Eritroderma atau dermatitis eksfoliativa adalah penyakit inflamasi pada kulit yang di tandai dengan eritema universal (90%-100%) dan biasanya disertai skuama. Pada beberapa kasus skuama tidak selalu ditemukan, misalnya pada eritroderma yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, pada mulanya tidak disertai skuama. Pada eritroderma kronik, eritema tidak begitu jelas karena bercampur dengan hiperpigmentasi. Eritroderma dapat timbul sebagai perluasan dari penyakit kulit yang telah ada sebelumnya (Psoriasis, dermatitis atopik, dan dermatosis spongiotik lainnya), reaksi hipersensitivitas obat (antiepilepsi, antihipertensi, antibiotika, calcium channel blocker, dan bahan topikal, penyakit sistemik termasuk keganasan, serta idiopatik (20%).1 Tidak ada data yang tepat tentang eritroderma baik mengenai prevalensi maupun insidennya. Dilaporkan pasien pria lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 2:1 sampai 4:1. Onset penyakit rata-rata pada usia 52 tahun. Penyakit yang mendasari tercatatnya pada suatu penelitian adalah dermatitis (24%), psoriasis (20%), reaksi obat (19%), CTCL (8%). Jika kelompok dermatitis sebagai penyebab kita uraikan lebih lanjut ternyata penyebab terbanyak adalah DA (9%), DK (6%), DS (4%), dan chronic actinic dermatosis.1 Eritroderma secara klinis digambarkan dengan eritema luas, skuama, pruritus, dan lesi primernya biasanya sulit ditentukan. Peradangan kulit yang begitu luas pada eritroderma merupakan salah satu penyakit yang dapat mengancam jiwa. Risiko ini semakin meningkat bila diderita oleh penderita dengan usia yang sangat muda atau pada usia lanjut. Pada beberapa penderita, eritroderma dapat ditolerensi dan berada pada kondisi yang kronik.2 Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk membuat laporan kasus mengenai eritroderma di bagian ilmu kesehatan kulit dan kelamin RSUD Palembang BARI.