Anda di halaman 1dari 14

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Penyaring

Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu resiko DM sebagai

berikut:1

1. Usia > 45 tahun

2. Berat badan lebih: BBR > 110% BB idaman atau IMT > 23 kg/m2.

3. Hipertensi (> 140/90 mmHg)

4. Riwayat DM dalam keluarga

5. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi > 4000 gram

6. Kolesterol HDL 35 mg/dl dan atau TG 250 mg/dl

Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, TGT dan GDPT, sehingga

dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan

tahap sementara menuju DM. setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang

menjadi DM. 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan

dengan resistensi insulin. pada kelompok TGT ini resiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi

dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular,

hipertensi dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi

DM dapat ditegakkan sedini mungkindan penegahan primer dan skunder dapat segera

diterapkan.1

Pemeriksaan penyaring dapat dialakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah

sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa

oral (TTGO) standar.1


Tabel 03:Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM.

Bukan DM Belum pasti DM

DM

Kadar glukosa Plasma Vena < 110 110-199 200

darah sewaktu

(mg/dl) Plasma Kapiler <90 90-199 200

Kadar glukosa Plasma Vena < 110 110-125 126

darah puasa

(mg/dl) Plasma Kapiler < 90 90-109 110

Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus dan Gangguan Toleransi Glukosa1,2

1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl

2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl

3. Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah diberi beban glukosa 75

gram pada TTGO.

PENATALAKSANAAN

Karena banyaknya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada DM tipe-2, dan sebagian besar

mengenai organ vital yang dapat fatal, maka tatalaksana DM tipe-2 memerlukan terapi agresif

untuk mencapai kendali glikemik dan kendali faktor risiko kardiovaskular. Dalam Konsensus

Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011, penatalaksanaan dan pengelolaan


DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan

jasmani dan intervensi farmakologis.

A. Edukasi

Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang memerlukan

partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi dilakukan secara komphrehensif

dan berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki perilaku sehat.1,8 Tujuan dari

edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang diabetes untuk mengerti

perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/ komplikasi

yang mungkin timbul secara dini/ saat masih reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan

pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang

diperlukan.

Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki,

ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan

mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak.

B. Terapi Gizi Medis

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang seimbang, sesuai

dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan memperhatikan keteraturan jadwal

makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat

45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat

sekitar 25g/hari.1 C. Latihan Jasmani Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-

masing selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik seperti

berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin.1 D.

Intervensi Farmakologis Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan

pengetahuan pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat

oral dan bentuk suntikan.

Obat yang saat ini ada antara lain:

I. OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL (OHO)

Pemicu sekresi insulin:

a. Sulfonilurea

Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas

Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang

Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan faal hati dan ginjal

serta malnutrisi

`b. Glinid

Terdiri dari repaglinid dan nateglinid

Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada sekresi insulin fase

pertama.

Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial

Peningkat sensitivitas insulin:

a. Biguanid
Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah Metformin.

Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada

tingkat seluler, distal reseptor insulin, dan menurunkan produksi glukosa hati.

Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes gemuk, disertai dislipidemia,

dan disertai resistensi insulin.

b. Tiazolidindion

Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa

sehingga meningkatkan ambilan glukosa perifer.

Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung karena meningkatkan retensi cairan.

Penghambat glukoneogenesis: Biguanid (Metformin).

Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga mengurangi produksi glukosa hati.

Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal dengan kreatinin serum > 1,5 mg/

dL, gangguan fungsi hati, serta pasien dengan kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis

Metformin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti golongan sulfonylurea.

Metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual) namun bisa diatasi dengan

pemberian sesudah makan.

Penghambat glukosidase alfa : Acarbose


Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus.

Acarbose juga tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti golongan sulfonilurea.

Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu kembung dan flatulens.

Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu

hormone peptide yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi bila ada

makanan yang masuk. GLP-1 merupakan perangsang kuat bagi insulin dan penghambat

glukagon. Namun GLP-1 secara cepat diubah menjadi metabolit yang tidak aktif oleh enzim

DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat meningkatkan penglepasan insulin dan menghambat

penglepasan glukagon.

II. OBAT SUNTIKAN

Insulin

a. Insulin kerja cepat

b. Insulin kerja pendek

c. Insulin kerja menengah

d. Insulin kerja panjang

e. Insulin campuran tetap

Agonis GLP-1/incretin mimetik


Bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin tanpa menimbulkan hipoglikemia, dan

menghambat penglepasan glukagon

Tidak meningkatkan berat badan seperti insulin dan sulfonilurea

Efek samping antara lain gangguan saluran cerna seperti mual muntah

Dengan memahami 4 pilar tata laksana DM tipe 2 ini, maka dapat dipahami bahwa yang menjadi

dasar utama adalah gaya hidup sehat (GHS). Semua pengobatan DM tipe 2 diawali dengan GHS

yang terdiri dari edukasi yang terus menerus, mengikuti petunjuk pengaturan makan secara

konsisten, dan melakukan latihan jasmani secara teratur. Sebagian penderita DM tipe 2 dapat

terkendali kadar glukosa darahnya dengan menjalankan GHS ini. Bila dengan GHS glukosa

darah belum terkendali, maka diberikan monoterapi OHO.

Pemberian OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan

respons kadar glukosa darah. Pemberian OHO berbeda-beda tergantung jenisnya. Sulfonilurea

diberikan 15-30 menit sebelum makan. Glinid diberikan sesaat sebelum makan. Metformin bisa

diberikan sebelum/sesaat/sesudah makan. Acarbose diberikan bersama makan suapan pertama.

Tiazolidindion tidak bergantung pada jadwal makan, DPP-4 inhibitor dapat diberikan saat makan

atau sebelum makan. Bila dengan GHS dan monoterapi OHO glukosa darah belum terkendali

maka diberikan kombinasi 2 OHO. Untuk terapi kombinasi harus dipilih 2 OHO yang cara kerja

berbeda, misalnya golongan sulfonilurea dan metformin. Bila dengan GHS dan kombinasi terapi

2 OHO glukosa darah belum terkendali maka ada 2 pilihan yaitu yang pertama GHS dan

kombinasi terapi 3 OHO atau GHS dan kombinasi terapi 2 OHO bersama insulin basal. Yang

dimaksud dengan insulin basal adalah insulin kerja menengah atau kerja panjang, yang diberikan

malam hari menjelang tidur. Bila dengan cara diatas glukosa darah terap tidak terkendali maka
pemberian OHO dihentikan, dan terapi beralih kepada insulin intensif. Pada terapi insulin ini

diberikan kombinasi insulin basal untuk mengendalikan glukosa darah puasa, dan insulin kerja

cepat atau kerja pendek untuk mengendalikan glukosa darah prandial. Kombinasi insulin basal

dan prandial ini berbentuk basal bolus yang terdiri dari 1 x basal dan 3 x prandial. Algoritma tata

laksana selengkapnya dapat dilihat pada gambar 2. Tes hemoglobin terglikosilasi (disingkat

A1c), merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu

sebelumnya. Pemeriksaan ini di - anjurkan setiap 3 bulan, atau minimal 2 kali setahun. Gambar 3

menunjukkan panduan tatalaksana berdasarkan hasil A1c.

Kriteria pengendalian DM Untuk mencegah komplikasi kronik, diper - lukan pengendalian DM

yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes dinya - takan terkendali baik bila kadar

glukosa da - rah, A1c dan lipid mencapai target sasaran. Kriteria lengkap dari keberhasilan

pengen - dalian DM ini dapat dilihat pada gambar 4. Metformin dan DM tipe 2 Sebagai salah

satu obat hipoglikemik oral, metformin mempunyai beberapa efek terapi antara lain menurunkan

kadar glukosa darah melalui penghambatan produksi glukosa hati dan menurunkan resistensi in -

sulin khususnya di hati dan otot. Metformin tidak meningkatkan kadar insulin plasma.

Metformin menurunkan absorbsi glukosa di usus dan meningkatkan sensitivitas in - sulin melalui

efek penngkatan ambilan glukosa di perifer. Studi-studi invivo dan invitro membuktikan efek

metformin ter - hadap fluidity membran palsma, plasticity dari reseptor dan transporter, supresi

dari mitochondrial respiratory chain, peningka - tan insulin-stimulated receptor phosphoryla -

tion dan aktivitas tirosine kinase, stimulasi translokasi GLUT4 transporters, dan efek enzimatik

metabolic pathways . 10 Tatalaksana DM tipe-2 bukan hanya bertujuan untuk kendali glikemik,

tetapi juga kendali faktor risiko kardiovaskuler, karena ancaman mortalitas dan morbiditas justru

datang dari berbagai komplikasi kronik tersebut. Dalam mencapai tujuan ini, Metformin salah
satu jenis OHO ternyata bukan hanya berfungsi untuk kendali glikemik, tetapi juga dapat

memperbaiki disfungsi endotel, hemostasis, stress oksidatif, re - sistensi insulin, profil lipid dan

redistribusi lemak. Metformin terbukti dapat menu - runkan berat badan, memperbaiki

sensitivitas insulin, dan mengurangi lemak visceral. Pada penderita perlemakan hati (fatty liver),

didapatkan perbaikan dengan penggunaan Metformin. Metformin juga terbukti mempunyai efek

protektif terhadap komplikasi makrovaskular. Selain berperan dalam proteksi risiko

kardiovaskuler, studi-studi terbaru juga mendapatkan peranan neuroprotektif Metformin dalam

memperbaiki fungsi saraf, khususnya spatial memory function15 dan peranan proteksi

Metformin dalam karsinogenesis. Diabetes tipe-2 mempunyai risiko lebih tinggi untuk terkena

berbagai macam kanker terutama kanker hati, pankreas, endometrium, kolorektal, payudara, dan

kantong kemih. Banyak studi menunjukkan penurunan insidens keganasan pada pasien yang

menggunakan Metformin. Pedoman tatalaksana diabetes mellitus tipe-2 yang terbaru dari the

American Diabetes Association/European Association for the Study of Diabetes (ADA/EASD)

dan the American Association of Clinical Endocrinologists/American College of Endocrinology

(AACE/ACE) merekomendasikan pemberian metformin sebagai monoterapi lini pertama.

Rekomendasi ini terutama berdasarkan efek metformin dalam menurunkan kadar glukosa darah,

harga relatif murah, efek samping lebih minimal dan tidak meningkatkan berat badan. Posisi

Metformin sebagai terapi lini pertama juga diperkuat oleh the United Kingdom Prospective

Diabetes Study (UKPDS) yang pada studinya mendapatkan pada kelompok yang diberi

Metformin terjadi penurunan risiko mortalitas dan morbiditas.

Komplikasi diabetes melitus

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut dan kronis.

Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu :


a. Komplikasi akut

- Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah seseorang di bawahnilai normal (< 50 mg/dl).

Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per

minggu, Kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat

pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan.

- Hiperglikemia, hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-tiba, dapat

berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik,

Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis.

b. Komplikasi Kronis

Komplikasi makrovaskuler

o Penyakit jantung koroner (PJK) Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang

menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh

darah. Akibatnya suplai darah ke otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat,

sehingga kematian mendadak bisa terjadi.

o Penyakit pembuluh darah perifer

Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang dinamakan

Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan prosesnya lebih cepat

pada penderita diabetes daripada orang yang tidak mendertita diabetes. Denyut

pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa sama sekali. Bila diabetes

berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan wanita dapat mengalami kelainan

ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping diikuti gangguan saraf atau neuropati dan
infeksi atau luka yang sukar sembuh, pasien biasanya sudah mengalami penyempitan

pada pembuluh darah jantung.

o Stroke

Prevalensi stroke dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0% s/d 11.3% pada

populasi klinik dan 2.8% s/d 12.5% dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen

dari prevalensi stroke berkisar 0.5% and 4.3% dengan Diabetes tipe 1 dan berkisar 4.1%

and 6.7% dengan Diabetes tipe 2.

o Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhanyang dramatis seperti

kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun, harus diingat hipertensi dapat memicu

terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke. Risiko serangan

jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila penderita diabetes juga terkena

hipertensi.

o Penyakit pembuluh darah perifer

Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang dinamakan

Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan prosesnya lebih cepat

pada penderita diabetes daripada orang yang tidak mendertita diabetes. Denyut

pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa sama sekali. Bila diabetes

berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan wanita dapat mengalami kelainan

ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping diikuti gangguan saraf atau neuropati dan

infeksi atau luka yang sukar sembuh, pasien biasanya sudah mengalami penyempitan

pada pembuluh darah jantung.

o Gangguan pada hati


Banyak orang beranggapan bahwa bila penderita diabetes tidak makan gula bisa bisa

mengalami kerusakan hati (liver). Anggapan ini keliru. Hati bisa terganggu akibat

penyakit diabetes itu sendiri. Dibandingkan orang yang tidak menderita diabetes,

penderita diabetes lebih mudah terserang infeksi virus hepatitis B atau hepatitis C. Oleh

karena itu, penderita diabetes harus menjauhi orang yang sakit hepatitis karena mudah

tertular dan memerlukan vaksinasi untuk pencegahan hepatitis. Hepatitis kronis dan

sirosis hati (liver cirrhosis) juga mudah terjadi karena infeksi atau radang hati yang lama

atau berulang. Gangguan hati yang sering ditemukan pada penderita diabetes adalah

perlemakan hati atau fatty liver, biasanya (hampir 50%) pada penderita diabetes tipe 2

dan gemuk. Kelainan ini jangan dibiarkan karena bisa merupakan pertanda adanya

penimbunan lemak di jaringan tubuh lainnya.

o Penyakit paru

Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tuberkulosis paru dibandingkan orang

biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara sosioekonomi cukup. Diabetes

memperberat infeksi paru, demikian pula sakit paru akan menaikkan glukosa darah.

o Gangguan saluran cerna

Gangguan saluran cerna pada penderita diabetes disebabkan karena kontrol glukosa

darah yang tidak baik, serta gangguan saraf otonom yang mengenai saluran pencernaan.

Gangguan ini dimulai dari rongga mulut yang mudah terkena infeksi, gangguan rasa

pengecapan sehingga mengurangi nafsu makan, sampai pada akar gigi yang mudah

terserang infeksi, dan gigi menjadi mudah tanggal serta pertumbuhan menjadi tidak rata.

Rasa sebah, mual, bahkan muntah dan diare juga bisa terjadi. Ini adalah akibat dari
gangguan saraf otonom pada lambung dan usus. Keluhan gangguan saluran makan bisa

juga timbul akibat pemakaian obat- obatan yang diminum.

o Infeksi

Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan tubuh dalam menghadapi

masuknya virus atau kuman sehingga penderita diabetes mudah terkena infeksi. Tempat

yang mudah mengalami infeksi adalah mulut, gusi, paru-paru, kulit, kaki, kandung

kemih dan alat kelamin. Kadar glukosa darah yang tinggi juga merusak sistem saraf

sehingga mengurangi kepekaan penderita terhadap adanya infeksi.

Komplikasi mikrovaskuler

o Kerusakan saraf (Neuropati)

Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan sumsum

tulang belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit, dan organ lain, serta susunan

saraf otonom yang mengatur otot polos di jantung dan saluran cerna. Hal ini

biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan baik, dan

berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil diturunkan

menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila dalam jangka

yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal maka akan

melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke

saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik (diabetic

neuropathy). Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf tidak bisa mengirim

atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim atau terlambat
kirim. Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan saraf mana yang

terkena.

o Kerusakan ginjal (Nefropati)

Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan berjuta-juta pembuluh darah kecil

yang disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai saringan darah. Bahan yang

tidak berguna bagi tubuh akan dibuang ke urin atau kencing. Ginjal bekerja selama

24 jam sehari untuk membersihkan darah dari racun yang masuk ke dan yang

dibentuk oleh tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan ginjal, racun tidak dapat

dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal bocor ke luar.

Semakin lama seseorang terkena diabetes dan makin lama terkena tekanan darah

tinggi, maka penderita makin mudah mengalami kerusakan ginjal. Gangguan ginjal

pada penderita diabetes juga terkait dengan neuropathy atau kerusakan saraf.

o Kerusakan mata (Retinopati)

Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanya dan menjadipenyebab utama

kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh diabetes, yaitu:

1) retinopati, retina mendapatkan makanan dari banyak pembuluh darah kapiler

yang sangat kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak pembuluh darah retina;

2) katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan transparan menjadi keruh

sehingga menghambat masuknya sinar dan makin diperparah dengan adanya

glukosa darah yang tinggi; dan 3) glaukoma, terjadi peningkatan tekanan dalam

bola mata sehingga merusak saraf mata.

Anda mungkin juga menyukai