Anda di halaman 1dari 33

DEFINISI

Fraktur terbuka adalah diskontinuitas struktur tulang yang mempunyai


hubungan dengan lingkungan luar melalui sebuah luka. Fraktur terbuka
berhubungan dengan risiko infeksi yang tinggi akibat kontaminasi luka yang
terjadi pada saat trauma. Oleh karena itu, selain penyembuhan dari fraktur dan
mengembalikan fungsi ekstremitas, tujuan penanganan dari fraktur terbuka yang
penting adalah adalah pencegahan infeksi.
Komplikasi yang paling sering timbul pada fraktur terbuka adalah infeksi.
Infeksi bisa berasal dari flora normal di kulit ataupun bakteri pathogen khususnya
bakteri gram (-). Infeksi nosokomial juga sering sebagai penyebab infeksi luka
pada fraktur terbuka. Kuman yang paling sering dijumpai adalah Staphylococcus
aureus.

EPIDEMIOLOGI
Frekuensi fraktur terbuka bervariasi tergantung factor geografis dan
sosioekonomi, ppulasi penduduk, dan trauma yang terjadi. Dari data yang diambil
dari Universitas Gadjah Mada didapatkan insidensi fraktur terbuka sebesar 4%
dari seluruh fraktur terbuka dengan rasio laki-laki dan perempuan sebesar 3,64:1
dan untuk kelompok usia mayoritas pada usia decade 20 sampai 30, dimana
mobilitas dan aktifitas fisik tergolong tinggi. Sedangkan insiden fraktur terbuka di
Edinburgh Orthopaedic Trauma Unit di Skotlandia mendata sebanyak 21,3 kasus
per 100.000 dalam setahun. Yang terbanyak adalah fraktur diafisis pada tibia
(21,6%), lalu pada femur (12,1%), radius dan ulna (9,3%), dan humerus (5,7%).
Pada tulang panjang, fraktur terbuka diafiseal (15,3%).

ETIOLOGI
Sachdeva membagi etiologi fraktur menjadi tiga, yaitu cedera traumatic,
fraktur patologik dan cedera spontan. Cedera traumatic pada tulang bisa
disebabkan karena cedera langsung atau pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah secara spontan, cedera tida langsung berada jauh dari lokasi
benturan, dan fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot
yang kuat. Fraktur patologis merupakan suatu keadaan dimana terjadinya fraktur
tulang akibat proses penyakit dimana trauma minor dapat menyebabkan fraktur.
Fraktur patologik terjadi apabila terdapat tumor tulang baik
jinak maupun ganas, terdapat infeksi pada tulang seperti pada osteomyelitis, dan
pada rakhitis. tingkat keparahan cedera fraktur terbuka berhubungan
langsung dengan lokasi dan besarnya gaya yang mengenai tubuh. Ukuran luka
bisa hanya beberapa millimeter hinggaterhitung diameter. Tulang yang
fraktur bisa langsung terlihat atau tidak terlihat pada luka. Fraktur
terbuka lainnya dapat mengekspos banyak tulang dan otot, dapat merusak saraf
serta pembuluh darah sekitarnya. Penyebab lain fraktur terbuka selain trauma bias
karena kecelakaan kerja maupun luka tembak.

KLASIFIKASI
Menurut Gustilo, fraktur terbuka dapat dikelompokkan menjadi tiga
kelompok besar berdasarkan mekanisme cedera, derajat kerusakan jaringan lunak,
konfigurasi dari fraktur itu sendiri, dan derajat kontaminasi luka. Sehingga insiden
infeksi luka, delayed-union dan non-union, amputasi, dan kecacatan fungsi
ekstremitas sangat dipengaruhi oleh tipe fraktur.
Pada fraktur terbuka tipe I, luka yang menghubungkan fraktur dengan
lingkungan luar berukuran kurang dari 1 cm. Pada umumnya berupa luka tusuk
yang relatif bersih akibat tusukan fragmen tulang yang tajam melalui kulit.
Kerusakan jaringan lunak pada tipe I ini ringan dan tidak ditemukan tanda-tanda
crush injury. Konfigurasi frakturnya dapat berupa fraktur sederhana, transverse,
atau short oblique dengan kominusi yang minimal.
Pada fraktur terbuka tipe II, luka berukuran lebih dari 1 cm tanpa disertai
dengan kerusakan jaringan lunak yang luas, flap, maupun avulsi. Pada tipe ini
juga ditemukan tanda-tanda crush injury ringan hingga sedang, dengan
kontaminasi menengah. Konfigurasi frakturnya disertai dengan kominusi yang
menengah.
Fraktur terbuka tipe III ditandai dengan kerusakan jaringan lunak yang
luas, meliputi otot, kulit, dan struktur neurovaskuler. Konfigurasi fraktur pada tipe
ini disertai dengan derajat kominusi yang berat. Fraktur terbuka pada tipe ini dapat
dibagi menjadi tiga subtipe. Pada tipe IIIA, walaupun disertai dengan laserasi
yang luas, pembentukan flap dan derajat kominusi fraktur yang berat, namun
jaringan lunak masih dapat menutupi daerah faktur secara adekuat. Pada subtipe
ini termasuk fraktur kominutif atau segmental akibat high energy trauma tanpa
menghiraukan ukuran dari luka. Fraktur terbuka tipe IIIB berhubungan dengan
cedera yang luas atau kehilangan jaringan lunak, disertai dengan periosteal
stripping dan bone expose, kontaminasi yang masif, dan derajat kominusi yang
berat. Setelah dilakukan debridement dan irigasi, segmen tulang masih terekspos
dan membutuhkan flap untuk menutupinya. Pada tipe IIIC meliputi semua fraktur
terbuka yang disertai dengan cedera vaskular yang harus diperbaiki, tanpa
memperhatikan derajat cedera pada jaringan lunak.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Penderita fraktur terbuka biasanya dating dengan suatu trauma,
baik trauma berat maupun trauma ringan dan diikuti ketidakmampuan
untuk menggunakan anggota gerak. Riwayat trauma kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari tempat ketinggian, luka tembak dengan kecepatan tinggi
atau pukulan langsung oleh benda berat akan mengakibatkan prognosis
jelek disbanding traum sederhana atau trauma olahraga. Faktor trauma
kecepatan rendah atau trauma kecepatan tinggi sangat pentng
dalammenentukan klasifikasi fraktur terbuka karena akan berdampak
pada kerusakan jaringan tersebut. Penting adanya deskripsi yang jelas
mengenai keluhan penderita, biomekanisme trauma, lokasi, dan derajat
nyerinya serta factor umur dan kondisi penderita sebelum kejadian,
seperti adanya riwayat hipertensi dan diabetes mellitus merupakan factor
penting untuk ditanyakan. Apabila trauma yang menyebabkan fraktur
adalah trauma ringan maka perlu dicurigai lesi patologis.
Keluhan umum penderita adalah nyeri, memar, dan pembengkakan
merupakan gejalayang sering ditemukan, tetapi gejala itu tidak
membedakan fraktur dari cedera jaringan lunak,sehingga perlu
diperhatikan ada tidaknya deformitas dan krepitasi karena lebih
mendukungterjadinya fraktur. Selain keluhan umum, pada anamnesis
juga perlu ditanyakan trauma yangterjadi merupakan trauma langsung
atau trauma tidak langsung serta ada tidaknya luka padadaerah trauma
dan fraktur, penting juga menanyakan mengenai gejala -gejala
cedera yang berkaitan, seperti baal atau hilangnya gerakan, kulit yang
pucat atau sianosis, darah dalam urin,.

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan generalisata meliputi pemeriksaan survey primer yang
terdiri dari Airway, Breathing, Circulation, Disability, dan Exposure.
Setelah melakukan pemeriksaan status generalisata lanjutkan dengan
pemeriksan melakukan pemeriksaan survey sekunder head-to-toe,
kemudian lanjut pemeriksaan status lokalis. Pemeriksaan lokalis yang
dilakukan adalah identifikasi luka secara jelas dan juga menilai apakah
adanya gangguan neurovascular di bagian distal dari lesi. Pulsasi arteri
bagian distal penderita hipotensi, maka nadi akan teraba lemah dan dapat
melemah sehingga dapat terjadi kesalahan dan penilaian vaskular.
Apabila disertai trauma kepala dan tulang belakang maka akan terjadi
kelainan sensasi nervus perifer dari distal lesi, serta perlu dilakukan
pemeriksaan kulit untuk menilai apakah adanya kontaminasi.
Pemeriksaan status lokalis:
Look (Inspeksi)
Pembengkakan, memar, dan deformitas, berupa
penonjolan yang abnormal, angulasi,rotasi, ataupun
pemendekan, mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang
penting adalahapakah kulit itu utuh atau tidak, kalau kulit
robek dan luka memiliki hubungan denganfraktur
menunjukkan bahwa fraktur tersebut merupakan fraktur
terbuka.:
Feel (Palpasi)
Palpasi dilakukan untuk memeriksa temperatur
setempat, nyeri tekan, krepitasi, pemeriksaan &askuler
pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis,
arteridorsalis pedis, arteri tibialis posterior atau sesuai anggota
gerak yang terkena, refilling atau pengisisann arteri pada
kuku, warna kulit pada bagian distal daerah trauma,
serta pengukuran tungkai terutama pada tungkai ba!ah untuk
mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai. Palpasi juga
untuk memeriksa bagian distal dari fraktur merasakan nadi
dan untuk menguji sensasi. Trauma pembuluh darah adalah
keadaandarurat yang memerlukan pembedahan.
Move (Pergerakan)
Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi
lebih penting untuk menanyakan apakah pasien dapat
menggerakkan sendi-sendidi bagian distal cidera. Pergerakan
dengan mengajak penderita untuk bergerak secara aktif dan
apabila tidak bisa, baru dilakukan gerak secara pasif baik
sendi yang berada di proksimal maupun bagian distal cedera.
Pemeriksaan pergerakan harus dilakukan secara hati-hati
karena pada penderita dengan fraktur setiap gerakan akan
menyebabkan nyeri hebat dan kerusakan pada jaringan lunak
seperti pembuluh darah dan saraf.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. X-Ray
Dengan pemeriksaan klinis, biasanya sudah dapat mencurigai adanya
fraktur. Walupun demikian, pemeriksaan radiologis diperlukan untuk
menetukan keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur dengan mengingat
rule of twos, yaitu:
Two views, dengan menggunakan minimal dua jenis proyeksi
anteroposterior (AP) dan lateral harus diambil.
Two joints, dimana kedua sendi yaitu sendi di proksimal dan distal
fraktur juga harus diperiksa
Two limbs, X-ray pada sisi anggota gerak yang tidak cedera
dibutuhkan sebagai pembanding.
Two injuries, trauma keras biasanya menyebabkan cidera lebih dari
satu daerah tulang (multiple).
Two occasions, beberapa fraktur sulit kelihatan pada hasil X-ray.
Sehingga, pemeriksaan dilakukan dua kali, dimana pemeriksaan
diulang dalam satu sampai dua minggu kemudian untuk
menunjukkan lesi yang ada.

b. Pemeriksaan khusus
CT scan dan MRI memperlihatkan hasil yang lebih optimal
pada cidera tulang dan jaringan lunak, namun keduanya sering
tidak diperlukan dan manajemen awal dari fraktur terbuka. CT scan
melihat lebih detail bagian tulang sendi dengan membuat
irisan foto lapis demi lapis (slice). Ini digunakan untuk
mengidentifikasi cidera pada tendon, ligament, tulang
rawan, dan tulang.

PENATALAKSANAAN
Banyak pasien dengan fraktur terbuka mengalami cedera ganda dan syok
hebat. Bagi mereka, terapi yang tepat di tempat kecelakaan sangat penting. Luka
harus ditutup dengan pembalut steril atau bahan yang bersih dan dibiarkan tidak
terganggu hingga pasien mencapai bagian rawat kecelakaan.
Di Rumah Sakit, penilaian umum yang cepat merupakan langkah yang
pertama, dan setiap keadaan yang membahayakan jiwa dapat diatasi. Luka
kemudian diperiksa, idealnya dipotret dengan kamera polaroid. Setelah itu dapat
ditutup lagi dan dibiarkan tidak terganggu hingga pasien berada di kamar bedah.
Empat pertanyaan yang perlu dijawab :
1. Bagaimana sifat luka tersebut.
2. Bagaimana keadaan kulit di sekitar luka.
3. Apakah sirkulasi cukup baik.
4. Apakah saraf utuh.
Semua fraktur terbuka, tidak peduli seberapa ringannya, harus dianggap
terkontaminasi, penting untuk mencoba mencegahnya infeksi. Untuk tujuan ini,
perlu diperhatikan empat hal yang penting :
1. Pembalutan luka dengan segera.
2. Profilaksis antibiotika.
3. Debridement luka secara dini.
4. Stabilisasi fraktur.
Penanganan fraktur terbuka
Pada kasus fraktur terbuka diperlukan ketepatan dan kecepatan diagnosis
pada penanganan agar komplikasi terhindar dari kematian atau kecacatan.
Penatalaksanaan fraktur terbuka derajat III meliputi tindakan life saving dan life
limb dengan resusitasi sesuai dengan indikasi, pembersihan luka dengan irigasi,
eksisi jaringan mati dan debridement, pemberian antibiotik (sebelum, selama, dan
sesudah operasi), pemberian anti tetanus, penutupan luka, stabilisasi fraktur dan
fisioterapi. Tindakan definitif dihindari pada hari ketiga atau keempat karena
jaringan masih inflamasi/ infeksi dan sebaiknya ditunda sampai 7-10 hari, kecuali
dapat dikerjakan sebelum 6-8 jam pasca trauma.
Prinsip penanganan fraktur terbuka derajat III secara umum adalah sebagai
berikut :
1. Pertolongan pertama
Secara umum adalah untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri dan
mencegah gerakan-gerakan fragmen yang dapat merusak jaringan
sekitarnya. Stabilisasi fraktur bisa menggunakan splint atau bandage yang
mudah dikerjakan dan efektif. Luka ditutup dengan material yang bersih
dan steril.
2. Resusitasi
Penatalaksanaan sesuai dengan ATLS (Advance Trauma Life Support)
dengan memberikan penanganan sesuai prioritas (resusitasi), bersamaan
itu pula dikerjakan penanganan fraktur terbuka agar terhindar dari
komplikasi. Kehilangn banyak darah pada frkatur terbuka derajat III dapat
mengakibatkan syok hipovolemik dan dapat diperberat oleh rasa nyeri
yang dapat menyebabkan syok neurogenik. Tindakan resusitasi dilakukan
dilakukan bila ditemukan tanda syok hipovolemik, gangguan nafas atau
denyut jantung karena fraktur terbukaseringkali bersamaan dengan cedera
organ lain. Penderita diberikan resusitasi cairan Ringer Laktat atau
transfusi darah dan pemberian analgetik selama tidak ada kontraindikasi.
Pemeriksaan radiologis dilakukan setelah pasien stabil.
3. Penilaian awal
Pemeriksaan yang teliti dan hati-hati merupakan dasar dalam observasi
dan penanganan awal yang memadai. Fakta-fakta pada pemeriksaan harus
direkam dengan baik termasuk trauma pada daerah atau organ lain dan
komplikasi akibat fraktur itu sendiri.
4. Terapi antibiotik dan anti tetanus serum (ATS)
Pemberian antibiotik sebaiknya diberikan segera mungkin setelah
terjadinya trauma. Antibiotik adalah yang berspektrum luas, yaitu
sefalosporin generasi I (cefazolin 1-2 gram) dan dikombinasikan dengan
aminoglikosid (gentamisin 1-2 mg/kgBB tiap 8 jam) selama 5 hari.
Selanjutnya perawatan luka dilakukan setiap hari dengan memperhatikan
sterilitas, dan pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur dan
sensitifitas terbaru. Bila dalamperawatan ditemukan gejala dan tanda
infeksi, maka dilakukan pemeriksaan kultur dan sensitifitas ulang untuk
penyesuaian ualng pemberian antibiotik yang digunakan. Pemberian anti
tetanus diindikasikan pada fraktur kruris terbuka derajat III berhubungan
dengan kondisi luka yang dalam, luka yang terkontaminasi, luka dengan
kerusakan jaringan yang luas serta luka dengan kecurigaan sepsis. Pada
penderita yang belum pernah mendapat imunisasi anti tetanus dapat
diberikan gemaglobulin anti tetanus manusia dengan dosis 250 unit pada
penderita diatas usia 10 tahun dan dewasa, 125 unit pada usia 5-10 tahun
dan 75 unit pada anak dibawah 5 tahun. Dapat pula diberikan serum anti
tetanus dari binatang dengan dosis 1500 unit dengan tes subkutan0,1
selama 30 menit. Jika telah mendapat imunisasi toksoid tetanus (TT) maka
hanya diberikan 1 dosis boster 0,5 ml secara intramuskular.
5. Debridement
Operasi bertujuan untuk membersihkan luka dari benda asing dan jaringan
mati, memberikan persediaan darah yang baik di seluruh bagian itu. Dalam
anestesi umum, pakaian pasien dilepas, sementara itu asisten
mempertahankan traksi pada tungkai yang mengalami cedera dan
menahannya agar tetap ditempat. Pembalut yang sebelumnya digunakan
pada luka diganti dengan bantalan yang steril dan kulit di sekelilingnya
dibersihkan dan dicukur. Kemudian bantalan tersebut diangkat dan luka
diirigasi seluruhnya dengan sejumlah besar garam fisiologis. Irigasi akhir
dapat disertai obat antibiotika, misalnya basitrasin. Turniket tidak
digunakan karena akan lebih jauh membahayakan sirkulasi dan
menyulitkan pengenalan struktur yang mati. Jaringan itu kemudian
ditangani sebagai berikut :
Kulit
Hanya sesedikit mungkin kulit dieksisi dari tepi luka, pertahankan
sebanyak mungkin kulit. Luka perlu diperluas dengan insisi yang
terencana untuk memperoleh daerah terbuka yang memadai.
Setelah diperbesar, pembalut dan bahan asing lain dapat dilepas.
Fasia
Fasia dibelah secara meluas sehingga sirkulasi tidak terhalang.
Otot
Otot yang mati berbahaya, ini merupakan makanan bagi bakteri.
Otot yang mati ini biasanya dapat dikenal melalui perubahan
warna yang keungu-unguannya, konsistensinya yang buruk, tidak
dapat berkontraksi bila dirangsang dan tidak berdarah. Semua otot
mati dan yang kemampuan hidupnya meragukan perlu dieksisi.
Pembuluh darah
Pembuluh darah yang banyak mengalami perdarahan diikat
dengan cermat, tetapi untuk meminimalkan jumlah benang yang
tertinggal dalam luka, pembuluh darah yang kecil dijepit dengan
gunting tang arteri dan dipilin.
Saraf
Saraf yang terpotong biasanya terbaik dibiarkan saja. Tetapi, bila
luka itu bersih dan ujung-ujung saraf tidak terdiseksi, selubung
saraf dijahit dengan bahan yang tidak dapat diserap untuk
memudahkan pengenalan di kemudian hari.
Tendon
Biasanya, tendon yang terpotong juga dibiarkan saja. Seperti
halnya saraf, penjahitan diperbolehkan hanya jika luka itu bersih
dan diseksi tidak perlu dilakukan.
Tulang
Permukaan fraktur dibersihkan secara perlahan dan ditempatkan
kembali pada posisi yang benar. Tulang, seperti kulit, harus
diselamatkan dan fragmen baru boleh dibuang bila kecil dan lepas
sama sekali.
Sendi
Cedera sendi terbuka terbaik diterapi dengan pembersihan luka,
penutupan sinovium dan kapsul, dan antibiotik sistemik : drainase
atau irigasi sedotan hanya digunakan kalau terjadi kontaminasi
hebat.
Debridement dapat juga dilakukan dengan :
Pembersihan luka
Pembersihan luka dilakukan dengan cara irigasi dengan cairan
NaCl fisiologis secara mekanis untuk mengeluarkan benda asing
yang melekat.
Eksisi jaringan yang mati dan tersangka mati (debridement)
Semua jaringan yang kehilangan vaskularisasinya merupakan
daerah tempat pembenihan bakteri sehingga diperlukan eksisi
secara operasi pada kulit, jaringan subkutaneus, lemak, fasia, otot
dan fragmen-fragmen yang lepas.
Pengobatan fraktur itu sendiri
Fraktur dengan luka yang hebat memerlukan suatu traksi skeletal
atau reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna tulang. Fraktur grade
II dan III sebaiknya difiksasi dengan fiksasi eksterna.
Penutupan kulit
Apabila fraktur terbuka diobati dalam waktu periode emas (6-7
jam mulai dari terjadinya kecelakaan), maka sebaiknya kulit
ditutup. Hal ini tidak dilakukan apabila penutupan membuat kulit
sangat tegang. Dapat dilakukan split thickness skin-graft serta
pemasangan drainase isap untuk mencegah akumulasi darah dan
serum pada luka yang dalam. Luka dapat dibiarkan terbuka setelah
beberapa hari tapi tidak lebih dari 10 hari. Kulit dapat ditutup
kembali disebut delayed primary closure. Yang perlu mendapat
perhatian adalah penutupan kulit tidak dipaksakan yang
mengakibatkan sehingga kulit menjadi tegang.
Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi. Antibiotik
diberikan dalam dosis yang adekuat sebelum, pada saat dan seudah
tindakan operasi.
Pencegahan tetanus
Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan
pencegahan tetanus. Pada penderita yang telah mendapat imunisasi
aktif cukup dengan pemberian toksoid tapi bagi yang belum, dapat
diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin (manusia).
6. Penanganan jaringan lunak
Pada kehilangan jaringan lunak yang luas dapat dilakukan soft tissue
tranplantation atau falap pada tindakan berikutnya, sedangkan tulang yang
hilang dapat dilakukan bone grafting setelah pengobatan infeksi berhasil
baik.
7. Penutupan luka
Pada luka yang kecil dan tidak banyak kontaminasi setelah dilakukan
debridement dan irigasi dapat langsung dilakukan penutupan secara primer
tanpa tegangan. Pada luka yang luas dan dicurigai kontaminasi yang berat
sebaiknya dirawat secara terbuka, luka dibalut kassa steril dan dilakukan
evaluasi setiap hari. Setelah 5 7 hari dan luka bebas dan infeksi dapat
dilakukan penutupan kulit secara sekunder atau melalui tandur kulit. Pada
anak sebaiknya dihindari perawatan terbuka untuk menghindari terjadi
khondrolisis yaitu kerusakan epiphyseal plate akibat infeksi.
Penyambungan tulang pada anak relatif lebih cepat, maka reposisi dan
fiksasi dikerjakan secepatnya untuk mencegahnya deformitas.
8. Stabilitas fraktur
Dalam melakukan stabilitas fraktur awal penggunaangips sebagai
temporary splinting dianjurkan sampai dicapai penanganan luka yang
adekuat, kemudian bisa dilanjutkan dengan pemasangan gips sirkuler atau
diganti fiksasi dalam dengan plate and screw, intermedullary nail atau
external fixator devices sebagai terapi stabilisasi definitif. Pemasangan
fiksasi dalam dapat dipasang setelah luka jaringan luka baik dan diyakini
tidak ada infeksi lagi. Penggunaan fiksasi luar (external fixation devices)
pada fraktur terbuka derajat III adalah salah satu pilihan untuk memfiksasi
fragmen-fragmen fraktur tersebut dan untuk mempermudah perawatan
luka harian.

Imobilisasi Gips (Plaster of Paris)


Penggunaan gips sebagai fiksasi agar fragmen-fragmen fraktur tidak
bergeser setelah dilakukan manipulasi / reposisi atau sebagai pertolongan yang
bersifat sementara agar tercapai imobilisasi dan mencegah fragmen fraktur tidak
merusak jaringan lunak disekitarnya. Keuntungan lain dari penggunaan gips
adalah murah dan mudah digunakan oleh setiap dokter, non toksik, mudah
digunakan, dapat dicetak sesuai bentuk anggota gerak, bersifat radiolusen dan
menjadi terapi konservatif pilihan. Pada fraktur terbuka derajat III, dimana terjadi
kerusakan jaringan lunak yang hebat dan luka terkontaminasi, penggunaan
gips untuk stabilisasi fraktur cukup beralasan untuk mempermudah perawatan
luka. Setelah luka baik dan bebas infeksi penggunaan gips untuk fiksasi fraktur
dapat dilanjutkan untuk menunjang secondary bone healing dengan pembentukan
kalus.
Pemasangan fiksasi
Pemasangan fiksasi dalam sering menjadi pilihan terapi yang paling
diperlukan dalam stabilisasi fraktur pada umumnya termasuk fraktur kruris
terbuka derajat III. Pilihan metode yang dipergunakan untuk fiksasi dalam ada
beberapa macam, yaitu:
1. Pemasangan plate and screws
Pemasangan fiksasi dalam pada fraktur terbuka mempunyai resiko tinggi
terjadi komplikasi infeksi, non-union dan refraktur. Pada penelitian
awalnya pemasangan plat pada fraktur terbuka diketahui telah
memperbaiki fraktur dengan penyambungan kortek langsung tanpa
pembentukan kalus. Osteosit langsung menyeberangi gap antar fragmen
fraktur. Tapi pada kenyataannya terjadi osteogenesis meduler dan sedikit
pembentukan kalus periosteum. Pada penelitian selanjutnya diketahui
bahwa pada pemasangan plat itu sendiri telah mengganggu vaskularisasi
ke kortek tulang oleh plat yang berakibat gangguan aliran darah yang
menyebabkan nonunion. Mengatasi permasalahan ini para pakar AO/ASIF
dari Swiss telah menciptakan antara lain LCDCP (limited contact dynamic
compression plate) dan ada yang membuat inovasi baru dengan
merekonstruksi plat yang non-rigid dengan tidak memasang sekrup yang
banyak sehingga terjadi pembentukan kalus (Matter, 1997 cit. Trafton,
2000 ). Pemasangan plat perlu hati-hati dalam melakukan irisan jaringan
lunak agar tidak terjadi kerusakan periosteum, fascia dan otot karena dapat
mengakibatkan non-union. Penutupan kulit diatas plat sering mengalami
kesulitan dan dapat terjadi nekrosis kulit atau infeksi superfisial. Untuk
pencegahan kerusakan jaringan lunak dilakukan dengan pemasangan plat
dibawah kulit dan sekrup langsung dipasang ke tulang dengan bantuan alat
fluoroskopi.
2. Pemasangan screws or wires
Untuk melakukan fiksasi fraktur diafisis jarang menghasilkan fraktur yang
stabil. Pemasangan screw banyak digunakan dalam fiksasi fraktuur
intraartikuler dan periartikuler, baik digunakan secara tunggal atau
kombinasi bersamaan dengan pemasangan plat atau external fixation
device. (Behrens, 1996).
Pemasangan intramedullary nails/rods
Pada pemasangan reamed intramedullary nails dapat menyebabkan ujung-
ujung fragmen fraktur diafisis mengalami robekan periosteum kehilangan
blood supply sehingga meningkatkan kejadian infeksi dan non-union.
Beberapa penelitian awal menyimpulkan bahwa penggunaan undreamed
intramedullary nails pada fraktur tibia terbuka cukup aman terhadap
vaskularisasi intrameduler dan direkomendasikan untuk stabilisasi fraktur
terbuka derajat I,II dan III A, sedangkan untuk derajat IIIB dan IIIC
sementara disarankan dengan traksi atau fiksasi luar. Secondary nailing
dilaksanakan setelah fiksasi luar dengan syarat tidak ada tanda infeksi
local maupun pin tract infection.
3. Pemasangan external fixation devices
Akhir-akhir ini pakar lebih tertarik pemasangan fiksasi luar daripada
pemasangan plat. Menurut Van der Linden dan Larson (1979) pada
penelitian pemasangan plat disbanding konservatif ternyata angka infeksi
lebih tinggi pada pemasangan plat seperti infeksi superfisial, nekross kulit
dan osteomielitis. Kejadian infeksi pada pemasangan plat akan
memerulkan operasi berulang kali. Sedangkan Clifford et al.( 1988)
menyarankan pemasangan plat dilaksanakan untuk stabilisasi fraktur
terbuka derajat I dan derajat II dan fraktur avulse. Menurut Bach dan
Hansen (1989) yang membandingkan pemasangan plat dengan fiksasi luar
pada fraktur kruris terbuka menyimpulkan bahwa pemasangan plat kurang
ideal pada fraktur terbuka derajat II dan III. ( cit. Court-Brown et al.,
1996). Penggunaan fiksasi luar yang pernah sangat popular di Eropa dan
Amerika mempunyai resiko terjadinya komplikasi pada tempat masuknya
pin (pin tract infection) sebesar 20-42 %, dan resiko terjadi malunion
sebagai akibat reduksi yang kurang memadai dan akibat pelepasan fiksasi
yang terlalu awal setelah lama pemasangan. Pda fraktur diafisis tibia,
pemasangan fiksasi luar dengan unilateral frame external fixator
merupakan indikasi, tetapi pada fraktur yang tibia proksimal atau lebih
distal penggunaan multiplanar external fixator yang lebih cepat. (Court-
Brown et al., 1996).
KOMPLIKASI

Komplikasi umum
Syok, koagulasi difus dan gangguan fungsi pernafasan terjadi selama 24
jam pertama setelah cedera. Juga terdapat reaksi metabolic lambat terhadap cedera
yang terjadi beberapa hari atau beberapa minggu setelah cedera, ini mencangkup
peningkatan katabolisme dan membutuhkan dukungan gizi.
Sindroma peremukan (Crush syndrome)
Sindroma peremukan dapat terjadi kalau sejumlah besar massa otot remuk,
seperti tukang batu yang terjatuh, atau kalau suatu turniket dibiarkan terlalu lama.
Bila kompresi dilepaskan, asam miohematin (sitokrom C), akibat pemecahan otot,
dibawa oleh darah ke ginjal dan menyumbat tubulus. Penjelasan lainnya adalah
terjadinya spasme arteria renalis dan sel tubulus yang anoksia mengalami
nekrosis.
Syok hebat, tungkai yang dilepaskan tidak memiliki nadi dan kemudian
menjadi merah, bengkak dan melepuh, sensasi dan tenaga otot dapat hilang.
Sekresi ginjal berkurang dan terjadi uremia keluaran rendah dengan asidosis.
Kalau sekresi ginjal pulih dalam seminggu, pasien dapat bertahan. Sebagian besar
pasien, kecuali kalau diterapi dengan dialysis ginjal, menjadi semakin mengantuk
dan mati dalam 14 hari.
Untuk menghindari bencana, tungkai yang remuk hebat dan belum
ditangani selama beberapa jam harus diamputasi. Karena itu, kalau turniket
dibiarkan selama lebih dari 6 jam tungkai harus dikorbankan. Amputasi dilakukan
di sebelah atas tempat penekanan dan sebelum tekanan dilepaskan.
Setelah gaya tekan lenyap, amputasi tidak ada manfaatnya. Tungkai harus
tetap dingin dan syok pasien diterapi. Kalau terjadi oliguria, asupan cairan dan
protein dikurangi, karbohidrat diberikan (melalui mulut atau vena besar),
katabolisme protein dikurangi (dengan pemberian neomisin dan steroid anabolik)
dan keseimbangan elektrolit serum dipertahankan. Dialisis ginjal harus dimulai.
Trombosis vena dan emboli paru-paru
Trombosis vena dalam (DVT = deep venous thrombosis) adalah
komplikasi yang paling sering ditemukan pada cedera dan operasi. Insiden yang
sebenarnya tidak diketahui tetapi mungkin lebih besar dari 30 % (Hedges dan
Kakkar, 1988). Trombosis paling sering terjadi dalam vena-vena di btis, dan
jarang dalam vena-vena proksimal dip aha dan pelvis. Thrombosis terutama
berasal dari tempat yang terakhir itu dan fragmen bekunya dibawa ke paru-paru.
Insiden emboli paru-paru setelah operasi ortopedik besar sekitar 5% dan insiden
emboli fatal sekitar 0,5%.
Penyebab utama DVT pada pasien pembedahan adalah hipokoagulabilitas
darah, terutama akibat aktivitas factor X oleh tromboplastin yang dilepas oleh
jaringan rusak. Sekali trombosis telah terjadi, factor-faktor sekunder menjadi
penting, stasis dapat diakibatkan oleh turniket atau pembalut yang ketat, tekanan
terhadap meja bedah dan kasur, dan imobilitas yang lama, kerusakan endotel dan
peningkatan jumlah dan kelengketan trombosit dapat diakibatkan oleh cedera atau
operasi.
Pasien yang terbanyak menghadapi DVT adalah orang tua, pasien dengan
penyakit kardiovaskular, pasien yang tertahan di tempat tidur setelah cedera dan
pasien yang mengalami artroplasti pinggul (dimana pelebaran reaming pada
tulang dan terlalu banyak manipulasi pada tungkai dapat merupakan factor
predisposisi tambahan).
GAMBARAN KLINIK DVT
Pada dasarnya, DVT adalah suatu penyakit yang tersamar yang gejalanya
lebih sering samar daripada nyata. Pasien yang mengalami gejala yang sebenarnya
sudah terserang DVT selama beberapa hari (Ruckle, 1986).
Mungkin terdapat nyeri pada betis atau paha, tetapi setelah cedera atau
operasi, bahkan mereka yang tidak mengeluh harus diperiksa secara teratur untuk
mencari ada tidaknya pembengkakan, nyeri pada jaringan lunak dan sedikit
peningkatan suhu dan kecepatan nadi yang muncul tiba-tiba. Secara khas, pada
trombosis betis terdapat peningkatan nyeri pada dorsiflesi kaki (tanda Homans).
Diagnosis dan juga tempat trombosis yang tepat, dapat ditetapkan dengan
venografi asendens yang harus dilakukan secara bilateral. Diantara metode non-
infansif, scanning altrasonik mode B sangat akurat untuk mendeteksi DVT
proksimal, peristiwa pendahulu yang paling bermakna untuk emboli paru-paru.
Metode detteksi yang kurang dipercaya adalah pengukuran ambilan fibrinogen
berlabel iodine radioaktif dalam bekuan atau penggunaan teknik Doppler untuk
mengukur aliran darah.
Embolisme paru-paru, yang hamper selalu berasal dari pelvis atau paha
dan bukannya betis, sulit didiagnosis secara meyakinkan. Hanya sedikit pasien
yang mempunyai tanda-tanda, misalnya nyeri dada, sesak nafas atau hemoptisis.
Pasien kadang-kadang terserang nyeri dada mendadak, berubah pucat dan mati.
Semua pasien DVT harus diperiksa untuk mencari ada tidaknya tanda-tanda
konsolidasi paru-paru. Pada kasus yang mencurigakan, sinar X pada dada,
sintigrafi paru-paru dan angiografi paru-paru mungkin diperlukan untuk
menentukan diagnosis.
Edema tungkai bawah yang kronis dan ulkus kaki (sindroma pasca flebitis)
terjadi pada hamper semua pasien dengan thrombosis iliofemoral dan pada 10%
pasien dengan thrombosis betis.
PENCEGAHAN
Resiko DVT dan emboli paru-paru dapat banyak dikurangi dengan terapi
profilaksis. Tindakan fisik yang sederhana antara lain adalah peninggian kaki
tempat tidur, penggunaan kaus kaki elastic atau kaus kaki pembagi tekanan, dan
terutama sekali penggalakkan latihan dan menyuruh pasien beranjak dari tempat
tidur dan berjalan sesegera mungkin. Tindakan ini lebih efektif bila
dikombinasikan dengan terpai antikoagulan, yang sekarang biasanya dianjurkan
kepada pasien yang diketahui resiko tinggi. Regimen yang biasa adalah heparin
subkutan dosis rendah, 5000 unit sebelum operasi dan krmudian tiga kali sehari
pasca bedah hingga pasien dapat bergerak. Sayangnya, cara ini membawa resiko
meningkatnya perdarahan setelah operasi dan ini merupakan kontraindikasi pada
orang lanjut usia. Akhir-akhir ini, diperkenalkan heparin berbobot molekul
rendah, ini sama efektifnya dengan heparin yang tidak difraksionisasi untuk
mencegah DVT tetapi katanya tidak begitu berpotensi menyebabkan perdarahan.
Selain itu, pengaruh utamanya adalah para trombosis vena proksimal, penyebab
utama emboli paru-paru.
TERAPI
DVT local dala betis dapat diterapi hanya dengan memasang kaus kaki
elastic dan memberikan heparin subkutan dosis rendah (5000 unit tiga kali sehari)
hingga pasien dapat bergerak sepenuhnya. DVT dan pasti thrombosis vena paha
atau pelvis, atau emboli paru-paru yang telah pasti, harus diterapi sesegera dengan
istirahat di tempat tidur, penggunaan kaus kaki elastic dan antikoagulasi penuh.
Kecenderungan perdarahan dan ulkus peptikum merupakan konttraindikasi.
Heparin diberikan secara intravena, dalam dosis tetap sebesar 10.000 unit
setiap 6 jam, dengan protamin sebagi antidote bila terjadi perdarahan, atau
sebaiknya dalam berbagai dosis yang diatur untuk mempertahankan aktivitas
tromboplastin sebagaian pada 1,5-2,0 kali nilai normal. Ini dilanjutkan selama 5-7
hari. Selama 2 hari terakhir periode ini, diberikan wafarin secara oral dan heparin
dihentikan. Dosis harian wafarin diatur untuk mempertahankan waktu protombin
sekitar dua kali dari normal, terapi dilanjutkan kira-kira selama 3 bulan.
Embolisme paru-paru yang akut dan berat membutuhkan resusitasi
kardiorespiratori, vasopresor untuk syok, oksigen dan heparin dosis besar (15.000
unit). Streptokinase digunakan bekuan dan untuk mencegah pembekuan
selanjutnya. Antibiotika dapat diberikan untuk mencegah infeksi paru-paru.
Tetanus
Organism tetanus hanya berkembang dalam jaringan mati. Organism ini
menghasilkan eksotosin yang menuju susunan saraf pusat lewat darah dan saluran
getah bening perineural dari derah yang terinfeksi. Toksin terkait dalam sel tanduk
anterior sehingga tidak dapat dinetralkan oleh antitoksin.
Tetanus ditandai oleh kontraksi tonik, dan belakangan klonik, terutama
pada otot rahang dan muka (trismus, risus sardonicus), otot dekat luka itu sendiri,
dan kemudian pada leher dan badan. Pada akhirnya, diafragma dan otot interkostal
dapat kejang dan pasien mati karena asfiksia.
PROFILAKSIS
Imunisasi aktif pada seluruh masyarakat dengan toksoid tetanus hamper
mencapai ideal. Bagi pasien yang sudah diimunisasi, dosis booster toksoid
diberikan walaupun luka terseburt kecil. Pada pasien yang belum diimunisasi,
pembersihan luka yang cepat dan menyeluruh disertai antibiotic mungkin
memadai, tetapi kalau luka terkontaminasi dan terutama kalau operasi tertunda,
sebaiknya diberikan antitoksin. Serum kuda banyak membawa resiko anafilaksis,
dan harus digunakan antitoksin manusia (immunoglobulin tetanus). Kesempatan
ini juga digunakan untuk memulai imunisasi aktif dengan toksoid.
TERAPI
Bila tetanus telah terjadi, sebaiknya diberikan antitoksin intravena
(antitoksin manusia sebagai pllihan). Sedasi yang berat dan obat relaksan otot
dapat membantu. Intubasi trakea dan pernafasan terkendali digunakan untuk
pasien dengan kesulitan bernafas dan menelan.
Gas gangren
Keadaan yang mengerikan ini ditimbulkan oleh infeksi klostrodium
(terutama C welchii). Organisme anaerob ini dapat hidup dan berkembang biak
hanya dalam jaringan dengan tekanan oksigen yang rendah, karena itu tempat
utama infeksinya adalah luka yang koto dengan otot yang mati yang telah ditutup
tanpa debridement yang memadai. Toksin yang dihasilkan oleh organisme ini
menghancurkan dinding sel dan dengan cepat mengakibatkan nekrosis jaringan,
sehingga memudahkan penyebaran penyakit itu.
Gambaran klinik timbul dalam 24 jam setelah cedera, pasien mengeluh
nyeri hebat dan terdapat pembengkakan di sekitar luka dan secret yang kecoklatan
dapat ditemukan. Pembentukan gas biasanya tidak sangat nyata. Terdapat sedikit
atau tidak ada demam, tetapi denyut nadi meningkat dan bau yang khas menjadi
jelas. Dengan cepat pasien akan mengalami toksemia dan dapat terjadi koma dan
kematian.
Gas gangren, yang ditandai dengan mionekrosis perlu dibedakan dari
selulitis anaerob, dimana banyak pembentukan gas yang dangkal tetapi toksemia
biasanya ringan. Kegagalan mengenai perbedaan itu dapat mengakibatkan
amputasi yang tidak perlu untuk selulitis yang tidak mematikan.
PENCEGAHAN
Luka yang menembus dalam-dalam pada jaringan otot berbahaya. Luka itu
harus dieksplorasi, semua jaringan yang mati harus dieksisi dan kalau terdapat
sedikit keraguan mengenai kelangsungan hidup jaringan, luka harus dibiarkan
terbuka. Celakanya, tidak ada antitoksinyang efektif untuk C wellchii.
TERAPI
Diagnosis dini adalah kunci terapi untuk menyelamatkan jiwa. Upaya
umum, misalnya penggantian cairan dan pemberian antibiotika intravena dimulai
segera. Oksigen hiperbatik telah digunakan sebagai cara untuk membatasi
penyebaran gangrene. Tetapi cara utama terapi adalah dekompresi luka dengan
segera dan pembuangan semua jaringan yang mati. Pada kasus yang parah,
amputasi mungkin diperlukan.
Emboli lemak
Adanya gumpalan lemak yang diameternya lebih besar daripada 10
mikrometer dalam sirkulasi, dan sedikit tanda-tanda histologist dari emboli lemak
pada paru-paru, terjadi pada sebagian besar orang dewasa setelah fraktur tertutup
pada tulang panjang. Untungnya hanya sejumlah kecil pasien yang mengalami
sindroma emboli lemak, yang sekarang dianggap sebagai bagian dari gangguan
fungsi pernafasan pasca trauma.
Sumber emboli lemak kemungkinan adalah sumber tulang dan keadaan ini
sering ditemukan pada pasien dengan fraktur multiple yang tertutup. Tetapi,
emboli lemak telah dilaporkan pada berbagai jenis kelainan yang bukan
merupakan cedera kerangka (misalnya luka bakar, infark ginjal dan operasi
kardiopulmoner). Patogenesisnya masih diperdebatkan.
GAMBARAN KLINIK
Pasien yang mengalami gejala biasanya orang dewasa muda dengan
fraktur tungkai bawah. Tanda-tanda peringatan dini (dalam 72 jam dalam cedera)
adalah sedikit kenaikan suhu dan denyut nadi. Pada kasus yang lebih berat
terdapat sesak nafas dan sedikit kekacauan mental atau kegelisahan. Petekie harus
dicari pada bagian depan dan belakang dada dan llipatan konjungtiva. Pada kasus
yang paling berat mungkin terdapat gangguan pernafasan yang jelas dan koma
sebagi akibat hipoksia dan sebagian akibat emboli otak. Tanda-tanda pada stadium
ini terutama berupa sindroma gangguan pernafasan pada orang dewasa.
Sesungguhnya, emboli lemak merupakan salah satu dari factor predisposisi utama
terjadinya ARDS (Adult Respiratory Distess Syndrome). Factor-faktor lain yang
penting adalh hipovolemia, penggantian cairan yang tidak tepat dan sepsis.
PEMERIKSAAN KHUSUS
Tidak ada uji yang tak salah untuk emboli lemak, tetapi tanda-tanda yang
cukup konstan adalah hipoksemia. PO2 darah harus selalu dipantau selama 72 jam
pertama pada setiap cedera besar, dan nilai di bawah 60mmHg harus dicurigai.
TERAPI
Pada kasus yang ringan tidak diperlukan terapi, tetapi diperlukan
pemantauan yang tepat pada PO2 darah, dan keseimbangan cairan. Kalau terdapat
tanda-tanda hipoksia, oksigen harus diberikan. Pasien dengan gangguan
pernafasan yang hebat membutuhkan perawatan intensif, dengan sedasi, bantuan
ventilasi dan kateterisasi Swan-Ganz untuk membantu fungsi jantung.
Keseimbangan cairan harus dipertahankan, dan dianjurkan melakukan
upaya pendukung yang lain, contohnya heparin untuk melawan tromboemboli.
Steroid untuk membantu mengurangi edema paru-paru atau aprotinin (Trasylol)
untuk mencegah agregasi kilomikron.
Komplikasi lokal
Komplikasi local dapat timbul lebih dini (selama beberapa minggu
pertama setelah cedera) atau belakangan (dari beberapa minggu sampai beberapa
tahun setelah fraktur). Komplikasi ini selanjutnya dapat dibagi lagi memnjadi
yang mempengaruhi tulang dan yang melibatkan jaringan lunak dan sendi-sendi.
Komplikasi dini tulang
Infeksi
Fraktur terbuka dapat terinfeksi, fraktur tertutup hamper tidak pernah
trinfeksi kecuali kalau dibuka dengan operasi. Infeksi luka pasca trauma sekarang
paling sering menyebabkan osteitis kronis. Keadaan ini tidak mencegah penyatuan
frajtur, tetapi penyatuan akan berjalan lambat dan kesempatan mengalami fraktur
ulang meningkat.
GAMBARAN KLINIK
Terdapat riwayat fraktur terbuka atau operasi pada fraktur tertutup. Luka
itu akan meradang dan mulai mengeluarkan cairan seropurulen. Pemeriksaan
contoh cairan ini dapat menghasilkan stafilokokus atau kuman campuran.
Sekalipun pemeriksaan bakteriologi negative, kalau tanda-tanda klinik pasien
mendukung, pasien harus tetap diobservasi terus-menerus dan terapi antibiotika
intravena diberikan.
TERAPI
Semua fraktur terbuka harus dianggap berpotensi terkena infeksi dan
diterapi dengan pemberian antibiotika dan secara cermat semua jaringan yang
mati dieksisi. Pada infeksi akut, jaringan di sekitar fraktur harus dibuka dan
didrainase. Pilihan antibiotika tergantung pada kepekaan bakteri.
Kalau disertai osteitis kronis, sinus yang mengeluarkan secret harus
dibalut setiap hari dan fraktur harus diimobilisasi agar terjadi penyatuan. Fiksasi
luar berguna dalam kasus semacam itu, tetapi kalau paku intramedula sudah
terlanjur dimasukkan, ini tidak boleh dilepas, yang lebih buruk daripada fraktur
yang terinfeksi adalah fraktur yang terinfeksi adalah fraktur yang terinfeksi serta
tidak stabil.
Komplikasi dini jaringan lunak
Lepuh fraktur
Keadaan ini akibat naiknya lapisan dangkal kulit karena edema, dan
kadang-kadang dapat dicegah dengan pemmbalutan yang erat. Lepuh harus
ditutupi dengan suatu pembalut steril yang kering.
Borok akibat gips
Borok akibat gips terjadi bila kulit menekan langsung pada tulang.
Keadaan ini harus dicegah dengan memberikan bantalan pada tonjolan-tonjolan
tulang dan dengan mengatur bentuk gips yang basah, sehingga tekanan
didistribusikan ke jaringan lunak di sekitar tonjolan-tonjolan tulang. Bila borok
akibat gipas timbul, pasien merasakan nyeri membakar local. Gips harus segera
dipotong untuk membuat jendela, kalau tidak nyeri peringatan akan mereda
dengan cepat dan tanpa diketahui mulai timbul nekrosis kulit.
Robekan serabut otot
Robekan serabut otot sering ditemukan pada setiap fraktur. Kecuali kalau
otot tersebut digunakan secara aktif, serabut yang robek dapat menempel pada
serabut yang tidak robek, kapsul atau tulang. Kalau perlekatan dibiarkan terjadi,
akan diperlukan rehabilitasi yang lama setelah fraktur berkonsolidasi. Fraktur dan
otot yang robek membutuhkan terapi. Lebih baik menangani kedua keadaan
tersebut daripada sendiri-sendiri.

Hematrosis
Fraktur yang melibatkan sendi dapat menyebabkan hemartrosis akut.
Sendi bengkak dan tegang dan pasien terhalang setiap kali mencoba
menggerakkannya. Darah harus diaspirasi sebelum menangani fraktur.
Cedera pembuluh darah
Fraktur yan paling sering disertai kerusakan pada arteri utama adalah
fraktur di sekitar lutut dan siku, dan fraktur batang humerus dan femur. Arteri
dapat terputus, robek, tertekan atau mengalami kontusi, akibat cedera awal atau
sesudahnya akibat fragmen tulang yang lancip. Meskipun penampilan luarnya
normal, intima dapat terlepas dan pembuluh tersumbat oleh thrombus, atau
segmen arteri mungkin mengalami spasme. Efek-efeknya bervariasi mulai dari
pengurangan aliran darah sementara sampai iskemia yang jelas, kematian jaringan
dan gangguan perifer.
Sindroma kompartemen
Fraktur pada lengan dan kaki dapat menimbulkan iskemia hebat sekalipun
tidak ada kerusakan pembuluh besar. Perdarahan, edema atau radang (infeksi)
dapat meningkatkan tekanan pada salah satu kompartemen osteofasia. Terdapat
penurunan aliran kapiler yang mengakibatkan iskemia otot, yang akan
menyebabkan edema lebih jauh, mengakibatkan tekanan yang lebih besar lagi dan
iskemia lebih hebat, suatu lingkaran setan yang berakhir. Setelah 12 jam atau
kurang, dengan nekrosis saraf dan otot dalam kompartemen. Saraf dapat
mengalami regenerasi, tetapi otot sekali terkena infark, tidak dapat pulih dan
digantikan oleh jaringan fibrosa yang tidak elastic (kontraktur iskemik Volkman).
Rangkaian kejadian yang serupa dapat disebabkan oleh pembengkakan suatu
tungkai dalam suatu cetakan gips yang ketat.
Cedera saraf
Fraktur dapat disertai komplikasi cedera saraf. Keadaan ini terutama sering
ditemukan pada fraktur humerus atau cedera di sekitar lutut. Tanda-tanda yang
member petunjuk harus dicari dalam pemeriksaan awal. Pada cedera tertutup,
saraf jarang terputus, dan penyembuhan spontan harus ditunggu. Kalau belum
terjadi penyembuhan dalam waktu yang diharapkan, saraf harus dieksplorasi,
kadang-kadang saraf terjebak diantara fragmen-fragmen dan kadang-kadang
ditemukan terpisah. Pada fraktur terbuka, suatu lesi lengkap (neurotmesis)
kemungkinan besar terjadi. Saraf dieksplorasi selama debridement luka dan
diperbaiki, atau sebagi prosedur sekunder 3 minggu kemudian.

Kompresi saraf akut kadang-kadang terjadi pada fraktur atau dislokasi di


sekitar pergelangan tangan. Keluhan baal atau parestesia dalam distribusi saraf
ulnaris atau medianus harus ditanggapi secara serius dan saraf dengan segera
dieksplorasi dan dilakukan dekompresi.
Cedera visceral
Fraktur pada badan sering disertai komplikasi cedera pada visera yang
dibawahnya, yang paling penting adalah penetrasi pada paru-paru dengan
pneumotoraks yang membahayakan jiwa setelah fraktur tulang rusuk dan rupture
kandung kemih atau uretra pada fraktur pelvis. Cedera ini membutuhkan terapi
darurat, sebelum fraktur ditangani.
Komplikasi belakang tulang
Nekrosis avaskular
Daerah tertrntu dikenal memiliki kecenderungan untuk mengalami iskemia
dan nekrosis tulang setelah cedera. Daerah-daerah itu adalah :
1. Kaput femoralis (setelah fraktur pada leher femur atau dislokasi pada
pinggul).
2. Bagian proksimal dari skafoid (akibat fraktur pada pinggangnya).
3. Lunatum (setelah dislokasi).
4. Tubuh talus (setelah fraktur pada lehernya).
Tepatnya ini adalah komplikasi dini dari cedera tulang karena iskemia
terjadi selama beberapa jam pertama setelah fraktur atau dislokasi. Tetapi, efek-
efek klinik dan radiologi tidak terlihat sampai beberapa minggu atau bahkan
beberapa bulan kemudian.
Penyatuan terlambat
Jangan sekali-kali mengandalkan untuk menentukan kapan terapi dapat
dihentikan. Kalau waktunya terlalu lama, digunakan istilah penyatuan terlambat.
Penyebabnya karena pasokan darah tidak cukup. Bila terjadi fraktur pada tulang
yang tidak memiliki serabut otot, terdapat resiko penyatuan lambat. Tulang yang
mudah terserang antara lain adalah tulang yang cenderung terkena nekrosis
avaskular, dan juga tibia bagian bawah(terutama fraktur ganda).
Infeksi fraktur terbuka lambat untuk menyatu, mungkin karena tidak
banyak hematoma di sekitar fraktur tempat kalus penyelubung terbentuk. Infeksi
dapat menunda penyatuan lebih jauh.
Pembebatan yang tidak benar ini mencangkup :
1. Pembebatan yang tidak mencukupi, karena itu gips standar di
bawah lutut tidak cukup menahan fraktur batang tibia.
2. Traksi yang terlalu banyak, yang menarik tulang hingga terpisah.
Tulang disampingnya utuh kalau satu tulang pada lengan bawah atau kaki
tidak patah, ujung-ujung frajtur pada tulang lainnya dapat tetap terpisah dan
kemudian terjadi penundaan.
Non union
Bila keterlambatan penyatuan tidak diketahui, meskipun fraktur telah
diterapi dengan memadai, cenderung terjadi non-union. Penyebab lain ialah
adanya celah yang terlalu lebar dan interposisi jaringan.
Celah terlalu lebar, kalau permukaan fraktur terpisah terlalu jauh,
penyatuan sangat lama atau mungkin tidak pernah terjadi. Celah dapat diakibatkan
oleh fraktur tembakan yang menghancurkan banyak bagian tulang. Akibat bagian
tulang yang lepas dalam kecelakaan yang menyebabkan fraktur. Reaksi otot
dimana otot pasien sendiri menarik kedua fragmen hingga terpisah (seperti pada
fraktur patela), atau akibat terapi dengan traksi yang berlebih.
Interposisi non-union dapat terjadi bila salah satru dari jaringan berikut ini
berada di antara ujung-ujung tulang periosteum (misalnya selapis periosteum pada
fraktur mata kaki), otot (misalnya fraktur femur dapat menembus otot kuadriseps),
kartilago (misalnya fraktur kondilus lateral humerus dapat demikian terputar
sehingga permukaan sendi kartilaginosa menghadap bahannya).
Malunion
Bila fragmen menyambung pada posisi yang tidak memuaskan (angulasi,
rotasi atau pemendekan yang tidak dapat diterima) fraktur itu dikatakan
mengalami malunion. Penyebabnya adalah tidak tereduksinya fraktur secara
cukup, kegagalan mempertahankan reduksi ketika terjadi penyembuhan, atau
kolaps yang berangsur-angsur pada tulang yang osteoporotik atau kominutif.
Komplikasi belakang-jaringan lunak
Ulkus dekubitus (bed sores)
Ulkus dekubitus terjadi pada manusia atau pasien yang lumpuh. Kulit,
terutama di atas sakrum dan tumit, mudah terserang. Perawatan yang cermat dan
aktivitas lebih awal biasanya dapat mencegah ulkus dekubitus. Sekali ulkus ini
terjadi, terapi sukar, mungkin diperlukan eksisi jaringan nekrotik dan
pencangkokan kulit.
Miotitis osifikans
Oksifikasi heterotopik otot kadang-kadang terjadi setelah cedera, terutama
dislokasi pada siku atau pukulan pada brakialis, deltoid, atau kuadriseps. Diduga
ini akibat dari kerusakan otot, tetapi keadaan ini juga terjadi tanpa cedera lokal
pada pasien yang tidak sadar atau pasien paraplegia.
Tendinitis
Tendinitis dapat menyerang tendon posterior tibialis setelah fraktur
maleolus medial. Tendinitis harus dicegah dengan reduksi yang tepat, kalau perlu
dengan operasi terbuka.
Ruptur tendon
Ruptur belakangan pada tendon ekstensor polisis longus dapat terjadi 6-12
minggu setelah fraktur radius bagian bawah. Penjahitan langsung jarang berhasil
dan ketidakstabilan yang diakibatkannya diterapi dengan memindahkan tendon
ekstensor indisis peoprius ke ujung distal tendon ibu jari yang robek. Ruptur
belakangan pada kaput biseps panjang setelah fraktur leher humerus biasanya
tidak memerlukan terapi.
Kompresi saraf
Kompresi saraf dapat merusak saraf popliteal lateral kalau seorang lanjut
usia atau pasien yang kurus berbaring dengan kaki dalam rotasi luar penuh.
Kellumpuhan radialis dapat terjadi akibat kesalahan dalam penggunaan penopang.
Kedua keadaan itu adalah akibat kurangnya pengawasan.
Terjepitnya saraf
Deformitas tulang atau sendi mungkin mengakibatkan terjepitnya saraf
lokal dengan tanda-tanda yang khas, misalnya rasa baal atau paraestesia,
hilangnya tenaga dan pengecilan otot dalam distribusi saraf yang terkena. Tempat
yang sering terkena ialah :
1. Saraf ulnaris, akibat suatu siku valgus setelah terjadi fraktur kondilus
lateral yang tidak menyatu.
2. Saraf medianus, setelah cedera sekitar daerah pergelangan tangan.
3. Saraf tibialis posterior, setelah fraktur sekitar pergelangan kaki.
Terapinya adalah dengan dekompresi dini terhadap saraf, dalam hal saraf ulnaris
dapat dibutuhkan transposisi anterior.
Kontraktur volkman
Setelah cedera arteri atau suatu sindroma kompartemen, pasien dapat
mengalami kontraktur iskemik pada otot yang terkena. Tetapi saraf yang cedera
oleh iskemia kadang-kadang sembuh kembali. Sekurang-kurangnya sebagian,
kerena itu pasien memperlihatkan deformitas dan mengalami kekakuan, tetapi
rasa baal tidak selalu ditemukan. Tempat yang paling sering terkena adalah lengan
bawah, tangan, tungkai bawah dan kaki.
Dalam kasus yang berat yang melibatkan lengan bawah, akan terdepat
pengecilan lengan bawah dan tangan serta sikap cakar pada jemari. Kalau
pergelangan tangan diflekskan secara pasif, pasien dapat mengekstensikan jari,
menunjukkan bahwa deformitas ini terutama adalah akibat kontraktur dari otot
lengan bawah. Pelepasan fleksor-fleksor di origonya dan disepanjang membran
interoseosa di lengan bawah dapat memperbaiki deformitas, tetapi fungsi tidak
lebih baik kalau sensasi dan gerakan aktif tidak dapat dipulihkan. Cangkokan
saraf pedikel dengan menggunakan segmen proksimal saraf medianus dan saraf
ulnaris dapat memulihkan sensasi protektif pada tangan, dan pemindahan
tendon.(ekstensor pergelangan tangan ke fleksor jari dan jempol) akan
memungkinkan genggaman aktif. Pada kasus yang tidak berat, daya kepekaan
saraf medianus dapat amat baik dan dengan pelepasan dan pemindahan tendon
secara tepat, pasien akan memperoleh kembali sejumlah besar fungsi.
Iskemia pada tangan dapat terjadi akibat cedera lengan bawah, atau
pembengkakan pada jari yang disebabkan oleh terlalu ketatnya pembalut atau gips
pada lengan bawah. Otot tangan instrinsik akan mengalami fibrosis dan
memendek, menarik jari ke dalam fleksi pada sendi-sendi metakarpofalangeal,
tetapi sendi-sendi interfalang tetap lurus. Ibu jari teraduksi melintas telapak tangan
(posisi instrinsik plus Bunnell).
Iskemia otot betis dapat terjadi akibat cedera atau pembedahan yang
melibatkan arteri poplitea atau cabang-cabangnya. Ini lebih sering ditemukan
daripada yang biasanya. Gejala, tanda-tanda dan kontraktur yang terjadi
berikutnya mirip dengan gejala setelah iskemia pada lengan bawah. Kadang-
kadang, iskemia dapat menyerang otot instrinsik kaki, menyebabkan jari cakar
pada kaki.
Komplikasi yang belakang-sendi
Ketidakstabilan sendi
Setelah cedera suatu sendi dapat ambruk. Penyebabnya antara lain adalah
berikut :
o Longgarnya ligamentosa, terutama pada lutut, pergelangan kaki, dan
sendi metakarpofalangeal ibu jari.
o Kelemahan otot, terutama kalau pembebatan berlebihan atau lama,
dan latihan tidak cukup (lutut dan pergelangan kaki yang paling
sering terkena)
o Kehilangan tulang, terutama stelah suatu fraktur tembakan atau cedera
terbuka yang berat.
Cedera juga dapat mengakibatkan dislokasi berulang. Tempat yang paling
biasa adalah :
o Bahu, kalau labrum glenoid telah terlepas.
o Patela, kalau setelah dislokasi traumatik, kapsul sembuh dengan
kurang baik.
Bentuk ketidakstabilan yang lebih halus ditemukan setelah fraktur di
sekitar pergelangan tangan. Pasien yang mengeluhkan rasa tidak enak atau
kelemahan yang berkelanjutan setelah cedera pergelangan tangan harus diperiksa
secara lengkap untuk mencari ada tidaknya ketidakstabilan karpal kronis.
Kekakuan sendi
Kekakuan sendi yang terjadi setelah suatu fraktur biasanya terjadi di lutut,
siku, bahu dan sendi-sendi kecil pada tangan. Kadang-kadang sendi sendiri
mengalami cedera. Suatu hemartrosis terbentuk dan mengakibatkan perlekatan
sinovial. Biasanya kekakuan terjadi akibat edema dan fibrosis pada kapsul,
ligamen dan otot di sekitar sendi, atau perlekatan dari jaringan lunak satu sama
lain atau ke tulang yang mendasari. Semua keadaan ini akan lebih buruk bila
imobilisasi berlangsung lama. Selain itu, kalau sendi telah dipertahankan dalam
posisi dimana ligamen terpendek, tidak ada latihan yang akan berhenti
sepenuhnya merentangkan jaringan ini dan memulihkan gerakan yang hilang.
Pada sejumlah kecil pasien dengan fraktur lengan bawah atau kaki,
pembengkakan dini pasca trauma disertai oleh nyeri tekan dan kekakuan progesif
dari sendi-sendi distal. Pasien ini sangat beresiko dapat mengalami distrofi
simpatik reflek (algodistrofi). Apakah ini suatu hal yang sama sekali terpisah
atau hanya suatu perluasan dari reaksi jaringan lunak pasca trauma yang normal
masih tidak jelas. Yang penting adalah mengenali jenis kekakuan ini bila terjadi
dan menganjurkan fisioterapi oleh seorang ahli sampai fungsi normal pulih
kembali.
Algodistrofi (atrofi sudeck)
Pada tahun 1900, Sudeck menguraikan suatu keadaan yang ditandai oleh
osteoporosis yang nyeri pada tangan. Keadaan yang sama kadang-kadang terjadi
setelah fraktur pada tungkai dan sekarang diketahui bahwa ini adalah stadium
akhir dari algodistrofi pasca trauma. Ini jauh lebih sering ditemukan daripada
yang semula dipercaya dan dapat terjadi akibat cedera yang relatif sepele.
Pasien mengeluhkan nyeri yang terus-menerus dan terasa membakar.
Mula-mula terdapat pembengkakan lokal, kemerahan dan kehangatan, di
samping nyeri tekan dan kekakuan sedang pada sendi-sendi yang berdekatan.
Setelah beberapa minggu berlalu kulit menjadi pucat dan mengalami deformitas
yang menetap. Sinar-X secara khas memperlihatkan penipisan tulang.
Lebih cepat keadaan ini dikenal dan terapi dimulai, prognosis akan lebih
baik. Peninggian dan latihan aktif penting setelah semua cedera, tetapi pada
algodistrofi hal tersebut sangat penting. Kalau tidak ada perbaikan di dalam
beberapa minggu, blok simpatik atau obat simpatolitik misalnya guanetidin
intravena dapat membantu. Sekalipun demikian, fisioterapi jangka panjang akan
diperlukan.
Osteoatritis
Fraktur yang melibatkan sendi dapat sangat merusak rawan sendi dan
menyebabkan osteoatritis pasca trauma dalam beberapa bulan. Sekalipun tulang
rawan sembuh, tidak teraturnya permukaan sendi dapat menyebabkan
predisposisi untuk osteoartritis sekunder beberapa tahun kemudian. Tidak banyak
yang dapat dilakukan untuk mencegah keadaan ini sekali fraktur telah menyatu.
Malunion pada suatu fraktur batang dapat sama sekali mengubah
mekanika sendi yang berdekatan dan ini juga dapat menyebabkan osteoartritis
sekunder. Angulasi sisa yang lebih dari 15 derajatpada tulang tungkai bawah
harus dengan hati-hati dinilai efeknya terhadap fungsi sendi dan kalau perlu
dikoreksi oleh osteotoni.
PROGNOSIS
Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat. Dengan
terbukanya barier jaringan lunak, maka patah tulang tersebut terancam untuk
terjadinya infeksi. Seperti kita ketahui bahwa periode 6 jam sejak patah tulang
terbuka, luka yang terjadi masih dalam stadium kontaminasi (golden periode)
dan setelah waktu tersebut, luka berubah menjadi luka infeksi.
Oleh karena itu penanganan patah tulang terbuka harus dilakukan
sebelum golden periode terlampaui agar sasaran akhir penanganan patah tulang
terbuka tercapai walaupun ditinjau dari segi prioritas penanganannya, tulang
secara primer menempati urutan prioritas ke 6.
DAFTAR PUSTAKA

Solomon L, Varwick D, Nayagam S (2010). Principle of fracture. In: Nayagam S,


editor. Apleysystem of orthopaedics and fractures 9th ed. United States:
CRC Press, p. 672-688.
Jonathan C (2012). Open fracture. Orthopedics. Sumber:
http://orthopedics.about.com/cs/brokenbones/openfracture.htm - Diakses
tanggal 07 Agustus 2017.
Arif, M (2012). Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi IV. Jakarta: Penerbitan.
Media Aesculapius: FKUI.

Anda mungkin juga menyukai