Anda di halaman 1dari 6

Belum Punya Acuan Pembangunan

SEMRAWUTNYA penggunaan lahan


dan ruang di Kota Kendari antara lain
disebabkan belum adanya acuan
pembangunan kota itu berupa
Rencana Umum Tata Ruang Kota
(RUTRK) yang dulu disebut master
plan (rencana induk). RUTRK itu
sudah diurus Dinas Tata Kota sejak
hampir lima tahun silam, namun tak
kunjung selesai. Hingga menjelang
hari ulang tahun ke-5 Kota Kendari
tanggal 27 September 2001,
rancangan atau konsep RUTRK itu
belum diajukan ke DPRD untuk
dibahas.

Kompas/yamin indas RUTRK itu terkait dengan pengelolaan


kawasan Teluk Kendari. Sebab dalam RUTRK itu ditetapkan peruntukan lahan maupun ruang
yang tersedia di kota tersebut. Dengan demikian, warga kota termasuk pemerintahnya tidak
seenaknya meletakkan suatu kegiatan pembangunan, tanpa terkontrol oleh rencana
peruntukan sesuai RUTRK.

Kawasan yang harus diatur dan ditetapkan peruntukannya dalam RUTRK itu antara lain
adalah Tahura Murhum dan lereng pegunungan Nipanipa yang selama ini telah menjadi
kawasan permukiman, lalu DAS Wanggu, dan kawasan Teluk Kendari sendiri.

Menurut Kepala Dinas Tata Kota dan Bangunan, Zulkarnaen Sikuru, kawasan pegunungan
Nipanipa dan DAS Wanggu memang masuk dalam konsep RUTRK. Hanya rancangan
peruntukannya masih perlu dikaji lebih mendalam dan komprehensif sehingga hasilnya
bersifat baku dan mampu merespons perkembangan jauh ke depan dengan prinsip lestari
bagi keberadaan Teluk Kendari sebagai aset yang tak tergantikan.

Hal penting berkaitan dengan RUTRK Kendari adalah konsistensi dalam pelaksanaannya.
RUTRK tersebut akan ditetapkan DPRD melalui suatu Perda (peraturan daerah). Dengan
demikian, semua kebijakan menyangkut pembangunan di kota itu harus mengacu pada
Perda tersebut, bukan berdasarkan maunya pejabat. Warga kota pun dituntut untuk
mematuhi ketentuan tersebut. Dalam hubungan itu mereka berhak memperoleh informasi
yang jelas tentang RUTRK.

Kecuali RUTRK, pemerintah dan warga kota juga harus menaati garis sempadan bangunan
dan sungai yang telah ditetapkan dengan Perda Nomor 45 Tahun 1997. Semua ruas jalan
arteri, kolektor, dan jalan penghubung di kota itu telah ditentukan jarak bangunan dengan as
jalan. Demikian pula jarak bangunan dengan alur sungai.

Akan tetapi, ketentuan tersebut belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Bahkan wali
kota sendiri telah melanggar Perda tersebut dengan menerbitkan sebuah SK (surat
keputusan) yang isinya mengurangi garis sempadan misalnya dari 60 menjadi 40 meter. SK
tersebut seharusnya tidak boleh diberlakukan karena ia bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi yaitu Perda.

Untuk membangun Kota Kendari, memang diperlukan sikap disiplin pemerintah dan warga
kota dalam melaksanakan ketentuan perundang-undangan baik dari pusat, provinsi, maupun
DPRD setempat. Dan sikap kepatuhan itu sebaiknya dicontohkan pejabat dan aparat sendiri.

***
PEMERINTAH dan warga kota kini dituntut memperkuat komitmennya untuk mencegah Teluk
Kendari berubah menjadi daratan. Untuk itu, kesadaran memulihkan kembali kerusakan
lingkungan yang terjadi selama ini harus dibangkitkan mulai sekarang. Kerusakan hutan di
kawasan Tahura Murhum dan sekitarnya, termasuk wilayah Kelurahan Gunung Jati yang
makin padat penduduk, merupakan masalah yang perlu segera ditanggulangi melalui
program penghijauan.

Serentak dengan itu dilancarkan pula gerakan pemulihan sungai baik yang sudah kering
maupun yang masih berair dengan penanaman pohon di sepanjang kiri-kanan sungai
tersebut. Sebelum dibangun jalur hijau itu, sungai-sungai tersebut tentu saja harus
dibebaskan dari permukiman dengan menghidupkan garis sempadan sebagaimana diatur
dalam Perda Nomor 45 Tahun 1997 dan Keppres Nomor 32 Tahun 1980 tentang pengelolaan
kawasan lindung. Dalam Perda itu ditetapkan garis sempadan sungai 10 meter dari
bangunan. Sedangkan dalam Keppres tadi disebutkan 50 meter untuk kawasan muara
sungai.

Pekerjaan rehabilitasi tersebut membutuhkan keberanian pemerintah kota dengan suatu


tekad dan niat baik demi menyelamatkan kelestarian Teluk Kendari bagi kesejahetraan rakyat
sendiri di masa datang. Terutama pejabat wali kota diharapkan mencontoh kepemimpinan La
Ode Kaimoeddin ketika Gubernur Sultra itu mulai membenahi dan membangun Kota Kendari
di awal tahun 1990-an.

Untuk kepentingan pembangunan, pelebaran dan pelurusan ruas-ruas jalan, Kaimoeddin


tidak segan-segan menggusur penduduk tanpa pandang bulu. Kemarahan warga ternyata
hanya berlangsung sesaat, karena harga tanah di ruas-ruas jalan baru yang mulus teraspal
segera meningkat drastis. Bila semula harga tanah di situ hanya Rp 1.000 maka setelah
terbentuk jalan baru menjadi Rp 20.000, per meter persegi. Pada tahun 2001 ini harga tanah
di ibu kota Provinsi Sultra itu sudah ada yang mencapai Rp 500.000 per meter persegi.

Dalam rangka pemulihan kembali kerusakan hutan pegunungan Nipanipa dan jaringan
sungai, penggusuran dan pemindahan penduduk agaknya tidak dapat dihindarkan. Kebijakan
ini pasti meresahkan dan bahkan bisa membangkitkan perlawanan warga yang terkena.
Namun jika dilakukan dengan cara-cara persuasif dan berpegang pada ketentuan yang
berlaku, maka warga pun pasti mau berkompromi.

Kendari saat ini masih tergolong kota kecil. Penduduknya baru sekitar 180.000 orang.
Sedangkan warga yang menempati kawasan yang akan menjadi sasaran program perbaikan
lingkungan boleh jadi paling tinggi hanya 10 persen dari keseluruhan penduduk tersebut.

Namun demikian, dana yang dibutuhkan pasti besar. Padahal kekuatan riil kota tersebut
sangat minim. Alokasi anggaran pembangunan dalam APBD 2001 hanya Rp 19 milyar lebih,
sementara biaya rutin termasuk gaji pegawai Rp 80 milyar lebih.

Akan tetapi bila pemerintah kota kreatif, mampu menyusun dan menjual program rehabilitasi
lingkungan dalam rangka mencegah pendangkalan Teluk Kendari, bantuan luar negeri mudah
diperoleh. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) saja yang hanya mengusung bendera
yayasan, mudah mendapatkan kucuran dana luar negeri. Apalagi pemerintah kota yang
mengurus wilayah (teritorial) dan rakyat. Yang penting, ada modal kejujuran dan manajemen
pemerintahan yang benar.(yas)

Berita daerah lainnya :


Mantan Perunding GAM Ditembak Mati
Pengamanan Hayati Harus SelarasPelestarian Plasma Nutfah
KRI Teluk Cirebon Jemput Nelayan Aceh di India
Kebakaran Balaikota Semarang Diduga akibat Korsleting
Perjuangkan DAU, Rombongan Kalimantan Timur Bertemu Presiden
1.200 Pengungsi Timor Timur Pulang
Yogyakarta Diguncang Gempa
1,2 Juta Kubik Kayu Hasil Tebangan Liar di Kalbar
Pendangkalan Teluk Kendari Makin Serius
Belum Punya Acuan Pembangunan
Gubernur NTB Jamin Keamanan Wisatawan
Di Balik Poster Osama bin Laden
Anugerah Seni NAD bagi Seniman Aceh
PTDI Pecat Ketua Serikat Pekerja
Budidaya Rumput Laut di Biak
Proyek PIM-2 Tertunda karena Kesulitan Dana
Ulang Tahun Tanpa Wali Kota
Makin Tajam
Warga Kendari Harus Sabar
Jadi Kota Otonom, tetapi Lebih Payah
DAERAH SEKILAS

Pasar Sampangan Tak Akan Dipindah


SEMARANG- Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang menegaskan Pasar
Sampangan tidak akan dipindah. Kalaupun pasar seluas 1.500 m2 di Jalan
Kelud Raya itu terkena proyek normalisasi Banjirkanal Barat-Kaligarang,
hanya sebagian lahan yang terkepras untuk pembuatan jalan inspeksi.
Penegasan itu disampaikan Asisten Ekonomi dan Pembangunan Setda Kota
Semarang Ir E Tata Pradana, kemarin. Normalisasi sungai pada prinsipnya
membebaskan areal sempadan sungai dari bangunan maupun aktvitas yang
ditengarai dapat mengganggu aliran sungai. Garis sempadan itu sudah diatur
melalui Perda Pemerintah Provinsi No 11/2004 tentang Garis Sempadan
Sungai.
Tata mencontohkan, untuk sungai tak bertanggul di kawasan perkotaan,
dengan kedalaman 3-20 meter, garis sempadan adalah 15 meter dari tepi
sungai. Sedangkan garis sempadan sungai bertanggul di perkotaan adalah 3
meter di sebelah luar kaki tanggul.
''Di belakang Pasar Sampangan sepertinya ada penambahan bangunan yang
seharusnya tidak diperbolehkan, karena berimpitan langsung dengan tepi
Sungai Tuk Kanan. Rencananya, lahan di belakang pasar akan digunakan
untuk jalan inspeksi selebar sekitar 4 meter,'' jelas Tata.
Pada kesempatan terpisah, warga RT 6 RW 1 Sampangan (bukan RT 16
seperti berita sebelumnya-Red) keberatan jika terkena pelebaran sungai.
Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) Sampangan
Hadi Santoso mengatakan, jarak rumah penduduk dengan tepi sungai sekitar
200-300 meter. Warga minta kejelasan soal rencana pembuatan jalan
inspeksi yang kemungkinan juga akan mengenai rumah sekitar 20-an warga.
''Kalau merujuk Perda RDTRK wilayah, kami berada di luar garis sempadan
sungai,'' kata Hadi.
Belum Tahu
Berdasarkan pantauan Suara Merdeka di lapangan, para pedagang belum
tahu persis rencana pengeprasan Pasar Sampangan. Sejumlah pedagang
yang berjualan persis di tepi Kali Tuk Kanan yang diperkirakan akan
dibebaskan, mengaku belum memperoleh informasi terkait dengan rencana
itu. Umumnya, mereka mengharapkan, pengeprasan pasar tidak dilakukan,
sehingga mereka tetap bisa berjualan seperti biasa.
Patimah (55), pedagang sayur dan buah, mengaku belum tahu rencana
pengeprasan pasar yang diperkirakan akan menerjang lapak jualannya. Dia
belum punya gambaran jika rencana pengeprasan itu direalisasi. '' Nek
dikepras, terus dodolan ngendi?'' tanyanya.
Pendapat senada disampaikan Ny Supono, penjual kelontong yang memiliki
kios di tengah pasar. Menurutnya, pedagang sudah mengeluarkan modal
lumayan besar untuk membangun lapak ataupun kios. Karena itu, kalau
digusur untuk kepentingan normalisasi Banjirkanal Barat, dia mengharapkan
pemerintah memikirkan ganti rugi yang memadai.
''Namun, kalau bisa ya tidak usah dipindah-pindah. Wong, jualan di sini ya
sudah lama dan sudah mapan,'' ujar pedagang, yang telah berjualan sejak
1970-an itu.
Secara terpisah, Kepala Pasar Sampangan Soemardi S juga belum tahu
rencana pengeprasan pasar.
Informasi itu diketahuinya setelah membaca Suara Merdeka, Senin (20/9).
Dia mengharapkan Pemkot segera mengadakan sosialisasi, sehingga rencana
proyek itu tidak menimbulkan gejolak di kalangan pedagang. (H9,H5-37)

Suara Masyarakat

Soemardi S, Kepala Pasar Sampangan


Hingga saat ini saya belum tahu persis rencana pengeprasan itu. Saya baru
tahu tadi pagi, setelah baca Suara Merdeka. Kalau saya ya manut-manut saja,
kalau memang mau dikepras atau dipindah. Yang penting ada sosialisasi dulu,
biar tidak timbul gejolak.
Patimah, pedagang sayur dan buah
Saya jualan sejak 28 tahun lalu, ketika belakang pasar ini masih berupa
alang-alang. Saya harus membersihkan alang-alang sendiri, kemudian
mendirikan kios ini. Ya, ntek akeh, sekitar Rp 4 atau Rp 5 juta. Dodolan asile
ra sepira, masak disuruh pindah. Nek dikepras, terus dodolan ngendi?
Maryati, pedagang buah
Jane piye to, Mas? Apa betul-betul mau dipindah? Pedagang memperoleh
ganti rugi tidak?

Rencana Ruang Terbuka Hijau


Oleh : M Farchan
PEMBANGUNAN perkotaan yang dilakukan pada saat ini, pada dasarnya
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, di sana sini dapat
dilihat, dampak negatif terhadap pembangunan adalah masalah lingkungan
akibat keterbatasan ruang kota. Akibatnya, menimbulkan masalah-masalah
baru yang justru memperburuk kehidupan masyarakat.
Karena saat ini perencanaan kota dalam kebijakan spasial telah menjadi
wewenang pemerintah kota dan kabupaten, maka usaha meminimalisasi
dampak akibat pembangunan (lingkungan) perlu dilakukan sesegera mungkin
mengingat permasalahan itu semakin hari menjadi isu yang selalu muncul
dalam pelaksanaan pembangunan. Bahkan akhirnya menjadi suatu masalah
hukum, misalnya kasus Hotel Gumaya Semarang dan Lapindo Brantas di
Sidoarjo, Jatim.
Dalam pembangunan perkotaan yang pesat seiring pesatnya laju
pertumbuhan penduduk kota, perlu dilakukan upaya-upaya untuk
mempertahankan dan mengembangkan ruang-ruang terbuka hijau sebagai
unsur kota dan merupakan kebutuhan mutlak bagi penduduk kota.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan yang ideal adalah keseimbangan
koefisien penggunaan tata ruang yang memadai antara luas perkotaan dan
pertambahan penduduk.
Kota Semarang yang merupakan Kota Metropolitan berpenduduk sekitar 1,4
juta jiwa dengan luas wilayah 37.360,947 hektare diharapkan mampu
mempertahankan RTH sebagai upaya melestarikan lingkungan.
Berdasakan Perda Nomor 5 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kota Semarang Tahun 2000-2010, rencana penyediaan
ruang terbuka hijau kota (konservasi) masih cukup menjanjikan dengan
persentase sebesar 32 % (data ini belum terhitung terkait garis sempadan
yang telah ditetapkan). Namun demikian, harus menengok ke belakang,
persentase ini terdukung karena pada 1976 Kota Semarang mendapatkan
"hibah" perluasan daerah hinterland Kota Semarang yang sebagian kondisi
eksisting lahannya adalah konservasi.
Ini tentunya harus dipertahankan, khususnya kawasan Semarang bagian
bawah. RTRW juga mengatur beberapa garis sempadan untuk dikendalikan
dan dilaksanakan sebagai daerah konservasi. Antara lain garis sempadan
sungai 3-5 m bagi yang bertanggul dan 10-15 m bagi yang tidak bertanggul,
garis sempadan pantai 100 m dari garis bibir pantai, garis sempadan mata air
200 m, garis sempadan SUTET 15 m, serta garis sempadan rel kereta api 15
m yang semuanya nanti akan diperjelas dalam Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Fungsi dan Bentuk
Sesuai konsep rencana tata ruang hijau perkotaan, maka ada dua fungsi yaitu
utama (intrinsik) dan tambahan (ekstrinsik). Yang utama yakni fungsi
ekologis, sedangkan untuk tambahan adalah fungsi arsitektural, ekonomi, dan
sosial. Dalam wilayah perkotaan, fungsi itu harus dapat dikombinasikan sesuai
kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota.
RTH berfungsi ekologis adalah untuk menjamin keberlanjutan suatu kawasan
kota secara fisik, yang merupakan bentuk rencana berlokasi, berukuran, dan
berbentuk pasti dalam suatu kota. Adapun fungsi tambahan adalah dalam
rangka mendukung dan menambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota.
Dengan begitu dapat berlokasi sesuai kebutuhan dan kepentingannya,
misalnya keindahan (taman), rekreasi (lapangan olahraga), dan pendukung
lanskap kota.
Pemerintah Kota Semarang pernah menyusun RTH pada 1989. Namun sejauh
ini belum ditetapkan menjadi dokumen regulasi. Akibatnya saat ini banyak
ruang publik dan konservasi dengan alasan tertentu menjadi "hilang". Bahkan
yang menyedihkan, lahan-lahan dengan kemiringan di atas 40% yang
seharusnya diselamatkan dari bangunan fisik, ternyata menjadi "hutan
rumah" yang merusak daerah tangkapan air di Kota Semarang. Untuk itu
Bappeda Kota Semarang berusaha menyusun dokumen RTH sebagai usaha
untuk menyelamatkan Semarang dari degradasi lingkungan.
Satu hal yang patut menjadi perhatian berkaitan dengan penyusunan
dokumen tersebut adalah keterlibatan masyarakat (stakeholder) untuk
melengkapi rencana fungsi-fungsi RTH tersebut. Ini untuk menghindari
asumsi, RTH hanya impian Pemerintah Kota.
Institusi
Salah satu masalah dalam action plan ketika dokumen tersebut ditetapkan
adalah institusi/lembaga penanggung jawab utama dalam pengelolaan RTH.
Di Pemerintah Kota sampai saat ini belum ada institusi yang bertanggung
jawab secara penuh dalam mengelola dan mengendalikan RTH.
Keberadaan Dinas Pertamanan dan Pemakaman hanya berkisar pengelolaan
masalah taman-taman kota dan lapangan olahraga yang menjadi wewenang
Pemerintah Kota, di samping pemakaman. Namun kalau kita lihat lagi fungsi-
fungsi RTH tersebut, masih banyak objek Rencana Terbuka Hijau yang
selama ini belum terkendali secara baik. Akibatnya masih terjadi tumpang
tindih tanggung jawab pengelolaan dan pengendalian.
Sejauh ini masih bisa dilihat bagaimana pengendalian kebijakan berkaitan
dengan ketentuan garis sempadan yang sesuai dalam Perda RTRW. Apakah
itu tanggung jawab Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Kota Permukiman,
Dinas Pertanian, Dinas Kelautan, Bapedalda, BPN selaku instansi vertikal, atau
dimungkinkan masyarakat yang terlibat sepenuhnya untuk pengelolaannya.
Ini semua harus dijawab terlebih dahulu ketika dokumen RTH akan
ditetapkan dalam perda. (62)
- Penulis adalah Staf Bappeda Kota Semarang

Anda mungkin juga menyukai