Anda di halaman 1dari 21

HUKUM EKONOMI SYARIAH

SAYANGI ILMU NISCAYA ILMU AKAN MEMBAHAGIAKANMU

Skip to content

Home
About

LEGALITAS LEMBAGA KEUANGAN GADAI SYARIAH di INDONESIA

IMPLEMENTASI AKAD RAHN DI PEGADAIAN


SYARIAH KUDUS (Suatu Tinjauan Yuridis Normatif
Terhadap Praktek Akad Rahn di Pegadaian Syariah Kudus)
Posted on January 23, 2013 by supriyadi515

IMPLEMENTASI AKAD RAHN DI PEGADAIAN SYARIAH KUDUS

(Suatu Tinjauan Yuridis Normatif Terhadap Praktek Akad Rahn

di Pegadaian Syariah Kudus)

Oleh : Ahmad Supriyadi*

ABSTRACT

Normative basis of the Ar-Rahn is Fatwa of Islamic National Council No. 25/DSN-MUI/III/2002
about Rahn and Fatwa Rahn No. 26/DSN-MUI/III/2002 about rahn gold. This activity became
controversial among the public because it is considered as an act which is not based on civil law
of Indonesia. Than it made of a new legal system in law system of Indonesia. These conditions
are based on contract of rahn that have not existed in civil law system of Indonesia. So how to
implementation rahn contract in the Islamic Mortgages of Kudus? This research is a field with
data collection through observation, and questioner. To be able to resolve the problem
formulation used normative juridical approach. Rahn contract implementation in Islamic
mortgages of Kudus can be concluded, that the implementation rahn contract created by the
parties there are several stages including: pre-contract stage is the submission stage to meet the
conditions determined by Islamic Mortgages; stage rahn contract being the rahin, murtahin, the
items in the mortgage and transfer of goods, while the phase of post-contract expiration rahn
contract that is when the goods have been handed back to its owner, rahin has paid its debts, or
goods sold on the orders of a judge orders rahin. rahn contract that had occurred in Islamic
Mortgages in the set has been started from a contract, subject and object agreement, the parties to
the agreement even to the settlement agreement.

Kata Kunci: Implementasi, Akad Rahn, Pegadaian Syariah

ABSTRAK

Dasar normative kegiatan Ar-Rahn yaitu fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-
MUI/III/2002 tentang Rahn dan juga fatwa Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas.
Kegiatan ini menjadi kontroversial di kalangan masyarakat karena dianggap sebagai perbuatan
yang tidak berdasar hukum yang ada di Indonesia. sehingga melahirkan sistem hukum baru di
dalam sistem hukum Indonesia. Kondisi ini didasarkan pada lahirnya perjanjian-perjanjian ar-
rahn yang belum ada dalam sistem hukum perdata di Indonesia. Maka bagaimana implementasi
akad rahn di Pegadaian Syariah Kudus? Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan
pengambilan datanya melalui observasi dan quesioner. Untuk bisa menyelesaikan rumusan
masalah digunakan pendekatan yuridis normative. Implementasi akad rahn di Pegadaian Syariah
Kudus dapat di simpulkan, bahwa implementasi akad rahn yang di buat oleh para pihak ada
beberapa tahapan antara lain: tahap pra-akad yaitu tahap pengajuan dengan memenuhi syarat-
syarat yang di tentukan oleh Pegadaian Syariah; tahap akad rahn yaitu adanya rahin, murtahin,
barang yang di gadaikan dan penyerahan barang; sedangkan tahap post akad rahn berupa
berakhirnya akad rahn yaitu bila barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya, rahin
telah membayar hutangnya;atau barang dijual dengan perintah hakim atas perintah rahin. akad
rahn yang telah terjadi di Pegadaian Syariah telah di atur mulai dari nama akad, subyek dan
obyek akad, para pihak dalam akad bahkan sampai pada penyelesaian akad.

Kata Kunci: Implementasi, Akad Rahn, Pegadaian Syariah

1. A. Latar Belakang Masalah

Hal yang wajar bila masyarakat dalam mencukupi kebutuhannya melakukan pinjam meminjam
dengan seseorang atau lembaga. Tapi meminjam untuk menanggung kebutuhan hidup berupa
makan dan minum dengan pinjaman yang terlalu besar, tidaklah di anjurkan oleh Islam. Islam
menganjurkan muamalah dalam hal ekonomi harus secara adil dan mendukung kesejahteraan
umat Islam. misalnya pinjaman uang untuk modal usaha, dengan dasar bahwa uang yang di
miliki oleh para aghniya supaya mempunyai nilai manfaat yang lebih. Islam juga melarang
praktik ekonomi yang menimbulkan ketidakadilan para pihak misalnya memberikan pinjaman
uang tetapi ingin menjerat peminjam dengan bunga yang tinggi. Karena itu umat Islam sebagai
mayoritas penduduk di Indonesia merupakan obyek para pemilik modal untuk terjerat dalam
lilitan hutang.

Berdasarkan fenomena ini pemerintah merasa prihatin karena kelemahan orang menjadi lahan
yang enak bagi para pemilik modal. Karena itulah pemerintah mendirikan lembaga formal
tentang pegadaian. Lembaga formal tersebut dibagi menjadi dua yaitu lembaga bank dan
lembaga nonbank. Lembaga nonbank inilah pemerintah telah memfasilitasi masyarakat dengan
suatu perusahaan umum (perum) yang melakukan kegiatan pegadaian yaitu Perum Pegadaian
yang menawarkan pinjaman yang lebih mudah, proses yang jauh lebih singkat dan persyaratan
yang relatif sederhana dan mempermudah masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dana.

Perum Pegadaian memiliki dua unit usaha yaitu unit usaha gadai konvensional dan unit usaha
gadai syariah. Perusahaan umum pegadaian syariah adalah satu-satunya badan usaha di
Indonesia yang secara resmi mempunyai ijin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan
berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai seperti
dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150. Tugas pokoknya adalah
memberikan pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai (Heri Sudarsono, 2004:156).
Undang-undang ini di atur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000
tentang Perusahaan Umum Pegadaian.

Kegiatan gadai yang di praktikkan oleh Pegadaian Syariah di sebut Ar-Rahn yang merupakan
suatu gejala ekonomi yang baru lahir semenjak regulasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
Jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 jo. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. Regulasi ini di respon oleh Dewan Syariah Nasional dengan mengeluarkan
fatwa Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn dan juga fatwa Nomor 26/DSN-MUI/III/2002
tentang rahn Emas.

Perum Pegadaian melihat masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam, maka ia
meluncurkan sebuah produk gadai yang berbasiskan prinsip-prinsip syariah sehingga masyarakat
mendapat beberapa keuntungan yaitu cepat, praktis dan menentramkan, produk yang dimaksud
di atas adalah produk Ar-Rahn.

Kegiatan ar-Rahn yang baru ini membentuk sistem hukum baru di dalam sistem hukum di
Indonesia. Kondisi ini didasarkan pada lahirnya perjanjian-perjanjian yang belum ada dalam
sistem hukum di Indonesia. Sistem ar-rahn berasal dari sistem hukum Islam yang di tulis dalam
kitab-kitab fiqih baik klasik maupun kontemporer yang kemudian di implementasikan oleh
masyarakat Indonesia. Implementasinya memunculkan masalah baru di dalam hukum positip
yaitu adanya dualisme sistem yaitu pegadaian konvensional yang aturannya mengacu pada
hukum positip murni dan pegadaian syariah yang mengacu pada hukum Islam.

Pegadaian syariah secara yuridis belumlah mempunyai dasar hukum yang kuat bila dilihat dari
sisi hukum positip, karena belum adanya UU yang mengaturnya. Hal ini menimbulkan ketidak
pastian hukum tentang pegadaian syariah, lebih-lebih bila ada perbuatan hukum yang bermasalah
dan pasti akan ditanyakan bagaimana hukumnya?
Walaupun saat ini belum pernah di dengar adanya suatu masalah hukum yang menyangkut
pegadaian syariah, tapi di kemudian hari akan ada suatu wanprestasi di dalam implementasi
produk-produk pegadaian syariah. Karena itu semua akan membutuhkan hukum.

Di sisi lain masyarakat yang belum paham tentang syariah selalu bertanya apa dan bagaimana
pegadaian syariah serta bagaimana operasionalnya? Tapi mereka juga ada kecurigaan tentang
produk-produk yang di keluarkan oleh pegadaian syariah, apakah praktiknya benar-benar
syariah? Misalnya mempertanyakan juga apa bedanya pegadaian syariah dengan konvensional?

Hal diatas menunjukkan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pegadaian syariah. Akibat
yang di timbulkan adalah mereka kurang menyukai pegadaian syariah. Padahal umat Islam di
Indonesia adalah penduduk mayoritas yang berinteraksi ekonomi secara syariah. Karena Islam
mengatur segala aspek kehidupan yakni melalui syariah yang dituangkan dalam kaedah-kaedah
dasar dan aturan-aturan. Semua pemeluk Islam di wajibkan untuk mentaatinya dengan
mempraktikkan dalam praksis kehidupan. Sehingga sangat wajar bila interaksi antara sesama
umat Islam yang berdasarkan syariah perlu mendapat kajian yang serius karena umat perlu
panduan keilmuan supaya tidak salah berperilaku.

1. B. Rumusan Masalah

Uraian diatas menerangkan bahwa pegadaian syariah dalam produk ar-rahn mempunyai sistem
hukum baru yang berbeda dengan hukum positip sehingga menimbulkan problem di masyarakat
dan sistem hukum rahn juga mengadopsi dari sistem hukum Islam, sehingga dapat diambil
rumusan masalah yaitu:

Bagaimana implementasi akad rahn di Pegadaian Syariah Kudus?

1. C. Metode Penelitian

Penelitian yang berjudul implementasi akad rahn di pegadaian syariah kudus (suatu tinjauan
yuridis normatif terhadap akad ar-rahn di pegadaian syariah kudus) adalah Penelitian mengenai
implementasi akad ar-rahn di Pegadaian syariah kudus yang merupakan penelitian deskriptif
kualitatif.

Untuk menyelesaikan rumusan masalah, peneliti menggunakan pendekatan sistem dengan tujuan
mendapatkan sistem yang saling berhubungan antara satu produk dengan produk lain di
Pegadaian Syariah dan juga dengan pendekatan yuridis normatif untuk menemukan gambaran
yang komprehensip mengenai implementasi akad ar-rahn di Pegadaian syariah kudus.

Obyek penelitian ini adalah implementasi akad ar-rahn di Pegadaian syariah kudus dan
subyeknya adalah seluruh pegawai atau karyawan di Pegadaian Syariah Kudus.

Data yang diperoleh berupa data primer yang dikumpulkan dengan metode wawancara dan
observasi dan juga data sekunder yang berupa kontrak perjanjian. Wawancara dilakukan secara
tidak terstruktur yaitu dengan cara mengalir dan berkembang mengenai implementasi akad ar-
rahn dengan manajer di Pegadaian Syariah, kemudian dianalisis dengan menggunakan
pendekatan yuridis normatif.

Setelah data terkumpul selanjutnya dilakukan pengelompokan data dan memberi kode-kode
tertentu kemudian dilakukan pengolahan data secara kualitatif melalui tahapan seleksi,
klasifikasi dan kategorisasi berdasarkan kelompok masalah, kemudian dilakukan analisa dengan
pendekatan yuridis dan normatif. Dalam proses analisa data peneliti menggunakan beberapa
tahap: dimulai dengan analisa deskriptif yang memungkinkan peneliti menguraikan hasil
penelitian apa adanya, lalu dilanjutkan dengan analisa hermeneutic yaitu memberikan makna-
makna yang ditemukan dalam hubungannya dengan aktivitas. Selanjutnya analisa dan
kesimpulan yang logis, utuh, terpadu dan bisa dimengerti dengan menggunakan metode induktif.

Laporan hasil penelitan ini berupa data sekunder dan data primer yang dikumpulkan dan
dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif yaitu laporan yang
memberikan gambaran secara menyeluruh dan sistematis.

1. D. Hasil Penelitian
1. 1. Implementasi Produk Ar-Rahn di PERUM Pegadaian Syariah Kudus.

PERUM Pegadaian Syariah memiliki beberapa produk yang telah di operasikan sejak adanya
unit syariah hingga sekarang, produk ar-rahn merupakan salah satu produknya.

1. a. Pengertian Ar-Rahn

Sebutan kata ar-rahn telah ada dalam kitab-kitab fiqih (pemikiran hukum Islam) seperti dalam
bidayah al-mujtahid. Ar-Rahn artinya secara terminologi adalah jaminan hutang atau gadai
(Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdhor,1998:996), begitu juga dalam kamus Hans Wehr (1980:363)
bahwa ar-rahn is deposit as security. Atas dasar dua pengertian secara terminologi itu dapat di
simpulkan bahwa ar-rahn adalah pegadaian atau jaminan hutang. Ar-Rahn pengertian secara
bahasa artinya tetap, berlangsung, dan menahan (Wahbah Zuhaili, 2002:4202).

Adapun pengertian ar-rahn yang dimaksud adalah menahan harta yang dimiliki oleh peminjam
uang sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya Barang yang dijadikan
jaminan tersebut haruslah punya nilai jual atau yang memiliki nilai ekonomis, sehingga pihak
yang menahan barang memperoleh kepastian jaminan bahwa peminjam akan melunasi
pinjamannya dan bila tidak dapat melunasinya pihak penerima gadai dapat menjual barang
jaminan sebagai pembayaran atas piutang nasabah (Sayyid Sabiq,1987:169).

Karena itu gadai syariah perlu di cermati unsur-unsur yang ada dalam setiap kegiatannya.
Menurut penulis bahwa gadai itu ada karena adanya suatu hubungan antara satu orang atau lebih
dengan seorang atau lebih dalam lingkup menjadikan barang sebagai jaminan atas pembiayaan
yang diberikan oleh murtahin. Dikatakan satu orang bila yang bertemu hanya pihak rahin dan
murtahin saja. Tapi bila barang yang di gadaikan (marhun) itu milik saudaranya, maka pihak
yang bertemu tidak hanya dua orang tetapi tiga orang. Hubungan antara mereka tidak hanya
sekedar hubungan tetapi merupakan hubungan hukum, karena hubungan yang di lakukan oleh
para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Sedangkan hubungan hukum yang dimaksud
adalah melakukan kesepakatan bahwa pihak rahin sepakat menyerahkan barang untuk ditahan
oleh murtahin dan membayar biaya perawatan dan sewa tempat penyimpanan serta asuransi
sedangkan murtahin sepakat untuk memberikan pinjaman uang.

Atas keterangan tersebut menurut penulis bahwa gadai syariah adalah hubungan hukum antara
satu orang atau lebih dengan seorang atau lebih dengan kata sepakat untuk mengikatkan dirinya
bahwa di satu pihak (rahin) bersedia menyerahkan barang untuk ditahan oleh murtahin dan
membayar biaya perawatan dan sewa tempat penyimpanan serta asuransi sedangkan murtahin
sepakat untuk memberikan pinjaman uang tertentu sebesar nilai taksir.

Pengertian tersebut perlu juga memperhatikan pengertian-pengertian yang di uraikan oleh para
ahli hukum Islam antara lain :

Rahn menurut Ahmad Azhar Basyir (1983:50) perjanjian menahan suatu barang sebagai
tanggungan utang. Karena itu perbuatan yang dilakukan adalah menjadikan sesuatu benda
bernilai menurut pandangan syariah sebagai tanggungan utang.

Rahn menurut Sulaiman Rasjid (1976:295) adalah menjadikan suatu barang sebagai jaminan
dalam utang piutang untuk memberikan kepercayaan dan keyakinan bahwa hutang itu akan ia
bayar, dan bila ia tidak bisa membayar, barang tersebut bisa di jual oleh pemberi hutang.

Menurut pemahaman Fadly rahn berarti pemenjaraan. Misalnya perkataan mereka (orang
Arab), rahanasy syai-a artinya apabila sesuatu itu terus menerus dan menetap. Allah
berfirman: Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas perbuatannya. (QS Al-Muddatsir: 38).
Adapun menurut istilah syara, kata rahn ialah memperlakukan harta sebagai jaminan atas
hutang yang dipinjam, supaya dianggap sebagai pembayaran manakala yang berhutang tidak
sanggup melunasi hutangnya. (Fathul Bari V: 140 dan Manarus Sabil I: 351).

Atas dasar pengertian-pengertian di atas perlu di ambil satu pemahaman sebagai patokan dalam
pengertian gadai syariah yang mencakup unsur-unsur antara lain :

(a) Ada syarat subyek yaitu : orang yang menggadaikan (rahin) dan orang yang menerima
gadai (murtahin) keduanya ada syarat-syarat tertentu :

1. Telah dewasa menurut hukum


2. Berakal
3. Mampu atau cakap berbuat hukum

(b) Ada syarat obyek yaitu : barang yang dapat di gadaikan (marhun) dengan syarat-syarat
tertentu antara lain:

1. Benda yang mengandung nilai ekonomis


2. Dapat di perjual belikan dan tidak melanggar undang-undang.
3. 3. Barang milik rahin
4. Benda bergerak
(c) Adanya kata sepakat (sighot) yaitu : kata sepakat setelah negosiasi antara rahin dan
murtahin yang kemudian di implementasikan dalam perjanjian.

Ar-Rahn di Pegadaian Syariah Kudus merupakan skim pinjaman yang mudah dan praktis untuk
memenuhi kebutuhan dana bagi masyarakat dengan sistem gadai yang sesuai dengan syariah
dengan cara menyerahkan agunan berupa emas perhiasan, berlian, elektronik dan kendaraan
bermotor (Sumber: liflet Pegadaian Syariah).

Berdasarkan liflet produk ar-Rahn ini mempunyai beberapa keuntungan antara lain:

a) Meningkatkan daya guna barang bergerak karena barang yang di gadaikan berupa motor,
cukup di gadaikan BPKB-nya. Sehingga motor masih dapat di pakai oleh rahin dan dapat
menghasilkan keuntungan.

b) Prosedur pengajuan dan syarat-syarat untuk mendapatkan pinjaman uang sangat mudah
dan cepat

c) Barang di taksir secara valid dan cermat sehingga nilai taksiran bisa optimal

d) Jangka waktu pinjaman fleksibel tidak di batasi, bebas menentukan pilihan pembayaran

e) Barang gadai di jamin aman dan di asuransikan

f) Sumber dana dan akad sesuai dengan syariah

1. b. Tahap-Tahap Implementasi Akad Ar-Rahn

Adapun untuk mendapatkan pinjaman dengan skim ar-Rahn ini ada beberapa tahapan yang di
lalui :

a) Tahap Pengajuan

Pada tahap ini seorang nasabah apabila ingin mendapatkan pinjaman dari Pegadaian Syariah ia
harus datang dengan memenuhi beberapa persyaratan :

1. Menyerahkan copy KTP atau identitas resmi lainnya;


2. Menyerahkan barang sebagai jaminan yang berharga misalnya berupa emas, berlian,
elektronik, dan kendaraan bermotor;
3. Untuk kendaraan bermotor, cukup menyerahkan dokumen kepemilikan berupa BPKB
dan copy dari STNK sebagai pelengkap jaminan;
4. Mengisi formulir permintaan pinjaman;
5. Menandatangani akad

Setelah syarat-syarat ini terpenuhi, nasabah membawa barang jaminan disertai photo copy
identitas ke loket penaksiran barang jaminan. Barang akan ditaksir oleh penaksir, kemudian akan
memperoleh pinjaman uang maksimal 90% dari nilai taksiran.
Tahap berikutnya adalah tahap perjanjian yang dilakukan sebagai berikut:

b) Tahap Akad Rahn

Pada tahap Akad Rahn, pihak rahin harus datang sendiri dan melakukan negosiasi terlebih
dahulu atas perjanjian yang di buat oleh pihak Pegadaian Syariah. Bila pihak rahin tidak sepakat,
boleh membatalkan untuk tidak jadi meminjam uang di Pegadaian Syariah. Namun bila telah
sepakat atas perjanjian yang ada, maka nasabah langsung menandatangani akad tersebut. Adapun
akad yang di gunakan dalam perjanjian ar-Rahn ini adalah akad ijaroh atau Fee Based marhun
yang bisa di sebut ijarah yakni rahin dimintai imbalan sewa tempat, ujroh pemeliharaan marhun
dalam hal penyimpanan barang yang di gadaikan.

Apa yang diperjanjikan?

Hal-hal yang di perjanjikan dalam perjanjian ar-Rahn adalah :

(a) Judul perjanjian yaitu akad rahn.

(b) Hari dan tanggal serta tahun akad

(c) Kedudukan para pihak yaitu (1) kantor cabang pegadaian syariah yang diwakili oleh kuasa
pemutus marhun bih, dan oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama serta kepentingan CPS.
Di sebut sebagai pihak pertama. (2) rahin atau pemberi gadai adalah orang yang nama dan
alamatnya tercantum dalam surat bukti rahn ini.

(d) Hal-hal yang diperjanjikan dalam ar-Rahn antara lain : (1) rahn dengan ini mengakui telah
menerima pinjaman dari murtahin sebesar nilai pinjaman dan dengan jangka waktu pinjaman
sebagaimana tercantum dalam surat buku rahn. (2) Murtahin dengan ini mengakui telah
menerima barang milik rahn yang digadaikan kepada murtahin, dan karenanya murtahin
berkewajiban mengembalikannya pada saat rahin telah melunasi pinjaman dan kewajiban-
kewajibannya lainnya. (3) Atas transaksi rahn tersebut diatas, rahn dikenakan biaya administrasi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (4) Apabila jangka waktu akad telah jatuh tempo, dan
rahin tidak melunasi kewajiban-kewajibannya, serta tidak memperpanjang akad, maka rahin
dengan ini menyetujui dan atau memberikan kuasa penuh yang tidak dapat ditarik kembali untuk
melakukan penjualan atau lelang marhun yang berada dalam kekuasaan murtahin guna pelunasan
pembayaran kewajiban-kewajiban tersebut. Dalam hal hasil penjualan atau lelang marhun tidak
mencukupi untuk melunasi kewajiban-kewajiban rahin, maka rahin wajib membayar sisa
kewajibannya kepada murtahin sejumlah kekurangannya. (5) Bilamana terdapat kelebihan hasil
penjualan marhun, maka rahin berhak menerima kelebihan tersebut, dan jika dalam jangka satu
tahun sejak dilaksanakan penjualan marhun, rahin tidak mengambil kelebihan tersebut, maka
dengan ini rahin menyetujui untuk menyalurkan kelebihan tersebut sebagai shodaqah yang
pelaksanaannya diserahkan kepada murtahin. (6) Apabila marhun tersebut tidak laku dijual,
maka rahin menyetujui pembelian marhun tersebut oleh murtahin minimal sebesar harga taksiran
marhun. (7) segala sengketa yang timbul yang ada hubungannya dengan akad ini yang tidak
dapat diselesaikan secara damai, maka akan diselesaikan melaui Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS) adalah bersifat final dan mengikat.
(e) Membubuhkan tandatangan menunjukkan persetujuan akad rahn.

Selain akad rahn, ada pula akad ijaroh yang tujuannya adalah untuk memperjanjikan biaya-
biaya yang berkaitan dengan rahn. Adapun perjanjian ijarah setelah akad rahn isinya adalah
sebagai berikut :

(a) Berisi judul akad yaitu akad ijarah

(b) Hari dan tanggal serta tahun akad

(c) Keterangan tentang kedudukan para pihak : (1) Kantor Cabang Pegadaian Syariah
sebagaimana tersebut dalam surat bukti rahn ini yang dalam hal ini diwakili oleh kuasa pemutus
marhun bih dan oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama serta kepentingan CPS untuk
selanjutnya disebut sebagai Muajjir. (2) Mustajir adalah orang yang nama dan alamatnya
tercantum dalam surat bukti rahn ini.

(d) Pengakuan adanya akad rahn sebelumnya yang isinya : (1) bahwa mustajir sebelumnya
telah mengadakan perjanjian dengan muajjir sebagaimana tercantum dalam akad rahn yang juga
tercantum di dalam surat bukti rahn ini, dimana mustajir bertindak sebagai rahin dan muajjir
bertindak sebagai murtahin dan oleh karenanya akad rahn tersebut merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan akad ini. (2) bahwa atas marhun berdasarkan akad diatas mustajir setuju
dikenakan ijarah.

(e) Kesepakatan tentang akad ijarah, yang isinya adalah : (1) para pihak sepakat dengan tarif
ijarah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk jangka waktu per-sepuluh hari kalender
dengan ketentuan penggunaan majur selama satu hari tetap dikenakan ijarah sebesar ijarah per-
sepuluh hari. (2) Jumlah keseluruhan ijarah tersebut wajib di bayar sekaligus oleh mustajir
kepada muajjir diakhir jangka waktu akad rahn atau bersamaan dengan dilunasinya pinjaman.
(3) apabila dalam penyimpanan marhun terjadi hal-hal di luar kemampuan mustajir sehingga
menyebabkan marhun hilang/rusak tak dapat dipakai maka akan diberikan ganti rugi sesuai
ketentuan yang berlaku di PERUM Pegadaian. Atas pembayaran ganti rugi ini mustajir setuju
dikenakan potongan sebesar marhun bih + ijarah sampai dengan tanggal ganti rugi, sedangkan
perhitungan ijarah dihitung sampai dengan tanggal penebusan / ganti rugi.

Simulasi perhitungan ar-Rahn berdasarkan akad ujroh (fee based marhun) :

Biaya yang di perhitungkan dalam membayar upah meliputi sewa pemakaian tempat,
pemeliharaan marhun dan asuransi marhun. Maka perhitungan yang di lakukan adalah:

Ijarah = Taksiran barang x Tarif (Rp.) x Jangka waktu

10.000,- Hari

Misalnya : nasabah memiliki 1 keping Logam Mulia seberat 25 gram dengan kadar 99,99%
asumsi harta per gram emas 99,99%= Rp. 300.000,- maka cara menghitungnya adalah sebagai
berikut:
Taksiran =25 gr. x Rp. 300.000,- = Rp. 7.500.000,-
Uang Pinjaman =90% x Rp. 7.500.000,- = Rp. 6.750.000,-
Ijaroh /10 hari = 7.500.000,- x 80 x 10 = Rp. 60.000,-

Rp.10.000,- 10

Biaya Administrasi = Rp. 25.000,-

Jika nasabah menggunakan marhun bih selama 26 hari, ijaroh ditetapkan dengan menghitung per
10 hari x 3 maka besar ijaroh adalah Rp. 180.000,- (Rp. 60.000,- x 3) ijaroh di bayar pada saat
nasabah melunasi atau memperpanjang dengan akad baru.

c) Tahap Realisasi Perjanjian

Pada tahap realisasi akad yang telah di sepakati bersama dan telah di tandatangani oleh kedua
belah pihak dilanjutkan dengan realisasi penyerahan pinjaman kepada rahin.

d) Tahap Akhir Gadai

Pada tahap akhir gadai, yang di lakukan adalah sebelum berakhirnya gadai, pihak murtahin
(Pegadaian Syariah ) memberikan informasi kepada rahin bahwa pinjaman akan berakhir.
Setelah di sampaikan maka rahin akan membayar sejumlah uang yang di pinjam dan biaya-biaya
penyimpanan selama gadai. Dalam hal ini proses pelunasan bisa dilakukan kapan saja sebelum
jangka waktunya, baik dengan cara sekaligus ataupun di angsur. Namun apabila pihak rahin
tidak mampu membayar sebesar uang pinjamannya di tambah biaya sewa tersebut, maka barang
di lelang oleh Pegadaian Syariah untuk membayar, sedangkan bila ada sisanya uang akan di
kembalikan kepada rahin, tapi bila uangnya kurang untuk menutupi pinjaman dan biayanya maka
pihak rahin di minta untuk membayar kekurangannya. Tapi pada kenyataan bahwa rahin sering
tidak membayar kekurangan dari uang pinjamannya.

e) Realisasi Pelelangan Barang Gadai

Pelelangan barang gadai di sebabkan karena pihak rahin tidak mampu membayar seluruh
hutangnya beserta biaya-biaya yang harus di tanggungnya. Karena itu pihak murtahin
diperbolehkan untuk menjual atau melelang barang yang telah di gadaikan kepada murtahin.
Adapun meknisme penjualannya adalah sebagai berikut:

(a) Pihak rahin mewakilkan kepada murtahin untuk menjualkan barang yang digadaikan;

(b) Pihak murtahin akan menginformasikan secara umum melalui pengumuman bahwa akan
diadakan lelang pada tanggal tertentu.

(c) Pihak murtahin melaksanakan lelang yang sesuai dengan prosedur.

1. 2. Analisis Yuridis Dan Normatif Implementasi Akad Ar-Rahn di PERUM


Pegadaian Syariah Kudus
2.1. Analisis Hukum Positip Terhadap
Implementasi Akad Ar-Rahn di PERUM
Pegadaian Syariah
Analisis ini menjadi jawaban terhadap masyarakat yang kurang memahami adanya akad ar-rahn
di Pegadaian Syariah yang didasarkan pada hukum perdata Indonesia yaitu KUH Perdata dengan
meninggalkan beberap prinsip yang tidak sesuai dengan hukum Islam misalnya tentang riba,
ataupun hal-hal lain yang tidak sesuai dengan hukum Islam.

Pada asasnya bahwa hutang itu harus di bayar. Setiap orang yang mempunyai hutang, ia
mempunyai kewajiban untuk membayar sebesar hutang uang yang dipinjam. Tetapi bila sesorang
bisa meminjam uang dengan pembayarannya di tangguhkan maka ia harus memberikan jaminan
atas kemampuannya untuk membayar. Karena itu rahin pada prinsipnya memberikan jaminan
bahwa ia bisa membayar hutangnya.

Rahn dalam dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1150 disebut Gadai yaitu suatu
hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya
oleh seorang berutang atau orang lain atas namanya, dan memberikan kekuasaan kepada si
berpiutang untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang
berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang
telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya, setelah barang itu di gadaikan, biaya-biaya mana
harus didahulukan (J. Satrio,1996:97).

Dalam perjanjian tersebut telah di uraikan tentang para pihak atau disebut subyek perjanjian.
Subyek perjanjian diatas ada dua yaitu rahin dan murtahin yang telah di atur dalam Pasal 1150
KUH Perdata.

Pada saat akad yang di perjanjikan adalah barang yang di gadaikan bahwa barang yang
digadaikan yaitu berupa cicin. Barang tersebut adalah termasuk benda bergerak sebagaimana di
atur dalam Pasal 1150 jo 1152 KUH Perdata. Karena itu barang gadai bisa benda bergerak dan
bisa juga surat berharga.

Tentang penyerahan barang gadai diletakkan dengan membawa benda gadai di bawah kekuasaan
kreditur atau di bawah kekuasaan pihak ketiga sebagaimana pasal 1152. Penyerahan barang
gadai di Pegadaian Syariah telah memenuhi pasal tersebut yang faktanya si rahin menyerahkan
marhun bih kepada murtahin.

Perjanjian gadai menurut ilmu hukum, termasuk perjanjian riil dan sifatnya konsensuil.
Dikatakan riil karena benda yang dijadikan jaminan benar-benar diserahkan kepada murtahin
dan dikatakan konsensuil, bahwa perjanjian ini lahir karena ada kata sepakat dari para pihak.

Perumusan tentang gadai sebagaimana dalam Pasal 1150 KUH Perdata telah menjadikan suatu
ikatan hukum yang di akibatkan dari perjanjian gadai bahwa seseorang yang mendapatkan utang
dengan menjaminkan barang berupa barang bergerak dan akan di bayar di kemudian hari. Kata
gadai disini memiliki dua arti yaitu sebagai benda gadai dan juga hak gadai. Adapun para
pihak yang terlibat dalam perjanjian gadai adalah raahin (pemberi gadai) dan murtahin
(penerima jaminan). Sedangkan barang yang di gadaikan adalah barang bergerak.

2.1. Analisis Hukum Islam Terhadap Implementasi Akad Ar-Rahn di PERUM Pegadaian
Syariah Kudus

PERUM Pegadaian Syariah Kudus mengeluarkan produk ar-Rahn yang telah diimplementasikan
sebagaimana perjanjian yang didiskripsikan di atas yang berlandaskan prinsip-prinsip syariah.
Secara umum akad yang di gunakan dalam operasional jasa-jasa tersebut adalah akad rahn.

1. a. Ar-Rahn

Ar-Rahn atau rahn telah di perbolehkan oleh al-Quran dan as-Sunnah untuk bermuamalah
berdasarkan rahn. Dasarnya adalah :

b)ur OFZ. 4n?t 9xy Ns9ur (#rfs? $Y6?%x. `yds p|q7)B ( b*s z`Br&
N3t/ $Vt/ jxs=s %!$# z`J?t$# mtFuZtBr& ,Gu9ur !$# m/u 3 wur
qJG3s? noyyg9$# 4 `tBur $ygJG6t mR*s NO#u m6=s% 3 !$#ur #)
yJ/ tbq=yJs? O=t$

Dan jika kamu dalam perjalanan (safar) dan kamu tidak dapati penulis, maka hendaklah ada
jaminan (borg sebagai barang gadaian) yang kamu pegangi. Maka jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah orang yang dipercayai itu menunaikan
amanahnya (hutangnya) dan hendaklah ia takut kepada allah Tuhannya (Qs. Al-Baqarah, 283)

Sedangkan akad yang telah terjadi di Pegadaian Syariah telah di atur mulai dari nama akad,
subyek dan obyek akad, para pihak dalam akad bahkan sampai pada penyelesaian akad. Hal ini
bila merujuk pada norma-norma yang ada dalam fiqih muamalah menurut Khalid Samhudi,
bahwa akad rahn harus mempunyai empat rukun antara lain (internet september 11,2007) :

(a) Al Rahn atau Al Marhuun (barang yang digadaikan)

(b) Al Marhun bih (hutang)

(c) Shighat

(d) Dua pihak yang bertransaksi yaitu Raahin (orang yang menggadaikan) dan Murtahin
(pemberi hutang).

Sedangkan dalam referensi lain menyebutkan bahwa rukun rahn itu terdiri dari (Mahsin Hj.
Mansor,1992:68):

(a) Al-rahin adalah orang yang menggadaikan barang untuk mendapatkan pinjaman uang;
(b) Al-murtahin adalah orang penerima gadai karena ia memberikan pinjaman uang;

(c) Al-marhun adalah barang yang dijadikan jaminan hutang;

(d) Sighat adalah ijab dan qabul.

Para pihak yang bertransaksi bisa juga tidak hanya dua pihak tetapi bisa tiga pihak yaitu : pihak
raahin, pihak murtahin dan pihak ketiga yang menjamin atas hutang-hutang raahin. Hal ini bisa
terjadi pada saat barang yang di gadaikan itu milik orang lain, atau barang itu telah di jual kepada
pihak ke-tiga.

Pihak ke-tiga tersebut di sebut juga pemberi gadai atau raahin hanya saja tanggung jawabnya
hanya terbatas sebesar benda gadai yang ia berikan, sedangkan lebih dari itu tetap menjadi
tanggungan debitur raahin sendiri. Pihak ketiga pemberi gadai tidak mempunyai hutang tetapi
secara yuridis ia mempunyai tanggungjawab dengan benda gadaiannya.

Bila menganalisis perjanjian yang di buat oleh para pihak, keempat rukun yang di butuhkan oleh
perjanjian rahn telah terpenuhi. Bahkan yang di perjanjikan tidak hanya itu saja, ada hal-hal lain
yang di perjanjikan berkaitan dengan al-rahin antara lain :

a. Harus membayar uang pemeliharaan dan keamanan;

b.Membayar biaya administrasi;

c. Membayar asuransi;

1. Membayar denda bila telat dalam pelunasan hutang;

e. Menjual barang yang di gadaikan bila tidak mampu melunasi hutangnya.

Sedangkan penerima gadai juga ada perjanjian yang kedua belah sepakati antara lain:

(a) Wajib memelihara barang dan mengamankan dari segala kerusakan;

(b) Akan mengganti barang apabila karena kelalaian petugas gadai untuk mengamankan dan
memelihara barang gadai;

(c) Menyerahkan barang gadai bila rahin telah melunasi pinjamannya.

Berdasarkan penjelasan dalam fiqih muamalah, akad yang dibuat oleh para pihak di Pegadaian
Syariah telah memenuhi rukun yang tercantum dalam akad ar-Rahn tersebut.

Sedangkan syarat rahn dalam fiqih muamalah menurut Khalid Samhudi adalah sebagai berikut
(internet september 11,2007) :
(1) Syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi) yaitu Orang yang
menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh,
berakal dan rusyd (kemampuan mengatur).

(2) Syarat yang berhubungan dengan Marhun bih (barang gadai) ada dua:

(a) Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya baik barang atau
nilainya ketika tidak mampu melunasinya.

(b) Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang diizinkan
baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.

(c) Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya, karena Al rahn adalah
transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.

(3) Syarat berhubungan dengan Al Marhun bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau
yang akhirnya menjadi wajib.

Landasan dalam operasionalisasi ar-Rahn adalah Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor
25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan
menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan
ketentuan sebagai berikut :

a. Ketentuan Umum :

1. Murtahin (penerima barang) mempunya hak untuk menahan Marhun (barang) sampai
semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.

2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh
dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan
pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya.

3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat
dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi
kewajiban rahin.

1. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan
jumlah pinjaman.
2. Penjualan marhun

(a) Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi
utangnya.

(b) Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi.
(c) Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan
penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.

(d) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban
rahin.

b. Ketentuan Penutup

(a) Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

(a) Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari terdapat
kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya.

Perjanjian yang di bahas selain syarat dan rukun, ada juga tentang pembiayaan terhadap
pemeliharaan dan perawatan barang gadai. Menurut Khalid Samhudi Ada beberapa ketentuan
dalam gadai setelah terjadinya serah terima yang berhubungan dengan pembiayaan
(pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai dan pemanfaatan serta jaminan pertanggung jawaban
bila rusak atau hilang, diantaranya:

(a) Pemegang barang gadai

Pemegang barang gadai adalah murtahin selama perjanjian belum berakhir.

sebagaimana firman Allah:

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang).(QS. 2:283) dan sabda beliau:

Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila
hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum memberi nafkahnya.
(Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi).

(b) Pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai

Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik
orang yang menggadaikan (Raahin) dan Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang
gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air
susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah
(dalam pemeliharaan barang tersebut). Pemanfaatannya tentunya sesuai dengan besarnya nafkah
yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh SAW :

Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila
hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum memberi nafkahnya.
(Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi).

Penulis kitab Al Fiqh Al Muyassar menyatakan: Manfaat dan pertumbuhan barang gadai adalah
hak pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Tidak boleh orang lain mengambilnya tanpa
seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi hutang) untuk mengambil manfaat barang
gadainya tanpa imbalan dan hutang gadainya dihasilkan dari peminjaman maka tidak boleh,
karena itu adalah peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat. Adapun bila barang gadainya
berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, mak diperbolehkan murtahin
mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena
sabda Rasululloh:

Al Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan
menyusui diminum dengan sebab nafkah apabila digadaikan dan wajib bagi menungganginya
dan meminumnya nafkah. (HR Al Bukhori no. 2512). Ini madzhab Hanabilah. Adapun mayotitas
ulama fiqih dari hanafiyah, Malikiyah dan Syafiiyah mereka memandang tidak boleh murtahin
mengambil manfaat barang gadai dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai dengan dalil sabda
Rasululloh:

Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya. (HR Al daraquthni
dan Al Hakim)

Khalid Samhudi menambahkan suatu keterangan yang diambil dari Ibnul Qayyim. Beliau
memberikan komentar atas hadits pemanfaatan kendaraan gadai dengan pernyataan: Hadits ini
menunjukkan kaedah dan ushul syariat yang menunjukkan bahwa hewan gadai dihormati
karena hak Allah dan pemiliknya memiliki hak kepemilikan dan murtahin (yang memberikan
hutang) memiliki padanya hak jaminan. Bila barang gadai tersebut ditangannya lalu tidak dinaiki
dan tidak diperas susunya tentulah akan hilang kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga tuntutan
keadilan, analogi (Qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (murtahin) dan
hewan tersebut adalah Murtahin mengambil manfaat mengendarai dan memeras susunya dan
menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut). Bila murtahin menyempurnakan
pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah maka dalam hal ini ada kompromi dua
kemaslahatan dan dua hak.

(1). Perpindahan kepemilikan dan Pelunasan hutang dengan barang gadai


Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila telah selesai masa
perjanjiannya kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (Raahin) dan tidak mampu
melunasinya (Kholid Syamhudi). Pada zaman jahiliyah dahulu apabila telah jatuh tempo
pembayaran hutang dan orang yang menggadaikan belum melunasi hutangnya kepada pihak
yang berpiutang, maka pihak yang berpiutang menyita barang gadai tersebut secara langsung
tanpa izin orang yang menggadaikannya. Lalu Islam membatalkan cara yang dzalim ini dan
menjelaskan bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya ditangan pihak yang
berpiutang, tidak boleh memaksa orang yang menggadaikannya menjualnya kecuali dalam
keadaan tidak mampu melunasi hutangnya tesebut. Bila tidak mampu melunasi saat jatuh tempo
maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan hutang tersebut. Apa bila ternyata
ada sisanya maka ia milik pemilik barang gadai tersebut (orang yang menggadaikan barang
tersebut) dan bila harga barang tersebut belum dapat melunasi hutangnya, maka orang yang
menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa hutangnya.

Demikianlah barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya, namun bila telah jatuh
tempo, maka penggadai meminta kepada murtahin (pemilik piutang) untuk emnyelesaikan
permasalah hutangnya, karena itu adalah hutang yang sudah jatuh tempo maka harus dilunasi
seperti hutang tanpa gadai. Bila ia dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan
kepemilikian) barang gadainya maka murtahin melepas barang tersebut. Bila ia tidak mampu
melunasi seluruhnya atau sebagiannya maka wajib bagi orang yang menggadaikan (Raahin)
untuk menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya dengan izin dari murtahin dan
didahulukan murtahin daalam pembayarannya atas pemilik piutang lainnya. Apabila penggadai
tersebut enggan melunasi hutangnya dan menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh
menghukumnya dengan penjara agar ia menjual barang gadainya tersebut. Apabila tidak juga
menjualnya maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi hutang tersebut dari
nilai hasil jualnya. Inilah pendapat madzhab Syafiiyah dan Hambaliyah. Malikiyah memadang
pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya dan melunasi hutang
tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah memandang murtahin boleh menagih
pelunasan hutang kepada penggadai dan meminta pemerintah untuk memenjarakannya bila
nampak ia tidak mau melunasinya. Tidak boleh pemerintah (pengadilan) menjual barang
gadainya, namun memenjarakannya saja sampai ia menjualnya dalam rangka menolak
kedzoliman.

Pendapat yang lebih kuat, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya dengan
hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai tersebut, karena tujuannya adalah
membayar hutang dan itu terrealisasikan dengan hal itu. Ditambah juga adanya dampak negatip
sosial masyarakat dan lainnya pada pemenjaraan. Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi
seluruh hutangnya maka selesailah hutang tersebut dan bila tidak dapat menutupinya maka tetap
penggadai tersebut memiliki hutang sisa antara nila barang gadai dan hutangnya dan ia wajib
melunasinya. Demikianlah keindahan islam dalam permasalah gadai, tidak seperti yang banyak
berlaku direalitas yang ada. Dimana pemilik piutang menyita barang gadainya walaupun nilainya
lebih besar dari hutangnya bahkan mungkin berlipat-lipat. Ini jelas perbuatan kejahiliyah dan
kedzoliman yang harus dihilangkan.

Akad yang telah di lakukan oleh para pihak juga memuat kapan berakhirnya suatu perjanjian.
Menurut ketentuan syariat bahwa apabila hal-hal yang diperjanjikan itu telah terpenuhi yaitu
hutang telah di bayar oleh rahin, maka perjanjian itu telah berakhir. Namun bia rahin belum
mampu membayar hutangnya, ia di perbolehkan membayar biaya pemeliharaan dan
penyimpanan barang kemudian diadakan pembaharuan dalam perjanjian ar-Rahn. Jadi perjanjian
yang baru di buat juga teramasuk perjanjian yang benar-benar baru menurut berlakunya
perjanjian.

Tentang ketidakmampuan rahin dalam membayar hutang, dalam syariat Islam di perbolehkan
untuk menjual barang gadai yang ada di kekuasaan murtahin. Hal ini Sayyid Sabiq (1987:145)
berpendapat bahwa klausula murtahin berhak menjual barang gadai pada waktu jatuh tempo
perjanjian gadai, itu diperbolehkan. Karena barang yang digadaikan hak penguasa telah
berpindah ke murtahin dalam hal menjual.

Atas dasar keterangan tersebut berakhirnya perjanjian rahn karena hal-hal berikut ini (Abdul
Ghafur Anshori, 2006:98) :

(a) Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya;

(b) Rahin membayar hutangnya;

(c) Dijual dengan perintah hakim atas perintah rahin;

(d) Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin.

1. E. KESIMPULAN

Berdasarkan deskripsi tentang implementasi akad rahn di pegadaian syariah kudus (suatu
tinjauan yuridis normatif terhadap akad ar-rahn di pegadaian syariah kudus) yang telah penulis
teliti dapat di simpulkan bahwa implementasi akad rahn yang di buat oleh para pihak ada
beberapa tahapan antara lain: tahap pra-akad yaitu tahap pengajuan dengan memenuhi syarat-
syarat yang di tentukan oleh Pegadaian Syariah; tahap akad rahn yaitu adanya rahin, murtahin,
barang yang di gadaikan dan penyerahan barang; sedangkan tahap post akad rahn berupa
berakhirnya akad rahn yaitu bila barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya, rahin
telah membayar hutangnya;atau barang dijual dengan perintah hakim atas perintah rahin. akad
rahn yang telah terjadi di Pegadaian Syariah telah di atur mulai dari nama akad, subyek dan
obyek akad, para pihak dalam akad bahkan sampai pada penyelesaian akad.

Setelah di lakukan penelitian terhadap praktik kegiatan pegadaian syariah di Pegadaian Syariah
Kudus, ada beberapa saran yang perlu penulis sampaikan kepada publik bahwa :

1. Keberadaan Pegadaian Syariah Kudus merupakan lembaga yang baru dan membutuhkan
kreatifitas umat Islam dalam mengembangkan produk-produk tentang kegiatan syariah
yang dilakukan, karena itu hendaklah semua komponen umat Islam terutama akademisi
untuk mendukung dengan menghadirkan konsep-konsep baru tentang produk rahn atau
gadi syariah .
2. Hendaknya Pegadaian Syariah mempunyai payung hukum yang jelas dari undang-
undang, sehingga mempunyai kepastian hukum dalam melakukan kegiatan-kegiatan
syariah yang berkaitan dengan ekonomi syariah.

DAFTAR PUSTAKA

Abduk Kadir Muhammad, 1998, Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.

Abdul Ghofur Anshori, 2006, Ar-Rahn di Indonesia Konsep, Implementasi dan institusionalisasi,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Abdul mannan,1995, Islamic economic, Theory and Practice, terjemahan oleh M. Nastangin,
Teori dan Praktik Ekonomi Islam,Penerbit PT. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta.

Al-Amaanah al Aamah Lihaiat Kibar Al Ulama, 1422H, Abhaats Haiat Kibaar Al Ulama Bil
Mamlakah Al Arabiyah Al Suudiyah, Cetakan I.

Abu Abdillah al-Maghribi, Mawhib al-Jall, V/2, Dar al-Fikr, Beirut, cet.II. 1398.

Abu Bakr Jabr Al Jazairi, 2005, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Penerbit Buku Islam
Kaffah, Edisi Revisi.

Adiwarman A. Karim,2006, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, PT. Raja Grafindo,
Jakarta.

Ahmad Azhar Basyir, 1983, Hukum Islam tentang Riba, Utang-Piutang Gadai, al-Maarif,
Bandung.

Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) dalam Islam. Majalah Al Waie 57

Al Majmu Syarhul Muhadzab, imam Nawawi dengan penyempurnaan Muhamma Najieb Al


MuthiI, cetakan tahun 1419H, Dar Ihyaa Al TUrats Al Arabi, Beirut.

Ali Anwar Yusuf,2002, Wawasan Islam, Setia Pustaka,Bandung.

An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya: Risalah


Gusti.

Ari Agung Nugraha, 2004, Gambaran Umum Kegiatan Usaha Pegadaian Syariah,
http://ulgs.tripod.com.

Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdhor,1998, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Penerbit Multi
Karya Grafika, Yogyakarta.
Choiruman Pasaribu Dan Sukarwardi K Lubis, 2004, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar
Grafika, Jakarta.

Dewan Syariah Nasional, Fatwa Tentang Hawaluh, No. 12 / DSN MUI / IV / 2000, Majelis
Ulama Indonesia

Heri Sudarsono,2008, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Penerbit Ekonosia,Yogyakarta.

HR. Ibnu Majah No.2421, kitab al-Ahkam;Ibnu Hibban dan Baihaqi.

http://alislamu.com/index

Ibn Muflih al-Hanbali, al-Mubdi, IV/213, al-Maktab al-Islami, Beirut. 1400 ;

Ibnu Rusy, Bidayah al-Mujtahid wa nihayah al-Muqtashid, Daarul Fikr.

J.Satrio, 1992, Hukum Perjanjian, PT.Citra Aditya Bhakti, Jakarta.

Muhammad Syafii Antonia, 2001, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani Jakarta.

Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah (Mudharabah dalam Wacana Fiqih
dan Praktik Ekonomi Modern), Penerbit BPFE UGM, Yogyakarta.

Nindyo Pramono, 2001, Hutang Menurut Pandangan Majelis Hakim Niaga, Makalah UGM,
tidak dipublikasikan.

Sulaiman Rasjid, 1994, Fiqih Islam, Sinar Baru Al Gesindo, Bandung,

Zainuddin Ali, 2008, Hukum Ar-Rahn, Sinar Grafika, Jakarta.

Zainul Arifin, 2003,Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Penerbit Alvabet, Jakarta.

* Dosen STAIN Kudus dan Mahasiswa Program Doktor Pascasarjana IAIN Walisongo
Semarang

Advertisements

Share this:

Twitter
Facebook

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.


LEGALITAS LEMBAGA KEUANGAN GADAI SYARIAH di INDONESIA

Leave a Reply


Archives
o January 2013
Meta
o Register
o Log in

HUKUM EKONOMI SYARIAH


Create a free website or blog at WordPress.com.

Follow

Anda mungkin juga menyukai