PENDAHULUAN
Otot Oblique
Fascia Transversalis
e. Ligamentum Cooper
Ligamentum Cooper terletak pada bagian belakang ramus pubis dan dibentuk
oleh ramus pubis dan fascia. Ligamentum cooper adalah titik fixasi yang penting
dalam metode perbaikan laparoscopic sebagaimana pada teknik McVay.
f. Preperitoneal Space
preperitoneal space terdiri dari jaringan lemak, lymphatics, pembuluh darah
dan saraf. Saraf preperitoneal yang harus diperhatikan oleh ahli bedah adalah
nervus cutaneous femoral lateral dan nervus genitofemoral. nervus cutaneous
femoral lateral berasal dari serabut L2 dan L3 dan kadang cabang dari nervus
femoralis. Nervus ini berjalan sepanjang permukaan anterior otot iliaca dan
2. Berdasarkan klinis:
a. Hernia reponibilis: bila isi hernia dapat keluar masuk. Usus keluar jika
berdiri atau mengejan dan masuk lagi jika berbaring atau didorong masuk,
tidak ada keluhan nyeri atau gejala obstruksi usus. Dapat direposisi tanpa
operasi.
b. Hernia irreponibilis: organ yang mengalami hernia tidak dapat kembali ke
cavum abdominal kecuali dengan bantuan operasi. Tidak ada keluhan rasa
nyeri atau tanda sumbatan usus. Jika telah mengalami perlekatan organ
disebut hernia akreta.
Hernia inguinalis adalah hernia yang paling sering kita temui. Menurut
patogenesisnya hernia ini dibagi menjadi dua, yaitu hernia inguinalis lateralis
(HIL) dan hernia inguinalis medialis (HIM). Ada juga yang membagi menjadi
hernia inguinalis direk dan hernia inguinalis indirek. Meskipun terapi terbaik
pada hernia ini adalah sama yaitu herniotomi dan herniorafi, tapi penting untuk
mengetahui perbedaannya karena akan mempengaruhi pada teknik operasinya
nanti.
Hernia inguinalis lateralis timbul karena adanya kelemahan anulus intenus
sehingga organ-organ dalam rongga perut (omentum, usus) masuk ke dalam
kanalis inguinalis dan menimbulkan benjolan di lipat paha sampai skrotum.
Sedangkan hernia ingunalis medialis timbul karena adanya kelemahan dinding
perut karena suatu sebab tertentu. Biasanya terjadi pada segitiga hasselbach.
Secara anatomis intra operatif antara HIL dan HIM dipisahkan oleh vassa
epigastrika inferior. HIL terletak di atas vassa epigastrika inferior sedang HIM
terletak di bawahnya.
2.6 Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan biasanya berupa benjolan di lipat paha yang hilang timbul, muncul
terutama pada waktu melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan tekanan intra-
abdomen seperti mengangkat barang atau batuk, benjolan ini hilang pada waktu
berbaring atau dimasukkan dengan tangan (manual). Terdapat faktor-faktor yang
berperan untuk terjadinya hernia. Dapat terjadi gangguan passage usus (obstruksi)
terutama pada hernia inkarserata. Nyeri pada keadaan strangulasi, sering penderita
datang ke dokter atau ke rumah sakit dengan keadaan ini.
b. Pemeriksaan Fisik
Ditemukan benjolan lunak di lipat paha di bawah ligamentum inguinale di
medial vena femoralis dan lateral tuberkulum pubikum. Benjolan tersebut
berbatas atas tidak jelas, bising usus (+), transluminasi (-).
Teknik pemeriksaan:
Hernia yang melalui annulus inguinalis abdominalis (lateralis/internus) dan
mengikuti jalannya spermatid cord di canalis inguinalis serta dapat melalui
annulus inguinalis subcutan (externus) sampai scrotum. Mempunyai LMR (Locus
Minoris Resistentie) Secara klinis HIL dan HIM dapat dibedakan dengan tiga
teknik pemeriksaan sederhana yaitu finger test, Ziemen test dan Tumb test. Cara
pemeriksaannya sebagai berikut :
1.Konservatif
-Reposisi
Reposisi tidak dilakukan pada hernia inguinalis strangulate, kecuali pada pasien
anak-anak. reposisi dilakukan secara bimanual. Tangan kiri memegang isi hernia
membentuk corong sedangkan tangan kanan mendorongnya kearah cincin hernia
dengan tekanan lambat tapi menetap sampai terjadi reposisi. Pada anak-anak
inkarserasi lebih sering terjadi pada umur dibawah dua tahun.
Reposisi spontan lebih sering dan sebaliknya gangguan vitalitas isi hernia jarang
terjadi jika dibandingkan dengan orang dewasa. Hal ini disebabkan oleh cincin
hernia yang lebih elastis dibandingkan dengan orang dewasa.
Reposisi dilakukan dengan menidurkan anak dengan pemberian sedative dan
kompres es diatas hernia. Bila usaha reposisi ini berhasil anak disiapkan untuk
operasi pada hari berikutnya. Jika reposisi hernia tidak berhasil dalam waktu enam
jam harus dilakukan operasi segera.
-Bantalan penyangga
Pemakaian bantalan penyangga hanya bertujuan menahan hernia yang telah
direposisi dan tidak pernah menyembuhkan sehingga harusdipakai seumur hidup.
Namun cara yang berumur lebih dari 4000 tahun ini masih saja dipakai sampai
sekarang. Sebaiknya cara ini tidak dinjurkan karena mempunyai komplikasi,
antara lain merusak kulit dan tonus otot dinding perut didaerah yang tertekan
sedangkan strangulasi tetap mengancam. Pada anak-anak cara ini dapat
menimbulkan atrofitestis karena tekanan pada funikulus spermatikus yang
mengandung pembuluh darah dari testis
Kontraindikasi relative:
- Infeksi Sistemik.
- Infeksi Sekitar Tempat Suntikan
- Kelainan Neurologis.
- Kelainan Psikis.
- Bedah Lama.
- Penyakit Jantung.
- Hipovolemia Ringan.
- Nyeri Punggung Kronis
C. Preoperatif RA-SAB
- Penilaian Preoperatif
Penilaian preoperative merupakan langkah awal dari serangkaian tindakan
anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani
tindakan operatif.
Tujuan:
1.Mengetahui status fisik pasien praoperatif
2.Mengetahui dan menganalisis jenis operasi
3.Memilih jenis atau teknik anesthesia yang sesuai
4.Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan atau pascabedah
5.Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang diramalkan
2. Pemeriksaan fisik.
Yakni memeriksa status pasien saat ini yang meliputi kesadaran, frekuensi
nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan untuk menilai status
gizi/BMI. Disamping itu juga dilakukan pemeriksaan fisik umum yang meliputi
pemeriksaan status psikis, saraf, respirasi, hemodinamik, penyakit darah,
gastrointestinal, hepato-bilier, urogenital dan saluran kencing, metabolik dan
endokrin, otot rangka, integument.
Pada anestesi juga diperlukan pemeriksaan skor Mallampati yang digunakan
untuk memprediksi kemudahan intubasi (Mallampati,et al. 1985) Hal ini
dilakukan dengan melihat anatomi cavum oral, terutama didasari terlihatnya dasar
uvula, arkus di depan dan belakang tonsil, dan palatum mole. Skoring dilakukan
saat pasien duduk dan pandangan ke depan. Skor Mallampati yang tinggi (III atau
IV) berhubungan dengan intubasi yang lebih sulit sebanding juga dengan insiden
yang lebih tinggi untuk terjadi apneu.
1. Informed consent.
Sebelum dilakukan anastesi wajib meminta izin kepada pasien dan tidak boleh
memkasanya.
-Persiapan Preoperatif
1. Masukan oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama
pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua
pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan
dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada
pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4
jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi.
Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum
obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam sebelum induksi anesthesia.
2. Terapi Cairan.
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami defisit
cairan karena durasi puasa . Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan
elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi
gastrointestinal, keringat, dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan
paru. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance
dengan waktu puasa.
E. Postoperatif RA-SAB
- Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room
Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care unit
(PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini, pasien akan
diobservasi dengan ketat, termasuk vital sign dan level nyerinya (WebMD, 2011).
Pemindahan pasien dari kamar operasi ke PACU memerlukan pertimbangan-
pertimbangan khusus. Pertimbangan ini di antaranya ialah letak insisi bedah,
perbuhan vaskular, dan pemajanan. Letak insisi bedah harus selalu
dipertimbangkan setiap kali pasien pasca operasi dipindahkan. Banyak luka
ditutup dengan tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya dilakukan untuk
mencegah regangan sutura yang lebih lanjut. Selain itu, pasien diposisikan
sehingga tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan selang drainase.
- Perawatan Post Anestesi di Recovery Room
Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi hilang dan
fungsi tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum efek anestesi benar-
benar hilang. Setelah anestesi, sejumlah kecil obat masih terdapat dalam tubuh
pasien, tetapi efeknya minimal. Waktu recovery dari anestesi bergantung pada
jenis anestesi, usia pasien, jenis operasi, durasi operasi, pre-existing disease, dan
sensitivitas individu terhadap obat-obatan. Perkiraan waktu recovery yang tepat
dapat ditentukan jika semua spesifikasi pembedahan, riwayat pasien dan jenis
anestesi diketahui.
1.2. Pre-operatif
1.2.1. Anamnesis
Keluhan Utama : Benjolan dilipat paha kanan
Telaah :
Pasien datang ke RS.Haji Medan dengan
keluhan adanya benjolan dilipat paha
kanan. Keluhan ini sudah dirasakan sejak
3 bulan yang lalu. Keluhan timbul terutama
ketika berdiri, mengangkat barang barang
berat dan hilang saat berbaring. Bila
benjolan keluar terasa nyeri dan tidak
nyaman. BAK (+) normal, BAB (+).
Genitalia : DBN
Pemeriksaan Ekstremitas
Kekuatan Otot : 5/5/5/5/5
Pemeriksaan Sensibilitas : Dextra et Sinistra tidak ada
kelainan.
b. Foto Thoraks
Hasil : Cor dan pulmo Dalam Batas Normal
2. Di Kamar Operasi
- Scope stetoskop, laringoskop
- Tubes ETT (cuffed) size 7,0 kink fix
- Airway orotracheal airway
- Tape plester untuk fiksasi
- Introducer untuk memandu agar pipa ETT mudah
dimasukkan
- Connector penyambung antara pipa dan alat anestesi
- Suction memastikan tidak ada kerusakan pada
alat suction
- Obat emergensi : Sulfas atropin, lidokain, adrenalin,
efedrin
-
1.3. Durante Operatif
1.3.1. Laporan Anesthesi Durante Operatif
Jenis anestesia : Regional anestesia-Sub Arachnoid
Blok
Teknik anestesia :
1. Memposisikan pasien dengan kondisi duduk, meluruskan
punggung dan kaki, tapi tetap dalam keadaan tidak
tegang, dan menundukkan kepala.
2. Lokasi injeksi diberi antiseptik, dengan povidon iodine
3. Identifikasi ruang interspinosus diantara L4-L5.
4. Kemudian di infiltrasi lokal dengan lidokain 2% di area
L4-L5
5. Dilanjutkan anestesi dengan insersi spino catheter ukuran
25 gauge, barbotage (+), dan cairan serebrospinal (+)
1.3.3. Monitoring
- Pernafasan : O2 nasal canule, 2 lpm
- Medikasi durante operasi :-
- Cairan masuk
Pre-Operatif : Kristaloid RL 500 cc
Durante Operatif : RL 1000 cc
- Cairan keluar
Pre-Operatif : (-)
Durante Operatif : (-)
- Catatan
EBV : 70 kg x 70 = 4900
EBL
10% : 490
20% : 980
30% : 1470
- Perdarahan
Kasa Basah : 10x10 = 100 cc
Kasa Basah : 5x5 = 25 cc
Suction =-
1.4.2. Monitoring
- Cek vital sign tiap 15 menit selama 2 jam
- Bila RR <10x/menit, berikan O2 10 liter/menit
- Bila nadi 50, berikan sulfas atropin 0,5 mg iv cepat
- Jika tekanan darah sistole <90 mmHg berikan RL 500 cc
dalam 30 menit efedrin 5 mg iv
- Makan dan minum: diberikan secara bertahap bila pasien
tidak mual dan muntah.
- Bila pasien kesakitan dapat diberikan injeksi ketorolac 30 mg
i.v
4.1 Kesimpulan
2. Sjamsuhidajat, R., dan Jong, W., 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
3. Kumar, V., 2007. Robins Basic Pathology. Edisi 8. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta.
4. Way, L., Doherty, G., 1994. Current Diagnosis & Treatment. Edisi 11
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
5. Soeparman, 1998. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta.
6. Schrock, T., 1995. Ilmu Bedah. Edisi 7. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
7. Soeparman, 1998. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta.