KESEHATAN
Dosen Pembimbing:
dr. Doby Indrawan, MMRS
Kelompok 1:
1. Yustika Permata Sari (16910027)
2. Cholis Nur Aini (16910033)
3. Maulidya Machdaniar (16910035)
4. Mukhamad Nur Kholis (16910039)
5. Putri Aulawiya Rosyida H. (16910044)
6. Safira Dita Arviana (16910048)
7. Firnanda Salza Asmara (16910050)
Dosen Pembimbing:
dr. Doby Indrawan, MMRS
Kelompok 1:
1. Yustika Permata Sari (16910027)
2. Cholis Nur Aini (16910033)
3. Maulidya Machdaniar (16910035)
4. Mukhamad Nur Kholis (16910039)
5. Putri Aulawiya Rosyida H. (16910044)
6. Safira Dita Arviana (16910048)
7. Firnanda Salza Asmara (16910050)
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB III PENUTUP
4.1 Kesimpulan .......................................................................................................... 23
4.2 Saran .................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 24
iv
DAFTAR BAGAN
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
berbagai macam metode pengobatan (Notoadmodjo, 2010). Perilaku yang menyangkut
upaya tindakan mencari penyembuhan biasa dilakukan individu bergantung pada
pengetahuan, persepsi, sikap, kondisi lingkungan, dan aspek sosial budaya (Heri, 2009).
Aspek sosial budaya disini memiliki ruang lingkup sangat luas mulai dari sikap
atau attitude hingga pengaruh lingkungan. Banyak faktor yang memengaruhi aspek sosial
budaya baik faktor internal maupun eksternal yang perlu dikaji lebih mendalam. Sehingga
dapat menemukan pengaruh dan implementasinya pada pelayanan kesehatan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
kesehatan seperti mereka lebih percaya terhadap hal-hal yang mistis daripada
berobat ke layanan kesehatan.
b. Sikap Fatalistis
Hal lain adalah sikap fatalistis yang juga memengaruhi perilaku kesehatan
Fatalistis sendiri adalah sebuah sikap dimana seorang individu lebih memilih untuk
pasrah pada nasib Contoh: Beberapa anggota masyarakat dikalangan kelompok
tertentu (fanatic atau ekstremis) yang percaya bahwa anak adalah titipan Tuhan,
dan sakit atau mati adalah takdir, sehingga masyarakat kurang berusaha untuk
segera mencari pertolongan pengobatan bagi anaknya yang sakit.
c. Sikap Etnosentris
Sebuah sikap yang dimiliki seorang individu yang memandang kebudayaan
sendiri yang paling baik jika dibandingkan dengan kebudayaan pihak lain.
Sehingga ia menolak untuk melakukan kebudayaan lain yang sebenarnya hal
tersebut itu juga tidak salah untuk dilakukan. Misalnya suatu suku menolak adanya
suatu pelayanan kesehatan yang dijalankan oleh pemerintah karena dianggap tidak
sesuai dengan kebudayaan mereka.
d. Pengaruh perasaan bangga pada statusnya
Contoh: Dalam upaya perbaikan gizi, disuatu daerah pedesaan tertentu,
menolak untuk makan daun singkong, walaupun mereka tahu kandungan
vitaminnya tinggi. Setelah diselidiki ternyata masyarakat beranggapan daun
singkong hanya pantas untuk makanan kambing, dan mereka menolaknya karena
status mereka tidak dapat disamakan dengan kambing.
e. Adanya Norma
Upaya untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi banyak mengalami
hambatan karena ada norma yang melarang hubungan antara dokter laki-laki yang
memberikan pelayanan terhadap ibu hamil sebagai pengguna pelayanan. Hal
tersebut masih sering terjadi khususnya didaerah yang menjunjung tinggi norma-
norma.
f. Pengaruh Nilai
Nilai yang berlaku didalam masyarakat berpengaruh terhadap perilaku
kesehatan. Contoh: masyarakat memandang lebih bergengsi beras putih daripada
beras merah, padahal mereka mengetahui bahwa vitamin B1 lebih tinggi diberas
merah daripada diberas putih.
4
g. Kebiasaan yang salah
Kebiasaan yang ditanamkan sejak kecil akan berpengaruh terhadap kebiasaan
pada seseorang ketika ia dewasa. Misalnya saja, manusia yang biasa makan nasi
sejak kecil, akan sulit diubah kebiasaan makannya setelah dewasa. Selain itu jika
sejak kecil sudah terbiasa tidak menjaga kebersihan diri dan pola hidup sehat, maka
saat dewasa pun juga akan terbawa dan menimbulkan banyak masalah.
h. Pengaruh konsekuensi dari inovasi terhadap perilaku kesehatan
Apabila seorang petugas kesehatan ingin melakukan perubahan perilaku
kesehatan masyarakat, maka yang harus dipikirkan adalah konsekuensi apa yang
akan terjadi jika melakukan perubahan, menganalisis faktor-faktor yang
terlibat/berpengaruh pada perubahan, dan berusaha untuk memprediksi tentang apa
yang akan terjadi dengan perubahan tersebut.
5
a. Difusi
Difusi adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dan individu kepada
individu lain serta dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Ada dua jenis difusi,
yaitu difusi intra-masyarakat (intro-society diffusion) dan difusi antarmasyarakat
(inter-society diffusion).
b. Inovasi
Inovasi adalah proses pembaruan dan pengunaan sumber-sumber alam, energi
dan modal, serta penataan kembali dari tenaga kerja dan penggunaan teknologi
baru sehingga terbentuk suatu sistem produksi dari produk-produk baru.
c. Akulturasi
Proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dihadapkan dengan
unsur-unsur suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur asing itu lambat laun
diterima dan diolah dalam kebudayaan itu sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian kebudayaan itu.
d. Asimilasi
Asimilasi adalah suatu proses sosial yang terjadi pada berbagai golongan
manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda setelah mereka bergaul
secara intensif sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan golongan-
golongan itu masing-masing berubah menjadi unsur kebudayaan campuran.
6
a. memiliki pengalaman pendidikan kesehatan,
b. kompeten dalam melaksanakan praktik kesehatan yang bermutu dan manusiawi
(good clinical practice), serta
c. menerapkan sistem dan cara pelayanan kesehatan yang bermutu serta beretika
(good clinical governance).
Dengan rumusan seperti itu maka tuntutan masyarakat terhadap pentingnya good
and clean clinical governance menjadi sangat penting untuk dilakukan para
penyelenggara pelayanan kesehatan. Aspek kedua, yaitu adanya upaya dan kemampuan
untuk memberikan pelayanan yang efektif. Mungkin benar, dalam pelayanan kesehatan
negara asing banyak yang sudah rnenggunakan teknologi modern. Namun, teknologi
modern bukanlah penentu akhir suatu kualitas pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, hal
yang penting adalah bagaimana melahirkan sumber daya manusia kesehatan yang mampu
memberikan pelayanan kesehatan yang efektif (Demartoto, 2007).
Pada kenyataannya, dalam memberikan pelayanan kesehatan yang efektif dan
memuaskan ini. Adanya re-code terhadap tugas dan fungsi pelayanan kesehatan dalam
pemahaman awal yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan itu adalah menghilangkan
gejala penyakit. Pemahaman seperti ini sudah mulai ditinggalkan dan kini sudah
mengarah pada pelayanan kesehatan sebagai bagian dari proses pendidikan serta
pembelajaran hidup sehat kepada setiap anggota masyarakat. Di sinilah perubahan kode-
kode peran dan fungsi pelayanan kesehatan dilakukan. Artinya, seorang tenaga kesehatan
dituntut untuk memberikan pelayanan yang menyeluruh mulai dari gejala, penyebab,
sampai pada efek penyakit itu sendiri. Sehingga seorang pasien dapat benar-benar
memiliki mutu hidup yang berkualitas (Demartoto, 2007).
7
menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan, perorangan, keluarga, kelompok
ataupun masyarakat.
8
d. Kebudayaan (Culture)
Berupa norma-norma yang ada di masyarakat dalam kaitannya dengan konsep
sehat sakit.
2.4.4 Syarat Pokok Pelayanan Kesehatan
Azwar (1999) menjelaskan suatu pelayanan kesehatan harus memiliki berbagai
persyaratan pokok, yaitu: persyaratan pokok yang memberi pengaruh kepada masyarakat
dalam menentukan pilihannya terhadap penggunaan jasa pelayanan kesehatan dalam hal
ini puskesmas, yakni :
a. Ketersediaan dan Kesinambungan Pelayanan
Pelayanan yang baik adalah pelayanan kesehatan yang tersedia di masyarakat
(acceptable) serta berkesinambungan (sustainable). Artinya semua jenis pelayanan
kesehatan yang dibutuhkan masyarakat ditemukan serta keberadaannya dalam
masyarakat adalah ada pada tiap saat dibutuhkan.
b. Kewajaran dan Penerimaan Masyarakat
Pelayanan kesehatan yang baik adalah bersifat wajar (appropriate) dan dapat
diterima (acceptable) oleh masyarakat. Artinya pelayanan kesehatan tersebut dapat
mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi, tidak bertentangan dengan adat
istiadat, kebudayaan, keyakinan dan kepercayaan masyarakat, serta bersifat tidak
wajar, bukanlah suatu keadaan pelayanan kesehatan yang baik.
c. Mudah Dicapai oleh Masyarakat
Pengertian dicapai yang dimaksud disini terutama dari letak sudut lokasi
mudah dijangkau oleh masyarakat, sehingga distribusi sarana kesehatan menjadi
sangat penting. Jangkauan fasilitas pembantu untuk menentukan permintaan yang
efektif. Bila fasilitas mudah dijangkau dengan menggunakan alat transportasi yang
tersedia maka fasilitas ini akan banyak dipergunakan. Tingkat pengguna di masa
lalu dan kecenderungan merupakan indikator terbaik untuk perubahan jangka
panjang dan pendek dari permintaan pada masa akan datang.
d. Terjangkau
Pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan yang terjangkau (affordable)
oleh masyarakat, dimana diupayakan biaya pelayanan tersebut sesuai dengan
kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal hanya
mungkin dinikmati oleh sebagian masyarakat saja.
e. Mutu
Mutu (kualitas) yaitu menunjukkan tingkat kesempurnaan pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan dan menunjukkan kesembuhan penyakit serta
9
keamanan tindakan yang dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan yang
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
10
memperoleh kualifikasi dan diberi izin untuk menjalankan praktik kebidanan di
negeri tersebut, bidan harus mampu memberi supervisi, asuhan, dan memberi
nasihat yang dibutuhkan wanita selama hamil, persalinan, dan masa pasca
persalinan, memimpin persalinan atas tanggung jawabnya sendiri serta asuhan pada
bayi lahir dan anak. Asuhan ini termasuk tindakan preventif, pendeteksian kondisi
abnormal pada ibu dan bayi, dan mengupayakan bantuan medis serta melakukan
tindakan pertolongan gawat-darurat pada saat tidak ada tenaga medis lain. Bidan
mempunyai tugas penting dalam konsultasi dan pendidikan kesehatan, tidak hanya
untuk wanita sebagai pasiennya tetapi termasuk komunitasnya. Pendidikan tersebut
termasuk antenatal, keluarga berencana dan asuhan anak.
d. Apoteker
Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian, apoteker ialah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai
apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.
11
1) Predisposing Factor
Faktor yang mengacu pada latar belakang subjek yang meliputi tingkat
pendidikan, pengetahuan umum, sikap, kepercayaan, tradisi, dan kebiasaan yang
selama ini dianut.
2) Enabling Factor
Faktor pendukung dalam pelaksanaan pendidikan kesehatan yang meliputi
ketersediaan sumber daya dan metode yang digunakan.
3) Reinforcing Factor
Faktor ini terletak pada health provider sendiri yang akan dilibatkan untuk
memberikan pendidikan kesehatan, meliputi ketekunan dan kesabaran, kemampuan
belajar dan lain sebagainya.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut diharuskan bagi petugas kesehatan untuk
mengetahui aspek sosial budaya yang ada di dalam masyarakat untuk melakukan
tindakan promotif berupa pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan dilakukan tidak
lain untuk upaya memudahkan pelayanan kesehatan yang bersifat kuratif. Tujuan
utamanya yaitu tercapainya perubahan perilaku supaya mampu menjamin kelangsungan
health practice yang bisa tetap membudaya dalam kehidupan bermasyarakat.
Perubahan karakteristik dokter sebagai penyedia layanan dan perubahan dari
masyarakat sebagai penerima layanan pengobatan jika tidak didukung oleh peningkatan
komunikasi antara dokter dan pasien dapat menyebabkan ketidakpuasan dan konflik
antara keduanya. Norma-norma yang terkandung dalam hukum kesehatan aturan yang
mengatur semua aspek yang berhubungan dengan tindakan dan perawatan di bidang
kesehatan. Perbedaan antara hukum kesehatan dan hukum kesehatan terletak pada
lingkup mereka. Ruang lingkup hukum kesehatan melibatkan semua aspek yang
berkaitan dengan kesehatan, yaitu, tubuh, spiritual, dan kesehatan sosial secara
komprehensif (Wiriadinata, 2014).
Penguasaan aspek sosial budaya oleh petugas kesehatan dapat mempermudah
dalam pelaksanaan pengobatan dan terapi pada pasien. Pengaruh agama seperti agama
Islam melarang untuk memakan daging babi. Untuk permasalahan semacam ini dokter
lebih berhati-hati dengan aturan agama yang dianut oleh pasien. Sehingga dokter mampu
memberi rekomendasi makanan lain yang bergizi selain daging babi. Selain pengaruh
agama pengaruh ketidakmauan dan ketidaktahuan masyarakat akan suatu makanan juga
menjadikan petugas kesehatan bekerja lebih ekstra untuk mengedukasi masyarakat
mengenai pendidikan kesehatan. Contoh pengaruh ketidakmauan dan tidaktahuan seperti
kebiasaan tidak makan ikan pada daerah tertentu karena harganya mahal, aromanya amis,
12
bahkan dipercaya jika memakan ikan akan mengakibatkan cacingan. Dengan fakta sosial
budaya yang berkembang di masyarakat dapat menjadi peluang serta tantangan bagi
petugas kesehatan dalam melakukan pelayanan kesehatan baik promotif, preventif,
kuratif, rehabilitatif, dan konservatif (Noorkasiani, Heryati, dan Rita, 2009).
Segala strategi harus diterapkan untuk menghadapi problema sosial budaya yang
terjadi di masyarakat. Misalkan saja pada jurnal penelitian Rina (2009) membahas
tentang penelitian mengenai peran dukun bayi dalam persalinan oleh masyarakat
Indonesia. Rina mengambil sampel penelitian di Desa Tobimiita dan Desa Inalobu,
Kabupaten Kendari, Sulawesi Tengah. Rina menyebutkan bahwa persalinan ditolong oleh
bidan biayanya mahal sedangkan bila ditolong oleh dukun bisa membayar berapa saja.
Hal yang terpenting adalah bahwa dukun dilihat mempunyai jampe-jampe yang kuat
sehingga ibu yang akan bersalin lebih tenang bila ditolong oleh dukun. Penyebab lain
mengapa bidan tidak dipilih dalam membantu persalinan adalah bahwa selain umurnya
masih relatif muda, bidan dipandang belum memiliki pengalaman melahirkan dan
kebanyakan belum dikenal oleh masyarakat. Peranan dukun bayi dalam proses kehamilan
dan persalinan berkaitan sangat erat dengan budaya setempat dan kebiasaan setempat.
Kemitraan merupakan salah satu solusi untuk menurunkan kematian ibu dan bayi.
Pendekatan ini terutama akan menguntungkan daerah-daerah terpencil dimana akses
terhadap pelayanan kesehatan sangat terbatas. Khusus di Kabupaten Kendari, pembinaan
kepada dukun laki-laki juga perlu digiatkan karena di Kabupaten Kendari banyak dukun
laki-laki, dan yang banyak dibina adalah dukun perempuan saja.
13
Meningkatnya keterlibatan suatu individu menjadi memungkinkan individu
tersebut mencurahkan perhatian yang lebih besar untuk mencari informasi tentang
produk atau layanan. Hai ini berdampak beberapa individu menunjukkan kesetiaan
yang teguh terhadap satu produk (misalnya obat atau pelayanan kesehatan tertentu)
dibandingkan dengan orang lain. Namun, tidak semua orang akan melekat pada
produk spesifik pada tingkat yang sama. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi
motivasi, termasuk relevansi pribadi, risiko yang dirasakan dan nilai-nilai pribadi
individu. Menurut Potter dan Perry (2005) bahwa tidak ada terapi yang akan
memberikan dampak kecuali orang tersebut dimotivasi oleh keyakinan bahwa
kesehatan adalah yang utama.
b. Perception
Persepsi didefinisikan sebagai proses dimana seorang individu memilih,
mengatur dan menafsirkan rangsangan atau informasi sensoris guna memeberikan
gambaran dan pemahaman tentang lingkungan sekitar mereka (Noel. H, 2009).
Dalam proses persepsi, stimulus dapat datang dari luar diri individu, tetapi juga
dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan. Karena dalam persepsi
itu merupakan aktivitas yang integrated, maka seluruh apa yang ada dalam diri
individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berpikir, kerangka 10 acuan,
dan aspek-aspek lain yang ada dalam diri individu akan ikut berperan dalam
persepsi tersebut (Bimo Walgito, 2002). Berdasarkan atas hal tersebut, dapat
dikemukakan bahwa persepsi itu sekalipun stimulusnya sama, tetapi karena
pengalaman tidak sama, kemampuan berpikir tidak sama, kerangka acuan tidak
sama, adanya kemungkinan hasil persepsi antara individu satu dengan yang lain
tidak sama. Riset tentang persepsi secara konsisten juga menunjukkan bahwa
individu yang berbeda dapat melihat hal yang sama tetapi memahaminya secara
berbeda (Stephen P.Robbins, 2002).
Dalam mencari pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh persepsi seorang
individu terhadap sehat dan sakit. persepsi masyarakat terhadap sehat-sakit sangat
berbeda pada setiap individu, kelompok dan masyarakat. Persepsi masyarakat
terhadap sehat-sakit erat hubungannya dengan perilaku pencarian pengobatan.
Apabila persepsi sehat-sakit masyarakat belum sama dengan konsep sehat-sakit,
maka jelas masyarakat belum tentu atau tidak mau menggunakan fasilitas atau
pelayanan kesehatan yang diberikan( Notoatmodjo,2007).
14
c. Attitude
Sikap tidak selalu memprediksi perilaku. Misalnya, banyak masyarakat yang
mungkin memiliki sikap positif terhadap pelayanan kesehatan yang ada saat ini,
namun sikap positif ini mungkin tidak selalu menjadikan mereka mau untuk
melakukan pemeriksaan di layanan kesehatan yang tersedia. Selain itu, sikap suatu
individu atau masyarakat dapat berubah dari waktu ke waktu karena mereka
mendapatkan tambahan informasi. Contohnya dalam penelitian tentang
Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Masyarakat Tentang Penyakit
Tuberkulosis(Tb)Paru, di Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar,
Propinsi Sumatera Barat di yang dilakukan pada tahun 2011. Sebagian masyarakat
di kecamatan Sungai Tarab kurang peduli dengan gejala yang dialaminya dengan
membiarkan batuk yang lebih dari tiga minggu dan tidak menganggap hal tersebut
sebagai penyakit yang serius, sehingga tidak segera mencari upaya pengobatan.
Dalam hal ini biasanya mereka hanya dengan meminum obat yang dibeli di
warung, dan jika tidak sembuh dan cukup parah barulah mereka akan mencari
pengobatan ke pelayanan kesehatan atau pengobat tradisional. Sikap keluarga dan
masyarakat sekitar tentang penyakit TB Paru, menurut sebagian penderita biasa-
biasa saja, di mana dalam pergaulan sehari-hari baik bertetangga maupun
pergaulan dengan teman sebaya tetap menunjukkan hal yang wajar. Namun
demikian, ada sebagian keluarga penderita yang melakukan pemisahan pemakaian
alat-alat untuk makan dan minum. Begitu juga dengan lingkungan masyarakat/
pergaulan penderita ada juga yang berupaya menghindari penderita untuk
berkomunikasi.
e. Knowledge
Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya) (Notoatmodjo, 2010). Ketika individu membuat keputusan, mereka
biasanya memanfaatkan informasi yang sudah disimpan dalam memori mereka.
Informasi ini cenderung terstruktur dan terorganisir menggunakan asosiasi antara
berbagai potongan informasi. keterkaitan ini memungkinkan konsumen untuk
mengingat informasi dari pengetahuan yang dimiliki. Cara di mana pengetahuan ini
dikodekan, terorganisir dan disimpan memiliki dampak langsung pada
pengambilan keputusan individu.
15
Pengetahuan umumnya terdiri dari asosiasi kita ke objek yang berbeda,
asosiasi ini memiliki karakteristik tertentu. Mereka bisa menjadi menonjol, unik,
atau menguntungkan / tidak menguntungkan (Noel. H, 2009). Faktor pengetahuan
merupakan salah satu faktor terpenting dalam individu atau masyarakat mencari
pelayanan kesehatan. Semakin banyak pengetahuan individu maka dalam mencari
pelayanan kesehatan mereka akan mencari secara optimal pelayanan kesehatan
yang terbaik contohnya dengan mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas
pengobatan modern yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga
kesehatan swasta, yang dikategorikan kedalam balai pengobatan, Puskesmas, dan
Rumah Sakit.Mencari pengobatan kefasilitas pengobatan modern yang
diselenggarakan oleh dokter praktek (private medicine). (Notoatmodjo, 2007)
proses pengambilan keputusan ini sangat valid dan terjadi setiap hari. Dalam mengambil
keputusan untuk mencari pelayanan kesehatan seorang individu akan mengenali masalah
yang terjadi pada dirinya contohnya ketika sesorang wanita mengalami suatu gejala
muntah dan mual, dia akan mengidentifikasi apa yang terjadi pada dirinya kemudian
mencari informasi tentang gejala yang dia rasakan itu menuju pada penyakit apa. Setelah
masalah telah diidentifikasi dan pencarian informasi yang diinginkan telah selesai,
individu harus mengevaluasi alternatif dan membuat keputusan berdasarkan pada pilihan
yang mungkin, jadi dari hasil pencarian informasi yang telah dilakukan wanita tersebut
16
menilai bahwa dirinya hamil, selanjutnya dia akan mengambil keputusan untuk mencari
pelayanan kesahatan misalnya wanita tersebut memutuskan pergi ke dokter kandungan,
setelah menjalani pengobatan dia akan mengevaluasi bagaimana pelayanan yang
diberikan yang diberikan oleh dokter tersebut.
17
yang dianggap penting. Pengaruh etnis, tanpa disadari telah menanamkan garis pengaruh
sikap terhadap berbagai masalah salah satunya masalah kesehatan (Entjang, Indan, 2000).
Masyarakat mengembangkan kebudayaan, karena manusia merupakan makhluk
yang bertransdensi, suatu kemampuan khas untuk meningkatkan daya dirinya selaku
makhluk berakal budi. Sosial budaya dan keragaman etnis sering kali dijadikan petunjuk
dan tata cara berperilaku dalam bermasyarakat, hal ini dapat berdampak positif namun
juga dapat berdampak negatif. Disinilah kaitannya dengan kesehatan, ketika suatu tradisi
yang telah menjadi warisan turun temurun dalam sebuah masyarakat namun ternyata
tradisi tersebut memiliki dampak yang negative bagi derajat kesehatan masyarakatnya.
Misalnya cara masyarakat memandang tentang konsep sehat dan sakit, mencari pelayanan
kesehatan serta presepsi masyarakat tentang penyebab terjadinya penyakit disuatu
masyarakat akan berbeda-beda tergantung latar kebudayaan dan etnis masyarakat tersebut
(Notoatmodjo, Soekidjo, 2003)
Contoh lain, keragaman etnis dan budaya memengaruhi kesehatan adalah cara
pandang suatu masyarakat terhadap tindakan yang dilakukan ketika mereka mengalami
sakit, ini akan sangat dpengaruhi oleh budaya, tradisi dan kepercayaan yang tumbuh di
dalam masyarakat tersebut. Misalnya masyarakat yang sangat mempercayai dukun yang
memiliki kekuatan gaib sebagai penyembuh ketika mereka sakit, dan bayi yang menderita
demam atau diare berarti pertanda bahwa bayi tersebut akan pintar berjalan. Jadi dapat
disimpulkan bahwa keragaman budaya, etnis dan tradisi sangat memengaruhi pola pikir
masyarakat mengambil tindakan dalam mencari cara untuk menyelesaikan masalah
kesehatan tanpa pertimbangan mencari pelayanan kesehatan yang sesuai dengan
kebutuhannya (Notoatmojo, Soekidjo, 2007).
Kebudayaan perilaku kesehatan yang terdapat di masyarakat beragam dan sudah
melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan tersebut seringkali berupa
kepercayaan gaib. Sehingga usaha yang dilakukan dalam memulihkan masalah kesehatan
bukan dengan mencari pelayanan kesehatan yang inovatif tetapi dengan kepercayaan atas
budaya yang dipegang. Sebagai contoh, keluarga di pedesaan yang mempunyai kebiasaan
untuk menggunakan pelayanan dukun, akan berpengaruh terhadap perilaku anaknya
dalam mencari pertolongan pengobatan pada saat mereka sudah berkeluarga
(Notoatmojo, Soekidjo, 2007).
18
2.7.2 Status Sosial
Status sosial ekonomi dianggap sangat membawa pengaruh terhadap kesehatan
masyarakat. Faktor yang dapat diukur dalam status ekonomi sosial adalah pendapatan
keluarga, pendidikan orang tua atau diri sendiri, dan status profesional orang tua atau diri
sendiri. Status kesehatan terkait dengan status sosial ekonomi. Pendidikan juga sangat
berhubungan dengan kesehatan menuju yang lebih baik, pendidikan bisa merubah hasil
kesehatan dan meningkatkan umur panjang, dengan mendorong untuk berperilaku
memberikan perlindungan diri terhadap penyakit. Dan demikian juga untuk mengurangi
tingkah laku yang menempatkan individu terhadap risiko terkena penyakit. Pendidikan
dengan level yang lebih tinggi ditambah dengan peningkatan kekayaan dapat
menyediakan sumber daya yang lebih besar, dapat meningkatkan akses perawatan medis
yang lebih baik dan menyediakan kemampuan yang lebih besar untuk melindungi diri
terhadap risiko penyakit. Individu-individu dari status sosial ekonomi yang lebih rendah,
lebih mungkin terkena bahaya kesehatan di tempat kerjadan di lingkungan melalui udara
yang beracun yang mereka hirup, air yang mereka minum, dan makanan yang mereka
makan.Berikut penjelasan lengkap faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap
kesehatan masyarakat:
a) Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang dapat menentukan peminatan kesehatan, tinggi
rendahnya permintaan terhadap pelayanan kesehatan dapat ditentukan oleh tinggi
rendahnya pendidikan. Indikatornya adalah pendidikan terakhir, berpendidikan
rendah tetap memanfaatkan pelayanan kesehatan dan tahu manfaat pelayanan
kesehatan (Syafruddin Syaer, 2010).
b) Pendapatan
Pendapatan merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan corak
permintaan terhadap berbagai barang. Perubahan pendapatan selalu menimbulkan
perubahan terhadap permintaan berbagai jenis barang. Ada hubungan (asosiasi)
antara tingginya pendapatan dengan besarnya permintaan akan pemeliharaan
kesehatan, terutama dalam hal pelayanan kesehatan modern. Jika pendapatan
meningkat maka garis pendapatan akan bergeser ke kanan sehingga jumlah barang
dan jasa kesehatan meningkat. Pada masyarakat berpendapatan rendah, akan
mencukupi kebutuhan barang terlebih dahulu, setelah kebutuhan akan barang
tercukupi akan mengkonsumsi kesehatan (Andersen et al, 1975; Santerre & Neun,
2000 dalam Andhika 2010; Mills & Gilson,1990).
19
Sebagian besar pelayanan kesehatan merupakan barang normal di mana
kenaikan pendapatan keluarga akan meningkatkan demand untuk pelayanan
kesehatan. Akan tetapi ada kecenderungan mereka yang berpendapatan tinggi tidak
menyukai pelayanan kesehatan yang menghabiskan banyak waktu. Hal
inidiantisipasi oleh rumahsakit-rumahsakit yang menginginkan pasien dari
golongan mampu. Masa tunggu dan antrean untuk mendapatkan pelayanan medis
harus dikurangi (Palutturi, 2005).
c) Pekerjaan
Bekerja atau tidaknya seseorang akan turut berpengaruh peminatan
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, semakin baik jenis pekerjaan dari
seseorang semakin tinggi permintaan terhadap pelayanan kesehatan. Indikatornya
adalah mempunyai pekerjaan tetap memanfaatkan pelayanan kesehatan walaupun
harus meninggalkan pekerjaan (Syafruddin Syaer, 2010).
20
2.8 Perilaku Mencari Pelayanan Kesehatan
Menurut Musadad (1997), perilaku mencari pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh
tiga faktor besar, yaitu faktor predisposing, faktor enabling, dan faktor need. Faktor
predisposing adalah kemampuan seseorang menggunakan pelayanan, contohnya adalah
faktor demografi, struktur sosial, dan keyakinan terhadap kesehatan. Faktor enabling
adalah kemampuan seseorang mencari pelayanan, yaituu keluarga atau masyarakat.
Faktor need adalah kebutuhan seseorang akan pelayanan.
Pencarian pelayanan kesehatan ditentukan oleh kebutuhan yang dirasakan.
Kebutuhan ini adalah keputusan pertama untuk menentukan seseorang akan berobat atau
tidak. Perilaku masyarakat dalam mecari layanan kesehatan untuk mengobati sakit yang
dideritanya, antara lain :
a. Tidak melakukan apa-apa (no action).
Banyak alasan yang mendasari individu untuk tidak pergi mencari
pengobatan, diantaranya mereka beranggapan bahwa kondisi yang sedang
dialami tidak mengganggu kegiatan atau kerja mereka sehari-hari dan gejala
yang dideritanya akan lenyap dengan sendirinya, fasilitas kesehatan yang
diperlukan sangat jauh letaknya, para petugas kesehatan tidak simpatik,
tidak responsif, takut dokter, takut pergi ke rumah sakit, takut biaya, dan percaya
bahwa setiap penyakit yang datangnya dari Allah juga pasti akan disembuhkan
oleh Allah, sehingga ia hanya bertawakkal, dan alasan-alasan yang lain.
b. Tindakan mengobati diri sendiri (self treatment)
Masyarakat percaya kepada diri sendiri, dan karena pengalaman yang
lalu usaha-usaha pengobatan sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan.
c. Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan tradisional (traditional remedy).
Di daerah pedesaan, pengobatan tradisional masih menjadi pilihan yang
pertama dan utama dalam mencari pengobatan. Pada masyarakat yang masih
sederhana, masalah sehat-sakit adalah lebih bersifat budaya dari pada gangguan-
gangguan fisik. Identik dengan pencarian pengobatan pun lebih berorientasi
kepada sosial-budaya masyarakat dari pada hal-hal yang sudah teruji klinis,
karena mereka masih menganggap asing obat-obatan modern.
Di daerah pedesaan, masih terdapat praktik perdukunan yang melakukan
pengobatan tradisional dan berada ditengah-tengah masyarakat, dekat dengan
masyarakat, dan pengobatan yang dihasilkan adalah kebudayaan masyarakat,
lebih diterima oleh masyarakat dari pada dokter, bidan, dan sebagainya yang
21
masih asing bagi mereka seperti juga pengobatan yang dilakukan dan obatnya
juga merupakan kebudayaan mereka.
d. Mencari pengobatan dengan membeli obat ke warung-warung obat (chemist
shop) dan sejenisnya, termasuk ketukang-tukang jamu. Obat-obat yang mereka
dapatkan pada umumnya adalah obat yang tidak memakai resep sehingga sukar
untuk dikontrol.
e. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang diadakan oleh
pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta, yang dikategorikan kedalam
balai pengobatan, Puskesmas, dan Rumah Sakit.
f. Mencari pengobatan kefasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh
dokter praktek (private medicine).
22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kebudayaan adalah segala hal yang dibuat oleh manusia berdasarkan pikiran dan
akal budinya yang mengandung cinta, rasa dan karsa. Aspek sosial budaya memengaruhi
pelayanan kesehatan. Dimana terdapat dua faktor di dalamnya, yakni faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari faktor predisposing, faktor enabling, dan
faktor need(Musadad, 1997).Selain itu,faktor psikologis juga mendorong seorang pasien
untuk melakukan decision making, yakni berupa motivation, perception, attitude, dan
knowledge. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari pengaruh agama dan etnis, kelompok
referensi, dan status sosial berupa pedidikan, pekerjaan, pendapatan.
Dengan adanya faktor internal dan eksternal pada aspek sosial budaya yang
memengaruhi tuntutan pelayanan kesehatan, sewajarnya petugas kesehatan menyikapinya
dengan carare-code terhadap tugas dan fungsi pelayanan kesehatan. Artinya, seorang
tenaga kesehatan dituntut untuk memberikan pelayanan yang menyeluruh mulai dari
gejala, penyebab, sampai pada efek penyakit itu sendiri. Sehingga seorang pasien dapat
benar-benar memiliki mutu hidup yang berkualitas (Demartoto, 2007).
3.2 Saran
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat masih jauh dari kata sempurna,
maka dari itu kami berharap pada kesempatan lain dapat menyempurnakan materi dalam
makalah dengan berbagai sumber yang terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sebagai seorang mahasiswa, kami masih dalam tahap belajar dan memerlukan
bimbingan yakni berupa kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Kami
berharap dapat melakukan pengkajian lebih lanjut sesuai dengan materi yang kami
kerjakan demi berkembangnya ilmu pengetahuan serta menambah khasanah ilmu
pengetahuan yang kami miliki.
23
DAFTAR PUSTAKA
Soejoeti, S. Z. (2005). Konsep sehat, sakit dan penyakit dalam konteks sosial budaya.
Majalah Cermin Dunia Kedokteran, (149).
Anggorodi, R. (2009). Dukun bayi dalam persalinan oleh masyarakat Indonesia. Makara
Kesehatan, 13(1), 9-14.
Chintya, Terena. Manfaat Petugas Kesehatan Mempelajari Unsur-Unsur Budaya Dalam
Upaya Perbaikan Kesehatan Masyarakat. (Online) diakses di
(https://www.scribd.com/doc/211841857/Manfaat-Bagi-Petugas-Kesehatan-
Mempelajari-Kebudayaan) pada 31 Januari 2017.
Noorkasiani, Heryati, dan Rita. 2009. Sosiologi Keperawatan. Jakarta:EGC
Isfandyarie,Anny. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I (Prestasi
Pustaka: Jakarta, 2006), hlm. 3
Purwandi,Atik. Konsep Kebidanan Sejarah & Profesionalisme (Kedokteran EGC:
Jakarta, 2008), hlm. 5
Emi. Etika Keperawatan Aplikasi Pada Praktik (Kedokteran EGC: Jakarta, 2004), hlm. 4
Poerwadarminta. 2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Praptianingsih,Sri. Kedudukan Hukum Keperawatan dalam Upaya Pelayanan Kesehatan
di Rumah Sakit (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.25
Komalawati,Veronika. Op,Cit. hlm. 77
Foster. 1973. Traditional societies in technological change. Boston: Little Brown and Co.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Sudarma, Momon. 2008. Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta:Salemba Medika
Wiriadinata, Wahyu. 2014. Physician, Patient and Malpractice Dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Bandung: Journal of Public
Administration and Governance
Ryadi, Alexander Lucas Slamet. 2016. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta:Andi
Publisher
Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta:EGC
Effendy, Nasrul. 1998. Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:EGC
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta:Salemba Medika
Heri D.J. Maulana. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta:EGC
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta.
24
Baharuddin, 2015. Bentuk-bentuk Perubahan Sosial dan Kebudayaan. Jurnal IAIN
Pontianak Al Hikmah, 9(2):180-181.Diakses di (jurnaliainpontianak.or.id) pada
30 Januari 2017.
Sarwono, Solita. 1997. Sosiologi Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Sudarma, Momon. 2008. Sosiologi Untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika
Demartoto, Argyo. 2007. Sosiologi Kesehatan. (Online). Diakses di
(http://argyo.staff.uns.ac.id/files/2010/08/sosiologi-kesehatan1.pdf) pada 31
Januari 2017.
Syaer, Syafrudin. 2010. Beban Kerja Perawat Unit Gawat Darurat di Rumah Sakit
Umum Lansirang Kabupaten Pinrang Tahun 2010.
Entjang, Indan. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Notoatmojo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka
Cipta
Joseph P. Cannon, William D. Perreault, Jr., E. Jerome McCarthy. 2008. Basic
Marketing, A Global Managerial Approach. Jakarta: Salemba Empat.
Notoatmojo, S. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Glanz, K., Rimer, B. K., and Viswanath, K. 2008. Health Behavior and Health
Education: Theory, Research, and Practice. San Fransisco: Jossey-Bass
Noel, H. 2009. Costumer Behaviour. United Kingdom: AVA Publishing (UK)Ltd
Andersen, Ronald et al.. 1975. Equity In Health : Empirical Analysis in Social
Policy.London : Cambridge Mall Bailinger Publishing.
Andhika. 2010. Analisis Permintaan Penggunaan Layanan Kesehatan Pada Rumah Sakit
Umum Milik Pemerintah Di Kabupaten Semarang. Semarang: Fakultas Ekonomi
Universitas Diponegoro.
Mills, Anne and Lucy Gilson. 1990. Ekonomi Kesehatan untuk Negara-Negara
Berkembang (Terjemahan). Jakarta : Dian Rakyat.
Musadad, Anwar. 1997. Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan Masyarakat Kampung
Naga, Kabupaten Tasikmalaya. (Online). Diakses di
(http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/view/1006/1597) pada
30 Januari 2017.
Bimo Walgito, 2002, Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta : Andi Offset
Stephen P Robbins, 2002, Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi, Jakarta : Erlangga
Notoatmodjo, S. 2010a. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Notoatmodjo, S. 2010b. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Noel, Hayden. 2009. Consumer Behaviour. Singapore: AVA Book Production Pte. Ltd.
25
Media, Yulfira. 2011. Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Masyarakat Tentang Penyakit
Tuberkulosis (Tb) Paru di Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar
Propinsi Sumatera Barat. Vol.21 Nomor 2.
26
Pertanyaan Diskusi
1. Bagaimana etika anda ketika seseorang yang sakit meminta pengobatan
kepada anda, sedangkan status anda adalah seorang mahasiswa kedokteran
semester 6?
2. Bagaimana jika seorang dukun bayi tidak mau bekerjasama dengan tenaga
kesehatan desa?
3. Apa maksud mengenai kebendaan dan spiritual?
Jawaban Diskusi
1. Selayaknya kita sebagai mahasiswa mengedukasi orang tersebut untuk
melakukan pengobatan kepada dokter. Karena untuk bisa melakukan
pememerlukan STR dan SIP. Namun, sebagai seorang mahasiswa kedokteran
semester 6 yang sudah memiliki ilmu pengetahuan lebih dibandingkan
masyarakat, kita wajib memberikan atau membagikan ilmu yang kita dapat,
serta mengarahkan seseorang tersebut untuk berobat ke tenaga kesehatan
yang ahli di bidangnya.
2. Dokter atau tenaga kesehatan desa mengedukasi dukun bayi tersebut,
mengenai tata laksana kelahiran yang sesuai dengan benar dan terstruktur.
Jika masih belum bisa, maka dilakukan pendekatan dengan para tokoh
masyarakat setempat untuk bisa masuk dan membaur dengan masyarakat
sehingga keberadaan tenaga kesehatan tersebut bisa sedikit demi sedikit
diterima oleh masyarakat. Namun jika hal tersebut masih belum bisa juga,
maka tenaga kesehatan bisa membuat peraturan tertulis dengan bekerja sama
dengan pihak kepolisian.
3. Setiap pergantian kepemimpinan atau pemimpin yang berbeda memiliki
kebijakan yang berbeda pula. Salah satunya mengatur tentang pelayanan
kesehatan, sehingga dalam kurun waktu tertentu dapat mengubah pola pikir
masyarakat tentang kesehatan.
27