Anda di halaman 1dari 14

ERITRODERMA

PENDAHULUAN
Eritroderma, juga dikenal sebagai dermatitis eksfoliatif, merupakan kelainan pada kulit
dengan gambaran dermatologis berupa eritema difus dan skuama yang meliputi lebih dari 90%
area permukaan kulit.1,2 Seluruh permukaan tubuh biasanya berwarna kemerahan dan dilapisi
skuama berlapis (The Red Man Syndrome).2,3 Istilah eritroderma pertama kali diperkenalkan oleh
Hebra (1868). Berdasarkan pengalaman klinik sebelumnya, eritroderma diklasifikasikan menjadi
kronis relaps (Wilsom-Brocq), kronik persisten (Hebra), dan varian self-limiting epidemic
(Savill). Tetapi, klasifikasi ini tidak lagi digunakan.4 Etiologi terjadinya eritroderma adalah
adanya penyakit yang mendasari. Penyakit yang mendasari eritroderma ini berupa dermatosis,
penyakit sistemik, infeksi, keganasan, dan kongenital.2
Insiden eritroderma sangat bervariasi antara 0,9-71 pada 100.000 pasien. Rasio kejadian
penyakit eritroderma pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, yaitu 2:1 hingga 4:1.
Eritroderma lebih banyak terjadi pada usia lebih dari 40 tahun, khususnya rentang usia antara 41-
61 tahun. Lebih dari 50% kasus eritroderma dilatarbelakangi penyakit dermatosis yang sudah ada
sebelumnya.2,6 Mortalitas eritroderma sebesar 18%-64% berdasarkan beberapa penelitian
sebelumnya, tetapi angka tersebut bervariasi sesuai dengan etiologinya.6
Tinjauan pustaka ini akan membahas etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, pemeriksaan
penunjang, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis eritroderma agar dapat diaplikasikan dalam
penanganan eritroderma secara tepat.

ETIOLOGI
Dasar terjadinya eritroderma adalah penyakit yang sudah ada sebelumnya, baik berupa
penyakit yang terbatas pada kulit ataupun penyakit sistemik. Penyakit yang mendasari timbulnya
eritroderma adalah dermatosis sebesar 52%, reaksi hipersensitivitas obat sebesar 15%, cutaneous
T cell lymphoma (CTCL) atau sezary syndrome sebesar 5%, dan eritroderma idiopatik sebesar
20%.2,4 Penyebab eritroderma yang kurang umum pada pasien dewasa antara lain penyakit
imunobulosa, penyakit jaringan ikat, infeksi skabies dan dermatofit, pitiriasis rubra piliaris (PRP),
dan penyakit keganasan (Tabel 1 dan 2).2
1
Tabel 1. Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan eritroderma (bersambung)2
Dermatosis Sistemik Infeksi
Dermatitis spongiotik Dermatomiositis Bakteri
- Dermatitis Atopik* Subacute cutaneous - Tuberkulosis
- Dermatitis Seboroik lupus - Sifilis Kongenial
- Dermatitis Kontak Acute graft- versus Viral
- Dermatitis Stasis host disease* - Hepatitis C
Bulosa Postoperative transfusion - HIV
- P emfigusbulosa induced - HHV 6
- Pemfigus Paraneoplastik Thyrotoxicosis Fungal
- Pemfigoid bulosa Sarcoidosis - Dermatofit
- Hailey-hailey Hypercalcitonemia - Histoplasmosis
Papulaskuamosa Idiopathic - Kandidiasis Kutaneus
- Psoriasis* hypereosinophilic Kongenital
- Pitriasis rubra pilaris* syndrome Parasit
- Impetigo herpetiformis - - Norweigan scabies
Fotosensitif - Toxoplasmosis
- Dermatitis - Leismaniasis
Aktinik Toxin-mediated Infections
Kronik - Toxic shock
- Aktinik Retikuloid syndrome
Erupsi Obat - - Staphylococcal
Lain-lain scalded-skin syndrome*
- Pseudolimfoma
- Eritem gyratum repens
- Perforating folliculitis
- Radiation recall dermatitis
- Eritroderma senilis dengan
hiperIgE

*Nama penyakit tersering

Secara singkat, etiologi eritroderma yang paling banyak adalah ID-SCALP, yaitu idiopatik,
drug allergy, seborrheic dermatitis, contact dermatitis, atopic dermatitis, lymphoma/leukemia, dan
psoriasis.6 Psoriasis adalah penyebab terbanyak dari eritroderma, yaitu sebanyak 32% kasus,
terutama pada psoriasis yang sudah lama dan berulang.8,10
Selain dicetuskan oleh penyakit, eritroderma juga dapat ditimbulkan akibat reaksi obat.
Beberapa obat seperti golongan calcium channel blockers, antiepilepsi, antibiotik (seperti penisilin,
sulfonamid, dan vancomisin), allopurinol, gold, lithium, quinidine, simetidin dan dapson adalah
yang paling sering mencetuskan terjadinya eritroderma (Tabel 3).2,4

2
Tabel 2. Penyakit- penyakit yang berhubungan dengan eritroderma2
Keganasan Kongenital
Tumor Solid Imunodefisiensi
- Paru - Hipogammaglobulinemia
- Prostat - Waskott-Aldrich syndrome
- Tiroid - Severe combined Immunodeficiency
- Liver - Omenn syndrome
- Gallbladder - Leiner disease
- Melanoma - Hiperimunoglobulin E
- Payudara - Secretory IgA deficiency
- Ovarium Metabolik
- Tuba uterina - Maple syrup urine disease
- Esofagus - Neutral lipid storage disease
- Lambung - Essential fatty acid deficiency
- Rektum - Holocarboxylase synthetase
- Buschke-Lowenstein tumor deficiency
Limfiproliferatif Ikhtiosis
- Cutaneous T-Cell carcinoma* - Bullous congenital Ichthyosiform
- Sezary syndrome erythroderma
- Papuloerythroderma of Ofuji - Netherton syndrome
- Hodgkin Lymphoma - Conradi-Hunermann syndrome
- B-Cell Lymphoma - H i perkeratosis epidermolitik
- Castleman Disease
- Adult T-cell Leukemia
- Miedisplasia
- Reticulum cell sarcoma
*Nama penyakit tersering

Tabel 3. Obat yang berhubungan dengan eritroderma2,4


Antibiotik Antiinflamasi Antivirals Lain-lain
Aztreonam Aspirin Dideoxyinosine Allopurinol*
Cefoxitin Celecoxib Indinavir Antimalarials
Gentamicin Metamizole Zidovudine Cimetidine
Isoniazid Phenylbutazone Anti-lepromatous Clodornate
Minocycline Piroxicam Clofazimine Codeine
Neomycine Cardiac Drugs Dapsone Ephedrine
Penicilin Amiodarone Anti-epileptics Gold
Ribostamycin Captopril Carbamazepine* Interleukin 2
Strepromycin Isosorbide dinitrate Phenytoin Nystatin
Sulfasalazine* Mexiletine Phenobarbital* Propolis
Sulfonamides* Nifedipine Chemotherapy Pseudoephederine
Teicoplanin Practolol Carboplatin Ranitidine
Thiasetazone Quinidine Cisplatin Retinoids
Tobramycin Psychiatric Doxurubicin Thalidomide
Trimethoprim Barbiturates Fluoroucil Thiazide
Vancomycin Bupropion Imatinib Timolol eye drop
Diabetic Cholpromazine Mitomycin Tramadol
Sulfonylureas Etumine Pentostatin Tumor necrosis
Chlorpropanamide Lithium Vinca alkaloids factor alpha
*Obat yang paling sering menimbulkan eritroderma

3
PATOGENESIS
Patogenesis timbulnya eritroderma berkaitan dengan patogenesis dari kelainan yang
mendasari timbulnya penyakit. Mekanisme kelainan yang mendasari akan bermanifestasi sebagai
eritroderma seperti dermatosis yang menimbulkan eritroderma, atau bagaimana timbulnya
eritroderma secara idiopatik tidak diketahui secara pasti.2 Penelitian terbaru mengenai
imunopatogenesis infeksi yang diperantarai toksin, misalnya teori yang mengatakan bahwa
kemungkinan kolonisasi stafilokokus aureus atau antigen lain, seperti toksin-1 toxic shock
syndrome, berperan dalam patogenesis eritroderma.1
Secara molekular pada psoriasis dan dermatitis atopik, adhesi molekul dan ligan molekul
berperan dalam interaksi endotel-leukosit yang mempengaruhi perlekatan dan infiltrasi limfosit
dan sel mononuklear selama proses inflamasi, luka, atau respons imunologi. Peningkatan ekspresi
molekul adhesi juga dapat menstimulasi inflamasi dermis yang menimbulkan proliferasi
epidermal dan peningkatan produksi mediator inflamasi. Interaksi kompleks dari sitokin dan
molekul adhesi selular seperti interleukin (IL-1, IL-2, IL-8), intercelullar adhesion molecul-1
(ICAM-1); vascular cell adhesion molecul-1 (VCAM-1); dan E-selectin, akan meningkatkan
pertumbuhan mitotik.2,7 Jumlah sel germinal dan kecepatan mitosis pada kulit dengan eritroderma
meningkat dibandingkan kulit normal, sehingga waktu transit sel melalui epidermis menjadi lebih
pendek. P rotein, asam amino, dan asam nukleat yang memediasi proses tersebut akan lebih
cepat hilang dari tubuh. Kehilangan unsur protein yang lebih tinggi daripada umumnya akan
mempengaruhi proses metabolisme.2,7
Infiltrat dermal pada pasien dengan Sezary syndrome menunjukkan profil sitokin T-helper
2. Berbeda dengan profil sitokin T-helper 1 pada eritroderma reaktif yang ringan. Ekspresi profil
sitokin T-helper 2 menyebabkan limfosit reaktif. Hal ini menunjukkan bahwa eritroderma
memiliki patogenesis yang berbeda sesuai etiologinya.2,7
Peningkatan immunoglobulin E (IgE) juga dapat terjadi pada berbagai kelainan yang
mendasari terjadinya eritroderma, dan mekanismenya pun berbeda. Misalnya pada eritroderma
karena psoriasis, dimana peningkatan IgE adalah akibat perubahan dari profil sitokin T helper 1
menjadi sitokin T helper 2. Mekanisme ini berbeda dengan kelebihan produksi IgE (primer)
pada dermatitis atopik. Sindroma hiper IgE adalah suatu defisiensi imun yang berhubungan dengan
eritroderma, pada kasus ini produksi IgE tinggi akibat ketidakcukupan sekresi interferon
4
selektif.1 Peningkatan IgE ini mungkin terkait dengan proses penyakit yang mendasari atau dengan
manifestasi penyakit sebagai eritroderma.2
Anamnesis lengkap sangat membantu dalam menentukan etiologi dari eritroderma. Dari
anamnesis dapat diperoleh informasi mengenai kemungkinan faktor pencetus termasuk diantaranya
riwayat penyakit sebelumnya (riwayat dermatosis, keadaan kesehatan sistemik), riwayat keluarga,
dan penggunaan obat-obatan. Pada pasien yang memiliki riwayat psoriasis dan dermatitis atopik
harus ditanyakan dengan jelas mengenai pengobatan dengan kortikosteroid topikal dan sistemik,
metotreksat, dan pengobatan sistemik lainnya; iritan topikal, penyakit sistemik; infeksi; dan stres
emosional. Waktu onset sangat penting untuk menentukan etiologi eritroderma. Eritroderma yang
dicetuskan oleh reaksi obat biasanya waktu onsetnya cepat. Kecuali yang menjadi pencetusnya
obat seperti antikonvulsan, antibiotik, dan allopurinol, dimana reaksi terjadi 2-5 pekan setelah
pengobatan.2

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi Kutaneus
Secara klinis eritroderma ditandai dengan eritema dan sisik yang lebih dari 90% luas
permukaan kulit. Penyakit ini umumnya diawali sebagai plak eritema yang timbul akibat dilatasi
kapiler. Setelah beberapa hari hingga pekan, plak eritema akan menjadi lebih terang dan menyebar
hampir ke seluruh permukaan kulit. Deskuamasi mulai timbul beberapa hari setelah onset eritem
dan tampak pertama kali pada fleksura. Skuama yang terbentuk biasanya berwarna putih atau
kuning. Akibat proses deskuamasi, kulit akan tampak kering berwarna merah tua yang dilapisi
skuama yang mengelupas.2
Terdapat beberapa variasi skuama pada eritroderma sesuai dengan etiologinya. Pada keadaan
akut, skuama biasanya lebar dan berkrusta, sedangkan pada keadaan kronis skuama cenderung lebih
kecil dan kering. Beberapa varian skuama antara lain adalah skuama tipis pada dermatitis atopik,
brain-like skuama pada dermatitis seboroik, skuama disertai krusta pada pemfigus foliaseus, dan
eksfoliatif pada erupsi obat. Meskipun terdapat berbagai varian skuama, eritroderma sebenarnya
masih memiliki beberapa tanda klinis lainnya. Keluhan yang paling banyak adalah pruritus yang
terdapat pada hampir 90% pasien eritroderma.4,8 Pruritus yang dirasakan biasanya menimbulkan
ekskoriasi.6 Pada pasien eritroderma karena erupsi obat, dapat ditemui keadaan likenoid, morbiliform,
5
dan urtika. Selain itu, indurasi dan likenifikasi yang terjadi pada eritroderma akan menimbulkan
sensasi kulit yang tebal.7
Eritroderma idiopatik biasa terjadi pada pasien usia lanjut laki-laki dengan manifestasi
berupa keratoderma palmo-plantar. Pada beberapa kasus, eritroderma idiopatik dapat hilang sendiri
dan sisanya berkembang menjadi CTCL sehingga eritroderma idiopatik sering disebut sindrom
premalignan.10
Perubahan kuku dapat terjadi pada 40% pasien. Sebagian besar kuku terlihat mengkilat
(shiny nail), tetapi perubahan warna, rapuh, hiperkeratosis subungual, Beaus line, paronikia,
onikolisis, onikomadesis, onikodistrofi, dan pendarahan juga dapat ditemukan.2,9 Eritroderma
kronis juga akan bermanifestasi pada kulit kepala dimana pada kulit kepala timbul sisik
(skuama), serta alopesia pada 20% pasien. 2,4 Selain itu, pada beberapa kasus eritroderma
psoriasis dapat ditemukan madarosis. 9

Gambar 1. Eritroderma1,2

Manifestasi Sistemik
Edema pretibial ditemukan pada 50% pasien yang disebabkan oleh perpindahan cairan ke
ruang ekstraseluler. Pada pasien dengan drug-induced eritroderma, dapat timbul juga edem wajah.
Selain itu, karena meningkatnya aliran darah ke kulit dan kehilangan cairan melalui transpirasi, 40%
pasien menjadi takikardia dengan risiko tinggi terjadi gagal jantung, terutama pada pasien usia lanjut.
Perfusi kulit yang meningkat juga menimbulkan gangguan termoregulator. Namun pada klinisnya,

6
keadaan hipertermi lebih banyak terjadi, yaitu pada 37% pasien dan hipotermi pada 4% pasien, yang
disertai dengan menggigil. Kehilangan panas kronis dapat menimbulkan kompensasi
hipermetabolisme sehingga terjadi kaheksia. Manifestasi lain pada eritroderma adalah limfadenopati
generalisata pada 50% pasien.4,8 Ginekomastia juga dapat ditemui dan terjadi karena kelebihan
esterogen, namun mekanismenya belum diketahui.7

Gambar 2. (a) Blefaritis dan ektropion, (b) Keratoderma2

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorik
Pada eritroderma, pemeriksaan laboratorik jarang digunakan sebagai diagnostik dan tidak
spesifik. Abnormalitas hasil laboratorik yang biasa ditemukan adalah anemia, leukositosis,
limfositosis, eosinofilia,peningkatan IgE, hipoalbuminemia, peningkatan LED. Kehilangan cairan
dapat menyebabkan gangguan elektrolit dan ginjal (peningkatan kadar kreatinin). Peningkatan IgE
terdapat pada pasien dengan dermatitis atopik dan psoriasis. Eosinofilia hanya ditemukan pada sekitar
20% pasien. Jika dicurigai sebagai CTCL, pemeriksaan menyeluruh mengenai evaluasi kulit, darah,
dan nodus limfe sangat diperlukan.2

b. Pemeriksaan histopatologi
Hasil histopatologi bergantung pada etiologi eritroderma. Pengambilan biopsi kulit dapat
dilakukan berulang kali untuk menegakkan diagnosis beserta etiologinya. Seringkali spesimen biopsi
menunjukkan gambaran nonspesifik berupa hiperkeratosis, parakeratosis, akantosis, atau infiltrat
inflamasi kronik yang dapat menyulikan penegakan diagnosis. Gambaran histopatologi biasanya

7
tergantung pada fase atau tingkat keparahan inflamasi. Satu dari tiga spesimen biopsi gagal
menunjukkan etiologi eritroderma (Tabel 4).2

Tabel 4. Gambaran histopatologi sesuai etiologi eritroderma2


Etiologi Gambaran Histopatologi
Dermatitis atopik, dermatitis kontak Infiltrat limfosit superfisial, eosinofil, parakeratosis
CTCL Sel mononuklear atipik sepanjang stratum basalis, infiltrat likenoid
Dermatofitosis Hifa dan neutrofil pada stratum korneum, parakeratosis, edema papilari dermis
Erupsi obat Perubahan vakuolar, keratinosit nekrotik pada epidermis, inflamasi perivaskular
disertai eosinofil
Acute graft vs host disease Perubahan vakuolar, diskeratosis epidermis, satellite cell necrosis, celah
subepidermis
Pemfigoid Bulla subepidermis, eosinofil dermis
Pemfigus Bulla intraepidermis, akantolisis, eosinofil dan neutrofil
Pitiriasis rubra pilaris Hiperplasia epidermis, orthokeratosis dan parakeratosis, infudibulum folikel melebar
Psoriasis Hiperplasia epidermis psoriasiformis, parakeratosis konfluen dilapisi neutrofil,
hipogranulosis
Skabies Inflamasi superfisial dan perivaskular, banyak eosinofil, gambaran tungau/telur/feses
di stratum korneum
Idiopatik Nonspesifik, biasanya mirip histopatologi dermatitis kronik/subakut

PENATALAKSANAAN

Eritroderma memerlukan perawatan medis serius, oleh karena itu pasien eritroderma perlu
dirawat di rumah sakit. Prinsip pengobatan pasien eritroderma antara lain manajemen awal,
menghindari faktor pencetus, mencegah hipotermia, diet cukup protein, menjaga kelembaban kulit
pasien, menghindari menggaruk, mencegah infeksi sekunder baik lokal maupun sistemik,
mengurangi edema, dan penggunaan terapi empiris eritroderma seperti kortikosteroid sistemik,
metotreksat, siklosporin, dan mofetil mikofenolat.2,9

Penatalaksanaan Umum
a. Manajemen awal hidrasi
Pada fase ini perlu dilakukan pengawasan nutrisi dan pengontrolan asupan cairan serta
elektrolit karena dapat menyebabkan pasien menjadi dehidrasi ataupun gagal jantung akibat
overload.2,9

8
b. Menghindari faktor pencetus
Semua obat yang dianggap sebagai faktor pemicu eritroderma harus dihentikan
pemakaiannya, termasuk obat yang mengandung litium dan antimalaria yang dapat menjadi
pencetus pada pasien psoriasis.2

c. Mencegah hipotermia
Pada pasien erittroderma dapat timbul komplikasi berupa hipotermia yang disebabkan
gangguan pada fungsi termoregulasi di kulit sehingga kulit akan melepaskan panas
tubuh secara spontan. Untuk mencegah komplikasi tersebut perlu dilakukan pengaturan suhu
lingkungan sekitar pasien agar tetap hangat. Selain itu untuk mencegah penguapan panas tubuh
yang berlebihan dapat dimanfaatkan wet dressing.2

d. Diet cukup protein


Pada pasien eritroderma terjadi penggunaan protein yang berlebihan karena terjadi
peningkatan pembentukan skuama. Kehilangan banyak protein ini akan menyebabkan terjadinya
hipoalbuminemia. Karena itu asupan gizi yang cukup protein sangat berguna dalam proses terapi
pasien eritroderma.2

e. Menghindari menggaruk
Penggunaan antihistamin dapat diberikan pada pasien eritroderma sebagai terapi
simtomatis terhadap rasa gatal. Sensasi gatal yang timbul pada permukaan kulit merupakan bagian
dari alergi imunologi yang disebabkan oleh histamin yakni pada reseptor H1. Sehingga
antihistamin H1 akan menekan reseptor H1 akibatnya rasa gatal akan berkurang.2

Penatalaksanaan Khusus
1. Topikal
Pada pasien eritroderma kulit akan cenderung kering dan bersisik. Kulit yang kering dan
menjadi retak-retak berisiko untuk terjadi infeksi sekunder yang bersifat lokal. Untuk itu
diperlukan bahan yang dapat menjaga kelembaban kulit. Emolien dapat digunakan untuk
melembutkan dan melembabkan kulit serta mengembalikan fungsi barrier kulit. Emolien

9
merupakan bahan dasar untuk kosmetik serta berfungsi untuk membatasi hilangnya cairan. Selain
itu, steroid topikal potensi ringan dan sedang dapat mengurangi inflamasi kutaneus. Steroid
topikal potensi tinggi dan imunomodulator topikal (seperti tacrolimus) harus digunakan dengan
hati-hati bahkan dihindari karena terdapat peningkatan absorbsi transkutaneus pada
eritroderma.2,11 Penggunaan steroid topikal potensi tinggi hanya digunakan pada area yang
mengalami likenifikasi dan kronis, bukan untuk digunakan secara luas.4 Pengobatan topikal lain
adalah antralin, tar batu bara, asam salisilat, analog vitamin D (calcipotrien, tacacitol,
maxacalcitol), dan calcineurin inhibitor (takrolimus, pimekrolimus), tetapi obat topikal tersebut
memiliki efek iritan dan harus dihindari.2,4,11 Tar batu bara dapat memperburuk keadaan
eritroderma.4

2. Sistemik
a. Mencegah infeksi sekunder
Antibiotik sistemik diperlukan bagi pasien yang terbukti mendapat infeksi sekunder baik
yang bersifat lokal maupun sistemik. Pemberian antibiotik sistemik pada pasien yang tidak
terbukti mengalami infeksi sekunder juga memberikan keuntungan karena kolonisasi bakteri
dapat menyebabkan eksaserbasi eritroderma.2

b. Mengurang edema
Pada pasien eritroderma akan terjadi peningkatan pembentukan skuama. Pembentukan
skuama ini memerlukan protein sebagai bahan dasar. Akibatnya protein di dalam tubuh
menurun, terjadi hipoalbuminemia. Albumin yang rendah di dalam darah menyebabkan
tekanan onkotik menurun sehingga cairan intrasel akan mengisi jaringan interstitiel (terjadi
edema). Untuk mengurangi edema dapat diberikan obat diuretika.2

c. Kortikosteroid sistemik
Kortikosteroid sistemik harus dihindari pada pasien eritroderma yang dicetuskan
oleh psoriasis karena dapat menyebabkan reborn flare.1 Eritroderma yang disebabkan oleh
psoriasis memiliki respon baik terhadap metotreksat, siklosporin, acitretin, dan mofetil
mikofenolat.2 Kortikosteroid sistemik berguna untuk eritroderma yang dimediasi oleh reaksi
10
hipersensitivitas obat, spongiotic dermatitis dan papuloeitroderma Ofuji. Selain itu kortikosteroid
sistemik dapat digunakan sebagai terapi pada eritroderma yang tidak diketahui etiologinya.2
Dosis inisial kortikosteroid sebesar 1-2 mg/kg/hari dengan tappering off dan dosis maintenance 0,5
mg/kg/hari.2,4

d. Metotreksat
Metotreksat adalah golongan antimetabolik yang awalnya ditujukan untuk pengobatan
keganasan hematologi dan beberapa tumor epitel. Kemudian obat ini digunakan untuk mengobati
penyakit yang tidak tergolong penyakit keganasan seperti reumatoid artritis, asma, penyakit
graft versus host, psoriasis, cutaneus cell lymphoma dan sarkoidosis. Metotreksat bekerja
sebagai antagonis asam folat yang menghambat sintesis DNA dan efek sekunder pada kemotaksis
polimorfonuklear.2,5 Dosis 15-25 mg/minggu peroral atau dosis maksimum 30-35 mg/minggu.5

e. Siklosporin (Cyclosporin A)
Siklosporin adalah golongan obat imunosupresif. Selain digunakan sebagai obat
transplantasi, siklosporin juga digunakan pada psoriasis, dermatitis atopik berat, kadang digunakan
pada reumatoid artritis.2 Siklosporin menghambat produksi reseptor IL-1 dan IL-2 serta interaksi
makrofag-T cell.. Dosis siklosporin 3-5 mg/kg/hari peroral dibagi dalam 2 dosis atau dosis
inisial 5 mg/kg/hari yang kemudian dikurangi sampai 1-3 mg/kg/hari.4,5

f. Mofetil mikofenolat
Mofetil mikofenolat (MMF) termasuk dalam golongan obat imunosupresif yang merupakan
etil ester mycofenolic acid yang dimetabolisme menjadi obat aktif mycofenolic acid (MPA).1
Metabolit aktif MPA telah digunakan sejak dulu untuk mengobati psoriasis yang berat. MMF
bekerja dengan menghambat respons limfosit B dan limfosit T serta efektif dan aman untuk
pengobatan beberapa kelainan kulit autoimun dan inflamasi termasuk pemfigus, pemfigoid, lupus
eritematosus, dermatomiositis, pioderma gangrenosa, liken planus, penyakit graft versus host,
dermatitis aktinik kronik dan vaskulitis kutaneus. Dosis MMF adalah 1-3 gram/hari peroral.2,5

11
KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi eritroderma antara lain adalah adalah gangguan termoregulator
(hipotermi), infeksi, sindrom gawat napas, dekompensasi pada penyakit hati kronis, ginekomastia,
gangguan keseimbangan cairan, albumin, dan elektrolit (edem perifer, syok kardiogenik, takikardia
sampai kegagalan jantung). Eritroderma dalam jangka panjang dapat disertai kaheksia, alopecia
keratoderma palmoplantar, distrofi kuku, dan ektropion.2,4
Cairan dan elektrolit hilang melalui kapiler yang bocor akibatnya terjadi gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Hilangnya protein pada pasien eritroderma terjadi melalui
pembentukan skuama yang lebih dari normal dimana pada pembentukan skuama meningkat
hingga 20-30%. Hilangnya protein yang signifikan menyebabkan negative nitrogen balance
(keseimbangan nitrogen negatif) yang dapat menimbulkan edema dan hipoalbuminemia.2
Pada lesi akan mudah terbentuk kolonisasi bakteri yang akan menimbulkan reaksi
inflamasi, pecah-pecah, dan ekskoriasi pada kulit. Pasien eritroderma akibat CTCL atau
HIV/AIDS sebagai penyakit yang mendasari akan lebih rentan terjadi sepsis oleh bakteri
stafilokokus.2 Kolonisasi Staphylococcus aureus dapat menimbulkan infeksi sekunder baik pada
kulit maupun okular sehingga timbul komplikasi seperti ektropion bilateral, konjungtivitis
purulen, dan blefaritis.4,9 Kulit periorbital tersebut meradang dan membengkak sehingga terjadi
ektropion.6

PROGNOSIS
Prognosis eritroderma bergantung pada etiologinya. Biasanya semua kasus eritroderma
karena reaksi obat dapat pulih dengan baik setelah penatalaksanaan yang cepat dan penghentian
pemakaian obat. Sebaliknya, kesalahan identifikasi eritroderma sebagai presentasi penyakit lain
seperti infeksi akan memberikan prognosis yang buruk.3 Prognosis yang baik terdapat pada
eritroderma karena erupsi obat, sedangkan prognosis yang paling buruk adalah eritroderma
karena malignansi.2 Eritroderma dapat menjadi fatal karena beban metabolik dan komplikasinya.7

KESIMPULAN
Eritroderma adalah suatu penyakit kulit dengan gambaran dermatologis berupa eritema
difusa dan skuama yang meliputi lebih dari 90% area permukaan kulit. Dasar terjadinya

12
eritroderma adalah adanya penyakit yang mendasari. Penyakit yang mendasari eritroderma ini
bisa berupa penyakit yang terbatas pada kulit ataupun penyakit yang bersifat sistemik. Etiologi
terbanyak pada eritroderma adalah psoriasis, dermatitis atopik, dermatosis spongiotik, erupsi obat,
dan CTCL. Selain itu, terdapat 20% eritroderma idiopatik. Prinsip pengobatan pasien eritroderma
antara lain manajemen awal, menghindari faktor pencetus, mencegah hipotermia, diet cukup
protein, menjaga kelembaban kulit pasien, menghindari menggaruk, mencegah infeksi sekunder
baik lokal maupun sistemik, mengurangi edema, penggunaan kortikosteroid, metotreksat,
siklosporin, dan mofetil mikofenolat. Komplikasi sistemik dan berpotensi mengancam jiwa dapat
berupa ketidakseimbangan cairan dan elektrolik, gangguan termoregulasi, demam, takikardia,
hipoalbuminemia, dan septikemia. Prognosis eritroderma tergantung pada etiologi yang
mendasarinya.2

13
DAFTAR PUSTAKA

1. William D James, Timothy G Berger, Dirk M Elston. Exfoliative Dermatitis. Andrews


Disease of The Skin Clinical Dermatology. 11th ed. Canada: WB Saunders Company.
2011: p.211-212.
2. Grant-Kels JM, Bernstein ML, Rothe MJ. Exfoliative Dermatitis. In: Wolff K, Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatricks Dermatology in General

Medicine. 8 th ed. Chicago: McGraw-Hill Company. 2012: p. 266-278.


3. Bruno, Tony F., Parbeer Grewal. Erythroderma: A Dermatologic Emergency. UK: CJEM-
JCMU. 2009: p. 244-246.
4. Bolognia, Jean L., Joseph L. Jorizzo. Dermatology. 2nd ed. New York: Mosby Elsevier.
2008: p.148-159.
5. Katzung, Bertram G. Basic and Clinical Pharmacology. 10th ed. McGraw Hill Lange.
2006: p.1072-1075.
6. Umar, Sanusi H., Dirk M. Elston. Erythroderma (Generalized Exfoliative Dermatitis).
New York: Medscape (Ackerman Academy of Dermatopathology). 2009: p. 1-3.
7. Okoduwa, Cynthia, W. C. Lambert. Erythroderma: Review of A Potentially Life-
Threatening Dermatosis. US: Indian Journal of Dermatology. 2009: p. 1-6.
8. Hafeez, Javeria, Zafar Iqbal Shaikh. Frequency of Various Etiological Factors Associated
with Erythroderma. Pakistan: Journal of Pakistan Association of Dermatologist. 2010:
p.70-74
9. Teran, Carlos G., Carola Balderrama. A Severe Case of Erythroderma Psoriasis
Associated with Advance Nail and Joint Manifestations: A Case Report. Bolivia: Journal
of Medical Care Reports. 2010: p. 179-180.
10. Khaled A., A. Sellami. Acquired Erythroderma in Adults: A Clinical and Prognostic
Study. Tunisia: Journal Compilation of European Academy of Dermatovenereology.
2009: p. 781-788.
11. Roujeau, Jean Claude., Valeyrie Laurence. Life-Threatening Dermatoses and
Emergencies in Dermatology. Spain: Springer. 2009: p. 84-86.

14

Anda mungkin juga menyukai