Anda di halaman 1dari 6

JASA LAYANAN SANITASI

(Tinjauan Sebagai Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup)

Jasa layanan untuk kepentingan orang pribadi atau badan memerlukan biaya yang layak diganti. Bila
jasa layanan itu disediakan oleh pemerintah daerah, maka ada pungutan dari pengguna jasa yang
disebut dengan Retribusi1; sedangkan bila jasa layanan dilakukan oleh korporasi, pungutannya
tidak disebut sebagai Retribusi, atau Non-Retribusi, atau boleh disebut Tarif. BUMD sebagai badan
usaha dianggap korporasi sehingga pungutannya dikategorikan sebagai Non-Retribusi, atau Tarif.

Dalam UU 28 /2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), pasal 110, ada 2 kegiatan
terkait dengan layanan sanitasi yaitu : (1) Penyedotan Kakus, dan (2) Pengelolaan Limbah Cair.
Kedua kegiatan ini dimasukkan sebagai Non-pajak. Karena Pajak sifatnya wajib bayar bagi semua
Wajib Pajak, maka Non-Pajak tidak ada keharusan bayar tanpa ada jasa layanan yang diberikan. Pada
UU ini, kedua kegiatan sektor sanitasi tersebut dikategorikan sebagai Retribusi apabila jasanya
disediakan oleh pemerintah daerah, dan Non-Retribusi apabila jasanya disediakan oleh pihak non-
pemerintah daerah, baik itu swasta/BUMD ataupun perseorangan.

Dengan mengacu pada pencantuman jasa layanan sanitasi penyedotan kakus dan pengolahan
limbah cair sebagai retribusi pada UU 28/2009 tersebut, maka kedua kegiatan layanan sanitasi
menjadi kewenangan wajib yang harus disediakan oleh pemerintah daerah baik dioperasikan sendiri
sebagai pungutan retribusi ataupun dioperasikan BUMD sebagai tariff (non-retribusi).

Jasa Layanan Sedot Kakus (Lumpur Tinja) dan Pengolahan Limbah Cair

Sudah banyak pemerintah daerah telah melayani jasa penyedotan kakus, atau penyedotan lumpur
tinja dari tangki septik; tetapi baru ada 13 (dari 514) pemerintah daerah yang telah
menyelenggarakan pengelolaan limbah cair, antara lain : Banjarmasin, Bandung, Balikpapan,
Yogyakarta, Denpasar, dan lainnya.

Untuk penyedotan lumpur tinja, sebagian pemda bermitra dengan swasta untuk penyediaan truk
dan penyedotannya dan sebagian pemda lainnya punya truk sendiri dan dioperasikan sendiri;
sedangkan untuk pengelolaan limbah cair juga sebagian dilaksanakan oleh BUMD (PDPAL) atau
diserahkan kepada PDAM, dan sebagian lainnya dioperasikan oleh pemda sendiri, terutama untuk
IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) kawasan berskala sedang.

Sebagaimana yang sudah diatur dalam UU, sistem pembayaran layanan penyedotan lumpur tinja
termasuk retribusi yang langsung disetor ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD). Walaupun ada
kemitraan dengan swasta, tetap sebagai retribusi karena pelaksanaan penyedotan lumpur tinja oleh
swasta hanya appointee oleh pemerintah daerah. Sementara pengolahan limbah cair yang
diselenggarakan oleh pemda sendiri juga termasuk retribusi, sedangkan yang diselenggarakan
BUMD/PDAM adalah Non-Rretribusi dan dana perolehannya disetor ke kas BUMD sendiri.

Besarnya nilai jasa layanan sanitasi dihitung minimal dapat menutupi biaya (langsung dan tidak
langsung) rata-rata operasi pelayanan, tetapi untuk retribusi jasa penyedotan lumpur tinja dan
pengolahan limbah cair dihitung di bawah biaya rata-rata karena dikategorikan jasa umum
(kemanfaatan umum) yang perlu disubsidi.

1
Kalau yang menyediakan Pemerintah disebut dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Jasa layanan Sanitasi, Apakah Wajib?

Mengacu pada UU 28 tahun 2009 tentang PDRD bahwa kegiatan jasa layanan sanitasi dikategorikan
Non-Pajak, artinya tidak wajib, atau dibayar bila ada layanan yang diberikan. Namun ada beberapa
catatan dapat dikemukakan di sini yaitu :

1. PP 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, pasal
24(1) mengatakan : Setiap orang yang membuang air limbah ke prasarana dan atau sarana
pengelolaamn air limbah yang disediakan oleh Pemerintah kabupaten/Kota dikenakan
Retribusi.
2. Perwali Surakarta 16A tahun 2014 tentang Pengelolaan Lumpur Tinja, pasal 4(1) :Setiap unit
setempat teregistrasi harus menjalani penyedotan setiap 2-5 tahun.
3. Perwali Bandung 937 tahun 2009 tentang Pengaturan Pelayanan Air Minum dan Air Limbah
pada PDAM Tirtawening Kota Bandung, pasal 19 (1) : Bagi persil yang secara teknis berada
pada lokasi pelayanan saluran air limbah dan berada dalam lingkup layanan maka air
limbah dari persil dimaksud disalurkan ke saluran pembuangan air limbah milik PDAM
Tirtawening,
4. Perda Kota Balikpapan 13 tahun 2001 tentang Retribusi Instalasi Pengelolaan Air Limbah2,
pasal 15 : (1) Orang atau badan yang sudah menjadi pelanggan PDAM dan menjadi
pelanggan IPAL, pembayaran retribusi dipungut bersamaan dengan pembayaran rekening
air minum; (2) Orang atau badan yang belum menjadi pelanggan PDAM, retribusi akan
dilaksanakan oleh Petugas yang ditunjuk oleh UPT atau Badan yang ditunjuk oleh
Pemerintah Daerah.

Dari 4 catatan tersebut dapat disarikan bahwa :

1. Wajib bayar jasa layanan sanitasi hanya bagi mereka yang terdaftar dan terlayani;
2. Khusus untuk jasa layanan pembuangan air limbah terpusat (IPAL), wajib jadi pelanggan
ditujukan bagi orang atau badan yang berada dalam kawasan yang sudah dilayani jaringan
pembangan air limbah;
3. Sistem pembayaran jasa layanan sanitasi sangat mengandalkan pada sistem pembayaran
langganan air minum.

Dapat disimpulkan bahwa jasa layanan sanitasi sekarang ini tetap bukan sebagai kewajiban bagi
setiap orang pribadi atau badan untuk menjadi pelanggan kecuali bagi mereka yang berada dalam
kawasan yang sudah dilayani jaringan pengolahan air limbah. Kesimpulan lain bahwa dalam
pembayaran bagi pelanggan jasa layanan sanitasi masih terkendala dan karenanya masih sangat
mengandalkan pada sistem pembayaran air minum. Sebagai contoh, Pemda Surakarta dalam uji
coba pelaksanaan Program LLTT (Layanan Lumpur Tinja Terjadwal) membatasi untuk para
pelanggan air minum saja. Tujuan ini tentunya terkait kemudahan dalam sistem pembayarannya.

2
IPAL kota Balikpapan dikelola oleh PDAM Balikpapan, tetapi bukan asset PDAM Balikpapan. Artinya Pemda
Kota Balikpapan hanya menitipkan asset IPAL kepada PDAM untuk dioperasikan. Jadi, walaupun jasa layanan
dilakukan oleh PDAM selaku korporasi, pungutannya sebagai Retribusi karena PDAM hanya sebagai
perpanjangan tangan (appointee) pemda dalam layanan sanitasi.
Perspektif Jasa Layanan Sanitasi Menjadi Wajib

Kesimpulan bahwa menjadi pelanggan jasa layanan sanitasi kecuali pada kawasan yang telah
dilayani jaringan pengolahan air limbah, atau jasa layanan penyedotan lumpur tinja adalah tidak
wajib dan terkendalanya sistem pembayaran yang masih mengandalkan pembayaran air minum
merupakan kendala besar bagi upaya pengembangan jasa layanan sanitasi. Pengembangan jasa
layanan sanitasi dengan investasi besar dan teknologi memerlukan jaminan pengembalian yang
layak dan penagihan yang mudah. Untuk itu diperlukan partisipasi masyarakat secara total agar
terjamin berlangsungan jasa layanan sanitasi.

Upaya menjadikan partisipasi masyarakat secara total dalam sanitasi sudah sering dilakukan melalui
sosialisasi, tetapi hasilnya tidak serta merta, atau bisa dikatakan belum berhasil. Begitu juga inisiatif
sistem pembayaran bagi non-pelanggan air minum yang mudah juga telah banyak diupayakan
seperti jemput bola (ambil langsung) atau menagih secara langsung, ide menggabungkan dengan
pembayaran listrik, melalui KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat), atau mencoba memanfaatkan
jasa bank kredit mikro (BPR, Credit Union), belum sepenuhnya berhasil juga. Bahkan sistem ambil
langsung yang dicoba oleh PDAM Balikpapan boleh dikatakan gagal karena ongkos untuk ambil
langsung lebih mahal daripada nilai retribusinya sendiri.

Untuk mengatasi permasalahan di atas, perlu pemikiran out of the box. Sebab, terus menerus
berfikir sanitasi sebagai services atau layanan jasa, maka akan terperangkap pada UU 28/2009
tentang PDRD, yaitu akan balik lagi pada masalah kategori Non-pajak atau ketidakwajiban retribusi
dan cara pembayarannya sebagaimana telah diuraikan di atas.

Celah berpikir untuk out of the box adalah mencari sandaran lain di samping UU 28/2009.
Kemungkinan yang bisa digali adalah perpektif lain bahwa sanitasi tidak hanya sekedar layanan,
tetapi materi air limbah terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan . Ini bukan
pemikiran mengada-ada, tetapi jelas bahwa setiap orang pribadi dan badan adalah pencemar
karena penghasil limbah cair yang mencemari lingkungan utamanya pada air permukaan maupun
air tanah yang berdampak pada risiko kesehatan masyarakat .

Bila sepakat dengan perspektif tersebut, maka terkait dengan UU 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup :

1. Pasal 2 tentang azas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bahwa :


Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas: a.
Tanggung jawab negara;.. j. Pencemar membayar; i. Partisipatif; .. n. Otonomi
Daerah.
2. Pasal 42 (3) tentang instrument ekonomi lingkungan hidup, insentif/disinsentif :a. ..; b.
penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup;;

Mengingat bahwa setiap orang pribadi dan badan adalah pencemar , maka sesuai dengan asas
pencemar membayar, maka semua rumah tangga dan badan-badan yang pada dasarnya
pembuang air limbah harus membayar (disinsentif) dalam bentuk retribusi ataupun non-retribusi.
Dengan demikian dapat ditegakkan bahwa kewajiban bayar atas jasa layanan sanitasi adalah wajib
hukumnya bagi setiap rumah tangga ataupun badan
Entah bagaimana, UU 32 tahun 2009 telah berlaku 5 tahun yang lalu, tetapi penerapan pencemar
membayar tidak dilakukan khususnya dalam retribusi jasa layanan penyedotan lumpur tinja.
Mungkin ini disebabkan tidak adanya peraturan pemerintah (PP) khusus tentang hal ini sehingga
kegiatan penyedotan lumpur tinja dan sebagian jasa layanan pengolahan air limbah masih bersifat
indifferent (semaunya), atau tidak wajib. Akibatnya berbagai kebocoran limbah cair
mempengaruhi kualitas air tanah maupun air permukaan, penggunaan truk peenyedot tinja
underutilized , dan IPLT yang sudah dibangun tidak termanfaatkan.

Konsekuensi Wajib Bayar

Bila setiap rumah tangga dan badan wajib bayar jasa sanitasi, maka akan mempunyai skala ekonomi,
semakin efisien, dan pengembalian investasi menjadi lebih masuk akal. Namun demikian, untuk
menjalankan jasa layanan sanitasi secara total ini diperlukan berbagai persiapan yang sangat krusial
termasuk juga perlu penambahan modal.

Beberapa persiapan antara lain :

1. Perlunya Permendagri tentang kewajiban pembayaran jasa layanan sanitasi bagi semua
rumah tangga dan badan di daerah;
2. Penyusunan perda yang mewajibkan seluruh rumah tangga dan badan non pelanggan jasa
layanan air limbah terpusat, lebih spesifik pada jasa layanan penyedotan lumpur tinja
menjadi pelanggan jasa layanan sanitasi;
3. Penyusunan SOP (Standard Operating Procedure) yang lebih lengkap dan transparan ;
4. Sosialisasi kepada seluruh masyarakat;
5. Membangun sistem informasi digital dan geografis yang terdiri atas informasi pelanggan
rumah tangga dan bangunan by address and by name;;
6. Menerapkan sistem pelayanan terjadual dan terpadu;
7. Penambahan armada truk dan peningkatan kapasitas IPLT;
8. Pengembangan kelembagaan penyelenggara layanan sanitasi di daerah dengan membentuk
BLUD (Badan Layanan Umum daerah);
9. Memformulasikan sistem pembayaran yang mudah dan terjangkau untuk semua kalangan
pelanggan;

Dengan kesimpulan bahwa pelangganan jasa layanan sanitasi wajib bagi setiap rumah tangga dan
badan, maka diperlukan pemikiran mengenai cara pembayaran yang mudah dilakukan oleh setiap
pelanggan. Cara pembayaran yang mudah juga termasuk sistem angsurannya. Selain itu juga
dipikirkan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang disubsidi untuk dikecualikan tidak
perlu membayar.

Oleh karena pembayaran jasa sanitasi diikuti oleh semua rumah tangga dan badan selain yang
dikecualikan, maka berdasarkan sistem informasi pelanggan yang dimiliki, dibuat Rekening Kas
Umum Daerah (RKUD) Khusus untuk menampung penerimaan retribusi pada Bank Pembangunan
Daerah (BPD) setempat dan bank-bank swasta lainnya yang dekat dengan sebaran domisili
masyarakat.
Rangkuman

Berdasarkan bahasan di atas, dapat dirangkum sebagai berikut :

1. Dalam UU 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), ada 2 jasa
layanan sanitasi yaitu : 1. Penyedotan Kakus, dan 2. Pengolahan Limbah Cair. Kedua kegiatan
ini dikategorikan bukan pajak (Non-pajak) sehingga sifatnya tidak wajib. Pengguna jasa akan
membayar bila telah diberikan layanan (dalam hal ini jasa layanan sanitasi).
2. Karena tidak wajib (butir 1), maka lingkup pasar jasa layanan ini menjadi terbatas sehingga
hasil pungutan jasa tidak pernah bisa menutupi biaya operasi dan tidak berfungsinya
prasarana dan sarana sistem pengolahan (lumpur tinja);
3. Terbatasnya pasar jasa layanan sanitasi ini mempengaruhi sistem pembayaran jasa.
Memanfaatkan sistem pembayaran air minum adalah solusi, tetapi hanya terbatas bagi para
pelanggan air minum saja. Selebihnya, yang bukan pelanggan air minum, belum ada solusi
bagi pembayaran yang efisien.
4. Kuncinya adalah bagaimana agar pasar jasa layanan sanitasi ini bisa menyeluruh dan total
atau diikuti sebanyak-banyaknya masyarakat pengguna, yaitu bagaimana agar pelangganan
jasa layanan sanitasi menjadi wajib. Untuk itu harus ada perspektif bahwa jasa layanan
sanitasi tidak terbatas pada aspek services, tetapi juga diartikan bahwa orang pribadi dan
badan adalah penghasil air limbah yang bisa mencemari lingkungan. Dengan kata lain
mereka adalah pencemar lingkungan. Dengan prinsip Pencemar membayar sebagaimana
tertuang pada pasal 2 UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, maka bisa didefinisikan bahwa orang pribadi atau rumah tangga dan badan sebagai
pencemar lingkungan harus membayar. Dengan prinsip ini, penggunaan jasa layanan sanitasi
menjadi wajib. Wajib menjadi pelanggan ini terutama bagi mereka pengguna jasa layanan
sanitasi yang belum terdaftar. Umumnya adalah bakal pelanggan penyedotan lumpur tinja.
5. Bilamana hal tersebut disepakati melalui peraturan, misalnya permendagri, maka diperlukan
berbagai persiapan. Bila ini berhasil, maka pengembangan layanan sanitasi di daerah akan
menjadi prima dan akan berkembang berkelanjutan.

Bambang Tata Samiadji


Wat-San IndII

Anda mungkin juga menyukai