Anda di halaman 1dari 19

Pro-Kontra Penghapusan Pasal Penodaan Agama

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra berpendapat pasal penodaan agama perlu direvisi, bukan
dihapus

Ada aspirasi agar pasal penodaan agama direvisi sehingga jelas batas-batas antara tindakan penodaan
agama dan bukan penodaan agama.
tirto.id - Kasus penodaan agama yang menjerat Gubernur DKI Jakarta Nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama
memunculkan kembali polemik seputar pasal 156 dan 156a KUHP. Ada yang menuntut agar pasal penodaan
agama dihapus secara total, tapi ada juga yang menganjurkan agar pasal ini direvisi. Alasannya, pasal ini
ditengarai sebagai pasal karet yang bisa mengenai siapa saja.

Hal inilah yang disampaikan aktivis Kesatuan Aksi Keluarga Universitas Indonesia (KA KBUI). Mereka
menyatakan sikap bahwa pasal ini harus segera direvisi.

Juru Bicara Kesatuan Aksi Keluarga Besar Universitas Indonesia (KA KBUI) Ikravany Hilman menilai
pasal 156 dan 156a adalah pasal yang tidak sempurna dan perlu segera mungkin untuk diadakan perbaikan.
"Kami tegas menolak, lagi pula akibat pasal ini telah banyak korban kriminalisasi yang sebenarnya tidak
bersalah," katanya di Jalan Cikini nomor 45 Menteng Jakarta Pusat, kemarin (19/5)

Hilman mengatakan satu dari banyak kasus kriminalisasi dengan dalih pasal penodaan agama. Sepanjang
1995 hingga 2017, pihak KBUI menemukan sedikitnya ada puluhan kasus dengan dalih pasal penodaan
tersebut.

Kami mendesak pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk segera mencabut dan merevisi UU
pencegahan penodaan agama dan pasal 156a KUHP atau setidaknya menetapkan moratorium atas ketentuan
perundangan tersebut, kata dia.

Martin Alea, salah satu anggota KA-KBUI berharap revisi soal pasal penodaan agama ini segera dilakukan.
Namun, dia juga setuju revisi lebih realistis ketimbang penghapusan total.

Kan Pasal 156a KUHP dua kali judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK)," kata Martin. "Kenapa MK
tidak mengabulkan? Salah satu poin dari MK, Pasal 156a [memang] bukan merupakan pasal yang
sempurna, namun agar tidak terjadi kekosongan hukum, keberadaan dari pasal tersebut harus
dipertahankan.

Pasal 156a, lanjutnya, tidak memiliki penjelasan kualifikasi sebuah penistaan agama dan parameter yang
jelas, sehingga bisa bisa subyektif. Inilah pangkal yang menyebabkan pasal ini bisa dimanfaatkan dan
dipolitisir.

Revisi sendiri bisa dilakukan melalui Perppu atau produk lainnya yang lebih bisa mengakomodir dan
menampung secara keseluruhan. "Kalau ada Perppu, setidaknya ada norma baru bagaimana melihat,
memandang sesuatu dilihat sebagai penistaan agama, jelasnya. Perppu bisa menjadi jalan tengah.
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra juga mengusulkan revisi, ketimbang dihapuskan. Bahwa
rumusan Pasal 156 serta 156a perlu disempurnakan agar lebih menjamin keadilan dan kepastian hukum
serta mempertimbangkan perkembangan zaman, saya sepenuhnya sependapat," demikian pendapat
Yusril dalam rilis yang diterima Tirto.

"Namun menghapuskan begitu saja aturan-aturan tersebut tanpa ada penggantinya yang lebih baik, adalah
suatu kecerobohan. Dalam suasana kevakuman hukum seperti itu, bukan mustahil perbuatan penodaan dan
penistaan terhadap agama akan merajajela dan negara tidak bisa berbuat apa-apa untuk menindaknya,
lanjutnya.

Menurut Yusril, MK pernah melakukan judicial review atau uji materi kembali terkait pasal penodaan dan
penistaan agama, pasal 156 dan 156a KUHP, namun MK justru menguatkan keberadaan pasal tersebut dan
permohonan penghapusan pasal tersebut ditolak MK melalui keputusan Nomor 140/PUU-VII/2009.

Menurut MK, pasal-pasal penodaan dan penistaan agama dalam UU NO 1/PNPS/1965 sejalan dengan UUD
45 yang menjunjung tinggi keberadaan agama. Karena itu, setiap bentuk penodaan dan penistaan terhadap
agama wajib diberi sangsi pidana. Saya sepenuhnya sependapat dengan MK.

Karena agama-agama itu dipeluk, diyakini dan diamalkan oleh pemeluk-pemeluknya, dan kita menyadari
adanya perbedaan ajaran agama-agama itu, maka tugas negara adalah melindungi agama-agama itu
termasuk dari setiap bentuk penodaan dan penistaan. Bentuk perlindungan dari sudut hukum antara lain
adalah memberikan ancaman sanksi pidana bagi barang siapa yang melakukannya, tambahnya.

Pendapat Yusril ini diamini oleh eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva. Menurutnya,
penanganan kasus penodaan agama memerlukan landasan hukum.

"Kalau keyakinan agama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ini diyakini oleh setiap agama ini, agama
apa pun kemudian dicederai, dihina, tentu bisa marah. Bila pasal ini dihapus, lalu pakai apa?" ucapnya saat
ditemui di gedung KPK, Rabu lalu (17/5).

Jika pasal ini dihapuskan dikhawatirkan malah akan memunculkan main hukum sendiri. "Kalau tidak ada
koridor hukumnya, nanti orang pakai jalanan, nah ini lebih berbahaya," tutur Hamdan.
EKSISTENSI UU PENODAAN AGAMA
Perbedaan dalam keyakinan termasuk beragama telah dijamin konstitusi negara (Pasal 29 UUD NRI Tahun
1945). Negara hadir guna memberikan peran sertanya dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal tersebut menunjukan bahwa Indonesia bukan negara sekuler. Negara dan agama tidak dapat terpisahkan.
Masyarakat Indonesia yang heterogen dalam perbedaan keyakinan adalah kekayaan bangsa. Tidak boleh
merasa paling benar dan menganggap salah bagi yang lain. Komitmen hidup toleransi, saling menghargai
dan menghormati adalah kunci kerukunan umat beragama.

Paradigma penodaan agama dimasukan delik materiil melalui UU No.1 Tahun 1945 tentang KUHP. Jika
mengacu dari norma hukum dalam KUHP khususnya Pasal 156 dan 156a KUHP telah jelas tujuan negara
dalam peran sertanya urusan beragama. Original intent dari pasal tersebut adalah political will dari
pemerintah untuk memberikan benteng terhadap kehidupan beragama agar tidak terjadi konflik horizontal.

Melalui UU No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama adalah
bagian produk hukum negara. Tujuannya adalah untuk mengatur kehidupan umat beragama. Putusan MK
No. 140/PUU-VII/2009 telah mengukuhkan keberadaan adanya UU tersebut agar tetap ada demi
keberlangsungan hidup beragama. Konstruksi dalam putusan MK tersebut telah memberikan ruang hukum
terkait hubungan negara dan agama yang tidak terpisahkan. UU tersebut adalah kran penutup bagi
keharmonisan kehidupan demokratisasi di Indonesia.

Buya Bagindo Letter sebagai ahli dari pemerintah telah memberikan pendapat akademisnya dalam sidang di
MK. Pada intinya adalah Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa Indonesia. Lahir karena rakyat
dan Bangsa Indonesia telah menganut agama dan berbudaya. Pancasila mulai berakar dari ajaran agama dan
budaya bangsa atau rakyat Indonesia yang terwujud dalam kelima sila Pancasila. UU No.1 PNPS 1965
tersebut wajib dipertahankan dan dikokohkan agar semakin solid dan berperan serta berfungsi dalam
menyusun dan menata kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini.

Jika dianggap bahwa UU tersebut akan dijadikan senjata bagi oknum dan/atau kalangan tertentu untuk
menebar kebencian dan permusuhan adalah dalam pandangan saya tidak benar. UU tersebut merupakan
pelindung dan perekat kerukunan umat beragama. UU tersebut juga tidak akan dapat dimanfaatkan oleh
oknum dan/atau kalangan tertentu. Dalam hal ini akan terjadi perdebatan khususnya bagi kalangan
positivisme dan sosiologisme.

Waktu UU tersebut dikeluarkan keadaannya tidak mendesak, walaupun fakta yang ada kehidupan beragama
waktu itu telah masuk ke ranah politik melalui partai politik. Ideologi agama masuk dalam rumpun
politik. Spirit integrasi nasional dalam membangun demokrasi telah menjadi embrio awal alasan lahirnya UU
tersebut.
UU tersebut masih diperlukan guna mengatur kehidupan yang harmonis antar umat beragama di Indonesia
serta menjaga kesatuan dan persatuan bangsa. Jika dicabut, dalam pandangan saya akan berpotensi
menimbulkan konflik horizontal yang akan lebih merusak tatanan kehidupan sosial khususnya kehidupan
dalam beragama.

NUSANTARANEWS.CO Negara Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila menempatkan


agama pada kedudukan penting dan mempunyai peranan serta menjadi sasaran dalam pembangunan. Dengan
demikian kepentingan agama perlu memperoleh perlindungan hukum, segingga sangat wajar apabiladalam
KUHP terdapat pengaturan terhadap tindak pidana agama/delik agama.

Penentuan perbuatan sebagai tindak pidana terhadap kepentingan agama berhubungan dengan teori-teori
mengenai delik agama yang mendasari hukum pidana untuk menentukan adanya suatu delik agama. Oemar
Seno Adji mengemukakan adanya suatu delik agama dengan tiga teori yaitu :

1. Friedensschuzt Theorie yaitu teori yang memandang ketertiban/ ketentraman umum sebagai
kepentingan hukum yang dilindungi;
2. Gufulhsschutz Theorie yaitu teori yang memandang rasa keagamaan sebagai kepentingan-kepentingan
hukumyang harus dilindungi;
3. Religionsshuzt theoriy yaitu teori yang memandang agama sebagai kepentingan hukum yang harus
dilindungi /diamankan oleh negara.

Hukum pidana Indonesia mengatur segala aspek kehidupan masyarakatnya, karena berkaitan dengan
fungsinya sebagai kontrol sosial maupun rekayasa sosial. Adanya pengaturan tindak pidana agama adalah
sebagai konsekuensi dari amanat konstitusi. Hadirnya konflik yang bernuansa agama membuat citra
Indonesia menjaid keruh dimata dunia, pasalnya negara Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi
toleransi dan sangat menghormati keanekaragaman bangsanya, Bhineka tunggal ika sebagai sembohyan yang
diagung-agungkan masyarakatnya berbalik dengan hal itu karena fakta yang terjadi danya sikap intoleransi
masyarakat yang kadang kurang memahami akan pluralitas sebagai realitas sosial.

Adanya kemajmukan memberikan makna negatif dan positif terhadap bangsa Indonesia itu sendiri, potensi
kemajmukan bermakna positif karena ragam keyakinan merupakan sumber nilai dan local wisdom bagi
Indonesia bagi keutuhan bangsa ini sendiri. Keragaman keyakinan warga menjadi perekat dan pengokoh
bangunan bangsa ini, keragaman agama yang dipeluk warga menjadi faktor integratif bagi Indonesia. Pada
sisi lain, keberagaman agama menjadi salah satu faktor pemicu adanya disintegrasi bangsa karena adanya
konflik-konflik yang timbul karenanya.
Adanya pengaturan tindak pidana agama adalah sebagai konsekuensi dari amanat konstitusi, dan munculnya
kasus penodaan agama disebabkan banyak faktor salah satunya adalah lemahnya penegakan hukum. Disatu
sisi kebebasan beragama merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, bahkan
setiap orang bebas memilih agama dan beribadat menurut agamanya.

Disisi lain negara menjamin kemerdekaan memeluk agama, sedangkan pemerintah berkewajiban melindungi
masyarakat dalam melaksanakan ajaran agama serta beribadat sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, tidak menganggu ketentraman dan ketertiban umum.

Berkaitan dengan penodaan agama berdasarkan penetapan presiden No.1 PNPS/1965 tentang penodaan
agama, yang mana dalam konsideran

1. Undang-undang ini dibuat untuk mengamankan Negara dan cita-cita masyarakat, cita-cita revolusi
dan pembangunan nasional dimana penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi.
2. Timbulnya berbagai aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang
dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah
melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama, sehingga perlu kewaspadaan
nasional dengan mengeluarkan Undang-Undang tersebut.

Penetapan presiden Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencecgahan Penyalahgunaan dan/Penodaan
Agama. Bertujuan untuk melindungi agama dan praktik beragama yang berkembang di masyarakat dan
melindungi setiap keyakinan agama dan praktik yang dilakukan oleh pengikutnya dari penodaan dan
kecenderungan berbuat tindak pidana terhadap agama. Amanat Undang-undang No. 1/PNPS/1965 tentang
penodaanatau penyalahgunaan agama menyatakan bahwa menafsirkan agama yang menyimpang dari pokok-
pokok ajaran agama tentu tidak dibenarkan karena tidak dibenarkan oleh peraturan perundang undangan
yang berlaku. Hal ini sebagai bentuk perlindungan Negara terhadap kebebasan beragama serta berkeyakinan
di Indonesia.

Penetapan presiden tentang pencegahaan dan penodaan agama kemudian dimasukkan kedalam KUHP bab V
tentang Ketertiban Umum pada pasal 156 dan 156a, sebetulnya maksud dari dibuatnya pasal tersebut bukan
merupakan tindak pidana terhadap agama yang ditujukan untuk melindungi kepentingan umum dan
ketertiban umum yang terganggu karena adanya pelanggaran terhadap kepentingan umum. Dengan adanya
pasal 156 KUHP dan tidak dapat dilepaskan dari pasal 154 KUHP yang juga terletak pada kejahatan
ketertiban umum yang dikategorikan sebagai pasal karet, yang menurut sejarah adanya pasal ini untuk
kepentingan pemerintah kolonial belanda dan pernah dimanfaatkan untuk mematahkan kaum pergerakan
nasional seperti bungkarno.
Permohonan Judicial review ke Mahkamah Konstitusi pada April 2010 terhadap PNPS tahun 1965 dengan
alasan: PNPS bukan berbentuk UU melainkan perpres kemudian diubah secara inkonstitusional oleh Bung
Karno pada masa itu sedang memimpin pada pemerintahan yang otoriter, kemudian PNPS ini juga lahir pada
masa indoneisa mengalami kondisi darurat yang mana jika keadaan negara sudah normal maka PNPS
tersebut tidak diberlakukan lagi. Adapun permohonan gugatan tertuju pada pasal 1 ayat (1), (2) pasal 3 dan 4
yang kini dicantumkan dalam KUHP pasal 156a, dengan alasan bertentangan dengan HAM dalam UUD
1945 pasal 28 I, kemudian PNPS ini juga tidak memiliki kepastian Hukum dan E equality before the law.
Namum MK menguji dan menyimpulkan bahwa pro terhadap keberadaan PNPS/1965 dan menyatakan
bahwa aturan ini bersifa konstitusional.

Dalam hal ini negara hanya dapat melindungi hak masyarakatnya dalam forum eksternum sedangkan perihal
internum merupakan kebebasan mutlak yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Disinilah letak pentingnya
Toleransi dalam beragama ketika masyarakat mengedepankan rasa toleransi tanpa ego disinilah terciptanya
kerukunan dalam beragama. Adapun bergagai polemik terkait penyalahgunaan/penodaan agama seringkali
terjadi di negara Indonesia yang realitanya merupakan negara yang multikultural dan plural.

Agama bukan hanya berisi perihal perintah dan larangan melainkan berisi pedoman, norma, petunjuk yang
baik dan benar, hal yang harus ditinggalkan dan yang harus dilaksanskan. Dalam hal ini agama berperan
dalam penyelesaian konflik sosial. Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia tentu meiliki celah untuk
dapat berkehidupan dengan rukun dan sejahtera, hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa ayat Al-Quran
yang berisi tentang toleransi dan kerukunan antar ummat.

Islam mengajarkan untuk saling menghormati antar sesama dan memperkenalkan konsep taaruf (al-
hujarat.49:13) yang mana ayat ini berisi tentang pentingnya interaksi antar sesama, dan setiap umat hendak
mengaku eksistensi perbedaan ummat lain (annisa,4:44). Inti dari komnsep penyelesaian konflik dalam islam
adalah adanya taaruf, dan taawun yang mana dari konsep ini melahirkan suatu sikap tasamuh atau toleransi.
Undang-undang tentang penodaan agama kembali dibicarakan setelah Gubernur DKI Jakarta
nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dilaporkan menistakan agama karena menyebut ada
yang ditipu dengan menggunakan surat Al Maidah. Tetapi Setara Institute menyatakan pasal ini
merupakan pasal karet dan bersifat diskriminatif serta tak sesuai dengan prinsip HAM.

Aturan yang biasa digunakan dalam kasus penistaan agama yaitu Undang-undang No 1/PNPS/1965 tentang
Penodaan Agama dan pasal 156a dalam KUHP, juga dianggap sebagai pasal karet dan melanggar konsep
HAM yang melindungi kebebasan individu termasuk dalam menafsirkan keyakinannya, ungkap peneliti
Setara Institute.

Ismail Hasani dari Setara mengatakan aturan tentang penodaan agama dianggap multitafsir dan juga
cenderung diskriminatif.

"Dasarnya itu diskriminatif, tidak boleh ada produk hukum di republik ini bertentangan dengan jaminan yang
ada dalam konstitusi kita. Gagaimana dia tidak diskriminatif tidak memberikan kepastian hukum. Orang
menafsirkan kalau berbeda dengan MUI itu bisa dipenjara, sementara kalau penafsiran itu merupakan
ekspresi verbal dari pemikiran kita dan itu sama saja mengadili pikiran kita itu kan tidak mungkin," kata
Ismail.

UU penyalahgunaan dan atau/ penodaan agama ini diterbitkan oleh pemerintah untuk menangani aliran-
aliran kebatinan yang muncul pada masa itu.
Kasus meningkat

Namun, sangat sedikit digunakan, menurut catatan Ismail, sejak diterbitkan sampai 1998 hanya ada 10 kasus
penodaan agama, salah satunya adalah kasus dugaan pencemaran agama yang menyebabkan pemimpin
redaksi Tabloid Monitor, Arswendo Atmowiloto dihukum penjara selama lima tahun pada 1990.

Namun, setelah reformasi jumlah kasus yang menggunakan aturan penodaan agama meningkat menjadi
sekitar 50 kasus, dengan menguatnya politisasi agama.

"Ini (menunjukkan) penengakan hukum yang serampangan padahal isunya sangat sensitif.

"Mengapa jumlahnya meningkat? Karena adanya penguatan politik identitas dan desentralisasi politik di
daerah-daerah, pilkada langsung, ini mendorong orang - di tengah keterbatasan kreativitas politik- dia
melakukan cara paling efektif melakukan isu SARA, kasus penodaan agama juga berjalan dengan
meningkatkan politik identitas," jelas dia.
Mengapa ormas Islam besar 'tak melarang' umatnya ikut demo 4 November?
Mabes Polri siagakan 7.000 personel amankan protes 'tangkap Ahok'

Setara bersama dengan organisasi lain dan individu pernah mengajukan uji materi Undang-undang No
1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, namun ditolak Mahkamah Konsitusi.
Pada 2013, UU yang sama pernah diajukan kembali ke MK, tetapi ditolak.
Image captionBasuki Tjahaja Purnama atau Ahok dicalonkan sebagai gubernur DKI periode 2017-2022 oleh
PDI Perjuangan, Nasdem, Hanura dan Golkar.

Aturan tentang penodaan agama ini kembali dibicarakan setelah muncul kasus tuduhan penghinaan terhadap
surat Al Maidah oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok ketika berpidato di
Kepulauan Seribu.

Ahok kemudian dilaporkan oleh sejumlah organisasi antara lain FPI, MUI Sumatera Selatan, Pimpinan Pusat
Pemuda Muhammadiyah- atas nama Forum Anti Penistaan Agama (FUFA) ke Mabes Polri dan Polda Metro
Jaya.
Pada 10 Oktober lalu, Ahok kemudian meminta maaf. Esok harinya MUI menyatakan Ahok telah
menistakan AlQuran.

Meski demikian para pelapornya mendesak kepolisian agar memeriksa Ahok dan melakukan demonstrasi di
berbagai daerah. Mereka menganggap Ahok melanggar pasal 156a KUHP dan UU Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama.

Ismail dari Setara mengatakan selama ini tekanan massa seringkali dijadikan pertimbangan dalam penyidikan
kasus dugaan penodaan agama, dibandingkan unsur pidananya. Tetapi menurut dia, polisi tetap dapat
melakukan penyidikan yang objektif dan harus berani mengatakan jika memang tak ada unsur pidana dalam
penyidikan yang dilakukan.

Praktisi hukum pidana Albert Aries mengatakan dalam menangani kasus dugaan penodaan agama kepolisian
harus berpegang pada mekanisme yang diatur khususnya yaitu Penetapan Presiden No 1 1965 tentang
pencegahan penyalahgunaan agama dan atau penodaan agama yang masih berlaku sebagai hukum positif.

"Pemindaan atau delik pasal 156a itu belum dapat dipakai dulu sebelum melewati mekanisme yang diatur
dalam Penpres No 1 tahun 1965, peringatan dulu, kemudian jika setelah diperingatkan tetapi tindakan
tersebut diulang kembali, " jelas Albert.

Albert mengatakan dalam kasus Ahok, harus dipertimbangkan juga permintaan maaf sudah disampaikan
sebelum MUI menegur gubernur DKI Jakarta nonaktif itu, dan apakah tindakan itu diulangi kembali.

"Ahok sudah meminta maaf pada 10 Oktober dan 11 Oktober MUI menegurnya, maka sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia yang ada dalam Penpres itu, menunjukkan delik pidana ini menjadi tidak
sempurna kecuali setelah diperingatkan peringatan diabaikan", kata Albert.

Selain itu, dalam hukum pidana harus dilihat apakah ada niatan terlapor untuk melakukan penghinaan
terhadap agama, dengan mengundang ahli hukum, ahli bahasa dan juga agama.
Artikel Ilmiah : Terkait Pro Kontra Penghapusan Kolom Agama Dalam KTP
A. Pendahuluan

Sebagai Negara yang terdapat banyak berbagai macam agama yang dianut oleh masyarakat
Indonesia, tentu hal tersebut ingin memperlihatkan bahwasanya Indonesia mempunyai masyarakat yang
bersifat plural. Hal tersebut tentu tidak dapat diketahui begitu saja tanpa adanya pembuktian yang sah
terhadap kepercayaan yang dianut oleh seseorang tersebut. Dan beberapa belakangan ini kita kembali
dikejutkan dengan munculnya wacana yang banyak mendapatkan perhatian ataupun sorotan publik terhadap
terkuaknya wacana yang dicetuskan oleh Kemendagri yaitu Tjahjo Kumolo bahwasanya diperbolehkan untuk
mengosongkan kolom Agama dalam KTP.

Berbagai macam polemic pun bermunculan dari persoalan hukum maupun persoalan peribadatan.
Sejalan dengan itu, terdapat banyak pandangan dari berbagai pihak terkait wacana tersebut baik yang sifatnya
mendukung maupun menolak sama sekali. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Wakil Ketua DPRD M.
Suli Faris yang mengatakan bahwa penghapusan kolom agama dalam KTP merupakan pelanggaran Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[1] Dalam pernyataan tersebut ia ingin
menekankan bahwasanya sudah jelas dalam Pancasila pada sila pertama yang mana Negara berdasarkan
Ketuhanan yang mengharuskan warga negaranya untuk beragama.

Adapun pihak lain yang menentang keras bahwasanya penghapusan kolom agama dalam KTP
merupakan tindakan yang salah jika tetap dilakukan. Ini sama halnya apa yang diungkapkan oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI) yang secara tegas menolak adanya penghapusan kolom agama dalam KTP karena
MUI menilai bahwasanya kolom agama itu penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu,
MUI juga mengkhawatirkan jika pemerintah masih tetap melanjutkan untuk menghapuskan kolom agama
dalam KTP maka hal tersebut dapat mengakibatkan banyaknya bermunculan agama-agama baru selain yang
sudah diakui dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.[2] Seperti
yang diungkapkan oleh Wakil Ketua Umum MUI Maruf Amin yang berpandangan bahwa penulisan nama
agama yang tercantum dalam kolom KTP sebagai elemen kependudukan yang merupakan suatu identitas
yang dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang administrasi kependudukan.

Menurut sosiolog Muda, Haris El Mahdi, para pemeluk agama di Indonesia sangat rajin mengerjakan
ibadah formal tetapi lupa dengan ajaran agama untuk berlaku adil dan memuliakan kemanusiaan. Lebih jauh,
praktik formalisme agama ini menyebabkan terjadinya perebutan kekuasaan di ranah publik. Masing-masing
agama saling berebut pemeluk, yang tak jarang berujung menjadi konflik dan paranoid.

Adapun pihak lain yang bepandangan berbeda dari yang sebelumnya yang menyatakan mendukung
untuk dilakukannya penghapusan kolom agama dalam KTP seperti halnya yang disampaikan oleh Dr. Siti
Musdah Mulia yang merupakan anggota Tim sukses Capres Jokowi-JK yang mempunyai gagasan yang sama
seperti Tjahjo Kumolo bahwasanya mereka mendukung untuk menghapuskan kolom Agama dalam KTP
mereka beranggapan bahwasanya penghapusan kolom agama dalam KTP merupakan suatu trobosan yang
patut diapresiasi karena selama ini kolom agama dalam KTP dapat mendiskriminasi pemiliknya seperti
misalnya pelamar pekerjaan ditolak perusahaan karena di KTP pelamar pekerjaan agamanya tidak sama
dengan agama pemimpin perusahaan.[3] Oleh karena itu, penghapusan kolom agama dalam KTP dinilai
sebagai jalan tengah terhadap persoalan-persoalan yang sering terjadi ketika kolom agama tercantum dalam
KTP.
Pendapat yang sama juga dilontarkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mendukung langkah
Mendagri Tjahjo terkait pengosongan kolom agama di KTP. Menurut dia, kalau memeluk agama di luar 6
agama yang diakui pemerintah, individu tak bisa dipaksa untuk memilih agama tertentu. Karena dalam
konstitusi jelas bahwasanya setiap orang bebas memilih agama dan Negara dalam hal ini Pemerintah tidak
dapat memaksakan warga Negara yang tidak menganut agama yang diakui oleh Negara harus memilih agama
yang sudah diakui maka hal tersebut akan menciderai nilai-nilai demokrasi yang sebagaimana tercantum
dalam Konstitusi.

Dalam pandangan kaum relativis, agama tidak layak dijadikan patokan atau standarisasi nilai-nilai
kebenaran yang absolut.[4] Bahwasanya yang dapat dijadikan kebenaran yang absolut hanyalah datang dari
Tuhan. Karena agama sudah memasuki wilayah alam pikiran manusia, sementara manusia adalah nisbi atau
relative, yang absolut hanyalah Tuhan. Maka kaum relativis berkesimpulan, bahwa semua keyakinan
keagamaan, sama saja dengan ideologi dan pemikiran filosofis lainnya yang sama-sama mengandung
kebenaran dan memiliki posisi yang sederajat. Karenanya tidak ada kebenaran mutlak yang dapat ditemukan
dalam suatu agama karena ia memiliki kapasitas yang sama.[5] Maka dari itu, yang dapat disampaikan dalam
pernyataan tersebut bahwasanya semua agama mengajarkan kepada hal-hal yang benar begitu pula dengan
kepercayaan yang tidak diakui dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi
Kependudukan bahwasanya tidak ada yang salah terhadap kepercayaan tersebut hanya saja bentuk perlakuan
yang didapat itu berbeda.

Dari berbagai macam pandangan diatas menunjukkan bahwasanya gagasan tersebut juga merupakan
suatu hal yang penting untuk diperdebatkan karena hal ini akan menyangkut pada efektivitas serta
pengintegrasian penduduk Indonesia yang plural dan beraneka ragam agama dan kepercayaan yang dianut
oleh setiap orang, tentu argumentative yang diharapkan adalah untuk meyakinkan serta menemukan gagasan
yang solutif terhadap wacana tersebut yaitu penghapusan kolom agama dalam KTP, oleh karena itu dari
permasalahan yang diuraikan diatas maka dapat diajukan dua rumusan masalah terkait isu tersebut yaitu
berkenaan dengan bagaimana kelemahan serta kelebihan dari adanya penghapusan kolom agama dalam KTP
tersebut jika dilakukan.

B. Pembahasan

1.1 Kelemahan Penghapusan Kolom Agama Dalam KTP

Negara Indonesia yang merupakan Negara yang religious, tidak aneh rasanya jika perkembangan
terhadap suatu kepercayaan dinegeri ini terus bertambah serta merebak dalam kehidupan masyarakat yang
tidak dapat diketahui kebenaran dari kepercayaan tersebut. Oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu kita
ketahui bahwasanya penghapusan kolom agama dalam KTP merupakan langkah yang salah.

Ditinjau dari aspek historis bahwasanya founding father kita terdahulu telah mengetahui bahwasanya
Indonesia memiliki masyarakat yang majemuk yang terdiri dari suku, ras, budaya, dan agama yang berbeda-
beda. Oleh karena itu, didalam Piagam Jakarta 18 Agustus 1945 berisikan tentang Ketuhanan Yang Maha
Esa, dan dari hasil kesepakatan inilah mereka ingin mengakomodasi berbagai macam agama serta aliran yang
berbeda-beda dengan tujuan ingin mempersatukan rakyat Indonesia meskipun memiliki agama yang berbeda-
beda. Dari situlah dapat kita simpulkan bahwasanya kehendak dari founding father itu sendiri mengharuskan
rakyat Indonesia mempunyai agama sebagai pedoman hidupnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
tentu hal tersebut dapat diperlihatkan dengan adanya kolom agama yang tercantum dalam KTP selain
daripada kegiatan peribadatannya.

Pertama, penghapusan kolom agama dalam KTP merupakan tindakan yang bertentangan dari aspek
filosofis karena kita tahu bahwasanya Negara ini berdasarkan ketuhanan yang dapat dipastikan adanya
keinginan terhadap warga Negara untuk mempunyai agama yang dianutnya. Hal ini sejalan dengan ideologi
Negara kita yang termaktub dalam Pancasila sila pertama yang menjelaskan tentang Ketuhanan Yang Maha
Esa artinya warga Negara Indonesia harus mempunyai agama sebagai pedoman dalam hidupnya yang sudah
seharusnya tercantum dalam KTP dan apabila dihapus maka sejatinya tindakan tersebut merupakan tindakan
yang mengabaikan Pancasila.

Kedua, ketika kita melihat dari sudut yuridis konstitusional maka dalam UUD 1945 yang tercantum
dalam pasal 28E ayat (1) secara tegas mengatakan bahwasanya warga Negara harus mempunyai agama serta
dapat melaksanakan beribadat menurut agamanya karena hal ini bertujuan untuk mengatur serta
mengendalikan arah moral manusia itu sendiri.[6] Selanjutnya, menyikapi wacana terkait dengan
penghapusan kolom agama dalam KTP merupakan langkah awal untuk masuknya paham atheisme di
Indonesia dan hal tersebut tentu tidak dapat dibenarkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ketiga, jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi
Kependudukan disana jelas bahwasanya ada elemen mengenai data kependudukan yang harus dicantumkan
dalam KTP satu diantaranya ialah Agama sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 64 ayat (1) Undang-
Undang tentang Administrasi Kependudukan.[7] Artinya pengisian kolom agama dalam KTP juga
merupakan suatu hal yang penting dan harus diisi sebagai perwujudan atas Negara yang berdasarkan
Ketuhanan sebagaimana yang tercantum dalam Pancasila. Karena penulisan nama agama dalam KTP
merupakan identitas pribadi seseorang yang harus dicantumkan dalam KTP karena hal tersebut telah diatur
serta dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 213.

Keempat, ada beberapa persoalan yang harus kita cermati jika terjadi penghapusan kolom agama
dalam KTP terutama dapat menimbulkan kerugian bagi umat Islam khususnya. Dalam hal ibadah pada
dasarnya umat Islam selalu melaksanakan ibadah Haji di Mekah dan hal tersebut harus dapat dibuktikan
bahwasanya mereka merupakan orang yang beragama Islam dengan menunjukkan sebuah KTP. Tentu tidak
dapat dibiarkan jika terjadi penghambatan terhadap umat beragama yang ingin melaksanakan ibadahnya
tertunda karena hanya tidak dapat di buktikan secara otentik kebenarannya. Selanjutnya, persoalan-persoalan
lain akan terus bermunculan seperti mengenai masalah pembuktian yang terkait dalam hal ini adalah saksi
yang ketika diminta Hakim untuk menjelaskan dan dimintai keterangan harus jujur dan sebenar-benarnya hal
tersebut dapat dilakukan sumpah bagi pihak yang menjadi saksi berdasarkan kitab suci agamanya dan hal
tersebut harus dibuktikan secara otentik melalui KTP. Dengan begitu, ketika adanya penghapusan kolom
agama dalam KTP akan mengakibatkan adanya permasalahan administrasi publik yang dapat menimbulkan
kerugian bagi pihak yang mempunyai kepentingan baik secara individu maupun instansi ataupun pemerintah.

1.2 Kelebihan Penghapusan Kolom Agama Dalam KTP

Indonesia merupakan Negara yang majemuk dan plural, sudah sewajarnya untuk dipersatukan dan
tidak ada perbedaan maupun diskriminasi terhadap golongan masyarakat terentu dan hal ini sejalan dengan
Pancasila pada sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia.
Berdasarkan aspek teoritik, menurut Emile Durkheim bahwasanya agama adalah hubungan antara
manusia dan tuhan. Dan dalam hal ini tidak perlu dibentuk dalam bentuk legalistic karena hal tersebut tidak
mengurangi sedikitpun dari nilai-nilai dalam agama jadi sudah seharusnya apabila kolom agama dalam KTP
dihapus namun bukan berarti orang tersebut tidak beragama, melainkan yang dihapus hanyalah kolomnya
saja bukan menghapus dari agama seseorang.

Pertama, jika ditinjau dari aspek konstitusional tentu ada pasal yang memungkinkan untuk
dilakukannya penghapusan kolom agama dalam KTP ketika menelaah dalam Pasal 28E ayat (1) UUD 1945
yang secara tegas menyatakan bahwa setiap orang bebas untuk memeluk agama tidak ada unsur paksaan
dalam pasal ini melainkan Negara menghormati sehingga banyaknya aliran kepercayaan diluar agama yang
telah diakui dalam undang-undang tentang administrasi kependudukan ini juga harus di akui keberdaannya
dan satu cara yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan cara menghapuskan kolom agama dalam KTP
agar tidak terjadi diskriminasi terhadap golongan masyarakat tertentu. Selain itu, dapat juga dilihat dalam
Pasal 28E ayat (2) yang secara eksplisit menyatakan bahwasanya setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan itu sesuai dengan hati nuraninya.[8] Meskipun dalam hal ini dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan telah mengakui agama-agama yang ada namun
jika hal tersebut merupakan penghalang bagi penduduk yang tidak menganut agama yang diakui oleh Negara
tersebut maka penduduk tersebut dalam melakukan pengujian terhadap pasal yang terdapat dalam Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan yang mengatur tentang keberadaan
agama yang telah ada.

Kedua, selanjutnya hal tersebut juga didukung dalam Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2013 Tentang Administarsi Kependudukan yang secara eksplisit menyatakan bahwasanya dikatakan
bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database
kependudukan,[9]artinya disini terdapat diskriminasi antara warga Negara yang sama-sama
berkewarganegaraan Indonesia dan hal tersebutlah yang menunjukkan untuk dilaksanakannya penghapusan
kolom agama dalam KTP.

Ketiga, yang perlu diketahui terkait wacana penghapusan kolom agama dalam KTP ini adalah sebagai
bentuk integrasi terhadap seluruh warga Negara Indonesia. Dengan dicantumkannya kolom agama dalam
KTP merupakan bentuk disintegrasi dari beraneka ragaman jenis serta budaya yang ada dalam masyarakat
Indonesia. Oleh karena itu, keseragaman yang ada sekarang dapat diselesaikan dengan cara penghapusan
kolom agama dalam KTP. Selain itu, Formalisme agama hanya akan menghadirkan diskriminasi yang
dilakukan oleh Negara dalam bentuk agama resmi ada enam padahal masyarakat Indonesia masih ada
menganut kepercayaan diluar enam yang diakui oleh Negara tersebut sehingga ini dapat menimbulkan
adanya paksaan bagi penduduk yang tidak menganut agama yang tidak diakui tersebut untuk memilih agama
yang telah diakui oleh Negara. Tentu ini tidak mencerminkan kehendak dari konstitusi itu sendiri
bahwasanya setiap orang bebas memilih agama berdasarkan hati nuraninya.

Keempat, dalam realitas yang perlu kita ketahui bahwasanya banyak kepercayaan yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat seperti adanya Sunda Wiwitan di Cigugur, komunitas Kaharingan di
Kalimantan, komunitas Parmalim di Sumatera Utara, Agama Adam di Pati, Komunitas Tolotang, komunitas
penghayat Kejawen dan lain-lain yang merupakan sederet agama/keyakinan yang tidak diakui oleh Negara
dan tragisnya mereka disuruh memilih diantara agama yang enam tersebut yang diakui oleh Negara.
Kelima, apabila kita ingin membandingkan dengan Negara lain seperti misalnya Mesir, Irak, Suriah,
Yaman, Kuwait, dan Uni Emirat Arab.[10] Negara-negara tersebut merupakan Negara yang tidak
mencantumkan identitas agama dalam Kartu Kependudukannya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya apabila
Indonesia melakukan hal yang sama seperti Negara-negara tersebut yaitu menghapuskan kolom agama dalam
KTP merupakan langkah awal integrasi seluruh warga Negara Indonesia.

C. Penutup

Berpijak pada ideology Negara kita yaitu Pancasila yang secara tegas menghendaki bahwa warga
Negara Indonesia harus mempunyai agama dan bukan pada aliran tertentu yang termaktub dalam sila
pertama yang berbunyi tentang Ketuhana Yang Maha Esa. Dan sejalan dengan itu konstitusi pun juga
mengatur bahwasanya warga Negara harus mempunyai agama yang tercantum dalam pasal 28E ayat (1),
selain itu sebagai bentuk derivasi dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan dalam Pasal 64 ayat (1) yang
secara eksplisit menyatakan berkenaan dengan elemen data kependudukan yang harus dicantumkan dalam
identitas diri satu diantaranya adalah agama yang dalam hal ini telah dilindungi oleh Undang-Undang
tersebut. Sebaliknya, bagi yang setuju terhadap wacana ini mereka juga dapat menggunakan ideology Negara
yaitu Pancasila sebagai argumentasi pertama yang terdapat dalam sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia
mereka beranggapan bahwa dengan dicantumkannya kolom agama dalam KTP maka hal tersebut merupakan
disintegrasi dari seluruh penduduk Indonesia. Kemudian dalam Konstitusi pun juga mengatur tentang adanya
kebebasan beragama bagi penduduk yang tidak menganut agama yang telah diakui dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2013 tersebut yang termaktub dalam pasal 28E ayat (2) yang secara tegas mengatakan
bahwasanya setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya oleh sebab itu penghapusan kolom agama dalam KTP merupakan bentuk
menghormati dan mengakui keberadaan agama maupun kepercayaan diluar yang telah diakui.

Adapun gagasan yang dapat ditawarkan baik pihak yang pro maupun kontra terhadap isu atau mosi
kali ini yaitu sebagai berikut :

Pro :

a) Menghapuskan kolom Agama dalam KTP sebagai langkah untuk mengintegrasikan seluruh penduduk
Indonesia;

Kontra :

a) khusus bagi yang beragama Islam wajib dicantumkan selain Islam boleh dikosongkan. Kebijakan demikian
sudah diterapkan di Negara tetangga seperti Malaysia. Hal ini dikarenakan karena Islam sebagai agama
mayoritas dan dalam Islam ada ritual wajib yang harus dilakukan bagi penganutnya ketika meninggal dunia.
PENGHAPUSAN KOLOM AGAMA DALAM KTP
1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki keberagaman yang tinggi terkait dengan kepercayaan yang
dianut oleh warga negaranya. Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat.
Bahkan, keberadaan agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya.
Hal ini dapat ditunjukkan melalui ideologi bangsa Indonesia, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila
Pertama Pancasila.
Pasal 29 ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal
ini berarti bahwa bangsa Indonesia mengakui bahwa nilai-nilai ketuhanan memiliki pengaruh yang besar
terhadap bangsa dan negara Indonesia sehingga nilai-nilai ketuhanan menjadi dasar bagi negara dalam
menjalankan fungsinya. Salah satu pengaruh keberadaan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia adalah adanya kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk, untuk selanjutnya
disebut KTP.

Pada awalnya, pencantuman kolom agama dalam KTP didasarkan pada Penetapan Presiden (Penpres) Nomor
1/PNPS/1965 jo Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat
China jo Undang-Undang Nomor 65 Tahun 1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan
Agama. Atas dasar ketentuan inilah, agama dimasukkan dalam KTP. Seiring berjalannya waktu, peraturan
perundang-undangan tersebut diubah sehingga dasar hukum yang berlaku saat ini adalah Undang Nomor 24
Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan, untuk selanjutnya disebut UU Administrasi Kependudukan.

Secara eksplisit, agama disebutkan sebagai salah satu data perorangan sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 58 ayat (2) UU Administrasi Kependudukan. Namun, melalui Pasal 64 ayat (5) UU Administrasi
Kependudukan, pemerintah melakukan pembedaan antara agama yang diakui oleh negara dengan agamanya
belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat
kepercayaan. Menurut Undang-Undang No 1/PnPs/1965 jo. UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dan Tap MPRS No XXVII/MPRS/ 1966 menyatakan hanya ada
6 (enam) agama resmi yang diakui di Indonesia, yaitu Islam, Katolik, Kristen Protestan, Buddha, Hindu, dan
Konghucu. Oleh sebab itu, selebihnya masuk dalam kategori agama yang belum diakui sebagai agama
berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan
Sesungguhnya, wacana awal yang terbentuk berkaitan dengan kolom agama dalam KTP adalah
pengosongan, bukan penghapusan. Hal ini dinyatakan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dengan
alasan bahwa warga penganut dari kepercayaan yang belum diakui resmi oleh pemerintah boleh
mengosongkan kolom agama dalam KTP elektronik atau e-KTP. Prakarsa itu pun didukung Wakil Presiden
Jusuf Kalla yang berpendapat pengosongan kolom agama di e-KTP itu adil untuk semua warga negara
Indonesia.[1] Berkaitan dengan penghapusan kolom agama dalam KTP, Menteri Dalam Negeri Tjahjo
Kumolo memberikan tanggapan bahwa kolom agama tidak bisa dihilangkan dari KTP. Hal ini dikarenakan
Undang-Undang Administrasi Kependudukan telah melindungi keberadaan kolom agama ini.[2]
Pada dasarnya, undang-undang bukan sesuatu yang mutlak yang tidak mungkin bisa diubah. Bukanlah hal
yang tidak mungkin suatu saat nanti UU Administrasi Kependudukan tidak melindungi keberadaan kolom
agama dalam KTP. Lantas, yang menjadi pertanyaan adalah apakah kolom agama dalam KTP akan
dihapuskan ketika UU Administrasi Kependudukan tidak melindungi keberadaan kolom agama tersebut?

2. PEMBAHASAN
o PRO PENGHAPUSAN KOLOM AGAMA DALAM KTP
Sejatinya, ide dasar Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana yang termaktub dalam Sila Pertama Pancasila
adalah Bangsa Indonesia secara keseluruhan percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai dasar hidup
untuk mencapai kesejahteraan lahir dan batin. Nilai-nilai ketuhanan merupakan sesuatu yang fundamental
dan alamiah terdapat dalam kehidupan manusia Indonesia untuk menjalankan tugas mulia menuntaskan visi
hidupnya. Di alam Indonesia, Tuhan dianggap mempunyai peran penting untuk mempromosikan sikap dan
perilaku etis.[3] Oleh karena itu, agama sebagai sebuah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan)
dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya bukanlah termasuk dalam ranah administrasi yang harus
dicantumkan dalam kolom KTP. Oleh karena itu, penghapusan kolom agama dalam KTP tidak bertentangan
dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan, anggapan bahwa Indonesia telah menjadi negara sekuler
dan menghilangkan esensi Pancasila dengan melakukan penghapusan kolom agama dalam KTP
sesungguhnya telah menderogasi makna dari Pancasila sebagai way of life Bangsa Indonesia. Hal ini
dikarenakan manusia Indonesia telah menjadikan nilai-nilai ketuhanan sebagai dasar dalam menjalankan
kehidupannya dan memenuhi tugas mulia serta menuntaskan visi hidupnya tanpa harus mencantumkan
agama dan kepercayaan yang dianutnya dalam KTP sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 29 ayat (1)
UUD NRI 1945.

Pencantuman kolom Agama dalam KTP berpotensi merusak sendi-sendi persatuan Indonesia. Hal ini
dikarenakan Konflik yangdilatarbelakangi oleh agama adalah konflik yang paling eksplosif. Seringkali
konflik antargolongan masyarakat terjadi dilatarbelakangi oleh agama. Bahkan, para elit politik
menggunakan agama sebagai kendaraan politik untuk mencapai kekuasaan.[4] Padahal, negara harus
melakukan usaha untuk mencegah perpecahan antar sesama warga negara kesatuan sebagai implementasi
dari Sila Ketiga Pancasila.[5] Dengan demikian, penghapusan kolom agama dalam KTP merupakan salah
satu cara untuk mencegah perpecahan antarwarga negara.

Pada dasarnya, penghapusan kolom agama dalam KTP diwarnai oleh semangat untuk memperoleh
pemenuhan hak atas jaminan dan pengakuan yang sama dihadapan hukum sesuai dengan Asas Equality
Before The Law dimana setiap orang dipandang sama dihadapan hukum sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945. Hal ini dikarenakan Indonesia telah membuka celah terjadinya
diskriminasi terhadap warga negaranya yang agama dan kepercayaannya tidak diakui melalui pencantuman
kolom agama dalam KTP. Pola diskriminasi yang terdapat dalam pencantuman dalam KTP, yaitu melakukan
penolakan untuk menulis agama atau kepercayaan yang dianut, ditulis dengan enam agama yang diakui, dan
ditulis lain-lain atau tanda (-).[6] Pencantuman kolom agama dalam KTP merupakan salah satu bentuk
pemaksaan, karena secara administratif warga negara diminta untuk memilih salah satu dari kepercayaan
yang diakui oleh pemerintah. Selama ini, warga penganut agama kepercayaan dan agama di luar enam agama
yang ada dipaksa menuliskan satu dari enam agama resmi di KTP. Akibat pemaksaan tersebut, banyak warga
yang memiliki untuk tidak memiliki KTP dan itu menghambat kegiatan pencatatan kependudukan oleh Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri.[7] Hal ini bertentangan dengan Pasal 28E
ayat (2) UUD NRI 1945 yang memberikan jaminan kepada setiap orang atas haknya untuk meyakini
kepercayaannya, dan menyatakan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Selain itu, hal tersebut juga
bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) ICCPR yang dengan tegas melarang pemaksaan untuk menganut atau
memeluk suatu agama atau keyakinan, atau untuk menyangkal agama atau keyakinan mereka. Bahkan, salah
satu perwujudan dari pengakuan negara atas hak asasi manusia adalah adanya pemberian kebebasan
beragama oleh negara, yang salah satu inti normatifnya adalah diakuinya asas Non Coercion atau tidak
adanya paksaan. Lebih jauh lagi, hal ini bertentangan dengan ikrar Indonesia sebagai negara Pancasila yang
merupakan religious nation stateyang akan mewujudkan sebuah negara kebangsaan yang religius yang
melindungi dan memfasilitasi berkembangnya semua agama yang dipeluk oleh rakyatnya tanpa membedakan
besarnya jumlah pemeluk masing-masing.[8] Oleh karena itu, pencantuman kolom agama dalam KTP pada
dasarnya hanya menunjukkan bahwa negara tidak mengakui dan menghormati identitas agama dan
kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian, wajarlah apabila PBB melalui
Rekomendasi No. CERD/C/IDN/CO/3 dari Komite Anti Diskriminasi Rasial (CERD) PBB pada tanggal 15
Agustus 2007 merekomendasikan Indonesia untuk menghapus kolom agama dalam KTP yang dinilai telah
melahirkan diskriminasi.
Namun, mengakui dan mencantumkan seluruh agama dan kepercayaan yang berkembang di
Indonesia dalam KTP bukanlah merupakan hal yang tepat. Notonegoro menyatakan bahwa Pancasila
merupakan kesatuan bertingkat yang tiap sila di muka sila lainnya merupakan basis, atau pokok pangkalnya.
Dengan demikian, sila Ketuhanan Yang Maha Esa bermakna Ketuhanan yang berkemanusiaan yang adil dan
beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini berarti
bahwa ada sebagian Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi tidak berkemanusiaan yang adil dan
beradab.[9] Berkaitan dengan hal tersebut, mencantumkan seluruh agama dan kepercayaan yang berkembang
di Indonesia dalam KTP akan berpotensi mengakibatkan terjadinya kesalahan negara dalam melindungi suatu
agama dan kepercayaan sehingga menumbuhsuburkan paham-paham dan aliran-aliran yang sejatinya
bertentangan dengan Pancasila yang berakibat mengancam keamanan nasional. Atas dasar kamanan nasional,
mengakui dan mencantumkan seluruh agama dan kepercayaan yang berkembang di Indonesia dalam KTP
bukanlah merupakan hal yang tepat bukanlah solusi yang tepat, dan penghapusan kolom agama pada KTP
menjadi solusi yang memiliki social cost yang lebih kecil daripada harus mencantumkan seluruh agama dan
kepercayaan yang berkembang di Indonesia dalam KTP. Dengan demikian, penghapusan kolom agama
dalam KTP sesuai dengan peranan hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Mochtar
Kusumaatmaja[10] dan Satjipto Rahardjo[11] bahwa hukum memiliki peranan untuk memberikan arah dan
dorongan perkembangan masyarakat yang tertib, adil, dan sejahtera.[12]

KONTRA PENGHAPUSAN KOLOM AGAMA DALAM KTP


Pada hakikatnya, kolom agama adalah identitas negara yang berketuhanan. Ketuhanan dan agama secara
konseptual merupakan pemahaman bahwa penduduk Indonesia berketuhanan Yang Maha Esa. Lauddin
Marsuni[13] menyebutkan bahwa ketuhanan dan agama adalah identitas negara.[14] Penduduk sebagai unsur
dari negara mutlak untuk menunjukkan identitas ketuhanannya sebagai wujud dari identitas negara.
Pengakuan sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) tidak dapat dipisah-pisahkan dengan agama sebagai
salah satu tiang pokok dari perikehidupan manusia dan sendi perikehidupan Negara serta unsur mutlak dalam
usaha nation-buildingBangsa Indonesia. Oleh karena itu, pencantuman kolom agama dalam KTP mutlak
diperlukan.
Selain itu, penghapusan kolom agama dalam KTP mencerminkan perubahan haluan dasar kehidupan
berbangsa dan bernegara yang selama ini didasarkan pada sendi-sendi relijiusitas kolektif kebangsaan. Hal
ini dikarenakan penghapusan kolom agama dalam KTP akan memberikan peluang bagi tumbuh suburnya
faham-faham relativisme kebenaran agama yang pada akhirnya akan mengganggu ketentraman beragama.
Padahal, selama ini agama telah menjadi bagian penting dari fondasi kebangsaan dan sendi-sendi kehidupan
masyarakat Indonesia.

Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa hak beragama merupakan salah satu hak yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaaan apapun. Hal ini dikuatkan melalui Pasal 28 E ayat (2) UUD NRI 1945 yang
menyatakan bahwa setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai
dengan hati nurani. Berdasarkan dua pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa salah satu implementasi dari
hak beragama adalah hak untuk menyatakan bahwa dia menganut agama tertentu. Pernyataan inilah yang
kemudian diakomodir oleh pemerintah melalui kolom agama dalam KTP. Keberadaan kolom agama dalam
KTP merupakan salah satu wujud adanya pengakuan dan perlindungan pemerintah terhadap kebebasan
beragama yang dibuktikan dengan memberikan pengakuan kepada warga negaranya untuk menyatakan sikap
sesuai dengan hati nuraninya mengenai agama dan kepercayaan yang dianutnya. Oleh karena itu,
penghapusan kolom agama dalam KTP merupakan bentuk ketidakpedulian pemerintah dalam hak beragama
warga negaranya, dan merupakan pencederaan terhadap hak konstitusional warga negara.

Keberadaan kolom agama di dalam KTP merupakan implementasi atas Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.
Sebagai sebuah organisasi besar, negara harus memiliki tertib administrasi yang baik. Salah satu cara untuk
mewujudkan administrasi yang baik adalah mengetahui identitas penduduk, termasuk agama dari penduduk
tersebut. Disinilah letak kepastian hukum yang dijamin oleh Konstitusi. Kepastian hukum atas agama yang
dianut seseorang akan berkolerasi penting terhadap tindakan hukum yang dilakukannya. Hal ini dikarenakan
di Indonesia hukum tertulis (lex scripta) menjadi penting dalam upaya penegakkan dan kepastian hukum itu
sendiri. Dengan demikian, pencantuman kolom agama dalam KTP akan dapat menghindari terjadinya
pemalsuan identitas pribadi sehingga hak setiap orang untuk mendapatkan jaminan terhadap kepastian
hukum yang adil akan terwujud.
Selain itu, manfaat dari keberadaan kolom agama dalam KTP adalah kemampuan dalam menjamin
terlaksananya asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de
individuele rechtsbedeling).[15] Hal ini dikarenakan selain muatan peraturan perundang-undangan berlaku
umum, keberadaan kolom agama dalam KTP dapat juga dijadikan pedoman untuk menyelesaikan persoalan
secara khusus atau keadaan tertentu (inconcreto) berdasarkan agama dan keyakinannya. Beberapa
administrasi penting di lapangan, dan sesungguhnya bersifat prinsip dalam kerangka keberagamaan
seseorang, misalnya ketika pengurusan pernikahan, pengurusan hak waris, pengambilan sumpah jabatan para
pemimpin dan pejabat pemerintahan, pemulasaraan jenazah, dan lain-lain yang membutuhkan kejelasan
terkait identitas agama warga yang bersangkutan. Oleh karena, pencantuman kolom agama dalam KTP
merupakan langkah yang tepat.
Ditinjau dari aspek pelayanan dan bimbingan pemerintah terhadap umat beragama, upaya dan kebijakan
pengosongan kolom Agama pada KTP akan menimbulkan perilaku diskriminasi dan ketidakadilan. Hal ini
dikarenakan Kementerian Agama mempunyai tupoksi memberikan pelayanan dan bimbingan kepada warga
negara melalui Ditjen Bimbingan Masyarakat haruslah dilaksanakan sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing. Ketika kolom agama pada KTP dihapuskan, maka secara otomatis warga
negara akan menjadi termarginalkan secara struktural dan pemerintah tidak memberikan pelayanan dan
bimbingan keagamaan secara maksimal, karena pendataan yang kurang akurat. Inilah pelanggaran hak asasi
manusia yang sesungguhnya akan terjadi ketika seseorang menjadi orang asing di wilayahnya sendiri.

3. PENUTUP
o KESIMPULAN DAN SARAN PRO PENGHAPUSAN KOLOM AGAMA DALAM KTP
Sebagai sebuah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang
Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya,
agama bukanlah termasuk dalam ranah administrasi sehingga penghapusan kolom agama dalam KTP tidak
bertentangan dengan Pancasila. Bahkan, penghapusan kolom agama dalam KTP merupakan salah satu cara
untuk mencegah perpecahan antarwarga negara. Selain itu, pencantuman kolom agama dalam KTP yang
selama ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28E ayat (2)
UUD NRI 1945 serta Pasal 18 ayat (2) ICCPR yang dengan tegas melarang pemaksaan untuk menganut atau
memeluk suatu agama atau keyakinan, atau untuk menyangkal agama atau keyakinan mereka.

Sebagai bentuk komitmen kami terhadap penghapusan kolom agama dalam KTP, rekomendasi yang kami
berikan adalah:

1. Dalam tataran substansi hukum, merevisi UU Administrasi Kependudukan dengan menghilangkan agama
sebagai salah satu data perseorangan dalam KTP;
2. Dalam tataran struktur hukum, pemerintah bekerjasama dengan Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) untuk tetap melakukan pembinaan dan bimbingan terhadap kehidupan beragama dalam
masyarakat;
3. Dalam tataran budaya hukum, meng-edukasi masyarakat mengenai pentingnya penerapan kehidupan
beragama dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus dibayang-bayangi oleh label agama orang lain.
o KESIMPULAN DAN SARAN KONTRA PENGHAPUSAN KOLOM AGAMA DALAM KTP
Agama merupakan identitas negara. Sebagai bagaian dari negara, penduduk juga haruslah menggunakan
agama yang dianutnya sebagai identitas dirinya. Selain itu, penghapusan kolom agama dalam KTP akan
memberikan peluang bagi tumbuh suburnya faham-faham relativisme kebenaran agama yang pada akhirnya
akan mengganggu ketentraman beragama. Selain sebagai salah satu wujud adanya pengakuan dan
perlindungan pemerintah terhadap kebebasan beragama, pencantuman kolom agama dalam KTP dapat
mewujudkan tertib administrasi yang baik dan mempermudah pelayanan dan bimbingan pemerintah terhadap
umat beragama.

Sebagai bentuk komitmen kami untuk menolak penghapusan kolom agama dalam KTP, rekomendasi yang
kami ajukan adalah:

1. Dalam tataran substansi hukum, tidak melakukan revisi terhadap UU Administrasi Kependudukan yang
berimplikasi pada penghapusan terhadap kolom agama dalam KTP;
2. Dalam tataran struktur hukum, pemerintah melakukan pendataan terhadap semua agama, aliran dan
kepercayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia untuk digunakan sebagai database dalam
menetapkan agama yang akan dicantumkan dalam kolom KTP
3. Dalam tataran budaya hukum, pemerintah melakukan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya
menjaga kerukunan antar umat beragama dalam upaya memperkuat persatuan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai