Anda di halaman 1dari 57

SEMINAR KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN DIAGNOSA MEDIS


COS (CIDERA OTAK SEDANG) + FRAKTUR CLAVIKULA
DI RUANG IGD LANTAI 1 RSUD DR. SOETOMO
SURABAYA

OLEH:
KELOMPOK 4 (B4)
Achmad Ali Basri, S.Kep 131523143050
Siwi Sabdasih, S.Kep 131523143049
Riny Pujiyanti, S.Kep 131523143060
Husnah Ardiana, S.Kep 131523143061
Dessy Era P., S.Kep 131523143053

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS (P3N)


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas,
selain penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit,
penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan
penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi anamnesis dan
pemeriksaan fisik umum serta neurologi harus segera dilakukan secara serentak agar
dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital. (Tobing, 2011).
Di Indonesia jumlah kecelakaan lalu lintas meningkat dari tahun ke tahun.
Menurut data kantor kepolisisan Republik Indonesia (1992-2009) tahun 2007 terdapat
49553 orang dengan korban meninggal 16955 orang, luka berat 20181, luka ringan
46827. Tahun 2008 jumlah kecelkaan 59164, korban meninggal 20188, luka berat
23440 yang menderita luka ringan 55731 orang. Tahun 2009 jumlah kecelakaan
62960, korban meninggal 19979, luka berat 23469, dan luka ringan 62936, (Badan
Pusat Statistik Republik Indonesia).
Pada kasus kecelakaan lalu lintas, sering kali tidak hanya ditemukan kasus cedera
kepala. Dampak dari benturan antar kendaraan juga mengakibatkan jejas dan fraktur di
beberapa bagian tubuh. Dari jenis-jenis fraktur yang sering terjadi adalah fraktur
femur, fraktur meur mempunyai insiden yang sering terjadi diantara jenis-jenis patah
tulang. Umumnya fraktur femur terjadi pada batang femur 1/3 tengah. Fraktur femur
lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun
dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau kecelakaan (Masjoer, 2005).

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala.
1.2.2 Tujuan khusus
a. Menjelaskan definisi cedera kepala
b. Menjelaskan etiologi cedera kepala
c. Menjelaskan klasifikasi cedera kepala
d. Menjelaskan mekanisme cedera kepala
e. Menjelaskan patofisiologi cedera kepala
f. Menjelaskan komplikasi cedera kepala
g. Menjelaskan pemeriksaan diagnostik cedera kepala
h. Menjelaskan patofisiologi cedera kepala
i. Menjelaskan penatalaksanaan cedera kepala
j. Menjelaskan asuhan keperawatan cedera kepala

1.3 Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan
pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara umum
agar dapat mengetahui dan memahami mengenai cedera kepala.

BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Teori Cedera Kepala


2.1.1 Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau
permanent (PERDOSSI, 2007).
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik (Snell, 2006).
Cedera otak adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Hudak & Gallo, 2010).
Cedera kepala primer merupakan cedera mekanis pada otak dan terjadi pada
saat benturan (yaitu, kontusio atau komusio). Sedangkan cedera kepala sekunder
terjadi dalam waktu beberapa detik, jam atau hari setelah cedera primer. Penyebab
cedera sekunder meliputi hipoksemia, hipotensi sistemik, dan tekanan intrakranial
yang terus meningkat. Penyebab cedera mikroskopik mencakup radikal bebas dan
reaksi inflamasi (Oman, McLain, & Scheetz, 2002).

2.1.2 Etiologi
a. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam : menyebabkan cedera setempat & menimbulkan
cedera local. Kerusakan local meliputi Contusio serebral, hematom serebral,
kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak
atau hernia.
b. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul & menyebabkan cedera menyeluruh (difusi) :
kerusakannya menyebar secara luas & terjadi dalam 4 bentuk: cedera akson,
kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil,
multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer,
cerebral., batang otak atau kedua-duanya (Wijaya, 2013).

2.1.3 Klasifikasi
Cedera kepala menurut Dewantoro, dkk (2007) di klasifikasikan menjadi 3
kelompok berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu:
a. CKR (Cedera Kepala Ringan)
1) GCS > 13
2) Tidak ada fraktur tengkorak
3) Tidak ada kontusio serebri, hematom
4) Dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi <30 menit
5) Tidak terdapat kelainan pada CT scan otak
6) Tidak memerlukan tindakan operasi
b. CKS (Cedera Kepala Sedang)
1) GCS 9-13
2) Kehilangan kesadaran (amnesia) >30 menit tapi < 24 jam
3) Muntah
4) Dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung)
5) Ditemukan kelainan pada CT scan otak
6) Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial
7) Dirawat di RS setidaknya 48 jam
c. CKB (Cedera Kepala Berat)
1) GCS 3-8
2) Hilang kesadaran > 24 jam
3) Adanya kontusio serebri, laserasi/ hematoma intracranial

Menurut Wijaya dan Putri (2013) jenis cedera kepala:


a. Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan
jaringan otak. Luka kepala terbuka akibat cedera kepala pecahnya tenkorak atau
luka penetrasi, besarnya cedera pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa
dan bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang
tengkorak menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter
saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/tembakan. Cedera kepala
terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.
b. Cedera kepala tertutup dapat disamakan dengan keluhan geger otak ringan dan
oedem serebral yang luas.

Sedangkan menurut Morton, dkk (2012), Cedera kepala diklasifikasikan


menjadi cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera primer adalah
akibat cedera awal. Cedera awal menyebakan gangguan integritas fisik, kimia dan
listrik dari sel area tersebut, yang menyebabkan kematian sel. Cedera sekunder
meliputi meliputi respon fisiologis cedera otak, termasuk edema serebral, iskemia
serebral, perubahan biokomia, dan perubahan hemodinamika serebral.
a. Cedera otak primer
1) Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering menyebabkan perdarahan dalam jumlah besar
karena vaskularitas kulit kepala, dan sering menunjukkan adanya cedera lain
pada tuang tengkorak dan jaringan otak.
2) Fraktur tulang tengkorak (fraktur basis Cranii)
Tulang tengkorak memberikan perlindungan pada otak dengan
mendistribusikan tekanan keluar, yang mengurangi dampak langsung pada
otak. Penting untuk diingat bahwa pembuluh darah menjalar sepanjang
lekukan tulang permukaan dalam tulang tengkorak. Fraktur yang langsung
mengenai pembuluh darah tersebut dapat mencederai pembuluh darah yang
mengakibatkan hematoma epidural.Fraktur basis kranii (fraktur dasar
tengkorak) dapat menimbulkan perembesan cairan serebrospinal lewat
duramater yang robek. Perembesan cairan serebrospinal yang terus-menerus
dapat mengakibatkan meningitis atau abses (Oman, McLain, & Scheetz,
2012).
Tanda-tanda dan gejala-gejala fraktur basis cranii (Oman, McLain, &
Scheetz, 2012):
a) Sakit kepala
b) Perubahan tingkat kesadaran
c) Ekimosisi
d) Rinore atau otore cairan serebrospinal

Penanganan fraktur basis cranii (Umar Kasan : 2000).


a) Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah
batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.
b) Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu
dilakukan tampon steril (Consul ahli THT) pada bloody
otorrhea/otoliquorrhea.
c) Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea
penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi
yang sehat
3) Komusio (Gegar otak)
Gegar otak dikalsifikasikan sebagai cedera otak traumatik ringan dan
didefinisikan sebagai setiap perubahan status mental yang disebkan oleh
trauma yang dapat/ tidak dapat menimbulkan kehilangan kesadaran.
4) Kontusio (Memar otak)
Kontusio serebral adalah cedera fokal yang derajat keparahannya tergantung
pada ukuran dan luasnya cedera jaringan otak. Kontusia terjadi akibat
laserasi pembuluh darah kecil.
5) Hematoma epidural
Hematoma epidural adalah akumulasi darah diantara dural dan strukutur
bagian dalam otak, yang biasanya disebakan oleh laserasi arteri ekstradural.
Hematoma epidural berasal dari perdarahan arteri yang terletak diantara
meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang
tengkorak yang telah merobek arteri. Dara di dalam arteri memiliki tekanan
lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar.
6) Hematoma subdural
Hematoma subdural adalah akumulasi darah dibawah dura dan diatas
araknoid yang menutupi otak. Hematoma subdural berasal dari perdarahan
pada vena di sekeliling otak. Perdarahan bias terjadi segera setelah
terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadi
cedera kepala yang lebih ringan.
7) Hematoma intraserebral
Hematoma intraserebral adalah akumulasi darah dalam jaringan otak.
Penyebabnya yaitu adanya ffraktur tulang terdepresi, cedera tembak, dan
akselerasi-deselerasi mendadak.
8) Hemoragi subaraknoid traumatic
Hemoragi subaraknoid traumatic terjadi karena robek/ terpotongnya
pembuluh darah mikro pada lapisan araknoid.
9) Cedera aksonal difus
Cedera aksonal difus ditandai dengan sobeknya/ terpotongnya akson secara
langsung, yang memburuk selama 12-24 jam pertama karena adanya edema
difus dan lokal.
10) Cedera serebrovaskular
Cedera atau diseksi arteri ditandai dengan perdarahan kedalam dinding
pembuluh darah, yang menyebabkan kerusakan pada lapisan endotelial
paling dalam (intima). Kerusakan intima dapat menyebabkan pembentukan
bekuan darah/ flap intima, yang menyebabkan peyumbatan pembuluh darah
sehingga terjadi stroke.

b. Cedera otak sekunder


Cedera otak sekunder mencakup semua kejadian yang menyebabkan kerusakan
otak lebih lanjut yang terjadi setelah trauma.
1) Edema serebral
Edema serebral umumnya dialami oleh pasien cedera kepala saat 24-48 jam
setelah gangguan primer dan terutama memuncak pada 72 jam. Edema
serebral dapat memperburuk kondisi pasien sebelum kondisinya membaik.
2) Iskemia
Iskemia serebral terdiri dari kelas cedera sekunder yang serius dan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas. Iskemia serebral muncul pada saat kondisi
aliran darah berkurang atau tidak adekuat dalam memenuhi kebutuha
metabolic. Akhir dari iskemia yang tidak teratasi adalah infark/ kematian
jaringan, yang mendorong terjadinya edema tambahan.
3) Sindrom herniasi
Sindrom herniasi menggambarkan kondisi dengan struktur serebral bergeser
didalam cranium karena tekanan yang tinggi. Triad cushing menggambarkan
tiga tanda akhir herniasi, peningkatan tekanan darah sistolik, penurunan
frekuensi jantung, dan pola napas tidak teratur.

Perbandingan hasil pemeriksaan TIK dan sindrom herniasi

Peningkatan TIK Sindrom herniasi


Tingkat respon Diperlukan Tidak dapat distimulasi
terhadap stimulus peningkatan stimulus
Fungsi motoric Kelemahan motorik Kelemahan motorik nyata,
samara tau tidak ada respon
penyimpangan
pronator
Respon pupil Respon pupil lembam Pupil dilatasi unilateral dan
terfiksasi
Tanda-tanda vital Dapat stabil atau labil Triad cushing
menggambarkan tiga tanda
akhir herniasi, peningkatan
tekanan darah sistolik,
penurunan frekuensi jantung,
dan pola napas tidak teratur.
4) Koma
Koma adalah perubahan kesadaran yang disebabkan oleh kerusakan
hemisfer otak/ batang otak. Koma terjadi akibat gangguan system yang
mengaktivasi retrikular (RAS). Koma dapat disebabkan oleh banyak hal
seperti infeksi system saraf pusat, gangguan elektrolit, hipertiroidisme,
hipotiroidisme, hipoksia, kejang, toksin. Kondisi koma dapat dibagi menjadi
koma ringan, koma, koma dalam.
5) Kondisi vegetative persisten
Kondisi vegetative persisten ditandai dengan periode koma seprti tidur yan
diikuti oleh kembali terjaga, tetapi disertai tidak adanya tingkat kognisi yang
jelas. Diagnosis kondisi vegetative persisten tidak dapat ditetapkan sebelum
4 minggu awitan cedera otak traumatic dan koma.

2.1.4 Mekanisme Cedera Kepala


Pemahaman mengenai cedera kepala disertai pemeriksaan diagnostic dan
pemeriksaan fisik, membantu dalam mendiagnosis cedera kepala secara tepat.
Mekanisme khas cedera meliputi cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi-deselarasi,
coup-contre coup, cedera rotasional, dan cedera penetrasi.
a. Cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak
bergerak
b. Cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek diam,
seperti pada aksus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca
depan mobil. Cedera akselerasi-deselarasi sering kali terjadi dalamkasus
kecelakaan kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik.
c. Cederacoup-contre coup terjadi jika kepala terbentur, yang menyebabkan otak
bergerak dalam ruang cranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak
yang berlawanan serta area kepala yang pertama kali terbentur. Cedera tersebut
disebut juga cedera translasional karena benturan dapat berpindah ke area otak
yang berlawanan.
d. Cedera rotasional terjadi jika pukulan/ benturan menyebabkan otak berputar
dalam rongga tengkorak, yang menyebabkan peregangan atau robeknya neuron
dalam substansia alba serta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak
dengan bagian dalam rongga tengkorak.
e. Cedera Penetrasi
Cedera penetrasidapat disebabkan olehpeluru, pecahan peluru, ataubenda
tajamlain yangbergerakdengan kecepatanyang cukupbesar yang mengenai
kepala dan dapat merusak integritastengkorak.

2.1.5 Patofisiologi
Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung terhadap
jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang membentur sisi luar
tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri dalam rongga tengkorak. Pada
cedera deselerasi, kepala biasanya membentur suatu objek seperti kaca depan
mobil, sehingga terjadi deselerasi tengkorak yang berlangsung tiba-tiba. Otak tetap
bergerak ke arah depan, membentur bagian dalam tengorak tepat di bawah titik
bentur kemudian berbalik arah membentur sisi yang berlawanan dengan titik bentur
awal. Oleh sebab itu, cedera dapat terjadi pada daerah benturan (coup) atau pada
sisi sebaliknya (contra coup).
Sisi dalam tengkorak merupakan permukaan yang tidak rata. Gesekan jaringan
otak tehadap daerah ini dapat menyebabkan berbagai kerusakan terhadap jaringan
otak dan pembuluh darah.
Respon awal otak yang mengalami cedra adalah swelling. Memar pada otak
menyebabkan vasoliditasi dengan peningkatan aliran darah ke daerah tersebut,
menyebabkan penumpukan darah dan menimbulkan penekanan terhadap jaringan
otak sekitarnya. Karena tidak terdapat ruang lebih dalam tengkorak kepala maka
swelling dan daerah otak yang cedera akan meningkatkan tekanan intraserebral
dan menurunkan aliran darah ke otak. Peningkatan kandungan cairan otak (edema)
tidak segera terjadi tetapi mulai berkembang setelah 24 jam hingga 48 jam. Usaha
dini untuk mempertahankan perfusi otak merupakan tindakan penyelamatan hidup.
Kadar CO2 dalam darah mempengaruhi aliran darah serebral. Level normal
CO2 adalah 35-40 mmHg. Peningkatan kadar CO2 (Hipoventilasi) menyebabkan
vasodilatasi dan bengkak otak, sedangkan penurunan kadar CO2 (Hiperventilasi)
menyebabkan vasokontruksi dan serebral iskemia. Pada saat lampau, diperkirakan
bahwa dengan menurunkan kadar CO2 (hiperventilasi) pada penderita cedera
kepala akan mengurangi bengkak otak dan memperbaiki aliran darah otak. Akhir-
akhir ini dibuktikan bahwa hiperventilasi hanya memberikan peranan kecil terhadap
bengkak otak, tetapi berpengaruh besar dalam menurunkan aliran darah otak karena
vasokonstriksi. Hal ini menyebabkan hipoksia serebral. Otak yang mengalami
cedera tidak mampu mentoleransi hipoksia.
Hipoventilasi atau hipoksia meningkatkan angka kematian dengan
mempertahankan ventilasi yang baik pada frekuensi nafas berkisar 15 kali permenit
dan aliran oksigen yang memadai merupakan hal yang sangat penting.
Hiperventilasi profilaksis pada cedera kepala sudah tidak direkomendasikan.

Tekanan intracranial
Dalam rongga tengkorak dan selaput yang membungkus otak terdapat jaringan
otak, liquor serebrospinal. Dan darah peningkatan volume salah satu komponen
akan diikuti dengan pengurangan atau penekanan terhadap masing-masing volume
komponen yang lain karena tengkorak kepala orang dewasa (suatu kotak yang
kaku) tidak dapat mengembang (membesar). Walaupun CSF memberikan toleransi,
namun ruang yang diberikan tidak mampu mentoleransi bengkak otak yang terjadi
dengan cepat. Aliran darah tidak boleh terganggu karena otak membutuhkan suplai
darah yang konstan (oksigen dan glukosa) untuk bertahan hidup. Tidak satu pun
dari komponen yang mendukung otak dapat mentoloransi hal ini, oleh sebab itu,
bengkak otak yang terjadi akan cepat menyebabkan kematian. Tekanan yang
ditimbulkan oleh isi tengkorak disebut tekanan intracranial (ICP). Tekanan ini
biasanya sangat rendah. Tekanan intra kranial dinilai berbahaya jika meningkat
hingga 15mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan di atas 25 mmHg.
Tekanan darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekanan perfusi serebral
(CPP). Nilai CPP diperoleh dengan mengurangkan MABP terhadap ICP. Tekanan
perfusi harus dipertahankan 70 mmHg atau lebih. Jika otak membengkak atau
terjadi pendarahan dalam tengkorak, tekanan intrakranial akan meningkat dan
tekanan perfusi akan menurun. Tubuh memiliki refleks perlindungan
(respons/refleks cushing) yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam
keadaan konstan. Saat tekanan intraserebral meningkat, tekanan darah sistematik
meningkat untuk mencoba mempertahankan aliran darah otak. Saat keadaan
semakin kritis, denyut nadi menurun (bradikardia) dan bahkan frekuensi respirasi
berkurang. Tekanan dalam tengkorak terus meningkat hingga titik kritis tertentu
dimana cedera kepala memburuk dan semua tanda vital terganggu, dan berakhir
dengan kematian penderita. Jika terdapat peningkatan intrakranial, hipotensi akan
memperburuk keadaan. Harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70
mmHg, yang membutuhkan tekanan sistolik 100-110 mmHg pada penderita cedera
kepala.

Sindroma herniasi
Saat otak membengkak, khususnya setelah benturan pada kepala, peningkatan
tekanan intrakranial yang tiba-tiba dapat terjadi. Hal ini dapat mendorong bagian
otak ke arah bawah, menyumbat aliran CSF dan menimbulkan tekanan besar
terhadap batang otak. Hal ini merupakan keadaan yang mengancam hidup di tandai
dengan penurunan tingkat kesadaran yang secara progresif menjadi koma, dilatasi
pupil dan deviasi mata ke arah bawah dan lateral pada mata sisi kepala yang
mengalami cedera, kelemahan pada tungkai dan lengan sisi tubuh berlawanan
terhadap sisi yang mengalami cedera, dan postur deserebrasi (dijelaskan berikut ini)
penderita selanjutnya akan kehilangan semua gerakan, berhenti nafas dan
meninggal. Sindroma ini sering terjadi setelah perdarahan subdural akut. Sindroma
herniasi merupakan satu-satunya keadaan di mana hiperventilasi masih merupakan
indikasi.
Cedera otak anoksia
Cedera pada otak akibat kurangnya oksigen ( misal henti jantung, obstruksi
jalan nafas) mempengarui otak secara serius. Jika otak tidak mendapatkan oksigen
selama 4 hingga 6 menit, kerusakan irreversible hampir selalu terjadi. Setelah
episode anoksia, perfusi korteks akan terganggu akibat spasme yang terjadi pada
arteri kecil pada serebral. Setelah anoksia 4 hingga 6 menit, perbaikan oksigenasi
dan tekanan darah tidak akan memperbaiki perfusi korteks (tidak ada fenomena
reflow) dan cedera anoksia akan terus berlangsung dalam sel otak. Sepertinya
hipotermia mampu melindungi otak terhadap efek tersebut dan terdapat laporan
kasus pasien hipotermia yang diresusitasi setelah mengalami hipoksia selama 1 jam
2.1.6 Konsep Autoregulasi Pada Cedera Kepala
Bentuk khas dari sirkulasi serebral yaitu aliran daran serebral secara
dinamik disesuaikan untuk melindungi aliran darah otak dari perubahan tekanan
perfusi. Aliran darah cenderung tetap konstan pada kisaran tekanan darah sistemik
(autoregulasi serebral). Kedua mekanisme lokal dan kontrol autonomik neural
berperan pada autoregulasi serebral. Peningkatan dan penurunan tekanan arterial
CO2 (PaCO2) akan meningkatkan dan menurunkan aliran tekanan darah serebral
dengan vasodilatasi dan vasokonstriksi serebral yang tidak bergantung pada
autoregulasi serebral (reaktivitas CO2 serebral). Setelah cedera kepala, autoregulasi
aliran darah serebral mengalami gangguan kebanyakan pasien. Pada pasien dengan
cedera kepala berat terjadi gangguan reaktivitas CO2 pada stage awal trauma.
(Dewi, 2013).
Gambaran khusus sirkulasi serebral yaitu aliran darah serebri secara
dinamis berubah untuk memproteksi aliran darah otak dari perubahan tekanan
perfusi.1 Aliran darah serebral cenderung untuk tetap konstan dalam kisaran
tertentu dari tekanan darah serebral. Hal ini dinamakan autoregulasi serebral.
Kedua mekanisme lokal dan kontrol neural autonomik berperan dalam
autoregulasi serebral. Peningkatan dan penurunan tekanan CO2 arterial (PaCO2)
akan meningkatkan dan menurunkan tekanan darah serebral dengan cara
vasodilatasi dan vasokonstriksi serebral. Fenomena ini dinamakan reaktivitas CO2
pada otak. Batasan kisaran tekanan darah dimana autoregulasi serebral bekerja
dimodifikasi oleh PaCO2 dan reaktivitas CO2 pada otak bisa mengganggu
autoregulasi serebral. Autoregulasi merupakan hasil dari karakter intrinsik otot sel
polos vaskuler pada otak.2 Faktor lain berinteraksi dengan tekanan untuk
menentukan derajat kontraksi sel otot polos. Jalur umum melibatkan konduktansi
kalium membran plasma, potensial membran sel otot polos, dan konsentrasi
sitoplasmik kalsium. Mekanisme molekular terlalu kompleks untuk memberikan
prediksi kuantitatif (Dewi, 2013).
Cedera kepala masih menunjukkan penyebab awal morbiditas dan
mortalitas individu dibawah umur 45 tahun di dunia.4 Cedera kepala
menggabungkan stress mekanik pada jaringan otak dengan ketidakseimbangan
antara aliran darah otak (cerebral blood flow/CBF) dan metabolisme,
eksitotoksisitas, pembentukan edema, dan proses inflamasi dan apoptosis.
Pengertian terhadap kaskade injuri multidimensional memberikan pilihan terapeutik
termasuk manajemen tekanan perfusi serebral, ventilasi mekanikal (hiper-), terapi
kinetik untuk memperbaiki oksigenisasi dan mengurangi tekanan intrakranial, dan
intervensi farmakologi untuk mengurangi eksitotoksisitas.
Patofisiologi individual yang tidak bisa diprediksi memerlukan monitoring
otak yang cedera untuk memberikan terapi sesuai dengan status spesifik pasien.
Regulasi aliran darah serebral Sistem saraf pusat jika dihitung merupakan 2% dari
total berat badan (rata-rata berat otak 1300 sampai 1500 gram) memiliki kebutuhan
energi yang tinggi.3 Konsumsi oksigen serebral yaitu 3,5 mL per 100g/mnt yang
mana merupakan 20% dari konsumsi total oksigen tubuh. Pada kondisi yang
normal, aliran darah serebral dijaga pada kisaran aliran yang konstan yaitu 50 mL
sampai 60 mL per 100g/mnt dengan 50 mL oksigen telah diekstraksi setiap menit
dari 700 sampai 800 mL darah. Nilai ekstraksi oksigen tinggi dan perbedaan rata-
rata O2 arteriovenose untuk sistem saraf pusat yaitu 6,3 mL per 100 mL darah.
Aliran darah serebral bergantung pada perbedaan tekanan antara arterial dan vena
sirkulasi serebral dan secara terbalik proporsional terhadap resistensi vaskular
serebral. Tekanan vena pada kapiler darah tidak bisa diukur dan tekanan
intrakranial (intracranial pressure/ICP) sangat dekat dengan tekanan vena, diukur
untuk memperkirakan tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion pressure/CPP).
CPP dihitung sebagai perbedaan antara tekanan arteri rata-rata (mean arterial
pressure/MAP) dan ICP. Nilai ICP normal pada orang dewasa yaitu <10 mmHg dan
peningkatan ambang batas 20 mmHg biasanya diterima untuk memulai terapi
aktif.3 Nilai CPP 60 mmHg umumnya diterima sebagai nilai minimal yang
diperlukan untuk perfusi serebral yang adekuat.
Dua konsep yang penting yaitu:
1) Doktrin Monro-Kelle
2) Kurva volume-pressure
Doktrin Monro-Kelle menyatakan bahwa volume total isi intrakranial
(jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal (CSF) tetap konstan selama
ditampung oleh kompartmen yang rigid (skull), sebagai berikut (Stochett, 2005):
VC = Votak + Vdarah + VCSF
Dengan peningkatan volume dari salah satu bagian bisa memulai kompensasi
dengan penggantian salah satu dari komponen yang lain (Stochett, 2005).
Vena serebral bisa dikonstriksikan, mengakibatkan penurunan volume darah
otak, dan volume CSF bisa menurun karena kombinasi dari peningkatan resorpsi
dan pengaliran CSF ke bagian spinal. Dengan adanya peningkatan volume,
mekanisme kompensasi dimunculkan, sehingga peningkatan lebih lanjut pada
volume menghasilkan peningkatan tajam ICP, memulai gambaran kurva volume-
pressure.

Gambar 1. Kurva Volume-pressure(Stochett, 2005).


Kebutuhan metabolik yang tinggi dari otak dengan kombinasi
persediaan substrat yang terbatas mengharuskan untuk menjaga level CBF
dalam batas yang normal(Stochett, 2005). Dalam keadaan fisiologis, hal ini
dipengaruhi lewat sebuah mekanisme yang dinamakan autoregulasi. CBF
meningkat dengan vasodilatasi dan menurun dengan konstriksi arteriol
serebral dinamakan cerebral resistance vessels. Pembuluh darah berespon
pada perubahan tekanan darah sistemik (autoregulasi tekanan), viskositas
darah (autoregulasi viskositas), dan kebutuhan metabolik yang menjaga
level CBF dalam batas yang tepat untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
Autoregulasi tekanan ditunjukkan pada gambar.

Gambar 2. Kurva autoregulasi CBF dan CPP normal


Reaktivitas CO2 merujuk pada respon pembuluh darah serebral dan
akibat CBF terhadap perubahan PCO2.3 Peningkatan tekanan CO2
merilekskan arteri serebral in vitro. In vivo, perubahan perivaskuler PaCO2
atau pH yang sangat terlokalisir bisa merubah diameter vaskuler,
mengindikasikan bahwa elemen vaskuler bertanggung jawab untuk
mempengaruhi perubahan pada diameter pembuluh darah. Kedua sel
vaskuler (endotelium dan sel otot polos) dan sel ekstravaskuler (sel nervus
perivaskuler, neuron, dan glia) mungkin juga terlibat. Pada situasi klinis,
perubahan CBF kira-kira 3% untuk setiap milimeter perubahan raksa pada
PaCO2 diatas kisaran 20 sampai 60 mmHg yang secara klinis penting pada
pasien dangan trauma cedera kepala. Hipoventilasi yang menghasilkan
hiperkarbia menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan aliran darah
serebral, sedangkan hiperventilasi menghasilkan vasokonstriksi dan
menurunkan aliran darah serebral.

Reaksi arteri terhadap tekanan (autoregulasi)


Sel otot polos dinding arteri berkontraksi terhadap respon
peningkatan tekanan intravaskuler pada segmen arterial lokal pada derajat
lebih dari yang bisa kompensasi peregangan pasif dinding pembuluh darah
(Greisen, 2007).
Hasil keuntungannya adalah arteri berkonstriksi pada tekanan yang
lebih tinggi dan berdilatasi pada tekanan yang lebih rendah pada proses
yang dinamakan autoregulasi. Tekanan memicu peningkatan membran
potensial sel otot polos yang kemungkinan terjadi karena modifikasi
aktivitas channel sensitif ATP dan Ca2+ activated potassium pada membran
plasma (Greisen, 2007). Ambang kebocoran kalium dari sel ke ruang
ekstraseluler diatur oleh konduktansi kalium membran plasma dan
merupakan penentu utama membran potensial istirahat. Mekanisme pasti
coupling mekanokimia tidak diketahui pasti. Potensial membran mengatur
konsentrasi intraseluler Ca2+ lewat efek channel voltage-gated Ca2+.
Konsentrasi intraseluler Ca2+ merupakan pengatur utama tonus sel otot
polos dengan fosforilasi regulatory light chains of myosin yang dimediasi
oleh Ca2+/calmodulin myosin light chain kinase dengan interaksi subsekuen
dari aktin dan miosin. Kejadian ini tidak bergantung pada endotelium dan
konstriksi arterial dalam respon pada tekanan luminal merupakan reflek
myogenik intrinsik Arteri yang diisolasi bisa menunjukkan fluktuasi spontan
pada potensial membran sel otot polos dan tonus (vasomotion) yang
mungkin bisa berhubungan dengan konsentrasi selke sel (Greisen, 2007).
Karena sel endotelial berorientasi secara longitudinal pada axis pembuluh
darah dan sel otot polos tersusun secara sirkuler, salah satu hipotesa yang
menarik bahwa sel endotel bisa berkoordinasi dengan tonus banyak sel otot
polos dan sehingga derajat kontraksi melebihi sebuah segmen arterial.
Mekanisme seperti ini memiliki respon waktu mereka sendiri dan mungkin
menjelaskan fluktuasi spontan.
Perbedaan organ tertentu dalam respon arterial terhadap tekanan
Sinyal Ca2+ dimodulasi dengan banyak cara Fosfolipase dan protein
kinase C dilibatkan dalam proses ini (Greisen, 2007). Arterial otot skeletal
berbeda dengan pembuluh darah serebralpada beberapa respek penting.
Pertama, pengaturan membran potensial yang berhubungan dengan tekanan
diatur lebih rendah. Kedua, terdapatnya sumber alternatif kalsium
intraseluler dan modulasi yang berbeda pada channel calcium dependent
potassium. Hal ini dan sumber aktivitas channel kalium memodifikasi
membran potensial sel otot polos dan mungkin menjelaskan perbedaan
respon arterial terhadap tekanan darah pada jaringan vaskuler yang berbeda,
dengan demikinan berperan pada distribusi aliran beberapa organ.

Interaksi autoregulasi dan vasodilatasi hipoksia


Tonus otot polos arterial dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu
konduktansi kalium, potensial membran, konsentrasi Ca2+ intraseluler, dan
tonus otot polos membantu penentuan level insiden resistensi
vaskuler(Greisen, 2007). Salah satu vasodilator yang kuat yaitu hipoksia.
Reaktivitas O2 bergantung pada sejumlah mekanisme. Vasodilatasi
hipoksia mungkin bisa sangat penting untuk pertahanan, bahwa beberapa
sistem paralel telah berkembang untuk mengurangi resiko kegagalan.
Reaktivitas O2 bergantung pada bagian endotelium yang intak dan produksi
nitrit oksida (NO). NO bekerja lewat sistem sinyal intraseller cyclic
guanidine monophosphate (cGAMP) dan efek vasodilator setidaknya karena
bisa membuka penuh channel calcium activated potassium dan ATP-
sensitive potassium (Greisen, 2007).
Hipoksia juga mengakibatkan laktasidosis jaringan. penurunan pH
merupakan poin interaksi antara reaktivitas O2 dan reaktivitas CO2.
Hipoksia juga memiliki efek langsung dengan selektif membuka Ca 2+
-activated potassium channel dan channel ATP-sensitive potassium pada
membran sel. Semua mekanisme ini menghubungkan hipoksia terhadap
hiperpolarisasi sel otot polos sehingga terjadi vasodilatasi. Efek ini sama
tanpa memperhatikan tekanan intravaskular. Pada batasan lebih rendah dari
tekanan arterial, penurunan membran potensial hanya mengawali untuk
dilatasi arteria minimal lebih lanjut karena membran potensial/hubungan
tonus muskuler diluar steep part. Pada prakteknya, hal ini berarti pada
keadaan tekanan perfusi yang rendah, jalur dilator mungkin sudah hampir
secara maksimal diaktivasi. Sehingga, kadar oksigen yang rendah mungkin
tidak bisa dikompensasi secara tepat dengan meningkatkan aliran darah
(mengurangi hiperemia reaktif) ketika tekanan darah juga rendah. Hasilnya
yaitu jaringan hipoksik iskemia.

Interaksi autoregulasi dan PCO2


Arteri dan arteriol berkonstriksi dengan hipokapnia dan berdilatasi dengan
hiperkapnia. Bagian prinsipal dari reaksi ini dimediasi melalui konsentrasi
hidrogen (pH). Perivaskuler pH memiliki efek langsung terhadap membran
potensial sel otot polos arteri karena konsentrasi ekstraseluler hidrogen
merupakan penentu primer konduktansi kalium membran plasma sel otot
polos.

Gambar 3. Skema sederhana regulasi tonus otot polos vaskuler oleh


konsentrasi intraseluler Ca2+ .
Lebih lanjut, peningkatan konsentrasi ion hidrogen ekstraseluler
(sampai derajat yang lebih rendah dari intraseluler) mengurangi konduktansi
channel voltage-dependent Ca2+ . Sehingga, konsentrasi intraseluler Ca2+
dan konsentrasi sel otot polos dikurangi. Perubahan pada PCO2 memiliki
efek yang lebih pada aliran darah serebral (CBF) daripada aliran darah pada
organ lain karena adanya brain blood barrier yang terdapat endotelium.
Endotel dari pembuluh darah intrakranial memiliki ikatan yang kuat dan
tidak mengijinkan HCO3+ untuk lewat dengan bebas. Difusi terbatas dari
HCO3+ memberikan arti bahwa hiperkapnia menurunkan pH pada ruang
perivaskuler di otak lebih daripada yang di darah dimana buffering lebih
efektif karena adanya hemoglobin. Perbedaan ini berlangsung sampai
konsentrasi HCO3+ seimbang selama beberapa jam kemudian.

Patofisiologi aliran darah cerebral pada trauma cedera kepala


Cedera kepala masih menunjukkan penyebab awal morbiditas dan
mortalitas individu dibawah umur 45 tahun di dunia (Werner, 2007).
Mekanisme prinsipal cedera kepala diklasifikasikan sebagai (a) kerusakan
otak fokal karena tipe cedera kontak yang menyebabkan terjadinya
kontusio, laserasi, dan perdarahan intrakranial atau (b) kerusakan otak difus
karena tipe cedera akselerasi/deselerasi yang menghasilkan cedera axonal
difus atau pembengkakan otak. Hasil dari cedera kepala ditentukan oleh dua
mekanisme/stage substansial yang berbeda: (a) primary insult (kerusakan
primer, kerusakan mekanikal) yang terjadi saat waktu terbentur, (b)
secondary insult (kerusakan sekunder, delayed non-mechanical damage)
menunjukkan proses patologi berturutan yang dimulai saat waktu cedera
dengan presentasi klinis yang ditunda. Iskemia serebral dan hipertensi
intrakranial merujuk pada secondary insult.
Aliran darah otak dijaga dalam level yang konstan pada otak normal
saat fluktuasi biasa pada tekanan darah dengan proses autoregulasi.
Normalnya autoregulasi menjaga aliran darah konstan antara tekanan arteri
rata-rata (MAP) 50mmHg dan 150 mmHg. Namun, pada otak yang iskemik
atau mengalami trauma, atau sedang mendapat agen vasodilator (agen votil
dan sodium nitropruside) aliran darah otak CBF bisa bergantung pada
tekanan darah. Defek autoregulasi aliran darah serebral bisa muncul segera
setelah trauma atau mungkin bisa berkembang selama waktu, dan hal ini
menjadi transien atau persisten dalam keadaan yang irrespective adanya
kerusak an ringan, sedang, atau parah. Sehingga tekanan arteri meningkat
lalu CBF akan meningkat menyebabkan peningkatan volume otak. Sama
seperti jika tekanan turun, CBF juga akan turun mengurangi tekanan
intrakranial, tapi juga memicu pengurangan tak terkontrol CBF.
Autoregulasi serebrovaskular dan reaktivitas CO2 merupakan
mekanisme penting untuk menyediakan aliran darah serebral yang cukup
setiap saat. Demikian juga, kedua pola tersebut merupakan dasar
manajemen tekanan perfusi serebral dan tekanan intrakranial dan gangguan
mekanisme regulator mencerminkan peningkatan resiko kerusakan otak
sekunder. Setelah terjadi trauma cedera kepala, autoregulasi aliran darah
serebri mengalami gangguan atau tidak ada pada kebanyakan pasien.
Keadaan sementara pada patologi ini tidak sejalan dengan keparahan cedera
untuk menghasilkan kegagalan autoregulasi. Defek autoregulasi bisa
muncul segera setelah trauma atau bisa berkembang seiring perjalanan
waktu, dan menjadinyata atau persisten pada bentuknya tidak selaras
dengan kerusakan ringan, sedang, atauberat. autoregulasi vasokonstriksi
juga sepertinya lebih resisten dibandingkan dengan autoregulasi vasodilatasi
yang mengindikasikan pasien lebih sensitif pada kerusakan rendah daripada
tekanan perfusi serebral tinggi.
Dibandingkan dengan autoregulasi aliran darah serebral, reaktivitas
CO2 serebrovaskular terlihat memiliki fenomena lebih kuat. Pada pasien
yang mengalami cedera otak parah dan prognosis buruk, terjadi gangguan
reaktivitas CO2 pada fase awal setelah trauma. sebaliknya reaktivitas CO2
lebih utuh atau mungkin meningkat pada kebanyakan pasien yang
menerima prinsip fisiologis sebagai target manajemen intrakranial pada
status hiperemik.
Banyak studi terbaru telah menunjukkan bahwa setelah terjadi
trauma autoregulasi masih bisa berfungsi.5 Pada situasi jika CPP turun
dibawah nilai kritis 70 mmHg, pasien akan mengalami perfusi serebral yang
tidak adekuat. Autoregulasi akan menyebabkan vasodilatasi serebral
mengawali peningkatan volume otak. Hal ini sebaliknya akan meningkatkan
tekanan intrakranial dan memicu lingkaran visius yang dijelaskan dengan
kaskade vasodilatasi yang menghasilkan iskemia serebral.
Gambar 4. Kaskade Vasodilatasi
Proses ini hanya bisa dirusak dengan meningkatkan tekanan darah
untuk menaikkan tekanan perfusi serebral, yang memicu kaskade
vasokonstriksi.5 Hal ini menjelaskan mengapa pemeliharaan tekanan darah
arteri pada level yang adekuat dengan monitoring cermat dan koreksi yang
cepat jika terjadi penurunan sangatlah penting.

Gambar 5. Kaskade vasokonstriksi


Karbon dioksida menyebabkan vasodilatasi serebral.5 Dibandingkan
dengan autoregulasi serebral, reaktivitas CO2 (konstriksi serebrovaskuler
atau dilatasi pada respon terhadap hipo- atau hiperkapnia) kelihatannya
merupakan kejadian yang lebih kuat.4 Dengan terjadi peningkatan tekanan
arterial CO2, CBF meningkat dan ketika terjadi pengurangan maka akan
memicu vasokonstriksi. Sehingga hiperventilasi bisa mengawali terjadinya
pengurangan rata-rata tekanan intrakranial sekitar 50% dalam 2-30 menit.
Ketika PaCO2 kurang dari 25 mmHg (3,3kPa) tidak terdapat pengurangan
lebih lanjut pada CBF. Akibatnya, tidak terdapat keuntungan untuk memicu
hipokapnia lebih lanjut sebagaimana hanya akan menggeser kurva disosiasi
lebih ke kiri, membuat oksigen kurang tersedia untuk jaringan.
Gambar 6. Kurva hubungan PCO2 arterial dengan CBF
Vasokonstriksi hipokapnia akut hanya akan berlangsung untuk
waktu yang relatif singkat. Sementara hipokapnia dipelihara, terjadi
peningkatan gradual CBF pada nilai kontrol yang memicu terjadinya
hiperemia serebral (over-perfusion) jika PaCO2 dikembalikan secara cepat
menjadi normal level. Ketika ventilasi jangka panjang diperlukan, hanya
hipokapnia ringan (34-38 mmHg: 4,5-5,1 kPa) harus dipicu. Hasil yang
lebih buruk pernah dilaporkan pada pasien setelah cedera kepala pada bulan
ketiga dan keenam yang telah dilakukan hiperventilasi pada level PaCO2
rendah untuk periode yang lama.

2.1.7 Komplikasi
Menurut Hudak dan Gallo (2010), komplikasi cedera kepala antara lain:
a. Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala
adalah edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguana neurologis
atau akibat dari sindrom distres pernapasan dewasa. Edema paru dapat akibat
dari cedera pada otak yang menyebabkan adanya refleks cushing. Peningkatan
pada tekanan darah sistemik terjadi sebagai respons dari sistem saraf simpatis
pada peningkatan TIK. Peningkatan vasokonstriksi tubuh umum ini
menyebabkan lebih bnyak darah dialirkan ke paru-paru. Perubahan
permeabilitas pembuluh darah peru-peru berperan dalam proses dengan
memungkinkan cairn berpindah ke dalam alveolus. Kerusakan difusi oksigen
dan karbon dioksida dari darah dapat menimbulkan peningkatan TIK lebih
lanjut.
b. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala selama fase akut.
Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan
menyediakan spatel lidah yang diberi bantakan atau jalan napas oral di
samping tempat tidur dan peralatan penghisap dekat dalam jangkauan. Pagar
tempat todur harus tetap dipasang, diberi bantalan pada pagar dengan bantal
atau busa untuk meminimalkan resiko sekunder terhadap cedera karena
kejang. Selama kejang, perawat harus memfokuskan perhatian pada upaya
mempertahankan jalan napas paten ketika mengamati perkembangan kejang
dan mencegah cedera lanjut pada pasien. Jika terdapat waktu yang cukup
sebelum spasitisitas otot terjado, dan rahang terkunci, spatel lidah yang diberi
bantalan, jalan napas oral, atau tongkat gigit plastik harus dipasang diantara
gigi pasien.
Satu-satunya tindakan medis terhadap kejang adalah terapi obat.
Diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan
secara perlahan melalui intravena. Karena obat ini menekan pernapan, maka
frekuensi dan irama pernapasan pasien harus dipantau dengan cermat. Jika
kejang tiak bisa lagi diatasi dengan obat ini, dokter mungkin akan memberikan
fenobarbital atau fenitoin untuk mempertahankan konrol terhadap kejang.
c. Kebocoran Cairan Serebrospinal
Buka hal yang tidak umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan
fraktur tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dar telinga atau hidung.
Ini dapat akibat dari fraktur pada fossa anteroir dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basiliar bagian petrous dari tulang temporal.

2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik


a. CT scan
Pemeriksaan awal yang paling umum dilakukan karena pemeriksaan ini dapat
dengan cepat dilakukan dan sensitive terhadap perdarahan. Satu kelemahan
CT scan adalah bahwa pemeriksaan tersebut tidak dapat secara adekuat
menangkap struktur fosa posterior.
b. MRI (Magnetic resonance imaging)
Bermanfaat karena artifak tulang diminimalkan sehingga struktur pada dasar
tengkorak dan medulla spinalis dapat divisualisasikan lebih baik dan
perubahan neuronal dapat diamati. Selain itu MRI dapat digunakan untuk
mengevaluasi cedera vascular serebral dengan cara noninvasive.
c. Angiografi serebral
Alat yang berguna dalam mengkaji diseksi dalam pembuluh darah dan tidak
adanya aliran darah serebral pada pasien yang dicurigai mengalami kematian
batang otak.
Risiko prosedur tersebut meliputi rupture pembuluh darah, stroke akibat
debris emboli, reaksi alergi akibat terpajan pewarna radiopak, gagal ginjal
akut akibat pewarna IV, dan perdarahan retroperitoneal dari area pemasangan
selubung setelah infus dilepaskan.
d. Ultrasonografi Doppler Transkranial
Secara tidak langsung mengevaluasi aliran darah serebral dan mekanisme
autoregulasi dengan mengukur kecepatan darah yang melewati pembuluh
darah. Kemampuan pemeriksaan ini dalam meberikan informasi mengenai
autoregulasi serebral dapat mempengaruhi penatalaksanaan dinamik
intracranial pada pasien cedera kepala dimasa yang akan datang.
e. EEG (elektro ensefalogram)
Mengukur aktivitas gelombang otak disemua regio korteks dan berguna
dalam mendiagnosis kejang serta mengaitkan pemeriksaan neurologis
abnormal dengan fungsi kortikal abnormal. Pemeriksaan yang penting dalam
mengeliminasi kejang subklinis atau non konvulsif. Temuan yang paling
umum pada pasien cedera kepala adalah perlambatan aktivitas gelombang
listrik pada area cedera.
f. BAER (brainsteam auditory evoked responses) dan SSEP (somatosensory
evoked potential)
Pemeriksaan prognostik yang bermanfaat pada pasien cedera kepala. Hasil
abnormal dari salah satu pemeriksaan tersebut dapat membantu menegakkan
diagnosis disfungsi batang otak yang tidak akan menghasilkan pemulihan
fungsional yang bermakna.

2.1.9 Penatalaksanaan
Pedoman penatalaksanaan cedera kepala berat dikembangkan oleh Brain
Trauma Foundation dan American Association of Neurological Surgeons pada
tahun 1995 dan diperbarui tahun 2000 untuk mendiseinasi rekomendasi ilmiah yang
yang paling terkini.
Pengkajian dan penanganan awal pada pasien cedera kepala dimulai segera
setelah cedera, yang seringkali dilakukan oleh tenaga kesehatan pra-rumahsakit.
Penanganan pra-rumahsakit pada pasien cedera kepala berfokus pada pengkajian
system secara cepat dan penatalaksanaan jalan napas definitive, intervensi yang
dapat berdampak positif terhadap hasil akhir pasien karena koreksi dini hipoksia
dan hiperkapnia, yang telah terbukti menyebabkan dan memperburuk cedera otak
sekunder.
Primary Survey
Adalah suatu kegiatan untuk menilai kondisi penderita (diagnostic) sekaligus
tindakan (resusitasi) untuk menolong nyawa. Kunci utama untuk penanganan pada
pasien trauma adalah penanganan pada keadaan yang mengancam nyawa (Jakarta
Medical Service 119 Training Division, 2012).
a) Airway
Kerusakan otak yang irreversible dapat terjadi 6-8 menit setelah anoxia
otak. Oleh karena itu, prioritas pertama dalam penanganan trauma yaitu pastikan
kelancaran jalan nafas, ventilasi yang adekuat dan oksigenasi. Ini meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing,
fraktur tulang wajah, fraktur mandibular atau maksila., fraktur laring atau trakea.
Penanganan airway juga harus dipikirkan adanya dugaan trauma pada vertebra
servikal. Usaha untuk membebaskan airway harus melindungi vertebra servikal.
Vertebra servikal harus sangat hati-hati dijaga setiap saat dan jangan terlalu
hiperekstensi, hiperfleksi atau rotasi yang dapat menggangu jalan nafas. Dalam
hal ini dapat dilakukan dengan posisi kepala dalam keadaan netral, chin lift atau
jaw thrust diperlukan juga pada penanganan airway.
Mekanisme pembersihan pada oropharing sering dilakukan didalam
pembukaan jalan nafas. Dalam hal ini kelancaran jalan nafas yang dibutuhkan
dalam berbagai posisi dapat terjadi dengan dilakukan nasal atau oropharingeal
airway. Jika tindakan pembersihan jalan nafas ini juga tidak berhasil, maka dapat
dilakukan tindakan intubasi endotrakeal. Tindakan ini dinamakan airway
definitive. Pada airway devinitif maka ada pipa didalam trahea dengan balon
(cuff) yang dikembangkan, pipa tersebut dihubungkan dengan suatu alat bantu
pernafasan yang diperkaya oksigen, dan airway tersebut dipertahankan
ditempatnya dengan plester. Penentuan pemasangan airway definitive didasarkan
pada penemuan-penemuan klinis antara lain:
1) Adanya apnea
2) Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara-cara
yang lain
3) Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau
vomitus
4) Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway. Seperti multiple
fraktur pada tulang wajah, kejang-kejang yang berkepanjangan
5) Cedera kepala tertutup yang memrlukan bantuan nafas (GCS=8)
6) Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan
pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah
Intubasi nasotrakeal adalah teknik yang bermanfaaat apabila urgensi
pengelolaan airway tidak stabil. Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind
nasotrakeal intubation) hanya dilakukan padapenderita yang masih bernafas
spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita ya ng apnoe.
Fraktur wajah, frajtur frontalis, fraktur basis cranii, dan fraktur lamina
chiriformis merupakan kontrainidikasi relative untuk intubasi nasotrakeal.
Bila kesemua tindakan diatas juga tidak mampu untuk mengatasi didalam
control airway, tindakan krikotiroidotomi dapat dilakukan. Tindakan ini
dinamakan airway surgical.
b) Breathing
Tindakan kedua setelah airway tertangani adalah ventilasi. Penurunan
oksigen yang tajam (10L/min) harus dilakukan suatu tindakan ventilasi.
Analisa Gas darah dan pulse oximeter dapat membantu untuk mengetahui
kualitas ventilasi dari penderita.
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertikaran gas yang
terjadi ada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan
karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari
paru, dinding dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus di evaluasi
secara cepat.
Tanda hipoksia dan hipercarbia bias terjadi pada penderita dengan
kegagalan ventilasi. Kegagalan oksigenasi harus dinilai dengan dilakukan
observasi dan auskultasi pada leher dan dada melalui distensi vena, devasi
trakeal,gerakan paradoksal pada dada, dan suara nafas yang hanya pada satu
sisi (unilateral).
Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat dalah tension
pneumothorax, flail chest dengan kontusio paru, open pneumothorax, massive
hemothorax. Keadaan-keadaan ini harus dikenali pada saat dilakukan primary
survey. Hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga dan kontusio
paru menggangu ventilasi dalam derajat yang lebih ringan dan harus dikenali
pada saat melakukan secondary survey.
c) Circulation
Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca bedah yang
mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu
keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia, sampai
terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat
dari status henodinamika penderita. Kerusakan pada jaringan lunak dapat
mengenai pembuluh darah besar dan menimbulkan kahilangan darah yang
banyak. Menghebtikan perdarahan yang terbaik adalah dengan tekanan
langsung.
Hipotensi dengan pasien pada multiple trauma selalu disebabkan oleh
kehilangan darah yang banyak. Penanganan segera dengan pemberian larutan
Ringer Laktat secara intravena harus memberikan respons yang baik (2-L pada
dewasa, ana 30ml/kgbb). Peradarahan oleh karena luka yang terbuka dapat di
control dengan penekanan luka secara langsung. Perfusi jaringan dapat di
evaluasi dengan produksi urine dan pengisian kapiler pada ujung-ujung jari
lebih dari 2 menit ini menandakan perfusi jaringan lemah.
Jika hipotensi memberikan respon yang baik pada penanganan pertama,
maka pemberian larutan kristaloid dapat diberikan bahkan sampai dengan
pemberian transfuse darah. Namun jika respon tersebut sedikit atau sama sekali
tidak memberikan respontidak, maka pemberian cairan dengan larutan ringer
laktat (2L) dapat diulang kembali. Kemudian dapat dilakuakn transfuse darah
baik tipe spesifik atau noncross matched universal donor O negative.
Vasopressor tidak boleh diberikan pada pasien dengan syok hipovolemik.
d) Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, serta
ukuran dan reaksi pupil. Suatu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran
adalah metode AVPU :
A : Alert (sadar)
V : Respon terhadap rangsangan vokal (suara)
P : Respon terhadap rangsangan nyeri (pain)
U : Unresponsive (tidak ada respon)
GCS (Glasgow Coma Scale) adalah system skoring yang sederhana dan
dapat meramal kesudahan (outcome) penderita. GCS ini dapat dilakukan
sebagau pengganti AVPU. Bila belum dilakukannya reeavaluasi pada primary
survey, harus dilakukan pada secondary survey pada saat pemeriksaan
neurologis
Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau
penurun an perfusi ke otak, atau disebabkan trauma langsung padaotak.
Penurunan kesadraan menun tut dilakukannya reevaluasi terhadap oksigenasi,
ventilasi, dan perfusi.
e) Exposure
Keadaan dengan laserasi, kontusio, abrasi, swelling, dan deformitas
sering terjadi pada pasien trauma. Cara yang paling aman dengan membuka
paaian penderita secara keseluruhan. Ini dilakukan dengan tujuan untuk
memudahkan dalam memeriksa dan mengevaluasi keadaan penderitra,
mencegah terjadinya displacement pada fraktur meminimalkan resiko terjadiny
komplikasi lebih lanjut. Hypothermia harus dapat dicegah, fungsi jantung harus
baik, terutama bila volume darah turun. Kain yang steril dapat digunakan untuk
menutupi luka yang terbuka dengan tujuan untuk mencegah kontaminasi lebih
lanjut.
Pendekatan perawatan yang benar dan kecepatan dalam memberikan
pertolongan menekan angka kematian hingga 36% (National Traumatic Coma Data
Bank). Prinsip dasarnya sel saraf diberikan kondisi/suasana yang optimal maka
pemulihan akan berfungsi kembali :
a. Penatalaksanaan jalan napas
Langkah awal yang sangat penting dalam merawat pasien cedera kepala karena
hipoventilasi biasa terjadi pada kondisi penurunan kesadaran, dan hipoksia
serta hiperkpnia sangat memperburuk kondisi pasien pada tahap awal cedera.
Evaluasi lanjut terhadap status neurologis dapat memperlihatkan perlunya
terapi hiperventilasi jika terdapat tanda herniasi serebral dan tidak dapat
dikontrol dengan terapi farmakologis awal, pemantauan lebih lanjut aliran
darah serebral.
b. Hiperventilasi
Harus dilakukan hati-hati, dibuat dengan cara menurunkan PCO2 dan
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak, penurunan volume
intracranial ini akan menurunkan TIK. Hiperventilasi yang lama dan agresif
akan menurunkan perfusi otak, terutama bila PCO2 <25mmHg. PCO2 harus
dipertahankan pada 30 mmHg, sehingga bila PCO2 <25mmHg hiperventilasi
harus dicegah.
Penatalaksanaan sirkulasi pada pasien cedera kepala bertujuan meningkatkan
perfusi serebral yang adekuat melalui resusitasi cairan dan penggunaan
vasopresor, jika perlu. Penatalaksanaan TIK untuk menurunkan tahanan
intracranial terhadap aliran darah.
c. Cairan
Cairan intravena : jumlah cairan dalam cedera kepala dipertahankan agar
nomovolemia, kelebihan jumlah cairan akan membahayakan jiwa penderita.
Jangan memberikan cairan hipotonik, penggunaan cairan yang mengandung
glukosa dapat menyebabkan penderita hyperglikemia yang berakibat buruk
pada penderita cedera kepala. Karena itu cairan yang digunakan untuk
resusitasi sebaiknya larutan garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar Natrium
perlu diperhatikan karena hiponatremia akan dapat menyebabkan odema otak
yang harus dihindari.
d. Obat
1) Manitol : digunakan untuk menurunkan tekanan intra kranial, umumnya
dengan konsentrasi 20%, dosis 1gr/kg bb, diberikan bolus intra vena dengan
cepat. Untuk penderita hipotensi tidak boleh karena akan memperberat
hipovolemi.
2) Furosemide : diberikan bersama manitol untuk untuk menurunkan TIK,
kombinasi keduanya akan meningkatkan diuresis, dosis lazim 0,3-0,5 mg/kg
bb IV
3) Steroid : tidak bermanfaat dalam mengendalikan kenaikan TIK dan tidak
memperbaiki hasil terapi, sehingga steroid tidak dianjurkan
4) Barbiturate : bermanfaat menurunkan TIK, karena punya efek hipotensi tak
diberikan pada penderita dengan kondisi tersebut. Tidak dianjurkan pada
resusitasi akut
5) Anti konvulsan : epilepsy pasca trauma terjadi 5% pada penderita trauma
kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Anti konvulsan hanya
berguna untuk minggu pertama terjadinya kejang, tidak minggu yang
berikut, jadi hanya dianjurkan pada minggu pertama saja.
PENATALAKSANAAN CKR (GCS 13-15)

Definisi: Pasien sadar dan berorientasi (GCS 13-15)

Riwayat

Nama, umur, jenis kelamin, Tidak sadar segera setelah cedera


ras, pekerjaan Tingkat kewaspadaan
Amnesia : Retrograde, antegrade
Mekanisme cedera Sakit kepala: ringan, sedang, berat
Waktu cedera

Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik

Pemeriksaan neurologis terbatas

Pemeriksaan rontgen vertebra, servikal dan lainnya sesuai indikasi

Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urin

Pemeriksaan CT scan kepala merupakan indikasi bila memenuhi kriteria


kecurigaan perlunya tindakan bedah saraf sangat tinggi

Observasi atau dirawat di RS Dipulangkan dari RS

- CT scan tidak ada - Tidak memenuhi kriteria rawat


- CT scan abnormal - Diskusikan kemungkinan kembali
- Semua cedera tembus ke rumah sakit bila memburuk dan
- Riwayat hilang kesadaran berikan kertas observasi
- Kesadaran menurun - Jadwalkan untuk kontrol ulang
- Nyeri kepala sedang-berat
- Intoksikasi alkohol/obat-obatan
- Fraktur tulang
- Kebocoran likuor: otorea atau
rinorea
- Cedera penyerta yang bermakna
- Tak ada keluarga di rumah
- GCS <15
- Defisit neurologis fokal
PENATALAKSANAAN CKS (GCS 9-12)

Definisi : GCS 9 - 12

Pemeriksaan Inisial

- Sama dengan pasien cedera kepala ringan ditambah


pemeriksaan darah sederhana
- Pemeriksaan CT scan kepala pada semua kasus
- Dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas bedah saraf

Setelah dirawat inap

- Lakukan pemeriksaan neurologis periodik


- Lakukan pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi pasien
memburuk dan bila pasien akan dipulangkan

Bila kondisi membaik (90%) Bila kondisi memburuk (10%)

- Pulang bila memungkinkan Bila pasien tidak mampu


- Kontrol di poliklinik melakukan perintah sederhana
lagi, segera lakukan pemeriksaan
CT scan ulang dan
penatalaksanaan selanjutnya
sesuai protokol cedera kepala
berat
PENATALAKSANAAN CKS (GCS 9-12)

Definisi: Pasien tidak mampu melakukan perintah


sederhana karena kesadaran yang menurun (GCS 3-8)

Pemeriksaan dan penatalaksanaan

- ABCDE
- Primary Survey dan resusitasi
- Secondary Survey dan riwayat AMPLE
- Rujuk ke Rumah Sakit dengan fasilitas Bedah Saraf
- Reevaluasi neurologis: GCS
Respon buka mata
Respon motorik
Respon verbal
Refleks cahaya pupil

- Obat-obatan (diberikan setelah konsultasi dengan bedah saraf)


Manitol
Hiperventilasi sedang (PCO2 < 35 mmHg)
Antikonvulsan

CT Scan
CEDERA KEPALA BERAT
GCS 8 atau kurang

Diagnostik kedaruratan
Evaluasi trauma ATLS
atau prosedur terapeutik
sesuai indikasi

a. Intubasi endotrakeal
b. Resusitasi cairan
c. Ventilasi (PAC02 35 mmHg)
d. Oksigenasi
e. Sedasi
f. Blokade neuromuscular
(kerja singkat)

Ya hiperventilasi
Herniasi?*
Deteriorasi? manitol (1g/kg)
*
Tidak
Ya
Resolus
CT Scan i?

Tidak
Ya
Lesi
Bedah ?
Tidak Kamar
operasi
Unit perawatan intensif

Pantau TIK

Obati hipertensi
intrakranial
2.1.10 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Cedera Kepala
A. Pengkajian
1) Primary Survey
Adalah suatu kegiatan untuk menilai kondisi penderita (diagnostic)
sekaligus tindakan (resusitasi) untuk menolong nyawa. Kunci utama untuk
penanganan pada pasien trauma adalah penanganan pada keadaan yang
mengancam nyawa (Jakarta Medical Service 119 Training Division, 2012).
f) Airway
Kerusakan otak yang irreversible dapat terjadi 6-8 menit setelah anoxia
otak. Oleh karena itu, prioritas pertama dalam penanganan trauma yaitu
pastikan kelancaran jalan nafas, ventilasi yang adekuat dan oksigenasi. Ini
meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibular atau maksila., fraktur
laring atau trakea. Penanganan airway juga harus dipikirkan adanya dugaan
trauma pada vertebra servikal. Usaha untuk membebaskan airway harus
melindungi vertebra servikal. Vertebra servikal harus sangat hati-hati dijaga
setiap saat dan jangan terlalu hiperekstensi, hiperfleksi atau rotasi yang
dapat menggangu jalan nafas. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan posisi
kepala dalam keadaan netral, chin lift atau jaw thrust diperlukan juga pada
penanganan airway.
Mekanisme pembersihan oada oropharing sering dilakukan didalam
pembukaan jalan nafas. Dalam hal ini kelancaran jalan nafas yang
dibutuhkan dalam berbagai posisi dapat terjadi dengan dilakukan nasal atau
oropharingeal airway. Jika tindakan pembersihan jalan nafas ini juga tidak
berhasil, maka dapat dilakukan tindakan intubasi endotrakeal. Tindakan ini
dinamakan airway definitive. Pada airway devinitif maka ada pipa didalam
trahea dengan balon (cuff) yang dikembangkan, pipa tersebut dihubungkan
dengan suatu alat bantu pernafasan yang diperkaya oksigen, dan airway
tersebut dipertahankan ditempatnya dengan plester. Penentuan pemasangan
airway definitive didasarkan pada penemuan-penemuan klinis antara lain:
1) Adanya apnea
2) Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara-
cara yang lain
3) Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah
atau vomitus
4) Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway. Seperti
multiple fraktur pada tulang wajah, kejang-kejang yang berkepanjangan
5) Cedera kepala tertutup yang memrlukan bantuan nafas (GCS=8)
6) Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan
pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah
Intubasi nasotrakeal adalah teknik yang bermanfaaat apabila urgensi
pengelolaan airway tidak stabil. Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind
nasotrakeal intubation) hanya dilakukan padapenderita yang masih bernafas
spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita ya ng
apnoe. Fraktur wajah, frajtur frontalis, fraktur basis cranii, dan fraktur
lamina chiriformis merupakan kontrainidikasi relative untuk intubasi
nasotrakeal.
Bila kesemua tindakan diatas juga tidak mampu untuk mengatasi
didalam control airway, tindakan krikotiroidotomi dapat dilakukan.
Tindakan ini dinamakan airway surgical.
g) Breathing
Tindakan kedua setelah airway tertangani adalah ventilasi. Penurunan
oksigen yang tajam (10L/min) harus dilakukan suatu tindakan ventilasi.
Analisa Gas darah dan pulse oximeter dapat membantu untuk mengetahui
kualitas ventilasi dari penderita.
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertikaran gas
yang terjadi ada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi
fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Setiap komponen
ini harus di evaluasi secara cepat.
Tanda hipoksia dan hi[ercarbia bias terjadi pada penderita dengan
kegagalan ventilasi. Kegagalan oksigenasi harus dinilai dengan dilakukan
observasi dan auskultasi pada leher dan dada melalui distensi vena, devasi
trakeal,gerakan paradoksal pada dada, dan suara nafas yang hanya pada satu
sisi (unilateral).
Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat dalah
tension pneumothorax, flail chest dengan kontusio paru, open
pneumothorax, massive hemothorax. Keadaan-keadaan ini harus dikenali
pada saat dilakukan primary survey. Hematothorax, simple pneumothorax,
patahnya tulang iga dan kontusio paru menggangu ventilasi dalam derajat
yang lebih ringan dan harus dikenali pada saat melakukan secondary survey.
h) Circulation
Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca bedah yang
mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepatdab tepat di rumah sakit.
Suatu keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia,
sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian
yang cepat dari status henodinamika penderita. Kerusakan pada jaringan
lunak dapat mengenai pembuluh darah besar dan menimbulkan kahilangan
darah yang banyak. Menghebtikan perdarahan yang terbaik adalah dengan
tekanan langsung.
Hipotensi dengan pasien pada multiple trauma selalu disebabkan oleh
kehilangan darah yang banyak. Penanganan segera dengan pemberian
larutan Ringer Laktat secara intravena harus memberikan respons yang baik
(2-L pada dewasa, ana 30ml/kgbb). Peradarahan oleh karena luka yang
terbuka dapat di control dengan penekanan luka secara langsung. Perfusi
jaringan dapat di evaluasi dengan produksi urine dan pengisian kapiler pada
ujung-ujung jari lebih dari 2 menit ini menandakan perfusi jaringan lemah.
Jika hipotensi memberikan respon yang baik pada penanganan pertama,
maka pemberian larutan kristaloid dapat diberikan bahkan sampai dengan
pemberian transfuse darah. Namun jika respon tersebut sedikit atau sama
sekali tidak memberikan respontidak, maka pemberian cairan dengan
larutan ringer laktat (2L) dapat diulang kembali. Kemudian dapat dilakuakn
transfuse darah baik tipe spesifik atau noncross matched universal donor O
negative. Vasopressor tidak boleh diberikan pada pasien dengan syok
hipovolemik.
Klasifikasi perdarahan ini berguna untuk memastikan tanda-tanda dini
dan patofisiologi keadaan syok. Terdapat 4 klasifikasi perdarahan antara
lain:
a) Perdarah kelas 1 (kehilngan volume darah sampai 15%) ; gejala klinis
dari kehilangan volume ini adalah minimal. Bila tidak ada komplikasi,
akan terjadi takikardi minimal. Tidak ada perubahan yang berarti dari
tekanan darah, tekanan nadi, atau frekuensi pernafasan. Pengisisan
transkapiler dan mekanisme kompensasi lain akan memulihkan volume
darah dalam 24 jam.
b) Perdarahan kelas II (kehilangan darah 15% sampai 30%); gejala-gejala
klinis termasuk takikardi (denyut jantung lebih dari 100 pada orang
dewasa) takipnea, dan penurunan tekanan nadi. Perubahan saraf sentral
yang tidak jelas sperti cemas, ketakutan atau sikap permusuhan,
produksi urine hanya sedikit terpengaruh. Ada penderita yang kadang-
kadang memrlukan transfusi darah, tetapi dapat distabilkan dengan
larutan kristaloid pada mulanya.
c) Perdarahan kelas III ( 30% samapi 40% kehilangan volume darah);
Akibat kehilangan darah sebanyak ini (sekitar 2000ml untuk orang
dewasa) dapat sangat parah. Penderitanya hampir selalu menunjukan
tanda klasik perfusi yang tidak adekuat, termasuk takikardi dan takipnea
yang jelas, perubahan penting oada status mental, dan perubahan
tekanan darah sistolik. Dalam keadaaan yang tidak berkomplikasi,
inilah jumlah kehilangan darah paling kecil yang selalu menyebabkan
tekanan sistolik menurun. Penderita dengan kehilangan darah tingkat ini
hamper selalu memerlukan transfuse darah. Keputusan untuk memberi
transfuse darah didasarkan atas respon penderita terhadap resusitasi
cairan semula dan peruse dan oksigenasi organ yang adekuat.
d) Perdarahan kelas IV (lebih dari 40% kehilangan volume darah); Dengan
kehilangan darah sebnayak ini, jiwa penderita terancam. Gejala-
gejalanya meliputi takikardia yang jelas, penurunan tekanan darah
sistolik yang cukuo besar, dan tekanan nadi yang sangat sempit (atau
tekanan diastolic yang tidak teraba). Produksi urine hampir tidak ada,
kesadaran jelas menurun. Kulit teraba dingin dan tampak pucat.
Penderita ini sering kali memerlukan transfuse cepat dan intervensi
pembedahan segera. Keputusan tersebut didasarkan atas respon
resusitasi cairan yang diberikan. Kehilangan lebih dari 50% volume
darah penderita mengaibatkan ketidaksadaran, kehilangan denyut nadi,
dan tekanan darah.
e) Patah tulang panjang dapat menimbulkan perdarahan yang berat.
Fraktur kedua femur dapat menimbulkan kehilangan darah did alam
tungkai sampai 3-4 liter. Menimbulkan syok kelas III. Pemasangan
bidai yang baik akan dapat menurunkan perdarahan secara nyata
dengan mengurangi pergerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade
otot sekitar fraktur. Pada patah tulang terbuka, penggunaan balut tekan
steril umumnya dapat menghentikan oerdarahan. Resusitasi cairan yang
agresif merupakan hal yang penting disamping usaha menghentikan
perdarahan.
i) Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, serta
ukuran dan reaksi pupil. Suatu cara sederhana untuk menilai tingkat
kesadaran adalah metode AVPU :
A : Alert (sadar)
V : Respon terhadap rangsangan vokal (suara)
P : Respon terhadap rangsangan nyeri (pain)
U : Unresponsive (tidak ada respon)
GCS (Glasgow Coma Scale) adalah system skoring yang sederhana dan
dapat meramal kesudahan (outcome) penderita. GCS ini dapat dilakukan
sebagau pengganti AVPU. Bila belum dilakukannya reeavaluasi pada
primary survey, harus dilakukan pada secondary survey pada saat
pemeriksaan neurologis
Penurunan keasadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau
penurun an perfusi ke otak, atau disebabkan trauma langsung padaotak.
Penurunan kesadraan menun tut dilakukannya reevaluasi terhadap
oksigenasi, ventilasi, dan perfusi.
j) Exposure
Keadaan dengan laserasi, kontusio, abrasi, swelling, dan deformitas
sering terjadi pada pasien trauma. Cara yang paling aman dengan membuka
paaian penderita secara keseluruhan. Ini dilakukan dengan tujuan untuk
memudahkan dalam memeriksa dan mengevaluasi keadaan penderitra,
mencegah terjadinya displacement pada fraktur meminimalkan resiko
terjadiny komplikasi lebih lanjut. Hypothermia harus dapat dicegah, fungsi
jantung harus baik, terutama bila volume darah turun. Kain yang steril dapat
digunakan untuk menutupi luka yang terbuka dengan tujuan untuk
mencegah kontaminasi lebih lanjut.
2) Secondary Survey
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Adanya penurunan kesadaran, letargi, mual dan muntah, sakit kepala,
wajah tidak simetris, lemah, paralysis, perdarahan, fraktur, hilang
keseimbangan, sulit menggenggam, amnesia seputar kejadian, tidak bisa
beristirahat, kesulitan mendengar, mengecap dan mencium bau, sulit
mencerna/menelan makanan.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami penyakit system persyarafan, riwayat trauma
masa lalu, riwayat penyakit darah, riwayat penyakit sistemik/pernafasan,
kardiovaskuler dan metabolik.
3) Riwayat Penyakit Keluarga
4) Kebutuhan Dasar
Eliminasi : Perubahan pada BAK/BAB, inkontinensia, obstipasi, hematuria
Nutrisi: Mual, muntah, gangguan mencerna/menelan makanan, kaji bising
usus.
Istirahat: Kelemahan, mobilisasi, tidur kurang.
5) Psikososial
Gangguan emosi/apatis, delirium, perubahan tingkah laku atau
kepribadian.
6) Pengkajian social
Hubungan dengan orang terdekat, kemampuan komunikasi, afasia
motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, disartria, anomia.
7) Nyeri/kenyamanan
Skala kepala dengan intensitas dan lokasi berbeda, respons menarik
pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah.
8) Pengkajian Fisik
a. fungsi kognitif
Fungsi kognitif biasanya dikaji dengan mengajukan tiga pertanyaan
orientasi mengenai orang, waktu, tempat. Akan tetapi penting untuk
mendapatkan riwayat mendetail dari pasien guna memfasilitasi
pendeteksian perubahan yang tersembunyi sepanjang waktu.
b. Pengkajian tingkat keterjagaan
Dalam mengkaji tingkat keterjagaan pada pasien cedera kepala,
stimulus maksimum harus diberikan secara sistematik dan meningkat
untuk mendapatkan secara efektif respon terbaik/ maksimum pasien.
Langkah pertama upaya membangunkan pasien hanya dengan berbicara,
kemudian berteriak, lalu dengan menggoyangkan, dan selanjutnya
dengan memberikan rangsang nyeri. Pendekatan bertahap seperti ini
member pasien kesempatan untuk mendemonstrasikan peningkatan
keterjagaan atau respon sebaliknya.
c. Pengkajian mata
Pengkajian mata meliputi evaluasi pupil dan pergerakan
ekstraokuler, yang membantu dalam melokalisasi area disfungsi otak.
Pengujian saraf cranial II (optikus) pada tempat perawatan akut
mencakup pendeteksian defek lapang pandang dan ketajaman
penglihatan yang besar. Lapang pandang dapat secara adekuat dikaji
melalui kemampuan pasien untuk mendeteksi gerakan jari pemeriksa
pada setiap lapang pandang. Ketajaman penglihatan dapat secara kasar
dikaji dengan meminta pasien membaca kalimat yang dicetak pada satu
halaman atau menggunakan grafik mata snellen. Jika terdapat
kekhawatiran berkenaan dengan gangguan saraf optic, evaluasi lengkap
yang dilakukan oleh dokter spesialis mata direkomendasikan.
Evaluasi saraf cranial III (okulomotorius) meliputi inspeksi pupil,
termasuk ukuran, bentuk, kesamaan, dan reaksinya terhadap cahaya.
Peningkatan TIK dapat menyebabkn ketidakteraturan bentuk, anisokor,
dan tidak adanya atau sangat sedikitnya reaksi terhadap cahaya.
Saraf cranial III, IV dan VI (okulomotorius, troklearis, abdusens)
seringkali dikelompokkan bersama untuk tujuan pengkajian karena
saraf-saraf tersebut menggerakkan mata. Pengkajian saraf-saraf tersebut
dilakukan dengan meminta pasien mengikuti jari pemeriksa ketika jari
tersebut digerakkan menurut pola huruf H. pengihatan ganda adalah
tanda kelemahan otot mata dengan gangguan saraf cranial.

d. Pengkajian respon batang otak


Batang otak dapat dikaji lebih lanjut pada pasien yang tidak sadar
dengan menguji refeks corneal, batuk, dan gag. Reflex corneal
merefleksikan saraf cranial V dan VII (trigeminus dan fasialis). Reflex
ini diuji dengan mengusapkan gumpalan kapas pada konjungtiva bawah
setiap mata. Kedipan kelopak mata bawah mengindikasikan adanya
reflex. Sensasi stimulus yang mengiritasi menunjukkan fungsi utama
satu cabang saraf trigeminus, dan gerakan kelopak mata bawah
menujukkan fungsi motorik saraf fasialis.
Saraf cranial IX dan X (glosofaringeus dan vagus) keluar pada
ketinggian medulla dan bertanggung jawab atas reflex batuk dan gag
serta melindungi jalan napas dari aspirasi. Reflex batuk dan gag harus
dievaluasi pada apsien yang terjaga dan tidak sadar.
e. Pengkajian fungsi motorik
Pengkajian motorik dilakukan pada pasien terjaga dan kooperatif
dengan meminta pasien menggerakkan ekstremitasnya melawan
gravitasi dan dengan resistansi pasif, pergerakkan terssebut digolongkan
menggunakan skala 1-5.
Pasien yang tidak responsive tersebut dapat menampilkan sikap
tubuh lokalisasi, menarik diri, atau fleksor/ ekstensor ebagai respon
terhadap stimulus yang berbahaya. Lokalisasi stimulus nyeri diamati
sebagai suatu respon yang bertujuan karena pasien mampu
menunjukkan sumber nyeri dan bergerak kearah sumber nyeri tersebut
dengan satu atau kedua ekstremitas melewati garis tengah tubuh.
f. Pengkajian fungsi pernapasan
Pengkajian fungsi dan pola pernapasan penting dalam mendeteksi
perburukan cedera neurologis dan kebutuhan dukungan mekanik.
Banyak bagian dari kedua hemisfer serebral yang mengatur kendali
volunteer terhadap otot yang dignakan dalam bernapas, dengan
serebelum menyesuaikan dan mengkoordinasikan usaha otot. Serebrum
juga sedikit mengendalikan frekuensi dan irama pernapasan.
Pusat kritis inspirasi dan ekspirasi terdapat dalam medulla
oblongata. Setiap lesi intracranial yang berekpansi secara cepat, seperti
perdarahan serebelar, dapat mengompresi medulla, dan menghasilkan
pernapasan ataksik. Pernapasan tidak teratur tersebut terdiri dari napsa
dalam dan dangkal disertai jeda tidak teratur. Pola pernapasan tersebut
menandakan perlunya control jalan nafas definitive melalui intubasi
endotrakeal.
g. Pengkajian system tubuh lain
Selain pengkajian system saraf pusat yang menyeluruh, pegkajian
komprehensif dari seluruh system tubuh lain sangat penting dalam
mengindenifikasi secara dini komplikasi dan sekuela pada pasien cedera
otak.

B. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d PTIK
b. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat
pernapasan otak).
c. Nyeri akut b.d agen cedera fisik trauma kepala
d. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d trauma jaringan, kulit rusak, prosedur
invasif.

C. Rencana Intervensi Keperawatan


a. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d PTIK
NOC: Tissue Prefusion cerebral
1) Tekanan systole dan diastole dalam rentang yang diharapkan
2) Tidak ada ortostatik hipertensi
3) Komunikasi jelas
4) Menunjukkan konsentrasi dan orientasi
5) Pupil seimbang dan reaktif
6) Bebas dari aktivitas kejang
NIC: Circulation Precaution
1) Monitor TTV
2) Monitor AGD, ukuran pupil, ketajaman, kesimetrisan dan reaksi
3) Monitor adanya diplopia, pandangan kabur, nyeri kepala
4) Monitor level kebingungan dan orientasi
5) Monitor tonus otot pergerakan
6) Monitor tekanan intrakranial dan respon neurologis
7) Catat perubahan pasien dalam merespon stimulus
8) Monitor status pasien
9) Pertahankan parameter hemodinamik
10) Tinggikan kepala 30-450 tergantung pada kondisi pasien

b. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat
pernapasan otak).
NOC: Respiratory Status
1) Tingkat pernapasan
2) Irama pernapasan
3) Kedalaman inspirasi
4) Suara napas auskultasi
5) Patensi jalan napas
6) Kapasitas vital
7) Saturasi oksigen
8) Tes fungsi paru
NIC: Airway Management
1) Posisikan klien untuk memaksimalkan potensi ventilasi
2) Identifikasi klien yang membutuhkan insersi aktual/potensial napas
3) Berikan terapi fisik dada, yang sesuai
4) Anjurkan pernapasan dalam dan lambat, berbalik dan batuk
5) Berikan bronkodilator yang sesuai
6) Posisikan klien untuk meringankan dispnea
Oxygen Therapy
1) Bersihkan mulut, hidung, dan sekresi trakea yang sesuai
2) Pertahankan patensi jalan napas
3) Berikan oksigen tambahan seperti yang diperintahkan
4) Monitor liter aliran oksigen
5) Monitor posisi perangkat pemberian oksigen
6) Pantau efektivitas terapi oksigen (misalnya, pulse oxymetry, gda) yang
sesuai.

c. Nyeri akut b.d agen cedera fisik trauma kepala


NOC: Pain Level
9) Ekspresi wajah mengenai nyeri
10) Agitasi
11) Merintih dan menangis
12) Irritabilitas
13) Fokus sempit
NIC: Pain Management
1) Gali pengetahuan dan keyakinan pasien tentang nyeri
2) Dukung klien dan keluarga untuk menyediakan lingkungan
3) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
4) Kurangi factor presipitasi nyeri
5) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
6) Ajarkan prinsip manajemen nyeri
7) Ajarkan tehnik nonfarmakologi untuk mereduksi nyeri (distraksi, relaksasi)
8) Kolaborasi analgesic
9) Tingkatkan istirahat

d. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasif.
NOC: Infection Severty
1) Tidak terjadi tanda-tanda infeksi
NIC: Infection Protection
1) Monitor tanda-tanda sistemik dan lokal dari infeksi
2) Kurangi jumlah pengunjung sesuai kebutuhan
3) Inspeksi kondisi dari luka
4) Kolaborasi pemberian antibiotik
5) Ajarkan keluarga pasien tentang tanda-tanda infeksi
6) Ajarkan pada keluarga cara untuk menghindari infeksi
Wound Care
1) Monitor karakteristik luka: warna, ukuran, bau dan drainase
2) Bersihkan dengan normal saline atau pembersih non toxic jika dibutuhkan
3) Pertahankan kesterilan ketika melakukan perawatan luka
4) Ganti dressing luka jika terdapaat drainase atau eksudat sudah banyak
5) Inspeksi luka setiap pergantian dressing luka
6) Beritahukan kepada pasien dan keluarga mengenai tanda-tanda infeksi
2.1.12 WOC Cedera Kepala

Cedera kepala
Terputusnya - Gangguan fungsi luhur
kontinuitas jaringan - Perubahan perilaku
kulit, otot & - Gangguan fungsi motorik
Ekstra Kranial Tulang Kranial
- Afasia Intra Kranial
Vaskuler

Terputusnya Cedera otak


kontinuitas (kontusio,
jaringan tulang laserasi)

Gangguan - Perubahan
- Perdarahan Gangguan Resiko Nyeri neurologis autoregulasi
- Hematoma suplai darah infeksi fokal - Edema serebral

Perubahan Resiko - Bersihan jalan


Iskemia Kejang
sirkulasi CSS ketikdaefektifan napas
perfusi jaringan - Dispnea
Gangguan
Hipoksia serebral - Henti napas
PTIK pola napas

Girus medialis Gangguan


lobus temporalis fungsi otak
tergeser

Lobus Frontal
Herniasi unkus
Gangguan fungsi
Lobus oksipital penglihatan
Mesensefalon
tertekan
Lobus temporal - Gangguan
keseimbangan
Gangguan - Gangguan memori
kesadaran Lobus parietal
Gangguan fungsi
sensorik (anosmia,
hipestesi, parestesi, dll)
Resiko Immobilisasi Cemas
injury

Resiko gangguan Defisit perawatan diri


integritas kulit
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

Tanggal MRS : 12 Mei 2016 Jam Masuk : 01.30 WIB


Tanggal Pengkajian : 12 Mei 2016 No. RM : 12503796
Jam Pengkajian : 01.30 WIB Diagnosis Medis : COS + CF Clavikula
Sinistra

IDENTITAS PASIEN
1. Nama Pasien : Ny. E
2. Umur : 47 tahun
3. Suku/ Bangsa : Jawa/ Indonesia
4. Agama : Islam
5. Pendidikan : SMA
6. Pekerjaan : Swasta
7. Alamat : Pangkah Kulon RT 6 RW 11 Gresik
8. Sumber Biaya : BPJS

KELUHAN UTAMA
Penurunan kesadaran

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Berdasarkan keterangan dari keluarga pasien, pasien saat dibonceng anaknya naik sepeda
motor roknya terjepit rantai dan pasien terjatuh pada jam 17.00 WIB. Kondisi pasien tidak
sadar, muntah (+), keluar darah dari telinga, terdapat luka pada wajah, bengkak di kepala
kiri dan bahu kiri. Pasien langsung dibawa ke RS Semen Gresik kemudian dirjuk ke IGD
RSDS dengan diagnose COS + SDH + EDH + Fraktur Clavikula Sinistra

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


1. Pernah dirawat : tidak pernah
2. Riwayat penyakit kronik dan menular : tidak ada
Riwayat kontrol : tidak pernah
Riwayat penggunaan obat : tidak ada
3. Riwayat alergi :
Obat : tidak ada
Makanan : tidak ada
Lain-lain : tidak ada
4. Riwayat operasi : tidak ada
5. Lain-lain : tidak ada

RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA


Keluarga mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit Hipertensi, maupun Diabetes
Melitus.

PERILAKU YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN


Perilaku sebelum sakit yang mempengaruhi kesehatan : Tidak ada

OBSERVASI DAN PEMERIKSAAN FISIK


1. Triage : Merah

2. Tanda tanda vital


TD : 160/80 mmHg, N : 106 x/mnt, RR : 20x/mnt, S : 360 C

3. Airway dan C Spine Control/ Immobilization


a. Jalan Nafas : bebas
a. a
b. Obstruksi/Sumbatan : tidak ada
c. Benda Asing : tidak ada
d. Mulut, terkatup : tidak
e. Alat bantu jalan nafas : simple mask 8 lpm
f. Batuk : tidak ada
g. a

4. Breathing
a. Normal : ya
b. Keluhan sesak : tidak ada
c. RR : 20 x/mnt
Pergerakan dada : simetris
d. Penggunaan otot bantu nafas : tidak ada
e. Irama nafas : teratur
f. Suara nafas : vesikuler
g. Pernafasan cuping hidung : tidak ada
h. Suara perkusi paru : sonor
5. Circulation
a. Nadi Karotis : teraba
Nadi Perifer : lemah
Perdarahan : tidak ada
b. Keluhan nyeri dada : tidak ada
c. Irama jantung : reguler
d. Suara jantung : normal (S1/S2 tunggal)
e. Ictus Cordis : teraba di ICS 5 Mid clavikula line
f. CRT : < 2 detik
g. Turgor : normal
h. Akral/perfusi : hangat, kering, merah
i. Intepretasi EKG : Irama sinus takikardi 106 x/mnt
j. Lain-lain : tidak ada

6. Disability
a. Kesadaran : apatis
a. Gelisah : ya
b. GCS : E = 3, V = 3, M = 5
c. Refleks cahaya : positif
d. Pupil : bulat, isokor, diameter : 2/2 mm
e. Kejang : tidak
f. Hemiparese/plegia : tidak ada (Ekstremitas kiri/ kanan)
g. Refleks fisiologis : patella (+), triceps (+), biceps (+)
h. Refleks patologis : babinsky (-), oppenheim (-), schaefer (-)
Meningeal Sign : kaku kuduk (-), brudzinsky (-), kernig (-)
i. Tanda PTIK : Muntah (+)
j. Curiga Fraktur cervikal : jejas atas clavikula
k. Tanda Fraktur Basis Cranii : Bloody otorhoe

7. Eliminasi
URI
a. Kemampuan berkemih :
Menggunakan kateter urin
Jenis : Foley Kateter
Ukuran : 16
Hari ke :1
b. Produksi urine : 80 ml/jam
Warna : kuning jernih
Bau : uremik
c. Kandung kemih : tidak ada pembesaran/nyeri tekan

ALVI
a. Mulut : bersih
a. Membran mukosa : lembab
b. Tenggorokan : Tidak ada nyeri tekan, pembesaran tonsil (-)
Abdomen : supel
Nyeri tekan : tidak
c. Peristaltik : 8 x/menit, suara bising usus (+)

2. Exposure
Bone dan Integumen
a. Pergerakan sendi: terbatas
b. Kekuatan otot:
5 5
5 5: ya
c. Kelainan ekstremitas
d. Kelainan tulang belakang : tidak ada
e. Fraktur : clavikula sinistra
f. Traksi : tidak ada
g. Penggunaan spalk/gips : tidak ada
h. Kompartemen syndrome : tidak ada
i. Kulit : kemerahan
j. Turgor : baik
k. Luka operasi : tidak ada
l. ROM : terbatas
m. Pitting edema : tidak ada

3. Sistem Endokrin
a. Pembesaran tyroid : tidak ada
b. Pembesaran kelenjar getah bening: tidak ada
c. Hipoglikemia: tidak
d. Hiperglikemia: tidak

PEMERIKSAAN PENUNJANG (Laboratorium, Radiologi, EKG, USG, dll)


1. Hasil laboratorium:

Hb: 14,3 PTT/K: 14,9/11,5


WBC: 26,4 (4,5-10,5) BUN/SK: 8,92/0,68
HCT: 43,9 OT/PT: 35/17
Plt: 325 Alb/GDA: 4,2/220
APTT/K: 32,3/25,7 Na/K/Cl: 141/3,1/103

2. Gas darah arteri: alkalosis respiratorik

PH: 7,49 (7,35-7,45) HCO3: 25 (21-25)


PCO2: 29 (35-45) TCO2: 23,5 (0.00-0.00)
PO2: 161 (80-107) BE: -1 (-3,5-2)

3. USG fast (-)

TERAPI
1. Inf. PZ
2. Ketorolak 1 amp
3. Ranitidin 1 amp
4. O2 masker NRM 10 lpm
5. Ceftriaxone 1 gram
6. Monitoring tanda-tanda distress nafas
7. Konsul ke THT terkait bloody othorea

DATA TAMBAHAN LAIN


Hasil Konsul THT:
Kesimpulan di bidang THT ditemukan perdarahan profus dari telinga kiri yang dapat
disebabkan laserasi MAE dan ruptur MT.
Telah dilakukan pemasangan tampon pada pita hemcetin sebanyak satu. Perdarahan
berhenti.
Saran: evaluasi tampon 3 hari lagi.

Hasil CT-Scan

Pemeriksaan untuk memastikan fraktur servical?-->Ada fraktur cervical tidak/


tidak???

PEMERIKSAAN RISIKO JATUH


Pemeriksaan Resiko Jatuh Morse
Faktor Resiko Skala Poin Skor Kesimpulan/
Pasien Masalah
Riwayat Jatuh Ya, dalam 3 bulan 25 25
terakhir
Tidak
Diagnosis Sekunder Ya 15 0
( diagnosis medis) Tidak 0
Alat Bantu Perabot 0
Tongkat/ Alat Penopang
Tidak Ada/ kursi roda/
perawat/ tirah baring
Terpasang Infus/ Ya 20 20
terapi intravena Tidak 0
Gaya Berjalan Terganggu/ kerusakan 20 20
kelemahan 10
Normal/ tirah baring/ 0
imobilisasi
Status Mental Sering lupa akan 15 0
keterbatasan yang
dimiliki/ tidak konsisten
dengan perintah
Orientasi baik terhadap 0
kemampuan diri sendiri
Catatan Total 65 Resiko Tinggi

Keterangan

Tingkatan Nilai MFS Tindakan


Resiko
Tidak Berisiko 0-24 Perawatan Dasar
Risiko Rendah 25-50 Pelaksanaan intervensi pencegahan jatuh standar
Risiko Tinggi 51 Pelaksanaan intervensi pencegahan jatuh risiko
tinggi

ANALISA DATA

TANGGAL DATA ETIOLOGI MASALAH


12 Mei 2016 DS: - Cidera kepala Risiko tinggi
DO: PTIK
Terdapat edema cerebri Hematom
(dicurigai SDH),
GCS: E3-V3-M5 Perubahan pada cairan intra
Px.tampak gelisah dan ekstra sel, peningkatan
suplai darah ke daerah trauma

Vasodilatasi arterial

Edema cerebri

Jaringan sekitar tertekan

Risiko tinggi PTIK

12 Mei 2016 DS:- Cidera kepala Gangguan


DO: perfusi serebral
Penurunan kesadaran Hematom
GCS: E3-V3-M5
Px.tampak gelisah Perubahan pada cairan intra
dan ekstra sel, peningkatan
suplai darah ke daerah trauma

Vasodilatasi arterial

Edema cerebri

Gangguan suplai darah dan O2


ke otak

Hipoksia cerebri

Gangguan perfusi serebral

12 Mei 2016 DS: Fraktur Clavikula (S) Nyeri akut


DO:
Multiple trauma Pergeseran fragmen tulang
Penurunan kesadaran
GCS: E3-V3-M5 Fragmen tulang merusak organ
P: fraktur sekitar
Q: nyeri tajam
R: clavikula sinistra Kerusakan jaringan
S: skala 8 (0-10)
Nyeri akut
T: terus menerus,
memberat jika
digerakkan
a
Bloody otorhea masuk
kemana? resiko infeksi?
PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko tinggi PTIK
2. Gangguan perfusi serebral
3. Nyeri akut
4. a
RENCANA KEPERAWATAN

HARI/TGL WAKTU DIAGNOSA INTERVENSI


KEPERAWATAN
12/5/2016 01.45 Resiko tinggi peningkatan a
TIK b/d penekanan jaringan 1. Pantau adanya perubahan
otak sekunder akibat edema TTV
serebri dan adanya 2. Evaluasi pupil, amati
perdarahan. ukuran, dan ketajaman serta
Tujuan: Dalam jangka waktu reaksi terhadap cahaya
1x6 jam setelah dilakukan 3. Catat muntah, sakit kepala
tindakan keperawatan tidak (konstan, letargi), gelisah,
RR tinggi dan tidak
terjadi peningkatan TIK.
beraturan, dan gerakan
Kriteria hasil:
involunter
Pasien tidak gelisah 4. Minimalkan pencahayaan
Pasien tidak mengeluh 5. Hindari gerakan yang kasar
nyeri kepala, mual, dan saat memposisikan kepala
muntah 6. a
TTV dalam batas norma
(TD: 120/80 mmHg, N:
60-100 x/menit, RR: 16-
20 x/menit, S: 36,5-
37,5C)

12/5/2016 01.45 Gangguan perfusi jaringan 1. Monitor perubahan TTV


serebral b/d gangguan suplai 2. Monitor dan catat status
darah dan O2 ke otak neurologis dengan
Tujuan: Dalam jangka waktu menggunakan metode GCS
1x6 jam setelah dilakukan 3. Pertahankan posisi kepala
tindakan keperawatan pasien yang sejajar dan tidak
menunjukkan status sirkulasi menekan
dan tissue perfusion serebral 4. Hindari batuk yang
berlebihan, muntah,
yang baik
mengedan, pertahankan
Kriteria hasil:
pengukuran urin dan
TTV dalam batas norma hindari konstipasi yang
(TD: 120/80 mmHg, N: berkepanjangan (hindari
60-100 x/menit, RR: 16- valsava maneuver)
20 x/menit, S: 36,5- 5. Berikan oksigen sesuai
37,5C) dengan indikasi
Tidak ada tanda-tanda
PTIK (nyeri kepala hebat,
papil edema, mual,
muntah proyektil)
Kesadaran composmentis
Pupil isokor 3 mm/3mm
12/5/16 01.45 Nyeri akut b/d kerusakan 1. Pantau perubahan skala
jaringan sekunder akibat nyeri
cedera. 2. Berikan posisi yang
Tujuan: Dalam jangka waktu nyaman
1x6 jam setelah dilakukan 3. Kolaborasi pemberian
tindakan keperawatan, nyeri analgetik
pasien berkurang atau 4. Kolaborasi imobilisasi area
terkontrol fraktur.
Kriteria hasil:
Menyatakan nyeri
berkurang
Skala nyeri menjadi 6
TTV dalam batas norma
(TD: 120/80 mmHg, N:
60-100 x/menit, RR: 16-
20 x/menit, S: 36,5-
37,5C)
Pasien tampak lebih
tenang

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN


Tgl No. Jam Implementasi Jam Evaluasi (SOAP)
DK
12/5/16 1 01.55 1. Memantau adanya 06.00 S: -
perubahan TTV
2. Mengamati O: Pasien mengalami
perubahan ukuran penurunan kesadaran dengan
pupil GCS 3-3-5, mual (-), muntah
3. Memantau tanda- (-), TD: 120/70 mmHg, Nadi:
tanda PTIK 80x/menit, RR: 24x/menit
4. a A: Masalah belum teratasi
P: Lanjutkan intervensi

12/5/16 2 01.55 1. Memonitor 06.00 S: -


perubahan TTV O: TD: 120/70 mmHg, Nadi:
2. Memonitor dan 80x/menit, RR: 24x/menit,
mencatat status GCS 3-3-5, pupil isokor 3
neurologis dengan mm / 3 mm
menggunakan A: Masalah belum teratasi
metode GCS P: Lanjutkan intervensi
3. Mempertahankan
posisi kepala yang
sejajar dan tidak
menekan
4. Memberikan
oksigen NRM 10
lpm

12/5/16 3 01.55 1. Memantau 06.00 S: -


perubahan skala O: GCS 3-3-5, pasien tampak
nyeri gelisah, TD: 120/70 mmHg,
2. Memberikan posisi Nadi: 80x/menit, RR:
yang nyaman 24x/menit, S: 36,8C
3. Memberikan injeksi A: Masalah belum teratasi
ranitidin dan P: Lanjutkan intervensi
ketorolac
4. Memberikan
imobilisasi pada
area fraktur
DAFTAR PUSTAKA

Dewantoro, G., Suwono, W. J., Riyanto, B., Turana, Y. (2007). Panduan Praktis Diagnosis
& Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.

Dewi, Ni Made Ayu A. 2013. Autoregulasi Serebral Pada Cedera Kepala. Bagian/SMF
Ilmu Kedokteran Bedah Fakultas Kedokteran Udayana.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82587&val=970

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. 2005. Cedera Kepala. Jakarta: Deltacitra
Grafind.

Ganong, William F. (2005). Review of Medical Physiology. California: McGraw Hill


Professional.
Greisen, G. Autoregulation of Cerebral Blood Flow. NeoReviews 2007;vol.8:e22- e31.
Hudak, Carolyn M. 2010. Keperawatan Kritis Pedekatan Holistik Edisi 6 Volume 2.
Jakarta: EGC

Jakarta Medical Service 119 Training Division, 2012


Kidd, Pamela s. (2011). Pedoman Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC
Lieshout, JJ, Wieling, W.Perfusion of the human brain: a matter of interactions. J Physiol
2003;551.2:402.

Lumandung, Feibyg T, James F. Siwu, Johannis F. Mallo. (2013). Gambaran Korban


Meninggal Dengan Cedera Kepala Pada Kecelakaan Lalu Lintas Di Bagian
Forensik Blu Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Tahun 2011-2012.
(online). http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/viewFile/3608/3136

Morton, Patricia G, et al. (2011). Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistik.


Jakarta: EGC
NANDA Internasional. (2012). Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-
2014. Jakarta: EGC.
Oman, K. S., McLain. J. K., & Scheetz, L. J. (2002). Panduan Belajar Keperawatan
Emergensi. Jakarta: EGC.

PERDOSSI cabang Pekanbaru. 2007. Simposium trauma kranio-serebral tanggal


3November 2007. Pekanbaru : PERDOSI.
Potter, Patricia A. & Anne G. Perry. (2006). Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses,
dan Praktik. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A. & Lorraine Wilson. (1995). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Snell RS. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.Sugiharto L,
Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah.
Jakarta: EGC
Stochett, N, et al. Hyperventilation in Head Injury. CHEST 2005;127:1812-25.

Umar Kasan (2000), Penanganan Cidera Kepala Simposium IKABI Tretes.


Walters, FJM. Intracranial Pressure and Cerebral Blood Flow.
www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u08/u08_013.htm.
Werner, C, Engelhard, K. Pathophysiology of traumatic brain injury. BJA 2007;99: p.6-10.
Wijaya, Andra Saferi. (2013). Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan Dewasa Teori
dan Contoh Askep). Yogyakarta : Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai