NIM. : F.131.16.0079
MEMBACA
Rich Mayer (2008) baru-baru ini menjelaskan tiga proses kognitif yang terlibat agar dapat
membaca tulisan:
1. Memahami unit-unit suara dalam kata-kata, yang mencakup pemahaman fonem.
2. Mengkodekan kembali kata-kata, yang mencakup pengubahan kata-kata tertulis menjadi
suara.
3. Mengakses arti kata, dengan membayangkan representasi dari sebuah kata.
Menurut Chall (1979, 1992) membaca berkembang melalui lima tahap. Batas usia tidak
bersifat kaku dan tidak berlaku untuk setiap siswa. Misalnya beberapa murid belajar membaca
sebelum masuk kelas 1. Tahap-tahap ini memberikan pemahaman umum mengenai perubahan
developmental dalam proses belajar membaca:
1. Tahap 0 : dari kelahiran sampai grade 1, anak menguasai beberapa prasyarat untuk membaca.
Banyak yang menguasai cara dan aturan membaca, mengidentifikasi huruf, dan cara menulis
namanya sendiri. Beberapa anak belajar membaca kata-kata yang biasanya muncul bersama
tanda simbol.
2. Tahap 1 : di grade 1 dan 2, banyak anak mulai belajar membaca. Mereka belajar dengan
menggunakan kata-kata (yakni, menyuarakan huruf atau sekelompok huruf dan membentuk
ucapan kata). Dalam tahap ini, mereka juga mampu menguasai penulisan dan pengucapan
huruf.
3. Tahap 2: di grade 2 dan 3, anak makin lancar dalam membaca. Akan tetapi, pada tahap ini,
membaca masih belum banyak digunakan untuk belajar. Mereka disibukkan oleh tugas
membaca sehingga anak tidak punya banyak energi untuk memahami isi bacaannya.
4. Tahap 3 : di grade 4 sampai 8, anak mampu mendapatkan informasi dari bacaannya. Dengan
kata lain, mereka belajar membaca. Mereka masih kesulitan memahami informasi yang
diberikan dari beragam perpekstif dalam teks yang sama. Anak yang pada tahap ini belum
mampu menguasai keahlian membaca, mereka akan mengalami kesulitan serius dalam bidang
akademik.
5. Tahap 4 : banyak murid yang telah menjadi pembaca yang kompeten. Mereka mampu
memahami materi tertulis dari bebrbagai perspektif. Hal ini membuat mereka terkadang terlibat
dalam diskusi yang lebih maju dalam pelajaran sastra, sejarah, ekonomi, dan politik. Bukan
kebetulan bahwa novel-novel baru diberikan pada masa ini, karena pemahaman terhadap novel
membutuhkan pemahaman membaca yang canggih. (Santrock, 2010: 421)
MENULIS
Ketika anak-anak mulai menulis, anak-anak sering kali menciptakan ejaan. Orang tua
dan guru seharusnya mendukung pembelajaran menulis anak-anak, namun tidak perlu terlalu
memedulikan pembentukan kata atau pengejaan. Mengoreksi pengucapan dan penulisan harus
dilakukan secara selektif dan positif sehingga tidak mematahkan semangat menulis anak.
Seperti halnya menjadi pembaca yang baik, menjadi penulis yang baik memerlukan
waktu bertahun-tahun dan banyak sekali latihan. Anak-anak harus memperoleh kesempatan
menulis yang banyak. Ketika keterampilan berbahasa dan kognitif mereka meningkat dengan
intruksi yang baik, demikian pula dengan keterampilan menulisnya. Sebagai contoh,
membangun pemahaman yang lebih rumit terhadap sitaks dan tata bahasa menjadi dasar bagi
penulisan yang lebih baik. Demikian pula keterampilan kognitif sebagai penalaran yang logis
dan teratur. Melalui pelatihan di masa sekolah, para siswa mengembangkan metode-metode
yang rumit untuk mengorganisasikan ide-ide mereka.
Kompetensi menulis siswa saat ini semakin diperhatikan. Salah satu penelitian
mengungkap bahwa 70 hingga 75 persen siswa AS di kelas 4 hingga 12 adalah penulis dengan
prestasi yang rendah. Pelatih di universitas melaporkan bahwa 50 persen lulusan sekolah
menengah atas tidak dapat menulis dengan level mahasiswa.
BILINGUALISME DAN MEMPELAJARI BAHASA KEDUA
Apakah ada periode sensitive dalam mempelajari bahasa kedua? Yaitu, jika seseorang
ingin mempelajari bahasa kefua, seberapa pentingkah usia di mana ia mulai mempelajarinya?
Apakah cara terbaik untuk mengajar anak-anak yang tidak menggunakan bahasa inggris
sebagai bahasa utama?
Mempelajari Bahasa Kedua
Selama bertahun-tahun, dikatakan bahwa jika seseorang tidak mempelajari bahasa
kedua sebelum masa pubertas, ia tidak akan pernah mencapai kelancaran berbahasa untuk
bahasa kedua (Johnson & Newport, 1991). Bagi pembelajar bahasa seperti remaja dan
dewasa, kosa kata baru lebih mudah dipelajari daripada suara atau tata bahasa baru.
Bilingualisme (bilingualism) adalah suatu kemampuan untuk berbicara dengan dua
bahasa. Bilingualismmemiliki efek positif bagi perkembangan kognitif anak. Anak-anak yang
fasih dalam dua bahasa performanya lebih baik dibandingkan teman-temannya yang hanya
menguasai satu bahasa, dalam uji mengendalikan atensi, pembentukan konsep, penalaran
analistis, fleksibilitas kognitif, dan kompleksitas kognitif. Ulasan penelitian menyimpulkan bahwa
anak-anak dengan dua bahasa memiliki tingkat kefasihan yang lebih rendah (misalnya kosa
kata yang lebih sedikit) daripada anak-anak dengan satu bahasa.
Pendidikan Bilingual
Bagaimana cara terbaik untuk mengajar anak-anak ini? Selama dua decade terakhir,
strategi yang dipilih adalah pendidikan bilingual (bilingual education), yang mengajarkan subjek-
subjek akademik kepada anak-anak imigran dalam bahasa asal sembari mengajarkan bahasa
inggris secara perlahan. Para pendukung pendidikan ini menyatakan bahwa seandainya anak-
anak yang tidak mengenal bahasa inggris diajari hanya dalam bahasa inggris, mereka akan
jauh tertinggal pelajarannya. Mereka juga mempertanyakan kemungkinan seorang anak berusia
7 tahun belajar aritmatika atau sejarah yang diajarkan dalam bahasa inggris padahal mereka
tidak berbicara dalam bahasa itu.
Bagaimana hasil program pendidikan bilingual yang ditemukan oleh para peneliti?
Mengambil kesimpulan mengenai efektivitas program pendidikan bilingual merupakan sesuatu
yang sulit karena di sepanjang tahun terdapat variasi di sejumlah program-program ini dalam
hal efek, tipe instruksi, kualitas sekolah di samping pendidikan bilingual, guru, anak0anak, serta
berbagai faktor lainnya. Di samping itu di Amerika Serikat tidak ada studi eksperimen yang
secara efektif dapat membandngkan pendidikan bilingual dengan pendidikan yang hanya
menggunakan bahasa inggris.
Riset mendukung pendidikan bilingual dalam hal:
1. anak-anak mengalami kesulitan dalam mempelajari sebuah subjek seandainya materi
tersebut diajarkan dalam bahasa yang tidak mereka pahami, dan
2. ketika kedua bahasa diintegrasikan di dalam kelas, anak-anak akan belajar bahasa kedua
dengan lebih siap dan lebih bersedia berpartisipasi secara aktif.