lokal maka perlu untuk keberlanjutannya harus ada pendampingan dengan mengembangkan
sebuah lumbung induk sebagai lumbung pangan di desa sedangkan lumbung yang ada
sekarang tetap dijadikan lumbung pangan keluarga. Persoalannya bagaimana kita dapat
melakukan proses pemberdayaan untuk penguatan kelembagaan lumbung pengembangan
usaha kelompok,penguatan cadangan pangan di kelompok, penguatan modal usaha kelompok
serta pelatihan teknis (technical buiding) dan pelatihan penguatan kapasitas kelompok
(Capacity buiding).
Beberapa prinsip yang perlu dikembangkan lagi dalam upaya pemberdayaan lumbung
pangan adalah (1). pengelolaan resiko, (2). bursa komoditas dan (3). saling percaya.
Sedangkan hal lain yang t idak kalah pentingnya adalah melakukan pengembangan jaringan
usaha dan kemitraan. Kelompok Lumbung Pangan yang ada di desa perlu melakukan :
1) Penyusunan Rencana Usaha Kelompok (RUK) untuk pengelolaan resiko;
2) Membangun fisik lumbung di desa (1 Kelompok : 1 Lumbung) dengan bursa komoditas
unggulan yang disepakti sebagai bahan pangan untuk cadangan pangan kelompok;
3) Mengembangkan usaha ekonomi kelompok;
4) Meningkatkan kapasitas kemampuan manajemen (administrasi pembukuan-
keuangan) dan ekonomi;
5) Melakukan monitoring dan evaluasi secara partisipatif untuk mengetahui tingkat
perkembangan kegiatan pemberdayaan lumbung pangan secara mandiri.

Lumbung di tingkat keluarga dapat dijadikan sebagai lumbung pangan keluarga


(cadangan pangan) keluarga sedangkan Lumbung induk di kelompok sebagai lumbung
pangan di tingkat kelompok dan hubungan antara lumbung keluarga dan lumbung induk
kelompok bersifat horisontal dan saling melengkapi atau melekat dan tidak terpisah secara
sendiri-sendiri. Jadi ini merupakan model BULOG di desa untuk pendistribusian bahan pangan
ant ara desa satu dengan desa yang lainnya yang membutuhkan. Bantuan modal usaha, pelat
ihan dan pendampingan harus dilakukan secara terpadu, terintegrasi dengan stakeholder
yang ada dengan pola satu pintu.

4.3.2. Pelaksanaan Program Pengembangan Desa Mandiri Pangan


Dalam pelaksanaannya, Program pengembangan Desa Mandiri Pangan difasilitasi
antara lain: pembangunan instruktur, pendampingan dalam bidang manajemen kelompok dan
usaha serta teknis, bantuan permodalan, sarana dan prasarana fisik, tenaga kerja, dan
teknologi. Berbagai masukan ini digunakan untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan seperti pemberdayaan masyarakat (pendampingan, pelatihan, fasilitasi dan
penguatan kelembagaan), harmonisasi system ketahanan pangan dan pengembangan
keamanan pangan, antisipasi dan penanggulangan kerawanan pangan.
Strategi yang digunakan dalam pelaksanaan program desa mandiri pangan antara lain
melalui:
a) Penerapan prinsip pemberdayaan masyarakat, dengan meningkatkan kapasitas
masyarakat untuk menolong dirinya sendiri;
b) Penguatan kelembagaan pedesaan dalam membangun ketahanan pangan dan gizi,
peningkatan pendapatan, akses dan konsumsi pangan beragam dan bergizi seimbang,
sanitasi
c) lingkungan serta antisipasi situasi darurat;
d) Optimalisasi pemanfaatan sumber daya dengan dukungan multi sektor dan multi disiplin;
e) Sinergitas antar stakeholder yang diwujudkan melalui peningkatan kemampuan Dewan
Ketahanan Pangan Kabupaten / Kota dalam bekerjasama dengan stakeholder lain dan
memfasilitasi Tim Pangan di tingkat desa.
Prinsip Pengembangan model desa mandiri pangan (Naiggolan, 2007) adalah sebagai
berikut :
a) Kemampuan pengelolaan ketahanan pangan di tingkat desa.
b) Kemampuan upaya pemanfaatan sumber daya yang dimiliki untuk meningkatkan kualitas
pemenuhan kebutuhan pangan.
c) Kemampuan menangani masalah kelebihan atau kekurangan pangan dan
ketidakmampuan masyarakat dalam mengakses pangan.
d) Prinsip-prinsip pemberdayaan ketahanan pangan secara partisipatif dan berkelanjutan.

Dasar pelaksanaan program aksi Desa Mandiri Pangan melaui empat tahapan yaitu
sebagai berikut:
1) Tahap pertama yaitu Persiapan
Tahap persiapan dilaksanakan pada tahun pertama kegiatan Demapan, dengan kegiatan
mempersiapkan aparat pelaksana dan masyarakat melalui :
a) Seleksi Lokasi Sasaran
1. Kabupaten/Kota, dengan syarat merupakan kabupaten rentan pangan,memiliki unit
kerja ketahanan pangan, terbentuk Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota; dan
adanya partisipasi masyarakat/Pemerintah Daerah setempat untuk pengentasan
kemiskinan.
2. Kecamatan, dengan syarat adanya kelembagaan ekonomi dalam mendukung
pengembangan ketahanan pangan (pasar, KUD, dan lainnya), dan memiliki SDM aparat
(penyuluh) yang dapat mendukung pelaksanaan program.
3. Desa, dengan syarat desa rawan pangan yang memiliki penduduk lebih dari 30 persen
Rumah Tangga Miskin (RTM) berdasarkan survei data dasar rumah tangga memiliki
potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang belum dikembangkan, aparat
desa dan masyarakat bersedia menerima dan mendukung kegiatan Demapan. Desa
yang telah terpilih ditetapkan oleh Kepala Badan/Dinas/Kantor/Unit kerja yang
menangani Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota yang dikuatkan melalui Surat
Keputusan Bupati/Walikota.
b) Penetapan Pendamping
Pendamping ditetapkan dengan SK Kepala Badan/Dinas/ Kantor/Unit kerja yang menangani
Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota.
c) Penetapan Koordinator Pendamping
Koordinator pendamping ada di provinsi dan kabupaten/kota, yang ditetapkan dengan SK
Kepala Badan/Dinas/Kantor/Unit kerja yang menangani Ketahanan Pangan.
d) Penyusunan Data Dasar Desa
Penyusunan data dasar desa berupa karakteristik rumah tangga, pemetaan potensi wilayah
desa lokasi kegiatan, profil kelompok, dan profil desa.
e) Penetapan Kelompok Afinitas
Kelompok afinitas adalah anggota kelompok yang diikat dengan rasa kesatuan dan
kebersamaan oleh jaringan persahabatan dan keluarga untuk melaksanakan kegiatan-
kegiatan usaha ekonomi secara bersama-sama. Anggota kelompok afinitas adalah RTM hasil
survei data dasar rumah tangga, yang dibina melalui kegiatan Demapan. Kelompok afinitas
ditetapkan oleh Kepala Badan/Dinas/Kantor/Unit kerja yang menangani ketahanan pangan
Kabupaten/ Kota.
f) Penetapan Tim Pangan Desa (TPD)
TPD adalah lembaga yang ditumbuhkan oleh masyarakat sebagai penggerak pembangunan
ketahanan pangan di perdesaan. Anggota TPD terdiri dari unsur-unsur pewakilan: aparat
desa; penggerak PKK; tokoh masyarakat; perwakilan KK Miskin kelompok afinitas. TPD
ditetapkan oleh Kepala Badan/Dinas/Kantor/Unit kerja yang menangani Ketahanan Pangan
Kabupaten/Kota. Tugas TPD mengarustamakan pengentasan kemiskinan dan pengurangan
kerawanan pangan di tingkat desa, serta memberikan advokasi kepada kepala desa.
g) Penumbuhan LKD
LKD adalah lembaga yang ditumbuhkan oleh kelompok bersama masyarakat, yang
beranggotakan sub-sub kelompok afinitas untuk mengelola keuangan sebagai modal usaha
produktif perdesaan. Pengurus LKD berasal dari masyarakat setempat dan merupakan
perwakilan dari sub-sub kelompok afinitas yang memiliki kemampuan dalam pengelolaan
keuangan dan administrasi. lembaga ini tetapkan oleh Kepala Badan/Dinas/Kantor/Unit kerja
yang menangani Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota. Tugas LKD mengelola keuangan sebagai
modal usaha produktif kelompok afinitas menjadi lembaga pelayanan usaha produktif
masyarakat.
h) Sosialisasi Kegiatan Demapan
Sosialisasi kegiatan dilaksanakan di tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, dan desa.
Sosialisasi dilakukan oleh Badan/ Dinas/Kantor/Unit Kerja Ketahanan Pangan di wilayah
masing-masing.
i) Pendampingan
Tenaga pendamping adalah petugas/penyuluh yang bertanggungjawab untuk melakukan
pendampingan dan pemberdayaan masyarakat di lokasi Demapan. Tugas Pendamping: adalah
menyusun rencana kerja pendampingan, menumbuhkan dan mengembangkan kelompok-
kelompok afinitas dan kelompok penyedia protein hewani, mengembangkan dinamika
kelompok afinitas, membina kelompok-kelompok afinitas dalam merencanakan usaha
produktif, dan menumbuhkan lembaga layanan permodalan bersama-sama dengan TPD dan
kelompok-kelompok afinitas.
j) Penyusunan Rencana Pembangunan Wilayah Desa (RPWD)
RPWD merupakan usulan prioritas kegiatan yang disusun oleh kelompok masyarakat secara
parsitipatif bersama wakil-wakil kelompok afinitas, dan tokoh masyarakat. Usulan rencana
kegiatan yang telah disepakati di forum RPWD ditetapkan sebagai kegiatan desa, disampaikan
kepada kecamatan.
k) Pelatihan
Untuk mempersiapkan pelaksanaan Kegiatan Demapan dilaksanakan pelatihan dasar dan
pelatihan teknis. Pelatihan dasar kepada: pendamping/ pembina kemitraan, pamong desa,
aparat kabupaten/kecamatan, pengurus LKD dan TPD. Sedangkan pelatihan teknis kepada
kelompok afinitas.
l) Penyaluran Dana Bansos untuk Usaha Produktif
Dana Bansos untuk Usaha Produktif merupakan dana stimulan untuk mendukung usaha
kelompok-kelompok afinitas, yang memiliki kemauan sendiri untuk meningkatkan
kemampuan mengelola usaha produktif. Dana Bansos dikelola oleh LKD untuk pengembangan
usaha produktif kelompok afinitas, yang penggunaannya didasarkan pada keputusan bersama
seluruh anggota kelompok afinitas.

2) Tahap kedua yaitu Penumbuhan


Pemberdayaan masyarakat melalui: pelatihan, peningkatan aksessibilitas masyarakat, dan
penguatan kelembagaan. Pengembangan sistem ketahanan pangan untuk pembangunan
sarana cadangan pangan, dan penguatan dasa wisma dalam penganekaragaman konsumsi.
Koordinasi lintas sektor untuk dukungan sarana dan prasarana perdesaan.
a) Pemberdayaan Masyarakat
Dilakukan melalui pendampingan, pelatihan-pelatihan, peningkatan aksesibilitas, dan
penguatan kelembagaan. Pendampingan dilakukan untuk: mengembangkan dinamika
kelompok afinitas dan menumbuhkembangkan usaha produktif. Pelatihan-pelatihan
dilakukan untuk meningkatkan kapasitas SDM kelompok afinitas bidang administrasi dan
pengelolaan usaha. Peningkatan aksesibilitas masyarakat di daerah rawan pangan, meliputi
akses informasi, sarana prasarana, teknologi, permodalan,
pasar, dan lainnya dilakukan melalui kerjasama dengan stakeholder terkait, yang dapat
memberikan peluang dan kesempatan berusaha kepada masyarakat melalui proses
pendampingan, pembinaan, dan penyuluhan. Penguatan kelembagaan dilakukan pada
Kelompok Kerja (Pokja) Demapan, TPD, kelompok afinitas, dan kelompok penyedia protein
hewani.
b) Pengembangan Sistem Ketahanan Pangan
Pada subsistem ketersediaan pangan dilakukan untuk peningkatan produksi dan
pengembangan cadangan pangan masyarakat. Subsistem distribusi, dilakukan melalui
penumbuhan usaha-usaha perdagangan, pemasaran, dan sistem informasi harga pangan oleh
anggotakelompok di tingkat desa. Subsistem konsumsi, dilakukan untuk peningkatan
penganekaragaman pangan berbasis sumberdaya lokal, perbaikan pola konsumsi keluarga
melalui pembinaan dasa wisma, pemanfaatan pekarangan, srta pengembangan teknologi
pengolahan dan produk pangan olahan.
c) Dukungan Pengembangan Sarana dan Prasarana
Diarahkan untuk perbaikan sarana, prasarana, dan fasilitasi yang dilaksanakan pemerintah
untuk pengembangan Demapan melalui integrasi program kerja lintas sektor.

3) Tahap ketiga yaitu Pengembangan


Tahap pengembangan dilaksanakan untuk: penguatan dan pengembangan dinamika serta
usaha produktif kelompok afinitas; serta pengembangan fungsi kelembagaan layanan modal,
kesehatan, pendidikan, sarana usahatani, dan lainnya. Pada tahap ini sudah terdapat kemajuan
sumber pendapatan, peningkatan daya beli, gerakan tabungan masyarakat, peningkatan
ketahanan pangan rumah tangga, peningaktan pola pikir masyarakat, peningkatan
keterampilan, dan pengetahuan masyarakat.

4) Tahap keempat yaitu Kemandirian


Kemandirian pangan tingkat desa memerlukan dukungan program lintas sektor untuk
pembangunan wilayah perdesaan dan pembangunan sarana prasarana perdesaan. Tingkat
kemandirian dicapai dengan berfungsinya sarana fisik yang dibangun secara partisipatif oleh
masyarakat dan fasilitasi pemerintah dengan menggunakan teknologi tepat guna sesuai
kebutuhan masyarakat dan memberikan dampak terhadap kesejahteraan masyarakat dan
desa sekitarnya. Desa-desa yang sudah melalui tahap kemandirian dan mamasuki tahun
kelima, selanjutnya akan mengembangkan Gerakan Kemandirian Pangan, dimana desa-desa
yang telah mandiri berperan sebagai desa inti dan membina desa-desa sekitarnya.
Pelaksanaan kegiatan Gerakan Kemandirian Pangan diatur dalam Pedoman Teknis Gerakan.

4.4. Strategi Pemenuhan Kebutuhan Pangan


Permasalahan pangan di pedesaan, sebenarnya adalah permasalahan lokal yaitu
bagaimana sebenarnya kemampuan masyarakat pedesaan dalam memenuhi kebutuhan
pangan rumah tangga didesanya sesuai dengan preferensi dan kemampuan sumber daya yang
dimiliki. Cara pandang administratif terhadap desentralisasi pangan di tingkat lokal bahwa
permasalahan di tingkat lokal menuntut pendekatan-pendekatan yang fleksibel dan spesifik
lokasi. Desentralisasi yang demokratik dapat memfasilitasi pemecahan masalah pangan secara
partisipatif, perencanaan pangan yang efektif dan sekaligus implementasinya di tingkat lokal.
Pengertian ini mengandung makna pemenuhan kebutuhan pangan di pedesaan tidak semata-
mata didasarkan pada produksi tanaman pangan yang ada di wilayah tersebut namun lebih
pada bagaimana masyarakat pedesaan mampu menyediakan kebutuhan pangannya. Ukuran
normatif dalam pemenuhan kebutuhan pangan di tingkat lokal menyangkut pada
permasalahan ketersediaan, keandalan, kemudahan dan kualitasnya.
Berbagai faktor harus diperhatikan dalam merumuskan kebijakan pangan di tingkat
lokal yang berbasis pada sistem sosial budaya setempat (Gambar 4.1). Faktor-faktor tersebut
adalah culture, religion, status, community, tradition, school, home & family, geography, history,
economics, science, technology, agriculture, climate, medicine, genetics. Kebijakan bercocok
tanam misalnya, tidak hanya memperhatikan masalah lahan yang cukup, iklim yang cocok,
ilmu pengetahuan yang mendukung; tetapi juga memperhatikan masalah sosial budaya
masyarakat setempat mengenai jenis tanaman yang diterima secara baik. Cara ini seharusnya
merupakan bagian dari strategi keberlanjutan (sustainability) kebijakan pangan yang harus
dilaksanakan.

Gambar 4.1. Faktor-faktor dalam merumuskan kebijakan pangan di tingkat lokal


yang berbasis pada sistem sosial budaya setempat

Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena terkait dengan persediaan
bahan pangan. Pangan, khususnya beras, di Indonesia menempati posisi strategis, karena
sebagian besar masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai makanan pokoknya. Akan
tetapi petani sebagai penghasil beras ternyata basibnya belum makmur. Tekanan sosial-
ekonomi yang dialami oleh petani sangat beragam intensitas dan durasinya. Kemiskinan yang
dialami oleh rumah tangga petani berpangkal pada terbatasnya pemilikan dan penguasaan
lahan, kegagalan panen, mahalnya biaya produksi dan keuntungan yang kecil, serta
ketersediaan cadangan subsistesi yang terbatas. Kondisi ketidakpastian dan tekanan hidup
yang dialami oleh rumah tangga petani, telah menimbulkan berbagai reaksi dan respon yang
dilakukan oleh rumah tangga petani untuk menghadapinya. Untuk mengatasi kebutuhan
hidup yang makin kompleks, rumah tangga petani menetapkan strategi untuk
mempertahankan kelangsungan hidup mereka, yaitu dengan cara mencari penghasilan
tambahan, menghemat pengeluaran, mencari pinjaman (hutang), serta menjalin kehidupan
gotong royong dengan tetangga dan kerabat.
Sistem pangan individu, rumahtangga atau masyarakat yang lebih luas bukanlah
sesuatu yang statis tetapi dinamis. Dinamika ini antara lain dipengaruhi oleh tingkat
kerentanan (vulnerability) dan kemampuan individu atau rumahtangga dalam menghadapi
perubahan. Penyebab kerentanan adalah shock yaitu perubahan mendadak dan tidak terduga
(karena alam, ekonomi, konflik, dan lainnya).

4.4.1. Spekulan dan Fluktuasi Harga Pangan


Spekulan berada di balik berfluktuasinya harga komoditas pangan dunia. Spekulasi di
pasar komoditas menjadi salah satu penyebab ketidakpastian harga pangan. Sektor
komoditas, baik pangan maupun energi, dianggap sebagai sektor yang paling berkaitan
dengan hajat hidup orang banyak. Spekulasi yang terjadi mempengaruhi peningkatan
sebagian besar harga komoditas yang bersinggungan langsung dengan kehidupan masyarakat
luas.
Menyangkut komoditas beras , harganya mengalami volatilitas. Jadi terdapat gejala
dimana beras diperdagangkan sedemikian rupa sehingga bisa terjadi suatu komoditas. Hal
ini dapat menyebabkan volume perdagangan mencapai berpuluh kali dari volume fisik
komoditas itu sendiri. Hal tersebut dapat terjadi oleh dua hal. Pertama, pengaruh murni dari
supply dan demand, termasuk transportasi dan distribusi barang. Sedangkan faktor ke dua
adalah perdagangan produk turunan yang menyangkut komoditas strategis, seperti gula dan
minyak.
Seasonality atau musiman yang dapat diperkirakan dengan hampir pasti, seperti
perubahan secara musiman dari harga, produksi, dan iklim. Setiap individu dan unit sosial
yang lebih besar mengembangkan system penyesuaian diri dalam merespon perubahan
tersebut (shocks, trends, dan seasonality). Respons itu bersifat jangka pendek yang disebut
coping mechanism atau yang lebih jangka panjang yang disebut adaptive mechanism.
Mekanisme dalam menghadapi perubahan dalam jangka pendek terutama bertujuan untuk
mengakses pangan (entitlement), sedangkan jangka panjang bertujuan untuk memperkuat
sumber-sumber kehidupannya (livelihood assets). Ketidakmampuan menyesuaikan diri dalam
jangka pendek akan membawa ke kondisi rawan pangan. Penyesuaian rawan pangan yang
tidak memperhitungkan aspek penguatan sumber-sumber kehidupan dalam jangka panjang
justru tidak akan menjamin keberlanjutan ketahanan pangan individu dan rumahtangga.
4.4.2. Faktor Iklim Buruk Picu Krisis Pangan
Cuaca yang tak menentu dapat menjadi penyebab krisis pangan yang melanda tanah
air. Sebut saja, kasus melambungnya harga cabai rawit bulan atau tahun yang lalu disusul
dengan melonjaknya harga beras dan kebutuhan pokok lainnya, gejolak fluktuasi harga
pangan masih terus terjadi. Pemerintah sendiri terus berinisiatif untuk melakukan impor
dalam mengatasi krisis pangan yang dipicu dari faktor iklim.
Saat musim hujan secara terus menerus membuat para petani resah karena jatah mereka
panen pun berkurang bahkan terancam gagal panen. Hal ini pun mendapat perhatian khusus
pemerintah sehingga mengeluarkan inpres tentang pengamanan produksi beras nasional
dalam menghadapi kondisi iklim ekstrim.
Ada 10 langkah yang dapat ditempuh untuk peningkatan produksi beras, yaitu:
1) Mendorong sejumlah provinsi sentra produksi padi untuk menggunakan benih unggul
bersertifikat
2) Melakukan pendataan penggilingan padi dan mengupayakan menekan kehilangan gabah
di penggilingan padi.
3) Mengoptimalkan pemanfaatan lahan rawa untuk mengejar tambahan produksi
4) Meningkatkan indeks pertanaman di sejumlah daerah yang masih lebih rendah ari rata-
rata nasional.
5) Membuat analisa resiko terhadap iklim yang dipetakan hingga ke kecamatan
6) Mengintensifkan lahan
7) Menjaga ketersediaan benih
8) Pengendalian organisme pengganggu tanaman
9) Mengoptimalkan petugas lapangan/ penyuluh
10)Mendorong penganekaragaman dan konsumsi nasional
(Sumber: Kementrian Pertanian).
4.4.3. Strategi Produksi
Sektor pertanian masih merupakan sumber pendapatan utama bagi mayoritas
penduduk Indonesia. Sekitar 40 % penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian, serta
sebagian besar adalah petani tanaman pangan. Ciri-ciri petani tanaman pangan ini adalah :
a) Sebagian besar umumnya berada di daerah Jawa
b) Mempunyai lahan yang sempit dan umumnya sekitar 0.3 hektar
c) Tingkat pendidikan sangat rendah
d) Penguasaan modal yang sangat rendah dan umumnya banyak yang tergolong miskin
e) Sangat taat menanam tanaman pangani, dengan elastisitas penawaran terhadap
perubahan harganya kurang dari 0.3.
f) Sangat minded terhadap penggunaan pupuk dengan elastistitas permintaan pupuk
terhadap perubahan harga pupuk sebesar 0.0805 (untuk urea)
g) Umumnya dalam usahatani mengutamakan penggunaan tenaga kerja dalam keluarganya
sendiri.
h) Dalam perhitungan usahataninya, para petani tidak memperhitungkan sewa lahan
maupun tenaga kerja dalam keluarga.
Petani semacam ini disebut sebagai Peasant , yakni petani kecil yang menjalankan
usahatani dengan serba keterbatasan. Perilaku rumah tangga petani skala kecil ini umumnya
bersifat semi komersial yang berperan sebagai produsen, konsumen dan pensuplai tenaga
kerja, dimana keputusan dalam usahataninya tidak dapat terpisahkan dengan keputusan
aktifitas rumah tangganya.
Peran ganda yang dimiliki peasant, yaitu sebagai produsen sekaligus konsumen
menyebabkan adanya pola pengambilan keputusan yang unik dalam rumah tangga petani.
Oleh karenanya teori maksimisasi keuntungan neoklasik dengan memandang peasant sebagai
produsen tidak bisa dipertahankan. Fenomena ini juga terjadi dalam rumah tangga petani
pangan di Indonesia, dimana terdapat adanya alokasi silang penggunaan sumberdaya antara
kebutuhan produksi dan kebutuhan konsumsi. Akibat kenyataan ini kebijakan pemerintah
dalam rangka meningkatkan produktifitas usahatani yang hanya bertumpu pada kebijakan on
farm seperti melalui inovasi teknologi, perkreditan dan kebijakan harga, pembenahan sistem
pemasaran seringkali mengalami kegagalan. Hal ini terjadi karena keputusan dalam proses
usahataninya sangat berkaitan dengan keputusan kegiatan off farm maupun keputusan dalam
konsumsi baik konsumsi pangan maupun non pangan seperti pendidikan dan kesehatan.
Dengan kata lain tidak tampak tegas terpisah antara pengelolaan sektor produksi dengan
pengelolaan sektor konsumsi dalam suatu rumah tangga petani.
Rumah tangga adalah pengambil keputusan dalam menjalankan produksi dan
konsumsi serta hubungannya dengan alokasi waktu. Dalam memahami proses pengambilan
keputusan di rumah tangga petani terutama dalam kegiatan produksi dan konsumsinya, dapat
digunakan model yang menganalisis kegiatan atau perilaku rumah tangga petani.
Model tersebut yaitu Agriculture Household Model. Dalam memaksimumkan fungsi
kepuasannya melalui konsumsi barang dan konsumsi waktu, rumahtangga diasumsikan
mengikuti model dasar seperti pada persamaan (1). Kepuasannya rumah tangga (U) adalah
fungsi dari konsumsi barang yang dihasilan rumah tangga (Xa), konsumsi barang yang
dibeli pasar (Xm) dan konsumsi waktu santai (Xi).

4.4.4. Intensifikasi Produksi


Program ini diarahkan untuk peningkatan produksi melalui peningkatan produktifitas
usaha pertanian. Intensifikasi dapat ditujukan pada lahan-lahan pertanian subur dan
produktif yang sudah merupakan daerah lumbung pangan seperti Kerawang, Subang dan
daerah pantura lainya di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan propinsi lainnya.
Penekanan program ini pada peningkatan pertanaman (dari 1 menjadi 2, dari 2 kali menjadi 3
kali ) dan ketepatan masa tanam didukung oleh adanya peralatan pertanian, kebutuhan air
(jaringan irigasi baru), pupuk dan benih serta pengendalian hama penyakit terpadu.

4.4.5. Diversifikasi Produksi


Kegiatan diversifikasi ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan pokok alternatif
selain beras, penurunan konsumsi beras dan peningkatan konsumsi pangan pokok alternatif
yang berimbang dan bergizi serta berbasis pada pangan lokal. Diversifikasi dilakukan dengan
mempercepat implementasi teknologi pasca panen dan pengolahan pangan lokal yang telah
diteliti ke dalam industri. Dukungan sektor alat dan mesin dan kredit menjadi penting pada
saat transformasi dari skala laboratorium menjadi skala industri agar proses produksi
berjalan efisien.
4.4.6. Kontinyuitas Produksi
Salah satu aspek penting dalam pengembangan agribisnis adalah bahwa kualitas hasil
sama pentingnya dengan kuantitas dan kontinuitas hasil. Disamping faktor tanah,
produktivitas pertanian sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air dan berbagai unsur iklim.
Namun dalam kenyataannya, iklim/cuaca sering seakan-akan menjadi faktor pembatas
produksi. Hal tersebut disebabkan kekurang selarasan sistem usahatani dengan iklim akibat
kekurang mampuan kita dalam memahami karakteristik dan menduga iklim, sehingga upaya
antisipasi resiko dan sifat ekstrimnya tidak dapat dilakukan dengan baik. Akibatnya, sering
tingkat hasil dan mutu produksi pertanian yang diperoleh kurang memuaskan dan bahkan
gagal sama sekali.
Sesuai dengan karakteristik dan kompleksnya faktor iklim, maka kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam memodifikasi dan mengendalikan iklim sangat
terbatas. Oleh sebab itu pendekatan yang paling efektif untuk memanfaatkan sumber daya
iklim adalah menyesuaikan sistem usahatani dan paket teknologinya dengan kondisi iklim
setempat. Penyesuaian tersebut harus didasarkan pada pemahaman terhadap karakteristik
dan sifat iklim secara baik melalui analisis dan interpretasi data iklim.
Keuntungan yang diharapkan dari sistem agroforestri ini ada dua yaitu produksi dan
pelayanan lingkungan. Sistem agroforestri dapat menggantikan fungsi ekosistem hutan
sebagai pengatur siklus hara dan pengaruh positif terhadap lingkungan lainnya, dan di sisi lain
dapat memberikan keluaran hasil yang diberikan dalam sistem pertanian tanaman semusim.
Agroforestri mempunyai banyak bentuk, bila ditinjau dari segi ruang dan waktu. Ditinjau dari
segi ruang agroforestri mencakup dua dimensi yaitu vertical dan horizontal. Pada dimensi
vertikal, peran agroforestri terutama berhubungan erat dengan pengaruhnya terhadap
ketersediaan hara, penggunaan dan penyelamatan (capture) sumber daya alam. Bila ditinjau
dari segi waktu, dua komponen agroforestri yang berbeda dapat ditanam bersamaan atau
bergiliran. Pola Kombinasi tanaman kehutanan dan pertanian sistem agroforestri harus
memperhatikan ketersediaan hara dalam tanah terutama dari segi pemilihan jenis dan
pergiliran tanaman pertanian. Agar tanah tidak terkuras unsur hara maka perlu dibuat
pergiliran tanaman pertanian yang dikombinasikan dengan tanaman kehutanan. Setelah
beberapa kali penanaman dan panen tanaman pertanian perlu digantikan dengan tanaman
kacang-kacangan yang termasuk dalam jenis leguminosae. Jenis ini dapat bersimbiosis dengan
bakteri penambat nitrogen untuk menyuburkan tanah kembali.
Pergiliran tanaman ini juga perlu dilakukan terutama ketika lahan sudah ditanam
dengan ubi kayu / singkong (Manihot sp). Singkong (Manihot sp) merupakan tanaman yang
sangat rakus karena menguras unsur hara di dalam tanah.

4.4.7. Suistinabilitas Produksi


Pengembangan agribisnis palawija memiliki keterkaitan langsung dengan upaya
pemantapan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan. Pengembangannya juga akan
mendukung program diversifikasi pangan dan pertanian. Mengikutsertakan palawija dalam
pola pertanaman diyakini mampu memantapkan tingkat, stabilisasi, dan kontinuitas
pendapatan rumah tangga petani. Diversifikasi usaha tani dengan mengikutsertakan palawija
juga diyakini mampu menjamin keberlanjutan usaha tani padi di lahan sawah. Pengembangan
produk palawija melalui pengembangan agroindustri, memiliki keterkaitan kebelakang yang
relatif kuat, sehingga strategis sebagai instrumen peningkatan nilai tukar dan kesejahteraan
petani.
4.5. Strategi Diversifikasi Pangan: Makan Beragam, Bergizi Seimbang dan Aman
Makan beragam dan bergizi seimbang merupakan satu kesatuan konsep ketahanan
pangan bagi setiap orang dan rumahtangga agar dapat hidup sehat, aktif dan produktif.
Pangan bergizi belum tentu aman, beragam dan seimbang; sebaliknya pangan yang beragam
belum tentu dikonsumsi seimbang antar kelompok pangan dan antar waktu makan dalam
memenuhi kebutuhan gizi setiap orang dan rumahtangga.
Dalam konteks penganekaragaman konsumsi pangan, gerakan makan beragam, bergizi
seimbang dan aman dilihat sebagai upaya: (1) peningkatan pemenuhan kalori masyarakat per
kapita untuk mencapai kondisi ideal, (2) memberikan pemahaman kepada anggota
masyarakat bahwa pangan yang dikonsumsi secara beragam, bergizi seimbang dan aman
sangat diperlukan, (3) untuk menumbuhkan dan menanamkan pola makan sehari-hari yang
beragam, bergizi seimbang dan aman kepada lingkungan rumahtangga, dan (4) mendorong
pengenalan, pengkajian dan pemanfaatan pangan-pangan lokal non-beras sebagai pangan
alternatif yang memiliki nilai gizi dan nilai ekonomi yang cukup baik.
Kerangka pikir gerakan makan beragam, bergizi seimbang dan aman dalam mencapai
sasaran yang ditetapkan, dapat diperhatikan pada bagan berikut:

Gambar 4.2. Bagan Kerangka pikir gerakan makan beragam,


bergizi seimbang dan aman

Adapun langkah-langkah operasional, daerah sasaran dan output yang diharapkan dari
gerakan makan beragam, bergizi seimbang dan aman dapat dilihat pada bagan berikut:
Gambar 4.3. Langkah-langkah operasional, daerah sasaran dan output
yang diharapkan dari gerakan makan beragam, bergizi seimbang dan aman

Anda mungkin juga menyukai