Anda di halaman 1dari 4

Khutbah I

.
.
Jamaah shalat jumat rahimakumullah,

Dalam kesempatan bulan Rabiul Awal ini, khatib mengajak pada diri sendiri dan kepada jamaah sekalian untuk senantiasa belajar meneladani perilaku Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam, makhluk paling agung pengemban risalah suci untuk memperbaiki akhlak manusia. Sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam:




Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.

Salah satu poin penting yang bisa kita contoh dari beliau adalah akhlak dalam konteks hubungan sosial. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam termasuk pribadi dengan keluasan
hati yang mengagumkan. Beliau tak hanya orang yang gigih dalam memperjuangan syiar kebenaran Islam tapi juga menunjukkan perangai mulia dalam berdakwah sebagai
menifestasi dari klaim kebenaran itu sendiri.

Ketika kita membaca kembali lembar tarikh (sejarah) peradaban Islam, kita akan menemukan fakta bagaimana Nabi bersikap kepada pasukan musuh begitu momen kemenangan
besar Fathul Makkah (pembebasan kota Makkah) diraih. Kejadian itu bermula saat kaum musyrikin Quraisy di Makkah merusak kesepakatan gencatan senjata yang dikenal dengan
Perjanjian Hudaibiyah, hingga mengundang sepuluh ribu pasukan Muslim dari Madinah untuk menyerbu Makkah.

Seluruh kaum musyrikin dilanda ketakutan, terutama pemimpin tertingi mereka, yakni Abu Sufyan. Dengan kekuatan pasukan Muslim yang berkembang demikian pesat, ia sadar
betul kekalahan bagi kelompoknya sudah di depan mata. Reputasi dirinya sebagai pemimpin yang sangat disegani pada hari itu runtuh, wibawanya sebagai jawara tanpa tanding
pun remuk. Lalu apa yang diperbuat oleh Rasulullah?

Jamaah Jumat yang semoga dimuliakan Allah,


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bukanlah tipe pendendam dan pemarah. Sejarah perlakuan buruk kaum musyrikin Quraisy, termasuk Abu Sufyan, terhadap dirinya dan
umat Islam tak membuatnya bertindak secara membabi buta. Di hadapan khalayak waktu itu, Nabi justru berpidato Barangsiapa masuk ke dalam Masjidil Haram, dia akan
dilindungi. Barangsiapa masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, dia akan dilindungi.

Ungkapan ini membuat banyak orang terperanjat. Nabi seakan paham dengan suasana batin Abu Sufyan, dedengkot pasukan musuh itu. Mendengar pengumuman itu, hati Abu
Sufyan yang garang luluh bercampur bahagia. Meski dalam posisi terpojok, ia merasa sangat terhormat dan terlindungi. Tak tanggung-tanggung, Rasulullah seolah menyejajarkan
rumahnya dengan Masjidil Haram. Barangkali karena kemuliaan akhlak Nabi inilah Abu Sufyan tak lagi canggung memeluk Islam.

Dari sini kita belajar, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam tak hanya pandai bertutur tentang pentingnya berbuat bijak kepada sesama, tetapi beliau konsisten dengan
memberikan teladan langsung dalam wujud perilaku. Penghormatan Nabi di sini tak sebatas kepada orang atau kelompok yang berbeda pandangan dengan dirinya, tapi bahkan
kepada orang atau kelompok yang sedang memusuhinya. Maka benarlah ungkapan sebuah hadits shahih:




Agama yang paling dicintai oleh Allah adalah al-hanafiyah as-samhah (yang lurus lagi toleran).

Rasulullah juga memberi isyarat bahwa tak ada hubungan keimanan seseorang dengan perasaan benci. Sehingga, kita pun menjadi heran saat menyaksikan banyak orang-orang
yang merasa iman meningkat tapi kebenciannya terhadap orang yang tak seiman dengan dirinya pun ikut meningkat. Sikap semacam ini kontradiktif dengan dengan sabda Nabi
sebagaimana tertulis dalam kitab Riyadlus Shalhin:



Mukmin yang paling sempurna adalah mereka yang paling indah akhlaknya

Dalam Hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim pernah dikisahkan, suat kali Rasulullah berdiri (memberi hormat) ketika sebuah iring-iringan jenazah yang lewat di
hadapannya. Salah seorang sahabat beliau mengingatkan bahwa jenazah itu adalah jenazah orang Yahudi, yang tak layak mendapat penghormatan. Beliau lansung menjawab,
Bukankah ia juga manusia?





Jamaah Jumat yang semoga dirahmati Allah,

Perilaku Rasulullah tersebut menyiratkan pesan bahwa keteguhan iman seseorang ditandai bukan dengan sikap angkuhnya terhadap orang yang berbeda. Justru sebaliknya, kuatnya
keyakinan itu justru memantulkan sikap-sikap tawadlu, rasa hormat, tasamuh (toleran) dan terbuka terhadap yang lain.

Khutbah II

.










.




.





.
.

.

. !

Anda mungkin juga menyukai