Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II LAPORAN KASUS ............................................................................. 2
Identifikasi ............................................................................................. 2
Anamnesis ............................................................................................. 2
Pemeriksaan Fisik .................................................................................. 3
Pemeriksaan Penunjang ........................................................................ 10
Diagnosis .............................................................................................. 10
Penatalaksanaan .................................................................................... 11
Prognosis .............................................................................................. 11
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 12
Definisi ................................................................................................ 12
Epidemiologi ........................................................................................ 12
Etiologi ................................................................................................ 13
Faktor Risiko ........................................................................................ 14
Patofisiologi .......................................................................................... 14
Patologi ................................................................................................. 18
Klasifikasi ............................................................................................. 18
Manifestasi Klinis ................................................................................ 22
Diagnosis Banding................................................................................ 24
Diagnosis ............................................................................................. 25
Penatalaksanaan .................................................................................... 31
Prognosis ............................................................................................. 35
BAB IV ANALISIS KASUS .............................................................................. 36
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 38
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTIFIKASI
Nama : Tn. RTJ
Tanggal Lahir : 17 April 1990
Umur : 26 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Lrg. Kulit No Kelurahan Sunga Pangeran Kec. Ilir Timur
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Kristen
Bangsa : Indonesia
Suku Bangsa : Palembang
No. RM : 609916
II. ANAMNESIS
(Autoanamnesis dan Alloanamnesis dengan istri pasien pada 27 Oktober 2016)
Penderita datang ke bagian Poli Neurologi RSMH karena mengalami kejang yang
berulang dan mengganggu aktivitas.
Pada 7 hari SMRS penderita mengalami kejang berupa kaku seluruh tubuh.
Kejang diikuti kelojotan. Lama kejang 2 menit. Frekuensi kejang 2 kali. Jarak antara
kejang yang pertama dan kejang yang kedua 16 jam. Saat kejang mata penderita
mendelik ke atas, lidah tergigit dan mulut berbusa. Mengompol tidak ada. Pada kejang
pertama, sebelum kejang penderita sadar, saat kejang penderita tidak sadar, dan setelah
kejang penderita tertidur lalu kemudian sadar begitu pula pada kejang yang kedua,
sebelum kejang penderita sadar, saat kejang penderita tidak sadar, setelah kejang
penderita tertidur dan kemudian sadar. Sebelum kejang penderita merasa sakit kepala
dan perasaan sempit. Mual dan muntah tidak ada, jantung berdebar-debar tidak ada,
berkeringat dingin tidak ada, dan pucat tidak ada. Kelemahan sesisi tubuh tidak ada,
mulut mengot tidak ada, bicara pelo tidak ada. Penderita masih dapat mengerti isi
pikiran orang lain dan mengungkapkan isi pikirannya baik secara lisan, tulisan dan
isyarat. Penderita mengatakan bahwa kejang yang dialami sudah sering terjadi,
sehingga pasien tidak segera membawa diri ke rumah sakit.
2
Riwayat kejang sebelumnya ada sejak 3 tahun yang lalu, penderita berobat ke
poli neurologi. Penderita tidak rutin kontrol dan sesekali lupa minum obat. Penderita
mengkonsumsi obat Asam Valproat 500 mg, Carbamazepin 3x200 mg, Fenitoin 3x100
mg, dan asam folat 1x1 tablet. Pada 1 bulan yang lalu pasien sempat putus obat
selama 1 bulan sebelum kejang yang saat ini pasien alami. Riwayat mengalami
kelemahan sesisi tubuh tidak ada. Riwayat pandangan ganda tidak ada, riwayat trauma
kepala tidak ada, riwayat kejang demam saat kecil ada namun penderita tidak
mengetahui kejang yang dialami saat itu secara pasti, penderita hanya mengetahui
kejang dialami saat usia 1,5 tahun. Riwayat stroke tidak ada, riwayat kejang dalam
keluarga tidak ada, riwayat mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan disangkal.
Penyakit ini dialami untuk yang kesekian kalinya.
3
Abdomen : Datar, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral pucat (-), edema pretibial (-)
Genitalia : Tidak diperiksa
Status Psikiatrikus
Sikap : kooperatif Ekspresi Muka : wajar
Perhatian : ada Kontak Psikik : ada
Status Neurologikus
KEPALA
Bentuk : Normochepali Deformitas : (-)
Ukuran : normal Fraktur : (-)
Simetris : simetris Nyeri fraktur : (-)
Hematom : (-) Pembuluh darah : tidak ada pelebaran
Tumor : (-) Pulsasi : (-)
LEHER
Sikap : lurus Deformitas : (-)
Torticolis : (-) Tumor : (-)
Kaku kuduk : (-) Pembuluh darah : tidak ada pelebaran
SYARAF-SYARAF OTAK
N. Olfaktorius Kanan Kiri
Penciuman Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Anosmia - -
Hiposmia - -
Parosmia - -
4
Anopsia Tidak ada Tidak ada
Hemianopsia Tidak ada Tidak ada
Fundus Oculi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Papil edema Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
- Papil atrofi Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
- Perdarahan retina Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Pupil
- Bentuk Bulat Bulat
- Diameter 3 mm 3 mm
- Isokor/anisokor Isokor Isokor
- Midriasis/miosis Tidak ada Tidak ada
- Refleks cahaya
Langsung + +
Konsensuil + +
Akomodasi + +
5
N. Trigeminus Kanan Kiri
Motorik
- Menggigit Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
- Trismus Tidak ada Tidak ada
- Refleks kornea Ada Ada
N. Statoacusticus
N. Cochlearis Kanan Kiri
Suara bisikan Tidak ada kelainan
Detik arloji Tidak ada kelainan
Tes Weber Tidak ada lateralisasi
Tes Rinne +
6
N. Vestibularis
Nistagmus Tidak ada
Vertigo Tidak ada
N. Accessorius
Mengangkat bahu Simetris
Memutar kepala Tidak ada hambatan
N. Hypoglossus
Menjulurkan lidah Normal
Fasikulasi Tidak ada
Atrofi papil Tidak ada
Disatria Tidak ada
MOTORIK
LENGAN Kanan Kiri
Gerakan Cukup Cukup
Kekuatan 5 5
Tonus Normal Normal
7
Refleks fisiologis
- Biceps Normal Normal
- Triceps Normal Normal
- Radius Normal Normal
- Ulnaris Normal Normal
Refleks patologis
- Hoffman Tromner Tidak ada Tidak ada
- Leri - -
- Meyer - -
8
SENSORIK : Tidak ada kelainan
FUNGSI VEGETATIF
Miksi : Tidak ada kelainan
Defekasi : Tidak ada kelainan
KOLUMNA VERTEBRALIS
Kyphosis : Tidak ada
Lordosis : Tidak ada
Gibbus : Tidak ada
Deformitas : Tidak ada
Tumor : Tidak ada
Meningocele : Tidak ada
Hematoma : Tidak ada
Nyeri ketok : Tidak ada
9
FUNGSI LUHUR
Afasia motorik : Tidak ada
Afasia sensorik : Tidak ada
Apraksia : Tidak ada
Agrafia : Tidak ada
Alexia : Tidak ada
Afasia nominal : Tidak ada
V. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinik : Bangkitan umum tonik klonik
Diagnosis Topik : Serebri
Diagnosis Etiologi : Epilepsi idiopatik
10
VI. PENATALAKSANAAN
A. Norfarmakologis
- Edukasi pasien (mengenai penyakitnya, dan rutin kontrol serta minum obat
secara teratur)
- Rencana EEG dan CT-Scan
B. Farmakologis
- Asam Valproat 1 x 500 mg p.o
- Carbamazepin 2 x 200 mg p.o
- Fenitoin 3 x 100 mg p.o
- Asam Folat 1x1 tab
VII. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad malam
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
3.1.1 Definisi konseptual
Epilepsi adalah kelainan proses organik otak yang ditandai dengan
kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan
konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial, dengan syarat terjadinya
minimal 1 kali bangkitan epileptik.
Bangkitan epileptik adalah kondisi dimana terjadi tanda/gejala yang bersifat
sesaat akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak.
3.2 Epidemiologi
Hingga 1% dari populasi umum menderita epilepsi aktif, dengan 20-50 pasien
baru yang terdiagnosis per 100.000 per tahunnya. Perkiraan angka kematian pertahun
akibat epilepsi adalah 2 per 100.000. Kematian dapat berhubungan langsung dengan
kejang, misalnya ketika terjadi serangkaian kejang yang tidak terkontrol, dan
diantara serangan pasien tidak sadar, atau jika terjadi cedera akibat trauma.
12
Fenomena kematian mendadak yang terjadi pada penderita epilepsi (sudden
unexplained death in epilepsy) diasumsikan berhubungan dengan aktivitas kejang
dan kemungkinan besar karena disfungsi kardiorespirasi.
Prevalensi di negara sedang berkembang ditemukan lebih tinggi daripada
negara maju. Dilaporkan prevalensi di negara maju berkisar antara 4-7 per 1000
orang dan 5-74 per 1000 orang di negara sedang berkembang. Prevalensi epilepsi
pada usia lanjut (>65 tahun) di negara maju diperkirakan sekitar >0,9%, lebih tinggi
dari dekade 1 dan 2 kehidupan. Pada usia >75 tahun prevalensi meningkat 1,5%.
Sebaliknya prevalensi epilepsi di negara berkembang lebih tinggi pada usia dekade
1-2 dibandingkan pada usia lanjut. Hal ini disebabkan insiden yang rendah dan
angka harapan hidup rata-rata di negara maju lebih tinggi. Prevalensi lebih tinggi
berdasarkan jenis kelamin di negara Asia, dilaporkan laki-laki sedikit lebih tinggi
daripada wanita.
Seorang anak dapat mewarisi epilepsi dari kedua orang tua. Risiko terkena
epilepsi pada anak lebih tinggi jika ibu yang terkena epilepsi (2,9 8,7%) dibanding
ayah yang terkena (1-3,6%). Risiko anak terkena epilepsi dari orang tua dengan
epilepsi idiopatik yang terjadi sebelum usia 20 tahun yaitu sekitar 4%, dibandingkan
dengan 0,5% pada populasi umum. Jika ada satu saudara yang menderita epilepsi
sebelum usia 10, risiko meningkat menjadi 6%, jika salah satu orang tua dan saudara
menderita epilepsi risiko sekitar 10%, dan jika salah satu orang tua memiliki epilepsi
dan ada keluarga lain yang terkena epilepsi, risiko sekitar 15%. Waktu pertama kali
orang tua terkena epilepsi juga mempengaruhi penurunan epilepsi pada anak. Jika
orang tua terdiagnosis epilepsi sebelum usia 20 tahun maka risiko epilepsi pada anak
sebesar 2,3-6%, sementara jika terkena diatas usia 20 tahun risiko sebesar 1-3,6%.
Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon
estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan
terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid
dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi.
3.3 Etiologi
Etiologi epilepsi dibagi menjadi tiga kategori sebagai berikut:
1. Idiopatik
13
Tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis. Diperkirakan
mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenik
Dianggap simtomatis dengan penyebab yang belum diketahui. Gambaran klinis
sesuai dengan ensefalopati difus.
3. Simtomatis
Bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi struktural pada otak, misalnya
cedera kepala, infeksi sistem saraf pusat, kelainan kongenital, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan
neurodegeneratif.
3.5. Patofisiologi
14
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling
berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan
bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan
normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila
mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan
breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi secara
abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah:
1. Glutamat, yang merupakan brains excitatory neurotransmitter
2. GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brains
inhibitoryneurotransmitter.
Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan
asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin,
dopamine, serotonin (5HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan
epilepsi belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut.
Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di
area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang
disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok
kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh
neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang
ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan
manifestasi yang berbeda dari jenis - jenis serangan epilepsi. Secara teoritis faktor
yang menyebabkan hal ini yaitu:
1. Keadaaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang
optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,
disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata
memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus
oksipitalis).Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post
sinaptik.
2. Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan
impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tapi
sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan
oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi
didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak.
15
3. Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk
mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada
tiga kejadian yang saling terkait :
1. Perlu adanya pacemaker cells yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk
menimbulkan bangkitan.
2. Hilangnya postsynaptic inhibitory controle sel neuron.
3. Perlunya sinkronisasi dari epileptic discharge yang timbul.
Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal,
bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis
(fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron
akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu
sesaat menimbulkan serangan kejang.
Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak,
stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat
terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan
menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia,
hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain.
Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus
epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya,
subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya.Kemudian untuk bersama-sama dan
serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya
eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia
basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya. Pada gambaran
EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi spike and wave yang
makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya
serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron. (karena kehabisan glukosa dan
tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa terhenti tanpa
terjadinya neuronal exhaustion. Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia
otak, asidosis metabolik) depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga
menimbulkan aktivitas serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus.
16
Gambar 1. Patofisiologi Epilepsi
17
3.6. Patologi
Gejala-gejala serangan epilepsi sebagian timbul sesudah otak mengalami
gangguan, sedangkan beratnya serangan epilepsi tergantung dari lokasi dan keadaan
patologi. Lesi pada otak tengah, talamus, dan korteks serebri kemungkinan besar
bersifat epileptogenik, sedangkan lesi pada serebelum dan batang otak biasanya tidak
mengakibatkan serangan epilepsi.
Pada tingkat membran sel, neuron epileptik ditandai oleh fenomena biokimia
tertentu, yaitu:
1. Ketidakstabilan membran sel saraf sehingga sel lebih mudah diaktifkan.
2. Neuron hipersensitif dengan ambang yang menurun, sehingga mudah terangsang
secara berturut-turut.
3. Mungkin terjadi polarisasi yang abnormal (polarisasi berlebihan, hiperpolarisasi
atau terhentinya polarisasi).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah lingkungan kimia dari neuron. Pada
waktu terjadi serangan keseimbangan elektrolit pada tingkat neuronal
mengalami perubahan. Ketidakseimbangan ini akan menyebabkan neuron
mengalami depolarisasi.
Perubahan-perubahan metabolisme terjadi selama serangan dan segera sesudah
serangan. Perubahan ini disebabkan oleh peningkatan kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Kebutuhan metabolisme juga meningkat secara drastis selama
serangan kejang. Aliran elektris yang dikeluarkan oleh sel-sel saraf motoris dapat
meningkat sampai 1000 per detik. Aliran darah serebral meningkat, demikian juga
pernapasan dan glikolisis jaringan. Selama dan sesudah serangan cairan
serebrospinal mengandung asetilkolin, sedangkan kadar asam glutamat mungkin
menurun selama serangan. Bukti histopatologis mendukung hipotesis bahwa lesi
sesungguhnya bersifat neurokimia, bukan struktural. Tidak ada satu faktor patologis
tetap yang ditemukan.
3.7. Klasifikasi
Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada
tahun 1981 dan tahun 1989.
International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan
klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi):
18
1. Bangkitan parsial/fokal
a. Bangkitan parsial sederhana (kesadaran baik)
- Dengan gejala motorik
- Dengan gejala sensorik
- Dengan gejala otonom
- Dengan gejala psikis
b. Bangkitan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
- Bangkitan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
- Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran sejak awal
bangkitan
c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
- Parsial sederhana yang menjadi umum
- Parsial kompleks menjadi umum
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks lalu menjadi umum
2. Bangkitan umum
a. Absence (Lena)
- Tipikal lena
- Atipikal lena
a. Mioklonik
b. Klonik
c. Tonik
d. Atonik (Astatik)
e. Tonik-klonik
3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang
lengkap).
Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk para
klinisi karena hanya ada dua kategori utama, yaitu
1. Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang
terlokalisir di otak.
2. Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih luas
pada kedua belahan otak.
19
Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989
adalah :
1. Fokal/partial (localized related)
a. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1) Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah
sentrotemporal (childhood epilepsy with centrotemporal spikes)
2) Epilepsi benigna dengan gelombang paroksisimal pada daerah
oksipital
3) Epilepsi primer saat membaca ( primary reading epilepsy)
b. Simptomatik
1) Epilepsi partial kontinu yang kronis progresif pada anak-anak
(Kojenikows Syndrome)
2) Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu
rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi,
refleks epilepsi, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
a) Epilepsi lobus temporal
b) Epilepsi lobus frontal
c) Epilepsi lobus parital
d) Epilepsi lobus oksipital
2. Epilepsi Umum
a. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai usia awitan)
1) Kejang neonatus familial benigna
2) Kejang neonatus benigna
3) Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
4) Epilepsi lena pada anak
5) Epilepsi lena pada remaja
6) Epilepsi mioklonik pada remaja
7) Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga
8) Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di
atas
9) Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang
spesifik
20
b. Simptomatik atau kriptogenik(berurutan sesuai dengan peningkatan
usia)
1) Sindroma West (spasme infantil dan spasme salam)
2) Sindroma Lennox Gastaut
3) Epilepsi mioklonik astatik
4) Epilepsi mioklonik lena
c. Simtomatis
1) Etiologi non spesifik
a) Ensefalopati mioklonik dini
b) Ensefalopati pada infantil dini dengan burst supression
c) Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di
atas
2) Sindrom spesifik
3) Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
a. Bangkitan neonatal
b. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
c. Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam
d. Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
e. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi di atas
4. Sindrom khusus
a. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
1) Kejang demam
2) Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali
isolated
3) Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolik
akut, atau toksik, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemia
nonketotik
4) Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi
reflektorik)
Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung
terjadinya serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh
dokter, sehingga diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis.
21
Satu-satunya pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis penderita
epilepsi adalah rekaman elektroensefalografi (EEG).
22
(penderita tidak jatuh); biasanya disertai automatisme (gerakan-gerakan
berulang), keadaan termangu-mangu (pikiran kosong), mendadak berhenti
bergerak. Terjadi pada masa kanak-kanak (4-8 tahun). Remisi spontan 60-
70% pasien pada masa remaja.
23
terganggu; penyebaran cetusan listrik abnormal minimal, penderita masih
sadar.
b. Bangkitan parsial kompleks (epilepsi lobus temporalis)
Penyebaran cetusan listrik yang abnormal lebih banyak.Biasanya terjadi
dari lobus temporal karena lobus ini rentan terhadap
hipoksia/infeksi.Cirinya ada tanda peringatan/aura yang disertai oleh
perubahan kesadaran; diikuti oleh automatisme, yakni gerakan otomatis
yang tidak disadari seperti menjilat bibir, menelan, menggaruk, berjalan,
yang biasanya berlangsung selama 30-120 detik. Kemudian, biasanya
pasien kembali normal yang disertai kelelahan selama beberapa jam.
c. Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum
Biasanya terjadi pada bangkitan parsial sederhana.
3. Bangkitan lainnya
a. Kejang demam
b. Status epilepticus
24
Stimulasi fotik Berdiri lama
Gerakan leher
(carotis
baroreseptor)
Karakteristik klinis menjelang serangan
Streotipi, Lightheadedness Gejala awal Palpitasi Ketakutan
paroksismal Gejala visual tidak khas Perasaan tidak
(detik), bisa Gelap, kabur realistis
disertai aura Sulit bernafas,
kesemutan
Karakteristik klinis pada saat serangan
Gerakan: tonik Pucat Mirip dengan Pucat Agitasi
diikuti dengan Bisa disertai kaku kejang epileptik, Bisa disertai Nafas cepat
gerakan jerking dan menghentak- tetapi gerakan kaku dan Kaku pada
yang ritmis hentak sebentar lengan tidak menghentak- tangan
Gerakan beraturan, hentak sebentar (carpopedal
otomatism pengangkatan spasm)
Cyanosis pelvis, kadang
Bisa terjadi tidak bergerak
dimanapun dan sama sekali.
kapanpun
Gejala sisa setelah serangan
Mengantuk Lesu Lesu
Lidah tergigit
Nyeri anggota
gerak
Defisit neurologis
fokal (todds
paralisis)
3.10. Diagnosis
Anamnesis
Langkah awal adalah menentukan apakah ini serangan kejang atau bukan
dengan melakukan wawancara baik dengan pasien, orangtua atau orang yang
merawat dan saksi mata saat serangan kejang itu terjadi. Beberapa pertanyaan perlu
25
diajukan untuk menggambarkan kejadian sebelum, selama, dan sesudah serangan
kejang itu berlangsungadalah sebagai berikut:
1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini?
Usia serangan dapat memberikan gambaran klasifikasi dan penyebab kejang.
Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya disebabkan oleh
gangguan pada masa perinatal, kelainan metabolik, dan malformasi kongenital.
Serangan kejang umum cenderung muncul pada usia anak-anak dan remaja.
Serangan kejang pada usia sekitar 70 tahun keatas biasanya disebabkan karena
kelainan patologis di otak seperti stroke atau tumor otak.
2. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak pada
waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi?
Gejala peringatan yang dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul
disebut dengan aura. Sebagian aura dapat membantu dimana letak lokasi
serangan kejang di otak. Pasien dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan
adanya dj vu. Adanya gangguan penglihatan sementara mungkin dialami oleh
pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada serangan kejang umum bisa tidak
didahului dengan aura. Hal ini disebabkan karena adanya gangguan pada kedua
hemisfer. Jika aura dilaporkan oleh pasien sebelum serangan kejang umum,
sebaiknya dicari sumber fokus yang patologis.
3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung?
Bila pasien bukan dengan serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik
tentu pasien tidak dapat menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara
dilakukan dengan saksi mata yang mengetahui serangan kejang berlangsung.
Apakah ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan
kejang terdapat gejala aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh?
Apakah pasien dapat berbicara selama serangan kejang berlangsung? Apakah
mata berkedip berlebihan pada serangan kejang terjadi? Apakah ada gerakan
automatism pada satu sisi? Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak tubuh?
Apakah lidah tergigit? Apakah pasien mengompol? Serangan kejang yang
berasal dari lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata
deviasi kearah kontralateral lesi. Serangan kejang yang berasal dari lobus
temporalis sering tampak gerakan mengecapkan bibir dan atau gerakan
mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat menimbulkan
26
gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan penglihatan. Lidah
tergigit dan inkontinensia urin kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang
umum meskipun dapat dijumpai pada serangan kejang parsial kompleks.
4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung?
Periode sesudah serangan kejang berlangsung dikenal dengan istilah post ictal
period. Setelah mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien biasanya
tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun terhadap
sekelilingnya biasanya sesudah mengalami serangan kejang parsial kompleks.
Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang disebut Todds Paralysis
yang menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia tanpa disertai
gangguan kesadaran menggambarkan adanya gangguan berbahasa di hemisfer
dominan. Pada absence khas tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan
kejang.
5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari?
Serangan kejang tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada
waktu terjaga dan pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi
setiap waktu, sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada
waktu malam hari.
6. Apakah ada faktor pencetus?
Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena kurang tidur, cahaya yang
berkedip, menstruasi, faktor makan dan minum yang tidak teratur, konsumsi
alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress emosional, panas, kelelahan fisik
dan mental, suara-suara tertentu, drug abuse, reading & eating epilepsy.
7. Bagaimana frekuensi serangan kejang?
Mengetahui frekuensi serangan kejang dapat membantu mengetahui respon
pengobatan bila sudah mendapat obat-obatan anti kejang .
8. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang?
Pertanyaan ini untuk mengetahui apakah sebelumnya pasien sudah mendapat
obat anti kejang atau belum dan menentukan apakah obat tersebut yang sedang
digunakan sudah efektif?
9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam?
Pertanyaain ini diharapkan dapat menggambarkan setiap jenis serangan kejang
secara lengkap.
27
10. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan kejang?
Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat
serangan kejang ada yang diawali dengan auratetapi tidak ada cukup waktu
untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang
atau mungkin ada aura, sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat
dipersiapkan untuk mengurangi bahaya terjadinya luka.
11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat?
Dengan mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat
dapat mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang yang mungkin
disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien, ketidakpatuhan minum
obat, ada perubahan minum obat, dan penyakit lain yang menyertai.
28
Riwayat sosial
Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien epilepsi yang
dapat diketahui melalui pertanyaan berikut:
1) Apa latar belakang pendidikan pasien?
2) Tingkat pendidikan pasien epilepsi mungkin dapat menggambarkan bagaimana
sebaiknya pasien tersebut dikelola dengan baik dan dapat membantu mengetahui
tingkat dukungan masyarakat terhadap pasien.
3) Apakah pasien bekerja dan apa jenis pekerjaannya?
4) Pasien epilepsi yang serangan kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup
secara normal dan produktif. Kebanyakan pasien dapat bekerja paruh waktu atau
penuh waktu. Tetapi bila serangan kejangnya tidak terkendali dengan baik untuk
memperoleh dan menjalankan pekerjaan adalah merupakan suatu tantangan
tersendiri.
5) Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor?
6) Pasien dengan epilepsi yang serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada
gangguan kesadaran sebaiknya tidak mengemudikan kendaraan bermotor.
7) Apakah pasien menggunakan kontrasepsi oral dan merencanakan kehamilan
pada waktu yang akan datang?
8) Pasien epilepsi sebaiknya diberi penyuluhan terlebih dahulu tentang efek
teratogenik obat-obat anti epilepsi. Bagi pasien yang sedang hamil diperlukan
obat tambahan seperti asam folat untuk mengurangi risiko terjadinya neural tube
defectspada bayinya.
9) Apakah pasien peminum alkohol?
10) Alkohol merupakan faktor risiko terjadinya serangan kejang umum dan dapat
menimbulkan ekstraserbasi serangan kejang khususnya sesudah minum alkohol .
Riwayat keluarga
Mengetahui riwayat keluarga dapat menentukan apakah ada sindrom epilepsi yang
spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor genetik dengan
manifestasinya berupa serangan kejang. Sebagai contoh Juvenile myoclonic epilepsy
(JME),familial neonatal convulsion,benign rolandic epilepsy, dan sindrom serangan
kejang umum tonik klonik disertai kejang demam plus.
29
Riwayat alergi
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu
dibedakan apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi
hipersensitif. Bila terdapat semacam rash perlu dibedakan apakah disebabkan karena
efek fotosensitif karena eksposur dari sinar matahari atau karena efek hipersensitif
yang sifatnya lebih luas.
Riwayat pengobatan
Apabila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu ditanyakan
bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari, dan berapa lama
sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek sampingnya.
Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan fisik umum
Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi, misalnya:
a. Trauma kepala
b. Tanda-tanda infeksi
c. Kelainan congenital
d. Kecanduan alcohol atau napza
e. Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
f. Tanda-tanda keganasan.
2. Pemeriksaan neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat
berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah
bangkitan, maka akan tampak pascabangkitan terutama tanda fokal yang tidak jarang
dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:
a. Paresis Todd
b. Gangguan kesadaran pasca iktal
c. Afasia pasca iktal
30
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan pasien dengan kecurigaan epilepsi bertujuan untuk
mengkonfirmasi atau mendukung diagnosis klinis, mengklasifikasi sindrom epilepsi,
dan menetapkan penyebab. Dua tujuan pertama didapatkan dengan pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG), terutama pada anak. Akan tetapi sering terjadi positif
palsu dan negatif palsu pada EEG sehingga kelainan minor terdapat pada populasi
normal dan banyak pasien epilepsi menunjukkan rekaman EEG normal pada
rekaman EEG interiktal. Ketepatan EEG dapat dipertajam dengan memperpanjang
waktu perekaman, terutama saat setelah pasien kurang tidur.
Untuk mencari penyebab, dilakukan pemeriksaan darah rutin, misalnya
glukosa serum dan kalsium. Pemeriksaan yang lebih penting adalah pencitraan otak.
Pencitraan ini dilakukan terutama pada epilepsi onset lambat (usia lanjut), serangan
parsial, dengan atau tanpa kelainan neurologis fokal dan kelainan EEG, dengan
menggunakan CT atau MRI.
3.11. Penatalaksanaan
Sebelum menentukan terapi obat antiepilepsi (OAE) perlu diperhatikan berapa
besar kemungkinan terjadi bangkitan berulang, konsekuensi psikososial, masalah
pekerjaan, atau keadaan fisik akibat selanjutnya dan pertimbangan untung rugi antara
pengobatan dan efek samping yang ditimbulkan. Tujuan terapi epilepsi adalah
mengupayakan penyandang epilepsi dapat hidup normal dan tercapainya kualitas
hidup optimal yang sesuai dengan perjalanan penyakit dan disabilitas fisik maupun
mental yang dimilikinya. Untuk itu, perlu dilakukan beberapa upaya yaitu
menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping/efek
samping yang minimal, menurunkan angka kesakitan dan kematian.
1. Terapi farmakologis
Terapi dimulai dengan monoterapi dengan OAE pilihan yang sesuai dengan
jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah
dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping.
Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, jenis sindrom epilepsi,
dosis OAE, efek samping OAE, profil farmakologis, interaksi antar OAE. Prinsip
terapi farmakologi:
31
1. OAE mulai diberikan bila:
- Diagnosis epilepsi telah ditentukan
- Setelah pasien atau keluarganya menerima penjelasan tujuan pengobatan
- Pasien dan keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek
samping yang timbul
2. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai
dengan jenis bangkitan dan sindrom epilepsi.
3. Pemberian obat dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan bertahap
sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping, kadar obat plasma
ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.
4. Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat
mengontrol bangkitan, maka perlu ditambahkan OAE kedua. Bila OAE
telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap
perlahan-lahan
5. Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak
dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, efek samping OAE,
interaksi antarobat epilepsi.
32
Bangkitan Lamotrigine, Lamotrigine, Clobazam, Carbamazepine,
Juvenile Levetirasetam, Levetirasetam, Clonazepam, Gabapentin,
Mioclonic Sodium valproat (D), Sodium valproat, Zonisamid Oxcarbazepin,
Epilepsy Topiramat (D) Topiramat Fenitoin,
(JME) Pregabalin,
Tiagabin,
Vigabatrin
Epilepsi Lamotrigine Lamotrigine,
umum Sodium Valproate Levetirasetam,
idiopatik Topiramat Sodium valproat,
Topiramat
Bangkitan Sodium Valproate Clobazam Phenobarbital Carbamazepine
atonik Lamotrigine Levetiracetam Acetazolamide Oxcarbazepine
Topiramate Phenytoin
Bangkitan Carbamazepine Clobazam Clonazepam
fokal Oxcarbazepine Gabapentin Phenobarbital
dan/tanpa Sodium Valproate Levetiracetam Acetazolamide
umum Topiramate Phenytoin
sekunder Lamotrigine Tiagabine
33
Tabel.4 Efek samping obat anti epilepsi klasik:
Efek Samping
Obat
Terkait Dosis Idiosinkrasi
Carbamazepine Diplopia, dizziness, nyeri kepala, Ruam morbiliform, agranulositosis,
mual, mengantuk, netropenia, anemia aplastik, hepatotoksik, SSJ,
hiponatremia teratogenik
Phenytoin Nistagmus, ataksia, mual, muntah, Jerawat, coarse facies, hirsutism,
hipertropi gusi, depresi, mengantuk, lupus like syndrome, ruam, SSJ,
paradoxical increase in seizure, Dupuytrens contracture,
anemia megaloblastik hepatotoksik, teratogenik
Asam valproat Tremor, berat badan naik, dyspepsia, Pankreatitis akut, hepatotoksik,
mual, muntah, kebotakan, trombositopenia, ensefalopati,
teratogenik udem perifer
Phenobarbital Kelelahan, restlegless, depresi, Ruam makulopapular, eksfoliasi,
insomnia (anak), distracatibility NET, hepatotoksik, arthritic
(anak), hiperkinesia (anak), changes, Dupuytrens contracture,
irritability (anak) teratogenik
Clonazepam Kelelahan, sedasi, mengantuk, Ruam, trombositopenia
dizziness, agresi (anak), hiperkinesia
(anak)
34
c. Gambaran EEG abnormal
d. Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan
e. Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita
f. Penggunaan lebih dari satu OAE
g. Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
h. Mendapat terapi 10 tahun atau lebih
3. Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari
bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali
maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian
dievaluasi kembali.
2. Terapi non-farmakologis
Beberapa terapi non-farmakologis yang dapat digunakan oleh penyandang epilepsi
adalah sebagai berikut:
1. Stimulasi N. Vagus
Terapi ajuvan untuk mengurangi frekuensi bangkitan pada penyandang epilepsi
refrakter usia dewasa dan anak-anak yang tidak memenuhi syarat operasi. Terapi
ini dapat digunakan pada bangkitan parsial dan bangkitan umum.
2. Deep Brain Stimulation
3. Diet Ketogenik
4. Intervensi Psikologi
Relaksasi, behavioral cognitive therapy, dan biofeedback.
3.12. PROGNOSIS
Enam tahun setelah ditegakkan diagnosis, 40% pasien akan telah mengalami
keadaan bebas kejang selama 5 tahun. Prognosis yang relatif buruk dikaitkan dengan
kombinasi antara grand mal dengan jenis kejang yang lain, epilepsi traumatika,
kumpulan episode, tanda-tanda fisik, dan retardasi mental. Upaya menghentikan
pengobatan pada pasien yang bebas gejala harus dipertimbangkan secara individual.
35
BAB IV
ANALISIS KASUS
Penderita datang ke bagian poli neurologi RSMH karena mengalami kejang pada 7
hari SMRS ada beberapa gerakan atau kondisi yang menyerupai kejang epileptik, seperti
pingsan (syncope), non epileptik attack disorder, aritmia cardiac, dan serangan panik. Dari
tabel 1 pada bab sebelumnya telah dijabarkan bahwa pada kejang epileptik karakteristik
saat serangan kejang yaitu penderita tidak sadar, mata penderita melirik ke atas terus-
menerus, lengan dan tungkai ekstensi serta kaku, lalu diikuti dengan kondisi tubuh
gemetar, mulut penderita tampak mengot saat kejang, penderita menggigit lidahnya,
disertai keluarnya busa pada mulut, dan keluarnya urin serta feses. Pada penderita gejala
tersebut didapatkan ketika serangan kejang terjadi.
Dari karakter klinis sebelum terjadi serangan diketahui penderita merasa sakit
kepala dan perasaan sempit. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat aura sebelum kejang.
Aura merupakan tanda peringatan bagi penderita epilepsi mengenai akan datangnya
kejang.
Dari anamnesis juga didapatkan riwayat kejang sebelumnya ada sejak 3 tahun
yang lalu dan sekarang tidak rutin minum obat Asam Valproat, Carbamazepin, Fenitoin,
dan Asam Folat. Kejang yang terjadi saat ini pada pasien juga bisa dipicu oleh karena
putus obat selama 1 bulan.
Riwayat pandangan ganda tidak ada, riwayat trauma tidak ada, riwayat kejang
dalam keluarga tidak ada, riwayat stroke tidak ada, yang dapat menyingkirkan
kemungkinan etiologi pada kasus. Riwayat kejang demam sebelumnya tidak ada, namun
penderita tidak mengetahui kejang yang dialami saat itu secara pasti, penderita hanya
mengetahui kejang dialami saat usia 1,5 tahun. Hal ini dapat menjadi salah satu faktor
resiko yang menyebabkan terjadinya epilepsi pada saat ini, namun kejang demam yang
dialami tidak dapat dipastikan gambaran, jenis dan lamanya. Risiko terjadinya epilepsi
sesudah serangan kejang demam sederhana sekitar 2% dan serangan kejang demam
kompleks sekitar 13%. Penderita juga tidak mengalami kelemahan sesisi tubuh sebelah kiri
ada, mulut mengot tidak ada, bicara pelo tidak ada, gangguan sensibilitas tidak ada,
penderita masih dapat mengerti isi pikiran orang lain dan mengungkapkan isi pikirannya
baik secara lisan, tulisan dan isyarat. Tidak adanya kelainan tersebut menandakan tidak
adanya defisit neurologis.
36
Berdasarkan gejala maka dapat disimpulkan bahwa kejang yang dialami
merupakan kejang epilepsi. Setelah kejang epilesi ditentukan, langkah berikutnya adalah
menentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE 1981, dari anamnesis didapatkan
adanya gerakan tonik berupa kekakuan seluruh tubuh, tangan penderita mengepal, mata
penderita mendelik ke atas, lengan dan tungkai ekstensi serta kaku. Jadi menurut jenis
bangkitannya, penderita mengalami bangkitan umum tonik. Langkah berikutnya
menentukan sindrom epilepsi berdasarkan ILAE 1989 yaitu tipe epilepsi idiopatik.
Pada pemeriksaan fisik status generalis dalam batas normal. Dari status neurologis
pada pemeriksaan nervus cranialis dalam batas normal. Pada pemeriksaan motorik dalam
batas normal. Fungsi sensorik, fungsi luhur, dan fungsi vegetatif tidak ada kelainan.
Gerakan abnormal dan gejala rangsang meningeal tidak ditemukan. Pemeriksaan gait dan
keseimbangan dalam batas normal.
Adapun diagnosis dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
disimpulkan bahwa diagnosis klinis pada pasien ini adalah observasi bangkitan umum
tonik klonik. Diagnosisnya adalah epilepsi idiopatik.
Tujuan terapi untuk epilepsi ini adalah mengupayakan penyandang epilepsi dapat
hidup normal dan tercapai kualitas hidup optimal. Prinsip terapinya adalah monoterapi
dahulu dengan dosis rendah terlebih dahulu lalu perlahan-lahan dinaikkan sampai dosis
efektif atau timbul efek samping. Untuk terapi farmakologis utama diberikan Asam
Valproat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk epilepsi umum primer. Asam
Valproat memiliki spektrum yang sangat luas dan efektif dalam berbagai jenis kejang.
Pasien juga diberikan Fenitoin dan carbamazepine.
Untuk terapi non farmakologis pasien dan keluarga diedukasi mengenai segala hal
mengenai penyakit dan yang berhubungan dengan penyakit seperti keteraturan minum
obat, kontrol teratur, dan pemenuhan kebutuhan lain yang diperlukan pasien. Pasien
diberikan diet nasi biasa dan dianjurkan untuk istirahat yang cukup. Pemeriksaan EEG dan
CT-Scan juga perlu dilakukan pada pasien dengan epilepsi untuk melihat aktivitas
gelombang otak dan kelainan pada otak.
37
DAFTAR PUSTAKA
38
Marie Trava King dan Mary Carter Lombardo. Epilepsi dalam Price, S.A dan Wilson,
L.M (Ed). Patofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2.
EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta; 2006; 212, 213.
Martha J.M. Epilepsy in Women. Am Fam Physician. 2002 Oct 15;66(8):1489-1495.
Panayiotopoulos CP. The Epilepsies Seizure, Syndromes and Management. Blandom
Medical Publishing, UK;2005;1-26.
Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. PATOFISIOLOGI: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006. Hal 1157-1166
Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Diagnosis and Mangement of Epilepsy in
Adults A national Clinical Guideline. SIGN. 2003.
Suryani Gunadharma, Endang Kustiowati, Machlusil Husna. Terapi. Pedoman
Tatalaksana Epilepsi. Cetakan Pertama. Airlangga University Press. Surabaya; 2014;
22-35.
Utoyo Sunaryo. Diagnosis Epilepsi. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma. Vol. 1.
No. 1. Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma. Surabaya; 2007; 40-43.
Wong, M. Too Much Inhibition Leads to Excitation in Absence Epilepsy. Epilepsy Curr.
2010 Sep; 10(5): 131132
39