OLEH:
KELOMPOK 4 (B4)
Achmad Ali Basri, S.Kep 131523143050
Siwi Sabdasih, S.Kep 131523143049
Riny Pujiyanti, S.Kep 131523143060
Husnah Ardiana, S.Kep 131523143061
Dessy Era P., S.Kep 131523143053
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala.
1.2.2 Tujuan khusus
a. Menjelaskan definisi cedera kepala
b. Menjelaskan etiologi cedera kepala
c. Menjelaskan klasifikasi cedera kepala
d. Menjelaskan mekanisme cedera kepala
e. Menjelaskan patofisiologi cedera kepala
f. Menjelaskan komplikasi cedera kepala
g. Menjelaskan pemeriksaan diagnostik cedera kepala
h. Menjelaskan patofisiologi cedera kepala
i. Menjelaskan penatalaksanaan cedera kepala
j. Menjelaskan asuhan keperawatan cedera kepala
1.3 Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan
pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara umum
agar dapat mengetahui dan memahami mengenai cedera kepala.
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1.2 Etiologi
a. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam : menyebabkan cedera setempat & menimbulkan
cedera local. Kerusakan local meliputi Contusio serebral, hematom serebral,
kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak
atau hernia.
b. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul & menyebabkan cedera menyeluruh (difusi) :
kerusakannya menyebar secara luas & terjadi dalam 4 bentuk: cedera akson,
kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil,
multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer,
cerebral., batang otak atau kedua-duanya (Wijaya, 2013).
2.1.3 Klasifikasi
Cedera kepala menurut Dewantoro, dkk (2007) di klasifikasikan menjadi 3
kelompok berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu:
a. CKR (Cedera Kepala Ringan)
1) GCS > 13
2) Tidak ada fraktur tengkorak
3) Tidak ada kontusio serebri, hematom
4) Dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi <30 menit
5) Tidak terdapat kelainan pada CT scan otak
6) Tidak memerlukan tindakan operasi
b. CKS (Cedera Kepala Sedang)
1) GCS 9-13
2) Kehilangan kesadaran (amnesia) >30 menit tapi < 24 jam
3) Muntah
4) Dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung)
5) Ditemukan kelainan pada CT scan otak
6) Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial
7) Dirawat di RS setidaknya 48 jam
c. CKB (Cedera Kepala Berat)
1) GCS 3-8
2) Hilang kesadaran > 24 jam
3) Adanya kontusio serebri, laserasi/ hematoma intracranial
2.1.5 Patofisiologi
Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung terhadap
jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang membentur sisi luar
tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri dalam rongga tengkorak. Pada
cedera deselerasi, kepala biasanya membentur suatu objek seperti kaca depan
mobil, sehingga terjadi deselerasi tengkorak yang berlangsung tiba-tiba. Otak tetap
bergerak ke arah depan, membentur bagian dalam tengorak tepat di bawah titik
bentur kemudian berbalik arah membentur sisi yang berlawanan dengan titik bentur
awal. Oleh sebab itu, cedera dapat terjadi pada daerah benturan (coup) atau pada
sisi sebaliknya (contra coup).
Sisi dalam tengkorak merupakan permukaan yang tidak rata. Gesekan jaringan
otak tehadap daerah ini dapat menyebabkan berbagai kerusakan terhadap jaringan
otak dan pembuluh darah.
Respon awal otak yang mengalami cedra adalah swelling. Memar pada otak
menyebabkan vasoliditasi dengan peningkatan aliran darah ke daerah tersebut,
menyebabkan penumpukan darah dan menimbulkan penekanan terhadap jaringan
otak sekitarnya. Karena tidak terdapat ruang lebih dalam tengkorak kepala maka
swelling dan daerah otak yang cedera akan meningkatkan tekanan intraserebral
dan menurunkan aliran darah ke otak. Peningkatan kandungan cairan otak (edema)
tidak segera terjadi tetapi mulai berkembang setelah 24 jam hingga 48 jam. Usaha
dini untuk mempertahankan perfusi otak merupakan tindakan penyelamatan hidup.
Kadar CO2 dalam darah mempengaruhi aliran darah serebral. Level normal
CO2 adalah 35-40 mmHg. Peningkatan kadar CO2 (Hipoventilasi) menyebabkan
vasodilatasi dan bengkak otak, sedangkan penurunan kadar CO2 (Hiperventilasi)
menyebabkan vasokontruksi dan serebral iskemia. Pada saat lampau, diperkirakan
bahwa dengan menurunkan kadar CO2 (hiperventilasi) pada penderita cedera
kepala akan mengurangi bengkak otak dan memperbaiki aliran darah otak. Akhir-
akhir ini dibuktikan bahwa hiperventilasi hanya memberikan peranan kecil terhadap
bengkak otak, tetapi berpengaruh besar dalam menurunkan aliran darah otak karena
vasokonstriksi. Hal ini menyebabkan hipoksia serebral. Otak yang mengalami
cedera tidak mampu mentoleransi hipoksia.
Hipoventilasi atau hipoksia meningkatkan angka kematian dengan
mempertahankan ventilasi yang baik pada frekuensi nafas berkisar 15 kali permenit
dan aliran oksigen yang memadai merupakan hal yang sangat penting.
Hiperventilasi profilaksis pada cedera kepala sudah tidak direkomendasikan.
Tekanan intracranial
Dalam rongga tengkorak dan selaput yang membungkus otak terdapat jaringan
otak, liquor serebrospinal. Dan darah peningkatan volume salah satu komponen
akan diikuti dengan pengurangan atau penekanan terhadap masing-masing volume
komponen yang lain karena tengkorak kepala orang dewasa (suatu kotak yang
kaku) tidak dapat mengembang (membesar). Walaupun CSF memberikan toleransi,
namun ruang yang diberikan tidak mampu mentoleransi bengkak otak yang terjadi
dengan cepat. Aliran darah tidak boleh terganggu karena otak membutuhkan suplai
darah yang konstan (oksigen dan glukosa) untuk bertahan hidup. Tidak satu pun
dari komponen yang mendukung otak dapat mentoloransi hal ini, oleh sebab itu,
bengkak otak yang terjadi akan cepat menyebabkan kematian. Tekanan yang
ditimbulkan oleh isi tengkorak disebut tekanan intracranial (ICP). Tekanan ini
biasanya sangat rendah. Tekanan intra kranial dinilai berbahaya jika meningkat
hingga 15mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan di atas 25 mmHg.
Tekanan darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekanan perfusi serebral
(CPP). Nilai CPP diperoleh dengan mengurangkan MABP terhadap ICP. Tekanan
perfusi harus dipertahankan 70 mmHg atau lebih. Jika otak membengkak atau
terjadi pendarahan dalam tengkorak, tekanan intrakranial akan meningkat dan
tekanan perfusi akan menurun. Tubuh memiliki refleks perlindungan
(respons/refleks cushing) yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam
keadaan konstan. Saat tekanan intraserebral meningkat, tekanan darah sistematik
meningkat untuk mencoba mempertahankan aliran darah otak. Saat keadaan
semakin kritis, denyut nadi menurun (bradikardia) dan bahkan frekuensi respirasi
berkurang. Tekanan dalam tengkorak terus meningkat hingga titik kritis tertentu
dimana cedera kepala memburuk dan semua tanda vital terganggu, dan berakhir
dengan kematian penderita. Jika terdapat peningkatan intrakranial, hipotensi akan
memperburuk keadaan. Harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70
mmHg, yang membutuhkan tekanan sistolik 100-110 mmHg pada penderita cedera
kepala.
Sindroma herniasi
Saat otak membengkak, khususnya setelah benturan pada kepala, peningkatan
tekanan intrakranial yang tiba-tiba dapat terjadi. Hal ini dapat mendorong bagian
otak ke arah bawah, menyumbat aliran CSF dan menimbulkan tekanan besar
terhadap batang otak. Hal ini merupakan keadaan yang mengancam hidup di tandai
dengan penurunan tingkat kesadaran yang secara progresif menjadi koma, dilatasi
pupil dan deviasi mata ke arah bawah dan lateral pada mata sisi kepala yang
mengalami cedera, kelemahan pada tungkai dan lengan sisi tubuh berlawanan
terhadap sisi yang mengalami cedera, dan postur deserebrasi (dijelaskan berikut ini)
penderita selanjutnya akan kehilangan semua gerakan, berhenti nafas dan
meninggal. Sindroma ini sering terjadi setelah perdarahan subdural akut. Sindroma
herniasi merupakan satu-satunya keadaan di mana hiperventilasi masih merupakan
indikasi.
Cedera otak anoksia
Cedera pada otak akibat kurangnya oksigen ( misal henti jantung, obstruksi
jalan nafas) mempengarui otak secara serius. Jika otak tidak mendapatkan oksigen
selama 4 hingga 6 menit, kerusakan irreversible hampir selalu terjadi. Setelah
episode anoksia, perfusi korteks akan terganggu akibat spasme yang terjadi pada
arteri kecil pada serebral. Setelah anoksia 4 hingga 6 menit, perbaikan oksigenasi
dan tekanan darah tidak akan memperbaiki perfusi korteks (tidak ada fenomena
reflow) dan cedera anoksia akan terus berlangsung dalam sel otak. Sepertinya
hipotermia mampu melindungi otak terhadap efek tersebut dan terdapat laporan
kasus pasien hipotermia yang diresusitasi setelah mengalami hipoksia selama 1 jam
2.1.6 Konsep Autoregulasi Pada Cedera Kepala
Bentuk khas dari sirkulasi serebral yaitu aliran daran serebral secara
dinamik disesuaikan untuk melindungi aliran darah otak dari perubahan tekanan
perfusi. Aliran darah cenderung tetap konstan pada kisaran tekanan darah sistemik
(autoregulasi serebral). Kedua mekanisme lokal dan kontrol autonomik neural
berperan pada autoregulasi serebral. Peningkatan dan penurunan tekanan arterial
CO2 (PaCO2) akan meningkatkan dan menurunkan aliran tekanan darah serebral
dengan vasodilatasi dan vasokonstriksi serebral yang tidak bergantung pada
autoregulasi serebral (reaktivitas CO2 serebral). Setelah cedera kepala, autoregulasi
aliran darah serebral mengalami gangguan kebanyakan pasien. Pada pasien dengan
cedera kepala berat terjadi gangguan reaktivitas CO2 pada stage awal trauma.
(Dewi, 2013).
Gambaran khusus sirkulasi serebral yaitu aliran darah serebri secara
dinamis berubah untuk memproteksi aliran darah otak dari perubahan tekanan
perfusi.1 Aliran darah serebral cenderung untuk tetap konstan dalam kisaran
tertentu dari tekanan darah serebral. Hal ini dinamakan autoregulasi serebral.
Kedua mekanisme lokal dan kontrol neural autonomik berperan dalam
autoregulasi serebral. Peningkatan dan penurunan tekanan CO2 arterial (PaCO2)
akan meningkatkan dan menurunkan tekanan darah serebral dengan cara
vasodilatasi dan vasokonstriksi serebral. Fenomena ini dinamakan reaktivitas CO2
pada otak. Batasan kisaran tekanan darah dimana autoregulasi serebral bekerja
dimodifikasi oleh PaCO2 dan reaktivitas CO2 pada otak bisa mengganggu
autoregulasi serebral. Autoregulasi merupakan hasil dari karakter intrinsik otot sel
polos vaskuler pada otak.2 Faktor lain berinteraksi dengan tekanan untuk
menentukan derajat kontraksi sel otot polos. Jalur umum melibatkan konduktansi
kalium membran plasma, potensial membran sel otot polos, dan konsentrasi
sitoplasmik kalsium. Mekanisme molekular terlalu kompleks untuk memberikan
prediksi kuantitatif (Dewi, 2013).
Cedera kepala masih menunjukkan penyebab awal morbiditas dan
mortalitas individu dibawah umur 45 tahun di dunia.4 Cedera kepala
menggabungkan stress mekanik pada jaringan otak dengan ketidakseimbangan
antara aliran darah otak (cerebral blood flow/CBF) dan metabolisme,
eksitotoksisitas, pembentukan edema, dan proses inflamasi dan apoptosis.
Pengertian terhadap kaskade injuri multidimensional memberikan pilihan terapeutik
termasuk manajemen tekanan perfusi serebral, ventilasi mekanikal (hiper-), terapi
kinetik untuk memperbaiki oksigenisasi dan mengurangi tekanan intrakranial, dan
intervensi farmakologi untuk mengurangi eksitotoksisitas.
Patofisiologi individual yang tidak bisa diprediksi memerlukan monitoring
otak yang cedera untuk memberikan terapi sesuai dengan status spesifik pasien.
Regulasi aliran darah serebral Sistem saraf pusat jika dihitung merupakan 2% dari
total berat badan (rata-rata berat otak 1300 sampai 1500 gram) memiliki kebutuhan
energi yang tinggi.3 Konsumsi oksigen serebral yaitu 3,5 mL per 100g/mnt yang
mana merupakan 20% dari konsumsi total oksigen tubuh. Pada kondisi yang
normal, aliran darah serebral dijaga pada kisaran aliran yang konstan yaitu 50 mL
sampai 60 mL per 100g/mnt dengan 50 mL oksigen telah diekstraksi setiap menit
dari 700 sampai 800 mL darah. Nilai ekstraksi oksigen tinggi dan perbedaan rata-
rata O2 arteriovenose untuk sistem saraf pusat yaitu 6,3 mL per 100 mL darah.
Aliran darah serebral bergantung pada perbedaan tekanan antara arterial dan vena
sirkulasi serebral dan secara terbalik proporsional terhadap resistensi vaskular
serebral. Tekanan vena pada kapiler darah tidak bisa diukur dan tekanan
intrakranial (intracranial pressure/ICP) sangat dekat dengan tekanan vena, diukur
untuk memperkirakan tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion pressure/CPP).
CPP dihitung sebagai perbedaan antara tekanan arteri rata-rata (mean arterial
pressure/MAP) dan ICP. Nilai ICP normal pada orang dewasa yaitu <10 mmHg dan
peningkatan ambang batas 20 mmHg biasanya diterima untuk memulai terapi
aktif.3 Nilai CPP 60 mmHg umumnya diterima sebagai nilai minimal yang
diperlukan untuk perfusi serebral yang adekuat.
Dua konsep yang penting yaitu:
1) Doktrin Monro-Kelle
2) Kurva volume-pressure
Doktrin Monro-Kelle menyatakan bahwa volume total isi intrakranial
(jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal (CSF) tetap konstan selama
ditampung oleh kompartmen yang rigid (skull), sebagai berikut (Stochett, 2005):
VC = Votak + Vdarah + VCSF
Dengan peningkatan volume dari salah satu bagian bisa memulai kompensasi
dengan penggantian salah satu dari komponen yang lain (Stochett, 2005).
Vena serebral bisa dikonstriksikan, mengakibatkan penurunan volume darah
otak, dan volume CSF bisa menurun karena kombinasi dari peningkatan resorpsi
dan pengaliran CSF ke bagian spinal. Dengan adanya peningkatan volume,
mekanisme kompensasi dimunculkan, sehingga peningkatan lebih lanjut pada
volume menghasilkan peningkatan tajam ICP, memulai gambaran kurva volume-
pressure.
2.1.7 Komplikasi
Menurut Hudak dan Gallo (2010), komplikasi cedera kepala antara lain:
a. Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala
adalah edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguana neurologis
atau akibat dari sindrom distres pernapasan dewasa. Edema paru dapat akibat
dari cedera pada otak yang menyebabkan adanya refleks cushing. Peningkatan
pada tekanan darah sistemik terjadi sebagai respons dari sistem saraf simpatis
pada peningkatan TIK. Peningkatan vasokonstriksi tubuh umum ini
menyebabkan lebih bnyak darah dialirkan ke paru-paru. Perubahan
permeabilitas pembuluh darah peru-peru berperan dalam proses dengan
memungkinkan cairn berpindah ke dalam alveolus. Kerusakan difusi oksigen
dan karbon dioksida dari darah dapat menimbulkan peningkatan TIK lebih
lanjut.
b. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala selama fase akut.
Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan
menyediakan spatel lidah yang diberi bantakan atau jalan napas oral di
samping tempat tidur dan peralatan penghisap dekat dalam jangkauan. Pagar
tempat todur harus tetap dipasang, diberi bantalan pada pagar dengan bantal
atau busa untuk meminimalkan resiko sekunder terhadap cedera karena
kejang. Selama kejang, perawat harus memfokuskan perhatian pada upaya
mempertahankan jalan napas paten ketika mengamati perkembangan kejang
dan mencegah cedera lanjut pada pasien. Jika terdapat waktu yang cukup
sebelum spasitisitas otot terjado, dan rahang terkunci, spatel lidah yang diberi
bantalan, jalan napas oral, atau tongkat gigit plastik harus dipasang diantara
gigi pasien.
Satu-satunya tindakan medis terhadap kejang adalah terapi obat.
Diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan
secara perlahan melalui intravena. Karena obat ini menekan pernapan, maka
frekuensi dan irama pernapasan pasien harus dipantau dengan cermat. Jika
kejang tiak bisa lagi diatasi dengan obat ini, dokter mungkin akan memberikan
fenobarbital atau fenitoin untuk mempertahankan konrol terhadap kejang.
c. Kebocoran Cairan Serebrospinal
Buka hal yang tidak umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan
fraktur tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dar telinga atau hidung.
Ini dapat akibat dari fraktur pada fossa anteroir dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basiliar bagian petrous dari tulang temporal.
2.1.9 Penatalaksanaan
Pedoman penatalaksanaan cedera kepala berat dikembangkan oleh Brain
Trauma Foundation dan American Association of Neurological Surgeons pada
tahun 1995 dan diperbarui tahun 2000 untuk mendiseinasi rekomendasi ilmiah yang
yang paling terkini.
Pengkajian dan penanganan awal pada pasien cedera kepala dimulai segera
setelah cedera, yang seringkali dilakukan oleh tenaga kesehatan pra-rumahsakit.
Penanganan pra-rumahsakit pada pasien cedera kepala berfokus pada pengkajian
system secara cepat dan penatalaksanaan jalan napas definitive, intervensi yang
dapat berdampak positif terhadap hasil akhir pasien karena koreksi dini hipoksia
dan hiperkapnia, yang telah terbukti menyebabkan dan memperburuk cedera otak
sekunder.
Primary Survey
Adalah suatu kegiatan untuk menilai kondisi penderita (diagnostic) sekaligus
tindakan (resusitasi) untuk menolong nyawa. Kunci utama untuk penanganan pada
pasien trauma adalah penanganan pada keadaan yang mengancam nyawa (Jakarta
Medical Service 119 Training Division, 2012).
a) Airway
Kerusakan otak yang irreversible dapat terjadi 6-8 menit setelah anoxia
otak. Oleh karena itu, prioritas pertama dalam penanganan trauma yaitu pastikan
kelancaran jalan nafas, ventilasi yang adekuat dan oksigenasi. Ini meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing,
fraktur tulang wajah, fraktur mandibular atau maksila., fraktur laring atau trakea.
Penanganan airway juga harus dipikirkan adanya dugaan trauma pada vertebra
servikal. Usaha untuk membebaskan airway harus melindungi vertebra servikal.
Vertebra servikal harus sangat hati-hati dijaga setiap saat dan jangan terlalu
hiperekstensi, hiperfleksi atau rotasi yang dapat menggangu jalan nafas. Dalam
hal ini dapat dilakukan dengan posisi kepala dalam keadaan netral, chin lift atau
jaw thrust diperlukan juga pada penanganan airway.
Mekanisme pembersihan pada oropharing sering dilakukan didalam
pembukaan jalan nafas. Dalam hal ini kelancaran jalan nafas yang dibutuhkan
dalam berbagai posisi dapat terjadi dengan dilakukan nasal atau oropharingeal
airway. Jika tindakan pembersihan jalan nafas ini juga tidak berhasil, maka dapat
dilakukan tindakan intubasi endotrakeal. Tindakan ini dinamakan airway
definitive. Pada airway devinitif maka ada pipa didalam trahea dengan balon
(cuff) yang dikembangkan, pipa tersebut dihubungkan dengan suatu alat bantu
pernafasan yang diperkaya oksigen, dan airway tersebut dipertahankan
ditempatnya dengan plester. Penentuan pemasangan airway definitive didasarkan
pada penemuan-penemuan klinis antara lain:
1) Adanya apnea
2) Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara-cara
yang lain
3) Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau
vomitus
4) Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway. Seperti multiple
fraktur pada tulang wajah, kejang-kejang yang berkepanjangan
5) Cedera kepala tertutup yang memrlukan bantuan nafas (GCS=8)
6) Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan
pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah
Intubasi nasotrakeal adalah teknik yang bermanfaaat apabila urgensi
pengelolaan airway tidak stabil. Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind
nasotrakeal intubation) hanya dilakukan padapenderita yang masih bernafas
spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita ya ng apnoe.
Fraktur wajah, frajtur frontalis, fraktur basis cranii, dan fraktur lamina
chiriformis merupakan kontrainidikasi relative untuk intubasi nasotrakeal.
Bila kesemua tindakan diatas juga tidak mampu untuk mengatasi didalam
control airway, tindakan krikotiroidotomi dapat dilakukan. Tindakan ini
dinamakan airway surgical.
b) Breathing
Tindakan kedua setelah airway tertangani adalah ventilasi. Penurunan
oksigen yang tajam (10L/min) harus dilakukan suatu tindakan ventilasi.
Analisa Gas darah dan pulse oximeter dapat membantu untuk mengetahui
kualitas ventilasi dari penderita.
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertikaran gas yang
terjadi ada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan
karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari
paru, dinding dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus di evaluasi
secara cepat.
Tanda hipoksia dan hipercarbia bias terjadi pada penderita dengan
kegagalan ventilasi. Kegagalan oksigenasi harus dinilai dengan dilakukan
observasi dan auskultasi pada leher dan dada melalui distensi vena, devasi
trakeal,gerakan paradoksal pada dada, dan suara nafas yang hanya pada satu
sisi (unilateral).
Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat dalah tension
pneumothorax, flail chest dengan kontusio paru, open pneumothorax, massive
hemothorax. Keadaan-keadaan ini harus dikenali pada saat dilakukan primary
survey. Hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga dan kontusio
paru menggangu ventilasi dalam derajat yang lebih ringan dan harus dikenali
pada saat melakukan secondary survey.
c) Circulation
Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca bedah yang
mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu
keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia, sampai
terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat
dari status henodinamika penderita. Kerusakan pada jaringan lunak dapat
mengenai pembuluh darah besar dan menimbulkan kahilangan darah yang
banyak. Menghebtikan perdarahan yang terbaik adalah dengan tekanan
langsung.
Hipotensi dengan pasien pada multiple trauma selalu disebabkan oleh
kehilangan darah yang banyak. Penanganan segera dengan pemberian larutan
Ringer Laktat secara intravena harus memberikan respons yang baik (2-L pada
dewasa, ana 30ml/kgbb). Peradarahan oleh karena luka yang terbuka dapat di
control dengan penekanan luka secara langsung. Perfusi jaringan dapat di
evaluasi dengan produksi urine dan pengisian kapiler pada ujung-ujung jari
lebih dari 2 menit ini menandakan perfusi jaringan lemah.
Jika hipotensi memberikan respon yang baik pada penanganan pertama,
maka pemberian larutan kristaloid dapat diberikan bahkan sampai dengan
pemberian transfuse darah. Namun jika respon tersebut sedikit atau sama sekali
tidak memberikan respontidak, maka pemberian cairan dengan larutan ringer
laktat (2L) dapat diulang kembali. Kemudian dapat dilakuakn transfuse darah
baik tipe spesifik atau noncross matched universal donor O negative.
Vasopressor tidak boleh diberikan pada pasien dengan syok hipovolemik.
d) Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, serta
ukuran dan reaksi pupil. Suatu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran
adalah metode AVPU :
A : Alert (sadar)
V : Respon terhadap rangsangan vokal (suara)
P : Respon terhadap rangsangan nyeri (pain)
U : Unresponsive (tidak ada respon)
GCS (Glasgow Coma Scale) adalah system skoring yang sederhana dan
dapat meramal kesudahan (outcome) penderita. GCS ini dapat dilakukan
sebagau pengganti AVPU. Bila belum dilakukannya reeavaluasi pada primary
survey, harus dilakukan pada secondary survey pada saat pemeriksaan
neurologis
Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau
penurun an perfusi ke otak, atau disebabkan trauma langsung padaotak.
Penurunan kesadraan menun tut dilakukannya reevaluasi terhadap oksigenasi,
ventilasi, dan perfusi.
e) Exposure
Keadaan dengan laserasi, kontusio, abrasi, swelling, dan deformitas
sering terjadi pada pasien trauma. Cara yang paling aman dengan membuka
paaian penderita secara keseluruhan. Ini dilakukan dengan tujuan untuk
memudahkan dalam memeriksa dan mengevaluasi keadaan penderitra,
mencegah terjadinya displacement pada fraktur meminimalkan resiko terjadiny
komplikasi lebih lanjut. Hypothermia harus dapat dicegah, fungsi jantung harus
baik, terutama bila volume darah turun. Kain yang steril dapat digunakan untuk
menutupi luka yang terbuka dengan tujuan untuk mencegah kontaminasi lebih
lanjut.
Pendekatan perawatan yang benar dan kecepatan dalam memberikan
pertolongan menekan angka kematian hingga 36% (National Traumatic Coma Data
Bank). Prinsip dasarnya sel saraf diberikan kondisi/suasana yang optimal maka
pemulihan akan berfungsi kembali :
a. Penatalaksanaan jalan napas
Langkah awal yang sangat penting dalam merawat pasien cedera kepala karena
hipoventilasi biasa terjadi pada kondisi penurunan kesadaran, dan hipoksia
serta hiperkpnia sangat memperburuk kondisi pasien pada tahap awal cedera.
Evaluasi lanjut terhadap status neurologis dapat memperlihatkan perlunya
terapi hiperventilasi jika terdapat tanda herniasi serebral dan tidak dapat
dikontrol dengan terapi farmakologis awal, pemantauan lebih lanjut aliran
darah serebral.
b. Hiperventilasi
Harus dilakukan hati-hati, dibuat dengan cara menurunkan PCO2 dan
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak, penurunan volume
intracranial ini akan menurunkan TIK. Hiperventilasi yang lama dan agresif
akan menurunkan perfusi otak, terutama bila PCO2 <25mmHg. PCO2 harus
dipertahankan pada 30 mmHg, sehingga bila PCO2 <25mmHg hiperventilasi
harus dicegah.
Penatalaksanaan sirkulasi pada pasien cedera kepala bertujuan meningkatkan
perfusi serebral yang adekuat melalui resusitasi cairan dan penggunaan
vasopresor, jika perlu. Penatalaksanaan TIK untuk menurunkan tahanan
intracranial terhadap aliran darah.
c. Cairan
Cairan intravena : jumlah cairan dalam cedera kepala dipertahankan agar
nomovolemia, kelebihan jumlah cairan akan membahayakan jiwa penderita.
Jangan memberikan cairan hipotonik, penggunaan cairan yang mengandung
glukosa dapat menyebabkan penderita hyperglikemia yang berakibat buruk
pada penderita cedera kepala. Karena itu cairan yang digunakan untuk
resusitasi sebaiknya larutan garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar Natrium
perlu diperhatikan karena hiponatremia akan dapat menyebabkan odema otak
yang harus dihindari.
d. Obat
1) Manitol : digunakan untuk menurunkan tekanan intra kranial, umumnya
dengan konsentrasi 20%, dosis 1gr/kg bb, diberikan bolus intra vena dengan
cepat. Untuk penderita hipotensi tidak boleh karena akan memperberat
hipovolemi.
2) Furosemide : diberikan bersama manitol untuk untuk menurunkan TIK,
kombinasi keduanya akan meningkatkan diuresis, dosis lazim 0,3-0,5 mg/kg
bb IV
3) Steroid : tidak bermanfaat dalam mengendalikan kenaikan TIK dan tidak
memperbaiki hasil terapi, sehingga steroid tidak dianjurkan
4) Barbiturate : bermanfaat menurunkan TIK, karena punya efek hipotensi tak
diberikan pada penderita dengan kondisi tersebut. Tidak dianjurkan pada
resusitasi akut
5) Anti konvulsan : epilepsy pasca trauma terjadi 5% pada penderita trauma
kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Anti konvulsan hanya
berguna untuk minggu pertama terjadinya kejang, tidak minggu yang
berikut, jadi hanya dianjurkan pada minggu pertama saja.
PENATALAKSANAAN CKR (GCS 13-15)
Riwayat
Definisi : GCS 9 - 12
Pemeriksaan Inisial
- ABCDE
- Primary Survey dan resusitasi
- Secondary Survey dan riwayat AMPLE
- Rujuk ke Rumah Sakit dengan fasilitas Bedah Saraf
- Reevaluasi neurologis: GCS
Respon buka mata
Respon motorik
Respon verbal
Refleks cahaya pupil
CT Scan
CEDERA KEPALA BERAT
GCS 8 atau kurang
Diagnostik kedaruratan
Evaluasi trauma ATLS
atau prosedur terapeutik
sesuai indikasi
a. Intubasi endotrakeal
b. Resusitasi cairan
c. Ventilasi (PAC02 35 mmHg)
d. Oksigenasi
e. Sedasi
f. Blokade neuromuscular
(kerja singkat)
Ya hiperventilasi
Herniasi?*
Deteriorasi? manitol (1g/kg)
*
Tidak
Ya
Resolus
CT Scan i?
Tidak
Ya
Lesi
Bedah ?
Tidak Kamar
operasi
Unit perawatan intensif
Pantau TIK
Obati hipertensi
intrakranial
2.1.10 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Cedera Kepala
A. Pengkajian
1) Primary Survey
Adalah suatu kegiatan untuk menilai kondisi penderita (diagnostic)
sekaligus tindakan (resusitasi) untuk menolong nyawa. Kunci utama untuk
penanganan pada pasien trauma adalah penanganan pada keadaan yang
mengancam nyawa (Jakarta Medical Service 119 Training Division, 2012).
f) Airway
Kerusakan otak yang irreversible dapat terjadi 6-8 menit setelah anoxia
otak. Oleh karena itu, prioritas pertama dalam penanganan trauma yaitu
pastikan kelancaran jalan nafas, ventilasi yang adekuat dan oksigenasi. Ini
meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibular atau maksila., fraktur
laring atau trakea. Penanganan airway juga harus dipikirkan adanya dugaan
trauma pada vertebra servikal. Usaha untuk membebaskan airway harus
melindungi vertebra servikal. Vertebra servikal harus sangat hati-hati dijaga
setiap saat dan jangan terlalu hiperekstensi, hiperfleksi atau rotasi yang
dapat menggangu jalan nafas. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan posisi
kepala dalam keadaan netral, chin lift atau jaw thrust diperlukan juga pada
penanganan airway.
Mekanisme pembersihan oada oropharing sering dilakukan didalam
pembukaan jalan nafas. Dalam hal ini kelancaran jalan nafas yang
dibutuhkan dalam berbagai posisi dapat terjadi dengan dilakukan nasal atau
oropharingeal airway. Jika tindakan pembersihan jalan nafas ini juga tidak
berhasil, maka dapat dilakukan tindakan intubasi endotrakeal. Tindakan ini
dinamakan airway definitive. Pada airway devinitif maka ada pipa didalam
trahea dengan balon (cuff) yang dikembangkan, pipa tersebut dihubungkan
dengan suatu alat bantu pernafasan yang diperkaya oksigen, dan airway
tersebut dipertahankan ditempatnya dengan plester. Penentuan pemasangan
airway definitive didasarkan pada penemuan-penemuan klinis antara lain:
1) Adanya apnea
2) Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara-
cara yang lain
3) Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah
atau vomitus
4) Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway. Seperti
multiple fraktur pada tulang wajah, kejang-kejang yang berkepanjangan
5) Cedera kepala tertutup yang memrlukan bantuan nafas (GCS=8)
6) Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan
pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah
Intubasi nasotrakeal adalah teknik yang bermanfaaat apabila urgensi
pengelolaan airway tidak stabil. Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind
nasotrakeal intubation) hanya dilakukan padapenderita yang masih bernafas
spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita ya ng
apnoe. Fraktur wajah, frajtur frontalis, fraktur basis cranii, dan fraktur
lamina chiriformis merupakan kontrainidikasi relative untuk intubasi
nasotrakeal.
Bila kesemua tindakan diatas juga tidak mampu untuk mengatasi
didalam control airway, tindakan krikotiroidotomi dapat dilakukan.
Tindakan ini dinamakan airway surgical.
g) Breathing
Tindakan kedua setelah airway tertangani adalah ventilasi. Penurunan
oksigen yang tajam (10L/min) harus dilakukan suatu tindakan ventilasi.
Analisa Gas darah dan pulse oximeter dapat membantu untuk mengetahui
kualitas ventilasi dari penderita.
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertikaran gas
yang terjadi ada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi
fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Setiap komponen
ini harus di evaluasi secara cepat.
Tanda hipoksia dan hi[ercarbia bias terjadi pada penderita dengan
kegagalan ventilasi. Kegagalan oksigenasi harus dinilai dengan dilakukan
observasi dan auskultasi pada leher dan dada melalui distensi vena, devasi
trakeal,gerakan paradoksal pada dada, dan suara nafas yang hanya pada satu
sisi (unilateral).
Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat dalah
tension pneumothorax, flail chest dengan kontusio paru, open
pneumothorax, massive hemothorax. Keadaan-keadaan ini harus dikenali
pada saat dilakukan primary survey. Hematothorax, simple pneumothorax,
patahnya tulang iga dan kontusio paru menggangu ventilasi dalam derajat
yang lebih ringan dan harus dikenali pada saat melakukan secondary survey.
h) Circulation
Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca bedah yang
mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepatdab tepat di rumah sakit.
Suatu keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia,
sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian
yang cepat dari status henodinamika penderita. Kerusakan pada jaringan
lunak dapat mengenai pembuluh darah besar dan menimbulkan kahilangan
darah yang banyak. Menghebtikan perdarahan yang terbaik adalah dengan
tekanan langsung.
Hipotensi dengan pasien pada multiple trauma selalu disebabkan oleh
kehilangan darah yang banyak. Penanganan segera dengan pemberian
larutan Ringer Laktat secara intravena harus memberikan respons yang baik
(2-L pada dewasa, ana 30ml/kgbb). Peradarahan oleh karena luka yang
terbuka dapat di control dengan penekanan luka secara langsung. Perfusi
jaringan dapat di evaluasi dengan produksi urine dan pengisian kapiler pada
ujung-ujung jari lebih dari 2 menit ini menandakan perfusi jaringan lemah.
Jika hipotensi memberikan respon yang baik pada penanganan pertama,
maka pemberian larutan kristaloid dapat diberikan bahkan sampai dengan
pemberian transfuse darah. Namun jika respon tersebut sedikit atau sama
sekali tidak memberikan respontidak, maka pemberian cairan dengan
larutan ringer laktat (2L) dapat diulang kembali. Kemudian dapat dilakuakn
transfuse darah baik tipe spesifik atau noncross matched universal donor O
negative. Vasopressor tidak boleh diberikan pada pasien dengan syok
hipovolemik.
Klasifikasi perdarahan ini berguna untuk memastikan tanda-tanda dini
dan patofisiologi keadaan syok. Terdapat 4 klasifikasi perdarahan antara
lain:
a) Perdarah kelas 1 (kehilngan volume darah sampai 15%) ; gejala klinis
dari kehilangan volume ini adalah minimal. Bila tidak ada komplikasi,
akan terjadi takikardi minimal. Tidak ada perubahan yang berarti dari
tekanan darah, tekanan nadi, atau frekuensi pernafasan. Pengisisan
transkapiler dan mekanisme kompensasi lain akan memulihkan volume
darah dalam 24 jam.
b) Perdarahan kelas II (kehilangan darah 15% sampai 30%); gejala-gejala
klinis termasuk takikardi (denyut jantung lebih dari 100 pada orang
dewasa) takipnea, dan penurunan tekanan nadi. Perubahan saraf sentral
yang tidak jelas sperti cemas, ketakutan atau sikap permusuhan,
produksi urine hanya sedikit terpengaruh. Ada penderita yang kadang-
kadang memrlukan transfusi darah, tetapi dapat distabilkan dengan
larutan kristaloid pada mulanya.
c) Perdarahan kelas III ( 30% samapi 40% kehilangan volume darah);
Akibat kehilangan darah sebanyak ini (sekitar 2000ml untuk orang
dewasa) dapat sangat parah. Penderitanya hampir selalu menunjukan
tanda klasik perfusi yang tidak adekuat, termasuk takikardi dan takipnea
yang jelas, perubahan penting oada status mental, dan perubahan
tekanan darah sistolik. Dalam keadaaan yang tidak berkomplikasi,
inilah jumlah kehilangan darah paling kecil yang selalu menyebabkan
tekanan sistolik menurun. Penderita dengan kehilangan darah tingkat ini
hamper selalu memerlukan transfuse darah. Keputusan untuk memberi
transfuse darah didasarkan atas respon penderita terhadap resusitasi
cairan semula dan peruse dan oksigenasi organ yang adekuat.
d) Perdarahan kelas IV (lebih dari 40% kehilangan volume darah); Dengan
kehilangan darah sebnayak ini, jiwa penderita terancam. Gejala-
gejalanya meliputi takikardia yang jelas, penurunan tekanan darah
sistolik yang cukuo besar, dan tekanan nadi yang sangat sempit (atau
tekanan diastolic yang tidak teraba). Produksi urine hampir tidak ada,
kesadaran jelas menurun. Kulit teraba dingin dan tampak pucat.
Penderita ini sering kali memerlukan transfuse cepat dan intervensi
pembedahan segera. Keputusan tersebut didasarkan atas respon
resusitasi cairan yang diberikan. Kehilangan lebih dari 50% volume
darah penderita mengaibatkan ketidaksadaran, kehilangan denyut nadi,
dan tekanan darah.
e) Patah tulang panjang dapat menimbulkan perdarahan yang berat.
Fraktur kedua femur dapat menimbulkan kehilangan darah did alam
tungkai sampai 3-4 liter. Menimbulkan syok kelas III. Pemasangan
bidai yang baik akan dapat menurunkan perdarahan secara nyata
dengan mengurangi pergerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade
otot sekitar fraktur. Pada patah tulang terbuka, penggunaan balut tekan
steril umumnya dapat menghentikan oerdarahan. Resusitasi cairan yang
agresif merupakan hal yang penting disamping usaha menghentikan
perdarahan.
i) Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, serta
ukuran dan reaksi pupil. Suatu cara sederhana untuk menilai tingkat
kesadaran adalah metode AVPU :
A : Alert (sadar)
V : Respon terhadap rangsangan vokal (suara)
P : Respon terhadap rangsangan nyeri (pain)
U : Unresponsive (tidak ada respon)
GCS (Glasgow Coma Scale) adalah system skoring yang sederhana dan
dapat meramal kesudahan (outcome) penderita. GCS ini dapat dilakukan
sebagau pengganti AVPU. Bila belum dilakukannya reeavaluasi pada
primary survey, harus dilakukan pada secondary survey pada saat
pemeriksaan neurologis
Penurunan keasadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau
penurun an perfusi ke otak, atau disebabkan trauma langsung padaotak.
Penurunan kesadraan menun tut dilakukannya reevaluasi terhadap
oksigenasi, ventilasi, dan perfusi.
j) Exposure
Keadaan dengan laserasi, kontusio, abrasi, swelling, dan deformitas
sering terjadi pada pasien trauma. Cara yang paling aman dengan membuka
paaian penderita secara keseluruhan. Ini dilakukan dengan tujuan untuk
memudahkan dalam memeriksa dan mengevaluasi keadaan penderitra,
mencegah terjadinya displacement pada fraktur meminimalkan resiko
terjadiny komplikasi lebih lanjut. Hypothermia harus dapat dicegah, fungsi
jantung harus baik, terutama bila volume darah turun. Kain yang steril dapat
digunakan untuk menutupi luka yang terbuka dengan tujuan untuk
mencegah kontaminasi lebih lanjut.
2) Secondary Survey
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Adanya penurunan kesadaran, letargi, mual dan muntah, sakit kepala,
wajah tidak simetris, lemah, paralysis, perdarahan, fraktur, hilang
keseimbangan, sulit menggenggam, amnesia seputar kejadian, tidak bisa
beristirahat, kesulitan mendengar, mengecap dan mencium bau, sulit
mencerna/menelan makanan.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami penyakit system persyarafan, riwayat trauma
masa lalu, riwayat penyakit darah, riwayat penyakit sistemik/pernafasan,
kardiovaskuler dan metabolik.
3) Riwayat Penyakit Keluarga
4) Kebutuhan Dasar
Eliminasi : Perubahan pada BAK/BAB, inkontinensia, obstipasi, hematuria
Nutrisi: Mual, muntah, gangguan mencerna/menelan makanan, kaji bising
usus.
Istirahat: Kelemahan, mobilisasi, tidur kurang.
5) Psikososial
Gangguan emosi/apatis, delirium, perubahan tingkah laku atau
kepribadian.
6) Pengkajian social
Hubungan dengan orang terdekat, kemampuan komunikasi, afasia
motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, disartria, anomia.
7) Nyeri/kenyamanan
Skala kepala dengan intensitas dan lokasi berbeda, respons menarik
pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah.
8) Pengkajian Fisik
a. fungsi kognitif
Fungsi kognitif biasanya dikaji dengan mengajukan tiga pertanyaan
orientasi mengenai orang, waktu, tempat. Akan tetapi penting untuk
mendapatkan riwayat mendetail dari pasien guna memfasilitasi
pendeteksian perubahan yang tersembunyi sepanjang waktu.
b. Pengkajian tingkat keterjagaan
Dalam mengkaji tingkat keterjagaan pada pasien cedera kepala,
stimulus maksimum harus diberikan secara sistematik dan meningkat
untuk mendapatkan secara efektif respon terbaik/ maksimum pasien.
Langkah pertama upaya membangunkan pasien hanya dengan berbicara,
kemudian berteriak, lalu dengan menggoyangkan, dan selanjutnya
dengan memberikan rangsang nyeri. Pendekatan bertahap seperti ini
member pasien kesempatan untuk mendemonstrasikan peningkatan
keterjagaan atau respon sebaliknya.
c. Pengkajian mata
Pengkajian mata meliputi evaluasi pupil dan pergerakan
ekstraokuler, yang membantu dalam melokalisasi area disfungsi otak.
Pengujian saraf cranial II (optikus) pada tempat perawatan akut
mencakup pendeteksian defek lapang pandang dan ketajaman
penglihatan yang besar. Lapang pandang dapat secara adekuat dikaji
melalui kemampuan pasien untuk mendeteksi gerakan jari pemeriksa
pada setiap lapang pandang. Ketajaman penglihatan dapat secara kasar
dikaji dengan meminta pasien membaca kalimat yang dicetak pada satu
halaman atau menggunakan grafik mata snellen. Jika terdapat
kekhawatiran berkenaan dengan gangguan saraf optic, evaluasi lengkap
yang dilakukan oleh dokter spesialis mata direkomendasikan.
Evaluasi saraf cranial III (okulomotorius) meliputi inspeksi pupil,
termasuk ukuran, bentuk, kesamaan, dan reaksinya terhadap cahaya.
Peningkatan TIK dapat menyebabkn ketidakteraturan bentuk, anisokor,
dan tidak adanya atau sangat sedikitnya reaksi terhadap cahaya.
Saraf cranial III, IV dan VI (okulomotorius, troklearis, abdusens)
seringkali dikelompokkan bersama untuk tujuan pengkajian karena
saraf-saraf tersebut menggerakkan mata. Pengkajian saraf-saraf tersebut
dilakukan dengan meminta pasien mengikuti jari pemeriksa ketika jari
tersebut digerakkan menurut pola huruf H. pengihatan ganda adalah
tanda kelemahan otot mata dengan gangguan saraf cranial.
B. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d PTIK
b. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat
pernapasan otak).
c. Nyeri akut b.d agen cedera fisik trauma kepala
d. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d trauma jaringan, kulit rusak, prosedur
invasif.
b. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat
pernapasan otak).
NOC: Respiratory Status
1) Tingkat pernapasan
2) Irama pernapasan
3) Kedalaman inspirasi
4) Suara napas auskultasi
5) Patensi jalan napas
6) Kapasitas vital
7) Saturasi oksigen
8) Tes fungsi paru
NIC: Airway Management
1) Posisikan klien untuk memaksimalkan potensi ventilasi
2) Identifikasi klien yang membutuhkan insersi aktual/potensial napas
3) Berikan terapi fisik dada, yang sesuai
4) Anjurkan pernapasan dalam dan lambat, berbalik dan batuk
5) Berikan bronkodilator yang sesuai
6) Posisikan klien untuk meringankan dispnea
Oxygen Therapy
1) Bersihkan mulut, hidung, dan sekresi trakea yang sesuai
2) Pertahankan patensi jalan napas
3) Berikan oksigen tambahan seperti yang diperintahkan
4) Monitor liter aliran oksigen
5) Monitor posisi perangkat pemberian oksigen
6) Pantau efektivitas terapi oksigen (misalnya, pulse oxymetry, gda) yang
sesuai.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasif.
NOC: Infection Severty
1) Tidak terjadi tanda-tanda infeksi
NIC: Infection Protection
1) Monitor tanda-tanda sistemik dan lokal dari infeksi
2) Kurangi jumlah pengunjung sesuai kebutuhan
3) Inspeksi kondisi dari luka
4) Kolaborasi pemberian antibiotik
5) Ajarkan keluarga pasien tentang tanda-tanda infeksi
6) Ajarkan pada keluarga cara untuk menghindari infeksi
Wound Care
1) Monitor karakteristik luka: warna, ukuran, bau dan drainase
2) Bersihkan dengan normal saline atau pembersih non toxic jika dibutuhkan
3) Pertahankan kesterilan ketika melakukan perawatan luka
4) Ganti dressing luka jika terdapaat drainase atau eksudat sudah banyak
5) Inspeksi luka setiap pergantian dressing luka
6) Beritahukan kepada pasien dan keluarga mengenai tanda-tanda infeksi
2.1.12 WOC Cedera Kepala
Cedera kepala
Terputusnya - Gangguan fungsi luhur
kontinuitas jaringan - Perubahan perilaku
kulit, otot & - Gangguan fungsi motorik
Ekstra Kranial Tulang Kranial
- Afasia Intra Kranial
Vaskuler
Gangguan - Perubahan
- Perdarahan Gangguan Resiko Nyeri neurologis autoregulasi
- Hematoma suplai darah infeksi fokal - Edema serebral
Lobus Frontal
Herniasi unkus
Gangguan fungsi
Lobus oksipital penglihatan
Mesensefalon
tertekan
Lobus temporal - Gangguan
keseimbangan
Gangguan - Gangguan memori
kesadaran Lobus parietal
Gangguan fungsi
sensorik (anosmia,
hipestesi, parestesi, dll)
Resiko Immobilisasi Cemas
injury
IDENTITAS PASIEN
1. Nama Pasien : Ny. E
2. Umur : 47 tahun
3. Suku/ Bangsa : Jawa/ Indonesia
4. Agama : Islam
5. Pendidikan : SMA
6. Pekerjaan : Swasta
7. Alamat : Pangkah Kulon RT 6 RW 11 Gresik
8. Sumber Biaya : BPJS
KELUHAN UTAMA
Penurunan kesadaran
4. Breathing
a. Normal : ya
b. Keluhan sesak : tidak ada
c. RR : 20 x/mnt
Pergerakan dada : simetris
d. Penggunaan otot bantu nafas : tidak ada
e. Irama nafas : teratur
f. Suara nafas : vesikuler
g. Pernafasan cuping hidung : tidak ada
h. Suara perkusi paru : sonor
5. Circulation
a. Nadi Karotis : teraba
Nadi Perifer : lemah
Perdarahan : tidak ada
b. Keluhan nyeri dada : tidak ada
c. Irama jantung : reguler
d. Suara jantung : normal (S1/S2 tunggal)
e. Ictus Cordis : teraba di ICS 5 Mid clavikula line
f. CRT : < 2 detik
g. Turgor : normal
h. Akral/perfusi : hangat, kering, merah
i. Intepretasi EKG : Irama sinus takikardi 106 x/mnt
j. Lain-lain : tidak ada
6. Disability
a. Kesadaran : apatis
a. Gelisah : ya
b. GCS : E = 3, V = 3, M = 5
c. Refleks cahaya : positif
d. Pupil : bulat, isokor, diameter : 2/2 mm
e. Kejang : tidak
f. Hemiparese/plegia : tidak ada (Ekstremitas kiri/ kanan)
g. Refleks fisiologis : patella (+), triceps (+), biceps (+)
h. Refleks patologis : babinsky (-), oppenheim (-), schaefer (-)
Meningeal Sign : kaku kuduk (-), brudzinsky (-), kernig (-)
i. Tanda PTIK : Muntah (+)
j. Curiga Fraktur cervikal : jejas atas clavikula
k. Tanda Fraktur Basis Cranii : Bloody otorhoe
7. Eliminasi
URI
a. Kemampuan berkemih :
Menggunakan kateter urin
Jenis : Foley Kateter
Ukuran : 16
Hari ke :1
b. Produksi urine : 80 ml/jam
Warna : kuning jernih
Bau : uremik
c. Kandung kemih : tidak ada pembesaran/nyeri tekan
ALVI
a. Mulut : bersih
a. Membran mukosa : lembab
b. Tenggorokan : Tidak ada nyeri tekan, pembesaran tonsil (-)
Abdomen : supel
Nyeri tekan : tidak
c. Peristaltik : 8 x/menit, suara bising usus (+)
2. Exposure
Bone dan Integumen
a. Pergerakan sendi: terbatas
b. Kekuatan otot:
5 5
5 5: ya
c. Kelainan ekstremitas
d. Kelainan tulang belakang : tidak ada
e. Fraktur : clavikula sinistra
f. Traksi : tidak ada
g. Penggunaan spalk/gips : tidak ada
h. Kompartemen syndrome : tidak ada
i. Kulit : kemerahan
j. Turgor : baik
k. Luka operasi : tidak ada
l. ROM : terbatas
m. Pitting edema : tidak ada
3. Sistem Endokrin
a. Pembesaran tyroid : tidak ada
b. Pembesaran kelenjar getah bening: tidak ada
c. Hipoglikemia: tidak
d. Hiperglikemia: tidak
TERAPI
1. Inf. PZ
2. Ketorolak 1 amp
3. Ranitidin 1 amp
4. O2 masker NRM 10 lpm
5. Ceftriaxone 1 gram
6. Monitoring tanda-tanda distress nafas
7. Konsul ke THT terkait bloody othorea
Hasil CT-Scan
Keterangan
ANALISA DATA
Vasodilatasi arterial
Edema cerebri
Vasodilatasi arterial
Edema cerebri
Hipoksia cerebri
Dewantoro, G., Suwono, W. J., Riyanto, B., Turana, Y. (2007). Panduan Praktis Diagnosis
& Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.
Dewi, Ni Made Ayu A. 2013. Autoregulasi Serebral Pada Cedera Kepala. Bagian/SMF
Ilmu Kedokteran Bedah Fakultas Kedokteran Udayana.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82587&val=970
Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. 2005. Cedera Kepala. Jakarta: Deltacitra
Grafind.