Anda di halaman 1dari 459

KATA PENGANTAR

KETUA PANITIA SEMINAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Yang terhormat;
Rektor Universitas Malikussaleh, Pembantu Rektor, Dekan
Dekan Fakultas Teknik, Pembantu
Dekan Fakultas Teknik, Kajur di lingkungan Fakultas Teknik,, Pemateri Utama Bapak Ir.
Musthofa, Ibu Prof. Ir. Husni Husin, MT, Bapak Dr. Bahruddin, MT, Rekan Dosen di
Lingkungan Jurusan Teknik Kimia serta para undangan dan mahasiswa/mahasiswi yang
berbahagia. Bersama
ma ini kita panjatkan puji
puji dan syukur kehadirat Allah SWT., dimana
dengan rahmat dan hidayah-Nya
Nya kita dapat hadir dan menyelenggarakan Seminar Nasional
N
Teknik Kimia Universitas Malikussaleh (Unimal) tahun 2016 .

Seminar Nasional Teknik Kimia Unimal pada tahun 2016


2016 ini merupakan seminar pertama
yang dilakukan oleh Jurusan Teknik Kimia Unimal dengan
den tema Peng
Penguatan Link and
Match antara institusi pendidikan dan dunia industri dalam
dala rangka meningkatkan
kompetensi
petensi lulusan menuju pasar bebas Masyarakat
Masy Ekonomi ASEAN Seminar
nomi ASEAN.
nasional yang direncanakan pelaksanaannya dua tahun sekali ini untuk memberi wadah
terjalinnya kerjasama sivitas akademisi dengan dunia
duni indusri dalam menghasilkan lulusan
yang mampu menghadapai pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang telah
berlangsung.

Panitia seminar bersyukur dengan terlaksananya seminar


seminar nasional ini. Dukungan dari
berbagai pihak terutama dari Pertamina Hulu Energi (PHE) telah memberikan bantuan yang
sangat berarti. Panitia juga berterimakasih kepada Bapak Rektor Unimal, Bapak Dekan
Fakultas Teknik, rekan-rekan
rekan dosen dan mahasiswa serta pihak PT. Pupuk Iskandar Muda
yang telah memberikan
berikan dukungan yang besar untuk terlaksananya seminar ini. Terimakasih
juga kami ucapkan kepada para pemakalah baik dari dalam
dalam maupun dari luar Aceh yang
telah hadir dan menyumbangkan makalahnya pada seminar
seminar nasional ini. Akhirnya kami
panitia memohon maaf apabila dalam pelaksanaan seminar
semi ini masih terdapat kekurangan
dan kesilapan selama berlangsungnya acara.

Lhokseumawe, 17 Oktober 2016

Dr. Lukman Hakim, ST. M.Eng


SUSUNAN ACARA
SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH 2016

08.00-08.30 : Registrasi
08.30-10.10 : Pembukaan
- Pembacaan Al-Quran
- Tari Persembahan & Paduan Suara
- Kata Sambutan:
Ketua Panitia Seminar, Ketua Jurusan Teknik Kimia, Dekan
Fakultas Teknik, Rektor Universitas Malikussaleh
- Doa
- Coffe Break
10.10-11.35 : Pemateri Utama
- Ir. H. Musthofa (Komisaris Utama PT. Pupuk Iskandar Muda)
- Prof. Ir. Husni Husin (Teknik Kimia Universitas Syiah Kuala)
- Dr. Bahruddin, MT. (Teknik Kimia Universitas Riau)
11.35-11.45 : Sesi Photo Bersama
11.45-14.00 : Isoma
14.00-17.30 :Seminar Paralel
17.30-18.00 : Penutup
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

DAFTAR ISI
Halaman

Kata Sambutan Ketua Jurusan Teknik Kimia Universitas Malikussaleh .................. ii

Kata Pengantar Ketua Panitia ..................................................................................... iii

Susunan Acara ............................................................................................................ iv

Daftar Isi ..................................................................................................................... v

No Judul Artikel / Pengarang

Energi Terbarukan
ET-01 Desain dan Uji Kehandalan Konverter Kit Untuk Mesin Diesel 1
Berbahan Bakar Ganda Biogas Metana dan Biosolar
(Imron Rosyadi, Yuhelsa Putra, Dewi Murni )
ET-02 Optimasi Proses Pembuatan Biodiesel dari Minyak Biji Jarak 11
Kepyar (Ricinus communis L.) dengan Metode Ekstraksi Reaktif
(Wawan Setiawan, Azhari, Novi Slyvia)
ET-03 Pemanfaatan Limbah Kaleng Minuman Aluminium Untuk Produksi 22

Gas Hidrogen Menggunakan Katalis Kalium Hidroksida (KOH)

(Lentina Sitohang, Lukman Hakim, Fikri Hasfita)

ET-04 Pemanfaatan Limbah Aluminium Foil Untuk Produksi Gas Hidrogen 36


Menggunakan Katalisnatrium Hidroksida (NaOH)
(Lukman Hakim, Intan Marsalin)
ET-05 Optimasi Proses Pembuatan Biodiesel Biji Jarak Pagar (Jatropha 51
Curcas L.) Melalui Proses Ekstraksi Reaktif
(Retno Atika Putri, Azhari Muhammad, Ishak)
ET-06 Pemanfaatan Limbah Kaleng Minuman Aluminium sebagai Penghasil 67
Gas Hidrogen Menggunakan Katalis Natrium Hidroksida (NaOH)
(Sri Wahyuni, Lukman Hakim, Fikri Hasfita)
ET-07 Pengaruh Penggunaan Elpiji Sebagai Bahan Bakar Terhadap Unjuk 79
Kerja Motor Bahan Bakar Bensin
(Asnawi, Adi Setiawan)
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Material dan Komposit


MK-01 Karakterisasi Material Campuran Sio2 Dan Getah Flamboyan 88

(Delonix Regia) Sebagai materialcoating Pencegah Korosi Pada Baja

(Agus Rochmat, Bima Purama Putra, Ela Nuryani, Marta Pramudita)


MK-02 Pengaruh Komposisi Campuran dan Waktu Tahan Reduksi Bijih 99
Besi Kabupaten Merangin Menggunakan Reduktor Batubara
(Soesaptri Oediyani, Susi Maya Sari)

MK-03 Pengaruh Suhu dan Waktu Reaksi Pada Pembuatan Kitosan Dari 118
Tulang Sotong (Sepia officinalis)
(Etty Centaury Siregar, Suryati, Lukman Hakim )
MK-04 Pembuatan Plazore Dari Plastik Bekas Dengan Media Minyak
Jelantah Dan Aplikasi Sebagai Perendam Bunyi 127
(Milawarni, Saifuddin)

MK-05 Uji Mekanik Komposit Berpenguat Serat Pandan Duri dan Resin 140
Polyester Dengan Variasi Komposisi Metoda Fraksi Berat
(Muhammad, Reza Putra )

MK-06 Pembuatan Lembar Hidrogel Dari Kitosan, Madu, gelatin, dan 150
kappa karagenan sebagai material pembalut luka
(Dhena Ria Barleany, Ifo Triyuni, M. Aryo bimantoro)

MK-07 Pengaruh perbedaan kepolaran pelarut pada Ekstraksi Resin dari 162
Buah Jernang (Dragon Blood) metode masearasi untuk penentuan
kualitas resin jernang sesuai SNI 1671:2010
(Saifuddin, Nahar dan Selvie Diana)
MK-08 Pengaruh Suhu Dan Konsentrasi Naoh Pada Pembuatan Kitosan 179

Dari Tulang Sotong (Sephia Officinalis)

(Hayati Putri Melati Ginting , Suryati, Meriatna)

MK-09 Analisa Pengujian Mekanis Komposit Serat Rami 192

(Edy Yusuf,Zulmiardi)
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
MK-10 Efektifitas Proses Aop Berbasis H2O2 Dalam Menghilangkan 203

Warna Air Gambut Berdasarkan Parameter Konsentrasi Zat Organik

(Elfiana, Anwar Fuadi)

MK-11 Penguatan Sifat Mekanis Dan Biodegradability Pati Sagu Termoplastik 220

Termodifikasi (Modified Thermoplastic Starch) Dengan Penambahan

Kitosan Dan Pemlastis Gliserol

(Rozanna Dewi, Nasrun, Eddy Kurniawan, Maulita Rizki and Fatimah)

MK-12 Efektivitas Suhu Dan Waktu Distilasi Terhadap Komposisi Kimia 236
Asap Cair Dari Tempurung Kemiri
(Sulhatun, Nasrun, Cut Putri)
MK-13 Pemanfaatan Limbah Serat Ampas Tebu (Saccharum Officinarum) 251
Sebagai Bahan Baku Genteng Elastis
(Mis Ariska AJ Rambe, Fiqhi Fauzi,SitiKhanifa)

Optimasi Proses dan Simulasi


OPS-01 Analisa Profil Aliran Fluida Ammonia Cair Dalam Tubular 266
Reaktor Dengan Menggunakan Metode Computational
Fluid Dinamics (Cfd)
(Amiruddin, Azhari, Wusnah)
OPS-02 Optimasi Kondisi Operasi Pada Sistem Adsorpsi Besi (Fe2+) 282

Menggunakan Kolom Fix Bed Secara Kontinyu

(Novi Sylvia, Fikri Hasfita, Meriatna , Fitriani, dan


Malasari Nasution )
OPS-03 Kendali Proses Grate Cooler Plant 8 Grate1, Pt. Indocement 293
Tunggal Prakarsa Tbk
(Heri Haryanto,Ahmad Taslim)
OPS-04 Analisa Distribusi Temperatur Alat Penukar Kalor Jenis 321

Shell And Tube Dengan Menggunakan Metode Computational

Fluid Dynamic (CFD)

(Lilis Hasibuan, Nasrul ZA, Wusnah)


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
OPS-05 Sintesis Membran Silika/Alumina Untuk Memisahkan Oksigen 331

Dari Udara Dengan Metode Sol-Gel

(Ratna Sari , Ratni Dewi , Muhammad Yunus , Zulfayani )

OPS-06 Kaji Eksperimental Film Evaporative Dan Humidifikasi 338


pada kolektor pelat datar
(Zulfikar, Muhammad, Teuku Hafli, Zulkarnein)
OPS-07 Analisa Pengaruh Jarak Antar Baffle Terhadap Perpindahan Panas 347

Pada Alat Penukar Kalor Jenis Shell And Tube Dengan Menggunakan

Metode Simulasi Computational Fluid Dynamic (Cfd)

(Muhammad Jayanta Bangun, Nasrul ZA, Azhari)

Pengolahan Produk Pangan dan Pengolahan Limbah


PP-01 Pengaruh Temperatur Lingkungan Terhadap Produksi biogas di 364

tpsa bagendung kota cilegon

(Caturwati, Agung Sudrajat, Heri Haryanto, Mekro Permana,

Aminullah M)

PP-02 Biosorpsi Logam Berat Kromium Heksavalen Menggunakan 372

Biomassa Tongkol Jagung Yang Teraktifasi Naoh

Pada Limbah Artifisial

(Cut Nur Fitriani, Meriatna, Fikri Hasfita)

PP-03 Penyisihan Zat Warna Methyl Violet Menggunakan 387


Kulit Kacang Tanah
(Fikri Hasfita, Lenni Maulinda, Riska Sabila)

PP-04 Efektifitas Elektroda Aluminium Untuk Penjernihan 398


Air Sumur Dengan Metode Elektrokoagulasi Sistem Kontinyu
(Suryati, Radhiah, Rachmawati)
PP-05 Kinetika Adsorpsi Pb(Ii) Dalam Air Sumur Tercemar 411

Menggunakan Sistem Kolom dengan Bioadsorben kulit kacang tanah

(Halim Zaini, Muhammad Sami)


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
PP-06 Klasifikasi Kematangan Buah Pepaya Menggunakan Ekstraksi warna 427
Dengan metode K-Means Clustering
(Eliyani,M.Basyir, Siti Amra )
PP-07 Kinerja Membran Nanofiltrasi Dari Selulosa Asetat Dalam 441
Menurunkan Kadar Garam Pada Air Bersalinitas Menengah:
Tinjauan Terhadap Proses Pembuatan Membran
(Sofyana, Cut Meurah Rosnelly, Hisbullah)
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

DESAIN DAN UJI KEHANDALAN KONVERTER KIT UNTUK MESIN


DIESEL BERBAHAN BAKAR GANDA BIOGAS METANA DAN
BIOSOLAR

Imron Rosyadi(1), Yuhelsa Putra(1), Dewi Murni (1)


Jurusan teknik mesin Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Jend. Sudirman km3 Cilegon, Indonesia.42435
E-mail: imron_hrs@yahoo.co.id

Abstrak

Dalam upaya mengurangi penggunaan bahan bakar biosolar. Penulis melakukan


penelitian, untuk menguji performa mesin diesel dengan bahan bakar dual fuel.
Pada system dual fuel ini menggunakan Gas Heater kit converter. Gas metana
merupakan produk biogas dihasilkan dari fermentasi eceng gondok. Tujuan dari
penelitian ini adalah Menguji kemampuan Gas Heater kit Konverter untuk
mensuplai bahan bakar biosolar dan gas metana kemesin diesel dari sisi
performa mesin dan nilai ekonomisnya. Pada pengujian mesin diesel dual
fuel dilakukan pada varian kecepatan 700,1000 dan 1300 rpm dengan tanpa
pembebanan. Pada pengujian bahan bakar ganda metana dan biosolar, supplai
biogas metana ke dalam ruang bakar mesin diesel didapat pada katalis konverter
tipe 3. Pada tipe ini metana dapat menggantikan biosolar sampai 80,23%.
Secara ekonomis, penggunaan bahan bakar biogas metana jauh lebih murah jika
dibandingkan dengan biosolar murni pada putaran yang sama. Misalkan pada
putaran 1300 rpm, penggunaan solar murni jika beroperasi dalam 1 hari
sebesar Rp.31.795,00. Sedangkan pada bahan bakar ganda biosolar gas metana
Rp. 8.406 ,00.

Kata kunci: Gas Heater koanverter, diesel dual fuel, Biogas, biosolar

1. Pendahuluan

Eceng gondok (Eichornia crassipes) merupakan salah satu polutan


biologis yang dapat mencemari ekosistem perairan. Berbagai upaya bisa
dilakukan untuk mengatasi pencemaran badan perairan oleh eceng gondok.
Diantaranya melalui pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan baku
pembuatan biogas. Biogas yang dihasilkan dari fermentasi eceng gondok
sekaligus bisa menjadi solusi alternatif untuk permasalahan keterbatasan energi
dari fosil yang keberadaannya semakin berkurang dan tidak dapat diperbaharui.


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Biogas yang dihasilkan dari eceng gondok juga ramah lingkungan dan bersifat
berkelanjutan. Patil et al., (2011) menyatakan bahwa penggunaan eceng gondok
sebagai substrat pembuatan biogas merupakan strategi pengendalian yang sangat
menguntungkan karena bersifat produktif. Eceng gondok selalu tersedia dan
terbarukan sehingga bisa dipanen setiap saat sesuai masa produksinya.
Mesin diesel berbahan bakar ganda (dual fuel) yaitu mesin diesel yang
ditambahkan bahan bakar lain pada proses pembakarannya. Prinsip dari mesin
diesel dual fuel yaitu bahan bakar gas ditambahkan melalui saluran hisap mesin
dengan menggunakan ruang pencampur (mixing chamber). Sedangkan bahan
bakar solar disemprotkan dengan pilot fuel . Pembatasan subsidi pada bahan bakar
minyak akhir-akhir ini banyak menimbulkan permasalahan terutama masyarakat
kalangan menegah kebawah yang keseharian usahanya menggunakan motor diesel.
Masyarakat banyak menggunakan mesin diesel sebagai alat bantu, seperti mesin
pompa air pertanian, traktor tangan pertanian, penggilingan padi, generator listrik,
dan mesin perahu nelayan.
Oleh sebab itu perneliti ingin mengembangkan system diesel berbahan
bakar ganda (dual fuel). yang menggunakan instrument katalis kit konverter yang
sederhana. Dengan meningkatkan kemampuan katalis kit konverter, diharapkan
dapat meningkatkan suplai penggunaan bahan bakar gas. Dengan demikian
penggunaan bahan bakar solar dapat ditekan setinggi mungkin.
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Menguji kemampuan Gas Heater kit
Konverter untuk mensuplai bahan bakar biosolar dan gas metana kemesin diesel,
hingga aliran maksimum tanpa terjadi detonasi. (2) Membandingkan konsunsi
massa biogas Biosolar, (3) Membandingkan karakteristik performa mesin diesel
dual fuel dengan menggunakan Gas Heater converter standar dengan modifikasi.
(4) Mengetahui dari segi nilai ekonomis.
2. METODOLOGI
2.1. Diagram alir Penelitian
Mesin diesel yang akan digunakan dalam percobaan ini yaitu mesin diesel
satu silinder dengan kapasitas mesin 7 Hp berbahan bakar solar (diesel oil).


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Gambar 1. Diagram alir Penelitian

Unit Gas Heater yaitu bagian utama dari konverter yang digunakan
untuk meningkatkan temperatur gas sebelum masuk keruang bakar, sehingga
diharapkan pembakaran dapan terjadi dengan sempurna untuk menghidari
terjadinya detonasi mesin.
Gas Heater dibuat menggunakan pipa-pipa tembaga dengan
pertimbangan nilai konduktivis termal tembaga cukup bagus serta mudah
ditemukan dipasaran.
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu unit motor diesel
dong feng 7 hp 2600 rpm. unit instrument rem block tunggal untuk pembenbanan.
Unit load cell beserta displainya, untuk indicator beban pengereman. Tachometer
digital, flow meter gas, dan thermometer beserta gelas ukur.
Untuk unit konverter dibuat dari selang gas, regulator dan klem klem
penghubung.
2.2 Prosedur penelitian
Tahap awal penelitian dimulai dari pembuatan Gas Heater ,dilanjutkan
dengan memodifikasi saluran hisap mesin. Untuk membuat ruang campur udara
dan gas.
Semua instrument diinstalasi menjadi satu, seperti sekema dibawah ini;


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

  
 




 

 
 

Keterangan Gambar:

1. Mesin Diesel, 2. Saluran hisap, 3. Poros output, 4. Preasure gauge, 5. Thermometer, 6.


Flowmeter gas, 7. Gas Heater kit, 8. Saluran buang, 9. Injector fuel nozzle, 10. Ruang
campur udara/Lpg, 11. Injector pump, 12. Gelas ukur, 13. Tabug gas, 14. High preasure
regulator gas.

Gambar 2. Skema instalasi alat

Pengujian dimulai dengan menyalakan mesin dengan pemanasan selama 15


menit. pada putaran stasioner 700 rpm, 1000 rpm dan 1300 rpm. Penambahan gas
metana dilakukan secara perlahan dengan tekanan 6 Psi pada putaran tersebut
tanpa terjadi detonasi. Kemudian dilakukan peningkatan laju aliran gas metana
dan diamati pada flow meter. Pengujian daya pengereman dilakukan dengan
pembebanan yang dilakukan dengan pengamatan melalui load cell display hingga
mesin berhenti beroperasi.

3. DATA HASIL UJI


3.1 Hubungan Putaran Awal Mesin Terhadap Kemampuan Penambahan
Metana dan Kenaikan Rpm
Dari total pengunaan bahan bakar (kg/h), maka solar murni secara umum
lebih besar jika dibandingkan dengan bahan bakar ganda (dual fuel). Seiring
dengan peningkatan putaran mesin, maka konsumsi bahan bakar solar juga
meningkat, akan tetapi penggunaan gas metana juga terjadi peningkatan.


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Grafik 1. Putaran mesin dan konsumsi bahan bakar

Besarnya konsumsi bahan bakar gas metana type ini disebabkan karena
desain konver kit yang dimodifikasi ( Type 3) memungkinkan gas metana dapat
menyerap kalor dengan baik pada pipa gas buang , sehingga temperatur gas akan
meningkat . Hal ini mengakibatkan tekanan pada saat masuk ke katup hisap juga
meningkat.

3.2 Besarnya Torsi Tercapai

Grafik 2. Putaran mesin (rpm) terhadap Nilai torsi yang tercapai

Besarnya torsi yang dicapai oleh mesin dihitung berdasarkan parameter gaya
pembebanan pada sistem rem blok tunggal. Jika dibandingkan dengan biosolar
murni, maka pada putaran yang sama torsi yang dihasilkan pada bahan bakar
ganda ini lebih besar. Semakin besar supplai gas metana yang masuk ke dalam
ruang bakar, maka kualitas pembakaran akan lebih sempurna.
Supplay bahan bakar gas yang menggantikan pemakaian biosalar cukup
besar. Hal ini disebabkan nilai oktana dari gas ini cukup tinggi, sehingga


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

memungkinkan gas metana yang dipasok ke dalam ruang bakar lebih maksimal
tanpa terjadinya detonasi.
3.3 Daya Mesin
Besarnya daya yang dicapai oleh mesin dihitung berdasarkan parameter
besarnya torsi yang tercapai. Besarnya torsi yang dihasilkan berbanding lurus
dengan daya mesin. Semakin besar putaran mesin, maka besarnya torsi juga
meningkat dan diikuti oleh peningkatan daya yang dihasilkan.

Grafik 3. Putaran mesin (rpm) terhadap Pencapaian daya mesin

3.4. Hubungan Penambahan Metana Terhadap Sfc


Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa semakin tinggi putaran mesin, maka
penggunaan bahan bakar spesifik / Specific fuel consumption (Sfc) cenderung
mengalami penurunan. Terjadinya hal tersebut karena pada sistem pembakaran
mesin diesel, Lpg menyumbang panas setelah pembakaran, sehingga sangat
membantu kerja mesin diesel. Kualitas pembakaran yang lebih sempurna
dikarenakan bahan bakar dan udara yang telah bercampur dengan baik sebelum
terjadi pembakaran. Hal ini sangat menguntungkan dimana pembakaran akan
lebih sempura. Fenomena ini terjadi seperti pada mesin otto yang memiliki
efesiensi thermal yang lebih besar dibandingkan dengan mesin diesel dikarenakan
kualitas pembakaran yang lebih sempurna.


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Grafik 4. Putaran Mesin terhadap Sfc

Secara umum, Katalis konverter kit Type 3 memiliki kemampuan performa mesin
yang paling baik, jika dibandingkan dengan type standar. Begitu juga dari
Konsumsi bahan bakar spesifik/ Sfc (kg/kWh), type ini, besarnya sfc lebih rendah
pada putaran 700 rpm, dan 1000 rpm. Akan tetapi pada putaran tinggi 1300 rpm,
nilai Sfc dari type standar lebih baik.

3.5. Pandangan dari segi ekonomis


Untuk mengetahui efek ekonomis yang akan dicapai mesin saat
menggunakan dual fuel. Maka dilakukan kalkulasi dari konsumsi bahan bakar
dengan factor harga dari bahan bakar itu sendiri. Data dikalkulasikan dengan
asumsi mesin beroperasi selama 24 jam. Data hasil kalkulasi dapat dilihat pada
grafik 6.
Jika harga biosolar Rp. 6900/liter [region III SERANG-Banten per-April
2015, sumber : http://pertamina.com/news-room dan harga Biogas metana adalah
Rp.0 dikarenakan dapat diperoleh secara gratis dengan memanfaatkan biomassa
eceng gondok. Maka besarnya biaya operasi yang dibutuhkan dalam 1 hari adalah


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Grafik 5. Pencapaian biaya operasi dalam waktu 1 jam

Jika dilihat dari nilai persentase perbandingan campuran biosolar dan


biogas metana dimana sangat sedikit sekali biosolar yang terpakai, bila
diperhitungkan dengan faktor ekonomis dimana tabung yang digunakan adalah
tabung gas Lpg 12kg yang bila dimasukkan biogas metana dengan tekanan 30bar
didapatkan 1kg gas metana dalam tabung.
Pada gambar 25 menunjukkan bahwa penambahan biogas metana
menurunkan biaya operasional mesin, pada katalis modifikasi tipe 3 diperoleh
biaya operasional yang lebih rendah di bandingkan dengan katalis standart.
Namun itu berimbang pada penurunan daya mesin. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa semakin tinggi putaran mesin, maka konsumsi bahan bakar gas metana
juga lebih besar. Hal ini sangat menguntungkan dari dilihat dari nilai
ekonomisnya. Akan tetapi berbanding terbalik dengan besarnya daya / BHP yang
dihasilkan, semakin besar supplay gas metana ke dalam mesin, maka performa
semakin menurun , akibat nilai kalor pembakaran yang dihasilkan juga menurun.

4. Kesimpulan
Setelah mengamati data- data hasil pengujian alat penukar panas (gas
heater) pada unit konverter kit mesin diesel dual fuel ini. Dapat di tarik beberapa
kesimpulan :
1. Penggunaan bahan bakar biogas metana dapat digunakan pada mesin diesel
berbahan bakar ganda ( solar + gas).

PROSIDING SNTK UNIMAL 2016


17 OKTOBER 2016

2. Pada pengujian bahan bakar ganda metana dan biosolar, supplai biogas metana
ke dalam ruang bakar mesin diesel tertinggi didapat pada katalis konverter
tipe 3. Pada tipe ini metana dapat menggantikan biosolar sampai 80,23%.
3. Jika bahan bakar biogas metana diasumsikan didapat secara gratis, maka biaya
operasi penggunaan bahan bakar solar akan lebih murah pada putaran yang
sama.
4. Secara ekonomis, penggunaan bahan bakar biogas metana jauh lebih murah
jika dibandingkan dengan biosolar murni pada putaran yang sama. Misalkan
pada putaran 1300 rpm, penggunaan solar murni jika beroperasi dalam 1 hari
sebesar Rp.31.795,00. Sedangkan pada bahan bakar biosolar gas metana Rp.
8.406 ,00.
5. Besarnya daya / BHP yang dihasilkan semakin menurun dengan semakin
besarnya supplay gas metana ke dalam mesin.

5. Saran
Perlu dilakukan sistem kontrol AFR agar dihasilkan komposisi udara dan
bahan bakar yang baik untuk pembakaran.

6. Daftar Pustaka
Sitompul, Cristian I. 2011. Pengujian Perbandingan Performa mesin Diesel
Berbahan Bakar Solar Dengan Mesin Diesel Berbahan Bakar campuran
(Solar-Kerosene). Fakultas Teknik Universitas Sumatra Utara, Medan
Rachmanto , Tri, ST., MSc. 2008. Konsumsi bahan bakar spesifik (SFCE) dan
efesiensi thermal mesin diesel idi bahan bakar ganda multi silinder solar-LPG
dengan variasi beban rendah bertingkat. Fakultas Teknik Universitas Mataram
Nurjaman, Jajang. 2014. Study Performa Motor Diesel Dengan Menggunakan
Bahan Bakar Biodiesel Minyak Goreng Bekas. Teknik Mesin UNTIRTA,
Cilegon-Banten
Pujo mulyanto, Imam. 2013. Kajian Mekanis Dan EkonomisPenggunaan Dual
Fuel System (LPG-Solar) Pada Mesin Diesel Kapal Nelayan Tradisional.
Teknik Perkapalan Universitas Diponogoro. Semarang


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Ponia , M.P. 2011. Exsperimental Investigation On Diesel Engine Performance


And Exhaust Emissions In An Lpg Diesel Dual Fuel. International Journal Of
Enviromental Science And Development
Tiwari, Deo Raj and Gompal p, Sinha. 2014. Performance And Emissions Study of
Diesel Dual Fuel Engine. International Journal of Enginering and Advanced
Technology (IJEAT)
Ehsan, Md and Buhyan, Shafiquzzaman. 2009. Dual Fuel Performance of a Small
Diesel Engine for Applications With Less Frequent Load Variations.
Interbational Journal of Mechanical & Mechatronic Enginering (IJMME-
IJENS)
Lampiran Drijen Migas


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

OPTIMASI PROSES PEMBUATAN BIODIESEL DARI


MINYAK BIJI JARAK KEPYAR (Ricinus communis L.)
DENGAN METODE EKSTRAKSI REAKTIF

Wawan Setiawan1, Azhari1, Novi Slyvia1


Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh
Kampus Bukit Indah Kec. Muara Satu, Aceh Utara - Fax (0645) 44450
Korespondensi: HP: 082361424626, e-mail: wawansetiawan280@yahoo.co.id

ABSTRAK
Biodiesel merupakan suatu bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan.
Dalam penelitian ini bahan baku yang digunakan dalam pembuatan biodiesel
adalah minyak Jarak kepyar (Ricinus communis L). Proses pembuatan biodiesel
yang digunakan adalah reaksi eksraksi reaktif, yaitu salah satu proses pembuatan
biodiesel dari minyak jarak kepyar dengan menggunakan pelarut etanol. Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari kondisi optimum proses
pembuatan biodiesel dari minyak jarak kepyar dengan menggunakan software
design expert 6.0.8 dengan metode response surface methogology (RSM) model
central composite design (CCD). Minyak jarak kepyar di esterifikasi terlebih
dulu. Adapun perbandingan mol yang digunakan (minyak : alkohol =
1:5,1:5.5,1:6), persen katalis = 0,95% dengan suhu reaksi 60 , 65 dan 70 .
Suhu optimum pada percobaan ini yaitu 65 dengan waktu reaksi 150 menit
mendapatkan yield sebesar 28.55%. Biodiesel yang dihasilkan dianalisa sifat
fisika dan kimia seperti densitas, flashpoint, dan yield.

Kata kunci : Biodiesel, minyak jarak kepyar, esterefikasi, optimum response


surface methodology

1. Pendahuluan
Biodiesel adalah bahan bakar minyak (BBM) yang dibuat dari bahan nabati
berupa lemak atau minyak untuk digunakan pada mesin diesel. Biodiesel
termasuk bahan energi yang dapat dipulihkan, karena dapat ditanam pada areal
kehutanan, pertanian, lahan rakyat dan lain-lain (Pakpahan, 2001).
Penggunaan biodiesel sebagai sumber energi alternatif memiliki banyak
keunggulan komparatif antara lain : ketersediaan sumber daya,


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

ketersediaan teknologi, keunggulan kualitas produk, memberikan dampak


positif terhadap ekonomi makro (devisa negara) dan ekonomi mikro seperti
penciptaan lapangan kerja baru dan peningkatan pendapatan masyarakat sekitar
lokasi bahan baku. Beberapa keunggulan kualitas biodiesel dibanding petrodiesel
(solar) adalah : resiko terbakar lebih rendah, kualitas pembakaran seimbang,
emisi gas toksid lebih rendah sampai nol, lebih mudah terurai scara biologis,
pengadaannya banyak melibatkan masyarakat dari kelompok kurang mampu
serta memberikan dampak positif pada konservasi tanah dan air (Sudradjat
dkk., 2003).
Tanaman jarak kepyar merupakan tanaman tahunan yang tahan kekeringan.
Tanaman ini juga mampu tumbuh dengan cepat dan kuat di lahan yang
beriklim panas, tandus, dan berbatu. Wilayah yang cocok sebagai tumbuhnya
adalah di dataran rendah hingga ketinggian 3000 mdpl. Tanaman ini dapat
memberikan nilai ekonomis karena bijinya menghasilkan minyak sebagai
bahan baku pembuatan biodiesel (Heyne, 1987). Penelitian tentang bahan bakar
alternatif biodiesel telah banyak dilakukan dengan memakai berbagai macam
minyak nabati. Misal Amerika Serikat, menggunakan minyak kedelai sebagai
bahan baku, di Eropa menggunakan rapeseed oil, dan di negara- negara tropis
menggunakan minyak kelapa dan minyak sawit (Knothe et al., 1997).
Jarak kepyar (R. communis) banyak digunakan pada industri kimia seperti pabrik
cat, vernis, pelumas, tinta cetak, pabrik kosmetik, parfum, farmasi, bubur kertas,
serta sebagai bahan baku industri nilon dan plastik (Osava, 2001).
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan dengan metode microwave
dimana kondisi optimum pada rasio 1:6 dan menghasilkan yield sebesar 92,67%
dengan waktu 10 menit. Densitas biodiesel yang dihasilkan sebesar 0,94 g/ml
(Dewi, 2015).

2. Tinjauan Pustaka
Minyak jarak kepyar (ricinus communis) berwarna kuning pucat, tetapi
setelah dilakukan proses refining dan bleaching warna tersebut hilang sehingga


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

menjadi hampir tidak berwarna. Minyak jarak kepyar (ricinus communis) ini
tidak mudah tengik. Minyak jarak kepyar (ricinus communis) larut dalam
alkohol, eter, klorofom, dan asam asetat glasial. Minyak jarak kepyar (ricinus
communis) tidak larut dalam minyak mineral. Minyak jarak kepyar (ricinus
communis) hampir keseluruhan berada dalam bentuk trigliserida, terutama
resinolenin dengan asam risinoleat sebagai komponen asam lemaknya (Weiss,
1983). Biji jarak kepyar terdiri dari 75 % kernel ( daging biji ) dan 25 % kulit
dengan komposisi sebagai berikut: adapun komposisi biji jarak kepyar dapat
dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1. Komposisi Biji Jarak Kepyar
Komponen Jumlah (%)
Minyak 54
Karbohidrat 13
Serat 12.5
Abu 2.5
Protein 18
(Sumber : Ketaren, 1986).
Adapun kandungan dari jarak kepyar dapat dilihat pada Tabel 2.2
Tabel 2.2. Kandungan Asam Lemak pada Minyak Jarak Kepyar
Komponen Jumlah (%)
Asam risiloneat 85
Asam oleat 8.5
Asam linoleat 3.5
Asam stearat 0.5-2.0
Asam dihidroksi stearat 1-2

Reaksi transesterifikasi disebut juga dengan reaksi alkoholisis. Alkohol


yang biasa digunakan dalam rekasi tranesterifikasi adalah metanol. Proses
transestrifikasi dengan menggunakan katalis basa mampu mencapai 98 % konversi
dengan waktu reaksi minimum. Berikut ini adalah tahap-tahap reaksi
transesterifikasi yang dapat dilihat pada Gambar 2.5 dan 2.6.


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Katalis
Trigliserida + ROH Digliserida + Etil Ester
Katalis
Digliserida + ROH Monogliserida + Etil Ester
Katalis
Monogliserida + ROH Gliserin + Etil Ester

Gambar 2.5 Tahapan-tahapan Reaksi Transesterifikasi (Syam, 2012)

CH2OCOR CH2OH RCOOC2H5

CHOCOR + 3C2H5OH CHOH + RCOOC2H5

CH2OCOR CH2OH RCOOC2H5


Trigliserida etanol gliserol etil ester
Gambar 2.6 Reaksi Pembentukan Etil Ester

Ekstraksi reaktif adalah proses yang melibatkan reaksi dan pemisahan


dilakukan secara bersamaan. Pemisahan fase dapat dilakukan secara alami dalam
sestem reaktif dengan menambahkan pelarut. Di dalam ekstraksi reaktif, alkohol
bertindak sebagai pelarut diproses ekstraksi dan sebagai reagent direaksi
transesterifikasi selama ekstraksi reaktif berlangsung. Oleh sebab itu alkohol
diperlukan dalam jumlah yang sangat banyak (Jairurob, 2013).

3. Metode Penelitian
3.1 Bahan dan Peralatan
Adapaun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji jarak
kepyar, KOH, etanol, hexane dan aquadest.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah erlenmeyer, beaker glass,
destilasi, labu leher tiga, magnetic stirrer, corong pemisah, kondenser dan hot
plate.


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

3.2 Prosedur Kerja


Penelitian dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap persiapan bahan, tahap
kedua adalah analisis hasil. Diambil biji buah jarak kepyar sudah tua kemudian
dibersihkan dan dikeringkan selanjutnya dihancurkan dengan ukuran  1 mm.
Kemudian biji dengan berat 200 gram yang telah dihasluskan dan dikeringkkan
tadi, dimasukan ke dalam labu leher tiga. Selanjutnya dimasukan 300 ml pelarut
n-hexane dan sejumlah etanol yang telah dilarutkan dengan KOH dengan kadar
katalis 0,95% ke dalam labu leher tiga. Kemudian campuran dipanasan dengan
suhu 60, 65 dan 70 selama waktu 100, 150 dan 200 menit dengan kecepatan
pengaduk 400 rpm.

4. Hasil dan Diskusi


Menurut Montgomery (Hidayat, 2012) Response Surface Methodology
(RSM) merupakan suatu metode gabungan antara teknik matematika dan teknik
statistika, digunakan untuk membuat model dan menganalisa suatu respon y yang
dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas (factor x) guna mengoptimalkan respon
tersebut. Hubungan antara respon y dan variabel bebas x adalah sebagai berikut:
y = f (x1, x2, ...., xk) + ! (4.1)
Dimana :
y = variabel respon
x1, x2,......xk = variabel bebas/faktor
! = error
Dikarenakan bentuk fungsi respon f yang sebenarnya tidak diketahui, maka
harus ada pendekatannya. Perkiraan model didasarkan pada observasi dari proses
atau sistem sehingga dapat membentuk model empirisnya. Jika respon yang
diharapkan diasumsikan sebagai E(y) = f (x1, x2,...., xk) = ", maka
permukaannya dilukiskan oleh " = f(x1, x2, ...., xk) yang disebut permukaan
respon. Umumnya response surface ditampilkan secara grafik dan untuk
membantu visualisasi dari bentuk permukaan plot sering digunakan countur dari
permukaan respon. Garis countur yang terbentuk mempresentasi ketinggian


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

permukaan yang terbentuk.


Langkah pertama yang dilakukan adalah mencari bentuk hubungan antara
respon dengan perlakuannya. Bentuk hubungan linier merupakan bentuk
hubungan yang pertama kali dicobakan untuk menggambarkan hubungan tersebut.
Jika ternyata bentuk hubungan antara respon dengan perlakuan adalah linier maka
pendekatan fungsinya disebut first-order model (mode pertama), seperti yang
ditunjukkan dalam persamaan 1:
Y = !o +  (4.2)
Jika bentuk hubangannya merupakan kuadrat maka pendekatan fungsinya
disebut second-order model
Y= ! + 2
+ " !ij XiXj + # (4.3)
Keterangan :
Y = Respon Pengamatan
o
! = Intersep
!i = Koefisien linier
!ii = Koefisien kuadratik
!ij = Koefisien interaksi perlakuan
Xi = Kode perlakuan untuk faktor ke-i
Xj = Kode perlakuan untuk faktor ke-j
K = Jumlah faktor yang diujikan
Kemudian dari model orde kedua ditentukan titik stasioner, karakteristik
permukaan respon dan model optimasinya. RSM pada prinsipnya adalah teknik
yang meliputi analisis regresi dan desain eksperimen untuk menyelesaikan
masalah optimasi (Hidayat, 2012).
Menurut Sudjana (Hidayat, 2012) didalam RSM, dibutuhkan pencarian titik
optimum yang berulang-ulang pada desain yang digunakan untuk perpindahan
dari eksperimen orde pertama menuju eksperimen orde kedua.
Pencarian tersebut dilakukan jika pada eksperimen orde pertama terdapat
efek lengkungan, selanjutnya eksperimen orde pertama digantikan oleh
eksperimen orde kedua. Desain faktorial 2k dan desain fraksional faktorial 2k-p


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

adalah desain yang sesuai untuk mengestimasi model orde pertama. Uji
kelengkungan eksperimen orde pertama dilakukan dengan metode penambahan
titik pusat dengan ukuran nf dan nc dimana f menandakan desain faktorial dan
c menandakan titik pusat.
Pada desain faktorial diberi kode - untuk level rendah dan + untuk level
tinggi, sedangkan titik pusat diberi kode 0. Misalkan yf adalah rata-rata sampel
faktorial dan yc adalah rata-rata sampel pada titik pusat. Selisih dari yf yc dapat
digunakan untuk menguji adanya lengkungan kuadrat. Apabila nilai yf yc kecil,
maka titik pusat berada atau dekat pada bidang yang dilewati titik faktorial, dan
pada bagian tersebut tidak terdapat lengkungan kuadrat. Sebaliknya jika yf yc
besar, maka disana terdapat lengkungan kuadrat.

Tabel 4.1 Data hasil penelitian menggunakan Response Surface Methodology.


Variabel Bebas Variabel Terikat
Suhu Waktu Perbandingan mol Yield
Run minyak:
C Menit %
1 65.00 150.00 etanol
6.00 28.51
2 65.00 150.00 6.00 28.51
3 65.00 200.00 6.00 17.24
4 65.00 150.00 6.00 28.51
5 65.00 100.00 6.00 19.25
6 60.00 150.00 6.00 19.12
7 65.00 150.00 6.00 28.51
8 65.00 150.00 6.00 28.51
9 67.97 179.73 5.70 17.25
10 62.03 120.27 6.30 19.35
11 62.03 120.27 5.70 16.55
12 67.97 179.73 6.30 20.18
13 67.97 120.27 6.30 23.57
14 65.00 150.00 6.00 28.51
15 65.00 150.00 6.50 28.51
16 65.00 150.00 5.50 18.35
17 62.03 179.73 6.00 19.53


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

18 70.00 150.00 6.00 26.55


19 62.03 179.73 5.70 17.35
20 67.97 120.27 5.70 17.58

4.1 Interaksi antara suhu dan waktu


waktu
Grafik tiga dimensi yang menunjukkan interaksi antara suhu dan w
dapat dilihat pada Gambar 4.1

Gambar 4.1 Interaksi Antara Suhu dan Waktu

Gambar 4.1 menunjukkan interaksi antara suhu dan waktu, dimana titi
titik
 dan lamanya berlangsung reaksi selama 150
maksimum yang diperoleh yaitu 65
menit dengan jumlah konversi yield sebanyak 28.51%, sedangkan titik minimum
 dan lamanya reaksi 120 menit dengan konversi 16.55%
terletak pada suhu 62
Suhu reaksi mempengaruhi kecepatan reaksi transesterifikasi dala
dalam
pembentukan biodiesel. Pada umumnya reaksi transesterifikasi dilakukan
di pada
suhu 60 65  pada tekanan atmosfer. Kecepatan reaksi akan meningkat sejal
sejalan
dengan kenaikan temperatur, yang berarti
berarti semakin banyak energi yang dapat

PROSIDING SNTK UNIMAL 2016


17 OKTOBER 2016

digunakan reaksi untuk mencapai energi aktivasi, sehingga akan menyebabkan


meny
semakin banyak tumbukan terjadi antara molekul-molekul
molekul molekul reaktan.

4.2 Interakssi antara perbandingan mol dan suhu


Berikut adalah grafik tiga dimensi yang menunjukkan interaksi aantara
perbandingan mol dengan suhu.

Gambar 4.2 Interaksi Antara Perbandingan Mol dan Suhu


Gambar 4.2 menunjukkan interaksi antara perbandingan mol dan suhu,
dimana titik maksimum yang diperoleh berada pada perbandingan mol
m reaktan
1:6 dan suhu 65  dengan jumlah konversi yield sebanyak 28.51%, sedangkan
perbandingan mol 1:5.7 pada suhu 62 
titik minimum terletak pada kondisi perbandingan
dengan konversi yield sebanyak 16.55%. Dengan demikian, suhu yang paling
berpengaruh pada ekstraksi reaktif dengan menggunakan katalis KOH yaitu pada
suhu 65 . Pada reaksi transesetrifikasi, penggunaan suhu yang tidak tepa
tepat
te dapat
mengakibatkan reaksi tidak sempurna dan menyebabkan berkurangnya kkonversi
bergeser ke
yield biodiesel. Penggunaan suhu yang tepat mengakibatkan reaksi berges
menignkatnya
arah kanan (produk), peningkatan laju reaksi ini disebabkan oleh menig
konstanta aksi yang merupakan fungsi dari temperatur. Rea
tanta laju reaksi Reaksi
Re
transesterefikasi merupakan reaksi reversible, maka pada kondisi
kondi suhu yang tinggi
kesetimbangan bergeser ke arah kiri (dekomposisi produk).


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

4.3 Interaksi antara waktu dan perbandingan mol


Grafik tiga dimensi yang menunjukkan interaksi antara waktu dan
perbandingan mol dapat dilihat Gambar 4.5

Gambar 4.3 Interaksi Antara Waktu dan Perbandingan Mol

Gambar 4.3 menunjukkan interaksi antara perbandingan mol dan suhu,


dimana titik maksimum yang diperoleh berada pada perbandingan mol reaktan 1:6
berlagsung selama 150 menit, dengan jumlah konversi yield sebanyak 28.51%.
pada kondisi perbandingan mol 1:5.7 dengan
sedangkan titik minimum terletak pada
lama waktu reaksi yaitu 120 menit, yield yang diperoleh sebanyak 16.55%.

5. Simpulan
berdas rkan model yang diperoleh, hasil respon (va
Dari perhitungan berdasarkan (variabel
terikat) yield biodiesel 28.55%.
Kondisi minimum didapat pada kondisi perbandingan mol 1:5.7 suhu 62 
dengan konversi yield 16.55%.


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

6. Daftar Pustaka
Desy. C .D. 2015. Produksi Biodiesel Dari Minyak Jarak (Ricinus Communis)
Dengan Microwave. Program Studi Teknik Kimia. Fakultas Teknik.
Universitas Negeri Semarang.
Heyne.M. 1987. Biodiesel the Comprehensive Handbook. Australia
Hidayat, J. (2012). Optimasi Pelilinan Dan Suhu Penyimpanan Buah
ManggisMenggunakan Response Surface Methodology (RSM). Bogor. IPB.
Jairurob, Ponsak, Chantaraporn Phalakornkule, Anamai Na-udom, Anurak
Petiraksakul, Reactive Extraction of After-Stripping Sterilized Palm Fruit
to Biodiesel, Fuel 107, Hal: 282 - 289, 2013.
Knothe, G., Dunn, R. O., and Bagby, M. O., 1997, Biodiesel: The Use of
Vegetable Oils and Their Derivatives as Alternative Diesel Fuels, Fuels and
Chemicals from Biomass, ACS Symposium Series, V, 666.

Osava, M., 2001, The Castor-Oil Plant: Ricinus Communis Is The BestSource
For Creating Biodiesel, Energyin Castor Bean, Tierramerica.
Pakpahan. 2001. Mengenal Biodiesel. Jakarta : UI Press.
Sudrajat,M. 2003. Biodiesel Alternatif Substitusi Solar Yang Menjanjikan Bagi
Indonesia. Lembaran Publikasi Lemigas No 1/95.


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

PEMANFAATAN LIMBAH KALENG MINUMAN ALUMINIUM UNTUK


PRODUKSI GAS HIDROGEN MENGGUNAKAN KATALIS KALIUM
HIDROKSIDA (KOH)

Lentina Sitohang1, Lukman Hakim1, Fikri Hasfita1


1
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh
Laboratorium Teknik Kimia, Jl. Batam No. 2, Bukit Indah, Lhokseumawe 24353
e-mail : lentinasitohang536@gmail.com

Abstrak

Permintaan gas H2 sebagai sel bahan bakar (fuel cell) semakin besar, bahkan
diperkirakan bahwa gas H2 ini akan dijadikan sumber energi terbarukan pada
masa yang akan datang. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk
memproduksi gas hidrogen dari limbah kaleng minuman aluminium dengan
katalis kalium hidroksida (KOH). Metode yang digunakan pada penelitian ini
adalah reaksi kimiawi antara aluminium sebanyak 0.5 g, 1 g, 1.5 g, dan 2 g
dengan larutan KOH pada konsentrasi yang berbeda-beda (2 N, 3 N, 4 N, 5 N,
dan 6 N) masing-maing sebanyak 25 mL selama 60 menit. Dari hasil penelitian
diperoleh volume dan yield gas hidrogen tertinggi yaitu pada 2 gram aluminium,
KOH 6 N sebesar 2,025.10-3 m3 dan 7,23 %. Konversi aluminium menjadi produk
tertinggi diperoleh pada 0,5 gram aluminium, KOH 6 N sebesar 86,97 %.

Kata Kunci: Limbah kaleng minuman, Aluminium, KOH, Hidrogen, Yield,


Konversi.

1. Pendahuluan

Kaleng yang terbuat dari aluminium biasanya digunakan oleh industri


minuman ringan (soft drink) sebagai kemasan dari minuman tersebut. Contohnya,
PT. Coca-cola Amatil Indonesia yang memproduksi minuman coca-cola dengan
kapasitas 30.000 botol/jam pada tahun 2014 dan bahkan saat ini perusahaan
tersebut sedang mengincar produksi 450.000.000 Liter dari sebelumnya (Galih,
2015). Salah satu cara teknologi yang dapat dikembangkan untuk mengolah
limbah kemasan kaleng minuman bekas (soft drink) tersebut adalah dengan cara
daur ulang. Karena daur ulang merupakan salah satu cara pengelolahan limbah

22
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

yang sangat efisien dalam menghasilkan suatu produk yang mempunyai nilai
ekonomis serta ramah lingkungan.
Kaleng minuman aluminium pada umumnya di bagian dalamnya mempunyai
lapisan plastik yang tipis, bagian luarnya biasanya dilapisi oleh cat tipis. Pelapisan
ini harus dihilangkan sebelum reaksi-reaksi kimia dengan logam dapat terjadi.
Berikut reaksi pembentukan gas hidrogen pada pembuatan alum dari aluminium:
2Al (s) + 2 (aq) + 6H2O (liq)  2Al  (aq) + 3H2 (g) .................... (1)
Pembentukan gas hidrogen diperoleh dalam pembuatan alum (tawas) dari
aluminium, secara teoritis didasarkan pada sifat amfoter dari hidroksida
aluminium. Jika logam aluminium direaksikan dengan larutan KOH dengan
konsentrasi tertentu, maka tahap pertama akan terjadi endapan hidrolisa
aluminium (Louis, 1963). Siregar (2010) menarik kesimpulan bahwa gas hidrogen
dapat diproduksi dari limbah aluminium foil atau limbah kaleng minuman
menggunakan katalis basa dengan hasil produksi hidrogen optimum yang
diperoleh adalah sebesar 0,006 gram dari 0,05 gram limbah aluminium
(aluminium foil). Penelitian tentang produksi H2 dari kaleng bekas dilanjutkan
oleh Agus dan Jajang (2014) dengan mereaksikan kaleng bekas dengan air
menggunakan soda api dan hidrogen berhasil dimanfaatkan sebagai suplement
bahan bakar mesin diesel pada sistim dual fuel menghasilkan pengurangan
konsumsi solar paling tinggi mencapai 52%.
Seiring dengan perkembangan teknologi, permintaan gas H2 semakin besar
terutama untuk bahan bakar tidak berpolusi, sel bahan bakar (fuel cell), bahkan
diperkirakan bahwa H2 ini akan dijadikan sumber energi terbarukan pada masa
yang akan datang. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk memproduksi
gas hidrogen dari limbah kaleng minuman aluminium dengan katalis kalium
hidroksida (KOH).

2. Tinjauan Pustaka

Hidrogen (bahasa Latin: hydrogenium, dari bahasa Yunani: hydro: air, genes:
membentuk) adalah unsur kimia pada tabel periodik yang memiliki simbol H dan

23
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

nomor atom 1. Pada suhu dan tekanan standar, hidrogen tidak berwarna, tidak
berbau, bersifat non-logam, bervalensi tunggal, dan merupakan gas diatomik yang
sangat mudah terbakar. Dengan massa atom 1,00794 dan
densitas 0,08988 g / L pada 0C (Henry, 1766). Adapun sifat kimia dari gas
hidrogen adalah gas hidrogen sangat mudah terbakar dan akan terbakar pada
konsentrasi serendah 4% di udara bebas. Hidrogen terbakar menurut persamaan
kimia:

2H2(g) + O2(g)  2H2O(l) + 572 kJ (286 kJ/mol) .............................. (3)

Perapuhan hidrogen dapat terjadi pada kebanyakan logam dan hidrogen sangat
larut dalam berbagai senyawa yang terdiri dari logam tanah nadir, logam transisi,
dan dapat dilarutkan dalam logam kristal maupun logam amorf (Khairunnisa,
2013). Hidrogen adalah unsur yang ditemukan oleh Hendry Cavendish (1731-
1810) dan merupakan unsur yang atomnya paling kecil dan ringan serta paling
banyak terdapat di alam semesta. Hidrogen bergabung dengan unsur-unsur dari
keluarga karbon (IVA), nitrogen (VA), oksigen (VIA), dan halogen (VIIA),
sebaik dengan Be, Mg, B, Al dan Ga membentuk hibrida kovalen. H2 (c)

mempunyai rapatan yang lebih tinggi daripada H2 (g) sehingga lebih efisien untuk
disimpan. Walaupun cairan, sudah tentu harus dipertahankan pada suhu rendah.
Salah satu sistem penyimpanan yang lebih menguntungkan ialah dengan
melarutkan H2 (g) dalam logam. Gas kemudian dapat dibebaskan dengan
pemanasan perlahan-lahan dari hibrida logamnya (Petrucci, 1985).
Logam-logam dalam golongan IA dan bagian bawah golongan IIA bersifat
begitu reaktif sehingga bahkan dengan air dapat bereaksi dan menghasilkan
hidrogen. Reaksi seperti ini hanya dihasilkan dengan aluminium, dengan adanya
senyawa alkali yang kuat, seperti NaOH atau KOH. Karena logam ini memiliki
lapisan pasif yang sangat tipis Al2O3 pada permukaannya yang mencegah
serangan langsung dari molekul air (Porciuncula, 2012). Reaksi antara aluminium
dengan KOH dengan konsentrasi tertentu menghasilkan gas hidrogen, dimana
tahap pertama akan terjadi endapan hidrolisa aluminium yang akan segera larut

24
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

sebagai komplek aluminat. Larutan aluminat ini juga menghasilkan produk


samping yaitu KAlO2 (tawas).
2Al (s) + 2KOH (aq) + 2H2O (l)  2KAlO2 (aq) + 3H2 (g) ........... (4)

Pemutusan Al (s) dalam KOH encer adalah contoh dari reaksi oksidasi-reduksi
atau reaksi redoks. Logam Al dioksidasi menjadi aluminium dengan bilangan
oksidasi +3 dan hidrogen dalam KOH atau dalam air. Hidrogen dapat dibuat atau
diperoleh dengan mereaksikan logam-logam dengan asam kuat dan dengan logam
aluminium yang direaksikan dengan basa kuat. Pada praktikum kali ini, pembuatan
gas hidrogen dilakukan dengan menggunakan KOH dan limbah kaleng minuman,
dimana KOH bertindak sebagai katalis yang mempercepat reaksi. Aluminium
merupakan logam yang berwarna putih abu-abu (silver) yang melebur pada 659 oC,
dan bila terkena udara akan teroksidasi pada permukaannya. Pembentukan
hidrogen ini terjadi menurut persamaan:
Alkaline solution

2Al + 6H2O 2Al (OH)3 + 3H2 .......................... (5)

Ada beberapa keuntungan menggunakan aluminium sebagai sumber utama


energi. Pertama, dengan produk Al(OH)3 dapat digunakan untuk memproduksi
garam aluminium lain untuk beberapa aplikasi, mulai dari pengolahan air (seperti
Al2(SO4)3 untuk penggunaan hidroksida dalam obat-obatan. Kedua, pemulihan
aluminium dari Al(OH)3 dapat dilakukan dengan elektrolisis atau proses lain yang
nyaman. Ketiga, aluminium dapat diperoleh dari bahan daur ulang, seperti
minuman atau bir ringan kaleng (Martnez dkk, 2005). Keempat, derajat yang
berbeda kemurnian logam dapat digunakan, sehingga paduan komersial bukan
paduan tinggi kemurnian murni atau dapat digunakan. Kelima, hidrogen yang
dihasilkan oleh reaksi (1) adalah murni; Oleh karena itu, dapat digunakan di
perangkat yang membutuhkan kemurnian tinggi, termasuk beberapa jenis sel
bahan bakar untuk perangkat elektronik portabel atau bahkan untuk aplikasi
mobile. Intinya alkali tersebut tidak dikonsumsi dalam reaksi dan bertindak
sebagai katalis, itu dapat dipulihkan sepenuhnya (Porciuncula, 2012).

25
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Adapun tahapan reaksi antara aluminium, KOH, dan air dalam U.S Department
of Energy (2008) adalah sebagai berikut:

2Al + 2KOH + 2H2O ! K2Al2O4 + 3H2 .................................... (6)

2Al + 6KOH + xH2O ! K6Al2O6 + xH2O + 3H2 ....................... (7)

2Al + 2 KOH + 6H2O ! 2KAl(OH)4 + 3H2 .............................. (8)

2KAl(OH)4 ! 2KOH + 2Al(OH)3 ............................................ (9)

Hidrogen merupakan salah satu energi alternatif terbarukan yang mendapatkan


perhatian untuk dikembangkan sebagai energi pengganti bahan bakar fosil. Energi
bahan bakar hidrogen mempunyai keuntungan yaitu lebih ramah lingkungan dan
lebih efisien. Suplai energi yang dihasilkan sangat bersih, karena hanya
menghasilkan uap air sebagai emisi selama berlangsungnya proses (Gupta, 2009).

3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui 2 tahap yaitu tahapan persiapan bahan baku
dan tahap penelitian. Kaleng minuman coca-cola bekas dibersihkan/ dihilangkan
terlebih dahulu catnya menggunakan amplas. Kemudian dipotong dengan ukuran
0,1 cm x 0,1 cm dan ditimbang dengan berat sampel divariasikan 0,5 gram, 1
gram, 1,5 gram dan 2 gram. KOH disiapkan dan diencerkan di dalam labu ukur
100 mL masing-masing dengan konsentrasi yang berbeda-beda yaitu 2 N, 3 N, 4
N, 5 N dan 6 N. Potongan aluminium dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Masing-
masing larutan KOH 2 N sebanyak 25 mL direaksikan dengan potongan
aluminium seberat 0,5 gram. Dipasangkan balon pada gelas erlenmeyer untuk
menangkap gas hidrogen yang terbentuk dalam waktu 60 menit menggunakan
stopwatch. Diamati suhu konstan pada 30C dan pengadukan pada 100 rpm.
Setelah mencapai waktu 60 menit, ikatkan balon menggunakan karet gelang.
Proses di atas diulangi kembali untuk berat aluminium 1 gram, 1,5 gram dan 2

26
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

gram. Semua proses di atas diulangi kembali pada konsentrasi 3 N, 4 N, 5 N, dan


6 N.
Sampel yang telah direaksikan dengan KOH tadi di dalam erlenmeyer, ditutup
dengan balon agar H2 masuk ke dalam balon. Sehingga dapat dihitung volume H2
di dalam balon dengan mengukur terlebih dahulu keliling balon dari berbagai sisi
karena bentuk balon yang tidak simetris dan diperoleh keliling rata-rata balon dan
juga jari-jari rata-rata balon, tersebut menggunakan persamaan berikut:
K = 2.   ......................................................... (10)

V =  .......................................................... (11)

dimana :
K = Keliling balon rata-rata (cm)
R = jari-jari balon rata-rata (cm)
 = 22/7 atau 3,14
V = Volume H2 (cm)

Kemudian konversi dan yield gas hidrogen yang diperoleh dihitung dengan
menggunakan persamaan yang digunakan oleh Chirag and Pant (2011). Adapun
persamaan tersebut adalah:
a. Konversi (X) adalah perbandingan mol reaktan yang bereaksi dengan
mol reaktan yang masuk dan dihitung dengan persamaan berikut:

  
     (12)
b. Besarnya yield (Y) hidrogen (%) dari tiap-tiap variabel dapat
ditentukan dengan membandingkan berat (massa) atau mol produk
akhir (gas hidrogen) terhadap berat (massa) atau mol reaktan awal
(aluminium).

Y (%) =   ....................................................... (13)

Uji gas hidrogen dilakukan dengan penyulutan api terhadap gas H2 yang
dikumpulkan dalam balon. Uji ini untuk membuktikan bahwa gas yang dihasilkan
adalah gas H2 yang mempunyai titik nyala yang tinggi dan sangat mudah terbakar
(flameable). Pengujian juga dilakukan dengan cara menyulut/ membakar

27
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

langsung dari hasil reaksi antara aluminium dan api dengan bantuan KOH.

4. Hasil dan Diskusi

Pada umumnya, hidrogen dapat dihasilkan dari beberapa metode melalui


proses biologi, elektrolisis atau dengan reaksi kimiawi. Metode yang digunakan
pada penelitian ini ialah reaksi kimiawi antara potongan limbah kaleng minuman
coca-cola dengan larutan KOH pada konsentrasi yang berbeda-beda.

4.1 Pengaruh Konsentrasi KOH dan Berat Bahan Baku terhadap Volume H2
Untuk hasil volume gas hidrogen yang diperoleh telah dirangkum dalam Tabel
4.1 berdasarkan konsentrasi katalis dan berat bahan baku.
Tabel 4.1 Hasil Volume Gas H2
Konsentrasi KOH Berat Bahan Baku Volume H2 Volume H2
(N) (gram) (cm3) (m3)
0,5 483,4 4,843.10-4
2 1 756,3 7,563.10-4
1,5 877,2 8,772.10-4
2 1173,6 1,174.10-3
0,5 503,6 5,036.10-4
3 1 863,2 8,632.10-4
1,5 1234,6 1,235.10-3
2 1410,7 1,411.10-3
0,5 559,1 5,591.10-4
4 1 905,8 9,058.10-4
1,5 1334,6 1,335.10-3
2 1743,8 1,744.10-3
0,5 569,6 5,696.10-4
5 1 964,7 9,647.10-4
1,5 1410,7 1,411.10-3
2 1869,4 1,869.10-3
0,5 602,0 6,020.10-4
6 1 987,4 9,874.10-4
1,5 1479,6 1,480.10-3
2 2025,5 2,025.10-3
Pada konsentrasi 2 N dengan berat bahan baku 0,5 gram diperoleh volume gas
hidrogen sebesar 4,843.10-4 m3, pada 1 gram diperoleh sebesar 7,563.10-4 m3,
pada 1,5 gram gas hidrogen yang diperoleh sebesar 8,772.10-4 m3 dan pada 2 gram
diperoleh gas hidrogen sebesar 1,174.10-3 m3. Gambar 4.1 di bawah ini dapat

28
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

dilihat bahwa semakin besar konsentrasi KOH maka semakin besar pula volume
gas hidrogen yang diperoleh, dan sesuai dengan hasil penelitian Porciuncula dkk
(2012). Efek perpindahan massa ini adalah hasil dari interaksi kompleks antara
pengendapan Al(OH)3 pada logam dan pergerakan gelembung hidrogen melalui
lapisan pasivasi dan KOH. Selain itu, hal ini juga dikarenakan larutan KOH
membantu Al mengikat dari H2O dan membentuk KAl(OH)4, dan
melepaskan H2, seperti yang telah disimpulkan oleh Kumar dan Surenda, (2013).
2.000.E-03
Volume Hidrogen (m3)

1.500.E-03 0.5 gram Al

1 gram Al
1.000.E-03
1.5 gram Al

2 gram Al
5.000.E-04

0.000.E+00
0 1 2 3 4 5 6 7

Konsentrasi KOH (N)

Gambar 4.1 Hubungan Konsentrasi KOH (N) dan Volume Hidrogen (m3)
Jumlah bahan baku juga dapat mempengaruhi volume gas hidrogen yang
diperoleh seperti yang terlihat pada Gambar 4.1 di atas bahwa semakin besar
jumlah bahan baku maka semakin besar pula gas hidrogen yang diperoleh.
Kemungkinan hal ini terjadi karena perubahan bilangan oksidasi aluminium dan
hidrogen. Al membentuk ion   berarti bilangan oksidasinya berubah dari
nol menjadi +3. Sedangkan bilangan oksidasi H dari +1 menjadi nol. Berarti baik
dalam asam maupun basa, reaksi redoks yang terjadi sebagai akibat dari sifat
keamfoteran Al, ternyata perubahan bilangan oksidasinya sama.

4.2 Pengaruh Konsentrasi KOH dan Berat Bahan Baku terhadap Yield H2
Yield perlu dihitung untuk mengukur derajat sampai dimana reaksi yang
diinginkan berjalan relatif terhadap reaksi pesaing alternatif (reaksi yang tidak
diinginkan).

29
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Tabel 4.2 Hasil Analisa Yield H2


Konsentrasi Katalis Berat Bahan Baku Yield H2
(N) (gram) (%)
0,5 1,54
2 1 2,40
1,5 2,78
2 3,72
0,5 1,64
3 1 2,82
1,5 4,03
2 4,60
0,5 1,88
4 1 3,04
1,5 4,48
2 5,86
0,5 1,97
5 1 3,34
1,5 4,88
2 6,47
0,5 2,15
6 1 3,52
1,5 5,28
2 7,23
Hubungan antara konsentrasi KOH dengan yield hidrogen yang
dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 4.2 berikut.
8.00
7.00
6.00
Yield H2 (%)

0.5 gram Al
5.00
4.00 1 gram Al
3.00 1.5 gram Al
2.00
2 gram Al
1.00
0.00
0 1 2 3 4 5 6 7

Konsentrasi KOH (N)

Gambar 4.2 Hubungan Konsentrasi KOH (N) dan Yield H2 (%)


Pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa 0,5 gram potongan limbah kaleng minuman
dengan KOH 2 N dihasilkan gas hidrogen sebesar 1,54 %, pada KOH 3 N dengan
jumlah berat bahan baku yang sama diperoleh gas hidrogen 1,64 %, pada KOH 4
N diperoleh gas hidrogen sebesar 1,88 %, pada KOH 5 N diperoleh gas hidrogen

30
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

sebesar 1,97 %, dan pada KOH 6 N diperoleh gas hidrogen sebesar 2,15 %.
Semakin besar konsentrasi KOH maka yield hidrogen yang diperoleh semakin
tinggi, seperti yang terlihat pada Gambar 4.4. Hal ini terjadi dikarenakan semakin
cepat reaksi KOH mengikat aluminium dan oksigen dari air sehingga semakin
banyak gas hidrogen yang terlepas dari air tersebut.
Pada konsentrasi KOH yang sama, semakin besar jumlah bahan baku maka
semakin besar juga yield yang dihasilkan dan secara stoikiometri hal ini adalah
benar. Pada konsentrasi 2 N dengan berat bahan baku 0,5 gram diperoleh gas
hidrogen sebesar 1,54 %, pada 1 gram diperoleh sebesar 2,40 %, pada 1,5 gram
gas hidrogen yang diperoleh sebesar 2,78 % dan pada 2 gram diperoleh gas
hidrogen sebesar 3,72 %. Peningkatan yield tersebut dapat terjadi dikarenakan
dari senyawa air banyak diikat oleh aluminium dan melepaskan gas
hidrogen.

4.3 Pengaruh Konsentrasi KOH dan Bahan Baku terhadap Konversi Al


Untuk hasil konversi aluminium yang diperoleh telah dirangkum dalam Tabel
4.3 berdasarkan konsentrasi katalis dan berat bahan baku.
Tabel 4.3 Hasil Analisa Konversi Al
Konsentrasi Katalis Berat Bahan Baku Konversi Al
(N) (gram) (%)
0,5 50,60
2 1 39,07
1,5 26,49
2 18,99
0,5 63,78
3 1 50,42
1,5 40,55
2 33,94
0,5 72,80
4 1 60,80
1,5 51,06
2 42,34
0,5 77,31
5 1 71,29
1,5 65,02
2 57,14

31
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

0,5 86,97
6 1 82,11
1,5 72,66
2 65,01
Pada konsentrasi KOH 2 N dengan berat bahan baku 0,5 gram
potongan aluminium yang terkonversi sebesar 50,60 %, pada KOH 3 N
sebesar 63,78 %, dengan berat bahan baku yang sama pada KOH 4 N
konversi sebesar 72,80 %, pada KOH 5 N sebesar 77,31 %, dan pada
KOH 6 N konversi sebesar 86,97 %. Untuk hubungan konsentrasi KOH
dan jumlah bahan baku yang divariasikan dengan konversi aluminium
menjadi produk dapat dilihat pada Gambar 4.3 berikut.

100
90
80
Konversi Al (%)

70
60
50 0,5 gram Al

40 1 gram Al
30 1,5 gram Al
20 2 gram Al
10
0
0 1 2 3 4 5 6 7
Konsentrasi KOH (N)

Gambar 4.3 Hubungan Konsentrasi KOH (N) dan Konversi (%)


Semakin besar konsentrasi KOH yang digunakan dalam penelitian ini, maka
semakin besar konversi aluminium yang diperoleh seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 4.5 di atas. Hal tersebut dikarenakan KOH merupakan katalis reaktif yang
dapat merusak lapisan oksida (Al2O3) pelindung pada permukaan aluminium serta
membantu Al mengikat dari H2O dan membentuk KAl(OH)4 serta
melepaskan H2. Katalis cair yang digunakan adalah ion yang mendorong
terjadinya reaksi sehingga semakin besar katalis yang digunakan maka semakin
banyak ion yang mendorong terjadinya reaksi sehingga konversi semakin besar
(Okvitarini dkk, 2013).

32
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Gambar 4.3 juga menunjukkan bahwa semakin besar jumlah bahan baku yang
dicampurkan dalam reaksi maka konversi yang dihasilkan semakin renda
rendah.
re Pada
konsentrasi
entrasi KOH yang sama yaitu pada 2 N dengan berat bahan baku 0,5 gr
gram
potongan
an aluminium diperoleh konversi sebesar 50,60 %, pada 1 gram diper
diperoleh
dip
konversi
ersi sebesar 39,07 %, pada 1,5 gram diperoleh konversi sebesar
sebes 26,49 %, dan
pada 2 gram potongan aluminium dengan konsentrasi
konsentrasi KOH yang sama dip
diperoleh
konversi
ersi sebesar 18,99 %.
Gas hidrogen yang diperoleh dapat juga dibuktikan dengan pembakar
pembakaran
(disulut dengan api), karena hidrogen bersifat sangat mudah terbakar dan akan
terbakar pada konsentrasi serendah 4% di udara bebas (Khairunnisa, 2013). Sifat
gas hidrogen yang mudah terbakar itu juga dibuktikan dalam penelitian
peneli ini ddan
dapat dilihat pada Gambar 4.4 berikut.

Api

Reaksi

Potongan
Kaleng

Gambar 4.4 Pembakaran Gas Hidrogen dalam Botol


Gambar 4.4 di atas telah cukup membuktikan bahwa gas hidrogen
bersifat mudah terbakar dan dalam penelitian ini gas hidrogen
hidrogen tersebut telah
terbentuk. Karena berdasarkan persamaan teoritis dalam reaksi,
reaksi, hanya gas
hidrogen
n lah yang bersifat sangat mudah terbakar.

33
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

5. Simpulan

1. Gas hidrogen dapat diproduksi dari campuran aluminium, air dengan


bantuan KOH sebagai katalis.
2. Volume gas hidrogen paling besar diperoleh pada konsentrasi 6 N dengan
berat bahan baku 2 gram yaitu sebesar 2,025.10-3 m3.
3. Yield gas hidrogen tertinggi diperoleh pada konsentrasi 6 N dengan berat
bahan baku 2 gram yaitu sebesar 7,23 %.
4. Konversi Al menjadi produk baik produk utama maupun produk samping,
diperoleh konversi tertinggi pada konsentrasi 6 N dengan berat bahan baku
0,5 gram yaitu sebesar 86,97 %.

6. Daftar Pustaka

Agus, W. dan Jajang, J. 2014. Pemanfaatan Hidrogen Hasil Reaksi Water


Replacement Berbahan Baku Kaleng Bekas Untuk Bahan Bakar Mesin
Diesel Sistim Dual Fuel. Pekanbaru: Politeknik Caltex Riau

Chirag, D. D., and Pant, K. K. 2011. Renewable Hydrogen Generation by Steam


Reforming of Glycerol Over Zirconia Promoted Ceria Supported
Catalyst. Journal Renewable Energy xxx (1-8).

Galih, G. 2015. Coca-cola Incar Produksi 450 Juta Liter Minuman di Indonesia.
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150331174226-92-
43310/coca-cola-incar-produksi-450-juta-liter-minuman-di-indonesia/
diakses 19 Desember 2015.

Gupta, R. B. 2009. Hydrogen Fuel Production, Transport, and Storage. CRC


press, USA, 17-29

Henry, C. 1766. Papers Containing Experiments on Factitious Air. Philosophical


Transactions (The University Press) 56: 141184.

Khairunnisa. 2013. Hidrogen dan Golongan IV A. Bandung: Universitas


Pendidikan Indonesia.

Kumar, S., Surendra, K. S. 2013. Role of Sodium Hydroxide for Hydrogen Gas
Production and Storage. USA: Florida International University

Louis, M, Ed. 1963. Handbook of Analytical Chemistry. New York: McGraw-


Hill, New York.

34
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Martinez, S. S., Benitesa, W.L., Gallegosa, A., Sebastian, P. J. 2005. Recycling of


Aluminium to Produce Green Energy. Solar Energy Mater Solar Cell
88:237-243

Okvitarini, N., Makrufah, H. I., Hantoro, S., dan Widayat. 2013. Pembuatan
Biodiesel dari Minyak Goreng Menggunakan Katalis KOH dengan
Penambahan Ekstrak Jagung. Semarang: Universitas Diponegoro.

Petrucci, R. H. 1985. General Chemistry. Principles and Modern Application


Fourth Edition. San Bernadino: Collier Macmilan,Inc.

Porciuncula, C. B., Marcilio, N. R., Tessaro, I. C., and Gerchmann, M. 2012.


Production of Hydrogen in the Reaction between Aluminium and
Waterin the Presence of NaOH and KOH. Federal University of Rio
Grande do Sul. Braz. J. Chem. Eng. Vol.29 No.2.
Siregar, Y. D. I. 2010. Produksi Gas Hidrogen dari Limbah Aluminium. Jurnal
Valensi. Volume 2, No. 1, 362-36

U.S Department of Energy. 2008. Reaction of Aluminium with Water to Produce


Hydrogen Version 1.0. United State of America.

35
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

PEMANFAATAN LIMBAH ALUMINIUM FOIL UNTUK


PRODUKSI GAS HIDROGEN MENGGUNAKAN KATALIS
NATRIUM HIDROKSIDA (NaOH)

Lukman Hakim1, Intan Marsalin1


1
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh
Laboratorium Teknik Kimia, Jl. Batam No. 2, Bukit Indah, Lhokseumawe 24535
e-mail : intanmarsyalin@gmail.com

Abstrak

Salah satu energi yang digunakan masyarakat adalah energi bahan bakar dari
fosil. Sebagaimana kita ketahui, bahan bakar fosil termasuk salah satu jenis
energi yang tidak dapat diperbaharui dan menghasilkan banyak emisi. Gas
hidrogen termasuk jenis enegi yang dapat diperbaharui dan tidak menimbulkan
emisi. Penelitian unsur hidrogen merupakan unsur terbanyak sehingga dapat
menjadi solusi sebagai bahan bakar utama pengganti bahan bakar fosil. Tujuan
penelitian ini adalah mengembangkan teknik daur ulang limbah aluminium foil
untuk menghasilkan gas hidrogen sebagai energi yang ramah lingkungan dan
dapat diperbaharui. Penelitian ini dilakukan dengan mereaksikan aluminium
foil dan air dengan katalis NaOH pada suhu 35. Dimana berat aluminium 1 gr,
serta konsentrasi NaOH yang divariasikan 2N, 3N, 4N, 5N dan 6N, dan waktu
reaksi 2 menit, 3 menit, 4 menit, dan 5 menit. Dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa volume hidrogen terbesar pada konsentrasi NaOH 6N dan waktu reaksi 5
menit yaitu 1,938 liter. Untuk konversi aluminium tertinggi pada konsentrasi
NaOH 6N dan waktu reaksi 5 menit yaitu 51,346%, sedangkan yield hidrogen
tertinggi pada konsentrasi NaOH 6N dan waktu reaksi 5 menit yaitu 6,229%.

Kata Kunci : Aluminium foil, Air, Energi Terbarukan, Hidrogen, Katalis,


Natrium Hidroksida (NaOH)

1. Pendahuluan
Krisis bahan bakar yang terjadi saat ini telah mengantarkan kita berfikir
kreatif untuk menciptakan energi alternatif terbarukan yang dapat diperbaharui
dan ramah lingkungan. Salah satu sumber energi alternatif yang ramah lingkungan
adalah gas hidrogen. Pembakaran gas hidrogen dapat menghasilkan energi yang
lebih tinggi yaitu sekitar 142 kj/g atau 3 kali lebih baik jika dibandingkan
hidrokarbon atau minyak bumi (Hafez et al., 2009). Gas hidrogen memiliki

36
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

berbagai keuntungan dibanding bahan bakar yang lain, yaitu hidrogen


adalah bahan bakar bersih (rendah polusi) yang memiliki kandungan energi tinggi
dan tidak berkontribusi dalam polusi atau emisi gas rumah kaca ke atmosfer pada
saat pembakaran. Selain itu, tidak menimbulkan penipisan lapisan ozon atau hujan
asam karena pembakarannya hanya menyisakan uap air dan energi panas di udara
(Kirtay, 2011).
Salah satu cara untuk menghasilkan hidrogen adalah dengan memanfaatkan
aluminium, produksi hidrogen dengan menggunakan aluminium beralkalin untuk
dijadikan fuel cell aluminium alkalin-udara yang ramah lingkungan. Aluminium
yang digunakan dapat berasal dari limbah aluminium foil atau limbah minuman
kaleng. Dalam jurnal Valensi Vol. 2 No. 1, Nop 2010 (362-367), telah dilakukan
penelitian oleh Yusraini Dian Inayati Siregar tentang produksi gas hidrogen dari
limbah aluminium menggunakan katalis basa dengan hasil produksi hidrogen
optimum yang diperoleh adalah sebesar 0,006 gram dari 0,05 gram limbah
aluminium (aluminium foil).
Selain memanfaatkan limbah aluminium foil (pembungkus makanan) untuk
produksi hidrogen, proses ini juga ramah lingkungan. Untuk itulah perlu
dilakukan penelitian produksi gas hidrogen dari limbah aluminium foil dengan
menggunakan katalis NaOH, untuk meningkatkan produksi gas hidrogen terutama
untuk bahan bakar tidak berpolusi, sel bahan bakar (fuel cell), bahkan
diperkirakan bahwa H2 ini akan dijadikan sumber energi terbarukan pada masa
yang akan datang.
Isu lingkungan global yang menuntut tingkat kualitas lingkungan yang
lebih baik, mendorong berbagai pakar energi untuk mengembangkan energi yang
lebih ramah lingkungan dan mendukung keamanan pasokan berkesinambungan.
Gas hidrogen (H2) mempunyai gravimetrik densitas energi yang tertinggi diantara
beberapa bahan bakar dan cocok untuk konversi energi tanpa menghasilkan emisi
karbon yang telah memberikan konstribusi pada polusi lingkungan dan perubahan
iklim. Gas hidrogen banyak digunakan untuk berbagai keperluan seperti bahan
untuk sel bahan bakar, bahan pembuat amoniak, dan sebagainya. Hal ini lah yang
menyebabkan permintaan konsumsi terhadap gas hidrogen meningkat. Menurut

37
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

teoritis bahwa gas hidrogen juga dapat terbentuk dari aluminium. Sehingga
dilakukan penelitian produksi gas hidrogen dari limbah aluminium foil dengan
memperhatikan variabel operasinya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memanfaatkan limbah aluminium
foil menjadi gas hidrogen dengan mereaksikan aluminium foil dengan basa, dan
mempelajari variabel-variabel yang mempengaruhi produksi gas hidrogen dari
aluminium foil bekas, diantaranya waktu reaksi, dan konsentrasi katalis.
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah memahami produksi gas
hidrogen dari aluminium foil yang dapat dijadikan sumber energi yang dapat
diperbaharui, memberikan pengetahuan mengenai teknologi dalam menghasilkan
energi terbarukan, dan sebagai bahan informasi kepada masyarakat akan
pemanfaatan limbah aluminium foil untuk produksi gas hidrogen.

2. Tinjauan Pustaka
Kemasan fleksibel adalah suatu bentuk kemasan yang bersifat lentur yang
dibentuk dari aluminium foil, film plastik, selopan, film plastik berlapis logam
aluminium (metalized film) dan kertas dibuat satu lapis atau lebih dengan atau
tanpa bahan thermoplastic maupun bahan perekat lainnya sebagai pengikat
ataupun pelapis konstruksi kemasan dapat berbentuk lembaran, kantong, sachet
maupun bentuk lainnya. Pemasaran kemasan ini akhir-akhir ini menjadi popular
untuk mengemas berbagai produk baik padat maupun cair. Dipakai sebagai
pengganti kemasan rigid maupun kemas kaleng atas pertimbangan ekonomis
kemudahan dalam handling. Bentuk alumunium foil dapat dilihat pada Gambar
2.1 dibawah ini (Departemen perindustrian, 2007).

Gambar 2.1 Aluminium Foil

38
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Limbah padat aluminium dibagi menjadi dua macam, yaitu limbah padat
aluminium primer seperti kaleng minuman ringan (soft drink) dan minuman bir
serta limbah padat aluminium sekunder seperti bingkai jendela dan pintu
aluminium. Limbah padat aluminium sekunder berbeda dengan kualitasnya
dengan limbah padat aluminium primer sehingga diperlukan perlakuan dan
pemeriksaan limbah padat aluminium sekunder sebelum didaur ulang. Daur ulang
aluminium adalah memproses kembali limbah aluminium (Suharto, 2011).

Karakteristik Aluminium
Aluminium merupakan unsur yang sangat reaktif sehingga mudah
teroksidasi. Karena sifat kereaktifannya maka Aluminium tidak ditemukan di
alam dalam bentuk unsur melainkan dalam bentuk senyawa baik dalam bentuk
oksida alumina maupun silikon. Sumber Aluminium yang sangat ekonomis adalah
bauksit. Bauksit adalah biji yang banyak mengandung Alumina (Al2O3) yakni 30
60 % serta 12 30 % adalah air. Makin banyak oksida besi yang mengotori
maka akan semakin gelap warnanya. Bauksit dapat berwarna putih, krem, kuning,
merah atau coklat dapat sekeras batu. Namun ada pula yang selembek tanah
lempung (Al2O3.4SiO2.2H2O). Paduan Aluminium mengandung 99% Aluminium
dan 1% mengandung mangan, besi, silikon, tembaga, magnesium, seng, krom, dan
titanium. Aluminium juga memiliki sifat yang lebih unggul dibandingkan dengan
sifat logam lain. Sifat-sifat Aluminium yang lebih unggul bila dibandingkan
dengan logam lain adalah sebagai berikut:
a. Ringan dengan massa jenis Aluminium pada suhu kamar (29oC) sekitar 2,7
gr/cm3.
b. Aluminium memiliki daya renggang 8 kg/mm3, tetapi daya ini dapat
berubah menjadi lebih kuat dua kali lipat apabila Aluminium tersebut
dikenakan proses pencairan atau roling. Aluminium juga menjadi lebih kuat
dengan ditambahkan unsur-unsur lain seperti Mg, Zn, Mn, Si.
c. Aluminium mengalami korosi dengan membentuk lapisan oksida yang tipis
dimana sangat keras dan pada lapisan ini dapat mencegah karat pada
Aluminium yang berada di bawahnya. Dengan demikian logam Aluminium

39
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

adalah logam yang mempunyai daya tahan korosi yang lebih baik
dibandingkan dengan besi dan baja lainnya.
d. Aluminium adalah logam yang paling ekonomis sebagai penghantar listrik
karena massa jenisnya dari massa jenis tembaga, dimana kapasitas arus dari
Aluminium kira-kira dua kali lipat dari kapasitas arus pada tembaga.
e. Aluminium adalah logam yang anti magnetis.
f. Aluminium adalah logam yang tidak beracun dan tidak berbau.
g. Aluminium mempunyai sifat yang baik untuk proses mekanik dari
kemampuan perpanjangannya, hal ini dapat dilihat dari proses penuangan,
pemotongan, pembengkokan, ekstrusi dan penempaan Aluminium
h. Aluminium mempunyai titik lebur yang rendah, oleh karena itu kita dapat
memperoleh kembali logam Aluminium dari scrap.

3. Metodologi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada Mei-Juni 2016 dan tempat penelitian
dilaksanakan di Laboratorium Teknik Kimia, Universitas Malikussaleh
(UNIMAL).
Dalam pelaksanaan penelitian pembuatan gas hidrogen, beberapa variabel
operasi yang digunakan yaitu:
a. Berat aluminium foil
b. Konsentrasi NaOH
c. Waktu reaksi

Prosedurnya adalah sebagai berikut: Limbah aluminium foil dibersihkan


terlebih dahulu, kemudian dikecilkan ukurannya sampai 0,1 cm x 0,1 cm dan
ditimbang dengan berat sampel 1 gram. NaOH disiapkan dan diencerkan masing-
masing 25 ml dengan konsentrasi yang berbeda-beda yaitu 2 N, 3 N, 4 N, 5 N dan
6 N. Potongan aluminium foil dimasukkan ke dalam labu leher tiga. Masing-
masing larutan NaOH direaksikan dengan potongan aluminium foil 1 gram.
Direaksi pada waktu 2 menit. Serta diamati suhu konstan pada 35C. Untuk
kandungan gas H2 yang dihasilkan dianalisis dengan metode penyulutan api.

40
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Proses diulangi untuk waktu reaksi 3 menit, 4 menit, dan 5 menit. Sampel yang
telah direaksikan dengan NaOH di dalam labu leher tiga ditutup dengan balon
agar H2 masuk ke dalam balon. Sehingga dapat dihitung volume H2 di dalam
balon, konversi Aluminium, yield hidrogen, dan pengujian gas hidrogen dengan
cara pembakaran.

4. Hasil dan Pembahasan


Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka data hasil pengamatan
didapat volume hidrogen yang diukur dengan metode balon dapat dilihat pada
Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Volume Hidrogen dari Limbah Aluminium Foil

Berat
Waktu Konsentrasi NaOH Volume Hidrogen
Run Aluminium
(menit) (N) (L)
(gr)
1 2 0,580
2 3 0,694
3 4 0,927
1 2
4 5 1,439
5 6 1,489
6 2 1,372
7 3 1.499
8 4 1,592
9 1 3 5 1,655
10 6 1,754
11 2 1,571
12 3 1,743
13 4 1,754
1 4
14 5 1,845
15 6 1,937
16 2 1,777
17 3 1,892
18 4 1,904
1 5
19 5 1,928
20 6 1,938

Dari Tabel 4.1 menunjukkan volume hidrogen yang tertinggi adalah pada
Waktu 5 menit dan konsentrasi NaOH 6N yaitu 1,938 liter. Untuk volume
hidrogen yang terendah pada waktu 2 menit dan konsentrasi NaOH 2N yaitu

41
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

0,580 liter. Hasil penelitian gas Hidrogen dari limbah aluminium foil untuk
konversi aluminium dan yield hidrogen dapat dilihat pada Tabel 4.2 dengan
variasi NaOH (2N, 3N, 4N, 5N dan 6N) dan waktu reaksi (2 menit, 3 menit, 4
menit, dan 5 menit).
Tabel 4.2 Hasil Penelitian Gas Hidrogen dari Limbah Aluminium Foil

Variabel bebas Variabel terikat


Run Konsentrasi Waktu Konversi Yield Hidrogen
NaOH (N) (menit) Alminium (%) (%)
1 2 34,090 1,719
2 3 36,121 2,097
3 4 37,459 2,859
4 5 2 39,546 4,529
5 6 40,750 4,786
6 2 35,693 4,065
7 3 38,074 4,531
8 4 39,442 4,909
9 5 3 40,937 5,209
10 6 42,632 5,640
11 2 40,643 4,656
12 3 41,740 5,270
13 4 42,216 5,411
14 5 4 42,917 5,807
15 6 51,239 6,228
16 2 42,543 5,267
17 3 44,202 5,720
18 4 44,496 5,873
19 5 5 50,168 6,066
20 6 51,346 6,229

Dari Tabel 4.2 menunjukkan bahwa konversi aluminium tertinggi pada


waktu 5 menit dan konsentrasi NaOH 6N yaitu 51,346%, sedangkan konversi
aluminium terendah pada waktu 2 menit dan konsentrasi NaOH 2N yaitu
34,090%. Untuk yield hidrogen tertinggi pada w a k t u 5 m e n i t d a n
konsentrasi NaOH 6N yaitu 6,229%, serta yield hidrogen terendah pada waktu
2 menit dan konsentrasi NaOH 2N yaitu 1,719%.

42
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Penelitian ini dilakukan dengan mereaksikan limbah aluminium foil


dengan katalis basa untuk menghasilkan gas hidrogen, katalis yang digunakan
adalah Natrium Hidroksida (NaOH). Natrium hidroksida (NaOH) adalah bahan
kimia berbentuk kristal putih padat yang apabila memasuki lingkungan akan
mudah bereaksi memecah dengan bahan kimia lain. Penggunaan natrium
hidroksida (NaOH) adalah sebagai katalisator yang berperan mempercepat
reaksi dengan aluminium. Katalis dapat menurunkan energi aktivasi sehingga
mampu meningkatkan laju reaksi agar reaksi kimia dapat mencapai
kesetimbangan, tanpa terlibat didalam reaksi secara permanen. Energi aktivasi
adalah energi minimum yang dibutuhkan sehingga partikel dapat bertumbukkan
dan menghasilkan reaksi.
Reaksi antara aluminium dan air dengan Natrium Hidroksida (NaOH)
untuk produksi hidrogen dapat ditunjukkan pada reaksi dibawah ini:
2Al + 6H2O + 2NaOH2NaAl(OH)4 + 3H2 ................................................ (4.1)
NaAl(OH)4  NaOH + Al(OH)3 ................................................................ (4.2)
Natrium hidroksida (NaOH) dikonsumsi untuk produksi hidrogen dengan
reaksi eksoterm (4.1) dan akan diproduksi ulang melalui reaksi dekomposisi
NaAl(OH)4. Reaksi (4.2) akan menghasilkan endapan kristal aluminium
hidroksida (Al(OH)3). Kombinasi dari dua reaksi diatas menunjukkan bahwa
hanya air yang dikonsumsi untuk produksi hidrogen jika dilihat dari reaksi
tersebut (Kumar dan Surendra, 2013).
Penggunaan natrium hidroksida (NaOH) adalah sebagai katalisator yang
berperan mempercepat reaksi dengan aluminium. Katalis dapat menurunkan
energi aktivasi sehingga mampu meningkatkan laju reaksi agar reaksi kimia
dapat mencapai kesetimbangan, tanpa terlibat didalam reaksi secara permanen.
Energi aktivasi adalah energi minimum yang dibutuhkan sehingga partikel dapat
bertumbukkan dan menghasilkan reaksi.
Dari reaksi (4.1) aluminium bereaksi dengan natrium hidroksida dan
air membentuk natrium aluminat (NaAl(OH)4) atau senyawa komplek

43
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

(NaAl(OH)4) kemudian bereaksi kembali pada reaksi dekomposisi (4.2)


menghasilkan aluminium hidroksida (Al(OH)3).
Pada saat potongan kecil limbah aluminium foil di masukkan kedalam labu
leher tiga yang berisi larutan natrium hidroksida terjadi gelembung-gelembung
pada potongan aluminium foil tersebut, selanjutnya gas yang dihasilkan
ditampung menggunakan balon. Untuk mengidentifikasi dan memastikan telah
dihasilkan hidrogen dalam reaksi yaitu dengan melakukan pengujian pembakaran
gas hidrogen seperti terlihat pada Lampiran C. Gas hidrogen sangat mudah
terbakar dan akan terbakar pada konsentrasi serendah 4% di udara bebas.
Karakteristik lainnya dari api hidrogen adalah nyala api cenderung menghilang
dengan cepat di udara, sehingga kerusakan akibat ledakan hidrogen lebih ringan
dari ledakan hidrokarbon (College Of Desert,2001).

4.1 Pengaruh Konsentrasi Natrium Hidroksida (NaOH) dan Waktu


Reaksi Terhadap Volume Gas Hidrogen
Konsentrasi sangat berpengaruh terhadap reaksi antara limbah aluminium
foil dengan larutan natrium hidroksida (NaOH), analisa kimia kuantitatif
digunakan untuk mendapatkan data mengenai produksi gas hidrogen dari limbah
aluminium foil dengan larutan natrium hidroksida (NaOH) tersebut dengan
konsentrasi (2N, 3N, 4N, 5N, dan 6N), jumlah aluminium 1 gr, dan waktu (2
menit, 3 menit, 4 menit, dan 5 menit). Pengukuran dilakukan untuk mengetahui
pengaruh konsentrasi natrium hidroksida terhadap volume gas hidrogen yang
dihasilkan. Konsentrasi atau kepekatan adalah perbandingan jumlah zat terlarut
terhadap jumlah larutan. Pengaruh konsentrasi terhadap laju reaksi adalah
semakin besar konsentrasi pereaksi atau semakin pekat pereaksinya maka
semakin cepat reaksi berlangsung. Dalam larutan yang konsentrasinya tinggi atau
larutan pekat maka makin banyak jumlah molekulnya. Banyaknya jumlah
molekul menyebabkan letak molekul yang lebih rapat dan berdekatan sehingga
molekul-molekulnya lebih mudah dan sering untuk bertumbukan. Itulah
sebabnya, makin besar konsentrasi suatu larutan, makin besar pula laju reaksinya.

44
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Berikut ini pengaruh konsentrasi terhadap volume gas hidrogen dengan


variasi konsentrasi ( 2 N , 3 N , 4 N , 5 N , d a n 6 N ) yang ditunjukkan pada
Gambar 4.1.






Volume (L)



 t=2 menit


t=3 menit

t=4 menit
 t=5 menit



    

Konsentrasi (N)

Gambar 4.1 Pengaruh Konsentrasi NaOH Terhadap Volume Gas Hidrogen

Pada penelitian ini jumlah aluminium foil ditetapkan sebanyak 1 gram


sedangkan konsentrasi NaOH di variasikan. Berdasarkan gambar 4.1 dapat dilihat
bahwa volume hidrogen semakin bertambah dengan kenaikan konsentrasi NaOH,
pada konsentrasi tertinggi yaitu 6N volume hidrogen yang dihasilkan lebih besar
dari konsentrasi 2N, 3N, 4N, dan 5N. Hal ini dapat disimpulkan bahwa dalam
penelitian ini semakin tinggi konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) volume
hidrogen makin bertambah. Ini dikarenakan larutan NaOH berfungsi
membantu aluminium mengikat OH- dari air membentuk NaAl(OH)4,
sehingga melepaskan hidrogen, seperti yang ditunjukkan pada reaksi (4.1)
dan (4.2) (Kumar dan Surenda, 2013). Dalam penelitian ini volume hidrogen
terbesar pada konsentrasi 6N yaitu 1,938 liter. Berdasarkan penelitian
Porciuncula dkk (2012) mengatakan produksi hidrogen dipengaruhi oleh suhu,
konsentrasi alkali, dan bentuk logam. Siregar (2012) mengatakan bahwa semakin

45
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

tinggi jumlah aluminium, maka gas hidrogen yang dihasilkan semakin besar,
sedangkan laju reaksi tertinggi pada konsentrasi NaOH tertinggi.
Pada penelitian juga dilakukan variasi waktu reaksi yaitu 2 menit, 3 menit,
4 menit, dan 5 menit, volume gas hidrogen akan bertambah dengan semakin
lamanya waktu reaksi. Dalam reaksi ini terbentuk gas H2 yang ditandai dengan
munculnya gelembung-gelembung gas. Setelah semua aluminium bereaksi
gelembung-gelembung gas akan menghilang dan larutannya berubah menjadi
warna abu-abu, besar konsentrasi dari katalis yang dalam hal ini adalah NaOH
maka waktu yang diperlukan untuk alumunium foil habis bereaksi adalah
semakin cepat. Sehingga untuk mendapatkan hasil maksimal gas hidrogen
dengan memperbanyak alumunium foil dan memperbesar konsentrasi katalisnya.
Dalam penelitian ini volume hidrogen terbesar pada waktu 5 menit dan
konsentrasi 6N yaitu 1,938 liter. Hal ini membuktikan bahwa semakin lama
waktu reaksi, maka volume gas hidrogen yang dihasilkan akan semakin banyak.
Apabila natrium hidroksida (NaOH) dimasukkan dalam air akan
memisahkan kation natrium (sodium atom bermuatan positif) dan anion
hidroksida (oksigen dan hidrogen atom bermuatan negatif). Ion OH- pada larutan
alkali tersebut dapat merusak lapisan oksida pelindung pada permukaan
aluminium serta menjadi promotor pada reaksi aluminium dengan air. Karena
kecenderungan aluminium mudah dioksidasi, reaksi aluminium dengan larutan
alkali tersebut menghasilkan senyawa komplek NaAl(OH)4 dan Hidrogen.

4.2 Pengaruh Konsentrasi Natrium Hidroksida (NaOH) dan Waktu


Reaksi Terhadap Konversi aluminium
Ketika reaksi antara aluminium dan air dibantu oleh NaOH, ion OH- pada
larutan alkali akan menjadi promotor dalam reaksi tersebut yang dapat merusak
lapisan oksida pelindung pada permukaan aluminium sehingga melepaskan
hidrogen, dan NaOH bertindak sebagai katalis yang akan meningkatkan laju
reaksi agar reaksi tersebut mencapai kesetimbangan (Kumar dan surendra, 2013).
Pengaruh konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) dan jumlah aluminium
terhadap konversi aluminium dapat dilihat pada Gambar 4.2.

46
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016




Konversi (%)


 

  
 
  


    

Konsentrasi (N)

Gambar 4.2 Pengaruh Konsentrasi NaOH Terhadap Konversi Aluminium Foil

Berdasarkan Gambar 4.2 pengaruh konsentrasi NaOH terhadap konversi


aluminium, semakin tinggi konsentrasi NaOH (2N, 3N, 4N, 5N, dan 6N) maka
konversi aluminium semakin tinggi. Konversi aluminium tertinggi pada
konsentrasi NaOH 6N dibandingkan dari konsentrasi NaOH 5N, 4N, 3N, dan 2N.
Hal ini dikarenakan pada konsentrasi NaOH yang lebih tinggi menunjukkan
jumlah NaOH lebih banyak. NaOH adalah sebagai katalis reaktif yang dapat
merusak lapisan oksida (Al2O3) pelindung pada permukaan aluminium serta
membantu aluminium mengikat OH- dari air membentuk NaAl(OH)4
sehingga melepas hidrogen. Dari penelitian diperoleh konversi tertinggi yaitu
51,346% pada konsentrasi 6N.
Sedangkan untuk waktu reaksi diperoleh konversi tertinggi pada waktu 5
menit dan konsentrasi 6N yaitu 51,346%, hal ini dikarenakan semakin lama
waktu reaksi, maka aluminium foil yang terkonversi akan semakin banyak. Dan
konversi terendah pada konsentrasi 2N dan waktu 2 menit yaitu 34,090%. Dari
hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan bertambahnya konsentrasi NaOH
dan waktu reaksi sangat mempengaruhi konversi aluminium.

47
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

4.3 Pengaruh Konsentrasi Natrium Hidroksida (NaOH) dan Waktu


Reaksi Terhadap Yield Hidrogen
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pengaruh konsentrasi
natrium hidroksida (NaOH) dan jumlah aluminium terhadap yield hidrogen
dapat dilihat pada Gambar 4.3.


  


 

 
  

  


    

Konsentrasi (N)

Gambar 4.3 Pengaruh Konsentrasi NaOH Terhadap Yield Hidrogen

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan berat aluminium foil 1 gram


dapat dilihat pada Gambar 4.3 bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH (2N, 3N,
4N, 5N, dan 6N) maka yield hidrogen yang dihasilkan semakin tinggi, dan
sebaliknya semakin rendah konsentrasi NaOH maka yield hidrogen yang
dihasilkan semakin rendah. Yield tertinggi pada konsentrasi 6N yaitu 6,229%,
begitu juga dengan variasi waktu reaksi, pada waktu terlama diperoleh yield
hidrogen tertinggi yaitu pada waktu 5 menit. Hal ini dapat disimpulkan dengan
bertambahnya konsentrasi dan waktu reaksi maka yield hidrogen akan semakin
bertambah. Pengaruh konsentrasi dapat diamati dalam persamaan laju reaksi,
dimana jika konsentrasi pereaksinya masing-masing dinaikkan maka laju
reaksinya pun semakin cepat dari laju awal.
Hal tersebut analog dengan peristiwa tumbukan antara larutan dengan
konsentrasi yang tinggi dengan larutan konsentrasi rendah. Pada konsentrasi

48
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

tinggi jumlah partikel terlarut yang banyak menyebabkan jarak antar partikel
menjadi lebih rapat dan kemungkinan untuk terjadinya tumbukan lebih besar
dibandingkan dengan larutan konsentrasi rendah. Sehingga yield yang dihasilkan
semakin besar karena dalam larutan yang konsentrasinya tinggi atau larutan pekat
maka makin banyak jumlah molekulnya. Banyaknya jumlah molekul
menyebabkan letak molekul yang lebih rapat dan berdekatan sehingga molekul-
molekulnya lebih mudah dan sering untuk bertumbukan. Itulah sebabnya, makin
besar konsentrasi suatu larutan, makin besar pula laju reaksinya. Besarnya laju
reaksi dapat meningkatkan yield hidrogen yang diperoleh.

5. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data maka dapat
diambil kesimpulan yaitu sebagai berikut:
1. Natrium hidroksida (NaOH) berfungsi sebagai katalis dalam reaksi
aluminium dengan air, serta membantu aluminium mengikat OH- dari
senyawa air membentuk NaAl(OH)4 sehingga melepaskan hidrogen.
2. Volume hidrogen tertinggi diperoleh pada waktu reaksi 5 menit dan
konsentrasi NaOH 6N yaitu 1,938 liter.
3. Konversi aluminium tertinggi terdapat pada berat aluminium 1 gr
dengan konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) 6N d a n waktu reaksi 5
menit yaitu 51,346%.
4. Yield hidrogen yang tertinggi terdapat pada berat aluminium foil 1 gr
dengan konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) 6N da n waktu reaksi 5
menit yaitu 6,229%.

6. Daftar Pustaka

Agus, W. dan Jajang, J. 2014. Pemanfaatan Hidrogen Hasil Reaksi Water


Replacement Berbahan Baku Kaleng Bekas Untuk Bahan Bakar Mesin
Diesel Sistim Dual Fuel. Pekanbaru: Politeknik Caltex Riau.

College Of The Desert. 2001. Modul 1 Hydrogen Properties. Hydrogen Fuel Cell
Engines and Related Technologies.http://www1.eere.energy.gov/

49
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

hydrogenand fuel cells/tech_validation/pdfs/fcm01r0.pdf (diakses pada 19


Februari 2016 pukul 22.30 WIB).

Douglas M. C. P. E. 1983. Scientific Encyclopedia. Australia: Van Mostran


Reinold Company.

Siregar, Y. D. I. 2010. Produksi Gas Hidrogen dari Limbah Aluminium. Jurnal


Valensi. Volume 2, No. 1, 362-36

Siregar, Y. D. I. 2012. Produksi Gas Hidrogen dari Limbah Aluminium dan Uji
Daya Listrik dengan Fuel Cell. Portal Garuda. Volume 2, No 5:573-580

Suharto. 2011. Limbah Kimia dalam Pencemaran Udara dan Air. Yogyakarta:
Andi Offset. Hal. 313-317, 321.

Takehito, H., Masato, T., Masaki, H., dan Tomohiro, A. 2005. Hydrogen
Production from Waste Aluminum at Different Temperatures with LCA.
Journal of Materials Transactions, Vol. 46, No. 5 pp 1052-1057.

50
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Optimasi Proses Pembuatan Biodiesel Biji Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.)
Melalui Proses Ekstraksi Reaktif

Retno Atika Putri1, Azhari Muhammad1, Ishak1


Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh
Laboratorium Teknik Kimia, Jl. Batam No. 2, Lhokseumawe 24353, Indonesia
email: retnoatikaputri@gmail.com1

ABSTRAK

Biodiesel merupakan suatu bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan.


Dalam penelitian ini bahan dasar yang digunakan dalam pembuatan biodiesel
biji jarak pagar. Proses pembuatan biodiesel yang digunakan adalah ekstraksi
reaktif, yaitu proses ekstraksi dan reaksi transesterifikasi, berjalan secara
simultan, dimana metanol memliki fungsi ganda, yaitu sebagai pelarut dan
sebagai reaktan. Pelarut yang digunakan pada penelitian ini adalah n-
heksana. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari kondisi
optimum proses pembuatan biodiesel dari Jatropha curcas L. seed (biji jarak
pagar) dengan menggunakan Software Design Expert V.6.0.8 metode Response
Surface Methodology (RSM) Box Behnken Design (BBD). Biji jarak pagar
sebanyak 200 gr, menggunakan pelarut CH3OH dan katalis KOH sebesar
0,8% w/w dengan perbandingan mol (minyak:alkohol) adalah 1:4, 1:5, 1:6,
suhu reaksi 55, 60 dan 65  dengan waktu reaksi adalah 60 menit, 120 menit
dan 180 menit. Berdasarkan hasil eksperimen diperoleh yield tertinggi sebesar
12,80% pada kondisi 120 menit pada suhu 60 dan perbandingan mol 1:5,
sedangkan Design Expert memberikan prediksi untuk memperoleh titik optimal
yaitu, pada kondisi suhu 60 perbandingan mol 1:5,03 dan lama reaksi
berlangsung adalah selama 131,92 menit dengan yield biodiesel sebesar 12,88%.

Kata kunci: Biodiesel, ekstraksi reaktif, minyak jarak pagar, Response Surface
Methodology, transesterifikasi.

1. Pendahuluan

Saat ini, bahan bakar fosil merupakan sumber energi secara global.
Namun, persediaan energi fosil seperti minyak, gas dan batubara di Indonesia
yang selama ini digunakan semakin menipis, dan akan diperkirakan habis pada
tahun 2025. Indonesia sedang mengalami krisis energi dan terpaksa harus impor
BBM dari negara asing, padahal Indonesia merupakan salah satu negara penghasil
minyak bumi di dunia. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan ini

51
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

diperlukan usaha-usaha untuk mencari bahan energi terbarukan (renewable


energy). Salah satu bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan dan berasal dari
sumber daya yang dapat diperbaharui adalah biodiesel.
Menurut American Society for Testing Materials (ASTM Internasional),
biodiesel didefinisikan sebagai mono-alkil ester rantai panjang asam lemak yang
berasal dari sumber yang terbarukan, yang digunakan untuk mesin diesel.
Biodiesel merupakan bahan bakar terbarukan, biodegradable, tidak beracun, dan
ramah lingkungan. Biodiesel menghasilkan emisi yang lebih rendah, memiliki
titik flash tinggi, daya pelumas yang lebih baik, dan cetane number tinggi.
Penggunaan biodiesel memiliki potensi untuk mengurangi tingkat polusi dan
kemungkinan karsinogen [Novalina, 2015].
Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan salah satu tanaman
yang berpotensi sebagai bahan bakar alami terbarukan. Tanaman ini sangat cepat
tumbuh dan struktur akarnya mampu menahan erosi, terutama apabila ditanam
dengan jarak yang sangat rapat. Biji jarak merupakan bagian dari tanaman jarak
pagar yang mengandung minyak cukup tinggi. Tanaman sejak lama dikenal
sebagai tanaman konservasi karena sifatnya yang sangat toleran terhadap jenis
tanah dan iklim.
Metode konvensional untuk memproduksi biodiesel dari minyak jarak dan
tipe lainnya terdiri dari beberapa tahap, yaitu ekstraksi minyak, purifikasi dan
reaksi esterifikasi atau transesterifikasi, proses ini merupakan proses yang
panjang. Metode pengolahan ini menghabiskan 70% dari total biaya produksi jika
refined oil digunakan sebagai bahan baku. Pengembangan ekstraksi reaktif
memiliki potensi untuk mengurangi biaya pengolahan dengan segala jenis bahan
baku. Hybrid atau proses simultan yang meng-kombinasikan reaksi dan proses
pemisahan adalah satu hal yang telah menerima banyak perhatian akhir-akhir ini
dikarenakan untuk menghemat biaya investasi dan energi dan beberapa hal lain.
Ekstraksi reaktif adalah proses yang melibatkan reaksi dan pemisahan dilakukan
secara bersamaan. Pemisahan fase dapat dilakukan secara alami dalam sistem
reaktif dengan menambahkan pelarut. Alkohol bertindak sebagai pelarut di proses

52
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

ekstraksi dan sebagai reagent pada reaksi transesterifikasi selama ekstraksi reaktif
berlangsung [Supardan, 2013]. Berdasarkan pemikiran yang telah dipaparkan,
maka penulis melakukan penelitian pembuatan biodiesel minyak jarak pagar
(Jatropha curcas L.) dengan menggunakan ekstraksi reaktif, sehingga metode ini
nantinya dapat dikembangkan untuk skala industri dan mampu meminimalkan
dampak lingkungan.

2. Tinjauan Pustaka

Tanaman jarak dapat tumbuh di tanah yang kering, mudah tumbuh dengan
cepat dan tanaman ini dapat menghasilkan biji selama 40 tahun. Tanaman jarak
ini mnghasilkan biji dengan kandungan minyak hingga 37%, hampir dua kalilipat
dibandingkan kedelai dan hampir sama dengan kandungan minyak pada camelina.
Minyak dari tanaman ini dapat diekstrak dari bijinya setelah 2 hingga 5 tahun
penanaman, tergantung kualitas tanah dan curah hujan [Honary, L.A.T, 2011].
Bunga tanaman jarak berwarna kuning kehijauan, berupa bunga majemuk
berbentuk malai, bermah satu. Buah berupa buah kotak berbentuk bulat telur,
diameter 2-4 cm, berwarna hijau ketika masih muda dan kuning ketika telah
masak. Buah jarak terbagi 3 ruang yang masing-masing ruang diisi 3 biji. Biji
berbentuk bulat lonjong, warna coklat kehitaman. Biji inilah yang banyak
mengandung minyak dengan rendemen sekitar 30-40%. Minyak jarak pagar
diperoleh dari biji dengan metode pengempaan panas atau dengan ekstraksi
pelarut. Minyak jarak pagar tidak dapat dikonsumsi manusia karena mengandung
racun yang disebabkan adanya senyawa ester forbol [Syah, 2006].
Biodiesel digunakan sebagai bahan bakar alternatif pengganti, sangat baik
bagi lingkungan, diproduksi dalam negeri dengan sumber daya alam untuk
mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar impor dan dapat memberikan
kontribusi untuk perekonomian negara [biodiesel.org, 2016]. Menurut American
Society of Testing Material bahwa biodiesel adalah bahan bakar alternatif yang
menjanjikan yang dapat diperoleh dari minyak tumbuhan, lemak binatang atau
minyak bekas melalui esterifikasi dengan alkohol. Sumber alkohol yang digunakan

53
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

dapat bermacam-macam. Apabila direkasikan dengan metanol, maka akan didapati


metil ester, apabila direaksikan dengan etanol akan diperoleh etil ester. Metanol
lebih banyak digunakan sebagai sumber alkohol karena rantainya lebih pendek,
lebih polar dan harganya lebih murah dari alkohol lainnya (Ma dkk., 2001).
Pembuatan Biodiesel
Pembuatan biodiesel dapat dilakukan dengan cara 2 langkah, yaitu
esterifikasi dan transesterifikasi. Proses esterifikasi bertujuan untuk menurunkan
kadar FFA minyak/lemak yang akan digunakan. Bahan baku minyak jarak dan
minyak jelantah harus mengandung asam lemak bebas dalam minyak serendah
mungkin (<1%). Adanya sedikit kandungan asam lemak bebas dalam reaktan
akan menyebabkan terbentuknya sabun dan akan menurunkan yield ester serta
mempersulit pemisahan pemisahan ester dan gliserol. Kehadiran asam lemak
bebas dalam minyak juga akan mengkonsumsi katalis sehingga menurunkan
efisiensi katalis. Transesterifikasi berkatalis basa akan efisien jika bahan baku
minyak berkemurnian tinggi (Rahmania, 2004).
Reaksi transesterifikasi disebut juga dengan reaksi alkoholisis. Alkohol
yang biasa digunakan dalam rekasi tranesterifikasi adalah metanol. Proses
transestrifikasi dengan menggunakan katalis basa mampu mencapai 98 %
konversi dengan waktu reaksi minimum. Berikut ini adalah reaksi pembentukan
metil ester dapat dilihat pada Gambar 1, sedangkan tahap-tahap reaksi
transesterifikasi yang ditampilkan dalam Gambar 2.

RCOOCH2 CH2OH

RCOOCH + 3 CH3OH 3 RCOOCH3 + CHOH

RCOOCH2 CH2OH

Trigliserida metanol gliserol metil etser

Gambar 1 Reaksi Pembentukan Metil Ester

54
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Katalis
Trigliserida + ROH Digliserida + Metil Ester
Katalis
Digliserida + ROH Monogliserida + Metil Ester
Katalis
Monogliserida + ROH Gliserin + Metil Ester

Gambar 2 Tahapan-tahapan Reaksi Transesterifikasi (Syam, 2012)

Reaksi di atas terjadi secara bertahap. Pada reaksi pertama adalah konversi
dari trigliserida menjadi digliserida, diikuti dengan digliserida menjadi
monogliserida, dan terakhir adalah monogliserida menjadi gliserol, menghasilkan
satu molekul metil ester dari setiap gliserida pada setiap tahap. Reaksi
transesterifikasi dilakukan menggunakan katalis basa kuat, yaitu KOH. Menurut
Encinar dkk. (1999), melaporkan bahwa dibandingkan dengan NaOH, kinerja
KOH sebagai katalis lebih unggul dimana produk metil ester yang dihasilkan
lebih banyak serta pemisahan produk metil ester dari gliserol lebih mudah.
Kombinasi antara katalis KOH dengan pelarut metanol dalam reaksi
transesterifikasi diharapkan dapat menghasilkan produk biodiesel yang maksimal.
Tujuan reaksi transesterifikasi adalah untuk menghilangkan secara utuh
kandungan trigliserida, titik didih, titik nyala, viskositas dari minyak yang
direaksikan, agar metil ester yang dihasilkan dapat digunakan pada mesin diesel
tanpa merusak atau merubah mesin diesel.

Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses pemisahan suatu zat berdasarkan perbedaan
kelarutan terhadap dua cairan yang tidak saling larut. Prinsip ekstraksi adalah
melarutkan minyak atsiri dalam bahan dengan pelarut organik yang mudah
menguap. Metode konvensional untuk memproduksi biodiesel dari minyak jarak
dan tipe lainnya terdiri dari beberapa tahap, yaitu ekstraksi minyak, purifikasi dan
reaksi esterifikasi atau transesterifikasi. Ini merupakan proses yang panjang
Metode pengolahan ini menghabiskan 70% dari total biaya produksi jika refined
oil digunakan sebagai bahan baku. Pengembangan ekstraksi reaktif memiliki

55
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

potensi untuk menrurangi biaya pengolahan sengan segala jenis bahan baku.
Hybrid atau proses simultan yang meng-kombinasikan reaksi dan proses
pemisahan adalah satu hal yang telah menerima banyak perhatian akhir-akhir ini
dikarenakan untuk menghemat biaya investasi dan energi dan beberapa hal lain.
Ekstraksi reaktif adalah proses yang melibatkan reaksi dan pemisahan
dilakukan secara bersamaan. Pemisahan fase dapat dilakukan secara alami dalam
sestem reaktif dengan menambahkan pelarut. Alkohol bertindak sebagai pelarut di
proses ekstraksi dan sebagai reagent di reaksi transesterifikasi selama ekstraksi
reaktif berlangsung. Oleh sebab itu alkohol diperlukan dalam jumlah yang sangat
banyak (Supardan, 2013).

3. Metode Penelitian

Adapun tahapan dalam melakukan penelitian ini meliputi persiapan bahan


baku, tahapan penelitian, dan tahap analisa. Biji buah jarak yang sudah tua
dibersihkan terlebih dahulu. Setelah itu dihancurkan, kemudian dikeringkan
hingga suhu 76 . Biji yang telah dihaluskan dan dikeringkan, ditimbang
sebanyak 200 gram dan dimasukkan ke dalam lab leher tiga (reaktor). Selanjutnya
600 ml pelarut n-heksana dan KOH yang telah dilarutkan dengan metanol
dimasukkan ke reaktor. Perbandingan mol 1:4 (minyak:metanol), metanol
sebanyak 40 ml dimasukkan ke dalam reaktor. Campuran dipanaskan pada suhu
55 . Campuran di-homogenkan dengan kecepatan pengadukan 400 rpm selama
1 jam.
Setelah ekstraksi reaktif selesai, peralatan pemanas dimatikan dan
campuran reaksi dikeluarkan dari reaktor. Campuran dipisahkan dengan proses
penyaringan menggunakan kertas saring, sedangkan residu yang tersisa dibuang.
Filtrat yang diperoleh di-destilasi hingga suhu 70 untuk menghilangkan pelarut
(n-heksana dan metanol) dari minyak. Minyak yang telah dipisahkan dari pelarut
dimasukkan ke dalam corong pemisah selama beberapa jam sehingga terlihat 2
lapisan, yaitu lapisan atas adalah metil ester dan lapisan bawah adalah gliserol.
Metil ester atau biodiesel yang telah diperoleh, dicuci dengan air hangat (suhu 50

56
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

) untuk menghilangkan residu katalis dan sabun. Gliserol merupakan produk


samping dari proses ini, maka gliserol dipisahkan dari biodiesel. Selanjutnya,
biodiesel dikeringkan untuk mengurangi kadar air, kemudian dilakukan analisa
hasil. Untuk variabel lain akan dilakukan dengan langkah-langkah yang sama
tetapi dengan mengubah variabel suhu, waktu reaksi dan perbandingan mol sesuai
dengan yang diinginkan. Biodiesel yang diperoleh diambil untuk dianalisa yield,
viskositas, densitas, moisture content, cloud point (F) dan pour point (F) dan
analisa komposisi kimia biodiesel.
Metode yang digunakan untuk merancang percobaan ini adalah RSM
(Metode Response Surface Methodology). RSM merupakan penggabungan teknik
matematika dan statistik yang berguna untuk permodelan dan analisis problem
yang mana respon yang diamati dipengaruhi oleh beberapa variabel dan bertujuan
untuk mengoptimalkan hasil penelitian ini.
Adapun diagram optimasi proses pembuatan biodiesel minyak jarak pagar
(Jatropha curcas L.) dengan menggunakan ekstraksi reaktif dapat dilihat pada
Gambar 3.

57
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

4. Hasil dan Diskusi


Penelitian ini di-desain dengan menggunakan Response Surface
Methodology (RSM) dengan software Design Expert V.6.0.8 Hasil penelitian
berupa yield biodiesel diperoleh dari hasil perhitungan data penelitian yang
dilakukan di Laboratorium Teknik Kimia Universitas Malikussaleh dan
Laboratorium Politeknik Negeri Lhokseumawe.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka data pengamatan proses
pembuatan biodiesel biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) melalui proses
ekstraksi reaktif dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Data hasil Penelitian Menggunakan Box Behnken Method

58
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Model kuadratik dipilih sebagai model permukaan respon aktivitas


terhadap mol rasio, suhu dan waktu berdasarkan hasil pengujian yang telah
dilakukan. Adapun model yang dihasilkan adalah bentuk persamaan matematis
yang disusun sebagai berikut:
Y1= 280,541 + 6,500 A 0,067 B + 40,278 C 0,0570 A2 0,001 B2
4,446 C2 + 0,0025 AB + 0,016 AC + 0,026 BC
Dimana: A = suhu
B = waktu
C = perbandingan mol

Variabel Bebas Variabel Terikat

Run
Suhu Waktu Perbandingan mol minyak: metanol Yield
C Menit Mol %
1 55,00 60,00 5,00 7,715
2 65,00 60,00 5,00 7,467
3 55,00 180,00 5,00 7,834
4 65,00 180,00 5,00 10,586
5 55,00 120,00 4,00 8,127
6 65,00 120,00 4,00 7,576
7 55,00 120,00 6,00 6,119
8 65,00 120,00 6,00 5,892
9 60,00 60,00 4,00 5,145
10 60,00 180,00 4,00 3,885
11 60,00 60,00 6,00 3,683
12 60,00 180,00 6,00 8,800
13 60,00 120,00 5,00 12,800
14 60,00 120,00 5,00 12,800
15 60.00 120,00 5,00 12,800
16 60,00 120,00 5,00 12,800
17 60,00 120,00 5,00 12,800
Y1 = yield biodiesel

59
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Keakuratan model tersebut dapat diketahui dari harga R-squared yaitu R2 =


0,9537. Berdasarkan nilai tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa nilai yield
biodiesel yang diperkirakan dengan model mendekati nilai yang diperoleh dari
hasil penelitian. Nilai R2 > 0,85 artinya model dapat diterima.

4.1 Interaksi Antara Suhu dan Waktu


Grafik tiga dimensi yang menunjukkan interaksi antara suhu dan waktu
dapat dilihat pada Gambar 4.

DESIGN-EXPERT Plot

Yield
X = A: Suhu
Y = B: Waktu

Actual Factor
C: Perbandingan Mol = 5.00
12.8807

11.4054

9.93004

8.45471
Yield

6.97938

180.00
65.00
150.00
62.50
120.00
60.00
B: Waktu 90.00 57.50
A: Suhu
60.00 55.00

Gambar 4 Interaksi Antara Suhu dan Waktu

Gambar 4 menunjukkan interaksi antara suhu dan waktu. Pada umumnya


reaksi transesterifikasi dilakukan pada suhu 6065 pada tekanan atmosfer.
Kecepatan reaksi akan meningkat sejalan dengan kenaikan temperatur, yang
berarti semakin banyak energi yang dapat digunakan reaksi untuk mencapai
energi aktivasi, sehingga akan menyebabkan semakin banyak tumbukan terjadi
antara molekul-molekul reaktan.

60
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Semakin lama waktu reaksi, maka semakin banyak ester yang dihasilkan.
Hal ini dapat terjadi karena situasi ini akan memberikan kesempatan molekul-
molekul reaktan untuk semakin lama bertumbukan. Grafik hubungan suhu dan
waktu disajikan pada Gambar 5.






 


 




   


Gambar 5 Grafik Hubungan Suhu dan Waktu Reaksi terhadap Yield

Suhu reaksi yang digunakan pada proses transesterifikasi sebaiknya tepat,


karena suhu yang berlebihan dapat menyebabkan reaksi menjadi tidak sempurna.
Pada penelitian ini digunakan suhu bervariasi, yaitu 55,60 dan 65 . Gambar 5 di
atas, menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu reaksi yang dioperasikan, maka
yield metil ester semakin besar. Hal ini terjadi karena dengan naiknya suhu reaksi,
maka tumbukan partikel akan semakin besar, sehingga reaksi berjalan semakin
cepat dan konstanta reaksi akan semakin besar. Ketika reaksi berlangsung selama
180 menit, pada suhu 55 dan 60 mengalami penurunan, karena pelarut (n-
heksana) dan metanol kemungkinan mengalami penguapan ketika reaksi
berlangsung. Pada Reaksi ini merupakan reaksi endotermis, sehingga apabila suhu
dinaikkan, maka kesetimbangan akan bergeser ke produk. (Dogra, 1990).

61
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

4.2 Interaksi Antara Suhu dan Perbandingan Mol


Berikut adalah grafik tiga dimensi yang menunjukkan interaksi antara
perbandingan mol dengan suhu.

DESIGN-EXPERT Plot

Yield
X = A: Suhu
Y = C: Perbandingan Mol

Actual Factor
B: Waktu = 120.00
12.8073

11.256

9.7046

8.15324
Yield

6.60188

6.00
65.00
5.50
62.50
5.00
60.00
C: Perbandingan Mol
4.50 57.50
A: Suhu
4.00 55.00

Gambar 6 Interaksi Antara Perbandingan Mol dan Suhu






 







 
    

Gambar 7 Grafik Interaksi Antara Perbandingan Mol terhadap Yield

Gambar di atas menunjukkan interaksi antara perbandingan mol dan suhu.


Pada reaksi transesetrifikasi, penggunaan suhu yang tidak tepat dapat
mengakibatkan reaksi tidak sempurna dan menyebabkan berkurangnya yield
biodiesel. Penggunaan suhu yang tepat mengakibatkan reaksi bergeser ke arah

62
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

kanan (produk), peningkatan laju reaksi ini disebabkan oleh meningkatnya


konstanta laju reaksi yang merupakan fungsi dari temperatur. Reaksi
transesterifikasi merupakan reaksi reversible, maka pada kondisi suhu yang tinggi
kesetimbangan bergeser ke arah kiri (dekomposisi produk). Perbandingan reaktan
yang semakin tinggi, maka semakin besar pula yield yang diperoleh. Hal ini dapat
terjadi karena perbandingan mol reaktan yang berlebih, yang diharapkan reaksi
akan bergeser ke kanan. Perbandingan mol 1:6 mengalami penurunan. Hal ini
mungkin disebabkan oleh trigliserida yang telah habis bereaksi. Metanol yang
digunakan adalah methanol teknis, dimana metanol tersebut masih mengandung
air. Keberadaan air akan menyebabkan reaksi bergeser kea rah kiri. Reaksi
transesterifikasi merupakan reaksi reversible yang menghasilkan produk samping
berupa air.

4.3 Interaksi Antara Waktu dan Perbandingan Mol


Grafik tiga dimensi yang menunjukkan interaksi antara waktu dan
perbandingan mol dapat dilihat pada Gambar 8 dan grafik Perbandingan mol

DESIGN-EXPERT Plot

Yield
X = B: Waktu
Y = C: Perbandingan Mol

Actual Factor
A: Suhu = 60.00
12.8589

10.361

7.86309

5.36517
Yield

2.86725

6.00
180.00
5.50
150.00
5.00
120.00
C: Perbandingan Mol
4.50 90.00
B: Waktu
4.00 60.00

terhadap waktu reaksi disajikan pada Gambar 9 di bawah ini


Gambar 8 Interaksi Antara Waktu dan Perbandingan Mol

63
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016


 
 



 

 
  



    
 
Gambar 9 Grafik Hubungan Antara Perbandingan Mol dan Waktu Reaksi
terhadap Yield

Jumlah mol reaktan dalam pembuatan biodiesel juga mempengaruhi yield


biodiesel. Secara umum ditunjukkan bahwa semakin banyak alkohol yang
digunakan maka semakin banyak yield yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan
pemakaian reaktan yang berlebih akan memperbesar kemungkinan tumbukan
antara zat molekul yang bereaksi sehingga kecepatan reaksinya bertambah besar.
Penggunaan mol reaktan secara berlebihan juga dapat menyebabkan yield kecil.
Kondisi ini dapat terjadi karena dengan penggunaan mol reaktan secara
berlebihan, katalis tidak berperan secara signifikan dalam memperkecil energi
aktivasi. Oleh karena itu, dengan waktu yang diberikan terbatas, kesempatan
molekul untuk bertumbukan semakin kecil, inilah yang menyebabkan yield yang
diperoleh kecil.
4.4 Analisa Karakteristik Biodiesel
Hasil analisa yang diperoleh dari uji kualitas biodiesel ditampilkan pada
Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2 Hasil Analisa Karakteristik Biodiesel
Karakteristik Satuan Biodiesel SNI Biodiesel
Massa jenis Kg/m3 867,6 850-890

Viskositas pada 40 cst 3,529 2,3 - 6,0


Angka Asam Total MgKOH/kg 2,644 0,6 maks
Cloud Point (C) -6 18 C maks

64
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti tertera pada Tabel 2 dapat


diketahui bahwa densitas, viskositas dan cloud point dari biodiesel yang diperoleh
melalui penelitian ini sudah memenuhi karakteristik sebagaimana yang
dikeluarkan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI). Angka asam yang diperoleh
melebihi standar SNI biodiesel , yaitu 0,6 maks. Angka asam yang tinggi dapat
menyebabkan endapan dalam sistem bahan bakar dan juga merupakan indikator
penurunan kualitas bahan bakar. Semakin tinggi angka asam terhadap biodiesel,
maka semakin rendah pula kualitasnya. Angka asam yang tinggi dapat
menyebabkan korosi dan memperpendek umur pompa maupun filter.
Selanjutnya minyak di analisa dengan menggunaka alat Gas
Chromatography (GC) untuk mengetahui komposisi minyak. Gas
Chromatography yang digunakan adalah GC Shimadzu Seri GC-2010
menggunakan kolom BD 5 AT dengan panjang diameter kolom 15 meter dan
internal diameternya adalah 0,250 mm. Suhu Injector kolom adalah 360 . Suhu
kolom awal adalah 60 kemudian ditahan selama 5 menit, dilanjutkan kembali
dengan menaikkan selama 15 menit hingga suhu 350 , ditahan kembali selama 5
menit.carier gas pada GC ini adalah nitrogen dengan split rasio 1:50. Hasil
menunjukkan bahwa penelitian ini mengandung senyawa biodiesel (ester).
Senyawa terbanyak ester diperoleh dengan persentase area sebesar 25,227% pada
waktu yang ke 12 menit. Berdasarkan teoritis, kandungan hidrokarbon pada
minyak jarak pagar yang terbanyak adalah metil oleat.

5. Simpulan

1. Hasil eksperimen diperoleh yield tertinggi sebesar 12,80% pada kondisi


120 menit pada suhu 60 dan perbandingan mol 1:5.
2. Hasil optimasi model Design Expert diperoleh yield biodiesel 12,887 %
pada suhu: 60, 60   
 131,92 menit serta perbandingan mol
1:5,03.

65
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

3. Berdasarkan analisa menggunakan Gas Chromatography, biodiesel yang


diperoleh memiliki persentasi area sebesar 25,227% pada waktu ke 12
menit, dengan komponen utamanya adalah metil oleat.

6. Daftar Pustaka

Dogra, S.K. dan S. Dogra. (1990). Kimia Fisik Dan Soal-soal. Universitas
Indonesia. Jakarta

Ma, F., dan Hannah, M.A. (1999). Biodiesel Production: A Review. Bioresource
Technology 70, 1-15.

Novalina S., P. (2015). Pembuatan Biodiesel dari Mesokarp Sawit dengan


Teknologi Reactive Extraction. Skripsi Program Sarjana Departemen
Teknik Kimia USU. Universitas Sumatera Utara. Medan

Rahmania, O. (2004). Transesterifikasi Minyak Dedak Padi Menjadi Biodiesel


dengan Katalis Asam. Surabaya: Thesis Program Pasca Sarjana, Jurusan
Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember. Surabaya.

Supardan, M. D., Satriana, F., Ryan M. (2013). Reactive Extraction of Jatropha


Seed for Biodiesel Production Effect of Moisture Content of Jatropha Seed
and Co-solvent Concentration. International Journal on Advanced Science
Engineering Information Technology 3, 28-31.

Syah, A. N. A. (2006). Biodiesel Jarak Pagar: Bahan Bakar Alternatif yang


Ramah Lingkungan. Jakarta. Agro Media Pustaka.

Syam, A.M., Robiah Y., Suraya A, R. (2012). Synthesis of Biodiesel from Refined
Bleached Deodorized Palm Oil. LAP Lambert Academic Publishing
GmbH & Co. KG. Jerman.

www.biodiesel.org. Biodiesel [online]. Diakses pada 01 Januari 2016.

66
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

PEMANFAATAN LIMBAH KALENG MINUMAN ALUMINIUM SEBAGAI


PENGHASIL GAS HIDROGEN MENGGUNAKAN KATALIS NATRIUM
HIDROKSIDA (NaOH)

Sri Wahyuni1, Lukman Hakim2, Fikri Hasfita3


Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh
Kampus Bukit Indah Kec. Muara Satu, Aceh Utara - Fax (0645) 44450
Korespondensi: HP: 082360997815, e-mail: Sriwahyuni1572@yahoo.com

Abstrak

Gas hidrogen tidak dapat ditambang melainkan diproduksi, salah satunya produksi
hidrogen dari limbah kaleng minuman aluminium mereaksikannya dengan air dan
penambahan natrium hidroksida (NaOH) sebagai katalis. Reaksi tersebut menghasilkan
gas hidrogen dan NaAl(OH)4. Dalam konteks ini, hidrogen dapat dikonversikan menjadi
energi terbarukan, dimana energi tersebut ramah lingkungan dan emisi yang dihasilkan
berupa uap air. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan teknik daur ulang limbah
kaleng minuman aluminium seperti Pocari Sweat untuk menghasilkan gas hidrogen
sebagai energi yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui. Penelitian ini dilakukan
dengan mereaksikan aluminium dan air dengan katalis NaOH selama 43 menit pada suhu
300C. Dimana berat aluminium divariasikan (0.5 gr, 1 gr, 1.5 gr dan 2 gr), serta
konsentrasi NaOH yang divariasikan (2N, 3N, 4N, 5N dan 6N) . Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa volume hidrogen terbesar pada berat aluminium 2 gram dengan
konsentrasi NaOH 6N yaitu 1,081 liter. Untuk konversi aluminium tertinggi pada berat
aluminium 0,5 gram dengan konsentrasi NaOH 6N yaitu 68,950 %, sedangkan yield
hidrogen tertinggi pada berat aluminium yaitu 2 gram dengan konsentrasi NaOH 6N yaitu
3,539 %.

Kata Kunci : Aluminium, Air, Energi Terbarukan, Hidrogen, Katalis, Limbah Kaleng,
Natrium Hidroksida (NaOH)

1. Pendahuluan
Dalam konteks ini, isu utama yang paling menonjol adalah konversi energi dari
sebelumnya energi berbasis bahan bakar fosil kini beralih ke energi yang dapat
diperbaharui. Di sisi lain, isu lingkungan global yang menuntut tingkat kualitas lingkungan
yang lebih baik, mendorong berbagai pakar energi untuk mengembangkan energi yang
lebih ramah lingkungan dan mendukung jaminan pasokan berkesinambungan. Hasil

67
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

penelitian diharapkan mampu mengatasi beberapa permasalahan yang berkaitan dengan


penggunaan minyak bumi. Salah satu bentuk energi terbarukan yang dewasa ini menjadi
perhatian besar pada banyak negara, terutama di negara maju adalah hidrogen. Hidrogen
diproyeksikan oleh banyak negara akan menjadi bahan bakar masa depan yang lebih ramah
lingkungan dan lebih efisien. Dimana suplai energi yang dihasilkan sangat bersih karena
hanya menghasilkan uap air sebagai emisi selama berlangsungnya proses.
Gas hidrogen tidak dapat ditambang melainkan harus diproduksi. Alternatif tersebut
dapat dilakukan dengan melakukan proses elektrolisis menggunakan air dengan reaksi
fotokatalisis oksinitrida (Domen dan Maeda, 2006) atau proses elektrolisis dengan
menggunakan katalis oksida padat (Zang dkk, 2010). Metode produksi hidrogen dari
biomasa meliputi metode biologi (Claassen dkk, 2010) dan secara kimia (K!rtay, 2011).
Produksi hidrogen juga dapat dilakukan dengan steam reforming dari hidrokarbon
(Pencova dkk, 2011). Selain itu, hidrogen dapat dihasilkan dari reaksi logam dan air
dengan bantuan katalis. Salah satunya yaitu hidrogen yang dihasilkan dari logam
aluminium yang direaksikan dengan air menggunakan katalis NaOH (Kumar dan Surendra,
2013).
Saat ini, penggunaan aluminium semakin meningkat. Salah satu penggunaan
aluminium pada industri minuman ringan (soft drink) dimana aluminium tersebut
digunakan sebagai kemasan dari minuman ringan (soft drink). Aluminium biasa dicampur
untuk menambah sifat mekanis dan kekuatan, seperti aluminium foil dan kaleng minuman
mengandung sekitar 92-99% aluminium selebihnya yaitu tembaga, seng, magnesiun,
mangan, silika, dan logam lainnya dengan tingkat persen yang sedikit (Zamani, 2014).
Berikut ini kandungan aluminium dari kaleng minuman yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Aluminium dari Kaleng Minuman
Jenis Kaleng
Parameter Satuan
Pocari Sweat Cap Kaki Tiga Greensands Coca-Cola
Aluminium % 96,38 89,74 90,87 93,28
Magnesium % 1,14 3,28 2,25 1,17
Mangan % 0,75 1,93 1,21 1,04
Besi % 0,51 1,79 1,52 1,72
Silikon % 0,19 0,88 1,33 0,68
tembaga % 0,19 2,36 1,92 1,26
Sumber: (Saputra, 2012)

68
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Pemanfaatan limbah kaleng minuman untuk bahan menghasilkan suatu energi belum
banyak dilakukan. Padahal limbah kaleng minuman aluminium yang cukup banyak bisa
diproses menjadi gas hidrogen. Dalam penelitian ini, penulis mengambil penelitian limbah
kaleng minuman yang banyak ditemui serta memiliki kandungan aluminium yang banyak
terdapat pada kaleng pocari sweat. Menurut Siregar (2010) dalam penelitiannya
menunjukkan baik katalis asam dan netral tidak dapat memproduksi gas hidrogen.
Sebaliknya dengan menggunakan katalis basa kuat, baik itu NaOH dan KOH memberikan
hasil hidrogen yang lebih tinggi, tetapi pada penggunaan katalis NaOH waktu reaksi antara
aluminium dan air lebih cepat daripada katalis KOH.

2. Metode Penelitian
2.1 Alat dan bahan yang digunakan
Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah erlenmeyer, tutup
sumbat erlenmeyer, balon, magnetic stirred, hotplate stirred, gunting, timbangan analitik,
termometer, labu ukur, benang, spatula, kaca arloji.
Bahan yang digunakan dalam penelitian in adalah limbah kaleng minuman Pocari
Sweat, NaOH, dan aquadest.
2.2 Prosedur Kerja
Proses Pembuatan Gas Hidrogen
Limbah kaleng minuman dengan merek Pocari Sweat yang dibersihkan catnya
dengan menggunakan amplas. Setelah penghilangan cat, kaleng minuman tersebut
dipotong dengan ukuran 0,1 x 0,1 cm dan ditimbang dengan berat sampel 0,5 gr, 1 gr, 1,5
gr dan 2 gr. Kemudian larutan NaOH dibuat dengan konsentrasi masing-masing 2N, 3N,
4N, 5N, 6N. Tahap ini masing- masing potongan kaleng tersebut dimasukkan ke dalam
erlenmeyer yang berisi larutan NaOH dengan konsentrasi masing-masing 2N, 3N, 4N,
5N,dan 6N. Kemudian ditutup mulut erlenmeyer dengan menggunakan penutup karet.
Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termometer. Suhu dijaga pada suhu
30oC. Untuk menjaga suhu reaksi digunakan water bath sebagai media pendingin. Waktu
reaksi dijaga selama 43 menit dengan pengadukkan 100 rpm. Pengumpulan gas hidrogen
digunakan balon yang letakkan pada permukaan erlenmeyer. Sebelum volume gas
hidrogen dapat dihitung, terlebih dalulu keliling balon diukur. Persamaan yang digunakan
yaitu sebagai berikut:
69
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

 

 

Penentuan Konversi, Yield dan Pengujian Gas Hidrogen Dengan Cara
Pembakaran
Konversi dan yield ditentukan dengan menggunakan persamaan dibawah ini (Dave
dan Pant, 2010):

% Konversi Aluminium = 

% Yield H2 = 

Untuk mengidentifikasi dan memastikan telah dihasilkan hidrogen dalam reaksi yaitu
dengan melakukan pengujian pembakaran gas hidrogen dengan menggunakan botol dan
balon. Gas hidrogen sangat mudah terbakar dan akan terbakar pada konsentrasi serendah
4% di udara bebas. Karakteristik lainnya dari api hidrogen adalah nyala api cenderung
menghilang dengan cepat di udara, sehingga kerusakan akibat ledakan hidrogen lebih
ringan dari ledakan hidrokarbon (College Of Desert,2001).

3. Hasil dan Diskusi


Dalam suhu kamar, reaksi aluminium dengan air untuk membentuk aluminium
hidroksida dan hidrogen adalah sebagai berikut :
2Al(s) + 6H2O(l) 2Al(OH)3(s) + 3H2 (g)................................................ (1)
Reaksi ini secara termodinamika terjadi dari suhu kamar yang bersifat eksoterm.
Reaksi ini juga harus terjadi spontan. Namun, dalam prakteknya sepotong aluminium jatuh
ke air tidak akan bereaksi dalam kondisi suhu kamar, atau bahkan dengan air mendidih.
Hal ini karena aluminium bereaksi lambat dengan air karena mudah bereaksi dengan
oksigen membentuk lapisan aluminium oksida (Al2O3) di permukaan dan lapisan alumina
ini mencegah reaksi (Departement Of Energy, 2008). Oleh karena itu, untuk memperoleh
hasil yang optimal aluminium harus diampelas dulu sebelum direaksikan untuk
menghilangkan lapisan oksida yang menutupi permukaan aluminium. Karena
3+
kecenderungannya yang kuat dioksidasi menjadi Al , diharapkan Al(s) dapat
menggantikan H2(g) dari air (Petrucci, 1993).

70
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Dalam penelitian ini, pembuatan gas hidrogen dari limbah kaleng minuman
aluminiun menggunakan Natrium Hidroksida (NaOH) yang bertindak sebagai katalis
dalam reaksi untuk mempercepat reaksi. Natrium hidroksida (NaOH) adalah bahan kimia
berbentuk kristal putih padat yang apabila memasuki lingkungan akan mudah bereaksi
memecah dengan bahan kimia lain. Seperti halnya natrium hidroksida dimasukkan dalam
air akan memisahkan kation natrium (sodium atom bermuatan positif) dan anion hidroksida
(oksigen dan hidrogen atom bermuatan negatif). Natrium hidroksida mudah larut dalam air
dan akan menghasilkan panas (eksoterm). Ion OH- pada larutan alkali tersebut akan
menjadi promotor pada reaksi aluminium dengan air. Ketika reaksi antara Al dan air
dibantu oleh alkali, ion OH- dapat merusak lapisan oksida pelindung pada permukaan
aluminium (Kumar dan Surendra, 2013).
Reaksi antara aluminium dan air dengan Natrium Hidroksida (NaOH) untuk produksi
hidrogen dapat ditunjukkan pada reaksi dibawah ini:
2Al + 6H2O + 2NaOH 2NaAl(OH)4 + 3H2....................................... (2)
NaAl(OH)4 NaOH + Al(OH)3 .......................................................... (3)
Natrium hidroksida (NaOH) dikonsumsi untuk produksi hidrogen dengan reaksi
eksoterm (3) dan akan diproduksi ulang melalui reaksi dekomposisi NaAl(OH) 4. Reaksi
(4.4) akan menghasilkan endapan kristal aluminium hidroksida (Al(OH)3). Kombinasi dari
dua reaksi diatas menunjukkan bahwa hanya air yang dikonsumsi untuk produksi hidrogen
jika dilihat dari reaksi tersebut (Kumar dan Surendra, 2013).
Pada saat potongan kaleng aluminium dimasukan kedalam erlenmeyer yang berisi
larutan natrium hidroksida terjadi gelembung-gelembung pada potongan kaleng tersebut,
selanjutnya gas yang dihasilkan ditampung menggunakan dengan balon yang dapat di lihat
pada Gambar (a). Untuk mengidentifikasi dan memastikan telah dihasilkan hidrogen
dalam reaksi yaitu dengan melakukan pengujian pembakaran gas hidrogen seperti terlihat
pada Gambar 1 (b) dan (c).

71
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

(a) (b) (c)


Gambar 1. Pembuatan dan Pengujian Gas hidrogen. (a) Penampungan
Penampungan gas hidrogen dengan
balon. (b) Pembakaran gas hidrogen dengan botol. (c) Pembakaran gas hidrogen dengan
menggunakan balon.

3.1 Pengaruh Konsentrasi Natrium Hidroksida (NaOH) dan Jumlah A


Aluminium
terhadap Volume Gas Hidrogen
Analisa kimia kuantitatif digunakan untuk mendapatkan data mengenai pr
produksi gas
hidrogen yang dihasilkan dari reaksi antara limbah kaleng minuman aluminium
al dengan
larutan natrium hidroksida (NaOH) dari konsentrasi (2N, 3N, 4N, 5N,dan 6N) dengan
jumlah aluminium (0,5 gr, 1 gr, 1,5 gr dan 2 gr). Pengukuran dilakukan untuk mengetahui
pengaruh berat kaleng minuman aluminium terhadap volume gas hidrog
hidrogen yang
dihasilkan. Berikut ini pengaruh berat aluminium terhadap volume
volume gas hidrog
hidrogen dengan
variasi konsentrasi yang ditunjukkan pada Gambar 2.
2







 




 
 

   

   

72
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Gambar 2. Hubungan pengaruh konsentrasi NaOH dan jumlah aluminium


terhadap volume gas hidrogen
Dalam penelitian ini waktu reaksi ditetapkan pada 43 menit, mengikuti penelitian
yang dilakukan Siregar (2012) pada jumlah aluminium 0,1 gr dengan konsentrasi NaOH
tertinggi yaitu 15% waktu reaksi aluminium dan air dengan natrium hidroksida (NaOH)
dibutuhkan sekitar 1826,7 detik atau 30 menit 26 detik telah menghasilkan hidrogen. Pada
Gambar 2 menunjukkan volume hidrogen bertambah dengan kenaikan konsentrasi (2N,
3N, 4N, 5N, dan 6N). Pada konsentrasi tertinggi yaitu 6N volume hidrogen yang
dihasilkan lebih besar dibandingkan konsentrasi 5N, 4N, 3N, dan 2N. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa dalam penelitian ini semakin tinggi konsentrasi natrium hidroksida
(NaOH) volume hidrogen makin bertambah. Ini dikarenakan larutan NaOH berfungsi
membantu aluminium mengikat OH- dari air membentuk NaAl(OH)4, sehingga
melepaskan hidrogen, seperti yang ditunjukkan pada reaksi (2) dan (3) (Kumar dan
Surenda, 2013)
Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat jumlah aluminium terhadap volume gas
hidrogen adalah semakin besar jumlah limbah aluminium yang diberikan semakin besar
pula volume hidrogen yang dihasilkan. Terlihat bahwa semakin tinggi jumlah aluminium
(0,5 gr, 1 gr, 1,5 gr, dan 2 gr) volume hidrogen yang dihasilkan semakin bertambah. Dalam
penelitian ini volume hidrogen terbesar pada berat aluminium 2 gr dengan konsentrasi 6N
yaitu 1,081 liter. Berdasarkan penelitian Porciuncula dkk (2012) mengatakan produksi
hidrogen dipengaruhi oleh suhu, konsentrasi alkali, dan bentuk logam. Siregar (2012)
mengatakan bahwa semakin tinggi jumlah aluminium, maka gas hidrogen yang dihasilkan
semakin besar, sedangkan laju reaksi tertinggi pada konsentrasi NaOH tertinggi.

3.2 Pengaruh Konsentrasi Natrium Hidroksida (NaOH) dan Jumlah Aluminium


Terhadap Konversi aluminium
Reaksi aluminium dan air dengan natrium hidroksida (NaOH) membentuk
NaAl(OH)4 dan hidrogen. Dalam reaksi tersebut aluminium akan mengalami oksidasi
sehingga menghasilkan Al3+, sedangkan H+ dari air akan mengalami reduksi menjadi H2.
Seperti yang ditunjukkan pada persamaan reaksi (2) dan (3) pada dasarnya, hanya air yang
dihabiskan selama seluruh proses untuk menghasilkan hidrogen. Dalam reaksi tersebut

73
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

aluminium mengikat OH- dari senyawa air membentuk NaAl(OH)4 sehingga melepaskan
hidrogen. Pengaruh konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) dan jumlah aluminium
terhadap konversi aluminium dapat dilihat pada Gambar 3.










 

 

  
 


   

   

Gambar 3. Pengaruh konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) dan jumlah aluminium


terhadap konversi aluminium

Berdasarkan waktu reaksi selama 43 menit dapat dilihat pada Gambar 3 bahwa
pengaruh konsentrasi NaOH terhadap konversi aluminium, semakin tinggi konsentrasi
NaOH (2N, 3N, 4N, 5N, dan 6N) maka konversi aluminium semakin tinggi. Hal ini
dikarenakan pada konsentrasi NaOH yang lebih tinggi menunjukkan jumlah NaOH lebih
banyak. NaOH adalah sebagai katalis reaktif yang dapat merusak lapisan oksida (Al2O3)
pelindung pada permukaan aluminium serta membantu aluminium mengikat OH - dari air
membentuk NaAl(OH)4 sehingga melepaskan hidrogen.
Jumlah aluminium berdasarkan Gambar 3 menunjukkan bahwa semakin banyak
jumlah aluminium (0,5 gr, 1 gr, 1,5 gr, dan 2 gr) maka konversi aluminium terhadap
produk hidrogen semakin rendah. Dari Gambar 3 konversi aluminium tertinggi pada berat
aluminium 0,5 gr konsentrasi 6N sekitar 68,950%. Konversi aluminium sangat
berpengaruh terhadap jumlah aluminium dan konsentrasi NaOH. Hal ini disebabkan karena
natrium hidroksida (NaOH) bertindak sebagai katalis yang dapat menurunkan energi
aktivasi sehingga mampu meningkatkan laju reaksi agar reaksi dapat mencapai
kesetimbangan, tanpa terlibat didalam reaksi secara permanen. Energi aktivasi adalah

74
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

energi minimum yang dibutuhkan sehingga partikel dapat bertumbukan dan menghasilkan
reaksi. Dalam penggunaan katalis tersebut, energi aktivasi harus cukup agar reaksi tersebut
mencapai kesetimbangan. Apabila energi aktivasi dalam reaksi tersebut tinggi maka reaksi
tersebut akan berjalan lambat (Widhyahrini, 2013).

3.3 Pengaruh Konsentrasi Natrium Hidroksida (NaOH) dan Jumlah Aluminium


Terhadap Yield Hidrogen
Berdasarkan dari reaksi (2) dan (3) menunjukkan bahwa hidrogen yang dihasilkan berasal
dari senyawa air. Sedangkan konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) yang bertindak
sebagai katalis akan mempengaruhi laju reaksi dan membantu aluminium mengikat OH -
dari air membentuk NaAl(OH)4 dan hidrogen. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, pengaruh konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) dan jumlah aluminium
terhadap yield hidrogen dapat dilihat pada Gambar 4.






 

 

  
 

   

   

Gambar 4. Pengaruh konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) dan jumlah aluminium


terhadap yield hidrogen
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan waktu reaksi selama 43 menit,
dapat dilihat pada Gambar 4 bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH (2N, 3N, 4N, 5N,
dan 6N) maka yield hidrogen yang dihasilkan semakin tinggi, dan sebaliknya semakin
rendah konsentrasi NaOH maka yield hidrogen yang dihasilkan semakin rendah. Hal ini
dikarenakan NaOH adalah sebagai katalis reaktif yang dapat merusak lapisan oksida
(Al2O3) pelindung pada permukaan aluminium (Departement of Energy, 2008) serta

75
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

membantu aluminium mengikat OH- dari air membentuk NaAl(OH)4 sehingga melepaskan
hidrogen, seperti yang ditunjukkan pada reaksi (2) dan (3) (Kumar dan Surenda, 2013).
Jumlah aluminium berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat pada berat aluminium (0,5 gr,
1 gr, 1,5 gr, dan 2 gr), semakin tinggi jumlah aluminium maka gas hidrogen yang
dihasilkan semakin besar. Dalam penelitian Siregar (2012) menunjukkan bahwa semakin
tinggi jumlah aluminium hidrogen yang dihasilkan semakin besar. Dari Gambar 4 terlihat
bahwa yield hidrogen tertinggi pada berat aluminium 2 gr dengan konsentrasi 6N sekitar
3,539 %. Berdasarkan reaksi (2) dan (3) sama-sama menghasilkan reaksi (1) bahwa hanya
air yang dikonsumsi untuk menghasilkan hidrogen. Dari reaksi (1) aluminium mengikat
OH- dari senyawa air membentuk Al(OH)3 sehingga melepaskan hidrogen. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah aluminium maka hidrogen yang dihasilkan
semakin besar, sebab banyak aluminium mengikat OH- dari air mengakibatkan hidrogen
lepas dari senyawa air tersebut.

4. Kesimpulan dan Saran


Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan bahwa volume hidrogen
tertinggi pada berat aluminium 2 gr dengan konsentrasi NaOH 6N yaitu 1,0818 liter.
Konversi aluminium produk hidrogen yang tertinggi terdapat pada berat aluminium 0,5 gr
dengan konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) 6N yaitu 68,950 %, sedangkan yield
hidrogen yang tertinggi terdapat pada berat aluminium 2 gr dengan konsentrasi natrium
hidroksida (NaOH) 6N yaitu 3,539 %. Natrium hidroksida (NaOH) berfungsi sebagai
katalis dalam reaksi aluminium dan air, serta membantu aluminium mengikat OH - dari
senyawa air membentuk NaAl(OH)4 sehingga melepaskan hidrogen.
Adapun saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah waktu reaksi
untuk menghasilkan hidrogen dari reaksi aluminium dan air dengan katalis NaOH
divariasikan lebih lama dari 43 menit untuk mengkonversikan reaktan lebih tinggi dan
pemanfaatan limbah aluminium perlu dilakukan terutama yang banyak mengandung
aluminium sebagai sumber penghasil hydrogen.

6. Daftar Pustaka

76
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Claassen,P.A.M., Truus de, V., Emmanuel, K., Ed van, N., Inci, E., Michael, M.,
Anton, F., Walter, W., Werner, A (2010), Non-thermal production of pure
hydrogen from biomass: HYVOLUTION, Journal of Cleaner Production, 18,54-
58.

College Of The Desert (2001), Modul 1 Hydrogen Properties, Hydrogen Fuel Cell
Engines and Related Technologies,
http://www1.eere.energy.gov/hydrogenandfuelcells/tech_validation/pdfs/fcm01r0.pd
f diakses pada 7 Desember 2015

Domen, K., dan Maeda K., (2006), Hydrogen Producrion from Water on Oxinitride
Photocatalysts, The International Society for Optical Engineering, 1-3

Dave, C. D., dan Pant, K. K., (2011), Renewable Hydrogen Generation by Steam
Reforming of Glycerol Over Zirconia Promoted Ceria Support Catalyst, Renewable
Energy An International Journal, 1-8.

Departement Of Energy, (2008), Reaction Of Aluminium with Water to Produce


Hydrogen, United States Of America,
https://www1.eere.energy.gov/hydrogenandfuelcells/pdfs/aluminium_water_hydroge
n.pdf diakses pada 5 Februari 2016

K!rtay, E., (2011), " Recent advances in production of hydrogen from biomass, Journal of
Energi Conversion and Management, 52, 17781789.

Kumar, S. dan Surendra K. S., (2013), Role Of Sodium Hydroxide For Hydrogen Gas
Production And Storage, College of Engineering and Computing, Florida
International University, Miami, Florida 33199, USA

Penkova A., Bobadillaa, L., Ivanova, S., Dominguez, M.I., Romero-Sarriaa, F.,
Roger, A.C., Centeno, M.A., Odriozola, J.A., (2011), Hydrogen production by
methanol steam reforming on NiSn/MgOAl2O3catalysts: The role of MgO
addition, Journal of Applied Catalysis A, General 392, 184191.

Petrucci, R. H., (1996), Kimia Dasar. Jakarta: Erlangga

Porciuncula, C.B., Marcillo, N. R., Tessaro, I. C., Gerchmann, M., (2010), Production of
Hydrogen in the Reaction Between Aluminum and Water in the Presence of NaOH
and KOH, Brazilian Journal of Chemical Engineering, Vol. 29 No. 2, ISSN 0104-
6632

Saputra, A. D., (2012)., Sintesis Tawas Kalium Aluminium Sulfat (Kal(SO4)2.12H2O) Dari
Kaleng Bekas Minuman Sebagai Zat Penjernih Air. Skripsi. Bogor: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan. Universitas Pakuan Bogor

Siregar, Y. D. I., (2010), Produksi Gas Hidrogen dari Limbah Aluminium. Jurnal
Valensi, Volume 2, No. 1: 362-36

77
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Siregar, Y. D. I., (2012), Produksi Gas Hidrogen dari Limbah Aluminium dan Uji Daya
Listrik dengan Fuel Cell, Portal Garuda, Volume 2, No.5: 573-580

Widhyahrini,K., (2013), Katalis. http://duniakimianana.wordpress.com/2013.


04/21/katalis/ diakses pada 11 November 2015

Zamani,H. A., Mina, R., Mohammad, R. A., Soraia, M., (2014), Al3+-Selective PVC
Membrane Sensor Based on Newly Synthesized 1,4-bis[o-(pyridine-2-
carboxamidophenyl)]-1,4-dithiobutane as Neutral Carrier, International Journal Of
Electrochemical Science, 9, 6495 - 6504

Zhang, H., Guoxing, L., Jincan, C., (2010), Evaluation and calculation on the efficiency
of a water electrolysis system for hydrogen production, International
Journal of Hydrogen Energi, 35, 10851- 10858

78
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Pengaruh Penggunaan Elpiji Sebagai Bahan Bakar Terhadap Unjuk Kerja


Motor Bakar Bensin

Asnawi1 dan Adi Setiawan1


1
Jurusan Teknik Mesin, Universitas Malikussaleh
e-mail: asn_awy@yahoo.com

Abstrak

Elpiji merupakan salah satu bahan bakar alternatif untuk motor bakar yang
lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan bensin. Hal ini telah
menjadikannya sebagai bahan bakar alternatif untuk mengurangi emisi
disektor transportasi. Perubahan jenis bahan bakar digunakan dari bahan
bakar bensin menjadi bahan bakar elpiji akan mempengaruhi unjuk kerja
yang dihasilkan oleh motor bakar, yang diakibatkan oleh perubahan
karaktristik bahan bakar. Dengan demikian, tujuan dari makalah ini adalah
membandingkan unjuk kerja yang dihasilkan oleh motor bakar dengan
menggunakan bahan bakar elpiji pada kondisi operasi wide open throttle
pada berbagai putaran poros motor bakar. Pengujian juga dilakukan
dengan menggunakan bahan bakar bensin, yang digunakan sebagai data
acuan untuk perbandingan unjuk kerja. Hasil pengujian diperoleh,
penggunaan elpiji sebagai bahan bakar dapat meningkatkan meningkatkan
efisiensi motor bakar rata-rata sebesar 6,6%. Hal ini sangat memungkinkan
elpiji digunakan sebagai bahan bakar alternatif untuk motor bakar
konvensional.

Keywords: elpiji, torsi, daya dan efisiensi

1 Pendahuluan
Penggunaan elpiji sebagai bahan bakar alternatif telah mulai meningkat di
sektor transportasi khususnya di Indonesia. Umumnya bahan bakar elpiji
digunakan pada motor bakar bensin. Perubahan jenis bahan bakar dari bahan
bakar cair menjadi bahan bakar gas menjadi permasalahan utama dalam
penggunaannya. Perubahan karakteristik bahan bakar juga menjadi permasalahan
yang mendasar terhadap unjuk kerja motor bakar. Motor bakar merupakan salah
satu media untuk merubah energi kimia menjadi energi termal yang kemudian
diubah menjadi energi mekanik (Ferguson and Kirkpatrick, 2001). Ditinjau dari

79
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

segi emisi yang dihasilkan, pemanfaatan elpiji sebagai bahan bakar alternatif
untuk motor bakar menjadi sangat efiktif serta lebih ramah lingkungan
dibandingkan dengan bahan bakar bensin. Bensin merupakan campuran i-octane
(C8H18) dan n-heptane (C7H16), pada tekanan lingkungan bensin berada dalam
fasa cair. Sedangkan elpiji berada dalam fasa gas pada temperatur dan tekanan
lingkungan. Komponen utama elpiji adalah merupakan campuran propane (C3H8)
dan butane (C4H10), serta mengandung sedikit hidrokarbon ringan lain seperti
ethane (C2H6) dan pentane (C5H12) (Borman and Ragland, 1998). Keduanya
memiliki karakteristik sangat berbeda, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1.
Salah satu kelebihan yang dapat diandalkan penggunaan elpiji sebagai bahan
bakar alternatif untuk motor bakar adalah bilangan oktan yang lebih tinggi
dibandingkan bensin. Bilangan oktan merupakan parameter dari kualitas bahan
bakar bensin, yang menunjukkan daya tahan bahan bakar terhadap autoignition
(Borman and Ragland, 1998; Ganesan, 2004; Heywood, 1988). Temperatur
autoignition untuk bahan bakar bensin jauh lebih rendah dibandingkan dengan
bahan bakar propane dan butane. Hal ini menunjukkan tingginya nilai oktan yang
dimiliki oleh bahan bakar, maka motor bakar dapat dioperasikan pada rasio
kompresi yang lebih tinggi, sehingga dapat meningkatkan efisiensi motor bakar.
Jika autoignition terjadi pada motor bakar SI akan menyebabkan fenomena
abnormal selama pembakaran atau disebut dengan ketukan (knocking), yang
berdampak pada penurunan efisiensi motor bakar dan dapat terjadi kerusakan
komponen utama motor bakar.
Tabel 1. Perbandingan karakteristik bahan bakar (Gumus, 2011)
Karakteristik Bensin Propane Butane
Specific gravity (kg/m) 765 509 585
Lower heating value (MJ/kg) 44,04 46,34 45,56
Boiling point (C) 30-225 -42 -0,5
Ignition point (C) 257 510 490
Combustion rate (m/s) 0,35 0,4 0,4
Airfuel ratio 14,7 15,8 15,6
Flammability limits (Vol.%) 1,3-7,6 2,1-9,5 1,5-8,5
Research octane number 95 111 103

80
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Selain itu, kandungan energi persatuan massa yang dimiliki elpiji serta
combustion rate/burning speed lebih tinggi dibandingkan dengan bensin.
Tingginya combustion rate/burning speed dapat menurunkan durasi pembakaran,
sehingga dapat menghasilkan tekanan puncak yang lebih tinggi serta motor bakar
dapat dioperasikan pada perbandingan campuran yang lebih kurus. Sehingga
dapat meningkatkan efisiensi termal dan menurunkan emisi serta konsumsi bahan
bakar.
Penurunan emisi gas buang disebabkan oleh tingginya perbandingan H/C yang
dimiliki oleh elpiji (M. A. Ceviz and Yksel, 2006). Ini merupakan karakteristik
yang sangat baik dijadikan sebagai bahan bakar untuk motor bakar. Flammability
limits bahan bakar elpiji lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakar bensin,
yang menunjukkan jumlah/keberadaan bahan bakar didalam udara sehingga
campuran tersebut mampu terbakar/bereaksi. Hal ini juga menunjukkan
penggunaan elpiji sebagai bahan bakar pada motor bakar lebih aman
dibandingkan dengan bensin.

2 Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai elpiji sebagai bahan bakar kendaraan sudah banyak
dilakukan diantaranya, Saleh (2008) melakukan pengujian dengan menggunakan
motor diesel dengan menggunakan elpiji dari berbagai Negara dengan komposisi
yang berbeda. Variasi komposisi mempengaruhi emisi yang dihasilkan, tingginya
kandungan butan dapat menurunkan nitric oxides (NOx) dan tingginya propane
dapat menurunkan carbon monoxide (CO), serta terjadinya perubahan temperatur
gas buang dan efisiensi pembakaran.
Komposisi elpiji sangat bervariasi, tergantung dari sumbernya dan proses
pemisahan yang dilakukan. Hal ini sangat menentukan karakteristik bahan bakar,
dimana komposisi bahan bakar yang digunakan sangat menentukan kecepatan
reaksi selama proses pembakaran, yang berdampak pada unjuk kerja motor bakar
(Ferguson and Kirkpatrick, 2001; Heywood, 1988). Variabel lain yang

81
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

mempengaruhi kecepatan reaksi pembakaran adalah geometri silinder dan posisi


busi dan mungkin berbeda untuk setiap motor bakar (Kodah et al., 2000). Dimana
geometri silinder sangat menentukan tingkat turbulensi campuran udara dengan
bahan bakar masuk kedalam silinder, sedangkan posisi busi dapat mempengaruhi
jumlah massa gas yang masuk ke flame front area dan terjadinya reaksi.
Pengaruh komposisi bahan bakar elpiji dengan campuran propane 100%, 90%,
70%, 50% dan 30% didalam butane telah dilakukan pengujian oleh (Saleh, 2008).
Motor bakar dioperasikan dengan sistem dual fuel, dengan penambahan propane
murni dan campuran keduanya kedalam bahan bakar diesel masing-masing
sebesar 40%. Hasil pengujian menunjukkan bahwa fuel conversion efficiency
meningkat dengan meningkatnya fraksi propane didalam campuran bahan bakar.
Tingginya fraksi propane dapat menurunkan emisi CO dan sebaliknya terjadi
peningkatan CO dengan meningkatnya fraksi butane didalam campuran, hasil
yang sama juga diperoleh oleh Lee et al. (2011). Sedangkan NOx terendah
diperoleh pada fraksi butane tertinggi, dan NOx meningkat dengan meningkatnya
fraksi propane. Tetapi emisi NO dapat diturunkan dengan mengontrol temperatur
elpiji sebelum diinjeksikan kedalam intake manifold (Mehmet Akif Ceviz et al.,
2015).
Pengujian dua jenis bahan bakar juga dilakukan oleh Gumus (2011), dengan
menambahkan elpiji kedalam bensin yaitu sebesar 0% (gasoline 100%), 25%,
50%, 75% serta 100% elpiji. Hasil pengujian menunjukkan terjadinya penurunan
efisiensi volumetrik proporsional terhadap penambahan elpiji, penurunan terjadi
sebesar 17,8%, 21%, 23,4% dan 26,5%. Penurunan efisiensi volumetrik juga
terjadi pada pengujian yang dilakukan oleh Erku! et al. (2013) dan Masi dan
Gobbato (2012).
Daya dan torsi merupakan salah satu parameter unjuk kerja motor bakar,
dimana pengukurannya dapat dilakukan dengan menggunakan dynamometer.
Torsi dan daya dari motor bakar diperoleh dari hasil pengkonversian energi termal
(panas) hasil pembakaran menjadi energi mekanik. Torsi didefinisikan sebagai
besarnya momen putar yang terjadi pada poros output mesin akibat adanya

82
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

pembebanan, sedangkan daya didefinisikan sebagai besarnya tenaga yang


dihasilkan motor tiap satu satuan waktu. Pengukuran torsi motor bakar dengan
menggunakan dynamometer yang dihubungkan langsung ke poros engkol
(Heywood, 1988). Prinsip kerja dari dynamometer mekanis adalah dengan
melakukan pembebanan dengan cara melakukan pengereman sehingga
menurunkan kecepatan putaran mesin, serta menghasilkan besarnya daya poros
pada putaran tertentu. Prony brake merupakan salah satu konsep sederhana yang
dapat diterapkan sebagai dasar pengukuran torsi motor bakar, seperti yang
ditunjukkan pada pada Gambar 1.

Gambar 1. Prony brake dynamometer


Pengukuran torsi dan daya yang dihasilkan oleh sebuah motor bakar diberikan
oleh Ganesan (2004).
T = WL= RF (1)
dimana;
T = torsi
R = jari-jari poros
F = Gaya
Kerja per satu putaran = 2!RF (2)

  

 (3)

dimana; N = putaran per menit (rpm)


maka brake power,


(4)
 

83
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Konsumsi bahan bakar spesifik merupakan sebuah parameter unjuk kerja


motor bakar, yang berbanding terbalik dengan efisiensi termal.


(5)

maka, Brake thermal efficiency diberikan oleh;


(6)



3 Metodelogi Penelitian
Motor bakar yang digunakan adalah motor bakar jenis 4 langkah yang didesain
untuk bahan bakar petrol/bensin, spesifikasi ditunjukkan dalam tabel 2. Untuk
melakukan penelitian ini diperlukan modifikasi pada pada sistem pemasukan
bahan bakar dengan menggunakan vacuum regulator untuk mengontrol
perbandingan campuran bahan bakar dan udara.
Persiapan awal yang dilakukan meliputi pemasangan sensor-sensor seperti,
thermocouple untuk mengukur temperatur udara masuk serta gas buang.
Anemometer untuk mengukur kecepatan aliran udara masuk. Load cell untuk
mengukur besarnya gaya pengereman. Serta timbangan digital untuk mengukur
konsumsi bahan bakar.
Tabel 2. Spesifikasi Motor bakar yang digunakan
Engine Type Honda GX160 4 Stroke, OHV, Single Cylinder
Displacement 163 cc
Bore x Stroke 68 x 45 mm
Compression Ratio 9.0 : 1
Net Power Output* 4.8 HP (3.6 kW) @ 3,600 rpm
Net Torque 7.6 lb-ft (10.3 Nm) @ 2,500 rpm
Ignition System Transistorized magneto
Oil Capacity 0.58 liters
Fuel Tank Capacity 3.1 liters
Fuel Petrol

Sebelum melakukan pengujian terhadap bahan bakar elpiji, pengujian terlebih


dahulu dilakukan dengan menggunakan bahan bakar standar yaitu premium yang

84
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

akan digunakan sebagai data acuan untuk perbandingan, dimana sudut percikan
api standar untuk bahan bakar premium adalah 10 sebelum TMA. Kemudian
pengujian dilanjutkan dengan menggunakan elpiji sebagai bahan bakar, yang
dioperasikan pada berbagai variasi putaran dari 3000 rpm hingga 4500 rpm.
Semua pengujian dilakukan pada kondisi beban penuh (full load) dengan
pembukaan katup throttle 100% atau sering disebut dengan wide open throttle
(WOT). Pengambilan data dilakukan dengan cara pembebanan/pengereman secara
bertahap untuk memvariasikan putaran hingga mencapai putaran poros yang
diinginkan. Data yang diperoleh dari pengukuran dianalisis untuk mendapatkan
unjuk kerja motor bakar. Alur pengujian ditunjukkan pada gambar 2.

Gambar 2. Diagram alir penelitian

4 Hasil dan Pembahasan


Hasil pengujian unjuk kerja motor bakar dengan menggunakan bahan bakar
elpiji ditunjukkan pada Gambar 3-6. Dimana penggunaan elpiji sebagai bahan
bakar pada motor bakar spark ignition (SI) konvensional dapat menurunkan torsi
dihasilkan rata-rata sebesar 16,4%, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Daya
yang dihasilkan juga terjadi penurunan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4,

85
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

rata-rata
rata sebesar 16,6%. Hal ini disebabkan oleh terjadinya penurunan
pe ef
efisiensi
volumetrik, yang disebabkan oleh berkurangnya massa
massa udara yang masuk
kedalam silinder dengan keberadan volume elpiji yang lebih besar
besa dibandingkan
dengan bahan bakar bensin.

Gambar 3. Torsi vs putaran Gambar 4. Daya vs Putaran

Gambar 5. Konsumsi bahan bakar spesifik Gambar 6. Efisiensi vs putaran mesin

Gambar 5 menunjukkan hasil yang sangat positif untuk menggunakan baha


bahan
bakar elpiji sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan
bahan bakar bensin, dimana
konsumsi
umsi bahan bakar menurun rata-rata
rata rata sebesar 23,4%. Menurunya konsums
konsumsi
bahan bakar spesifik
sifik disebabkan oleh meningkatnya efisiensi de
dengan
menggunakan bahan bakar elpiji,
elpiji, ditunjukkan pada gambar 6, peningkatan rata-
rata sebesar 6,6%.

5 Kesimpulan
Penggunaan elpiji sebagai bahan bakar alternatif berdampak baik
b terhadap
unjuk kerja motor bakar. Penurunan daya dan torsi yang terjadi diakibatkan oleh
diakibatka ol
rendahnya energi input yang masuk kedalam silinder. Tetapi konsumsi bahan
bakar persatuan daya menurun, yang merupakan dampak yang diharapkan untuk
86
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

meningkatkan efisiensi konversi energi yang terjadi pada motor bakar. Kelemahan
yang terjadi akibat dari menurunnya efisiensi volumetrik ini akan dapat dihindari
dengan mengunakan motor bakar injeksi untuk system pemasukan bahan bakar.

6 Daftar Pustaka

Borman, G. L., and Ragland, K. W. (1998). Combustion Engineering. United


States of America: McGraw-Hill.

Ceviz, M. A., Kaleli, A., and Gner, E. (2015). Controlling LPG temperature for
SI engine applications. Applied Thermal Engineering, 82(0), 298-305.

Ceviz, M. A., and Yksel, F. (2006). Cyclic variations on LPG and gasoline-
fuelled lean burn SI engine. Renewable Energy, 31(12), 1950-1960.

Erku!, B., Srmen, A., and Karamangil, M. ". (2013). A comparative study of
carburation and injection fuel supply methods in an LPG-fuelled SI engine.
Fuel, 107(0), 511-517.

Ferguson, C. R., and Kirkpatrick, A. T. (2001). Internal Combustion Engines,


Applied Thermosciences (2nd ed.): Wiley.

Ganesan, V. (2004). Internal Combustion Engines (2nd ed.). Asia: McGraw-Hill


Education.

Gumus, M. (2011). Effects of volumetric efficiency on the performance and


emissions characteristics of a dual fueled (gasoline and LPG) spark ignition
engine. Fuel Processing Technology, 92(10), 1862-1867.

Heywood, J. B. (1988). Internal Combustion Engine Fundamentals. New York:


McGraw-Hill Book Company.

Kodah, Z. H., Soliman, H. S., Abu Qudais, M., and Jahmany, Z. A. (2000).
Combustion in a spark-ignition engine. Applied Energy, 66(3), 237-250.

Lee, S., Oh, S., Choi, Y., and Kang, K. (2011). Effect of n-Butane and propane on
performance and emission characteristics of an SI engine operated with
DME-blended LPG fuel. Fuel, 90(4), 1674-1680.

Masi, M., and Gobbato, P. (2012). Measure of the volumetric efficiency and
evaporator device performance for a liquefied petroleum gas spark ignition
engine. Energy Conversion and Management, 60(0), 18-27.

Saleh, H. E. (2008). Effect of variation in LPG composition on emissions and


performance in a dual fuel diesel engine. Fuel, 87(1314), 3031-3039.
87





KARAKTERISASI MATERIAL CAMPURAN SiO2 DAN GETAH


FLAMBOYAN (DELONIX REGIA) SEBAGAIMATERIALCOATING
PENCEGAH KOROSI PADA BAJA

Agus Rochmat, Bima Purama Putra, Ela Nuryani, Marta Pramudita


Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten
agus_rochmat@untirta.ac.id

Abstrak

Korosi merupakan penurunan mutu logam akibat reaksi elektrokimia dengan


lingkungannya.Salah satu cara untuk mencegah korosi yaitu dengan cara
coating.Coating (pelapisan)merupakan cara melapisi logam dengan suatu bahan, agar
logam tersebut terhindar dari korosi. Saat ini banyak penelitian dilakukan menggunakan
paduan silika dengan polimer alam, salah satunya penggunaan getah
flamboyan.Flamboyan ini memiliki sifat fleksibel dan stabil. Sementara itu material silika
terus dikembangkan sebagai materialcoating karena bersifat ramah lingkungan serta
bernilai ekonomis. Pembuatan materal coating tersebut dengan cara memadukan silika
yang berasal dari waterglass dan getah flamboyan kemudian dilakukan pencelupan baja
dengan metode dip coating. Komposisi silika dengan getah flamboyan yang digunakan
yaitu 60 :40, dengan konsentrasi waterglass yaitu 30%. Hasil yang diperoleh melalui
penelitian ini, bahwa pengaruh asam, basa, dan garam menyebabkan laju korosi
meningkat. Semakin kecil pH larutan Laju korosi terbesar terjadi pada larutan
asamsulfat dengan nilai 0.00348 g/cm2.jam. Sementara pada uji lingkungan diperoleh
laju korosi 1,6E-05 gr/cm2 jam atau 0.179 mm/tahun dimana dalam standar ketahanan
korosi material coating ini termasuk dalam range good.

Kata kunci : Korosi, Coating, Silika, pH

1. Pendahuluan
Permasalahan umum yang di hadapi industri maju saat ini adalah korosi
logam. Korosi bisa terjadi dimana saja, dapat menimbulkan kerusakan yang
mengakibatkan kerugian baik secara ekonomi ataupun keamanan. Kerugian
korosi mengakibatkan biaya pemeliharaan meningkat, kapasitas produksi
menurun, produksi berhenti total (shutdown), menimbulkan kontaminasi pada
produk, pencemaran lingkungan, gangguan kesehatan dan keselamatan kerja, serta
kerugian non wujud lainnya. Pada umumnya, korosi yang paling sering terjadi
disebabkan oleh udara dan air (Fontana, 1987).







Untuk meminimalkan akibat degradasi material, salah satu metode


proteksi yang sering digunakan pada industri adalah penggunaan coating
(pelapisan), terutama pada bagian permukaan dari sistem perpipaan dan peralatan
baik yang kontak dengan udara bebas dan permukaan tanah akibat adanya zat
asam udara dan tanah. Coating merupakan salah satu cara untuk memperlambat
laju korosi. Coating ini berfungsi melindungi material logam dari reaksi
elektrokimia dengan lingkungannya terutama untuk daerah lembab yang banyak
mengandung uap air seperti di Indonesia.
Silika yang terdapat di Indonesia berpotensi menjadi material coating
sebab memiliki daya adhesi yang baik, properti pelindung yang baik sehingga
memungkinkan untuk menahn difusi uap air, ion-ion maupun oksigen ke
permukaan logam sehingga dapat melindungi logam dari korosi. Pemanfaatan
silika sebagai bahan pelapis telah dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan
Ambarwati dan Vicky Samsiadi dengan judul Pelapisan Hidrofobik Kaca dengan
Metode Sol-Gel berbasis waterglass menyimpulkan bahwa dengan teknik dip
coating tingkat keberhasilan hidrofobik pada kaca mencapai lebih dari 90 bahkan
mencapai 142,5 mendekati superhidrofobik. Namun dibalik semua kelebihannya
silika memiiki kekurangan, yakni rapuh dan tidak stabil.
Polimer alam merupakan material alam yang banyak digunakan sebagai
material coating. Getah merupakan polimer alam yang memiliki sifat fleksibel
dan stabil. Pemanfaatan getah sebagai material coating telah dibuktikan dengan
adanya penelitian oleh Edriana, dkk., yakni pemanfaatan getah pohon dammar
sebagai pelapis vernis pada kayu, dimana getah dammar dapat melindungi kayu
dari adanya pelapukan (korosi).
Penelitian lainnya telah dilakukan oleh Umar Syarifudin dan Wahyu
Dianing Tiyas, yang memadukan silika dengan polimer alam getah flamboyant
sebagai material coating. Coating ini merupakan perpaduan antara getah
flamboyant yang fleksibel dan stabil dengan sifat silika yang memiliki daya
adhesi kuat dalam menahan difusi air, ion-ion, maupun oksigen ke permukaan
logam, serta memiliki ketahanan terhadap suhu dan zat-zat kimia yang cukup
stabil sehingga dapat melindungi logam dari korsi.







Sementara itu penelitian lanjutan telah dilakukan Fia Fathiayasa dan Arie
Buchari dalam mencari paduan optimum penambahan silika pada pembuatan
material coating silika dan getah flamboyant. Dari hasil penelitian tersebut
diperoleh kondisi optimum pada konsentrasi silika 30% dengan campuran getah
flamboyant : silica = 40:60.
Dari kedua penelitian tersebut perlu dilakukan analisa lebih lanjut untuk
karakterisasi coating getah flamboyant dan silika. Sehingga di akhir penelitian ini
diharapkan ditemukan karakterisasi dari coating tersebut dalam melindungi baja
dari pengaruh lingkungan.
2. Metodologi
Alat yang digunakanBatang pengaduk, Gelas ukur, Gelas kimia, Heater,
Oven, Thermometer, Kaca Arloji, Spatula, Blender, tali penggantung, ampelas
grid # 60, 120, 360, 1000. Bahan bahan yang digunakan: Water Glass 58%,
Getah Pohon Flamboyan, Alkohol 96%, Aquades, H2SO4 1 M, NaOH 1 M, NaCl
1 M.Pembuatan Larutan Getah,getah pohon flamboyan ditimbang sebanyak 60
gram dandilarutkan menggunakan blender dengan aquades viskositas mencapai
108 centiPoise.
Pengenceran Waterglass 30%
Pengenceran dilakukan dengan memanaskan aquades dalam gelas kimia
dan dijaga pada temperature 60C. Kemudian Waterglass konsentrasi 58%
dimasukkan kedalam gelas kimia disertai dengan pengadukan menggunakan
magnetit stirrer. Setelah itu aquades yang telah dipanaskan dicampurkan
kedalamnya hingga membentuk larutan waterglass yang homogen dengan
konsentrasi tertentu. Larutan tersebut didinginkan hingga mencapai suhu ruangan.
Pembuatan Material Coating
Menyiapkan larutan waterglass dan larutan getah.Masukkan waterglass ke
dalam gelas kimia.Lalu mencampurkan larutan getah dengan komposisi atau
perbandingan volume yang telah ditentukan dan mengaduk hingga homogen.
Persiapan logam
Pada tahap ini logam dibersihkan sebelum dilapisi.Sebelumnya, logam
dipotong dengan ketebalan 6 mm dengan dimensi 2 x 3 cm dengan gergaji mesin.






Kemudian membuat lubang diujung sampel dengan mesin bor logam yang
berfungsi untuk
uk menggantung sampel dengan tali pada saat proses dip coating.
Melakukan pengamplasan, kemudian dicuci
dicuci dengan alkohol 96% selama 15
menit.Sebelum
m digunakan logam dikeringkan terlebih dahulu dan dilakukan
penimbangan awal.
Pelapisan logam
Menyiapkan material coating pada gelas kimia kemudian menyelupkan
logam kedalamnya. Mengangkat spesimen yang telah dilapisi dan melakukan
m
peluruhan produk korosi dari spesimen. Lalu melakukan pengeringan dan
spe imen. Kemudian melakukan uji fisik (uji
penimbangan berat akhir dari spesimen.
kondisi
si lingkungan, uji thermal)
thermal dan uji SEM/EDX.
3. Hasil Dan Pembahasan
Tingkat keasaman atau pH lingkungan merupakan salah satu faktor ya
yang
menyebabkan terjadinya korosi (Prasetya, 2011).Penggunaan coating merupakan
salah satu upaya untuk mencegah kontak antara material baja dengan
deng lingkungan
sehingga bisa memperlambat korosi.Penggunaan
korosi.Penggunaan silika dengan daya adhesif untuk
melindungi dicampurkan polimer alam getah flamboyan dengan sifat
sifa fleksibel dan
melekat mampu menperlambat terjadinya korosi.

#,-#*#$,"-&




#$,"-&








        
(./#,#*")*

Gambar 1.. Grafik persen degradasi pada tiap variasi






Pada variasi larutan uji terlihat persen degradasi terbesar yaitu pada larutan
asam sulfat. Massa yang terdegradasi bukan saja massa coating tetapi sudah
mengoksidasi baja sehingga ada massa baja yang hilang, yaitu 882,58%.
Asam sulfat merupakan asam kuat yang pada penelitian ini memiliki pH
1,01. Nilai pH yang rendah meningkatkan laju korosi karena adanya reaksi
reduksi tambahan yang berlangsung pada katoda.Adanya reaksi reduksi tambahan
pada katoda menyebabkan atom logam yang teroksidasi lebih banyak esehingga
meningkatkan laju korosi.Persen degradasi ini berbanding lurus dengan laju
korosi pada gambar 2, dimana asam sulfat menyebabkan laju korosi terbesar
0.00349g/cm2.jam.

 '/+,+-&

'/+,+-&$,!)
')

NaOH 1 M

NaCl 1 M

 Garam




        
(./#,#*")*

Gambar 2. Laju Korosi pada Uji Asam, Basa, dan Garam

Pada kondisi asam, ion H+ memicu terjadinya reaksi reduksi lainnya yang
juga berlangsung, yakni evolusi atau pembentukan hidrogen menurut persamaan
reaksi :

(Rizky,2014)
Adanya dua reaksi di katoda pada kondisi asam menyebabkan lebih
banyaknya baja yang teroksidasi.Hal ini menjelaskan mengapa laju korosi dan
persen degradasi pada kondisi asam lebih besar dari pada kondisi basa dan garam.







Gambar 3. Degradasi coating dalam larutan asam sulfat


Pada kondisi basa, persen degradasi lebih kecil, hal ini karena dalam
larutan basa, material akan sulit terkorosi karena tidak adanya reaksi reduksi
tambahan yang berlangsung pada katoda. Pada larutan basa hanya material
coating yang terdegradasi karena larut dalam NaOH, sementara sampel baja tetap
bersih tidak teroksidasi sehingga laju korosi rendah dan material baja terlindungi.
Sampel yang telah diuji dengan NaOH ditunjukan pada gambar 13 sampel 4,5,
dan 6.
Sementara pada larutan garam, baja mengalami kontak langsung dengan
larutan elektrolit yang memicu terjadinya reaksi elektrokimia.Ion klorida yang
terkandung dalam larutan garam memiliki tingkat korosifitas seperti halnya ion
sulfat. Ion-ion yang terdapat pada garam berperan sebagai transportasi elektron
sehingga konsentrasi garam yang semakin pekat akan meningkatkan laju korosi.
Sementara itu, kondisi pH sample pada larutan garam bersifat netral,
sehingga sedikit coating yang terdegradasi tetapi sudah ada bagian baja yang
mengalami korosi pada bagian yang tidak terlindungi coating. Dari gambar 1 dan
2 terlihat bahwa persen degradasi dan laju korosi pada larutan garam memiliki
nilai yang paling kecil. Dalam kondisi netral, ion Fe2+ dan OH- membentuk
endapan Fe(OH)2 seperti terlihat pada gambar 4. Hal ini menjelaskan mengapa
dalam larutan garam terbentuk banyak endapan pada permukaan baja.







Gambar 4. Endapan dalam sampel baja setelah direndam dalamlarutan NaCl

#,-#**%& &-&
 H2SO4 1 M

 NaOH 1 MNaCl


1M

*%& &-&

H2SO4 1 M







        
(./#,#*")*

Gambar 5. Persen Inhibisi Korosi terhadap waktu peredaman


Inhibisiadalahkemempuanuntukmenahanterjadinyasuatureaksi.Dalamhalin
iinhibisimenghambatterjadinyareaksikorosi yang diakibatkanpadalarutanuji.Pada
gambar 5, menunjukkanperseninhibisipada larutan asam sulfat lebih sedikit dari
NaOH dan NaCl, hal ini menjelaskan mengapa pada larutan asam memiliki laju
korosi sangat besar sementara pada larutan basa dan garam laju korosi tidak
begitu besar.






Data Hasil Analisa SEM-EDX (Scanning Elektron Microscope with
Energy Dispersive x-ray)
Dari hasil uji asam, basa, dan garam yang didapat, dilakukan analisa SEM-
EDX pada sampel 1, sampel 4, dan sampel 7. Dimana sampel 7 memiliki laju
korosi paling kecil dan sampel 1 memiliki laju korosi paling besar.

a B

Gambar 6. Kondisi baja hasil analisa SEM-EDX a)H2SO4 b) NaOH c) NaCl


Dari perbesaran 1000x pada gambar 12 pada bagian a yang merupakan
hasil uji asam sulfat terlihat celah pada permukaan baja karena teroksidasi. Pada
bagian b yang merupakan hasil uji basa terlihat sisa-sisa coating yang menempel
dan permukaannya tidak terdapat korosi.Sementara pada bagian C terdapat
banyak endapan akibat reaksi Fe dengan larutan elektrolit garam.







Tabel 1. Hasil analisa kandungan unsur dengan EDX padasampel mild steel
Kandungan (%)
No Sampel
C O Si Fe
1 1 6,89 29,34 3,08 60,68
2 4 3,45 24,37 0,50 71,69
3 7 4,07 19,19 0,41 76,33

Dari hasil analisa SEM-EDX diperoleh kandungan pada permukaan


baja.Unsur C dari ketiga sampel yang terbesar yaitu pada sampel 1, unsur C ini
berasal dari baja dan juga getah flamboyan.
Pada bagian unsur O, terlihat pada sampel 1 memiliki persen O paling
besar dibandingkan sampel 4 dan 7.Hal ini menunjukan bahwa reaksi oksidasi
terbesar terjadi pada sampel1 (larutan asam) disusul oleh larutan basa dan garam.
Sementara itu unsur Fe pada sampel 1 adalah yang paling sedikit yaitu
60,68% dibandingkan dengan sampel 4 71,68% dan sampel 7 76,33%. Hal ini
menunjukan bahwa Fe pada sampel 1 banyak yang teroksidasi oleh unsur O,
sehingga memiliki laju korosi paling tinggi.

Data Hasil Analisa GC-MS Getah Flamboyan


Dari hasil analisa GC-MS getah flamboyan diperoleh senyawa dominan
yaitu 1,2- Benzenedycarboxylic Acid sebesar 86,78 % dengan tingkat kemiripan
91 %. Dibawah ini merupakan hasil data pengujian GC-MS getah flamboyan.







Gambar 17. Struktur 1,2-Benzendycarboxylic Acid


Dari gambar 15 dan gambar 16 terlihat bahwa gambar 15 memiliki
kemiripan puncak yang hampir sama dengan puncak yang berada di gambar 16.
Gambar 17 merupakan bentuk struktur dari 1,2-Benzendycarboxylic acid.
Senyawa 1,2-Benzendycarboxylic acid berfungsi sebagai inhibitor korosi.
Menurut penelitian T Brindha, 2015 inhibitor baja mild steel dengan gum
aucaria columnaris dapat menghambat korosi karena gum aucaria columnaris
mengandung senyawa polisakaridayang terdiri dariasam1,2-benzenedicarboxylic
acid, bis(2-ethylhexyl) ester, diisooctyl-phthalate, asam ftalat,
isobutildanester14isopropil yang berperan sebagai proteksi terhadap korosi baja.

4. KESIMPULAN

1. Degradasi coating dan laju korosi dipengaruhi oleh pH lingkungan.


2. Material coatingmengalami degradasi yang paling besar pada kondisi asam.
3. Pada kondisi basa material coating mengalami degradasi cukup besar tetapi
baja tidak teroksidasi.
4. Pada uji dengan larutan garam, coating mengalami persen degradasi paling
kecil.
5. Hasil uji GC- MS diperoleh kandungan getah flamboyan sebagian besar yaitu
1,2-Benzenedicarboxylic acid.







5. Daftar Pustaka
Afandi, Yudha Kurniawan, dkk.2015.Analisa Laju Korosi pada Pelat baja
Karbon dengan Variasi Ketebalan Coating. Surabaya : Institut Sepuluh
November (ITS).
Ambarwati dan Vicky Samsadi. Pelapisan hidrofobik kaca dengan metode
Sol-Gel Berbasis Waterglass. Surabaya : Institut Sepuluh November
(ITS).
Dahlan, Dahyunir dan S. Pravita, Anggi. 2013. Analisis Sifat Hidrofobik
dan Sifat Optik Lapisan Tipis TiO2. Padang : FMIPA Universitas
Andalas.
Dewi, Ika Marcelina Sari, dkk. Studi Perbandingan Laju Korosi dengan Varian
cacat Coating pada Pipa ALI 5L Grade X65 dengan Media korosi NaCl.
Surabaya : Institut Seputuh November (ITS).
Fontana, Mars Guy.1986. Corrosion Engineering. Singapore : Mc-Graw-Hill
Book Co.
Ichwani, M. Rizky. 2014. Pengaruh Kekasaran Permukaan Terhadap Laju
Korosi Baja 5L dalam Larutan Asam,Basa, dan Garam. Malang
:Universitas Brawijaya.
Prasetya, Hendra, dkk. 2011. Optimasi Proses sand blasting Terhadap Laju
Korosi Baja Aisi 430. Universitas Brawijaya.
Syarifudin, Umar dan Tiyas, Wahyu Dianing. 2014. Pembuatan SiO2-Getah
Flamboyan (Delonix Regia) sebagai MaterialCoating Pencegah Korosi.
Cilegon : Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Trethewey, K. R. dan Chamberlain, J. 1991. Korosi untuk Mahasiswa dan
Rekayasawan. Jakarta : PT. Gramedia.


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

PENGARUH KOMPOSISI CAMPURAN DAN WAKTU TAHAN


REDUKSI BIJIH BESI KABUPATEN MERANGIN
MENGGUNAKAN REDUKTOR BATUBARA

Soesaptri Oediyani1, Susi Maya Sari2


1,2
Jurusan Teknik Metalurgi, Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Cilegon 42435, Indonesia
Email: s_oediyani@untirta.ac.id

Abstrak

Bijih besi merupakan salah satu bahan baku utama pembuatan baja dan
Kabupaten Merangin Provinsi jambi merupakan salah satu daerah berpotensi
sumber daya bijih besi di Indonesia.Nilai tambah industri tambang ini akan dapat
memenuhi kebutuhan bahan baku industri. Salah satu upaya meningkatkan nilai
tambah bijih besi yang ada di Indonesia adalah dengan menggunakan bijih besi
di Kabupaten Merangin Provinsi Jambi sebagai bahan baku alternatif reduksi
bijih besi untuk menghasilkan besi spons, masalah utama proses reduksi bijih besi
antara lain adalah komposisi bijih besi dan batubara juga lamanya waktu
reduksi, sehingga dalam penelitian ini digunakan variasi komposisi campuran
dengan perbandingan 30, 25 dan 20% reduktor batubara dan variasi waktu tahan
reduksi 60, 75, 90, 105 dan 120 menit. Proses reduksi untuk menghasilkan besi
spons dilakukan dengan cara mencampurkan bijih besi, batubara dan batu kapur
kemudian dipanaskan menggunakan muffle furnace pada temperatur 950 0C, lalu
dilakukan pengujian terhadap besi spons yang dihasilkan untuk megetahui persen
metalisasi dengan menggunakan analisa basah, karbon sisa dan analisa
mikrostruktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persen metalisasi paling
tinggi didapatkan pada komposisi campuran 30% dengan waktu tahan 120 menit
yaitu 90,80%.

Kata kunci: lump ores Kabupaten Merangin, persen metalisasi, waktu tahan
reduksi, komposisi campuran

1. PENDAHULUAN
Bijih besi merupakan salah satu bahan baku utama pembuatan baja. Baja
merupakan sumber daya sebagai modal utama dalam pelaksanaan pembangunan
dan secara umum bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi
kesejahteraan masyarakat, selain itu produksi dan konsumsi baja merupakan salah
satu indikator berkembangnya suatu negara. Salah satu cara adalah dengan
pemanfaatan bijih besi dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, kelestarian

99
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
lingkungan, dan nilai potensi demi tercapainya pembangunan berkelanjutan.
[ESDM Merangin, 2008].
Seiring meningkatnya produksi baja nasional maka penggunaan bijih besi
sebagai bahan baku pembuatan baja juga meningkat. Untuk menjamin kelancaran
produksi industri besi baja nasional saat ini dan rencana pengembangan kapasitas
produksi di masa mendatang, maka perlu dukungan penyediaan bahan baku bijih
besi dalam jumlah cukup dengan harga yang kompetitif. Sampai saat ini
kebutuhan bijih besi nasional pada umumnya masih diimpor dari luar negeri,
sedangkan sumber daya bijih besi lokal sangat banyak tersebar di beberapa tempat
di Indonesia dan belum digunakan sebagai bahan baku pembuatan baja nasional
karena bijih besi lokal memiliki kandungan Fe total relatif berkisar antara 40-
60%. [ESDM, 2008].
Kabupaten Merangin merupakan salah satu daerah berpotensi sumber daya
bijih besi di Indonesia sehingga dapat diolah untuk menunjang keperluan produksi
industri besi baja nasional yang terus meningkat di masa mendatang. Kabupaten
Merangin berada di Provinsi Jambi yang memiliki jarak tempuh sekitar 255 km
dari pusat kota Jambi. Kandungan Fe total bijih besi di Kabupaten Merangin rata-
rata 65% sehingga digolongkan sebagai bijih besi high grade dan dapat memenuhi
kriteria untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pembuatan baja [ESDM
Merangin, 2008].
Berdasarkan data dinas pertambangan Kabupaten Merangin Jambi terdapat
5 lokasi berpotensi sumber daya bijih besi yang dapat diolah. 5 lokasi berpotensi
tersebut terletak di Desa Nalo Gedang, Desa Pulau Layang, Desa Petukan, Desa
Telentan, dan Desa Kotorayo. Berdasarkan data tersebut, telah dilakukan
eksploitasi bijih besi yang berpusat di Desa Nalo Gedang seluas 60 Ha kurang
lebih 1 juta ton, dan Desa Pulau Layang seluas 50 Ha kurang lebih 1,5 juta ton,
sedangkan sumber daya bijih besi yang terdapat di Desa Telentam, Desa
Kotorayo, dan Desa Petukan belum dapat diperkirakan karena masih dalam tahap
eksplorasi [ESDM Merangin, 2008].
Dengan adanya Undang-undang Mineral Batubara (MINERBA) no 4
tahun 2009, pemerintah daerah diwajibkan untuk mengolah produk hasil tambang

100
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
di dalam negeri menjadi produk yang memiliki nilai tambah dan tidak langsung
menjual produk hasil tambang keluar negeri dalam keadaan mentah ataupun
belum diolah. Peningkatan nilai tambah industri tambang ini akan dapat
memenuhi kebutuhan bahan baku industri baja domestik, memberikan dampak
positif bagi perekonomian bangsa, dan menghasilkan efek berantai yang
signifikan pada kondisi sosial ekonomi. Salah satu upaya meningkatkan nilai
tambah bijih besi yang ada di Indonesia adalah dengan mengunakan bijih besi
yang ada di Kabupaten Merangin jambi sebagai bahan baku alternatif reduksi
bijih besi untuk menghasilkan besi spons.
Istilah reduksi langsung menjadi lebih umum digunakan sebagai suatu
teknologi pembuatan besi spons. Besi spons digunakan sebagai bahan baku
industri baja yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas baja yang dihasilkan
[Ross., 1980]. Bijih besi yang masih dalam bentuk oksida harus melewati tahapan
pelepasan oksigen yang terikat pada bijih besi sehingga pada akhirnya yang
tersisa pada bijih besi hanya Fe dalam bentuk logamnya. Melepaskan oksigen
yang terikat pada bijih besi dibutuhkan suatu reduktor. Reduktor yang digunakan
berupa C, CO atau H2 [Ross,1980].
Karbon merupakan salah satu reduktor yang banyak digunakan untuk
mereduksi bijih besi. Sumber karbon yang digunakan untuk mereduksi bijih besi
hendaknya mempertimbangkan efisiensi dan faktor ekonomis untuk mengurangi
biaya produksi namun tidak mengurangi kualitas produk dan menghambat proses
reduksi [Yayat Imam Supriyatna, 2012]. Batubara merupakan salah satu sumber
reduktor yang bisa digunakan untuk mereduksi bijih besi.
Dalam penelitian ini reduktor yang digunakan adalah 100% batubara sub-
bituminus berasal dari Kalimantan. Di dalam proses reduksi kandungan utama
yang perlu diperhatikan dalam batubara adalah jumlah karbon, karena gas CO
tersebut akan berdifusi mereduksi bijih besi. Untuk memberikan kesempatan gas
CO berdifusi sampai ke bagian inti bijih besi maka diperlukan penahanan waktu
sehingga proses reduksi berjalan dengan sempurna.
Pada penelitian ini juga memvariasikan komposisi campuran bijih besi dan
batubara yang digunakan, Perbedaan komposisi pencampuran antara bijih besi

101
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
dengan reduktor batubara akan memberikan pengaruh terhadap nilai perolehan
Femetal selama proses reduksi. Hal ini bergantung pada jumlah fixed carbon
batubara yang digunakan, jumlah fixed carbon terlalu sedikit mengakibatkan tidak
terpenuhinya gas CO yang dihasilkan dari gasifikasi karbon. Jumlah fixed carbon
berlebihan akan membuat perolehan Femetal spons menjadi tidak optimal karena
terjadi pembentukan CO berlebih. Oleh karena itu perlu optimalisasi pencampuran
antara bijih besi dan batubara.

2. Kajian Pustaka
Reduksi bijih besi merupakan proses untuk mendapatkan besi metal dari
bijih besi yang masih dalam bentuk oksida. Pada proses reduksi dibutuhkan
bahan lain sebagai reduktor yang akan mengubah oksida besi dengan muatan
tinggi menjadi oksida besi dengan muatan yang lebih rendah atau bahkan
menjadi logam. Reduktor yang dapat digunakan dapat berupa C, CO atau H2
reaksi-reaksi reduksinya adalah sebagai berikut: [Ross, 1980]
3Fe2O3 + C 2Fe3O4 + CO !G01273 = -73 Kkal........(2.1)
3Fe2O3 + CO 2Fe3O4 + CO2 !G01273 = -24,19 Kkal...(2.2)
3Fe2O3 + H2 2Fe3O4 + H2O !G01273 = -25,72 Kkal ...(2.3)
Proses reduksi langsung didefinisikan sebagai suatu proses menghasilkan
besi metal dengan mereduksi bijih besi ataupun bentuk senyawa oksida lainnya
dibawah temperatur lebur setiap material yang terlibat di dalamnya. [Feinman,
1999]. Hasil proses reduksi langsung disebut dengan DRI (Direct Reduction Iron),
karena hasilnya masih dalam bentuk padatan dan secara fisik pada permukaannya
terlihat rongga-rongga atau porositas maka disebut juga dengan besi spons.
2.5 Reduksi Langsung Bijih Besi Oleh Batubara
Karbon merupakan salah satu reduktor yang banyak digunakan utuk
mereduksi bijih besi, dan salah satu sumber karbon adalah batubara. Reduksi bijih
besi oleh batubara atau karbon padat dapat digambarkan pada saat gas CO hasil
gasifikasi batubara secara langsung berdifusi secepat gas CO terbentuk [Ross,
1980]. Difusi gas CO akan terganggu ketika terbentuknya besi metal pada bagian
permukaan bijih besi seperti terlihat pada Gambar 2.1 yang mengilustrasikan

102
PROSIDING
ROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
potongan secara parsial besi oksida belum tereduksi sempurna. Terlihat bahwa
pada bagian luar terdapat suatu lapisan logam besi, hal ini mengindikasikan bahwa
bagian permukaan telah tereduksi sempurna menjadi besi.
besi. Oleh karena itu yang
terjadi selanjutnya adalah difusi gas CO melalui lapisan logam besi menuju
permukaan besi oksida.

Gambar 2.1 Ilustrasi reduksi parsial besi oksida [Sun,


[Su 1997]

2.6 Diagram Elingham

Gambar 2.2 Diagram Elingham untuk reduksi bijih besi [Ross, 1980]
19
oksida, jika ditarik garis tegak
Pada Gambar 2.2 terdapat tiga bentuk senyawa besi oksida,
lurus terhadap temperatur 1000 0C pada temperatur dan tekanan konstan dapat
dilihat senyawa yang pertama kali direduksi adalah hematit (Fe2O3), dilanjutkan
dengan magnetit (Fe3O4) dan terakhir
terak adalah wustit (FeO). Jadi, ada tiga ta
tahapan
reduksi bijih besi oksida oleh gas CO [Rosenvqist, 1983] yaitu persamaan reaksi
(2.2), (2.4) dan (2.5).
Fe3O4 + CO 3FeO + CO2 !G01273 = -4,46
4,46 Kkal..........
Kkal..........(2.4)

103
PROSIDING
ROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
FeO + CO Fe + CO2 !G01273 = +2,01 Kkal ........
........(2.5)
Pada persamaan (2.5)) reaksi FeO menjadi Fe oleh reduktor
red CO menghasilkan nilai
!G0 pada Temperatur 1273 K adalah positif atau secara temodinamika tidak dapat
berlangsung. Kondisi ini mengindikasikan reduksi FeO
FeO menjadi Fe merupakan
tahapan yang sulit terjadi, namun demikian reduksi FeO menjadi Fe dapat
berlangsung jika kondisi proses reduksi dapat menghasilkan
menghasilkan komposisi gas CO
melebihi kesetimbangan kestabilan FeO dan adanya sisa
sis karbon pada proses
reduksi bijih besi (Glasner-Boudourd
(Glasner- diagram).
2.7 Kesetimbangan Boudouard
oksigen akan membentuk
Pada temperatur tinggi, reaksi antara karbon dan oksigen
gas CO. Menurut reaksi kesetimbangan Boudouard dijelaskan bagaimana
Keberadaan karbon pada proses
kestabilan gas CO pada saat proses reduksi. Keberadaan
akan
reduksi menyebabkan CO2 menjadi tidak stabil pada temperatur tinggi dan aka
menjadi CO [Biswas, 1981].
( 01273 = + 63,45 Kkal), reaksi ini
Reaksi Boudouard bersifat endotermis (!H
kestabilan CO memerlukan
membutuhkan energi atau untuk mendapatkan kestabilan
temperatur tinggi. Glasner-Bouduard
Glasner Bouduard membuat sebuah diagram kesetimbangan
antara, besi hematit, magnetit, wustit, karbon padat, karbon monoksida,
m dan
karbon dioksida (Gambar 2.3)
2.3) merupakan dasar untuk reduksi langsung deng
dengan
karbon. [Ross, 1980]

Gambar 2.3 Diagram Glasner-Boudouard


Boudouard

104
PROSIDING
ROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
Pada diagram kesetimbangan Glasner-Boudouard
Glasner Boudouard reduksi magnetit
(Fe3O4) menjadi wustit (FeO) pada temperatur 650 0C, reduksi wustit (FeO)
menjadi Fe pada temperatur 700 0C. Dengan kata lain secara termodinamika
temperatur 700 0C dan magnetit
wustit (FeO) tidak bisa direduksi dibawah temperatur
(Fe3O4) juga tidak bisa direduksi dibawah temperatur 650 0C, karena gas CO
isi kembali membentuk gas CO2 dan C [Ross, 1980].
terdekomposisi
Menurut diagram Boudouard reaksi besi oksida dengan CO/CO2 (1 atm)
terjadi pada temperatur 710 0C. Pada temperatur 900-1000 0C, akan diperoleh
100% CO. [Ross, 1980]
dikendalikan oleh laju gasifikasi karbon. Laju
Laju reaksi secara keseluruhan dikendalikan
gasifikasi karbon ditentukan oleh beberapa faktor yaitu
yaitu reaktivitas karbon,
temperatur dan juga ketersediaan panas yang digunakan
digunakan untuk mempertahankan
reaksi hingga mencapai temperatur operasi.
2.8 Tahapan Kinetika Reduksi Bijih Besi
Suatu proses reduksi besi oksida untuk menjadi logam besi akan melal
melalui
tahapan-tahapan
tahapan tertentu. Gas reduktor akan berdifusi menuju lapisan
la antarmuka
besi oksida melalui suatu lapisan film. Kondisi ketika gas reduktor
r melewati
lapisan film secaraa sistematis akan melalui beberapa tahap seperti pada Gambar
2.4 kecepatan suatu reaksi dikendalikan oleh tahapan yang paling lambat. [Sun,
1997]

Gambar 2.4 Skema kinetika difusi gas reduktor menuju lapisan


permukaan besi oksida

105
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
Menurut Gambar 2.4 kemungkinan tahapan-tahapan secara berurutan adalah
sebagai berikut:
1. Perpindahan gas reduktor dari bulk gas phase menuju permukaan
butiran melalui suatu lapisan film (gas boundary film).
2. Difusi gas reduktor melalui lapisan produk ke reaksi antar muka
(interface reaction) dan adsorbsi gas reduktor di lapisan antar muka.
3. Reaksi antar muka terjadi perpindahan massa besi dan ion oksigen
serta terjadi transformasi fasa padatan yaitu pembentukan dan
pertumbuhan dari reaksi produk yaitu magnetik, wustit dan besi.
4. Difusi gas produk melalui lapisan produk menuju permukaan butiran.
5. Perpindahan gas produk dari permukaan butiran melalui suatu lapisan
batas (boudary gas film) menuju bulk gas phase.
Dari tahapan tersebut terdapat dua faktor pengontrol laju reaksi, yaitu Chemical
controlled (tahapan 3) dan Difussion controlled (tahapan 1, 2, 4 dan 5). [Biswas,
1981]
3. METODE PENELITIAN
Bijih besi, batubara dan batu kapur dipreparasi hingga mencapai ukuran lolos
dari ayakan -10 +18 # yang bertujuan membuat partikel bijih besi menjadi
homogen, sehingga akan lebih mudah pada proses pencampuran. Alat preparasi
yang digunakan adalah hand crushing, rod mill dan vibrating screen. Kemudian
dilakukan analisa komposisi kimia untuk bijih besi dan batu kapur yang
digunakan sedangkan terhadap batubara dilakukan analisa proksimat. Data
pengujiannya dapat dilihat pada Tabel 3.1-3.3. Gambar 3.1a-c masing-masing
menunjukkan bentuk fisik dari bijih besi, batu bara dan batu kapur yang
digunakan dalam penelitian ini.

106
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

(a) Bijih Besi (b) Batubara (c) Batu Kapur


Gambar 3.1 Bentuk fisik Bahan Baku Penelitian
Tabel 3.1 Komposisi Kimia Bijih Besi
SiO2 Al2O Fe Total FeO Fe2O3 CaO MgO TiO2 P2O5 S total

4,62 7,38 58,20 2,16 80,90 0,28 0,12 0,14 0,18 0,078
% % % % % % % % % %
Tabel 3.2 Hasil Analisis Proksimat
Fixed carbon 35,98 %
Moisture 7,70 %
Volatile matter 43,95 %
Ash 12,37 %

Tabel 3.3 Komposisi Kimia Batu Kapur


CaO MgO SiO2 LOI
(Lost Of
Ignitation)
53,20% 0,28% 0,70% 41,80%

Setelah dilakukan tahap preparasi, maka bijih besi, batu bara dan batu kapur
dicampur dengan komposisi 70% : 30% : <1%, 75% : 25% : <1% dan 80% : 20%

107
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
: <1%. Masing-masing campuran bahan baku ini dimasukkan ke dalam cawan
yang tertutup dan dilakukan tahap reduksi dengan menggunakan muffle furnace.
Temperatur reduksinya sekitar 950 0C
Dengan variasi waktu reduksi (menit) : 60, 75, 90, 105 dan 120. Hasilnya disebut
sebagai besi spons yang kemudian dianalisa untuk mengetahui komposisi Fe total,
Femetal dengan menggunakan standar pengujian ASTM-E 1028-84 dan juga
dilakukan analisa karbon sisa dan mikrostruktur dari besi spons tersebut.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Pengaruh Waktu Tahan dan komposisi Campuran Terhadap Persen
Metalisasi Besi Spons

Persen metalisasi merupakan perbandingan banyaknya persen Femetal


terhadap persen Fe total dalam besi spons, dan dapat dituliskan seperti persamaan
(4.1) berikut:

% Metalisasi = x 100%...........................................................(4.1)

Persen metalisasi digunakan untuk melihat kualitas besi spons yang dihasilkan
untuk bahan baku proses lanjutan yaitu steel making. Besi spons yang memiliki
persentase metalisasi tinggi akan mengurangi konsumsi energi pada proses steel
making karena konsumsi energi untuk menghilangkan oksigen lebih sedikit
[Kumar,S.Arun, 2009].
4.1.1 Pengaruh Waktu Tahan Terhadap Persen Metalisasi Besi Spons
Pada proses reduksi yang perlu diperhatikan adalah tahapan difusi gas CO,
karena gas CO akan berdifusi mereduksi bijih besi. Untuk memberikan
kesempatan gas CO berdifusi sampai kebagian inti bijih besi maka diperlukan
penahanan waktu sehingga proses reduksi berjalan dengan sempurna.
Bertambahnya waktu tahan reduksi hingga waktu tahan tertentu cenderung
meningkatkan persen metalisasi kemudian persen metalisasi cenderung konstan
[Habashi, 1969]. Pada penelitian ini dilakukan proses reduksi dengan variasi
waktu tahan berbeda sehingga didapatkan grafik seperti pada Gambar 4.1.

108
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016




 



 


  

  

 

 







 


 


 
   
 






  



 

 
 
Gambar 4.1 Pengaruh waktu tahan terhadap persen metalisasi
Dari Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa bertambahnya waktu tahan akan
meningkatkan persen metalisasi (30% reduktor). Hal ini dikarenakan dengan
penambahan waktu tahan memberikan kesempatan gas CO berdifusi hingga
bagian inti, tetapi kenaikan persen metalisasi tidak selamanya berbanding lurus
terhadap peningkatan waktu tahan reduksi, seperti pada grafik (25% reduktor)
terjadi penurunan persen metalisasi, hal ini diduga terjadinya pengintian ion Fe2+
pada saat proses reduksi berlangsung. Pada saat ion Fe2+ berdifusi menuju lapisan
wustit untuk mencari tempat pengintian yang sesuai maka pengendapan logam
mulai terjadi di permukaan bijih besi [Ross, 1980]. Pengendapan logam di
permukaan bijih besi dapat menganggu difusi gas CO sehingga secara langsung,
proses reduksi akan terhambat.

109
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
Terganggunya tahapan difusi gas CO oleh lapisan padat logam besi pada
permukaan mengakibatkan konsentrasi kesetimbangan gas CO-CO2 akan berada
di daerah kestabilan wustit. Pada saat konsentrasi gas CO-CO2 berada pada daerah
wustit maka seluruh reaksi reduksi akan membentuk wustit dan reaksi reduksi
pembentukan Femetal akan berjalan menuju reaktan membentuk wustit seperti
yang ditunjukkan pada persamaan reaksi [Ross,1980].
Fe + CO2 FeO + CO !G01273 = -2,01 Kkal.....................(4.2)
Berdasarkan hasil penelitian Kamijo (Gambar 4.2) dijelaskan bahwa konsentrasi
CO2 terhadap persen metalisasi yang terbentuk akan berlebih dan akan
mereoksidasi kembali logam Fe menjadi oksida logam, sehingga dengan
bertambahnya konsentrasi CO2 pada atmosfer mengakibatkan persen metalisasi
turun signifikan didukung dengan hasil analisa karbon sisa seperti pada Tabel 4.1.

Gambar 4.2 Pengaruh CO2 pada atmosfer terhadap persen metalisasi


[Kamijo, 2001]
Tabel 4.1 Data Analisa Karbon Sisa
Komposisi reduktor (%) Waktu (menit) Karbon sisa (%)
60 11,43
75 13,41
30 90 10,23
105 15,15
120 10,32

110
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

4.1.2 Pengaruh Komposisi Campuran Terhadap Persen Metalisasi Besi


Spons
Dalam penelitian tentang reduksi bijih besi Merangin ini juga dilakukan
variasi campuran untuk mengetahui pengaruhnya terhadap persen metalisasi besi
spons. Variasi campuran yang digunakan yaitu penggunaan 30%, 25% dan 20%
reduktor batubara, sehingga didapatkan grafik seperti pada Gambar 4.3. Dari
Gambar 4.3 terlihat bahwa grafik hasil percobaan pada variasi penggunaan
reduktor yang berbeda terhadap persen metalisasi besi spons. Persen metalisasi
cenderung tinggi, hal ini megindikasikan penggunaan reduktor yang lebih besar
(30% reduktor) memiliki persen metalisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
penggunaan reduktor yang lebih kecil. persen metalisasi berhubungan langsung
dengan penggunaan reduktor, dengan semakin banyaknya reduktor yang
digunakan maka semakin banyak pula ketersediaan bahan reduktor sehingga
oksida besi yang dapat direduksi akan semakin banyak.




  





 

 
 
 

Gambar 4.3 Pengaruh komposisi campuran terhadap persen metalisasi


Jumlah ketersediaan bahan reduktor akan memberikan pengaruh langsung
terhadap ketersediaan gas reduktor. Gas reduktor CO yang bertindak sebagai
reduktor dihasilkan dari gasifikasi batubara, sehingga dengan semakin sedikitnya
bahan reduktor maka akan mengurangi jumlah gas CO yang terbentuk.

111
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

4.2 Pengaruh Waktu Tahan dan Komposisi Campuran Terhadap Persen


FeMetal Besi Spons
Selain untuk mengetahui pengaruh variasi waktu tahan dan komposisi
campuran terhadap persen metalisasi juga dilakukan analisa pengaruh terhadap
persen Femetal yang terbentuk, karena berdasarkan Permen ESDM No. 07 tahun
2012 bahwa komoditas bijih ditetapkan batasan produk minimum besi spons
untuk dijual ke luar negeri memiliki kadar Femetal lebih dari 80% [Permen
ESDM, 2012]. Hasil penelitian mengenai reduksi bijih besi merangin dengan
variasi waktu tahan dan komposisi campuran terhadap persen Femetal yang
terbentuk.
4.2.1 Pengaruh Waktu Tahan Terhadap Persen Femetal Besi Spons
Berdasarkan persamaan (4.1) dapat diketahui bahwa persen metalisasi
berbanding lurus dengan persen Femetal dengan kata lain kenaikan persen
metalisasi bergantung pada nilai Femetal yang terbentuk, sama halnya dengan
kenaikan persen metalisasi terhadap waktu tahan, persen Femetal juga bergantung
pada kestabilan gas CO berdifusi hingga bagian inti bijih besi. Pada saat
kestabilan gas CO telah tercapai, dibutuhkan waktu tahan agar CO dapat berdifusi
hingga menuju bagian inti bijih besi yang belum tereduksi, sehingga terbentuknya
Femetal tidak hanya dibagian permukaan saja. Pengaruh waktu tahan terhadap
persen Femetal besi spons pada variasi waktu tahan (Gambar 4.4). Terlihat bahwa
grafik hasil percobaan waktu tahan mempengaruhi kenaikan persen Fe metal.






% Fe metal



 

waktu (menit)

112
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016





% Fe metal



 

waktu (menit)





% Fe metal




 

waktu (menit)

Gambar 4.4 Pengaruh waktu tahan terhadap persen Femetal


Pada Gambar 4.4 juga terlihat bahwa waktu tahan tidak selalu signifikan
mempengaruhi kenaikan persen Femetal (25% reduktor) mengalami penurunan
Femetal dengan bertambahnya waktu tahan. Hal ini mengindikasikan bahwa
terhambatnya difusi gas CO oleh lapisan padat besi, maka konsentrasi gas CO
terhambat CO2 pada daerah permukaan bijih besi, seperti yang telah diilustrasikan
sebelumnya pada Gambar 2.1.
Hasil analisa mikrostruktur dengan menggunakan mikroskop optik, untuk
mengindikasikan terbentuknya logam besi dapat dilihat pada Gambar 4.5. Dari
Gambar 4.5, dapat dilihat bahwa lebih dominan terbentuknya logam besi pada
waktu tahan 90 menit dibandingkan dengan 60 menit. Berdasarkan hasil analisa

113
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
perhitungan menggunakan software diketahui bahwa persentase logam besi yang
terbentuk sebesar 23,65 (60 menit) dan 64,68% (90 menit). Hal ini
mengindikasikan seperti pernyataan sebelumnya bahwa dengan penambahan
waktu tahan cenderung meningkatkan persen metalisasi dan persen Fe metal. Selain
itu, dari Gambar 4.5 juga dapat dilihat setelah dilakukan proses reduksi terdapat
porous (hitam) dan oksida (abu-abu) dengan persentase 12,66%.

abu-abu (oksida), putih (logam), hitam (porous).


(a) Waktu tahan 60 menit (b) waktu tahan 90
menit
Gambar 4.5 Mikrostruktur besi spons
Dari Gambar 4.5, dapat dilihat bahwa lebih dominan terbentuknya logam
besi pada waktu tahan 90 menit dibandingkan dengan 60 menit. Berdasarkan
hasil analisa perhitungan menggunakan software Image-J diperoleh bahwa
persentase logam besi yang terbentuk sebesar 23,65 (60 menit) dan 64,68% (90
menit). Hal ini mengindikasikan seperti pernyataan sebelumnya bahwa dengan
penambahan waktu tahan cenderung meningkatkan persen metalisasi dan persen
Femetal. Selain itu, dari Gambar 4.5 juga dapat dilihat setelah dilakukan proses
reduksi terdapat porous (hitam) dan oksida (abu-abu) dengan persentase 12,66%.

4.2.2 Pengaruh Komposisi Campuran Terhadap Persen Femetal Besi Spons


Perbedaan komposisi campuran antara bijih besi dan reduktor batubara
akan memberikan pengaruh terhadap perolehan nilai Femetal selama proses
reduksi. Pengaruh komposisi campuran terhadap persen Femetal besi spons pada

114
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
variasi waktu tahan dapat dilihat pada Gambar 4.6. Pada Gambar 4.6 terlihat
bahwa pada variasi waktu tahan reduksi, penggunaan reduktor yang lebih besar
(30% reduktor) memiliki persen Femetal yang lebih tinggi dibandingkan dengan
penggunaan reduktor yang lebih kecil. Pada komposisi 30% reduktor terlihat
bahwa kecenderungan Femetal yang terbentuk lebih optimum dibandingkan
komposisi reduktor lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kandungan Jumlah
fixed carbon pada reduktor akan membuat perolehan Femetal pada besi spons
optimal karena secara tidak langsung konsentrasi dari produk reduksi yang
dihasilkan seperti CO dan CO2 akan banyak pula, yang berdampak pada difusi.

90
80
% Fe metal

70
60
50
40
30
60 75 90 105 120
waktu (menit)
30% Reduktor 25% Reduktor 20% Reduktor

Gambar 4.6 Pengaruh komposisi campuran terhadap persen Femetal


Hasil analisa mikrostruktur dengan menggunakan mikroskop optik, untuk
mengindikasikan terbentuknya logam besi dapat dilihat pada Gambar 4.7 yang
menunjukkan fasa-fasa yang terbentuk setelah dilakukan proses reduksi pada
waktu tahan 90 menit dan variasi komposisi reduktor. Dari Gambar 4.7 dapat
dilihat bahwa logam besi yang lebih dominan terbentuk adalah pada Gambar 4.7.a
(30% reduktor). Dengan persentase Femetal yang terbentuk untuk Gambar a (30%
reduktor), b (25% reduktor), dan c (20% reduktor) adalah 64,679%, 32,85% dan
20,91%. Persentase oksida yang belum tereduksi sebesar 15,56% (Gambar 4.8.a),
18,58% (Gambar 4.7b) dan 21,62% (Gambar 4.7.c) Hal ini mengindikasikan
seperti pernyataan sebelumnya bahwa penggunaan reduktor dengan kandungan
fixed carbon yang mencukupi (30% reduktor), secara tidak langsung

115
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
mempengaruhi konsentrasi dari produk reduksi yang dihasilkan seperti CO dan
CO2 akan banyak pula.

30% reduktor 25% reduktor

20% reduktor

Keterangan: abu-abu(Oksida), Putih(Logam), Hitam(Porous)


Gambar 4.8 Mikrostruktur besi spons

5. KESIMPULAN
1. Persen metalisasi besi spons untuk bijih besi Merangin Provinsi Jambi
paling tinggi dicapai pada komposisi 30% reduktor yaitu 90,80% dan
persen metalisasi akan meningkat dengan penambahan waktu tahan.
Persen metalisasi besi spons untuk bijih besi Merangin Provinsi Jambi
paling tinggi dicapai pada waktu tahan 120 menit dengan persen
metalisasi 90,80%.
2. Persen Femetal pada besi spons Merangin Provinsi Jambi tertinggi sebesar
78,65% dicapai pada komposisi 30% reduktor dan waktu tahan 120
menit. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa besi spons yang dihasilkan

116
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
memenuhi persyaratan minimum Permen ESDM No.1 tahun 2014 yaitu
persen Femetal pada besi spons ! 75%.
3. Persen Fetotal pada besi spons Merangin Provinsi Jambi tertinggi sebesar
87,94% dicapai pada komposisi 30% reduktor dan waktu tahan 75 menit.
6. Daftar Pustaka
Biswas,A.K.1981. Principles Of Blast Furnace Ironmaking. Gootha Publishing
House. Brisbane, Australia.

Buku Peluang Investasi Kabupaten Merangin. 2008. Departemen ESDM


Kabupaten Merangin

Fathi Habashi. 1969. Principles Of Extractive Metallurgy. Volume 1: Chapter 6.


Energetics. Gordon and Breach. New York.

Feinman, J.1999. Direct Reduction and Smelting Processes: Chapter 11. The
AISE Steel Foundation. Pittsburgh.

Kamijo, Chikashi, Masahiko Hoshi, Takazo Kawaguchi, Hideyuki Yamaoko, dan


Yasuo Kamei. 2001.Production Of Direct Reduced Iron By A Sheet Material
Inserting Metallization Methode.ISIJ. Jepang.

Kumar,S.Arun. 2009.Preparation And Characterization Of Sponge Iron, Thapar


University, India.

Permen Energi Dan Sumber Daya Mineral No.7. 2012. Peningkatan Nilai
Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan Dan Pemurnian Mineral.
ESDM. Indonesia.

Rosenqvist, Terkel. 1983. Principles of Extractive Metallurgy, 2nd ed. Tokyo :


McGraw Hill Kogakusha Ltd.

Ross, H.U. 1980. Physical Chemistry: Chapter 3. Direct Reduced Iron Technology
and Economics Of Productions and Use. The Iron and Steel Society of
AIME. Warrendale.

Sun,S.S. 1997. A Study Of Kinetics And Mechanisms Of Iron Ore Reduction In


Ore/Coal Composites. McMaster University.Canada.

Yayat Iman Supriyatna, et al. 2012. Study Penggunaan Reduktor Pada roses
Reduksi Pellet Bijih Besi Lampung Menggunakan Rotary Kiln. Lampung
Selatan: LIPI.

117

  
 
PENGARUH SUHU DAN WAKTU REAKSI PADA PEMBUATAN
KITOSAN DARI TULANG SOTONG (Sepia officinalis)

Etty Centaury Siregar1, Suryati1, Lukman Hakim 1


Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh, Laboratorium
Teknik Kimia, Jl. Batam No. 02, Bukit Indah, Lhokseumawe 24353
e-mail: ettycentaurysiregar@gmail.com

Abstrak

Dilakukan penelitian pembuatan kitosan dengan menggunakan bahan baku tulang


sotong. Kitosan dibuat dengan tiga tahapan, yaitu deproteinasi dengan
mereaksikan bahan baku dengan NaOH 4 %, demineralisasi dengan
menambahkan HCl 1 M, dan deasetilasi dengan mereaksikan hasil demineralisasi
dengan NaOH 50% dengan variasi suhu dan waktu deasetilasi. Produk kitosan
yang dihasilkan kemudian diuji kadar air, kadar abu, viskositas dan
dikarakterisasi gugus fungsinya menggunakan spektrofotometer FT-IR. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa suhu berpengaruh pada kadar air, kadar abu dan
viskositas kitosan. Waktu berpengaruh pada kadar abu kitosan. Derajat
deasetilasi yang didapat pada penelitian ini sebesar 81,0231 %. Berdasarkan
hasil FT-IR, kitosan yang dihasilkan dari tulang sotong pada penelitian ini
memiliki gugus hidroksil, gugus amida, dan gugus amina yang merupakan ciri
terbentuknya kitosan.

Kata kunci: Kitosan, Tulang sotong, suhu, waktu dan Deasetilasi

1. PENDAHULUAN
Kitin merupakan bahan organik utama terdapat pada kelompok hewan
crustacea, insekta, fungi, mollusca dan arthropoda. Cangkang kepiting, udang
dan lobster telah lama diketahui sebagai sumber bahan dasar produksi kitin,
karena kandungan kitinnya cukup tinggi. Cangkang kering arthropoda rata-rata
mengandung 20-50% kitin (Suhardi, 1993).
Kitin yang telah dihilangkan gugus asetilnya melalui proses deasetilasi
disebut kitosan. Kitosan (2-asetamida-deoksi- -D-glukosa) memiliki gugus amina
bebas yang membuat polimer ini bersifat polikationik, sehingga polimer ini
potensial untuk diaplikasikan dalam pengolahan limbah, obat-obatan, pengolahan
makanan dan bioteknologi (Savant dkk., 2000).



  
 
Kitosan merupakan padatan amorf berwarna putih dengan struktur kristal
tetap dari bentuk awal kitin murni, memiliki sifat biologi dan mekanik yang tinggi
diantaranya adalah biorenewable, biodegradable, dan biofungsional. Kitosan
mempunyai rantai yang lebih pendek daripada rantai kitin (Suhardi, 1993).
Salah satu komoditas perikanan Indonesia yang berorientasi ekspor adalah
sotong. Pada umumnya sotong dimanfaatkan tanpa kepala atau tanpa kepala dan
tulang bagian dalam. Hal itu menyebabkan limbah yang berasal dari sotong juga
bervariasi berkisar antara 65- 85 % dari berat sotong, tergantung dari jenisnya.
Limbah sotong padat biasanya dimanfaatkan sebagai campuran pakan ternak dan
sebagian lagi belum dimanfaatkan (Wiles, 2000).
Limbah padat molusca ini merupakan salah satu masalah yang harus
dihadapi oleh pabrik pengolahan. Selama ini limbah tersebut dikeringkan dan
dimanfaatkan sebagai pakan dan pupuk dengan nilai ekonomi yang rendah.
Seiring dengan semakin majunya ilmu pengetahuan kini limbah sotong dapat
dijadikan bahan untuk membuat kitin dan kitosan (Muzarelli, 1977).

2. Tinjauan Pustaka
Kitosan dengan rumus molekul (C6H11NO4)n adalah hasil hidrolisis
kimiawi maupun enzimatik dari senyawa kitin. Kitosan merupakan kitin yang
telah dihilangkan gugus asetilnya melalui proses deasetilasi. Jadi kitosan adalah
suatu senyawa polimer dari glukosamin pada ikatan 11-1-4 atau 2-amino-2-
deoksi-D-glukosa (Alistair, 1995). Suatu molekul dikatakan kitin bila mempunyai
derajat deasetilasi (DD) sampai 10% dan kandungan nirogennya kurang dari 7%.
Dan dikatakan kitosan bila nitrogen yang terkandung pada molekulnya lebih
besar dari 7% berat dan derajad deasetilasi (DD) lebih dari 70%
(Muzzarelli,1985).
Proses utama dalam pembuatan kitosan, meliputi penghilangan protein
dan kandungan mineral melalui proses deproteinasi dan demineralisasi, yang
masing-masing dilakukan dengan menggunakan larutan basa dan asam.
Selanjutnya, kitosan diperoleh melalui proses deasetilasi dengan cara
memanaskan dalam larutan basa (Tolaimatea et al., 2003).



  
 
Laju reaksi pada proses deasetilasi dipengaruhi oleh konsentrasi basa,
temperatur, waktu reaksi, perbandingan antara kitin dengan larutan alkali, ukuran
partikel. Pada konsentrasi NaOH tinggi. semakin banyak gugus asetil yang
terlepas dari kitin sehingga meningkatkan derajat deasetilasi kitosan yang
dihasilkan, Pada temperatur rendah reaksi akan berjalan lambat, sedangkan jika
temperatur terlalu tinggi dapat merusak struktur bahan dasar (Suhardi, 1993).

3. Metode Penelitian
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Tulang rawan
sotong, Natrium hidroksida (NaOH), Asam klorida (HCl), Asam asetat, dan
Aquades.
Prosedur kerja
Tulang sotong dikeringkan kemudian dihaluskan. Selanjutnya dilakukan
proses deproteinasi dengan menggunakan NaOH 4 % pada suhu 80C sambil
dilakukan pengadukan, proses demineralisasi dengan menambahkan HCl 1 M
dengan perbandingan 1:15 (b/v) selama 120 menit pada suhu kamar. Proses
deasetilasi dilakukan dengan mereaksikan hasil demineralisasi dengan NaOH 50%
dengan perbandingan 1:10 (b/v) dengan variasi suhu 70, 80, 90, 100C selama 40,
50, 60, 70 menit, Hasil deasetilasi kemudian dicuci hingga pH netral dan
dikeringkan. Kitosan yang diperoleh ditimbang dan dikarakterisasi kadar air,
kadar abu viscositas dan gugus fungsinya.

4. Hasil dan Diskusi


Pembuatan kitosan
Proses pembuatan kitosan diawali dengan deproteinasi menggunakan
NaOH 4%. Proses deproteinasi, bertujuan untuk memutuskan ikatan antara protein
dengan kitin. Deproteinasi dilakukan selama 60 menit dengan suhu 80C dan
perbandingan 1:10 b/v. Rendemen hasil deproteinasi yang didapatkan sebesar
92,1875%.



  
 
Proses demineralisasi untuk menghilangkan mineral-mineral yang terdapat
dalam bahan baku. Proses demineralisasi dilakukan dengan mereaksikan bahan
baku dengan HCl 1 M selama 120 menit pada suhu kamar. Rendemen hasil proses
demineralisasi sebesar 87.85% berupa kitin.
Proses deasetilasi merupakan penghilangan gugus asetil kitin menjadi
gugus amida kitosan. Proses deasetilasi kitin pada penelitian ini dilakukan dengan
penambahan NaOH 50 % dengan perbandingan 1:10 b/v dengan variasi
konsentrasi dan suhu. Rata-rata rendemen pada proses deasetilasi adalah 75,775%.

4.1 Pengaruh Suhu dan Waktu Deasetilasi Terhadap Kadar Air Kitosan




 
Kadar Air (%)


 

 

 


     
Suhu (C)

Gambar 4.1 Grafik hubungan antara suhu dan waktu deasetilasi terhadap kadar air
kitosan
Pada grafik diatas dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu deasetilasi
kitosan maka semakin tinggi pula kadar air yang didapat. Waktu deasetilasi juga
mempengaruhi nilai dari kadar air kitosan. Sampel kitosan yang dihasilkan dari
limbah tulang sotong mempunyai kandungan air yang bervariasi antara 1,03-
9,98%. Nilai ini masih termasuk dalam standard kitosan. Waktu deasetilasi tidak
mempengaruhi kadar air kitosan, dapat dilihat dengan tidak beraturannya grafik
yang didapat.



  
 
4.2 Pengaruh Suhu dan Waktu Deasetilasi Terhadap Kadar Abu Kitosan






Kadar Abu (%)


 




 


     
Suhu (C)

Gambar 4.2 Grafik hubungan antara suhu dan waktu deasetilasi menit terhadap
kadar abu kitosan
Kadar abu merupakan parameter untuk mengetahui mineral yang
terkandung dalam suatu bahan yang mencirikan keberhasilan proses
deemineralisasi yang dilakukan. Semakin rendah nilai kadar abu, maka tingkat
kemurnian kitosan semakin tinggi, dan sebaliknya.
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu maka kadar
abu kitosan semakin berkurang. Hal tersebut dikarenakan oleh suhu dapat
membuat mineral yang terkandung dalam bahan larut dalam pelarut. Waktu
deasetilasi juga mempengaruhi kadar abu kitosan. Dimana semakin lama waktu
deasetilasi maka kadar abu kitosan yang didapat semakin menurun. Kadar abu
yang menurun dikarenakan oleh semakin lama proses deasetilasi maka semakin
banyak mineral dalam kitosan yang larut dalam larutan NaOH. Dan semakin
tinggi kadar kitosan yang digunakan maka semakin lama pula pencucian yang
dilakukan untuk menetralkan pH kitosan. Pada saat pencucian mineral-mineral
yang tidak terlarut pada proses demineralisasi ikut terbawa oleh air pencucian.
Hasil analisis kadar abu dari kitosan yang dihasilkan dapat berkisar antara 0,34-
0,99%. Hal ini menunjukkan bahwa kitosan yang dihasilkan telah memenuhi
standar mutu kadar abu kitosan yang telah diharapkan oleh Muzarelli (1985),
dengan standard kadar abu <1 %. Semakin lama waktu deasetilasi yang dilakukan



  
 
menyebabkan kadar abu kitosan semakin kecil. Hal tersebut dikarenakan oleh
semakin lamanya reaksi maka semakin banyak pula mineral yang terlarut pada
pelaru saat proses deasetilasi.

4.3 Pengaruh Suhu dan Waktu Deasetilasi Terhadap Viskositas Kitosan


 

  

 

Viskositas (Csp)

  


 
 


     
Suhu (C)

Gambar 4.3 Grafik hubungan antara suhu dan waktu deasetilasi terhadap
viskositas kitosan
Kitosan hasil preparasi dalam penelitian ini memiliki viskositas sebesar
109.11-161.78 Csp. Viskositas tertinggi pada suhu 100C dengan waktu 60 menit
yaitu 161,78 Csp. Nilai viskositas kitosan tersebut termasuk kategori rendah.
Menurut Fernandez (1991), viskositas yang terlalu tinggi akan mempengaruhi
kekentalan larutan, yang tidak diinginkan untuk penanganan industri.
Viskositas merupakan salah satu sifat karakteristik dari polimer. Larutan
kitosan merupakan senyawa kimia berupa rantai-rantai polimer yang mempunyai
viskositas tinggi. Informasi mengenai viskositas kitosan berhubungan dengan
aplikasinya. Dalam bidang farmasi diperlukan kitosan dengan viskositas
rendah, sedangkan untuk keperluan pengental atau pengeras bahan makanan
diperlukan kitosan dengan viskositas tinggi (Dewi dan Fawzya, 2006).
Viskositas kitosan mengalami pengurangan seiring dengan bertambahnya
waktu proses demineralisasi. Viskositas kitosan dapat diukur dengan cara
melarutkan 1% kitosan ke dalam larutan asam asetat 1% kemudian diukur
viskositasnya dengan alat viscometer.



  
 
4.4 Penentuan Gugus Fungsi Kitosan dengan Spektrofotometer FT-IR, pada
Konsentrasi 50% dan Waktu Deasetilasi 1 Jam
Pemeriksaan FT-IR untuk sampel kitosan bertujuan untuk mengetahui
gugus-gugus fungsi karakteristiknya dan menghitung derajat deasetilasinya.

Gambar 4.4 Spektrum IR kitosan pada suhu 100C dan waktu 60 menit
Berdasarkan Gambar 4.5 terlihat bahwa pada spektra IR kitosan, muncul puncak
serapan pada bilangan gelombang 3435,22 cm-1 menunjukkan serapan vibrasi
ulur (OH). Menurut Fessenden (1982), suatu ikatan O-H menyerap energi
pada panjang gelombang 3000-3700 cm -1 . Kemunculan serapan pada bilangan

gelombang 1610,56 cm -1 yang merupakan serapan vibrasi amida I (ulur C=O)


juga menandakan keberadaan gugus asetil. Bilangan gelombang 1558,48 cm-1
merupakan serapan dari amida II (tekuk NH). menunjukkan telah terjadinya
proses deasetilasi yang merupakan pita serapan gugus amina pada kitosan.
Berdasarkan analisis gugus fungsi di atas, ternyata pada spektra IR kitosan
menunjukkan munculnya serapan-serapan karakteristik dari kitosan. Oleh karena
itu, disimpulkan bahwa produk hasil preparasi pada penelitian ini adalah kitosan.
Derajat deasetilasi (DD) kitosan dari tulang sotong dalam penelitian ini
mempunyai derajat deasetilasi sebesar 81,0231%. Menurut Kusumaningsih
(2004), secara umum kualitas kitosan yang digunakan mempunyai DD sebesar
60%, untuk kualitas teknis sekitar 85% untuk kualitas makanan derajat deasetilasi
sekitar 90% sedangkan untuk kualitas parmasetis derajat deasetilasi sebesar 95%.
Hasil kitosan pada penelitian ini dapat digolongkan pada kualitas teknis.



  
 
5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa kitosan dapat
dibuat dari bahan baku tulang sotong dengan proses deproteinasi, demineralisasi
dan deasetilasi. Suhu dan waktu deasetilasi berpengaruh pada hasil kitosan yang
didapatkan. Derajat deasetilasi kitosan dari tulang sotong pada suhu 100C
dengan waktu 60 menit adalah 81,0231%. Semakin tinggi suhu dan waktu
deasetilasi maka viskositas kitosan semakin tinggi.

6. Daftar Pustaka
Alistair, M.S. 1995. Food Polysacharides and their application. Department of
Chemistry, University of Capetown: Rodenbosch
Dewi, A.S dan Fawzya, Y.N. 2006. Studi Pendahuluan: Penggunaan Berulang
Larutan Natrium Hidroksida dalam Pembuatan Kitosan. Proseding
Seminar Nasional Himpunan Kimia Indonesia. IPB : Bogor
Fessenden, Ralph J dan joan S Fessenden. 1982. Kimia Organik jilid 1.Erlangga:
Jakarta
Kusumaningsih. T, 2004. Karakterisasi khitosan hasil deasetilasi kitin dari
cangkang kerang hijau. Jur. Kimia FMIPA UNS
Muzzarelli, R.A.A., 1977. Chitin. Perngam o n Press, Oxford, New York.
Muzzarelli, R.A.A., 1985. Chitin in the Polysaccharides, vol. 3, pp. 147,
Aspinall (ed) Academic press Inc., Orlando, San Diego. No.3, Madrid,
Spain.
Savant, D. Vivek, and J.A. Torres. 2000. Chitosan based coagulating agents for
treatment of cheddar chees whey. Biotechnology Progress 16: 1091-1097.
Suhardi. 1993. Khitin dan Khitosan, Pusat Antar Universitas Pangan&Gizi.
Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Sun,Ok; Fernandez,Kim. 2004. Physicochemical and functional roperties of
crawfish chitosan as affected by different processing protocols
Tolaimatea, A.; Desbrieresb, J.; Rhazia, M., dan Alaguic, A., 2003, Contribution
to the preparation of chitins and chitosans with controlled physico-
chemical properties, Polym. J. , 44, 79397952.



  
 
Wiles, JL., Caner C, Vergano PJ., 2000. Chitosan Film Mechanical and
Permeation Properties as Affected by Acid, plastizer, and Storage. Journal
Food Science 63 (6):1049-1053







PEMBUATAN PLAZORE DARI PLASTIK BEKAS DENGAN


MEDIA MINYAK JELANTAH DAN APLIKASI
SEBAGAI PERENDAM BUNYI

MILAWARNI 1 , SAIFUDDIN 2
1
Jurusan Teknik Elektro(Fisika Material), Politeknik Negeri Lhokseumawe
2
Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Lhokseumawe
Laboratorium Teknik Kimia, Jl. Medan-Banda Aceh Km 280,3 Buket rata Lhokseumawe
Anisakhanza524@gmail.com

Abstrak

Telah dilakukan penelitian untuk memperoleh nilai koefisien absorbsi bunyi pada
plazore. Plazore dibuat dengan berat 100 g. Koefisien absorbsi bunyi diukur dengan
menggunakan sound level meter, intensitas bunyi yang diukur antara lain intensitas
bunyi yang datang, intensitas yang dipantulkan (reflection) dan intensitas yang
ditransmisikan. Intensitas absorbsi didapat dengan mengurangkan intensitas awal
(I0) dengan intensitas transmisi (IT) dan intensitas refleksi (IR). Data yang diperoleh
dibuat grafik dan dianalisis. Diperoleh hasil bahwa plazore yang terbuat dari
kantong plastic (poliolefin) dengan cara digoreng menggunakan minyak jelantah
yang telah dimurnikan dengan komposisi 1:1 (sampel 3) adalah plazore terbaik
sebagai bahan absorbsi bunyi pada penelitian ini . plazore mempunyai sifat fisis:
koefisien absorbsi 0,08 cm-1, intensitas refleksi 0,30 dB, intensitas absorbsi 10,42 dB
dan efisiensi absorbsi 12,27 %.

Kata kunci: Koefisien absorbs suara, Intensitas awal (I0), Intensitas Transnisi (IT),
Intensitas Refleksi (IR).

1 PENDAHULUAN

Permasalahan lingkungan seperti halnya polusi suara /kebisingan yang


terjadi di gedung sekolah, perkantoran atau perumahan yang berlokasi di pinggir
jalan besar dengan arus kendaraan lumayan ramai sehingga menyebabkan proses
altivitas manusia terganggu. Selain itu, kebisingan sangat erat hubunganya dengan







kesehatan seseorang, yaitu dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti tekanan


darah tinggi.
Peraturan menteri Kesehatan No. 718 Tahun 1987 tentang kebisingan yang
berhubungan dengan kesehatan menyatakan pembagian wilayah dengan empat
zona. Untuk zona C yang antara lain perkantoran, perdagangan dan pasar dengan
kebisingan sekitar 50 60 dB. Pada zona ini khususnya banyak disebabkan oleh
bunyi knalpot kendaraan bermotor. Karena itu perlu adanya upaya untuk
mengurangi dampak negatif tersebut. Pengurangan kebisingan dengan biaya murah
dan teknologi yang sederhana, memerlukan perencanaan yang matang. (Nurdiana &
Isranuri, 2011)
Salah satu upaya untuk mengurangi polusi suara/tingkat kebisingan
didalam gedung baik sekolah atau perkantoran dapat dilakukan dengan menggunakan
bahan penyerap suara atau material akustik yaitu material yang bersifat menyerap
atau meredam bunyi sehingga kebisingan dapat berkurang. Bahan penyerap suara
atau bahan akustik adalah bahan khusus yang dibuat untuk fungsi menyerap bunyi
pada frekuensi tertentu. Material yang bersifat lembut, berpori dan berserat
diyakini mampu menyerap energi suara yang mengenainya. Dari ketiga bahan
tersebut, dewasa ini sedang dikembangkan bahan penyerap suara yang berasal dari
limbah plastik.

2. Tinjauan Pustaka
Plazore adalah teknik penggorengan plastik yang dapat menghasilkan karya-
karya baru dari limbah plastik yang banyak dibuang oleh masyarakat. Ada tiga
metode pengolahan limbah plastik, yakni proses, cetak, mozaik. Sistem press dan
cetak digunakan untuk plastik jenis LDPE yang lebih tipis, sedangkan metode mozaik
diterapkan untuk plastik HDPE yang lebih tebal.(Halliwell,2004)

Secara umum plastik dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu, pertama


polimer termoplastik yaitu adalah polimer yang mempunyai sifat tidak tahan terhadap







panas. Jika polimer jenis ini dipanaskan, maka akan menjadi lunak dan didinginkan
akan mengeras. Proses tersebut dapat terjadi berulang kali, sehingga dapat dibentuk
ulang dalam berbagai bentuk. Contoh plastik termoplastik sebagai berikut:
Polyethylene (PE), Polivinilklorida (PVC), Polipropena (PP),. Jenis yang kedua yaitu
polimer termosetting, yaitu adalah polimer yang mempunyai sifat tahan terhadap
panas. Jika polimer ini dipanaskan, maka tidak dapat meleleh. Sehingga tidak dapat
dibentuk ulang kembali. Susunan polimer ini bersifat permanen pada bentuk cetak
pertama kali (pembuatan). Bila polimer ini rusak/pecah, maka tidak dapat disambung
dan diperbaiki lagi. (Bilmeyer,F.W,1994)

Minyak Jelantah dan Penjernihannya


Minyak goreng bekas (Minyak jelantah) adalah minyak makan nabati yang telah
digunakan untuk menggoreng dan biasanya dibuang setelah warna minyak berubah
menjadi coklat tua. Proses pemanasan selama minyak digunakan merubah sifat fisika-
kimia minyak. Pemanasan dapat mempercepat hidrolisis trigliserida dan
meningkatkan kandungan asam lemak bebas(FFA) di dalam minyak. Kandungan
FFA dan air di dalam minyak bekas berdampak negatif terhadap reaksi
transesterifikasi, karena metil ester dan gliserol menjadi susah untuk dipisahkan.
Minyak goreng bekas lebih kental dibandingkan dengan minyak segar disebabkan
oleh pembentukan dimer dan polimer asam dan gliserid di dalam minyak goreng
bekas karena pemanasan sewaktu digunakan. Berat molekul dan angka iodin menurun
sementara berat jenis dan angka penyabunan semakin tinggi. (Fuadi Ramdja, 2010).
Minyak goreng bekas agar dapat dimanfaatkan kembali, perlu dimurnikan
sehingga kualitasnya akan naik. Salah satu cara peningkatan minyak goreng bekas
adalah dengan cara adsobsi. Absorben akan menyerap zat warna pada minyak,
suspense koloid, serta hasil degradasi minyak. Berbagai macam absorben dapat
digunakan untuk proses adsorpsi ini, antara lain fuller earth, activated clay, bentonit
dan karbon aktif. Menurut Hari suprianto (2012), karbon aktif adalah bahan padat
berpori yang merupakan hasil pembakaran bahan yang mengandung karbon dimana







merupakan suatu bentuk arang yang telah melalui hasil pembakaran gas CO2, uap air,
atau bahan-bahan kimia sehingga pori-pori arang tersebut terbuka. Dengan demikian,
daya adsorpsinya menjadi lebih tinggi. Sedangkan bentonit merupakan salah satu
jenis lembung yang banyak mengandung mineral montmorillonit ( lebih dari 85%)
dimana mempunyai sifat mengadsobsi, karena ukuran partikel koloidnya sangat kecil
dan memiliki kapasitas permukaan yang tinggi.

Redam bunyi
Akustika adalah ilmu yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan bunyi,
berkenaan dengan indera pendengaran serta keadaan ruangan yang mempengaruhi
bunyi, (Gabriel, 2001).

Kata bunyi mempunyai dua definisi, yaitu:

Secara fisis, bunyi adalah penyimpangan tekanan, pergeseran partikel dalam


medium elastik seperti udara.
Secara fisiologi, bunyi adalah sensasi pendengaran yang disebabkan
penyimpangan fisis yang digambarkan di atas (Doelle, 1993).

Ketika bunyi menumbuk suatu batas dari medium yang dilewatinya, maka energi
dalam gelombang bunyi dapat diteruskan, diserap atau dipantulkan oleh batas
tersebut. Pada umunnya ketiganya terjadi pada derajat tingkat yang berbeda,
tergantung pada jenis batas yang dilewatinya.(Fathurrahman,dkk, 2011).

Manusia mendengar bunyi saat gelombang bunyi sampai ke gendang telinga


manusia. Batas frekuensi yang dapat didengar oleh telinga manusia dari 20 Hz sampai
20 kHz. Suara diatas 20 kHz disebut ultrasonik dan dibawah 20 Hz disebut
infrasonik.

Material akustik dapat dibagi kedalam tiga kategori dasar, yaitu:







Material penyerap bunyi (absorbing material)


Material penghalang bunyi (barrier material)
Material peredam bunyi (damping material)

Pada umumnya material penyerap bunyi secara alami bersifat resitif, berserat
(firous), berpori (porous) atau dalam khasus khusus bersifat resonator aktif. Ketika
gelombang bunyi menumpuk material penyerap, maka energi bunyi sebagian akan
diserap dan diubah menjadi panas. Bunyi akan masuk kedalam material melalui pori-
pori. Bunyi akan menumpuk partikel-partikel didalam material tersebut, kemudian
oleh partikel dipantulkan ke partikel lain, begitu seterusnya sehingga bunyi berkurang
dalam material. Kejadian ini disebut proses penyerapan. Besarnya penyerapan bunyi


pada material penyerap dinyatakan dengan koefisien serapan ( ). Koefisien serapan

dinyatakan dalam bilangan antara 0 dan 1. Nilai koefisien serapan 0 menyatakan tidak
ada energi bunyi yang diserap dan nilai koefisien serapan 1 menyatakan serapan
sempurna.(Gabriel,2001)

Besaran yang menunjukan kemampuan bahan untuk mengabsorbsi bunyi


adalah koefisien absorbsi. Kualitas dari bahan peredam suara ditunjukkan dengan
nilai koefisien absorbs. Serat dan matriks merupakan parameter penting dalam
menentukan kemampuan bahan menyerap bunyi.

3. Metode Penelitian
Prosedur kerja penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu sebagai berikut:

Prosedur Penjernihan Minyak Jelantah

Pada tahap awal minyak jelantah diukur 1000 ml dengan menggunakan gelas ukur
dan dimasukkan ke dalam gelas kaca. Kemudian diaduk dengan batang pengaduk.
Tutup gelas yang sudah berisi campuran minyak jelantah dan karbon aktif







menggunakan alumunium foil, diamkan selama 24 jam kemudian saring campuran


minyak dan karbon aktif menggunakan kertas saring.

Pembuatan Plazore
Kantong plastic dibersihkan dan dijemur sampai kering kemudaian ditimbang sesuai
dengan keperluan. Plastik dipotong untuk memudahkan pada saat
penggorengan.Kemudian minyak jelantah yang sudah dimurnikan dipanaskan sampai
suhu 150 oC dan goreng plastik. Hasilnya dikempa menggunakan hot press. Maka
terbentuklah sampel berupa plazore plazore dengan ukuran 15 x 15 cm lakukan uji
penyerapan bunyi.
Aplikasi Plazore Sebagai Penyerap Suara

Pemotongan bahan uji sesuai kkebutuhan.


Merangkai alat resonator space seperti pada gambar 3.1.

Gambar 3.1 Alat uji penyerap bunyi (resonator space)

Mengatur frekuensi pada AFG sebesar 600 Hz.


Mengukur intensitas bunyi pada jarak 35 cm dari speker.
Memberi penyekat ruangan pada resonator space dengan plazore.
Mengukur intensitas bunyi pada jarak dari 35 cm dari speaker.
Mengulangi langkah pembuatan plazore dengan mengganti penyekat
ruangan pada resonator space dengan ketebalan plastik yang berbeda.







4. Hasil dan Diskusi


Hasil penelitian ini untuk mendapatkan data penelitian yaitu: koefisien
absorpsi bunyi bahan terhadap intensitas awal (I0), intensitas awal (I0) terhadap
intensitas Refleksi (IR), intensitas absorbsi setiap sampel, dan presentase efisiensi
absorbsi setiap sampel plazore. Hasil analisa diantaranya berupa absorbsi suara
bahan. Data hasil analisa dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 4.1 Hasil Analisa Uji Serap Suara Plazore

4.1. Koefisien Absorbsi Bunyi ()


Bunyi dari sumber bunyi yang dikenakan pada sebuah penghalang (Plazore)
akan mengalami proses: refleksi, absorbsi, dan transmisi. Setelah dilakukan
perhitungan pada hasil pengukuran intensitas diperoleh grafik koefisien absorbsi.









%)"#$+$"(+)*+$  ' 




 
 
 


      
(,"(+$,+-&  !

Gambar 4.1 Grafik koefisien absorbsi bunyi bahan terhadap intensitas awal (I0)

Gambar 4.1 menyatakan grafik koefisien absorbsi bunyi terhadap intensitas


awal (I0) pada setiap sampel berbeda-beda. Pada intensitas 85 dB 85,4 dB semua
sampel mempunyai  yang meningkat. Terdapat dua sampel yang mempunyai 
yang cukup tinggi yaitu sampel 3 dan 2. Naik dan turunya koefisien absorbsi bunyi
terhadap perubahan absorbsi bunyi terhadap perubahan Intensitas awal (I0) diduga
disebabkan oleh frekuensi gelombang bunyi yang datang berlawanan dengan
frekuensi dari papan plazore. Jika frekuensi gelombang bunyi yang datang sama
dengan frekuensi dari plazore maka akan terjadi interferensi saling menguatkan
sehingga terjadi absorbsi bunyi yang rendah. Sebaliknya jika frekuensi gelombang
bunyi yang datang tidak sama dengan frekuensi dari plazore maka akan terjadi
pelemahan terhadap gelombang bunyi yang akan datang, hal ini yang menyebabkan
koefisien absorbsi bunyi menjadi tinggi. Hasil uji statistik terhadap semua sampel
memperlihatkan bahwa sampel 3 mempunyai nilai koefisien absorbsi rata-rata yang
tertinggi (0,08 cm-1).







4.2 Intensitas Refleksi (IR)


Intensitas bunyi yang terukur di ruangan di depan sampel adalah intensitas
gabungan antara intensitas yang direfleksikan (IR) dengan intensitas awal (I0).
Intensitas refleksi bunyi diperoleh dengan mengurangi intensitas bunyi yang terukur
di depan sampel (IR) dengan intensitas awal (I0). Perilaku intensitas refleksi (IR) pada
setiap sampel terhadap perubahan intensitas awal (I0) dapat dilihat pada gambar 4.2.


$(,"(+$,+*"#&"%+$ !







 


      
$(,"(+$,+-&!

Gambar 4.2 Grafik intensitas awal (I0) terhadap intensitas refleksi (IR).

Grafik pada gambar 4.2 ternyata tidak memberikan kecendrungan yang sama
terhadap intensitas yang direfleksikan dari tiap sampel. Sampel 1 memiliki intensitas
refleksi yang paling rendah . semakin besar nilai intensitas yang direfleksikan suatu
bahan, maka bahan tersebut semakin bersifat memantulkan dan semakin tidak baik
sebagai bahan penyerap suara, sebaliknya semakin kecil intensitas bunyi yang
direfleksikan, maka semakin baik sebagai bahan penyerap suara.

Hasil uji statistik memperlihatkan bahwa sampel 3 mempunyai intensitas refleksi


yang paling kecil yaitu (IR=0,30 dB).







4.3 Intensitas Absorbsi Bunyi


Intensitas absorbsi bunyi merupakan intensitas yang diabsorbsi oleh bahan.
Intensitas ini merupakan hasil perhitungan, intensitas absorbsi didapat dengan
mengurangkan intensitas awal (I0) dengan intensitas transmisi (IT) dan intensitas
Refleksi (IR), Intensitas absorbsi berguna untuk mengetahui seberapa besar intensitas
bunyi yang mampu diabsorbsi oleh bahan sehingga bahan berkualitas. Bahan yang
berkualitas baik adalah bahan yang mempunyai intensitas absorbsi yang besar.
Setelah dilakukan perhitungan pada hasil pengukuran intensitas diperoleh grafik
intensitas absorbsi (Gambar 4.3).




$(,"(+$,++)*+$ !



 






      
$(,"(+$,+-& !

Gambar 4.3 Grafik intensitas absorbsi setiap sampel

Hasil uji statistik menunjukkan sampel 3 mempunyai intensitas absorbsi


paling besar yaitu 10,42 dB, sehingga dapat dikatakan bahwa sampel 3 adalah sampel
yang berkualitas absorbsi terbaik diantara ketiga sampel.







4.4. Efisiensi Absorbsi Bunyi ( )


Efiseinsi!absorbsi!digunakan!untuk!mengetahui!beberapa!persentase!intensitas
bunyi! yang! diabsorbsi! oleh! bahan.! Hasil! perhitungan! efisiensi! absorbsi  )! dapat
dilihat!pada!gambar!4.4.





"#$+$"(+$+)*+$










      
$(,"(+$,+-&!

Gambar!4.4!Grafik!presentase!efisiensi!absorbsi!setiap!sampel

Hasil uji! statistik! menunjukkan! bahwa! sampel! 3! memiliki! efisiensi! absorbsi! terbaik
dengan!nilai!12,27!%.

4.5. Analisis Absorbsi Bahan


Analisa! koefisien! absorbsi! bunyi! menyatakan! bahwa! sampel! 3! yang
mempunyai!ketebalan!6!mm!dan!berat!100!gr!memiliki!kofisien!paling!baik!dengan
(0,08! cm-1).! Kualitas! absorbsi! terbaik! ini! meliputi:! intensitas! refleksi,! intensitas
absorbsi,!dan!efisiensi!absorbsi!bunyi.!Intensitas!refleksi!sampel!3!cukup!rendah!yaitu
(IR=0,30! dB),! intensitas! absorbsi! yang! cukup! besar! yaitu! (Iabsorbsi=10,42! dB),! dan
efisiensi!absorbsi!bunyi!cukup!efisien!yaitu  =12,27 %).







5. Simpulan

Setelah melakukan percobaan uji serap suara pada plazore dapat


disimpulkan bahwa:

1. Ketebalan ukuran sampel dapat mempengaruhi hasil uji serap suara


plazore.
2. Koefisien serap rata-rata masing sampel yaitu sebesar 0,02 cm-1 (sampel
1), 0,05 cm-1 (sampel 2), 0,08 cm-1 (sampel 3) sehingga tingkat serap suara
terbaik dari ketiga bahan tersebut adalah sampel 3.
3. Karakteristik plazore yang baik sebagai bahan penyerap suara adalah
plazore yang memiliki intensitas refleksi kecil, intensitas absorbsi besar,
dan efisiensi absorbsi yang cukup besar. Karakteristik ini dimiliki oleh
plazore pada sampel 3 dengan nilai-nilai: (0,08 cm-1), (IR=0,30 dB),
(Iabsorbsi=10,42 dB), dan  =12,27 %).

6. Daftar Pustaka

Bilmeyer,F.W.Jr. 1994. Text Book of polimer science. John willey and sons Inc.,
new york.
Doello,L.L.(1993). Akustika Lingkungan.(Diterjemahkan oleh Prasetia). Jakarta:
Erlangga.
Fathurrahman dan supriyadi. 2011. Tingkat redam bunyi suatu bahan (Triplek,
Gypsum, styrofoam). Semarang. Kampus Bendan Ngisor.
Fuadi Ramdja, dkk.2010. pemurnian minyak jelantah menggunakan ampas tebu
sebagai adsorben. Jurnal Chemistry. Universitas Sriwijaya.
Gabriel, Kinsler, L.E & A.R. Frey.(2001). Fundamental of acoustics. New york:
John Wiley & Sonc Inc.
Halliwell, J, Lambert, B. (2004). Revise for product Design: Graphics with
materials technology. UK: Heineman Educational publishers.
Hari Suprianto (2012), Karbon aktif sebagai bahan pemurnian minyak,Jurnal
Teknologi Vol.9, Hal 23-26,Universitas Brawijaya,Malang.







Nurdiana dan Isranuri Ikhwansyah. 2011. Studi karakteristik penyerapan suara


pada komposit polymer dengan serat rookwool. Jurnal Dinamis,Vol. 8
Hal 30-33,Universitas Pertanian Bogor.


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Uji Mekanik Komposit Berpenguat Serat Pandan Duri dan Resin Polyester
Dengan Variasi Komposisi Metoda Fraksi Berat

Muhammad 1*, Reza Putra2


1
Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh, Indonesia.
2
Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh, Indonesia.
*
muhammadab91@gmail.com, +62 812 2794 4233

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh nilai kekuatan tarik optimal dari
komposit berpenguat serat pandan duri dan resin polyester melalui perbandingan variasi
komposisi metoda fraksi berat. Proses pembuatan spesimen uji dengan bahan serat
pandan duri dan resin polyester sesuai dengan standar uji tarik ASTM D3039. Variasi
perbadingan fraksi berat untuk resin dan serat adalah 30% : 70% ; 40% : 60% dan 50%
: 50%. Hasil penelitian menunjukkan nilai kekuatan tarik maksimal adalah pada
perbadingan komposisi komposit 40% berat resin polyester dan 60 % berat serat
pandan duri, yaitu 0.45 Kg.f/mm2 dengan nilai beban maksimum rata yang mampu
ditahan sebesar 43.87 Kg.f. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan komposit
berpenguat serat pandan duri dengan resin polyester telah memenuhi nilai standar
minimum untuk sebuah material baru fibreboard berdasarkan ISO 17064:2010.

Kata Kunci : Uji Tarik, Serat pandan duri, Resin polyester, fibreboard, ASTM D3039

1. Pendahuluan
Serat alami sekarang banyak digunakan karena jumlahnya banyak dan
sangat murah jadi sering dimanfaatkan sebagai material penguat seperti serat
pandan duri. Ketergantungan terhadap material logam dan plastik juga dialih
fungsikan seperti halnya material komposit. Komposit adalah suatu bahan padat
yang dihasilkan dari gabungan dua atau lebih bahan yang berbeda untuk
memperoleh sifat-sifat yang lebih baik. Tanaman pandan duri termasuk dalam
suku Pandanaceae. Tanaman ini tersebar luas sebagai tanaman liar yang dapat
tumbuh pada daerah berpasir hingga daerah pengunungan.
Salah satu jenis pandan yang hidup tersebar luas di daerah-daerah terbuka
didataran rendah adalah pandan duri. Pandan inilah yang utama digunakan sebagai
bahan baku anyaman karena mempunyai serat yang kuat dan daun yang panjang
yang mencapai hingga 1-3 m dengan lebar 2-16 cm. Umumnya jenis ini tumbuh
disepanjang pantai yang landai dan membentuk kelompok-kelompok yang padat.
Di Jawa, jenis ini dikenal ada 4 macam yaitu jenis Samak, Litoralis, Laevis, dan
Variegatus. Jenis pandan yang termasuk jenis Samak adalah pandan betok, pandan

140
jaksi, pandan jaraim, pandan duri, pandan kapur, pandan tikar, pandan cucuk,
pandan semak, dan pandan ijo yang terdapat masing-masing di P. Bawean,
Tasikmalaya, dan Tangerang. Jenis ini umum ditanam untuk dimanfaatkan
daunnya karena mempunyai daun yang tipis.
Sofyan efendi, menyelidiki pengaruh perlakuan campuran serat pandan
duri dengan polyester terhadap sifat tarik dan kekuatan lentur komposit
berpenguat serat pandan duri (susunan vertical, horizontal dan acak) dengan
matrik polyester. Dari hasil penelitian uji tarik untuk susunan serat yang disusun
vertikal untuk hasil tegangan tarik maksimum yang terkecil dengan serat Vf 5%=
46,55 Mpa, sedangkan tegangan tarik maksimum yang terbesar Vf 25%= 50,06
Mpa, untuk hasil uji tarik serat yang disusun horizontal tegangan tarik tarik
maksimum terkecil dengan serat Vf 5%= 59,43 Mpa, sedangkan tegangan tarik
serat maksimum terbesar Vf 25%= 63,45 Mpa. Untuk hasil uji tarik susunan acak
didapat hasil terkecil Vf 5%= 71,167 Mpa, sedangkan tegangan tarik yang
terbesar serat Vf 25%= 75,1 Mpa.
Arif Bintoro Johan (2011), mengkaji kelayakan serat daun pandan
berbanding fiber glass sebagai penguat material komposit. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa : Kekuatan tarik serat pandan 1,5 kali dari kekuatan tarik
fiber glass. Kekuatan tarik serat pandan 39,036 kg/mm2 sedangkan kekuatan tarik
fiber glass 21,65 kg/mm2. Kekuatan tarik komposit alami lebih rendah dari
komposit sintetis. Kekuatan tarik komposit alami 3,03 kg/mm2 sedangkan
kekuatan tarik komposit sintetis 3,77 kg/mm2. Berat jenis serat pandan lebih
rendah dari berat jenis fiber glass. Berat jenis serat pandan 0,9574 gram/cm3
sedangkan berat jenis fiber glass 2,19 gram/cm3.. Serat dari daun pandan layak
digunakan sebagai material komposit, tetapi belum ditemukan matrik yang cocok
dan perlakuan yang sesuai.
Mariatti dkk (2008) mempelajari sifat ke tidak jenuhan polyester dengan
pengisi serat pisang dan serat pandan, dan ternyata serat pisang sebagai pengisi
mempunyai kekuatan mekanik (kekuatan tarik dan kekuatan lentur) lebih besar
dibandingkan dengan serat pandan, akan tetapi pada penelitian yang dilakukan
oleh Raghavendra dkk (2012) dengan meningkatnya kekuatan mekanik serat

141
pisang, regangan (tensile strain) serat menurun. Hal ini terjadi karena interaksi
adhesif-interfasial antara serat dan matrik mempengaruhi sifat mekanik komposit.
Paryanto Dwi Setyawan (2012), telah meneliti komposit manufaktur
dengan metode hand lay-up dengan fraksi volume serat 10%, 20%, 30%, dan 40%
dengan orientasi serat pendek searah dan acak daun nanas. pengujian spesimen
dilakukan dengan ASTM D3039 kekuatan tarik standar. Sebagai hasil diketahui
bahwa kekuatan tarik komposit meningkat dengan meningkatnya fraksi volume
serat untuk orientasi serat searah, hal ini berbanding terbalik untuk orientasi acak
serat pendek.
Dari beberapa data diatas perlu adanya penelitian tentang uji mekanik
komposit berpenguat serat pandan duri dan resin polyester Dengan Variasi
Komposisi Metoda Fraksi Berat, karena serat alam sangat berpotensi untuk
menggantikan serat sintetis yang tidak ramah lingkungan.

2. Metodologi Penelitian
Proses jalannya penelitian dapat dilihat pada diagram alir dibawah ini:

142
Matrik dalam komposit berfungsi sebagai bahan mengikat serat menjadi
sebuah unit struktur, melindungi dari perusakan eksternal, meneruskan atau
memindahkan beban eksternal pada bidang geser antara serat dan matrik, sehingga
matrik dan serat saling berhubungan. Pembuatan komposit serat membutuhkan
ikatan permukaan yang kuat antara serat dan matrik. Selain itu matrik juga harus
mempunyai kecocokan secara kimia agar reaksi yang tidak diinginkan tidak
terjadi pada permukaan kontak antara keduanya. Untuk memilih matrik harus
diperhatikan sifat-sifatnya, antara lain seperti tahan terhadap panas, tahan cuaca
yang buruk dan tahan terhadap goncangan yang biasanya menjadi pertimbangan
dalam pemilihan material matrik.
Dalam pembuatan sebuah material komposit, suatu pengkombinasian
optimum dari sifat-sifat bahan penyusunnya untuk mendapatkan sifat-sifat tunggal
sangat diharapkan. Beberapa material komposit polymer diperkuat serbuk yang
memiliki kombinasi sifat-sifat yang ringan, kaku, kuat dan mempunyai nilai
kekerasan yang cukup tinggi. Disamping itu juga sifat dari material komposit
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu material yang digunakan sebagai bentuk
komponen dalam komposit, bentuk geometri dari unsur-unsur pokok dan akibat
struktur dari sistem komposit, cara dimana bentuk satu mempengaruhi bentuk
lainnya
Menurut Agarwal dan Broutman, yaitu menyatakan bahwa bahan
komposit mmpunyai ciri-ciri yang berbeda dan komposisi untuk menghasilkan
suatu bahan yang mempunyai sifat dan ciri tertentu yang berbeda dari sifat dan
ciri konstituen asalnya. Disamping itu konstituen asal masih kekal dan
dihubungkan melalui suatu antara muka.
Kemajuan kini telah mendorong peningkatan dalam permintaan terhadap
bahan komposit. Perkembangan bidang sciences dan teknologi mulai
menyulitkan bahan konvensional seperti logam untuk memenuhi keperluan
aplikasi baru. Bidang angkasa lepas, perkapalan, automobile dan industri
pengangkutan merupakan contoh aplikasi yang memerlukan bahan-bahan yang
berdensity rendah, tahan karat, kuat, kokoh dan tegar. Dalam kebanyakan bahan

143
konvensional, walaupun kuat ia mempunyai density yang tinggi dan rapuh. Sifat
maupun karakteristik dari komposit ditentukan oleh :
a) Material yang menjadi penyusun komposit
Karakteristik komposit ditentukan berdasarkan karakteristik material
penyusun menurut rule of mixture sehingga akan berbanding secara
proporsional.
b) Bentuk dan penyusunan struktural dari penyusun
Bentuk dan cara penyusunan komposit akan mempengaruhi karakteristik
komposit.
c) Interaksi antar penyusun
Bila terjadi interaksi antar penyusun akan meningkatkan sifat dari komposit.
Salah satu jenis pandan yang hidup tersebar luas di daerah-daerah terbuka
didataran rendah adalah pandan duri. Pandan inilah yang utama digunakan sebagai
bahan baku anyaman karena mempunyai serat yang kuat dan daun yang panjang
yang mencapai hingga 1-3 m dengan lebar 2-16 cm. Umumnya jenis ini tumbuh
disepanjang pantai yang landai dan membentuk kelompok-kelompok yang padat.
Di Jawa, jenis ini dikenal ada 4 macam yaitu jenis Samak, Litoralis, Laevis, dan
Variegatus. Jenis pandan yang termasuk jenis Samak adalah pandan betok, pandan
jaksi, pandan jaraim, pandan duri, pandan kapur, pandan tikar, pandan cucuk,
pandan semak, dan pandan ijo yang terdapat masing-masing di P. Bawean,
Tasikmalaya, dan Tangerang. Jenis ini umum ditanam untuk dimanfaatkan
daunnya karena mempunyai daun yang tipis, orang banyak memanfaatkan pandan
ini untuk bahan baku anyaman yang diperlukan dalam kebutuhannya sehari-hari
misalnya tikar dan topi, pandan duri dapat dilihat pada Gambar 1.

144
Gambar 1. Pandan Duri (Pandanus Tectorius)

Unsaturated Polyester Resin (UPR) Yukalac BQTN 157 merupakan jenis


resin termoset atau lebih populernya sering disebut polyester saja. UPR berupa
resin cair dengan viskositas yang cukup rendah, mengeras pada suhu kamar
dengan penggunaan katalis tanpa menghasilkan gas sewaktu pengesetan
pengeseta seperti
banyak resin termoset lainnya. Poliester juga digunakan untuk membua
membuat botol,
film, tarpaulin, kano, tampilan kristal cair, hologram, penyaring,
penyar saput (film) di
elektrik untuk kondensator, penyekat saput buat kabel dan pita penyekat.
p Poliester
kristalin cair merupakan salah satu polimer kristalin cair yang
yang digunakan industri
yang pertama dan digunakan karena sifat mekanis dan ketahanan terhadap
te panas.
Pengujian tarik adalah salah satu uji Stress strain mekanik yang bertujuan
untuk mengetahui kekuatan material terhadap gaya tarik. Dalam pengujiannya,
material uji ditarik sampai putus. Uji tarik adalah cara pengujian
pengujian bahan yang
paling mendasar. Pengujian tarik sangat sederhana, tidak mahal
maha dan sudah
mengalami standarisasi diseluruh dunia. Dengan menarik suatu material
mate kita akan
mengetahui bagaimana bahan tersebut bereaksi terhadap tarikan
tarika dan sejauh mana
material itu bertambah panjang.
Pengujiann kekuatan tarik dengan mengikuki ASTM yang ada yaitu ASTM
D 3039, ASTM D 3039M, ASTM D638, ASTM D 638-99,
638 99, ASTM 638M
638M-84,
bertujuan untuk mengetahui tegangan, regangan modulus elastisitas pada
p bahan
material komposit dengan cara menarik spesimen sampai putus.
put Pengujian tarik

145
dilakukan dengan mesin uji tarik atau dengan universal testing machine.
Berdasarkan posisi pengambilan spesimen, dengan menarik suatu bahan kita akan
mengetahui bagaimana bahan tersebut bereaksi terhadap tegangan tarikan dan
mengetahui sejauh mana material bisa bertahan pada titik putus.
Hukum Hooke (Hookes law) hampir semua logam pada tahap awal di uji
tarik, hubungan antara beban atau gaya yang diberikan berbanding lurus dengan
perubahan panjang benda tersebut. Ini disebut daerah liniear atau liniear zone.
Didaerah ini kurva bertambah panjang dan beban mengikuti aturan hooke yaitu
rasio tegangan (stres) dan regangan (strain) a Spesimen ditempatkan di
genggaman (grip) mesin uji tarik universal machine pada jarak pegangan tertentu
dan menarik sampai pada kegagalan (regangan). Untuk ASTM D 3039 kecepatan
uji dapat ditentukan oleh spesifikasi material dengan waktu kegagalan 0 10
menit. Sebuah extensometer vs alat ukur regangan digunakan untuk menentukan
perpanjangan dan modulus tarik. Tergantung pada penguatan dan jenis, pengujian
di lebih dari satu orientasi mungkin diperlukan. Standar (ASTM D 3039) Untuk
mendapatkan nilai kekuatan tarik dapat dicari dengan rumus :

Keterangan :
= Kekuatan tarik ultimate ( N/ )
= Beban tarik maksimum (F)
= Luas penampang ( )
adalah konstan.

Proses manufaktur bahan komposit dengan metrode hand lay up


merupakan metode yang paling sederhana diantara metode-metode manufaktur
bahan komposit yang lain. Dikatakan sederhana karena tekniknya sangat mudah di
aplikasikan yaitu cairan resin dioleskan diatas sebuah cetakan dan kemudian serat
layer pertama diletakkan diatasnya, kemudian dengan menggunakan roller atau
kuas resin kembali diratakan. Langkah ini dilakukan terus menerus hingga
didapatkan ketebalan spesimen yang diinginkan.

146
2. Hasil dan Pembahasan
berbahan
Setelah proses pembentukan spesimen material komposit yang be
serat pandan duri dengan resin polyester dengan menggunakan acuan dari ASTM
D 3039 siap diproses,
roses, selanjutnya proses pelaksanaan pengujian tarik
t terhadap 15
spesimen dari variasi berat yang berbeda dengan masing-masing
masing masing pengujian akan
dirangkum dalam tabel hasil. Dengan dimensi Pengujian tarik disesuaikan
dise dengan
standar uji ASTM D 3039 dengan dimensi
dim hitung luas yaitu panjang 15 mm dan
lebar 6 mm, sehingga luas penampang (Ao) diperoleh 90 mm2. Variabel yang akan
diterangkan adalah hasil tegangan tarik dengan perbandingan perbedaan
perbe berat
serat pada masing-masing material komposit.



  
$&!+&!+ !.'((&%** 





 
 



 

Gambar 2. Grafik Perbandingan Tegangan Tarik pada Variasi Komposisi

Pada Gambar 2. terlihat hasil rata- rata perbandingan pengujian tarik yang
telah dilakukan terhadap 5 spesimen uji dengan variasi komposisi
posisi serat dan resin.
Rerata tegangan tarik tertinggi adalah sebesar 0.45 Kg.f/mm2 pada komposisi
40:60 % berat. Pada komposisi perbadingan 50:50 %, nilai Tegangan tari
ta rata-
tarik
rata yang mampu dicapai adalah 0.35 Kg.f/mm2, nilai ini tidak jauh dari
perbandingan komposisi 30:70 sebesar 0.33 Kg.f/mm2. Untuk beban maksi
maksimal
yang mampu ditahan oleh material komposit berpenguat serat pandan
panda duri ini,
maka dapat dilihat pada Gambar 3.

147
$"!+*!(/'*!)1/,*-,/'/'

 


$"!+&%

 


-$."!+#'+&!+(,*-,/'/'.$/'+#!+/$.!0

Gambar 3. Grafik Perbandingan Beban Maksimal dengan Komposisi

Pada Gambar 3. terlihat hasil rata-


rata rata perbandingan beban maksimal
yang mampu ditahan sebelum material komposit putus terhadap 5 spesimen uji
dengan variasi komposisi serat dan resin. Rerata beban tertinggi adalah sebesar
43..87 Kg.f pada komposisi 40:60 % berat. Pada komposisi perbadingan 50:50 %,
nilai beban rata-rata yang mampu ditahan
di adalah 35.16 Kg.f,, nilai ini tidak jauh
ja
dari perbandingan
ngan komposisi 30:70 sebesar 33.08 Kg.f.
Setelah melakukan analisa dari ketiga fraksi berat didapat perbedaan dari
ketiga fraksi berat yang telah dirangkum dalam grafik di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa komposisi komposit 40% serat dan 60% resin menghasil
menghasilkan
 dengan
nilai kekuatan tarik terbaik dengan tegangan maksimal 0.45 kgf/
beban rata-rata
rata mencapai 43.87 Kg.f. Sedangkan pencampuran komposisi
komposi resin
50% serat dan 50% resin menghasilkan nilai tegangan tarik yang lebih rendah
gf/mm2 dengan beban rata rata mencapai 35.16 kgf. Nilai terendah
yaitu 0.35 Kgf/mm
engan tegangan tarik
didapat pada fraksi berat 30% serat dan 70% resin, dengan
 dengan beban rata-rata
maksimal 0.33 Kgf/ rata  .
33.08 kgf/

3. Kesimpulan
esimpulan

penelitia terhadap pencampuran resin polyester dan serat


Setelah melalui penelitian
pandan duri,, maka dapat disimpulkan
disimpul sebagai berikut.

148
1. Dari hasil yang diperoleh dari 3 variasi komposisi fraksi berat dan susunan
serat acak didapat hasil dari pengujian terbaik pada variasi berat 40% serat
: 60% resin dengan beban maksimal 43.87 Kg.f dan kekuatan tegangan
tarik sebesar 0.45 Kgf/mm2.
2. Untuk hasil yang terendah terdapat pada komposisi serat 30% : 70% resin
dengan beban 33.08 Kgf dan kekuatan kekuatan tarik 0,33 Kgf/mm2.

4. Daftar Pustaka
Gibson RF. 1994, Principles Processing and Composite Material. Mc-Granhill
Book Company, New York.

Jones RM. 1975, Mechanics of Composite Materials. Scripta Book, Company


Washington DC.

Schwartz MM. 1984. Composite Material, Handbook. McGraw Hill, Inc., New
York, USA.

ASTM, 2006, Standards and Literature References for Composite Materials,


American Society for Testing and Materials, Philadelphia, PA.

Paryanto Dwi Setyawan (2012), manufacturing komposit dengan metoda hand


lay-up dengan variasi fraksi serat

Citra M T, Astuti (2014), Sentesis dan karakterisasi sidat mekanik serta struktur
mikro komposit resin diperkuat daun pandan alas (pandanus dubius)
Unand, Vol. 3 No. 1.

Sofyan Efendi (2010), Analisa pengaruh sifat mekanikal terhadap campuran serat
pandan duri dengan matrik polyester Universitas Islam Riau.

Arif bintoro J (2011), kaji eksperimental kelayakan serat daun pandan sebagai
penguat material komposit

Mariati, dkk (2008), Sifat Ketidakjenuhan Polyester dengan Pengisi Serat Psang
dan serat pandan .

149
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
PEMBUATAN LEMBAR HIDROGEL DARI KITOSAN, MADU, GELATIN, DAN
KAPPA KARAGENAN SEBAGAI MATERIAL PEMBALUT LUKA

DHENA RIA BARLEANY1, IFO TRIYUNI2, M. ARYO BIMANTORO3

Jurusan Teknik Kimia Universitas Sultan Ageng Tirtayasa


email: dbarleany@yahoo.com

ABSTRAK

Kitosan, gelatin, dan madu merupakan bahan yang umum digunakan dalam pembuatan hidrogel.
Penambahan kappa karegenan diharapkan mampu meningkatkan kapasitas penyerapan terhadap
air serta sifat antibakteri gel sehingga dapat diaplikasikan sebagai material dalam perawatan luka.
Tujuan penelitian ini adalah mensintesis lembaran hidrogel dari kitosan, gelatin, dan madu dengan
penambahan kappa karagenan serta mendapatkan komposisi terbaik berdasarkan kapasitas
penyerapan, kandungan gel, sifat antibakteri, dan analisa matriks permukaan. Sintesis hidrogel
dilakukan dengan pencampuran larutan kitosan, gelatin, kappa karagenan, dan madu dengan
disertai pengadukan kontinyu pada 400C. Variasi percobaan adalah penambahan air dan
konsentrasi kappa karagenan di dalam campuran reaktan total (0; 0,5; 1; 1,5%) (b/v). Larutan gel
yang terbentuk kemudian didinginkan pada temperatur kamar selama 2x24 jam, kemudian
dilakukan pengujian berupa kapasitas penyerapan, kandungan gel, aktivitas antibakteri terhadap
Escherechia coli, dan struktur permukaan menggunakan SEM. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa lembaran hidrogel dapat terbentuk dengan tekstur yang kenyal dan hasil uji SEM yang baik
pada sintesis tanpa penambahan air dan konsentrasi kappa karagenan 1,5% (b/v), dengan nilai
kandungan gel 46,23% dan nilai kapasitas penyerapan air 496 (berat air/berat hidrogel kering).
Hasil uji aktivitas antibakteri juga menunjukkan bahwa lembar hidrogel dengan penambahan
kappa karagenan dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherechia coli lebih baik
dibandingkan dengan hidrogel tanpa kappa karagenan.

Kata kunci: hidrogel, kappa karagenan, kitosan, luka, madu

ABSTRACT

Chitosan, gelatin, and honey have been popular for hydrogel synthesis. The addition of
kappa carageenan was aimed to increase water absorption capasity of gel and the
antibacterial performance as well for wound dressing application. This study was purposed
to synthesize hydrogel from chitosan, gelatin, and honey, with the addition of kappa
carageenan, also to find the best composition based on water absorbency (swelling), gel
content, antibacterial activity, and micrograph analysis. The hydrogel was synthesized
through the mixing and stirring process at 400C. The addition of water and the
concentrations of kappa carageenan in the reactant mixture were varied (0; 0,5; 1;
1,5%)(w/v). The reactant solution was then cooled at room temperature for 2x24 h to form

150
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
gel. Swelling behavior, gel content, antibacterial activity, and SEM evaluation were
performed in this report. The result shows that hydrogel sheet with the best texture and
good matrix was resulted when it was synthesized without water addition and the
concentration of kappa carageenan was 1,5%. The gel content of 46,23% and swelling
capacity of 496 (weight of water absorbed/weight of dry hydrogel) was reached. The
antibacterial study also proof that the addition of kappa carageenan in the hydrogel
composition can inhibit Escherechia coli better than hydrogel without kappa carageenan.

Keywords: chitosan, honey, hydrogel, kappa carageenan, wound

1. Pendahuluan
Hidrogel adalah struktur jaringan tiga dimensi yang mampu menyimpan air dalam
jumlah yang sangat banyak (Peppas dkk, 2012). Kitosan banyak dimanfaatkan sebagai bahan
penyusun hidrogel untuk berbagai aplikasi termasuk dalam bidang biomedis yaitu sebagai
pembalut luka (wound dressing). Kitosan bersifat biokompatibel, biodegradabel, tidak beracun,
serta memiliki kemampuan anti-mikroba yang sangat baik (Smart dkk., 2006). Selain digunakan
secara tunggal sebagai pembalut luka, saat ini para peneliti mempelajari kombinasi
kitosan dengan bahan lain baik berupa polimer sintetis maupun material alami seperti
madu, alginat, gelatin serta hidrokoloid alami seperti kappa karagenan.
Pada percobaan ini diteliti pengaruh konsentrasi kappa karagenan terhadap nilai
swelling, fraksi gel dan uji antibakteri pada hidrogel kitosan, madu, gelatin dan kappa
karagenan. Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis lembaran gel dari kitosan, madu dan
gelatin serta mendapatkan komposisi kappa karagenan terbaik berdasarkan nilai swelling,
fraksi gel, uji antibakteri dan hasil uji Scanning Electro Microscope (SEM) yang
dihasilkan.

2. Tinjauan Pustaka
Luka dapat diklasifikasikan sebagai luka akut atau luka kronis. Luka akut dibagi
menjadi 2 (dua) kriteria, yaitu traumatis dan luka operasi. Perawatan luka dilakukan
tergantung pada jenis luka dan kemungkinan infeksi yang terjadi. Infeksi pada luka dapat
disebabkan oleh keseimbangan koloni bakteri yang biasa terdapat pada kulit.

151
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang biasa menginfeksi pada kasus luka saat
operasi, sedangkan pada luka kronis, infeksi sering berasal dari bakteri patogen yang
bersifat aerobik atau fakultatif (Saleh dan Snnergren, 2016). Dalam studi yang dilakukan
oleh Wang dkk (2012), aktivitas antimikroba melawan S. aureus dan E. coli diuji pada
produk untuk perawatan luka bakar.
Produk perawatan luka yang ideal harus mampu menyerap cairan luka yang berlebihan
serta racun, menjaga kelembaban antara area luka dengan pembalut, melindungi luka dari
infeksi, mencegah kelebihan panas pada luka, mempunyai permeabilitas yang baik
terhadap gas, steril, dan mudah dilepaskan tanpa menimbulkan trauma lebih lanjut terhadap
luka (Deng dkk, 2007). Hidrogel dan produk-produk hidrokoloid merupakan bentuk
pembalut yang didesain mampu menjaga kelembaban luka (Cal dan Khutoryanskiy,
2015).
Salah satu bahan pembalut bioaktif yang terbukti mampu menstimulasi dan
mempercepat proses penyembuhan luka adalah kitosan. Aplikasi kitosan dalam dunia
biomedis banyak dimanfaatkan sebagai zat antiinflamasi, antikoagulan, flokulan,
antibakteri, antijamur, memiliki aktivitas anthelmintic yang akan mencegah dari tekanan
mikroba dan kitosan juga memiliki efek penyembuh luka. Permeabilitas kitosan terhadap
oksigen sangat baik, sifat ini sangat penting untuk mencegah kekurangan oksigen pada
jaringan yang cedera. Jayakumar dkk (2011) dalam suatu ulasan menyimpulkan bahwa
hidrogel berbasis kitin dan kitosan merupakan teknologi yang layak dipertimbangkan untuk
pengembangan pembalut sekaligus penyembuh luka. Permeabilitas hidrogel yang tinggi
terhadap kelembaban dapat mencegah akumulasi cairan yang terjadi pada luka berat
dengan pendarahan cukup besar. Hidrogel berbasis kitosan untuk aplikasi dalam produk
perawatan luka telah banyak dikembangkan dan dimodifikasi dengan bahan lain (Ong dkk,
2008; Murakami dkk, 2010; Wang dkk, 2012).
Salah satu modifikasi hidrogel berbasis kitosan adalah dengan mengkombinasikannya
dengan gelatin. Sponge kitosan-gelatin telah berhasil dibuat oleh Deng dkk (2007) dan
terbukti reliabel untuk aplikasi pembalut luka. Hidrogel tersebut memiliki sifat antibakteri
yang sangat baik terhadap Escherechia coli, bahkan lebih baik dibandingkan dengan
pinisilin. Sifat antibakteri gel kitosan-gelatin juga lebih baik dibandingkan dengan
cefradine saat melawan Streptococcus. Gelatin merupakan material alami yang non toxic

152
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
dan biokompatibel, sesuai untuk lapisan penutup dan pelindung area yang rusak pada
aplikasi perawatan luka bakar, trauma, dan diabetes. Pembalut luka dari bahan gelatin
terbukti biokompatibel dan tidak menimbulkan reaksi negatif apapun terhadap tubuh
(Ulubayram dkk, 2011).
Bahan alami lain yang banyak diteliti dan memiliki banyak kelebihan dalam
pemanfaatannya untuk perawatan luka adalah madu (Yusof dkk, 2007; Nho dkk, 2014;
Stewart dkk, 2014). Kandungan zat antibiotik dan asam amino bebas dalam madu yang
berguna untuk mengalahkan bakteri mematikan, kuman patogen, dan membantu
penyembuhan penyebab penyakit infeksi. Rasa asam pada madu tidak cocok untuk
pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri karena madu menghasilkan hidrogen
peroksida yang merupakan antiseptik. Sifat antibakteri madu diteliti memiliki efektivitas
tinggi pada luka bakar, tetapi agak lemah untuk jenis luka lain. Bagaimanapun, kombinasi
madu dengan bahan lain memberikan performa yang lebih baik untuk sifat antibakterinya
(Vandamme dkk, 2013).
Pada penelitian ini, lembaran hidrogel untuk aplikasi pembalut luka dibuat dari bahan
kitosan, gelatin, madu, dan kappa karagenan. Dalam beberapa penelitian, karagenan
dimanfaatkan sebagai pembawa obat (drug delivery) dalam sistem hidrogel untuk
perawatan luka yang dikompositkan dengan material lain (Boateng dkk, 2013; Padhi dkk,
2016). Volodko (2016) meneliti pembentukan material kompleks yang terbentuk dari
karagenan dan kitosan kemudian menyatakan bahwa keduanya menunjukkan interaksi yang
baik serta jenis karagenan yang digunakan sangat mempengaruhi afinitas ikatannya dengan
kitosan.

2. Metode Penelitian
2.1. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitosan grade farmasi
dengan derajat deasetilasi 85%, madu Nusantara, gelatin dari sisik ikan yang dibeli dari
BATAN, kappa karagenan, asam asetat glasial (Merck), dan aquades.

153
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
2.2. Pembuatan Larutan Madu
20 g madu dilarutkan dalam 20 mL aquades sambil dilakukan pengadukan
kontinyu pada suhu 600C. Larutan yang sudah homogen lalu didiamkan hingga suhunya
mencapai 400C.

2.3. Pembuatan Larutan Gelatin


Larutan gelatin dibuat dengan cara yang sama dengan proses pembuatan larutan
madu, dimana 20 g gelatin dilarutkan ke dalam 20 mL aquades dan dipanaskan pada 60 0C
sambil dilakukan pengadukan. Setelah homogen, larutan gelatin lalu didiamkan hingga
mencapai suhu 400C.

2.4. Pembuatan Larutan Kappa Karagenan


Kappa karagenan dengan variasi berat 0; 0,1; dan 1,5 g dilarutkan dalam 100 mL
aquades disertai dengan pengadukan pada suhu ruang hingga homogen

2.5. Pembuatan Lembaran Hidrogel


0,5 g kitosan dicampur dengan 0,5 mL larutan asam asetat 2% lalu ditambahkan
aquades sebanyak 19 mL (volume akhir larutan kitosan sekitar 20 mL). Masing-masing 20
mL larutan kitosan, madu, gelatin, dan kappa karagenan dicampur sambil dipanaskan pada
400C. Pada penelitian ini, pengaruh adanya penambahan aquades dievaluasi terhadap
karakteristik gel yang dihasilkan. Penambahan aquades dilakukan hingga volume campuran
reaktan mencapai 100 mL. Setelah homogen, larutan disaring dan dicetak lalu didiamkan
pada suhu ruang selama 2x24 jam hingga terbentuk lembaran gel. Lembaran gel yang
terbentuk kemudian dilakukan serangkaian pengujian berupa kapasitas penyerapan
(swelling), kandungan gel (gel content), aktivitas antibakteri, dan analisa permukaan
menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope).

2.6. Uji Kandungan Gel (Gel Content)


Hidrogel yang terbentuk dipotong dengan berat 1 gr, dikeringkan dalam oven pada
suhu 600C dan ditimbang sampai bobot konstan (W0). Hidrogel kering kemudian dikemas
dalam kertas teh. Selanjutnya, kertas teh yang mengandung hidrogel direndam dalam air
suling dan diaduk selama 24 jam untuk menghilangkan zat-zat yang tidak bereaksi.

154
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
Akhirnya, hidrogel dikeluarkan dari alat pengaduk, dikeringkan kembali dalam oven pada
suhu 600C dan ditimbang kembali sampai bobot konstan (W1). Fraksi gel dihitung dengan
persamaan (1):
    ...........(1)

2.7. Uji Kapasitas Penyerapan (Swelling)


Hidrogel yang terbentuk dipotong dengan berat 1 gr, dikeringkan dalam oven pada
suhu 600C dan ditimbang sampai bobot konstan (W0). Hal ini dilakukan untuk
menghilangkan kadar air yang terkandung dalam hidrogel. Hidrogel kemudian direndam
dalam aquades selama 3 jam, lalu dikeluarkan dari bejana perendaman. Air di permukaan
hidrogel basah dikeringkan dengan tisu, kemudian hidrogel ditimbang (W 1). Rasio
banyaknya air terserap hidrogel pada masing-masing waktu perendaman dihitung dengan
menggunakan persamaan (2) berikut:

  ................................................(2)

2.8. Uji Aktivitas Antibakteri


PBS (Strain E. Coli) disiapkan dalam tabung reaksi sebanyak 9 mL. Cawan petri
disiapkan sebanyak sampel yang diuji ditambah satu untuk control. Cawan petri PCA
(Plate Count Agar) dipanaskan terlebih dahulu dengan suhu 380C, volume 15-20 mL.
Sampel hidrogel dengan variasi berbeda dimasukkan ke masing-masing cawan petri dan
diberi label. Larutan PBS dimasukkan ke cawan control dan cawan sampel kemudian
ditutup, diputar 3x, dan didinginkan. Cawan petri ditumpuk dan dibungkus dengan kertas
coklat, dimasukkan ke incubator dengan suhu 380C selama 2 hari.

3. Hasil dan Pembahasan


3.1 Hasil Uji Gel Content
Kandungan gel (gel content) merupakan salah satu karakterisasi yang umum
dilakukan dalam sintesis hidrogel, merupakan jumlah bahan awal baik monomer atau
polimer yang terkonversi menjadi gel. Dengan kata lain, kandungan gel menunjukkan
besarnya gel yang terkandung di dalam hidrogel.

155
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016








 




 


   

 

 

Gambar 1. Pengaruh penambahan aquades dan konsentrasi larutan kappa karagenan


terhadap kandungan gel (gel content) yang dihasilkan

Pengaruh konsentrasi kappa karagenan dan penambahan aquades terhadap fraksi gel
hidrogel kitosan, madu, gelatin dan kappa karagenan dengan variasi kappa karagenan 0;
0,5; 1 dan 1,5% disajikan pada Gambar 1. Terlihat bahwa dengan adanya penambahan
aquades, kandungan gel meningkat dengan bertambahnya konsentrasi larutan kappa
karagenan, dimana nilainya berturut-turut adalah 41,93%; 43,67%; 45,11%; dan 47,31%.
Hal ini menunjukkan bahwa hidrogel dari campuran (blend) kitosan, madu, gelatin dan
kappa karagenan dengan penambahan aquades dapat membentuk hidrogel relatif lebih
baik dibandingkan hidrogel tanpa penambahan aquades. Kemampuan pembentukan gel
pada kappa karagenan terjadi pada saat larutan panas yang dibiarkan menjadi dingin
karena mengandung gugus 3,6- anhidrogalaktosa.
Pada hidrogel kitosan, madu, gelatin dan kappa karagenan tanpa penambahan air
terlihat penurunan kandungan gel saat konsentrasi kappa karagenan ditingkatkan. Menurut
Wang dkk (2012), viskositas kitosan dan madu yang terlalu tinggi dapat memberikan efek
merugikan terhadap produk gel yang diperoleh. Di dalam aplikasi ini, kitosan dan madu
lebih berfungsi sebagai material fungsional, dimana perannya lebih dominan dalam
penyembuhan luka, sedangkan gelatin dan kappa karagenan berperan dalam pembentukan
matriks gelnya.

156
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
3.1.Hasil Uji Kapasitas Swelling
Swelling merupakan parameter utama dari hidrogel, terutama dalam perannya sebagai
material untuk perawatan luka. Pengaruh konsentrasi kappa karagenan dan variasi air
terhadap swelling hidrogel kitosan, madu, gelatin dan kappa karagenan pada Gambar 2.



  
 




 
 


  

  
 
 

 


Gambar 2. Pengaruh konsentrasi larutan kappa karagenan terhadap kapasitas penyerapan


hidrogel

Berdasarkan pengamatan dan hasil perendaman pada uji swelling dengan variasi
penambahan air terlihat pada Gambar 2 bahwa dengan meningkatnya konsentrasi kappa
karagenan dari 0 hingga 1,5%, swelling meningkat berturut-turut yaitu 354%, 377%, 426%,
dan 463%; sedangkan tanpa penambahan air menghasilkan swelling sebesar 389%, 385%,
456% dan 496%. Peningkatan nilai swelling dengan bertambahnya konsentrasi kappa
karagenan disebabkan karena kappa karagenan berperan dalam mengimobilisasi cairan.
Semakin meningkatnya konsentrasi kappa karagenan di dalam gel mengakibatkan semakin
banyak pula jumlah cairan yang dapat masuk ke dalam matriks hidrogel.
Dengan penambahan air dapat menghasilkan hidrogel dengan kandungan gel yang
lebih besar tetapi menurunkan kapasitas penyerapannya. Besarnya jumlah cairan yang ada
dalam reaktan dapat menghambat penyerapan cairan dari luar karena terbatasnya ruang
kosong di dalam matriks,

3.2.Uji Aktivitas Antibakteri


Lembaran hidrogel kitosan, gelatin, madu dan kappa karagenan diuji aktivitas
antibakterinya terhadap pertumbuhan bakteri E.coli. Aktivitas antibakteri dari suatu

157
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
hidrogel diperlihatkan dengan munculnya daerah bening disekitar
dis hidrogel dengan
menghitung pertumbuhan bakteri pada cawan yang berukuran 4 cm2. Baha
Bahan utama yang
digunakan sebagai zat antibakteri adalah kitosan dan madu.

(a) (b)

(c)
Gambar 3.. Pengujian aktivitas antibakteri (a). tanpa hidrogel, (b). dengan
d hidrogel tanpa
kappa karagenan, (c). Dengan hidrogel dngan kappa karagenan

nalisa antibakteri yang telah dilakukan dapat terlihat


Hasil analisa terli pada gambar 3. Pengujian
koloni bakteri pada cawan tanpa hidrogel (Gambar 3a) menunjukkan sejum
se
sejumlah 7920
koloni.. Gambar 3b terlihat jarak antara bakteri dengan hidrogel, pad
p
pada variasai tanpa
ebih dekat, dan lembar hidrogel ini mempunyai daerah hambat bakt
karagenan lebih bakteri yang
kecil dengan pertumbuhan bakteri 4032 koloni. Pada variasi penambahan kappa karagenan
1,5% jarak antara bakteri dengan hidrogel lebih jauh dengan pertumbuhan
pertumbuh bakteri sejumlah
3600 koloni.. Struktur lembar hidrogel dengan penambahan kappa karagenan 1,5% lebih
baik dibandingkan tanpa menggunakan kappa karagenan yang menyebabka
menyebabkan bakteri sulit
masuk kedalam lembaran hidrogel, kappa karagenan tidak mempengaruhi
mempenga pertumbuhan
bakteri karena kappa karagenan tidak memiliki sifat sebagai
seba zat antibakteri.

158
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
3.3.Hasil
Hasil Evaluasi SEM
Pada lembaran hidrogel kitosan, gelatin, madu dan kappa karagenan
karagena dilakukan analisa
morfologinya dengan uji SEM (Scanning
( Electron Microscope)) untuk mengatahui struktur
pori-porinya,
inya, dengan variasi penambahan air (Gambar 4a) dan
da tanpa penambahan air
(Gambar 4b).

(a) (b)

Gambar 4.. Hasil Uji SEM hidrogel (a) dengan penambahan aquades, (b) ttanpa aquades.

Dari hasil analisa yang telah dilakukan dapat dilihat pada Gambar 4aa dengan variasi
penambahan aquades tidak terlihat pori-porinya
pori inya dengan 250 kali pembesaran, sedangkan
pada gambar 4b dengan variasi tanpa penambahan aquades terlihat
te pori- porinya dengan
diameter 26,96 m pada pembesaran yang sama yaitu 250 kali. Hal
Ha ini dapat menguatkan
hasil yang didapatkan pada nilai swelling,, dimana pada gambar 4b nilai swelling lebih
besar dibandingkan dengan gambar 4a. Semakin besar dan banyak pori
pori-pori maka akan
semakin banyak pula air yang terjerap didalam hidrogel blend dari kitosan, gelatin, madu
dan kappa karagenan. Kelemahannya, struktur hidrogel cenderung rapuh ka
karena jumlah
inya yang lebih besar dan banyak dibandingkan dengan Gamba
pori- porinya Gambar 4a, sehingga
membuat hidrogel mudah rusak. Dari struktur permukaannya, Gamba
Gambar 4a lebih halus
dibandingkan dengan Gambar 4b, karena pori-porinya
pori inya lebih rapat seh
sehingga membuat
hidrogel lebih kuat dan tidak mudah rusak.

159
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
4. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa lembaran hidrogel dapat terbentuk baik
pada variasi tanpa penambahan air dan konsentrasi penambahan kappa karagenan sebesar
1,5%; ditunjukan dengan peningkatan pada nilai swelling, kualitas hasil uji SEM dan uji
antibakteri. Berdasarkan karakteristiknya hidrogel yang dihasilkan dari penelitian ini
bersifat kenyal dengan nilai kandungan gel 46,3% dan nilai swelling 496 (g air /g hidrogel
kering). Hasil analisa antibakteri menunjukan lembar hidrogel dengan penambahan kappa
karagenan dapat menghambat tumbuhnya bakteri E. coli lebih baik dibandingkan
tanpa menggunakan kappa karagenan.

5. Daftar Pustaka

Boateng, J.S.; Pawar, H.V.; Tetteh, J., Polyox and carrageenan based composite film
dressing containing anti-microbial and anti-inflammatory drugs for effective wound
healing, International Journal of Pharmaceutics, 2013, 44, 181-91.
Calo, E. dan Khutoryanskiy, V.V., Biomedical Applications of Hydrogels: A review of
Patents and Commercial Products, European Polymer Journal, 2015, 65, 262-267.
Deng, C.M.; He, L.Z.; Zhao, M.; Yang, D.; Liu, Y., Biological properties of the chitosan-
gelatin sponge wound dressing, Carbohydrate Polymers, 2007, 69, 583-589.
Jayakumar, R.; Prabaharan, M.; Kumar, P.T.S.; Nair, S.V.; Tamura, H. Biomaterials based
on chitin and chitosan in wound dressing applications, Biotechnology Advances, 2011,
29, 322-337.
Murakami, K.; Aoki, H.; Nakamura, S.; Nakamura, S.I.; Takikawa, M.; Hanzawa, M.;
Kishimoto, S.; Hattori, H.; Tanaka, Y.; Kiyosawa, T.; Sato, Y.; Ishihara, M., Hydrogel
blends of chitin/chitosan, fucoidan and alginate as healing-impared wound dressings,
Biomaterials, 2010, 31, 83-90.
Nho, Y.C.; Park, J.S.; Lim, Y.M., Preparation of Hydrogel by Radiation for the Healing of
Diabetic Ulcer, adiation Physics and Chemistry, 2014, 94, 176-180.
Ong, S.Y.; Wu, J.; Moochhala, S.M.; Tan, M.H.; Lu, J., Development of a chitosan-based
wound dressing with improved hemostatic and antimicrobial properties, Biomaterials,
2008, 29, 4323-4332.

160
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
Padhi, J.R.; Nayak, D.; Nanda, A.; Rauta, P.R.; Ashe, S.; Nayak, B., Development of
highly biocompatible Gelatin & i-Carrageenan based composite hydrogels: In depth
phisiochemical analysis for biomedical applications, Carbohydrate Polymers, Accepted
Manuscript, 2016, http://dx.doi.org/10.1016/j.carbpol.2016.07.098.
Peppas, N.A.; Slaughter, B.V.; Kanzelberger, M.A., Hydrogels, Polymer Science: A
Comprehensive Reference, 2012, Vol. 9, 385-395
Saleh, K. dan Snnergren, H.H., Control and treatment of infected wounds, Wound Healing
Biomaterials, 2016, 2, 107-115.
Smart, G.; Miraftab, M.; Kennedy, J.F.; Groocock, M.R., Chitosan: Crawling from crab
shells to wound dressings, Medical Textiles and Biomaterials for Healthcare, 2006, 67-
72.
Stewart, J.A.; Mc Grane, O.L.; Wedmore, I.S., Wound care in the wilderness: Is there
evidence for honey?, Wilderness and Environmental Medicine, 2014, 25, 103-110.
Ulubayram, K.; Cakar, A.N.; Korkusuz, P.; Ertan, C.; Hasirci, N., EGF containing gelatin-
based wound dressings, 2001, 22 (11), 1345-1356.
Vandamme, L; Heyneman, A.; Hoeksema, H.; Verbelen, J.; Monstrey, S., Honey in
modern wound care: A systematic review, Burns: Article in Press, 2013, xxx-xxx
Volodko, A.V.; Davydova, V.N.; Glazunov, V.P.; Likhatskaya, G.N.; Yermak, I.M.,
Influence of structural features of carrageenan on the formation of polyelectrolyte
complexes with chitosan, International Journal of Biological Macromolecules, 2016, 84,
434-441.
Wang, T.; Zhu, X.K.; Xue, X.T.; Wu, D.Y., Hydrogel sheets of chitosan, honey and gelatin
as bun wound dressings, Carbohydrate Polymers, 2012, 88, 75-83.
Yusof, N.; Hafiza, A.H.A.; Zohdi, R.M.; Bakar, Md.Z.A., Development of honey hydrogel
dressing for enhanced wound healing, Radiation Physics and Chemistry, 2007, 76,
1767-1770

161
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
Pengaruh perbedaan kepolaran pelarut pada Ekstraksi Resin
dari Buah Jernang (Dragon Blood) metode masearasi
untuk penentuan kualitas resin jernang sesuai SNI 1671:2010

Saifuddin1, Nahar1 dan Selvie Diana1


1
Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe(PNL)
Jln.Medan-Banda Aceh, Km 280,3. Buket rata Lhokseumawe
E-mail:odinx66@yahoo.com

ABSTRAK

Resin jernang (dragon blood) merupakan getah termahal di dunia. Resin


tersebut diperoleh dari buah jernang yang tumbuh hanya di pulau Sumatra
dan kalimatan. Resin jernang sangat diminati oleh Negara Cina, Hongkong,
dan Singapura, karena mengandung senyawa dracohordin yang berpotensi
sebagai bahan obat secara biologis dan aktivitas farmakologis seperti
antimikroba, antivirus, antitumor, dan aktivitas sitotoksik. Proses ekstraksi
resin jernang dari buah jernang secara konvensional secara basah dengan
metode maserasi merupakan salah satu cara pengolahan buah jernang yang
dilakukan oleh masyarakat pengolah jernang di Kabupaten Bireuen Provinsi
Nangroe Aceh Darussalam, Namun masih ada kendala yang cukup signifikan
yaitu.mutu rendemen yang diperoleh masih rendah. Penelitian Pengaruh
kepolaran pelarut untuk ekstraksi jernang terhadap mutu resin jernang ini
bertujuan untuk membandingkan Resin yang diperoleh dari hasil ekstraksi
buah jernang untuk transfer teknologi kepada masyarakat. Penelitian ini
menggunakan tiga jenis pelarut yang berbeda yaitu pelarut polar (Air),
Semipolar (Etil Asetat), dan Nonpolar (Heksana). Pemisahan getah (resin)
dari buah jernang dilakukan dengan proses ekstraksi maserasi. proses
ekstraksi maserasi adalah proses dengan cara perendaman buah jernang
masing-masing didalam pelarut yang berbeda selama 72 jam dengan
perbandingan jernang dan pelarut 1:1, 1:2, dan 1:3 untuk setiap pelarut yang
digunakan. Hasil pengujian resin jernang disesuaikan dengan SNI (SNI.1671 :
2010), meliputi kadar resin, kadar air, Kadar abu, dan kadar pengotor. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa kepolaran pelarut yang digunakan sangat
menentukan kadar resin yang dihasilkan. Kadar resin paling tinggi didapat
dari pelarut Semipolar (31.5%), dan yang paling rendah didapat dari pelarut
nonpolar (2.5%). Berdasarkan pengujian dari resin jernang yang diperoleh
ditentukan berdasarkan (SNI.1671: 2010). Maka standar mutu resin yang
diperoleh adalah standar mutu B.

Kata kunci : Ekstraksi, Jernang, Kepolaran, Maeserasi, (SNI.1671: 2010)

1. Pendahuluan
Resin jernang (dragon blood) merupakan getah termahal di dunia dan sangat
dicari oleh dunia farmasi. ini dikarenakan dalam getah jernang (resin) terdapat

162
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
kandungan senyawa Dracohordin yang sangat dibutuhkan oleh dunia farmasi.
Dracorhodin merupakan konstituen utama yang ditemukan dalam buah jernang
(Dragon Blood). Dracorhodin termasuk Senyawa antosianin alami dan digunakan
sebagai zat farmasi ampuh karena aktivitas biologis dan farmakologisnya seperti
antimikroba, antivirus, antitumor, dan aktivitas sitotoksik.. (Gupta et all, 2008).
Resin jernang merupakan resin hasil sekresi buah rotan jernang. Resin
tersebut menempel dan menutupi bagian luar buah rotan, dimana untuk
mendapatkannya diperlukan proses ekstraksi buah. Jernang secara tradisional
dimanfaatkan sebagai bahan obat. Di samping itu, jernang dimanfaatkan sebagai
bahan pewarna untuk mengecat barang-barang pernis, dahulu dan sekarang.
Komponen kimia utama pada resin jernang adalah resin ester dan dracoresino tannol
(57- 82%). Selain itu, resin berwarna merah dan juga mengandung senyawa-senyawa
seperti dracoresene (14%), dracoalban (hingga 2,5%), resin tak larut (0,3%), residu
(18,4%), asam benzoat, asam benzoilasetat, dracohodin dan beberapa pigmen terutama
nordracorhodin dan nordracorubin ( Chu, 2006 dalam Risna, 2006).
Penelitian ini terkait efisiensi proses ekstraksi dalam mengekstrak resin
turunan antosianin dari bahan baku buah jernang dengan metode masearasi.
Kandungan senyawa resin dalam buah jernang berbeda-beda, tergantung jenis
jernang dan tempat tumbuhnya, disamping kandungan resin jernang terdiri dari
beberapa senyawa polar, semipolar dan nonpolar. Salah satu cara untuk
memisahkan resin dari buah jernang adalah dengan cara ekstraksi dengan
menggunakan pelarut yang sesuai. Pelarut yang sesuai akan menghasilkan
ekstrak resin yang banyak. Penggunaan pelarut yang tepat akan meningkatkan
jumlah rendemen resin. Senyawa polar akan larut dalam pelarut polar, senyawa
semi polar akan larut dalam pelarut semi polar begitu juga senyawa non polar
akan larut dalam Pelarut non polarPenggunaan kepolaran pelarut sangat
menentukan .
Penggunaan pelarut dalam pengolahan secara tradisonal oleh kelompok pengolah
jernang di kabupaten Bireuen, dalam mengekstraksi resin jernang harus memakai
pelarut polar (air).
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai transfer teknologi separasi
resin jernang untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pengolah jernang
Mendapatkan resin mutu jernang yang sesuai dengan SNI (SNI.1671 : 2010) dengan

163
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
analisa hasil akhir adalah kadar resin, kadar air, kadar abu dan titik leleh pada resin
yang diperoleh setelah ekstraksi. Dan selanjutnya disesuaikan dengan SNI.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Jernang (dragon blood) merupakan komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu


(HHBK) yang mempunyai manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan cukup
tinggi (Permenhut, 2007). Jernang adalah resin yang menempel dan menutupi
bagian luar buah rotan jernang (Daemonorops sp.). Resin jernang menempel
pada buah yang masih muda dan terus menipis dengan semakin tuanya buah
tersebut. Selama ini jernang diperoleh dari hasil berburu di hutan alam. Para
pemburu membuat kelompok untuk memasuki hutan mencari jernang. Setelah
mereka memperolehnya, jernang dijual kepada tengkulak untuk dikirim ke
pengumpul. Pemanenan rotan jernang di hutan alam menimbulkan masalah
yaitu menyebabkan kelangkaan karena sistem pemanenan yang tidak lestari.
Selain itu potensi jernang terus menurun akibat kebakaran hutan dan perubahan
fungsi lahan.
Selama ini jernang di ekspor untuk Industri- industri obat di Negara
China, Singapura, dan Hongkong. China membutuhkan 400 ton tiap tahun dan
Indonesia baru mampu memasok sekitar 27 ton pertahun (Pasaribu,2005)
Resin jernang adalah resin hasil sekresi buah rotan jernang (Daemonorops
draco) yang hanya tumbuh di asia tenggara. Resin tersebut menempel dan
menutupi bagian luar buah dan sedikit pada daging buah, dan untuk
mendapatkannya diperlukan proses ekstraksi (Toriq,2013). Jenis rotan
Daemonorops draco merupakan yang terbaik karena kandungan resinnya
paling banyak dibandingkan dengan spesies jernang yang lain (Rustiami et
al.2004; Soemarna 2009). Jernang dalam dunia perdagangan dikenal dengan
nama dragons blood (Darah Naga).

164
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Gambar 2.1 Pohon dan buah jernang

Komponen kimia utama pada resin jernang adalah kelompok ester dan
drakoresinotanol (5782%). Selain itu, resin tersebut mengandung berbagai
senyawa seperti drakoresena (14%), drakoalban (hingga 2.5%), resin tak larut
(0.3%), residu (18.4%), asam abietat, drakorhodin, drakorubin, dan beberapa
pigmen terutama nordrakorodin dan nordrakorubin (Purwanto et al. 2005). Ada
59 komponen kimia yang ditemukan dalam jernang (Toriq 2013).

Gambar 2.2 Buah jernang

Resin jernang memiliki ciri berwarna merah, berbentuk amorf, dengan


bobot jenis 1.18 1.20. Bilangan asamnya rendah, bilangan ester sekitar 140,
titik cair sekitar 120 C, serta larut dalam alkohol, eter, minyak lemak, dan

165
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
minyak atsiri, larut sebagian dalam kloroform, etil asetat, metanol, karbon
disulfida, dan air (Coppen 1995).

Gambar 2.3 Resin jernang yang siap dipasarkan.

Menurut Toriq (2013), dracohordin merupakan komponen utama dan


juga sebagai penciri jernang. Drakorodin merupakan senyawa flavonoid
turunan antosianin, pemberi warna alami pada jernang. Berbagai manfaat
senyawa ini dalam bidang kesehatan, meliputi potensi sebagai bahan obat
secara biologis dan aktivitas farmakologis seperti antimikroba, antivirus,
antitumor, dan aktivitas sitotoksik (Shi et al. 2009; Rondao 2012), bahan obat
seriawan, sakit perut, maupun untuk mengatasi gangguan pencernaan
(Rustiami et al. 2004; Soemarna 2009).
Manfaat lainnya ialah sebagai bahan pewarna alami (Winarni et al.
2005; Soemarna 2009), bahan campuran kosmetik, bahan astringen, dan serbuk
pasta gigi (Soemarna 2009). Buah ini tidak memiliki kandungan senyawa
beracun (Shi et al. 2009). Di samping itu, juga digunakan sebagai bahan
pewarna vernis, keramik, alat dari batu, kayu, rotan, bambu, kertas, dan cat.
Resin jernang juga digunakan sebagai obat asma, sifilis, dan berkhasiat
afrodisiak (Grieve 2006).
Di dunia perdagangan, Jernang di kelompokkan berdasarkan tingkat
kebersihannya. Badan Standarisasi Nasional (BSN) membedakan dan

166
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
mengelompokkan jernang dalam tiga jenis mutu, yaitu Mutu Super, Mutu A,
dan Mutu B (Tabel 1). Parameter mutu suatu jernang didasarkan pada Kadar
Air,Kadar Abu, Kadar Resin, Kadar Pengotor,dan Warna. Tidak jarang jernang
yang diperdagangkan dicampur dengan resin lain bahkan batu bata merah
untuk meningkatkan bobotnya. Pada dasarnya, parameter yang digunakan
berdasarkan sifat fisis dan tidak kuantitatif, sehingga cenderung banyak
penyimpangan dalam penetapan mutu. Parameter lainya didasarkan pada
pengamatan visual dan kekasaran resin sehingga mutu ditetapkan secara
subjektif. Rao et al. (1982) melaporkan melaporkan bahwa drakohorodin dan
turunan nya adalah senyawa aktif dari jernang dan merupakan komponen
utama seperti terlihat pada table 2.1 dibawah ini.

Tabel 2.1 Spesifikasi persyaratan mutu jernang (SNI 1671:2010)


(Anonim.2010)

Persyaratan
Jenis Uji
Mutu Super Mutu A Mutu B
Kadar resin (%) Min. 80 Min. 60 Min. 25
Kadar air (%) Maks. 6 Maks. 8 Maks. 10
Kadar pengotor (%) Maks. 14 Maks. 39 Maks. 50
Kadar abu (%) Maks. 4 Maks. 8 Maks. 20
Titik leleh (oC) Min. 80 Min. 80 -
Warna Merah tua Merah muda Merah pudar
(Sumber : [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2010. Jernang. Standar Nasional
Indonesia 1671-2010. Jakarta)

2.1 Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu proses penarikan senyawa dari tumbuh-


tumbuhan, hewan dan lain-lain dengan menggunakan pelarut tertentu. Dalam
proses ekstraksi bahan dengan menggunakan pelarut organik akan dihasilkan

167
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
senyawa yang mempunyai tingkat kepolaran yang sama dengan pelarutnya
(Harborne, 1987; Achmadi,1992). Ekstraksi bisa dilakukan dengan berbagai
metode yang sesuai dengan sifat dan tujuan ekstraksi. Pada proses ekstraksi
dapat digunakan sampel dalam keadaan segar atau yang telah dikeringkan,
tergantung pada sifat tumbuhan dan senyawa yang akan diisolasi. Penggunaan
sampel segar lebih disukai karena penetrasi pelarut yang digunakan selama
penyaringan kedalam membran sel tumbuhan secara difusi akan berlangsung
lebih cepat, selain itu juga mengurangi kemungkinan terbentuknya polimer
berupa resin atau artefak lain yang dapat terbentuk selama proses pengeringan.
Penggunaan sampel kering dapat mengurangi kadar air didalam sampel
sehingga mencegah kemungkinan rusaknya senyawa akibat aktivitas anti
mikroba. Tujuan dari ekstraksi ialah memisahkan suatu komponen dari
campurannya dengan menggunakan pelarut.

2.1.1 Macam Metode Ekstraksi Berdasarkan Prinsip Kerja


1. Maserasi
Maserasi merupakan proses penyarian yang sederhana yaitu dengan
cara merendam sampel dalam pelarut yang sesuai selama 3 - 5 hari.
Prinsip kerja dari Maserasi, Pelarut akan menembus ke dalam rongga sel
yang mengandung zat aktif, sehingga akan larut karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka
senyawa kimia yang terpekat didesak ke luar. Peristiwa tersebut berulang
sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di
dalam sel.
Keuntungan dari metode maserasi ialah Teknik pengerjaan dan alat yang
digunakan sederhana serta dapat digunakan untuk mengekstraksi senyawa yang
bersifat termolabil (dipengaruhi oleh suhu).
2. Sokletasi
Sokletasi merupakan metode penyarian secara berulang- ulang senyawa
bahan alam dengan menggunakan alat soklet. Sokletasi merupakan teknik

168
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
penyarian dengan pelarut organik menggunakan alat soklet. Pada cara ini
pelarut dan sampel ditempatkan secara terpisah.
Prinsip kerja dari Sokletasi, penyarian yang dilakukan berulang-ulang
sehingga penyarian lebih sempurna dan pelarut yang digunakan relatif sedikit.
Bila penyarian telah selesai maka pelarutnya dapat diuapkan kembali dan
sisanya berupa ekstrak yang mengandung komponen kimia tertentu. Penyarian
dihentikan bila pelarut yang turun melewati pipa kapiler tidak berwarna dan
dapat diperiksa dengan pereaksi yang cocok.
Keuntungan dari metode sokletasi ialah Sampel terekstraksi secar
sempurna karena dilakukan berulang kali dan kontinu, Pelarut yang digunakan
tidak akan habis karena selalu didinginkan dengan kondenser dan dapat
digunakan lagi setelah hasil isolasi dipisahkan, Proses ekstraksi lebih cepat
(waktu nya singkat), dan Pelarut yang digunakan lebih sedikit.
3. Fraksinasi
Fraksinasi merupakan teknik pemisahan atau pengelompokan
kandungan kimia ekstrak berdasarkan kepolaran. Pada proses fraksinasi
digunakan dua pelarut yang tidak bercampur dan memiliki tingkat kepolaran
yang berbeda.
Tujuan fraksinasi adalah memisahkan senyawa-senyawa kimia yang
ada di dalam ekstrak berdasarkan tingkat kepolarannya. Senyawa-senyawa
yang bersifat non polar akan tertarik oleh pelarut non polar seperti heksan &
pertolium eter. Senyawa yg semipolar seperti golongan terpenoid dan alkaloid
akan tertarik oleh pelarut semi polar seperti etil asetat & DCM. Senyawa-
senyawa yang bersifat polar seperti golongan flavonoid dan glikosida akan
tertarik oleh pelarut polar seperti butanol dan etanol.
2.2 Hubungan Kepolaran Pelarut Dengan Ekstraksi
Jenis pelarut berkaitan dengan polaritas dari pelarut tersebut. Hal yang
perlu diperhatikan dalam proses ekstraksi adalah senyawa yang memiliki
kepolaran yang sama akan lebih mudah tertarik / terlarut dengan pelarut yang
memiliki tingkat kepolaran yang sama (like dissolve like) . Berkaitan dengan
polaritas dari pelarut, terdapat tiga golongan pelarut yaitu:

169
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
2.2.1 Pelarut Polar
Pelarut Polar, Memiliki tingkat kepolaran yang tinggi, cocok untuk
mengekstrak Senyawa-senyawa yang polar dari tanaman. Pelarut polar
cenderung universal digunakan karena biasanya walaupun polar, tetap dapat
menyaring Senyawa-senyawa dengan tingkat kepolaran lebih rendah. Salah
satu contoh pelarut polar adalah : Air, Metanol, Etanol.
2.2.2 Pelarut Semipolar
Pelarut semipolar memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah
dibandingkan dengan pelarut polar. Pelarut ini baik untuk mendapatkan
Senyawa-senyawa semipolar dari tumbuhan. Contoh pelarut ini adalah :
Aseton, Etil Asetat, Kloroform.
3. METODE PENELITIAN
Tahap yang dilakukan untuk proses ini berupa persiapan awal yang
ingin dilakukan dengan memilih buah jernang yang telah dibersihkan
kemudian dilakukan proses pemblenderan sebanyak 100 gram setiap sampel
hingga buah jernang menjadi bubur kasar yang masih mengandung resin.
.

Gambar 3.1. Buah jernang.

3.1. Ekstraksi (maserasi) menggunakan pelarut Air.


Ekstraksi jernang metode maserasi merupakan salah satu ekstraksi cara basah
dengan mengunakan pelarut untuk mendapatkan filtrat yang mengandung resin
jernang, ekstrasi basah dengan menggunakan pelarut pada penellitian ini dilakukan
dengan menambahkan bubur jernang ditambahkan masing masing dengan pelarut
polar (aquadest), Pelarut semi polar (Etil Asetat) dan pelarut non polar (n-Heksana)
sebagai pelarut resin untuk di ekstraksi dalam beaker glass 1000 ml., dengan masing

170
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
masing sessuai perbandingan jernang : pelarut yaitu 1:1, 1:2 dan 1: 3, Larutan tersebut
diaduk aduk sampai cairan bewarna merah pekat . Proses ekstraksi dilakukan dengan
masearasi selama 72 jam pada suhu kamar.

3.2 Analisa Resin sesuaia SNI 1671:2010.


. Hasil pemisahan cairan dengan bubur kasar, cairan tersebut disaring dengan
saringan kasar untuk memisahakan buah jernang dengan cairan dan di destilasi
sehingga diperoleh produk kering dan dianalisa.

3.2.1.Penentuan rendemen resin jernang


Dalam penentuan kadar resin,contoh yang diuji harus cukup kering dan
biasanya digunakan contoh dari bekas penentuan kadar air. Jika contoh masih basah
maka selain memperlambat proses ekstraksi,air dapat turun kedalam labu suling
sehingga akan mempersulit penentuan berat tetap dari labu suling.
Rendemen resin (%) =  

3.2.2. Penentuan Kadar air


Kadar air adalah perbedaan antara berat bahan sebelum dan sesudah dilakukan
pemanasan. Setiap bahan bila diletakkan dalam udara terbuka kadar airnya akan
mencapai keseimbangan dengan kelembaban udara disekitarnya. Kadar air ini disebut
dengan kadar air seimbang. Setiap kelembaban relatif tertentu dapat menghasilkan
kadar air seimbang tertentu pula. Dengan demikian dapat dibuat hubungan antara
kadar air seimbang dengan kelembaban relative. Prinsipnya menguapkan air yang ada
dalam bahan dengan jalan pemanasan. Kemudian menimbang bahan sampai berat
konstan yang berarti semua air sudah diuapkan.
Kadar air =  
h

3.2.3.Penentuan kadar abu


Penetapan kadar abu Abu adalah sisa pembakaran sempurna bahan organik
(residu yang tidak menguap bila suatu bahan dibakar dengan cara tertentu). Secara
kimia abu dapat didefinisikan sebagai oksida logam dan bahan-bahan lain yang tidak
dapat dibakar., abu merupakan indicator tingkat derajat kebersihan dimana semakin
besar tingak abunya maka tingkat pengotornya juga tinggi. Secara alami didalam resin
jernang terdapat logam. Logam-logam ini merupakan komponen hara tumbuhan yang

171
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
merupakan komponen molekul penting dalam reaksi biokimiawi tumbuhan. Logam-
logam tersebut merupakan abu fisiologis. Pada saat penyiapan, buah jernang dapat
terkotaminasi oleh tanah, pasir, dan sebagainya. Pasir merupakan senyawa silikat yang
tidak terbakar. Senyawa silikat ini tidak larut asam, sehingga merupakan komponen
penyusun abu tidak larut asam. Oleh karena itu, kadar abu dalam limbah jernang
harus ditentukan untuk melihat kadar senyawa pengotor yang terkandung di dalamnya.
Bila kadar abu pada limbah jernang melebihi persyaratan yang ditentu maka hasil
resinnya tersebut tidak boleh digunakan dimanfaatkan resinya.
Kadar abu = 

3.2.4. Penentuan Titik Leleh


Titik leleh adalah suhu yang teramati ketika zat padat (jernang) mulai
meleleh sampai semua partikel berubah menjadi cair, dimana temperatur zat padat
(jernang) berubah ujud menjadi zat cair pada tekanan suatu atmosfer. Untuk penentuan
titik leleh diperlukan sampel jernang seberat 1 gram dan dimasukknan kedalam suatu
tabung kaca kapiler. Tabung yang berisi sampel jernang dipasang pada alat penentu
titik leleh. Setelah alat dijalankan, suhu pada saat sampel mengalami perubahan
bentuk dari fase padat lunak ke fase cair dicatat sebagai titik leleh jernang.

4. HASIL DAN DISKUSI

Dari data hasil pengamatan pengolahan jernang dapat dilihat dalam


Tabel 4.1. Pengukuran dan pengamatan penelitian ini didasarkan kadar resin
(%), kadar air (%),kadar pengotor (%). Dan kadar abu (%). Metode analisis
menggunakan tiga jenis pelarut Air (Polar), Etil Asetat (Semipolar), dan
Heksana (Nonpolar). Dengan perbandingan sampel dan pelarut 1:1, 1:2, dan
1:3.

172
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016



 
   


  

   
Analisa Sifat Fisiko-Kimia
Jernang : Waktu
Jenis Kadar Kadar Kadar
Pelarut Maserasi Kadar
Pelarut Resin air Pengotor
(mL) (Jam) abu (%)
(%) (%) (%)

1:1 8.5 4.55 2.7 5.8


Air (Polar) 1:2 72 10.5 6.75 6.5 8.5
1:3 12.5 9.8 9.4 10.6
1:1 31.5 1.9 1.9 3.5
Etil Asetat
1:2 72 34.5 2.55 3.5 4.9
(Semi Polar)
1:3 37.5 4.15 3.6 5.8
1:1 2.5 1.85 1.5 2.25
Heksana
1:2 72 3.5 3.25 2.75 3.45
(Nonpolar)
1:3 5.5 6.65 4.5 7.55

4.1. Kadar Resin(%).


 !#
 !#  !#
"##
"## "## 

 
Kadar Resin (%)



!! 
!!
!! 
! 
  !  !  !#
" 
" "##
"
 

Volume Pelarut (mL)

Gambar 4.1 Perbandingan kadar resin dari pelarut polar (Air), Semipolar (Etil asetat)
dan Nonpolar (Heksana) terhadap volume pelarut

kadar resin paling banyak diperoleh dari jernang yang dilarutkan dengan
pelarut semipolar (37.5%). Dan kadar resin paling sedikit diperoleh dari
jernang yang dilarutkan dengan pelarut nonpolar (2.5%). Dengan demikian
senyawa yang terkandung pada resin jernang banyak mengandung senyawa
semipolar dan sedikit senyawa non polar. Dalam proses ekstraksi bahan dengan
menggunakan pelarut organik akan dihasilkan senyawa yang mempunyai
tingkat kepolaran yang sama dengan pelarutnya (Harborne, 1987;

173
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
Achmadi,1992). Berdasarkan perbandingan jernang dengan pelarut , diperoleh
resin yang lebih banyak pada perbandingan 1:3 hal ini di sebabkan semakin
banyak volume pelarut yang digunakan maka pelarut akan dengan mudah
menembus membran sel buah jernang untuk terjadinya difusi, sehingga lebih
banyak ekstrak yang keluar dari membran sel jernang tersebut

4.2.Kadar Air(%

!!
 
!! !
Kadar Air

 
!!  "
!
 ! "  
(%)


 
! !#
 !
 !   #"##
" "##
#"##  


#"##

 (mL)
Volume Pelarut

Gambar 4.2. perbandingan kadar Air dari pelarut polar (Air), Semipolar (Etil
asetat) dan Nonpolar (Heksana) terhadap volume pelarut.
kadar air paling banyak diperoleh dari resin jernang yang dilarutkan
dengan pelarut Polar (9.8%). dan kadar air paling sedikit diperoleh dari resin
jernang yang dilarutkan dengan pelarut Semipolar (1.9%). Tingginya kadar air
disebabakan karena memang menggunakan pelarut polar yaitu air sebagai
pelarut sehingga banyak kadar air terikat yang terkandung dalam resin jernang.

4.3. Kadar Pengotor (%)

!!
Kadar Pengotor(%)

 

!!
   !
 !  !
!!
 ! "
 !
#"##
 ! #"##

#"##  

#"##
 !"
    

"
 (mL)
Volume Pelarut

Gambar 4.3. perbandingan kadar Pengotor dari pelarut polar (Air), Semipolar
(Etil asetat) dan Nonpolar (Heksana) terhadap volume pelarut.

174
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
kadar pengotor paling banyak diperoleh dari resin jernang yang
dilarutkan dengan pelarut Polar (9.4%) dan kadar pengotor paling sedikit
diperoleh dari resin jernang yang dilarutkan dengan pelarut Semipolar (1.9%).
Banyaknya kadar pengotor dalam resin jernang disebabkan karena adanya
senyawa lain yang bukan senyawa penciri jernang ikut terekstraksi..

4.4.Kadar Abu(%)

!!
 
!! !
 "
Kadar Abu (%)

!! !  !


 
 
 !#"##
 ! #"##
 !
#"## 

"  !#
  
"
   
"##

Volume Pelarut (mL)

Gambar 4.4. perbandingan kadar Abu dari pelarut polar (Air), Semipolar (Etil
asetat) dan Nonpolar (Heksana) terhadap volume pelarut.

Kadar abu paling banyak diperoleh dari resin jernang yang dilarutkan dengan
pelarut Polar (10.6%) dan kadar abu paling sedikit diperoleh dari resin jernang
yang dilarutkan dengan pelarut nonpolar (2.25%). Kadar abu berkorelasi positif
dengan kadar pengotor, di mana semakin tinggi kadar pengotor maka semakin
tinggi pula kadar abunya ini mungkin diakibatkan adanya kulit dan sisik dari
buah jernang yang ikut saat pengecilan ukuran buah jernang.(Waluyo, dkk.
2004).

4.5. Perbandingan mutu resin jernang yang diperoleh dengan


SNI:1671:2010.
Tabel 4.2 Kecocokan kualitas resin jernang hasil penelitian dengan kelas mutu
SNI (SNI. 1671:2010)

175
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
Pelarut yang digunakan Persyaratan Mutu jernang
Semipolar
No Jenis Uji Polar Nonpolar Mutu
(Etil Mutu A Mutu B
(Air) (Heksana) Super
Asetat)
Kadar Resin
1 8.5 31.5
(%) 2.5 Min. 80 Min. 60 Min. 25
2 Kadar Air (%) 4.55 1.9 1.85 Maks. 6 Maks.8 Maks. 10
Kadar Pengotor
3 2.7 1.9
(%) 1.5 Maks. 14 Maks. 39 Maks. 50
4 Kadar Abu (%) 5.8 3.5 2.25 Maks. 4 Maks. 8 Maks. 20

Tabel diatas menunjukkan data hasil ekstraksi dengan metode maserasi


pada pengolahan jernang untuk menghasilkan resin jernang. Dari tabel tersebut
hanya jernang yang dilarutkan dalam pelarut semipolar (31.5%) yang sesuai
dengan persyaratan mutu resin jernang (Mutu B). Dengan demikian senyawa
yang terkandung pada resin jernang banyak mengandung senyawa semipolar
dan sedikit senyawa non polar. Dalam proses ekstraksi bahan dengan
menggunakan pelarut organik akan dihasilkan senyawa yang mempunyai
tingkat kepolaran yang sama dengan pelarutnya (Harborne, 1987;
Achmadi,1992).

5.KESIMPULAN
Metode maserasi: Semakin banyak pelarut yang digunakan semakin banyak %
kadar resin yang diperoleh dengan kualitas yang lebih bagus.
Hanya jernang yang menggunakan dalam pelarut semipolar ( resin
37.5%) yang sesuai dengan persyaratan mutu resin jernang (Mutu B)
sesuai dengan SNI:1671:2010.

6.Daftar Pustaka

Anonim. 2010. Getah jernang. SNI 1671:2010. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta
Bambang W, 2010. Dragons blood extraction at various seed maturity levels and their
physico-chemical properties (RPI5), Funded under the Rattan Research

176
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
Grant Program of the ITTO-Philippines-ASEAN Rattan Project (PD 334/05
Rev. 2 (I)
Coppen, J.J.W. 1995. Gum, resins, and latexes of plant origin. Non Wood Forest
Products. No.6. FAO,Roma.
Gupta, D.; B. Bleakley and R. K. Gupta. 2008. Dragon's blood : Botany, chemestry
and t h e r a p e u t i c u s e s. Jou r n a l o f Ethnopharmacology, 115(3) : 361-
380.
Grieve M. 2006. Dragons Blood [Internet]. [diunduh 2014 Jan 21]. Tersedia pada:
http//www.botanical.com/botanical/mgmh/d/dragon20.html.
Rao,G.S.R.; M.A. Gehart; R.T. Lee; L.A. Mitscher and S. Drake. 1982. Antimicrobial
agents from higher plants: Dragon's blood resin. Journal of Natural Products
45:646-648
Risna, R. A. 2006. Dragon's blood tumbuhan obat yang menjanjikan dari Taman
Nasional Bukit Tigapuluh. Warta Kebun Raya, Pusat Konservasi 6.No. 1 : 45
49 Shi, J.; R. Hu; Y. Lu; C. Sun and T. Wu. 2009.
Rondao RJBL. 2012. Dragons blood [disertasi]. Coimbra (PT): University of
Coimbra.
Rustiami H, Setyowati FM, Kartawinata K. 2004. Taxonomy and uses of
Daemonorops draco (Willd.). J Trop Ethnobiol. 1(2):65-75.
Soemarna Y. 2009. Ekologi dan teknik perkecambahan dan pembibitan rotan jernang
pulut (Daemonorops draco (Willd.) Blume). JPHH.6(1):3-39.
Sumadiwangsa, 1973; Sumadiwangsa 2000 dan Coppen 1995 dalam Waluyo, 2008).
(Anonim, 2006;Grieve, 2006).
Sumarna,y.,2005 China Butuh 400 ton jerenang rotan dari
Indonesia.www.kapanlagi.com. Diakses pada tanggal 6 Desember 2014

Shi, J.; R. Hu; Y. Lu; C. Sun and T. Wu. 2009. Single-step purification of dracorhodin
from dragon's blood resin of using high-speed counter-current chromatography
combined with pH modulation. J.Sep.Sci. 32:4040-4047.

Purwanto Y, Polosakan Y, Susiarti S, Walujo EB. 2005. Ekstraktivisme jernang


(Daemonorops spp.) dan kemungkinan pengembangannya: studi kasus di Jambi,
Sumatra, Indonesia. Laporan Teknik Bidang Botani Puslitbang LIPI. Bogor (ID):
LIPI.

177
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Toriq, U. 2013. Senyawa Kimia Penciri Jernang untuk Pembaruan Parameter Standar
Nasional Indonesia. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut
Pertanian Bogor. (Skripsi).

Winarni I, Waluyo TK, Hastoeti P. 2005. Sekilas tentang jernang sebagai komoditi
yang layak dikembangkan. Di dalam: Penguatan Industri Kehutanan Melalui
Peningkatan Efisiensi, Mutu, dan Diversifikasi Produk Hasil Hutan. Prosiding
Ekspose Hasil-Hasil Litbang Hasil Hutan. Bogor, 14 Desember 2004. Bogor (ID):
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. hlm 173-177.

178
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

PENGARUH SUHU DAN KONSENTRASI NaOH PADA


PEMBUATAN KITOSAN DARI TULANG SOTONG (SEPHIA
OFFICINALIS)

Hayati Putri Melati Ginting 1, Suryati1, Meriatna1

1
Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Malikussaleh
Laboratorium Teknik Kimia Jl.Batam No. 2, Bukit Indah, Lhokseumawe 24353
*)Penulis korespondensi: hmelatiginting@gmail.com

Abstrak

Sotong merupakan komoditas andalan sektor perikanan yang menghasilkan


limbah yang cukup banyak. Limbah tersebut berpotensi menjadi pencemar
lingkungan. Namun disisi lain, limbah berupa tulang sotong yang banyak
mengandung kitin tersebut dapat dimanfaatkan untuk pembuatan kitosan. Salah
satu pemanfaatan kitosan adalah sebagai antibakteri. Muatan positif kitosan
diperkirakan dapat berinteraksi dengan permukaan sel bakteri yang bermuatan
negatif, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan bakteri. Pembuatan kitosan
dari tulang sotong (Sephia Officinalis)dilakukan melalui tahapan proses
deproteinasi menggunakan larutan NaOH 1N, proses demineralisasi
menggunakan larutan HCl 1N, dan pada proses deasetilasi dalam penelitian ini
dilakukan variasi suhu yaitu 75C, 85C, 95C dan konsentrasi NaOH
10N,11N,12N dengan waktu proses masing-masing selama 1 jam. Produk yang
didapat akan melewati beberapa analisis berupa uji gugus menggunakan FT-IR,
viskositas, kadar air, kadar abu, rendemen,serta kelarutan dalam asam asetat.
Dari hasil peragaman penelitian diperoleh produk yang memenuhi karakteristik
kitosan dari standar yang telah ditentukan yaitu pada proses pembuatan dengan
suhu 95C dengan konsentrasi NaOH 12N, nilai derajat deasetilasi yang
diperoleh sebesar 79,98% melalui analisis FT-IR, viskositas sebesar 308,08Csp,
kadar air 2%, kadar abu 2,15%, rendemen sebesar 5,08%, dan persentase
kelarutan dalam asam asetat1,9%.

Kata Kunci: Kitosan, sotong, suhu, konsentrasi

1. PENDAHULUAN
Salah satu komoditas perikanan Indonesia yang berorientasi ekspor adalah
sotong. Pada umumnya sotong dimanfaatkan tanpa kepala dan tulang bagian
dalam. Hal itu menyebabkan limbah yang berasal dari sotong juga bervariasi
berkisar antara 65-85% dari berat sotong, tergantung dari jenisnya. Limbah sotong

179
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

padat biasanya dimanfaatkan sebagai campuran pakan ternak dan sebagian lagi
belum dimanfaatkan (Willey dkk., 2000).
Sotong atau ikan nus adalah binatang yang hidup di perairan, khususnya
sungai maupun laut atau danau. Sotong merupakan molusca yang termasuk kelas
cephalopoda (kaki hewan terdapat di kepala) yang terdiri dari tulang internal yang
terletak didalam mantel, berwarna putih, berbentuk oval dan tebal, serta terbuat
dari kapur. tubuh relatif pendek menyerupai kantung. Limbah padat ini
merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi oleh pabrik pengolahan.
Selama ini limbah tersebut dikeringkan dan dimanfaatkan sebagai pakan dan
pupuk dengan nilai ekonomi yang rendah. Seiring dengan semakin majunya ilmu
pengetahuan kini limbah sotong dapat dijadikan bahan untuk membuat kitin dan
kitosan (Muzarelli, 1977).
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa pengaruh variabel bebas
suhu dan konsentrasi pelarut NaOH pada pembuatan kitosan dari tulang sotong
dan diharapkan dapat menghasilkan produk kitosan terbaik yang sesuai dengan
karakteristiknya.

2. Tinjauan Pustaka
Kitin merupakan polisakarida terbesar kedua setelah selulosa yang
mempunyai rumus kimia poli (2-asetamida-2-dioksi-!-D-Glukosa) dengan ikatan
!-glikosidik (1,4) yang menghubungkan antar unit ulangnya. Struktur kimia kitin
mirip dengan selulosa yang hanya dibedakan oleh gugus fungsi yang terikat pada
atom C2. Jika pada selulosa gugus yang terikat pada atom C2 adalah OH, maka
pada kitin yang terikat adalah gugus asetamida. Kitin yang telah dihilangkan
gugus asetilnya melalui proses deasetilasi disebut kitosan.
Kitosan tidak larut dalam pelarut alkali karena adanya gugus amina (Kim
et al., 2000). Kitosan adalah poly-D-glukosamine (tersusun lebih dari 5000 unit
glukosamin dan asetilglukosamin) dengan berat molekul lebih dari satu juta
dalton, merupakan dietary fiber (serat yang bisa dimakan) kedua setelah selulosa.
(Simunek et al., 2006). Proses utama dalam pembuatan kitosan, meliputi
penghilangan protein dan kandungan mineral melalui proses kimiawi yang disebut

180
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

deproteinasi dan demineralisasi yang masing-masing dilakukan dengan


menggunakan larutan basa dan asam. Selanjutnya, kitosan diperoleh melalui
proses deasetilasi dengan cara memanaskan dalam larutan basa. Karakteristik
fisik-kimia kitosan berwarna putih dan berbentuk kristal, dapat larut dalam larutan
asam organik, tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya. Pelarut kitosan
yang baik adalah asam asetat. Saat ini terdapat lebih dari 200 aplikasi dari kitin
dan kitosan serta turunannya di industri makanan, sistem proses makanan,
bioteknologi, pertanian, farmasi, kesehatan, dan lingkungan (Balley et al, 1977).
Kitosan (2-asetamida-deoksi-D-glukosa) memiliki gugus amina bebas
yang membuat polimer ini bersifat polikationik, sehingga polimer ini potensial
untuk diaplikasikan dalam pengolahan limbah, obat-obatan, pengolahan makanan
dan bioteknologi (Savant et al., 2000). Kitosan merupakan salah satu resin alami
yang dapat dibuat dari tulang sotong. Kitosan merupakan polimer alami yang
bersifat non toksis, lebih ramah lingkungan dan mudah terdegradasi secara alami.
Kitosan juga digunakan pada produk industri pangan, kosmetik, dan pertanian.
Sedangkan dalam bidang pengelolaan lingkungan kitosan dapat dimanfaatkan
sebagai bahan penyerap logam-logam berat yang dihasilkan oleh limbah industri
diantaranya limbah dari industri percetakan (Willey dkk., 2000).

3. METODOLOGI PENELITIAN
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah tulang sotong
yang didapatkan dari pedagang di pasar ikan Pusong, Lhokseumawe, Natrium
Hidroksida (NaOH) dengan konsentrasi 1N, 10N, 11N, 12N, asam Klorida (HCl)
1M, asam Asetat (CH3COOH) 1% digunakan sebagai reagen standar pro analisa.
Penelitian ini meliputi dua tahapan yaitu pembuatan kitosan dari limbah
tulang sotong dan pengujian karakteristik kitosan menggunakan Spektrofotometer
FT-IR.
Secara garis besar pembuatan kitosan meliputi :
Tulang sotong dicuci dan dikeringkan, lalu dihaluskan dan diayak dengan lolos
ayakan 50 mesh, dilanjutkan pada proses Deproteinasi (tahap penghilangan
protein) hasil endapan dicuci dengan air lalu dikeringkan, dilanjutkan kembali

181
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

pada proses Demineralisasi (penghilangan mineral) hasil endapan kembali


dicucian dengan air lalu dikeringkan, pada tahap akhir proses Deasetilasi
(penghilangan gugus asetil), hasil endapan dicuci dengan air lalu dikeringkan, dan
terbentuk produk kitosan.
Rangkaian alat percobaan digunakan dalam deproteinasi, demineralisasi, dan
deasetilasi. Rangkaian alat ditunjukkan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Rangkaian alat pembuatan kitosan.

3.1 Pembuatan Kitin


Deproteinasi
Proses ini dilakukan pada suhu 80C dengan menggunakan larutan NaOH
1N dengan perbandingan serbuk tulang sotong dengan pelarut NaOH 1:10 (w/v)
sambil diaduk selama 60 menit.

Pencucian
Dicuci, sampai pH netral dilakukan penyaringan, dikeringkan endapan
menggunakan oven.

Demineralisasi
Penghilangan mineral dilakukan pada suhu 30C dengan menggunakan
larutan HCl 1M dengan perbandingan sampel dengan pelarut HCl 1:15 (w/v)
sambil diaduk selama 120 menit. Kemudian disaring untuk diambil endapannya.

182
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

3.2 Deasetilasi Kitin menjadi Kitosan


Kitin yang telah dihasilkan pada proses diatas sebanyak 20 gr dimasukkan
dalam larutan NaOH dengan konsentrasi 10N, 11N, 12N dengan perbandingan
1:10 (w/v). Campuran direaksikan pada suhu 75C, 85C, 95C, sambil diaduk
dengan kecepatan konstan selama 60menit. Hasilnya berupa slurry disaring,
endapan dicuci dengan air lalu. Selanjutnya kitosan yang diperoleh dianalisis
dengan menggunakan metode FT-IR untuk mengetahui Derajat Deasetilasi (DD).
Derajat deasetilasi kitosan ditentukan dengan metode baseline berdasarkan
spectrum FT-IR, dengan rumus:

%DD = 1- [(A1655/A3450)] x 1/1,33] 100%


Keterangan:
DD = derajat deasetilasi (%)
A1655 amide = log 10 (DF2/DE)
A3450 hydroxyl = log 10(AC/AB) (Sumber :Artikel-hargono-tkundip)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan yaitu Pengaruh Suhu dan
Konsentrasi NaOH pada Pembuatan Kitosan dari Tulang Dalam Sotong (Sephia
Officinalis) selama beberapa bulan di Laboratorium Teknik Kimia Universitas
Malikussaleh dan dan perlakuan tahap pengujian di Laboratorium Universitas
Syiah Kuala. Perolehan hasil data dari beberapa pengujian kitosan yang dilakukan
berupa penentuan derajat deasetilasi menggunakan Spektrofotometri FT-IR
perhitungan viskositas, persentase kadar air, kadar abu, perhitungan rendemen,
analisa kelarutan dalam CH3COOH 1% (w/v) maka didapatkan hasil sebagai
berikut:

183
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Tabel 4.1. Hasil perhitungan uji kitosan


Konsentrasi Uji Uji
Suhu Kadar air Kadar abu Rendemen
NaOH viskositas Kelarutan
(C) (%) (%) (%)
(N) (Csp) (%)
75 10 86,98 20 3,48 8.27 5,3
11 102,97 10 3,36 5,54 4,2
12 113,76 1 3,30 3,53 2,2
85 10 118,08 3 3,34 5,90 3,4
11 123,22 2 3,24 3,99 6,6
12 138,06 3 3,17 6,59 3,3
95 10 183,47 2 3,00 5,20 2,3
11 204,67 2 2,28 7,22 2,2
12 308,08 2 2,15 5,08 1,9

4.1 FT-IR Kitosan pada Suhu Operasi 95C dengan Konsentrasi NaOH 12N.

Gambar 4.1. Grafik Hasil Uji FT-IR Kitosan

%DD = 1- [(A1636,52/A3504,42)]x 1/1,33]x100%


= 79,98%

Dari pembacaan grafik pada Gambar 4.1 dan melakukan perhitungan


derajat deasetilasi menggunakan data tabel pita serapan gugus hasil analisa.
Spektrum FT-IR untuk kitosan maka diperoleh derajat deasetilasi sebesar 79,98%
pada suhu proses 95C dengan konsentrasi NaOH 12N

184
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

FTIR (Fourier Transform Infra Red) adalah salah satu metode baku untuk
mendeteksi molekul senyawa melalui identifikasi gugus fungsi penyusun
senyawa. Untuk membuktikan bahwa hasil penelitian ini adalah kitosan, maka
dilakukan karakterisasi serapan gugus fungsi khas kitosan dengan FTIR. Setiap
gugus fungsi yang berbeda, seperti O-H, C-H, atau C=C, menyerap dalam range
atau frekuensi yang sempit, sehingga gugus fungsi dalam molekul dapat
diidentifikasi melalui adanya pita serapan dalam range tertentu pada spektrum
inframerah.

4.2 Pengaruh Suhu dan Konsentrasi NaOH terhadap Viskositas Kitosan


Nilai viskositas terbaik kitosan adalah 309Csp (Muzarelli,1985). Grafik
hasil uji viskositas kitosan pada seluruh peragaman penelitian dapat dilihat pada
Gambar 4.2.

350
300
Viskositas (Csp)

250
200 Konsentrasi
Pelarut
150
NaOH
100 10N
11N
50
12N
0
70 75 80 85 90 95 100
Suhu (C)
Gambar 4.2 Pengaruh Suhu dan Konsentrasi NaOH terhadap Viskositas Kitosan

Berdasarkan Gambar 4.2 terlihat bahwa viskositas kitosan yang diperoleh


pada penelitian ini berkisar antara 86,98308,08 Csp. Ragam uji coba dilakukan
untuk mengamati hubungan antara suhu dan konsentrasi NaOH sebagai pelarut
terhadap viskositas kitosan. Rigiditas/kekakuan rantai kitosan dalam larutan
menurun dengan meningkatnya suhu pemanasan serta konsentrasi pelarut (NaOH)
dalam proses deasetilasi. Hal ini disebabkan adanya ikatan hidrogen
intramolekuler yang terbatasi oleh rotasi gugus asetamida dan gugus hidroksil dari
cincin glukopiranosa dalam rantai kitosan yang kemudian gugus asetamida

185
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

berubah menjadi gugus amina. Peningkatan viskositas kitosan berhu


berhubungan
dengan peningkatan densitas dan berbanding lurus dengan nilai viskositas kkitosan.
Besar jumlahh viskositas yang diperoleh juga dipengaruhi dengan degr
degradasi
polimer
imer (depolimerisasi) dalam proses pendegradasi kitin yang telah mengisolasi
kitin menjadi kitosan (Wang et al,1991).
Hasil analisis keragaman menunjukkan
n pada suhu proses 75C
75 dengan
konsentrasi
rasi NaOH 10N memiliki nilai viskositas yang rendah yaitu sebesar
sebes
86,98Cps
ps sedangkan untuk suhu proses 95C dengan konsentrasi NaOH 12N
didapatkan viskositas sebesar 308,08Cps dan hasil pada run ini mendekati standar
mutu viskositas kitosan menurut Muzarelli
li (1985) dalam Hargono (2008)
(2008 yaitu
sebesar 309 Cps.

4.3 Pengaruh Suhu dan Konsentrasi NaOH terhadap Kadar Air Kitosan
Menurut
enurut Muzarelli dalam Hargono (2008), kadar air standar bagi kitosan
komersil
ersil adalah maksimal 22-10%. Analisa
lisa yang dilakukan terhadap kadar air
bertujuan untuk mengetahui
ngetahui kandungan kadar air dalam kitosan. Umumnya
kandungan air dalam diperbolehkan dalam kitosan adalah sebesar 2%, sebab
terdapatnya kandungan air dalam kitosan adalah bentuk kristal dari kitosan yang
menangkap molekul air
air.. Kitosan merupakan biopolimer higrokopis sehingga
se
terjadi penyerapan air ketika kitosan dibiarkan dalam keadaan terbuka.
Grafik hasil uji kadar air kitosan pada seluruh peragaman penelitian dapat
dilihat pada Gambar 4.3

25
Kadar air (%)

20

15

10 10N
5 11N
12N
0
70 75 80 85
Suhu (C) 90 95 100

Gambar 4.3 Pengaruh Suhu dan Konsentrasi NaOH terhadap Kadar Air Kitosan

186
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Berdasarkan Gambar 4.
4.3 terlihat bahwa kadar air dalam kitosan yang
diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 120%. Hasil analisis keragaman
menunjukkan pada suhu proses 75
75C dengan konsentrasi
trasi NaOH 10N memiliki
nilai kadar air sangat tinggi sebesar 20%, sedangkan untuk suhu prose
proses 95C
dengan konsentrasi NaOH 12N didapatkan kadar air sebesar 2%. Menurut
Muzzarelli
uzzarelli (1985) dalam Puspawati dan. Simpen, (2010)
0) standar kadar air dalam
kitosan 2-10%
10% dan kitin memiliki kadar air <10%. Jika kadar air yang terkandung
dalam produk melebihi 10%
10%, makaa dapat dikatakan produk masih merupakan kitin
yang belum terdeasetilasi secara sempurna.

4.4 Pengaruh Suhu dan Konsentrasi NaOH terhadap Kadar Abu Kitosan.
Kadar
adar abu diketahui dari sampel yang tak terabukan
terabukan. Kadar abu juga dapat
digunakan sebagai parameter dari kemurnian produk. Kadar abu terbentuk dari
hasil residu pembakaran anorganik atau kandungan mineral dari produk.
komponen-komponen
komponen tersebut terdiri
erdiri dari kalsium, natrium, besi, magnesium dan
mangan. Abu yang terbentuk berwarna putih abu-abu,
abu, berpartikel halus
hal dan
mudah dilarutkan. Grafik hasil uji kadar abu kitosan pada seluruh peragaman
penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.4.

4
3.5
Kadar Abu (%)

3
2.5
2
1.5 10N
1
11N
0.5
12N
0
70 75 80 85 90 95 100
Suhu (C)
Gambar 4.4 Pengaruh Suhu dan Konsentrasi NaOH terhadap Kadar Abu Kitosan.

Berdasarkan Gambar 4.4 kadar abu yang diperoleh dari penelitian berkisar
be
dari 3,48-2,15%.
,15%. Kadar
adar abu yang paling rendah terdapat pada suhu proses 95C

187
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

dengan konsentrasi NaOH 12N yaitu sebesar 2,15%. Sedangkan kadar abu yang
paling tinggi terdapat pada suhu proses 75C dengan konsentrasi NaOH 10N
10 yaitu
sebesar 3,48%. Kadar abu yang diperoleh
peroleh dari hasil peragaman analisis penelitian
ini melebihi Standar Nasional Indonesia (SNI), 200
20088 dan Muzarelli(1985),
Muzarelli( yang
mana maksimum kadar abu yang dibolehkan adalah 1-2%.
2%. Perbedaan hasil yang
diperoleh disebabkan oleh proses demineralisasi tidak berjalan dengan baik.

4.5 Pengaruh Suhu dan Konsentrasi NaOH terhadap Kelarutan Kitosan


Kitosan merupakan senyawa yang larut dalam CH3COOH, HNO3, dan
H3PO4 dan tidak larut dalamair (H2O) dan pelarut-pelarut
pelarut organik, alkali dan
asam-asam
asam mineral pada pH di atas 6,5. Kelarutan kitosan dapat terjadi
terja dengan
perlakuan berbeda pada setiap zat, menurut Muzarelli dalam Kyoon No et al
(2000). untuk asam formiat dan asam asetat dalam 1% akan menyisakan
endapan,sedangkan untuk melarutkan asam sitrat membutuhkan konsentrasi 20%
diperlukan tambahan perlakuan seperti distirer
irer dan dipanaskan dan dapat
melarutkan kitosan pada sebagia
sebagian terbent
n kecil setelah beberapa waktu akan terbentuk
endapan
an putih yang menyerupai jelly (Kyoon No et al,, 2000 ). Grafik hasil uji
kelarutan kitosan dalam asam asetat ((CH3COOH) pada seluruh peragaman
penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.5

7
6
Kelarutan (%)

5
4
3
2 10N
11N
1
12N
0
70 75 80 85 90 95 100
Suhu (C)

Gambar 4.5 Pengaruh Suhu dan Konsentrasi NaOH terhadap Kelarutan Kitosan.

Berdasarkan Gambar 4.5 dapat dilihat dari hasil penelitian menunjukkan


kelarutan kitosan dari tulang sotong relatif lebih tinggi yaitu berkisar dari 5,3-

188
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

1,9% dibandingkan dengan standar kelarutan dalam larutan asam (Muzarelli,


1985)
5) yaitu sebesar <1%. Kelarutan dengan nilai terkecil terdap
terdapa
terdapat pada suhu
proses 95C
C dengan konsentrasi NaOH 12N yaitu sebesar 1,9%.
1,9% Sedangkan
kelarutan dengan nilai tinggi terdapat pada suhu proses 75C dengan konsentrasi
NaOH 10N yaitu sebesar 5,3%. Kelarutan juga berhubungan
hubungan erat dengan derajat
deasetilasi yang diperoleh. Proses deasetilasi akan memotong
motong gugus asetil pada
pa
kitin dan menyisakan gugus amina. Adanya ion H+ dan gugus karboksil pada
amina memudahkan interaksi dengan asam encer seperti asam asetat
ase melalui
ikatan hidrogen. Namun kitosan tidak dapat larut dalam air, kecuali dengan
substitusi. Sehingga dapat dipastikan dengan nilai hampir mendekati standar
kelarutan kitosan maka derajat deasetilasi yang diperoleh aka
akan tinggi dan hal ini
berbanding lurus dengan sample yang memiliki struktur kitosan.

4.6 Pengaruh Suhu dan Konsentrasi terhadap Rendemen Kitosan


Rendeman merupakan persentase berat kitosan yang didapat dari tahapan
tahap
proses deproteinasi, demineralisasi hingga deasetilasi kitin. Dari seluruh hasil
produk kitosan pada penelitian, maka diperoleh rendemen berupa graf
grafik yang
dapat dilihat pada Gambar 4.6

9
8
Rendemen (%)

7
6
5
4
3 10N
2 11N
1 12N
0
70 75 80 85 90 95 100

Suhu (C)
Gambar 4.6 Pengaruh Suhu dan Konsentrasi terhadap Rendemen Kitosan

Pada Gambar 4.6 terlihat bahwa rendemen kitosan yang diperoleh pada
pa
penelitian ini berkisar antara 5,088,27%.
%. Pengujian terhadap suhu serta
konsentrasi
entrasi NaOH sebagai pelarut dalam proses deasetilasi berpengaruh sangat

189
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

besar terhadap rendemen kitosan yang dihasilkan. Hasil analisis keragaman


menunjukkan bahwa proses deasetilasi pada suhu 95C dengan konsentrasi NaOH
12N menghasilkan rendemen paling kecil yaitu 5,08%. Hubungan antara suhu
proses serta konsentrasi NaOH dengan jumlah kitosan yang dihasilkan
berpengaruh pada tingkat kemurnian kitosan yang dihasilkan. Jumlah rendemen
yang semakin kecil disebabkan pencucian hingga tahap netral serta protein dan
mineral yang terkandung dalam kitin diharapkan telah terdegradasi secara baik
pada proses deproteinasi dan demineralisasi serta pross deasetilasi. Dapat dilihat
pada Suhu 75C dengan konsentrasi NaOH 10N jumlah rendemen dari kitosan
yang dihasilkan sebesar 8,27% dan ini merupakan hasil rendemen terbesar. Dalam
peragaman analisis, hal ini disebabkan masih banyak terkandung mineral-mineral
dalam kitin seperti CaCO3 yang diketahui massa jenis lebih besar dibandingkan
kitosan dan produk masih berupa kitin yang belum tersintetis secara sempurna.

5. Simpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa hasil
kitosan terbaik yang diperoleh ditemukan pada pada suhu proses 95C dengan
konsentrasi NaOH 12N. dengan kadar air sebesar 2%,kadar abu 2,15% dan derajat
deasetilasi sebesar 79,98%.

6. Daftar Pustaka

Balley, J.E., and Ollis, D.F., 1977. Biochemical Engineering Fundamental,


Mc. Graw Hill Kogakusha, ltd., Tokyo.

Hargono, 2008. Potensi Limbah Udang Sebagai Penyerap Logam Berat


(Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. Availabelfrom.tumoto.net/
70207134/hargono.pdf.

Kim, S.Y., S.M. Cho, Y.M. Lee, and S.J. Kim. 2000. Thermo and pH
responsive behaviours of graft copolimer and blend based on chitosan and
Nisopropylacrylamide. Journal of Applied Polymers Science 78: 1381-1391.

Kyoon No, Meyers SP, 1997. Preparation of Chiti an Chitosan. dalam:


Muzzarelli RAA, Peter MG (eds.). Chitin Handbook. European Chitin Society.
Italy.
Muzzarelli, R.A.A., 1977. Chitin. Perngam o n Press, Oxford, New York.

190
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Muzzarelli, R.A.A., 1985. Chitin in the Polysaccharides, vol. 3, pp. 147,


Aspinall (ed) Academic press Inc., Orlando, San Diego.No.3, Madrid,
Spain.

Puspawati, N.M., dan I.N. Simpen, 2010. Optimasi Deasetilasi Khitin


Dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi
Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH, Jurusan Kimia, FMIPA, Univ.
Udayana, Jurnal Kimia 2010 PP. 79090, ISSN 1907-9850.

Savant, D. Vivek, and J.A. Torres. 2000. Chitosan based coagulating


agents for treatment of cheddar chees whey. Biotechnology Progress 16: 1091-
1097.
Simunek, J; G. Tishchenko; B. Hodrova. 2006. Effect of Chitosan of
Human Colonic Bacteria. Jounal Folia Microbiology. Vol. 51 (4), 306-308
(2006). http://www.biomed.cas.cz/mbu/folia/. Diakses 10 april 2015.

Standar Nasional Indonesia (SNI):0936 Cara uji viskositas, 2008

Wang Y, et al, 1991. Sar1, a gene from Schizosaccharomyces pombe


encoding a protein that regulars ras1. Cell regul 2(6):453-65.

Willey, JL., Caner C, Vergano PJ., 2000. Chitosan Film Mechanical and
Permeation Properties as Affected by Acid, plastizer, and Storage. Journal Food
Science 63 (6):1049-1053

191

   
 

ANALISA PENGUJIAN MEKANIS KOMPOSIT SERAT


RAMI

Edy Yusuf1 Zulmiardi2


1.2
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh
Jl. Batam Bukit Indah Kec. Muara Satu Lhokseumawe 24353, Indonesia

ABSTRAK

Tujuan utama penelitian ini adalah mengkaji pemanfaatan serat rami untuk
pembuatan komposit. Penelitian komposit serat rami kontinyu bermatrik polyester
dikonsentrasikan pada sifat-sifat fisis dan mekanisnya. Orientasi arah serat,
fraksi volume, ukuran, dan bentuk serta material serat adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi properti mekanik dari laminat. Dengan memvariasikan orientasi
arah serat dan fraksi volume dari rami, diharapkan agar mendapat hasil properti
mekanik komposit yang maksimal, untuk dapat mendukung pemanfaatan komposit
alternatif. Tujuan penelitian ini adalah menyelidiki pengaruh fraksi volume dan
orientasi serat terhadap kekuatan tarik dan impak komposit berpenguat serat
rami kontinyu bermatrik polyester. Serat rami direndam di dalam larutan alkali
(5% NaOH) selama 2 jam. Selanjutnya, serat rami tersebut dicuci menggunakan
air bersih dan dikeringkan secara alami. Matrik yang digunakan adalah
Unsaturated Polyester Resin 157 BQTN dengan hardener MEKPO 1% (v/v).
Komposit dibuat dengan metode hand lay-up pada ! 37,9%, Semua spesimen
dilakukan post cure pada suhu 62C selama 4 jam. Pengujian tarik dilakukan
dengan mesin uji tarik, Spesimen uji tarik mengacu pada standar ASTM D 638-
99. Hasil pengujian didapatkan kekuatan tarik komposit pada ! 37,9% dengan
nilai 95,74 MPa dan regangan tarik sebesar 3,81%, merupakan hasil penguatan
yang tinggi. Pengaruh orientasi serat terhadap kekuatan tarik dan impak adalah
pada penguatan maksimum pada orientasi serat 0/0/0/0. Penampang patahan
yang terjadi adalah fiber pull out di orientasi serat 0/90/0/90, 90/0/0/90. Pada
orientasi serat 0/0/0/0 penampang patah yang terjadi adalah fiber splitting in
multiple area.

Kata kunci: Rami, unsaturated polyester, fraksi volume, orientasi arah serat, kekuatan
tarik

1. PENDAHULUAN
Serat sebagai elemen penguat sangat menentukan sifat mekanik dari komposit
karena meneruskan beban yang didistribusikan oleh matrik. Orientasi arah serat,

 

   
 

fraksi volume, ukuran, dan bentuk serta material serat adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi properti mekanik dari laminat. Serat rami kontinyu yang
dikombinasikan dengan resin polyester sebagai matrik akan dapat menghasilkan
komposit alternatif untuk aplikasi teknik. Dengan memvariasikan orientasi arah
serat dan fraksi volume dari rami kontinyu diharapkan akan didapatkan hasil
properti mekanik komposit yang maksimal untuk dapat mendukung pemanfaatan
komposit alternatif [6].
Keunggulan komposit serat rami dibandingkan dengan fiber glass adalah
komposit serat rami lebih ramah lingkungan karena mampu terbiodegrasi secara
alami dan harganya pun lebih murah dibandingkan fiber glass. Sedangkan fiber
glass sukar terbiodegrasi secara alami. Selain itu fiber glass juga menghasilkan
gas CO dan debu yang berbahaya bagi kesehatan jika fiber glass didaur ulang,
sehingga perlu adanya bahan alternatif pengganti fiber glass tersebut [5].
Rami merupakan tanaman yang memiliki kandungan serat yang tinggi,
namun saat ini pemanfaatan serat rami di Indonesia hanya sebatas sebagai bahan
dasar pembuatan pakaian dan kertas.Tentunya akan mempunyai nilai lebih jika
serat tersebut dapat digunakan untuk menggantikan serat non alam (fibre glass)
yang selama ini masih diimpor dari luar negeri sebagai penguat material
komposit. Mengapa serat alam Rami, karena Rami mempunyai karakteristik kuat,
ringan, tahan panas, tahan air dan bisa menahan tumbukan. Disamping itu Pohon
Rami mudah ditanam oleh petani, karena cocok didaerah tropis. Perkembangan
teknologi komposit saat ini sudah mulai mengalami pergeseran dari bahan
komposit berpenguat serat sintetis menjadi bahan komposit berpenguat serat alam.
Telah dilakukan penelitian awal, menunjukkan bahwa diameter serat rami
(jenis rami Cina super) dari Garut adalah sekitar 0.20-0.42 mm [7]. Massa jenis
serat rami adalah 1.5-1.6 gr/cm3 dan kekuatan tarik serat rami berkisar 400-
1050MPa. Modulus elastisitas dan regangannya adalah sekitar 61.5GPa dan 3.6%.
Umumnya, serat rami memiliki diameter sekitar 0.040.08 mm [2]. Sedangkan
hasil penelitian [3], kekuatan tarik komposit serat rami-polyester lebih rendah
dibandingkan dengan kekuatan minimal hasil analisis teoritis (ROM). Kekuatan

 

   
 

tarik komposit hasil eksperimen tertinggi adalah 205.36MPa pada vf = 54.10%.


Modulus elastisitas komposit serat rami-polyester memiliki harga tertinggi
(47.88GPa) pada vf = 54.10%. Penampang patahan diklasifikasikan sebagai jenis
patah banyak (splitting in multiple area) yang disertai oleh adanya fiber pull out.
Kekuatan tarik, modulus elastisitas, dan regangan tarik komposit yang diperkuat
serat kenaf acak bermatrik polyester pada fraksi volume serat (vf) 32.39 adalah
59.03MPa, 8.75GPa, dan 0.728%. Sifat tarik tersebut masing-masing meningkat
107.8%, 51.91%, dan 37.36% dibandingkan dengan komposit pada vf = 13.18%
[3].
Berdasarkan uraian tersebut diatas, pengaruh fraksi volume dan orientasi serat
terhadap kekuatan tarik bahan komposit serat rami kontinyu bermatrik polyester
merupakan hal yang sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Kajian yang
dilakukan mengacu pada jenis beban yang diterima, seperti pengujian tarik.
Penelitian ini diharapkan bisa digunakan sebagai referensi dalam menentukan
orientasi serat dan fraksi volume yang dipakai untuk memperoleh kekuatan dan
keuletan yang diinginkan dari komposit laminat serat rami kontinyu, dan
diharapkan bisa memberikan kontribusi terhadap perkembangan material alternatif
yang lebih murah, berkualitas dan mudah dalam proses produksinya.
Bahan komposit merupakan suatu sistem bahan yang digabungkan dari
campuran atau kombinasi dua atau lebih bahan penyusun yang pada skala makro
berbeda dalam bentuk atau komposisi bahan yang masing-masing tidak larut satu
sama lain [8].
Pelat berlapis merupakan pelat yang terdiri dari dua atau lebih lapisan yang
digabung bersama membentuk struktur yang integral. Pelat berlapis dibuat agar
elemen struktur tersebut mampu menahan beban multiaksial, sesuatu yang tidak
dapat dicapai dengan lapisan tunggal [5]. Lapisan tunggal hanya kuat dalam arah
seratnya, tetapi sangat lemah dalam arah tegak lurus seratnya. Serat tunggal hanya
cocok untuk beban uniaksial, sedangkan untuk menahan beban multiaksial lapisan
tersebut harus digabung dengan lapisan lain yang berbeda arah dengan lapisan
yang pertama.

 

   
 

Orientasi serat menetukan kekuatan mekanis komposit. Pada orientasi serat


ada tiga macam penguatan [8] yaitu satu dimensi, dua dimensi dan tiga dimensi.
Penguatan satu dimensi memiliki kekuatan yang berbeda pada tiap arah orientasi
serat. Penguatan dua dimensi memiliki kekuatan yang berbeda pada tiap arah
orientasi serat. Pengutan tiga dimensi adalah isotropic tetapi nilai penguatannya
sangat kecil (1/3 dari nilai penguatan satu dimensi). Sifat mekanis pada serat
tergantung pada jumlah serat terorientasi pada serat tersebut. Orientasi kode serat
untuk komposit mengacu pada standar ASTM D 6507[1].
Pada bahan komposit dengan volume matrik sama kuat tariknya juga
ditentukan oleh volume serat yang terkandung, bahwa semakin banyak serat yang
terkandung dalam komposit tersebut kekuatan makanis semakin besar [8].
Mesin yang digunakan untuk pengujian ini adalah servopulser SHIMADZU
tipe EHF-EB20. Spesimen uji tarik ini dibuat berdasarkan standar ASTM D 638-
99[1].     

 
   
     


 



 
 

 

 
  

= .....................................................................(1)

  

 
  

= = ............................................................(2)

2. METODE
Serat rami kontinyu diperoleh dari Koppotren Agrobisnis Darussalam di
Kabupaten Garut Jawa Barat. Serat direndam dalam larutan alkali (5% NaOH)
dengan waktu perendaman 2 jam. Selanjutnya serat dinetralkan dari efek NaOH
dengan perendaman menggunakan air bersih. Setelah PH rendaman netral (PH =
7), serat ditiriskan hingga kering tanpa sinar matahari. Bahan matrik yang

 

   
 

digunakan adalah unsaturated polyester 157 BQTN. Hardener yang dipakai


adalah MEKPO (metil etil keton peroksida) dengan kadar 1% (v/v). Komposit
dibuat dengan metode hand lay-up untuk fraksi volume (vf) = 37,9%,Spesimen uji
tarik dibuat dari komposit laminat hasil cetakan, yang dipotong dengan
menggunakan gerinda tangan. Efek pemotongan dieliminasi dengan dihaluskan
menggunakan kertas amplas. Spesimen tersebut dibuat sesuai dengan standar
ASTM D638-99 [1]. Bagian spesimen yang akan dicekam mesin uji tarik diberi
tab dari kertas amplas. Semua sepesimen dilakukan post cure pada suhu 62C
selama 4 jam. Pengujian tarik dilakukan menggunakan mesin uji tarik
Servopulser. Hasil akhir penelitian ini akan ditampilkan dalam bentuk hubungan
antara sifat tarik (kekuatan tarik, dan regangan) versus vf dan orientasi serat.
Penampang patahan dilakukan foto makro untuk menyelidiki perilaku mekanisme
perpatahannya.

3. Hasil Dan Pembahasan


Pengujian kekuatan tarik pada komposit dilakukan untuk mengetahui sifat
tarikan dari bahan penyusun komposit dengan variasi orientasi serat dan fraksi
volume. Ini berkaitan dengan pengaruh beban tarikan uniaksial pada perubahan
panjang dari spesimen standar. Sehingga dari data yang dihasikan dapat diketahui
orientasi serat dan fraksi volume yang optimal. Dari hasil perhitungan kekuatan
dan regangan tarik, didapatkan kurva hubungan tegangan-regangan yang terjadi
selama pengujian berlangsung sehingga mencapai tegangan maksimumnya (benda
uji rusak). Dengan membaca langsung dari hasil pengujian tarik akan kita peroleh
tegangan maksimal (kekuatan) dan regangan yang terjadi pada saat mencapai
tegangan maksimum. Pengujian tarik disini dikerjakan menggunakan standar
pengujian dari ASTM handbook for plastics, dengan benda uji ditarik dengan
menggunakan mesin servopulser.
Dengan pengujian ini diharapkan dapat dipelajari beberapa hal antara lain:
Pola kurva tegangan-regangan yang dihasilkan.

 

   
 

Perbandingan kemampuan spesimen dalam mengatasi beban tarikan antara


komposit dengan variasi orientasi serat dan fraksi volume yang berbeda.

Tabel 1. Sifat Tarik Komposit Serat Rami Kontinyu-Polyester


Fraksi Teg.Tarik, Reg.
Orientasi Serat
Volume MPa %
90/90/90/90
37.9% 34,22 2,98
(A)
0/0/0/0 (B) 37.9% 95,74 3,81
0/90/0/90 (C) 37.9% 62,46 2,18
90/0/0/90
37.9% 56,92 4,87
(D)
0/90/90/0 (E) 37.9% 62,88 2,14

Berdasarkan Tabel 1 dapat diambil kesimpulan bahwa serat rami kontinyu-


polyester memberikan hasil penguatan yang maksimum adalah pada orientasi
arah serat 0/0/0/0 pada orientasi ini komposit mempunyai harga kekuatan tarik
terbesar. Hal ini menunjukkan bahwa orientasi serat 0/0/0/0, tersebut merupakan
perlakuan yang paling efektif untuk meningkatkan kekuatan komposit berpenguat
serat rami kontinyu -polyester.


   
 

Tegangan Tarik Versus Orientasi Serat




Tegangan Serat








 



90/90/90/90 0/0/0/0 (B) 0/90/0/90 (C)90/0/0/90 (D)0/90/90/0 (E)
(A)

Orientasi Serat

Gambar 1. Grafik Tegangan Tarik dengan Orientasi Serat Kontinyu Rami-


Polyester
Berdasarkan Gambar 1, Grafik garis hubungan tegangan tarik dengan
orientasi serat rami kontinyu -polyester dapat kita simpulkan bahwa kekuatan
tarik maksimum bahan komposit serat rami kontinyu-polyester bervariasi terhadap
orientasi serat, bahwa serat akan memberikan penguatan maksimum berada pada
arah orientasi serat 0/0/0/0. Pada saat itu komposit mempunyai kekuatan tarik
yang terbesar. Hampir semua beban ditanggung oleh serat penguat.

Regangan Tarik Versus Orientasi Serat



 4.64
Regangan Tarik %

 3.72



2.14
 2.31 2.35

90/90/90/90 0/0/0/0 (B) 0/90/0/90 (C) 90/0/0/90 (D) 0/90/90/0 (E)
(A)

Orientasi Serat

Gambar 2. Grafik hubungan Regangan dengan Orientasi Serat Kontinyu Rami-


Polyester



   
 

Pada Gambar
ambar 2, Grafik garis hubungan
an regangan dengan orientasi serat ra
rami
kontinyu-polyester
yester diatas dapat disimpulkan bahwa regangan maksimum bahan
komposit
it serat rami kontinyu-polyester
kontinyu bervariasi terhadap orientasi serat
seratnya,
dari perbandingan serat dengan matrik.
Dalam penelitian ini, untuk megetahui jenis-jenis
jenis jenis patahan, mengacu pada
jenis jenis patahan yang terjadi pada
standar ASTM D-3039 [1], dimana jenis-jenis
pengujian tarik serat rami kontinyu-polyester adalah seperti Gambar 3 di bawah
ini.

Gambar 3. Patahan Komposit yang diperkuat dengan Serat Rami Ko


Kontinyu-
yester.
polyester.
(fiber pull out)

ambar 3, dapat disimpulkan bahwa patahan yang terjadi adala


Pada Gambar adalah
a fiber
pull out,, dengan orientasi serat 0/90/0/90, 90/0/0/90 dan 0/90/90/0. Hal ini
diakibatkan karena daerah yang memiliki banyak serat akan terjadi
ter bonding yang
ang sempurna. Kondisi ini menyebabkan ikatan interfacial tidak sempurna
kurang
sehingga pada waktu komposit dikenai beban tarik antara serat dan
d matrik mudah
terlepas, karena itu peristiwa terlepasnya serat dari matriksnya disebut juga fiber
pull out.



   
 

Gambar 4. Patahan Komposit yang diperkuat dengan Serat Rami Kontinyu


Kontinyu-
polyester
(fiber Splitting in Multiple area).

Pada Gambar
ambar 4, menunjukkan patahan yang terjadi adalah fiber Splitting in
Multiple area,, dengan orientasi serat 0/0/0/0. Hal ini diakibatkan karena
kegagalan yang luas dipermukaan spesimen. Umumnya komposit yang memiliki
m
patahan jenis ini memiliki kekuatan tarik paling tinggi.

Gambar 5. Patahan Komposit yang diperkuat dengan Serat Rami Kontinyu


Kontinyu-
polyester
(Brittle failure).



   
 

Pada Gambar 5, dapat disimpulkan bahwa patahan yang terjadi adalah patah
tunggal, pada arah orientasi serat pada 90/90/90/90. Hal ini terjadi diakibatkan
karena ikatan interfacial serat matrik yang baik, hal ini ditunjukkan dengan
kuatnya matrik dalam menahan gaya geser dan mendukung beban yang
diterimannya, sehingga matrik mampu menahan gaya geser dan meneruskan
beban keserat yang lain. Akibatnya jumlah serat yang putus akan semakin banyak
dan komposit akan mengalami patah tunggal yang disebut brittle failure.

4. Kesimpulan
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dari hasil pengujian didapatkan bahwa besarnya tegangan tarik komposit untuk
orientasi arah serat 90/90/90/90 adalah dengan nilai 34,22MPa dan regangan
tarik sebesar 2,98%, untuk arah serat 0/0/0/0 dengan nilai 95,74MPa dan
regangan tarik sebesar 3,81%, untuk arah serat 0/90/0/90 dengan nilai
62,46MPa dan regangan tarik sebesar 2,18%, untuk arah serat 90/0/0/90
dengan nilai 56,92MPa dan regangan tarik sebesar 4,87% dan untuk arah serat
0/90/90/0 dengan nilai 62,88MPa dan regangan tarik sebesar 2,14%.
2. Komposit yang diperkuat serat rami kontinyu-polyester pada orientasi arah
serat 0/0/0/0, adalah komposit yang mempunyai harga kekuatan tarik
terbesar, yaitu ! = 95,74MPa.
3. Komposit yang diperkuat serat rami kontinyu-polyester pada orientasi arah
serat 90/0/0/90, adalah komposit yang mempunyai harga regangan
terbesar, yaitu " = 4,87%.
4. Penampang patahan komposit yang diperkuat serat rami kontinyu-polyester
pada orientasi serat 0/90/0/90, 90/0/0/90 dan 0/90/90/0 didominasi perilaku
kegagalan fiber pull out. Namun pada komposit dengan orientasi serat 0/0/0/0,
menunjukkan patahan yang terjadi adalah fiber Splitting in Multiple area.
Sedangkan pada komposit arah serat dengan fraksi volume 40%, pada arah
orientasi serat 90/90/90/90 bahwa patahan yang terjadi adalah patah tunggal
(Brittle filure).



   
 

5. Daftar Pustaka
Artikel dalam jurnal, Seminar, Proseding dan Diktat Kuliah:
[1] ASTM, 2003, Annual Book of ASTM Standard, West Conshohocken.
[2] Diharjo K. dan Nuri S.H., 2006, Studi Sifat Tarik Bahan Komposit
Berpenguat Serat Rami Dengan Matrik Unsaturated Polyester, Proseding
Seminar Nasional, Teknik Mesin FT Univ.Petra-Surabaya.
[3] Diharjo K., Jamasri, Soekrisno, Rochardjo H. S. B., 2005, Tensile Properties
of Unidirectional Continuous Kenaf Fiber Reinforced Polyester Composite,
International Seminar Proceeding, Kentingan Physics Forum, UNS,
Surakarta, Indonesia.
[4] Farid, M, 2004, Analisa Perilaku Elastik Material Komposit FRP Laminat
Berpenguat Serat Natural Orientasi Acak, SNTM, ITS, Surabaya.
[5] Hadi, B.K, 2000, Mekanika Struktur Komposit, Catatan Kuliah, Teknik
Penerbangan ITB.
[6] Hwang, C. Y., 2004, Evaluation of Bulk Interfacial Adhesion Between Wood
and five Thermoplastics. Journar For Science, Vol.19 no. 1.Taiwan.
[7] Marsyahyo M, Soekrisno, Jamasri, Rochardjo H.S.B., 2005, Penelitian Awal
Pengaruh Perlakuan Alkali Terhadap Kekuatan Tarik dan Model Perpatahan
Serat tunggal Rami, Proseding Seminar Nasional, SNTTM-IV, UNUD, Bali,
Indonesia.
Buku, Buku Terjemahan:
[8] Schwartz, Mel M., 1984, Composite Materials Handbook, McGraw-Hill
Book Company, United Stated of America.


 !

 


EFEKTIFITAS PROSES AOP BERBASIS H2O2 DALAM


MENGHILANGKAN WARNA AIR GAMBUT BERDASARKAN
PARAMETER KONSENTRASI ZAT ORGANIK
Elfiana1, Anwar Fuadi1
Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe
Jl. Banda Aceh-Medan km. 280 Buketrata Lhokseumawe
e-mail: elfiana_72@yahoo.com

Abstrak

Air gambut merupakan air permukaan yang banyak terdapat di daerah berawa
dan daratan rendah, memiliki intensitas warna yang tinggi, pH rendah (pH 3-5)
dan kandungan senyawa organik yang tinggi. Berdasarkan ciri-ciri tesebut
penggunaan air gambut tanpa pengolahan berpengaruh sangat nyata terhadap
resiko kesehatan. Oleh sebab itu perlu dilakukan suatu pengolahan yang murah,
mudah dan handal. AOP (Advanced Oxidation Processes) berbasis H2O2 disebut
juga proses oksidasi kimia lanjut dapat ditawarkan untuk mengolah air gambut
dengan menghandalkan sifat reaktif radikal hidroksil (HO*) berasal dari eksitensi
H2O2 dengan pancaran sinar UV selanjutnyaa disebut proses UV-Peroksidasi.
Penelitian dilakukan untuk melihat efektifitas unjuk kerja proses UV-Peroksidasi
dalam kemampuannya menurunkan konsentrasi zat organik air gambut salah satu
penyebab air gambut berwarna dengan memvariasikan konsentrasi H2O2 0,0
0,11% pada panjang gelombang lampu UV 360 240 nm selama 0-240 menit.
Hasil penelitian menunjukkan semakin besar konsentrasi H2O2 dan semakin lama
waktu penyinaran semakin besar effisiensi penyisihan zat organik (%Rzat organik)
yang diperoleh. Dari hasil percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa dosis optimum H2O2 diperoleh pada konsentrasi 0,07% mampu
menurunkan 98,56% konsentrasi organik pada waktu 240 menit dengan capaian
warna air menjadi jernih sampai 5 TCU.

Kata Kunci: Air gambut, AOP, H2O2, konsentrasi zat organik, UV-peroksidasi

1. Pendahuluan
Air gambut merupakan air permukaan yang terdapat di lahan gambut.
Secara visual air gambut berwarna coklat kemerahan, berasa asam dan berbau.
Kajian Pusat Sumber Daya Geologi dari Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral melaporkan bahwa sampai tahun 2006 sumber daya lahan gambut di



 !

 


Indonesia mencakup luas 26 juta hektare (ha) yang tersebar di Pulau Kalimantan
( 50%), Sumatera ( 40%) sedangkan sisanya tersebar di Papua dan pulau-pulau
lainnya. Dan untuk lahan gambut ini Indonesia menempati posisi ke-4 terluas di
dunia setelah Canada, Rusia dan Amerika Serikat. (Tjahjono, 2007). Berdasarkan
data tersebut, air gambut di negara kita berpotensial dapat dimanfaatkan sebagai
sumber daya air manusia sehari-hari jika sudah dikelola dengan baik dan benar.
Secara teoritis warna coklat kemerahan pada air gambut merupakan akibat
dari tingginya kandungan zat organik (bahan humus) terlarut terutama dalam
bentuk asam dan turunannya, sehingga memiliki kisaran pH 2-5, kandungan zat
organik dan logam yang tinggi, kekeruhan dan kandungan partikel tersuspensi
yang rendah. Asam humus tersebut berasal dari dekomposisi bahan organik
seperti daun, pohon atau kayu. Oleh sebab itu teknologi pengolahan air gambut
menjadi air bersih dapat terukur dengan perubahan kandungan organik dan
logamnya yang memenuhi baku mutu standar air bersih.
Beberapa metode pengolahan air gambut telah dilakukan dalam skala
laboratorium maupun lapangan, tetapi hasilnya belum maksimal. Metode
koagulasi konvensional skala laboratorium menggunakan koagulan kulit kerang
dan batu karang dalam mengolah air gambut daerah Geuredong Pase hanya
mampu menyisihkan konsentrasi besi 5-58% dan tidak memberikan perubahan
warna air yang signifikan baik sehingga air gambut hasil olahan masih tampak
berwarna kuning kecoklatan (Ismiyati, 2011). Fitria Dewi (2007) melaporkan
bahwa metode Two Stage Coagulation mampu menurunkan senyawa organik air
gambut daerah Bangkinang di Riau sampai 88% menggunakan koagulan Alum
pada dosis 280-300 mg/L tetapi tidak signifikan baik terhadap penurunan
konsentrasi besinya yang stabil terhadap organik.
Menurut Watt (1998) senyawa organik akan sangat mudah dioksidasi
menggunakan radikal hidroksil (HO), sehingga dapat termineralisasi menjadi
karbon dioksida (CO2) dan air (H2O). Metode Advanced Oxidation Processes
(AOP) adalah proses oksidasi kimia lanjut mampu menghasilkan radikal hidroksil
(HO!) sebagai oksidator handal untuk mengoksidasi semua bahan terdapat dalam
air. Metode AOP berbasis H2O2 dijabarkan dengan makna penerapan AOP



 !

 


menggunakan H2O2 sebagai reagen sumber terbentuknya radikal hidroksil


memiliki potensial oksidasi (E0=2,80 V) lebih besar dibanding potensial oksidasi
hidrogen peroksida (H2O2, E0=1,80 V) itu sendiri.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, UV-Peroksidasi skala laboratorium
telah berhasil menurunkan 77% konsentrasi organik (TOC) dan 96% zat besi air
gambut selama 60 menit pada panjang gelombang 360nm dan konsentrasi tetap
H2O2 0,05% (Elfiana dan Zulfikar, 2012); (Aisyah, 2012). Proses UV-Peroksidasi
terbukti dapat menurunkan konsentrasi besi dalam air tanah sampai 92,10%
(Elfiana, 2009). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diatas, diharapkan
penggunaan metode UV/H2O2 juga dapat memberikan solusi yang baik terhadap
teknologi alternatif untuk pengolahan air gambut dengan memberikan effisiensi
yang tinggi terhadap penurunan konsentrasi organik dan warna air gambut. Oleh
sebab itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui dosis H2O2 optimum yang
dapat digunakan sebagai sumber HO! setelah dipancarkan sinar UV pada panjang
gelombang 250-400 nm.

2. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan pengetahuan terhadap penyebab dan kandungan warna pada air
dan sifat-sifatnya, maka proses dan metode pengolahan yang dapat diterapkan
untuk mengolah air berwarna alami yaitu melalui proses oksidasi, proses adsorpsi,
proses koagulasi flokulasi, dan proses pemisahan dengan filtrasi membran.
`Zat organik yang terdapat di alam dapat berasal dari tumbuh-tumbuhan,
serat-serat minyak, lemak hewan, pati, gula, selulosa dan lain sebagainya. Adanya
bahan-bahan organik dalam air erat hubungannya dengan terjadinya perubahan
sifat fisik dari air, terutama dengan timbulnya warna, bau, rasa dan kekeruhan
yang tidak di inginkan. Rodriquez (2003) menyatakan bahwa AOP sangat cocok
digunakan untuk proses penghilangan kontaminan dalam air untuk mengurangi
campuran zat organik ,anorganik, COD dan BOD, yang tidak dioksidasi. Jika
prosesnya sempurna maka hasil oksidasi zat organiknya adalah karbondioksida
dan air, meskipun sangat sulit mendapatkan hasil reaksi yang sempurna. Proses
AOP menurut Metcalf & Eddy (2003) mempunyai prinsip menghasilkan radikal



 !

 


hidroksil (HO) secara maksimal, bersifat sangat reaktif, dan merupakan oksidator
kuat yang dapat merusak kontaminan organik dan anorganik yang bereaksi
dengannya.
Dalam perkembangannya, kombinasi dari beberapa proses seperti ozone,
hydrogen peroxide, ultrviolet light, titaniun oxide, photo catalyst, sonolysis,
electron beam atau dikenal dengan metode AOP (Advanced Oxidation Processes)
yang merupakan proses untuk menghasilkan hidroksil radikal (Hutagalung dkk,
2013).
Menurut M. Rodriquez (2003) suatu senyawa kimia yang sulit dipecahkan
melalui oksida kimia biasa dapat dioksidasi menggunakan radikal hidroksil
(HO*). Radikal hidroksil merupakan substansi reaktif terbentuk dari hasil reaksi
intermediate. Radikal hidroksil memiliki potensial oksidasi (Eo = 2,8 V) lebih
besar dibanding oksidator lainnya. Melalui oksidator kimia lanjut (AOP), radikal
hidroksil terbentuk akibat simulasi pancaran sinar UV dan hidrogen peroksida
(Elfiana, 2012).
Mekanisme bagaimana radikal hidroksil terbentuk menggunakan hydrogen
peroksida (H2O2) sebagai reagen pembatas, dikenal tiga proses yaitu Fe[II]/H2O2),
UV/H2O2 dan O3/H2O2, seperti diperlihatkan pada Gambar 1.




(%&
"
!"


(%& 
  




Gambar 1 Produksi radikal hidroksil pada metode AOP berbasis H2O2 melalui
reagen fenton (Fe[II]/H2O2), UV/H2O2, dan O3/H2O2 (Jones, 1999)

Radikal hidroksil bereaksi dengan semua konstituen yang terlarut,


biasanya secara seri sampai konstituen sempurna termineralisasi. Radikal
hidroksil tidak selektif dalam menyerang konstituen, tanpa ada batasan kelas



 !

 


spesifik atau kelompok senyawa, berbeda dengan oksidan lainnya, dan reaksinya
dapat dioperasikan pada temperatur dan tekanan normal (Metcalf & Eddy, 2003)

2.1 Fotokimia Sinar UV (Photochemical Process)


Sinar ultraviolet (UV) dilaporkan oleh Petersen et.al. (1988) adalah suatu
sinar yang dapat digunakan untuk mengoksidasi polutan organik, dikenal dengan
istilah fotooksidasi. Penambahan energi kedalam sistem yang mengandung
senyawa kimia merupakan prinsip proses fotooksidasi. Reaksi oksidasi senyawa
organik dengan sinar UV terjadi karena sinar UV menyebabkan terjadi fotokimia
dalam air dengan menghasilkan radikal hidroksil menurut reaksi sebagai berikut
(Cervera and Esplugas, 1983 dalam Jones, 1999):
H2O hv
H + HO (1)

2.2 Sumber Cahaya

Cahaya merupakan salah satu bentuk gelombang elektromagnetik. Jenis


cahaya yang memancarkan sinar dapat dikelompokkan berdasarkan panjang
gelombangnya, contohnya adalah:
- Ultraviolet vacuum l = 100 nm 200 nm
- Ultraviolet l = 200 nm 400 nm
- Tampak l = 400 nm 800 nm
- Infra merah l = 800 nm 106 nm
Berdasarkan asal sumber cahaya UV, maka UV dapat dikelompokkan atas:
1. UV alamiah, yakni UV yang berasal dari matahari, terdiri dari panjang UV-
A (400-320 nm) dan UV yang lebih energetik yaitu gelombang pendek UV-
B (320-290nm). Radiasi gelombang pendek lebih kuat diserap oleh banyak
jenis pencemar dan biomolekul. Walaupun demikian mekanisme dasar proses
fotokimianya adalah sama dan perbedaan hanya terjadi pada gugus kromofor
dari molekul penerima.



 !

 


2. UV buatan, yakni panjang gelombang lebih kecil dari 290 nm dan dikenal
dengan UV-C. Contoh adalah UV yang dihasikan dari lampu batang
merkuri. Intensitas yang dihasilkan biasanya lebih tinggi dan tentu juga lebih
energetik disbanding UV dari matahari (Metcalf&Eddy, 2003)
Berdasarkan fungsi sinar UV untuk fotolisis, maka efektifitas sinar UV
dibedakan berdasarkan jenis lampu penghasil sumber cahayanya, yaitu lampu
polychromatic dan monochromatic. Karakteristik utama dari lampu ini
berdasarkan pada emisi panjang gelombang yang ada di daerah sinar UV.
Semakin pendek panjang gelombang energi radiasi semakin besar. Lampu
polychromatic memancarkan sinarnya pada daerah panjang gelombang 180-400
nm, sedangkan lampu monochromatic berada pada daerah panjang gelombang
254 nm. Menurut Froelich (1992) dalam Rodriguez (2003) menyebutkan bahwa
hasil fotolisis yang baik berada pada daerah panjang gelombang lampu
polychromatic, tetapi hasil fotolisis untuk menghilangkan senyawa organik akan
lebih efektif pada lampu monochromatic.

2.3 UV-Peroksidasi (H2O2/UV)


UV-peroksidasi adalah proses oksidasi kimia yang menggunakan hidrogen
peroksida sebagai reagen untuk tereksitasi menjadi radikal hidroksil (HO!)
dengan adanya radiasi sinar UV. Jones (1999) melaporkan bahwa UV-
peroksidasi telah diaplikasikan untuk remidiasi air sumur dari beberapa
kontaminan di daerah Amerika Utara dan Eropa. Salah satu industri makanan di
USA menggunakan UV-peroksidasi untuk air sumur yang terkontaminasi
trichloroethylene (TCE) agar air sumur tersebut dapat digunakan kembali. Hasil
yang ditunjukkan, nilai TCE menurun dari 4000 "g/l menjadi 0,83 "g/l pada debit
14 m3/jam, dengan H2O2 50 mg/l dan lampu UV 30 kW.
UV-peroksidasi terbukti menghasilkan radikal hidroksil (HO) dan mampu
mengoksidasi kontaminan air menurut mekanisme reaksi sebagai berikut:
Tahap inisiasi: H2O2 hv
2 HO + HO ......... 1)



 !

 


Tahap propagansi : H2O2/H2O + HO hv


H2O/OH- + HO2

H2O2/H2O/O2
hv
HO + H2O/OH- + O ......... 2)

Tahap terminasi : HO + HO hv
H2O2 ........ 3)

HO + H2O/O2 hv
H2O/ HO + O2 ........ 4)

H2O + H2O/O2 hv
H2O2 /HO2- + O2 ........ 5)

Dikarenakan radikal hidroksil bereaksi dengan hidrogen peroksida, maka


keberadaan hidrogen peroksida mempengaruhi radikal hidroksil dalam proses
penguraian. Oleh sebab itu penambahan hidrogen peroksida sebaiknya pada
konsentrasi optimal untuk mendapatkan penguraian yang optimum.

3. Metode Penelitian
3.1 Karakteristik Air Gambut
Sampel air gambut berasal dari Desa Ek Tren Kecamatan Samudera Aceh
Utara untuk diuji sifat fisikokimianya berdasarkan parameter pH, TDS,
kekeruhan, ion besi dan zat organik (KMnO4). Hasil karakteristik air gambut
yang digunakan disimpulkan dalam Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Karakteristik air gambut Desa Ek Tren Kecamatan Samudera Aceh Utara
mengacu pada PERMENKES RI No.416/MENKES/PER/IX/1990

Parameter Satuan Kadar Syarat batas


pH - 5,7 6,8-8,5
TDS mg/L 250 1.500
Kekeruhan NTU 4,55 25
Ion besi mg/L 16,18 1
Zat organik (KMnO4) mg/L 395 10
Sumber: Hasil analisa di Laboratorium, 2016



 !

 


3.2 Reagen
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah Air gambut Simpang Ek
Tren Kecamatan Samudera Aceh Utara; hydrogen peroxide teknis (H2O2 35%;
density 1,11 kg/l; BM 34 g/gmol; BE 17); aquades; H2SO4; NH2OH.HCl; HCl;
NH4.C2H3O2; H2C2O4.2H2O dan KMnO4.

3.3 Prototipe reaktor AOP


Prototipe instalasi reaktor UV-Peroksidasi mengacu pada prinsip
pengolahan air dengan AOP secara umum, yaitu seperti ditunjukkan pada aliran
proses Gambar 2, sehingga prototipe peralatan reaktor UV-Peroksidasi yang
dihasilkan dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.

'55'3(1 # *,31'3*/. ,('15'3(1


Gambar 2 Prinsip pengolahan air dengan AOP

Reaktor UV-Peroksidasi sistim batch skala laboratorium ditunjukkan


seperti Gambar 3. Reaktor UV-Peroksidasi terbuat dari bahan pyrex-glass
kapasitas 2 L dilengkapi dengan stirrer, pengukuran pH, suhu dan disertai dengan
penyaringan.

 !

 


/:/8,50,5

,47;()
,:,507/50,.;2
%/,2:68
 &;4-/8,8;9319:812
 6:687/50,.;2
 ,:81.0/7/=,8150 
?
 ,2786.;2

(a)

Gambar 3 Reaktor UV-Peroksidasi sistim batch skala laboratorium dengan jenis


lampu UV 10 W merk Elite SK F 10 W T8 BLB (!=360 nm)
(a). Gambar aliran proses UV-Peroksidasi secara umum
(b). Tampak dalam reaktor UV-Peroksidasi sistim batch dengan 4 lampu
UV
(c). Tampak luar reaktor UV-Peroksidasi yang tertutup untuk
menghindari radiasi

Pada Gambar 4 rangkaian peralatan proses UV-Peroksidasi terdiri dari


tangki umpan 25L, pompa resirkulasi, reaktor Peroksidasi (Aspirator kapasitas 5L,


 !

 


dengan volume kerja 3,8L) , tangki reagen H2O2 pada bagian atas, Quartz Sleeve
UV Lamp 10 Watt merk SNXIN, sistim perpipaan (pipa distribusi, pipa sirkulasi
dan pipa bypas masing-masing berdiameter 3/8) menghubungkan reaktor UV-
Peroksidasi dengan cartridge 03! dan 01! sebagai proses finishing tahap filtrasi
untuk mendapatkan produk air gambut yang bersih tidak berwarna memiliki
konsentrasi organaik dan ion besi rendah setelah proses pengolahan.

Gambar 4 Reaktor UV-Peroksidasi sistim batch skala laboratorium dengan jenis


lampu UV 10 W merk SNXIN ("=240 nm)

3.4 Analisa
Pengukuran pH air gambut menggunakan alat pH meter merk HANA HI
8424. Analisa zat organik menggnakan metode Permangonometri dengan cara
titrasi. Sedangkan analisa warna air gambut olahan dilakukan dengan metode
PtCo Spektrofotometri.
Kinerja setiap proses dapat dilihat dari persentase removal (%R) konsentrasi
parameter yang diperoleh menggunakan persamaan sebagi berikut:
Konsentras i ( mula - mula ) - Konsentras i ( pada waktu t )
%R = x 100 %
Konsentras i ( mula - mula )


 !

 


4. Hasil dan Pembahasan


Jika Merujuk kepada PERMENKES RI No. 416/MENKES/PER/IX/1990
maka karakteristik air gambut yang diperoleh tidak memenuhi persyaratan sebagai
air konsumtif karena melebihi kadar yang diizinkan, konsentrasi ion besi 16,18
mg/L (>1 mg/L) dan konsentrasi zat organik 395 mg/L KMnO4 (>10 mg/L
KMnO4). Dapat disimpulkan bahwa nilai dari ketiga parameter tersebut berada
diatas syarat batas yang ditetapkan sehingga air gambut tersebut perlu dilakukan
proses pengolahan untuk memperbaiki kualitas air gambut tersebut sebelum
digunakan.

4.1 Pengaruh Konsentrasi H2O2 dalam Proses UV-Peroksidasi terhadap


persentase penurunan konsentrasi zat organik
Dalam proses UV-Peroksidasi, H2O2 digunakan sebagai reagen dasar
pembentukan radikal hidroksil yang terbentuk selama reaksi UV-Peroksidasi
berlangsung dengan adanya energi sinar UV. Oleh sebab itu bagaimana pengaruh
konsentrasi H2O2 dalam proses pengolahan air gambut perlu diamati, karena
reaktifitas oksidator akan berbeda di setiap jenis air berwarna yang akan diolah.
Pada penelitian ini, pengaruh H2O2 diamati dengan melihat perubahan nilai
konsentrasi zat organik yang terkandung dalam air gambut dengan proses air
gambut tanpa dan dengan penambahan H2O2 berkonsentrasi 0,05% disertai
penyinaran pada panjang gelombang 360 nm dan 240 nm. Hasil yang diperoleh
dari perlakuan ini diperlihatkan secara grafik pada Gambar 5.


 !

 


,47;()31:/&
*' 
54

 $'3/1)'.*+












#'+340(.6*.'1'.3-(.*3

&15,8() " 
 &15,8() " 



$;,8:>&3//</(),47&!+!
* 
54

 $'3/1)'.*+












#'+340(.6*.'1'.3-(.*3

&15,8() " 
 &15,8() " 



Gambar 5 Profil %Rzat organik setiap waktu dari proses tanpa dan dengan adanya
H2O2 disertai penyinaran dengan UV 360 dan 240 nm.

Dari grafik pada Gambar 5 tersebut dapat dilihat bahwa %Rzat organik yang
diperoleh pada proses dengan penambahan H2O2 0,05% sudah memberi
perbedaan nilai capaian persentase penyisihan zat organik yang diperoleh.
Perlakuan menggunakan H2O2 0,05% memberikan hasil persentase penyisihan zat
organik lebih baik dibandingkan tanpa menggunakan H2O2. Hal ini menunjukkan
bahwa dalam mekanisme reaksi yang terjadi radikal hidroksil (HO) sudah
terbentuk.


 !

 


4.2 Pengaruh Panjang Gelombang Sinar UV Terhadap Persentase


Penurunan Konsentrasi Zat Organik
Pada penelitian ini, pengaruh panjang gelombang sinar UV diamati dengan
melihat perubahan nilai konsentrasi zat organik yang terkandung dalam air
gambut dengan membandingkan dua proses UV-Peroksidasi menggunakan sinar
UV 360 nm dan 240 nm. proses air gambut tanpa dan dengan penambahan H2O2
berkonsentrasi pada berbagai konsentrasi H2O2 (0,0; 0,03; 0,05; 0,07; 0,09; dan
0,11%). Hasil yang diperoleh dari perlakuan ini diperlihatkan secara grafik pada
Gambar 6.

7'3/1)'.*+

 $'3/1)'.*+




















































/.2(.31'2*

 /.2(.31'2*


() 
54 () 
54 () 
54 () 
54

Gambar 6 Profil %Rzat organik setiap waktu dari perbagai konsentrasi H2O2 dengan
penyinaran sinar UV 360 dan 240 nm.

Dari grafik pada Gambar 6 tersebut dapat dilihat bahwa %Rzat organik yang
diperoleh pada proses UV-Peroksidasi dengan adanya penyinaran sinar UV pada
panjang gelombang 360 nm dan 240 nm pada variasi konsentrasi H2O2 memberi
perbedaan nilai capaian persentase penyisihan zat organik yang diperoleh.
Perlakuan menggunakan sinar UV 240 nm memberi hasil persentase penyisihan
zat organik lebih baik dibandingkan sinar UV 360 nm. Hal ini disebabkan energi
foton sinar UV 240 nm yang dihasilkan lebih besar dibanding sinar UV 360 nm
sehingga reaktifitas proses menjadi lebih besar. Semakin pendek panjang


 !

 


gelombang sinar UV yang dipancarkan dalam air maka semakin besar energi
foton yang dihasilkan karena energi foton (E) berbanding terbalik dengan panjang
gelombang (!) pada kecepatan cahaya (c).

4.3 Performansi Proses UV-Peroksidasi berdasarkan Persentase Penyisihan


Zat Organik (%Rzat organik)
Dari perlakuan sebelumnya telah diketahui bahwa konsentrasi H2O2 dan
sinar UV berpengaruh terhadap %Rzat organik yang dihasilkan maka performansi
proses UV peroksidasi dapat diketahui berdasarkan nilai %Rzat organik terbesar yang
dihasilkan dengan melakukan variasi dosis H2O2 pada berbagai konsentrasi dan
variasi panjang gelombang sinar UV. Hasil yang ditunjukkan dari perlakuan ini
ditampilkan secara grafik dalam Gambar 7.


 !

 


1)'.*+












#'+34(.6*.'1'.-(.*3
 " 
  " 

  " 


 " 

  " 

  " 
 

1)'.*+












#'+34(.6*.'1'.-(.*3

 " 
  " 

  " 


 " 

  " 

  " 
 

, &15,8() 
54 -&15,8() 
54
Gambar 7 Performansi proses UV-Peroksidasi berdasarkan persentase penyisihan zat
organik (%Rzat organik)

Dari grafik pada Gambar 7, dapat diketahui kondisi optimum untuk proses
UV-Peroksidasi yang memberikan performance terbaik berdasarkan effisiensi
penyisihan konsentrasi zat organik. Dari grafik dapat diketahui bahwa persentase
penurunan konsentrasi zat organik terbaik diperoleh pada konsentrasi H2O2 0,07%,
jenis lampu UV dengan organik mula-mula 395 mg/L KmnO4 dapat diturunkan
hingga 98% menjadi 5,6 mg/L pada waktu penyinaran 60-120 menit. Beberapa
contoh sample air sekitar waduk diperlihatkan pada Gambar 8.


 !

 


Gambar 8. Sampel air gambut dan air gambut hasil olahan

5. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil bagian penelitian yang telah
dilakukan adalah sebagai berikut:

a) Hasil karakteristik air gambut Desa Ek Tren Kecamatan Samudera


Kabupaten Aceh Utara mengandung zat organik 395 mg/L, Fetotal 16,18
mg/L, Fe2+ 9,85 mg/L.
b) Dosis H2O2 optimum diperoleh berdasarkan persentase penurunan
konsentrasi zat organik (%Rzat organik) terbesar dari variasi konsentrasi
H2O2 (0,0% 0,11%), yaitu 0,07% dengan %Rzat organik = 98%

6. Daftar Pustaka
Elfiana, 2009, Kinetika Minimalisasi Kandungan Besi dalam Air secara Oksidasi
Kimia (Aerasi, Fotokimia Sinar UV, dan UV-Peroksidasi), Laporan
Penelitian, Politeknik Negeri Lhokseumawe


 !

 


Elfiana dan Zulfikar. 2012. Penurunan Konsentrasi Organik Air Gambut Secara
AOP (Advanced Oxidation Processes) dengan Fotokimia Sinar UV Dan
UV-Peroksidasi. Posiding SNYuBe. Politeknik Negeri Lhokseumawe.
Feng, HE., Le-Cheng LEI (2003), Degradation Kinetics and Mechanism of
Phenol in Photo-Fenton Process, Journal of Zhejiang University
SCIENCE, JZUS, 5, 198-205

Hutagulung, S.S., Sugiarto, A.T., dan Luvita, V., 2010, Metode Advanced
Oxidation Processes (AOP) untuk Mengolah Limbah Resin Cair,
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII, Pusat
Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN, Pusat Penelitian Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK, 57-64
Hutagalung, S.S. 2010. Aplikasi Metode Advanced Oxidation Process (AOP)
Untuk Mengolah Limbah Resin Cair. Banten : RISTEK.
Hutagalung , S.S. 2013. Pengolahan Air gambut Menjadi Air Bersih dengan
Metode AOP Kabupaten Kampar Propvinsi Riau. Prosiding Seminar
Nasional Kimia UGM.
Jones, C.W. (1999), Aplication of Hydrogen Peroxide and Derivatives, Published
by The Royal Society of Chemistry, Thomas Graham House, Science
Park, Milton Road Combridge CB4 0WF, UK, 207-216

Metcalf and Eddy. (2003), Wastewater Engineering Treatment and Reuse,


McGraw Hill, 95-99, 257-269, 517-523, 1196-1202

Peraturan Menteri Kesehatan Repubik Indonesia, 1990, Jakarta, Nomor 416 /


MENKES / PER / IX / 1990, Tentang Persyaratan Kualitas Air Bersih
Rodriquez, M. (2003). Fenton and UV-Vis Based Advanced Oxidation Processes
in Wastewater Treatment: Degradation, Mineralization, and
Biodegradability Enhancement, Thesis Program Magister, Universitas
Bercelona, Departemen Teknik Kimia dan Metalurgi, Bercelona, 22-91.
Suherman, D dan Sumawijaya, N. 2013. Menghilangkan Warna dan Zat Organik
air Gambut dengan Metode Koagulasi-Flokulasi Suasana Basa. Riset
Geologi dan Pertambangan Vol.23. No, 2 : 125-137.
Watts, J.R. (1998), Hazardous Waste: Sources, Pathways, Recycles, John Willey
& Sons Inc, New York, 352-362, 568-570, 615-620


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

PENGUATAN SIFAT MEKANIS DAN BIODEGRADABILITY


PATI SAGU TERMOPLASTIK TERMODIFIKASI (MODIFIED
THERMOPLASTIC STARCH) DENGAN PENAMBAHAN
KITOSAN DAN PEMLASTIS GLISEROL
Rozanna Dewi1, Nasrun1, Eddy Kurniawan1, Maulita Rizki1 and Fatimah1
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Kimia, Universitas Malikussaleh
Laboratorium Teknik Kimia, Jl. Batam No. 2, Bukit Indah, Lhokseumawe 24353
e-email: Rozanna.dewi@gmail.com

Abstrak
Sagu tersedia dalam jumlah yang cukup banyak di Indonesia dan perlu
dimanfaatkan lebih optimal untuk meningkatkan nilai tambahnya (added value).
Sintesa pati sagu Termoplastik (Modified Themoplastic Starch/TPS) pada
keadaan in-situ dengan mereaksikan pati sagu terplastisisasi dengan
Difenilmetana Diisosianat (MDI) dan minyak jarak secara bersamaan untuk
menghasilkan terbentuknya fase poliuretan prepolimer (PUP) yang lebih
homogen telah dilakukan pada penelitian sebelumnya. Gliserol sebagai
plasticizer juga ditambahkan untuk memberikan efek plastisasi dan fleksibilitas
plastik. Mekanisme in-situ yang berhasil dilakukan adalah metode baru dalam
mensintesa TPS termodifikasi dengan sifat mekanis yang lebih baik dibandingkan
dengan metode sebelumnya. Namun demikian, sifat mekanis TPS termodifikasi
tersebut masih belum dapat dibandingkan dengan plastik komersial sehingga
aplikasinya masih terbatas. Untuk itu, dilakukan penguatan TPS termodifikasi
dengan penambahan kitosan sebagai campuran (blend). Selain itu dilakukan uji
derajat biodegradabilitasnya untuk melihat keteruraian TPS-kitosan secara
alami. Hasil penelitian menunjukkan kondisi optimal penambahan kitosan
kedalam TPS adalah 1 gram. Kitosan telah meningkatkan karakteristik mekanis
(kuat tarik dan elongasi) dari film TPS dimana kuat tarik maksimum yang
diperoleh adalah 194,17 Mpa dan 25,36 %. Dari sisi biodegradabilitas, TPS-
kitosan dapat diuraikan oleh alam dalam waktu 19 hari, lebih cepat jika
dibandingkan dengan TPS yaitu 2-4 bulan.

Kata kunci : Film pati sagu termoplastik termodifikasi (TPS), Kitosan, Sorbitol,
Kuat Tarik, Elongasi, Biodegradibility.

1. Pendahuluan
Dengan bahan dasar yang digunakan saat ini yaitu polipropilen dan
polietilen, jenis plastik ini sangat membebani terutama karena limbahnya yang
sangat tinggi sehingga berpengaruh terhadap biaya produksi termasuk proses daur

220
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

ulang limbahnya. Masalah plastik daur ulang masih menyisakan banyak kontroversi
dan diskusi para ilmuwan dan publik pemakainya terkait dengan tingkat keamanan
dan kesehatan bagi pemakainya, terutama sejak diterbitkannya Peraturan Kepala
Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI No. HK 00.05.55.6497 tentang Bahan
Kemasan Pangan tanggal 20 Agustus 2007, yang mulai diberlakukan pada bulan
Agustus 2008 yang melarang penggunaan plastik daur ulang untuk kemasan
makanan. (Wiwik dkk, 2012)
Pati adalah polisakarida utama yang terdapat dibumi. Umumnya plastik
yang disintesa dari pati (starch) yang mengandung kandungan air dalam jumlah
yang sedikit adalah sering rapuh. Untuk mengurangi kerapuhan ini, pati
diplastikkan dengan plastik hidrofilik seperti gliserol dan dilelehkan untuk
membuat pati termoplastik (Thermoplastic Starch/TPS). Bagaimanapun juga,
setelah beberapa bulan berada pada kondisi ambient, plastik glicerol TPS
menunjukkan perilaku rapuh yang disebabkan migrasi gliserol dari matrik pati.
Salah satu cara efektif untuk mencegah terjadinya migrasi plastisizer adalah
dengan mencabangkan atau menghubungkan modifier yang mempunyai efek
fleksibel kepada pati dengan ikatan kovalen yang akan menghasilkan pati
termodifikasi yang mempunyai sifat elastis (Wu et al, 2008). Diantara modifier
yang saat ini tersedia, gugus isosianat mempunyai aktifitas yang tinggi untuk
bereaksi dengan gugus hidroksil pati. Sehingga, prepolimer poliueratan (PUP)
yang mengandung gugus isosianat sering digunakan untuk memperkuat pati.
Segmen fleksibel lembut pada poliuretan (PU) dihubungkan pada pati melalui
rantai uretan yang berfungsi sebagai pemberi dampak modifier.
Variasi dan produksi plastik yang terus menerus meningkat telah
menyebabkan kesulitan dalam menangani sampah plastik yang dibuang ke alam
dan tidak dapat terurai secara alami oleh alam dalam waktu yang lama. Oleh
karena itu, diperlukan bahan pembuat plastik yang dapat diuraikan secara alami.
Salah satu bahan yang telah menjadi tumpuan perhatian adalah pati yang berasal
dari beberapa tanaman seperti beras, ubi, jagung dan sagu. Sagu merupakan salah
satu pilihan yang sangat ekonomis karena harganya yang murah dan dapat tumbuh

221
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

dengan mudah. Selain itu di Indonesia saat ini, penggunaan sagu sebagai bahan
makanan pokok sudah mulai tergeser.
Kekurangan yang ditimbulkan oleh plastik dari bahan tumbuhan adalah
sifat mekanis yang belum dapat dibandingkan dengan plastik komersial, daya
elongasi yang rendah sehingga plastik menjadi kaku, mudah patah dan rapuh,
serta menyerap air dan kelembaban dari lingkungan sehingga membatasi
aplikasinya terutama sebagai bahan pengemas.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut diatas, maka plastik dari
bahan tumbuhan harus dimodifikasi dengan bahan lainya. Penelitian sebelumnya
telah menghasilkan metode sintesa modifikasi pati sagu dengan minyak jarak dan
MDI secara in-situ. Namun, belum diperoleh hasil yang optimal dari sisi
karakteristik mekanis dan daya serap air TPS termodifikasi yang dihasilkan.
(Rozanna et al, 2014)
Temuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah optimalisasi
karakteristik mekanis TPS termodifikasi dengan menambahkan kitosan dan plastic
yang dapat diuraikan secara alami oleh alam. Kitosan telah dikenal sebagai bahan
campuran yang dapat meningkatkan kekuatan mekanis serta dapat mengurangi
sifat penyerapan air plastik biodegradable. Target tersebut diharapkan dapat
mengurangi kesenjangan antara kekuatan mekanis antara plastik biodegradable
dengan plastik komersial yang tidak dapat diuraikan oleh alam sehingga
berkontribusi kepada pencemaran lingkungan dan juga dapat membahayakan
kesehatan manusia karena bersifat karsinogenik. Selain itu, juga sebagai bagian
dari pemanfaatan bahan-bahan nabati yang tersedia dan dapat diperbaharui.

2. Tinjauan Pustaka
Salah satu hasil perkebunan yang banyak terdapat di Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) adalah Sagu. Batang sagu merupakan gudang penyimpanan
pati atau karbohidrat, yang lingkup pemanfaatannya dalam industri sangat luas,
seperti industri pangan, pakan, alkohol, dan bermacam-macam industri kimia
lainnya (Haryanto dan Pangloli, 1992). Pati sagu mengandung sekitar 27%

222
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

amilosa dan 73% amilopektin (Haryanto dan Pangloli, 1992). Untuk lebih
meningkatkan nilai ekonomi dari batang sagu, pati sagu dapat digunakan sebagai
bahan baku pembuatan plastik biodegradable.
Kemungkinan mengkombinasikan pati secara kimia atau produk turunan
pati dengan resin komersial dimana pati akan bertindak sebagai filler dan agen
cross linking mungkin memberikan pendekatan yang layak untuk menggabungkan
pati kedalam plastik. Dikarenakan isosianat sangatlah reaktif dengan gugus
hidroksil, isosianat dapat digunakan untuk mempersiapkan sejumlah resin reaktif
yang akan ber cross link dengan pati. (R Chandra and R. Rustgi, 1998)
Polimer hasil pertanian mempunyai sifat termoplastik, sehingga
mempunyai potensi untuk dibentuk atau dicetak menjadi film kemasan.
Kemampuan suatu bahan dasar dalam pembentukan film dapat dijelaskan
melalui fenomena fase transisi gelas. Pada fase tertentu diantara fase cair
dengan padat, masa dapat dicetak atau dibentuk menjadi suatu bentuk
tertentu pada suhu dan kondisi lingkungan yang tertentu. Fase transisi gelas
biasanya terjadi pada bahan berupa polimer. Sedangkan suhu dimana fase
transisi gelas terjadi disebut sebagai titik fase gelas (glassy point). Pada
suhu tersebut bahan padat dapat dicetak menjadi suatu bentuk yang dapat
dikehendaki seperti film kemasan (Latief, 2001).
Plasticizer adalah bahan yang mempunyai titik didih yang tinggi dan
biasa digunakan sebagai bahan di dalam pembuatan pernis dan plastik
tertentu. Plasticizer bersifat tidak menguap akan tetapi hanya menjaga
fleksibilitas dan daya rekat dari selulosa film dari pernis atau fleksibilitas
lembar plastik dan film (David, 1982).
Plasticizer adalah cairan (kadang-kadang padatan) yang mempunyai
titik didih yang ketika dicampur dengan suatu polimer memberikan material
suatu sifat yang lebih lembut dan lebih fleksible (Kumar dan Gupta, 1998).
Plasticizer berfungsi pada polimer polar untuk mengurangi ikatan hidrogen.
Dalam seluruh polimer, plasticizer memaksa rantai untuk berpisah,
memberikan kemampuan berpindah yang lebih besar terhadap polimer dan

223
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

juga untuk mengurangi kekuatan van der walls rantai-rantai. Plastisasi


dapat mengurangi interaksi antar polimer, dengan demikian mengurangi
kekuatan dari struktur dimensi polimer dan mengalami perubahan bentuk
tanpa pemutusan (Ritchie, dkk, 1972).
Keberhasilan suatu proses pembuatan film kemasan plastik
biodegradable dapat dilihat dari karakteristik film yang dihasilkan.
Karakteristik film yang dapat diuji adalah karakteristik mekanik,
permeabilitas dan daya adsorbsi. Karakteristik mekanik suatu film terdiri
dari : kuat tarik (tensile strength), kuat tusuk (puncture strength), persen
pemanjangan (elongasion to break) dan elastisitas (elastic/young modulus).
Parameter-parameter tersebut dapat menjelaskan bagaimana karakteristik
mekanik dari bahan film yang berkaitan dengan stuktur kimianya (Latief,
2001). Gliserol merupakan polialkohol yang diperoleh sebagai hasil
samping pembuatan sabun. Gliserol merupakan cairan kental tidak
berwarna, bersifat higroskopis, berasa manis dan larut dalam air dalam
segala perbandingan. Menurut Yilmaz, dkk (1998), gliserol adalah
plasticizer yang paling biasa digunakan untuk pembuatan pati termoplastik.
Hart (1990), juga menyebutkan bahwa gliserol mempunyai titik didih
290C.
Plastik biodegradabel adalah pastik yang dapat digunakan layaknya
seperti plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas
mikroorganisme menjadi hasil akhir air dan gas karbondioksida setelah
habis terpakai dan dibuang ke lingkungan. Karena sifatnya yang dapat
kembali ke alam, maka plastik biodegradable merupakan bahan plastik
yang ramah terhadap lingkungan (Theresia, 2003).
Budiman (2003), menjelaskan bahwa biodegradabel berarti proses
pengomposan (composting). Polimer biodegradabel adalah molekul-molekul
besar (macromolecules) yang dapat dihancurkan atau diuraikan oleh
mikroorganisme, khususnya bakteri dan jamur. Polimer-polimer yang
mampu dikomposkan (compostable) harus memenuhi beberapa kriteria,

224
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

yaitu mengandu-ng salah satu dari jenis ikatan asetal, amida atau ester,
memiliki berat molekul dan kristalinitas rendah, serta memiliki hidrofilitas
tinggi.
Senyawa utama yang dimanfaatkan untuk mendapatkan plastik
biodegradabel adalah karbohidrat (selulosa dan pati) dan protein. Saat ini
keberadaan beras dan ubi kayu di Indonesia termasuk di Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam masih diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pangan
nasional, maka penggunaan pati sagu diharapkan dapat menjadi alternatif
potensial untuk menjadi sumber bahan baku plastik biodegradabel di
Indonesia. Sebenarnya pohon sagu lebih produktif dibandingkan padi,
dimana dapat menghasilkan pati 4 kali lebih banyak (Tony dan
Whitten,1996).
Plastik biodegradabel berbahan dasar tepung dapat didegradasi oleh
bakteri pseudomonas dan bacillus dengan memutus rantai polimer menjadi
monomer-monomernya. Senyawa-senyawa hasil degradasi polimer selain
menghasilkan karbon dioksida dan air, juga menghasilkan senyawa organik lain
yaitu asam organik dan aldehid yang tidak berbahaya bagi lingkungan. Plastik
berbahan dasar tepung aman bagi lingkungan. Sebagai perbandingan, plastik
tradisional membutuhkan waktu sekitar 50 tahun agar dapat terdekomposisi alam,
sementara plastik biodegradabel dapat terdekomposisi 10 hingga 20 kali lebih
cepat (Frinault, 1997).
Hasil degradasi plastik ini dapat digunakan sebagai pakan ternak atau
sebagai pupuk kompos. Plastik biodegradabel yang terbakar tidak menghasilkan
senyawa kimia berbahaya. Kualitas tanah akan meningkat dengan adanya plastik
biodegradabel, karena hasil penguraian mikroorganisme dapat meningkatkan
unsur hara dalam tanah. Sampai saat ini masih diteliti berapa cepat atau berapa
banyak polimer biodegradabel ini dapat diuraikan alam. Namun, ini menjadi
potensi yang besar di Indonesia karena terdapat berbagai tanaman penghasil
tepung seperti singkong, beras, kentang dan tanaman lainnya, apalagi harga umbi-

225
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

umbian di Indonesia relatif rendah. Dengan memanfaatkan sebagai bahan plastik


biodegradabel, akan memberi nilai tambah ekonomi yang tinggi.
Upaya pengembangan teknologi kemasan plastik biodegrdable dewasa ini
berkembang sangat pesat. Berbagai riset telah dilakukan di negara maju (Jerman,
Prancis, Jepang, Korea, Amerika Serikat, Inggris dan Swiss) ditujukan untuk
menggali berbagai potensi bahan baku biopolimer. Aktivitas penelitian lain yang
dilakukan adalah bagaimana mendapatkan kemasan thermoplastik degradable
yang mempunyai masa pakai yang relatif lebih lama dengan harga yang lebih
murah serta perbaikan sifat-sifat fisik dan penggunaan bahan pemlastis. Kemasan
plastik biodegradable ini penggunaannya masih terbatas pada produk farmasi,
kosmetik dan container. Masalah yang seringkali muncul pada plastik jenis ini
terutama untuk kemasan makanan adalah biaya produksi yang mahal dan sifat
mekanik/fisik serta sifat barrier yang lebih rendah dibandingkan dengan polimer
sintetik. Oleh sebab itu sampai saat ini masih dipakai polimer sintetis (PP, PE, PS
dan PVS). (Wiwik dkk, 2012)
Kitosan adalah turunan kitin yang pertama kali ditemukan pada tahun1894
oleh Hoppe Seyler. Proses deasetilasi dilakukan dengan merefluks kitin dalam
kalium hidroksida (Lisbeth Tampubolon, 2008). Kitin dapat diperoleh dari limbah
pengolahan hasil laut. Kandungan kitin pada limbah udang mencapai 42-57%,
pada limbah kepiting mencapai 50-60%, cumi-cumi 40% dan kerang 14-35%.
Karena bahan baku udang lebih mudah diperoleh, maka sintesis kitin dan kitosan
lebih banyak memanfaatkan limbah udang (Yurnaliza, 2002). Kitosan telah mulai
diteliti menjadi bahan tambahan sebagai penguat plastik biodegradable sehingga
dapat berkompetisi dengan plastic konvensional.

3. Metode Penelitian
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Pati sagu, Aquades,
Minyak jarak, Asam asetat 2%, Dimetilmetana disosianat (MDI), Kitosan,
Gliserol, Casting kaca.

226
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Metodologi Kerja
Sintesa Campuran TPS Termodifikasi dengan Kitosan
1. Ditimbang kitosan sesuai dengan variasi berat kitosan yang telah ditetapkan,
kemudian dilarutkan kedalam 100 ml asam asetat 2 % didalam gelas beaker
ukuran 500 ml dengan cara pengadukan.
2. Ditimbang 15,5 gram sagu, dan dicampurkan dengan kitosan yang telah
tercampur homogen dengan asam aseat 2%.
3. Campuran sagu dan kitosan tersebut kemudian dipanaskan dan diaduk sampai
masak sehingga menjadi gel pada suhu gelatinisasi 67dan waktu sekitar 30
menit.
4. Selanjutnya ditambahkan minyak jarak dan Dimetilmetana Disosianat (MDI)
dengan perbandingan sesuai pada Tabel 1, kemudian campuran diaduk kuat
selama beberapa menit sehingga homogen .
5. Lalu ditambahkan sorbitol 7 gram sebagai plasticizer. Campuran yang
homogen di cetak pada casting kaca dan dikeringkan pada suhu kamar selama
24 jam.

Tabel 1. Perbandingan berat masing-masing komponen Sampel


Nama Pati Sagu Asam Asetat 2% Kitosan MDI Minyak Jarak Sorbitol
(gr) (ml) (gr) (ml) (gr) (gr)
TPS-kitosan 1 15,5 100 0,5 1 2 7
TPS-kitosan 2 15,5 100 1 2 3 7
TPS-kitosan 3 15,5 100 1,5 3 4 7
TPS-kitosan 4 15,5 100 2 4 5 7
TPS-kitosan 5 15,5 100 2,5 5 6 7

Sampel Pembanding Pati Sagu (PS) :

227
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

1. Ditimbang 15,5 gram sagu, dan dimasukkan kedalam gelas beaker 500 ml
lalu ditambahkan air 77,5 gram.
2. Sagu dipanaskan dan diaduk sampai masak sehingga menjadi gel pada suhu
gelatinisasi 67 sekitar 30 menit.
3. Ditambahkan sorbitol 7 gram sebagai plasticizer. Campuran yang homogen
di cetak pada casting kaca dan dikeringkan pada suhu kamar selama 24 jam.

Sampel Pembanding Prepolimer Poliuretan (PUP)


1. Ditimbang minyak jarak 7,5 gram kemudian dicampurkan dengan MDI 6,5
ml, dan ditambahkan kitosan 1 gram yang telah dilarutkan dalam asam asetat
2%.
2. Campuran minyak jarak, MDI dan juga kitosan diaduk kuat selama beberapa
menit hingga homogen
3. Campuran yang homogen di cetak pada casting kaca dan dikeringkan pada
suhu kamar selama 24 jam.

Analisa
Uji Mekanis TPS Termodifikasi dengan Campuran Kitosan
Pengujian Mekanis yang dilakukan adalah tensile test dan elongation at
break. Tensile testing adalah peralatan mengukur kekuatan bahan dimana sampel
diberikan regangan yang tidak aksial sampai mengalami patahan. Uji kuat tarik
dilakukan Electronic System Universal Testing Machines (ASTM D882-81)

Uji Biodegradibility
Uji Biodegradability dilakukan untuk mengetahui tingkat penguraian
plastik TPS-kitosan. Film plastik yang telah dikeringkan dikuburkan ke dalam
tanah yang telah diidentifikasikan sebagai lokasi penguburan. Dihitung waktu
penguraiannya dengan melakukan monitoring secara berkala.

228
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

4. Hasil Dan Diskusi


4.1 Uji mekanik TPS dengan penambahan kitosan
Sifat mekanik suatu TPS-kitosan diketahui dari respon uji tarik. Uji tarik
yang telah dilakukan akan memberikan informasi kuat tarik dan elongasi dari
bioplastik tersebut. Hasil uji kuat tarik dan elongasi dari TPS-kitosan dengan
penambahan kitosan dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini:
Tabel 2. Hasil uji mekanik variasi TPS-kitosan
5#4 !#2*, 5#4!#2*, &.#/+#/(#/
0 #.1&-
('
..  # 
*01-#34*,3#(5 02$*40-    
"*403#/     
 !  *403#/    
 !  *403#/      
 !  *403#/     
 !  *403#/     
 !  *403#/      

Kuat tarik (tensile strength) merupakan tarikan maksimum terakhir


sebelum putus. Pengujian kuat tarik ini bertujuan untuk melihat kekuatan mekanik
plastik. Pengujian kuat tarik dilakukan dengan menggunakan Electronic System
Universal Testing Machines berdasarkan standar ASTM D638.

229
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

5#4!#2*,! *403#/


     


 

 




!  *403#/ !  *403#/ !  *403#/ !  *403#/ !  *403#/

 

Gambar 1. Kuat Tarik TPS-kitosan
Dari Grafik 1 dapat dilihat bahwa pada penambahan kitosan sebesar 0,5 gr
dan 1 gr, nilai kuat tarik TPS mengalami kenaikan, sedangkan pada penambahan
kitosan sebesar 1,5 gr, 2 gr dan 2,5 gram, nilai kuat tarik TPS mengalami
penurunan. Semakin besar jumlah kitosan yang ditambahkan, maka nilai kuat
tariknya akan semakin menurun. Hal ini dikarenakan semakin besar konsentrasi
kitosan maka semakin banyak ikatan hidrogen yang terdapat dalam TPS sehingga
ikatan kimianya akan semakin kuat dan sulit untuk diputus karena memerlukan
energi yang besar untuk memutuskan ikatan tersebut. Hal ini menyebabkan TPS
menjadi rapuh dan mudah untuk putus (Utari dkk, 2008). Selain itu, penambahan
kitosan sebesar 1,5 gram telah membuat TPS menjadi lebih tebal dan lebih kaku
pada saat dicetak. Kondisi terbaik untuk pencetakan TPS terjadi pada penambahan
kitosan 0,5 gram dan 1 gram.
Plastik TPS- kitosan memiliki sifat mekanik yang melebihi golongan
Moderate Properties untuk nilai kuat tarik yaitu 1-10 MPa (Ani, 2010). Penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Rozanna et all tahun 2014 menunjukkan kuat
Tarik TPS saja tanpa adanya penambahan kitosan adalah (TPS 1 - TPS 5) sebesar
0,40 kgf/cm2 - 0,47 kgf/cm2, sedangkan kuat tarik PUP murni diperoleh nilai

230
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

sebesar 1, 72 kgf/cm2 (Rozanna et all, 2014). Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa
kuat tarik TPS meningkat jauh dengan adanya penambahan kitosan.
Uji tarik yang dilakukan pada TPS-kitosan menyebabkan perubahan
pertambahan panjang pada sampel yang disebut dengan elongasi. Elongasi
merupakan perubahan panjang maksimal film bioplastik sebelum terputus jika
diberikan tarikan (Latief, 2001). Hasil persen pemanjangan (% elongasi) dapat
dilihat pada gambar 2 di bawah ini:

-0/(#3*! *403#/

 
 

 


 



!  *403#/ !  *403#/ !  *403#/ !  *403#/ !  *403#/

 


Gambar 2. Elongasi (pemanjangan) TPS-kitosan

Gambar 2 menunjukkan persen pemanjangan (elongasi) dari TPS dengan


penambahan kitosan. Penambahan kitosan pada TPS menyebabkan penurunan
persen pemanjangan. Persentase elongasi berbanding terbalik terhadap konsentrasi
kitosan. Dimana semakin besar konsentrasi kitosan, maka persentase elongasi
semakin menurun. Hal ini disebabkan oleh semakin menurunnya jarak ikatan
intermolekuler nya (Salleh dalam Aris Rachman, 2009).
TPS dengan kitosan telah memenuhi sifat mekanik untuk golongan
Moderate Properties untuk nilai elongasi yaitu 10-20% (Ani, 2010). Dalam
Penelitian ini nilai elongasi TPS telah memenuhi golongan tersebut. Dalam
standar plastik internasional (ASTM 5336) besarnya persentase pemanjangan

231
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

(elongasi) untuk plastik PLA dari Jepang adalah 9% dan plastik PCL dari Inggris
mencapai lebih dari 500 % (Arief, 2013).

4.2 Uji Biodegradability


Bioplastik adalah film plastik yang dapat dihancurkan dengan proses
penguraian alami, uji biodegradable ini dilakukan dengan cara mengubur film
plastik ke dalam tanah yang telah di tetapkan. Hasil uji biodegradable TPS-
kitosan dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini:
Tabel 3. Hasil Uji Biodegradability TPS-kitosan
Kehilangan Berat (%)
No Nama
3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari
1 TPS-Kitosan 1 34 63 85 100 100
2 TPS-Kitosan 2 26 46 70 95 100
3 TPS-Kitosan 3 18 33 56 84 100
4 TPS-Kitosan 4 15 26 40 72 90
5 TPS-Kitosan 5 12 21 31 63 83

Proses terjadinya biodegradasi plastik ini, dimulai dengan tahap degradasi


kimia yaitu dengan proses oksidasi molekul menghasilkan polimer dengan berat
molekul yang rendah. Proses selanjutnya adalah serangan mikroorganisme
(bakteri, jamur dan alga) dan aktivitas enzim (intracellular, extracellular). Contoh
mikroorganisme diantaranya bakteri phototrop (Rhodospirillium,
Rhodopseudomonas, Chromatium, Thiocystis), pembentuk endospora (Bacillus,
Clostridium), dan gram negatif aerob (Pseudomonas, Zoogloa, Azotobacter,
Rhizobium), Actynomycetes, Alcaligenes (Griffin, 1994).

232
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

#+5*0%&(2#%*$*-*46! *403#/




  
&)*-#/(#/&2#4

  
 




   
 
 


   

! *403#/ ! *403#/
5.-#)#2* ! *403#/
! *403#/ ! *403#/

Gambar 3. Laju Biodegradability TPS-kitosan

Berdasarkan Grafik 3 diatas terlihat bahwa laju kehilangan berat (%) film
bioplastik pada berbagai komposisi relatif sama, namun kehilangan berat film
dipengaruhi oleh komposisi poliuretan (MDI) dan kitosan. Semakin banyak
kandungan poliuretan dalam campuran TPS maka semakin rendah kehilangan
beratnya. Pati merupakan biopolimer alam yang dapat terbiodegradasi secara total
di alam, sedangkan kitosan mempunyai laju biodegradasi yang relatif lambat
dibandingkan dengan pati. Tingkat biodegradasi bahan polimer dipengaruhi oleh
struktur polimer yang bersangkutan. Polimer dengan struktur amorf lebih mudah
di biodegradasi dibanding polimer dengan struktur kristalin. Oleh karena derajat
kristalinitas biopolimer kitosan lebih tinggi dibanding pati, maka semakin tinggi
kandungan senyawa ini dalam campuran TPS maka semakin rendah laju
biodegradasinya.
Pada Gambar 3 diatas, didapat hasil kehilangan berat hampir 100% terjadi
pada hari ke-19 disebabkan oleh cuaca yang sedang dalam musim hujan sehingga
menyebabkan kelembapan tanah meningkat. Pada hari ke 21 TPS-kitosan tidak
dapat ditimbang lagi berat akhirnya karena sudah bercampur merata dengan pasir-
pasir dan tanah.

233
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

5 KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan kondisi optimal penambahan kitosan kedalam TPS
adalah 1 gram. Kitosan telah meningkatkan karakteristik mekanis (kuat tarik dan
elongasi) dari film TPS dimana kuat tarik maksimum yang diperoleh adalah
194,17 Mpa dan 25,36 %. Dari sisi biodegradabilitas, TPS-kitosan dapat diuraikan
oleh alam dalam waktu 19 hari, lebih cepat jika dibandingkan dengan TPS tanpa
kitosan yaitu 2-4 bulan.

6 DAFTAR PUSTAKA
Carme Coll Ferrer M, Bab David, Ryan Anthony J, 2008, Characterisation of
polyurethanenetworks based on vegetable derived polyol, Journal Polymer
49, Elsivier, 3279 3287.
Dayanti, R. 2009. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Plasticizer serta Nisbah Pati
dengan Air Terhadap Sifat Fisik Edible Film Pati Sagu (Metroxylon sp).
USK. Banda Aceh.
Frinault, A.D.J. 1997. Preparation of Casein Film by a Modified Wet Spinning
Process. lhttp://www.google.com/ biodegradable/zein
Haryanto, B. dan Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius.
Yogyakarta.
Hong Juan Wang, Min Zhi Rong, Ming Qiu Zhang, Jing Hu, Hui Wen Chen and
Tibor Czigany. 2008. Biodegradable Foam Plastics based on Castor Oil, 9,
615 623
Isobe, S. 1999. Properties of Plasticized-Zein Film as Affected by Plasticier
Treatments. In Formula dan rekayasa proses pembuatan biodegradable
film dari zein jagung; Paramawati, R.:PPS IPB, Bogor.
Lu Yoshang, TighzertLan, Berzin Francoise, Sebastian Rondot, 2005. Innovative
plasticized starch films modified waterborne polyurethane from
renewable resources, CarbohydratePolymer, 61, 174 182.
Liu Dagang, TianHuafeng, Zhang Lina, Chang Peter R, 2008, Structure and
properties of blendfilms prepared from castor oli-based polyurethane/soy
protein derivative, Journal Materials andInterfaces, Industrial Engineering
and Chemical Research, 9330 -9336.
Marie Matet, Marie-Claude Heuzey, Eric Pollet, Abdellah Ajji and Luc Averous,
2013, Innovative Thermoplastic Chitosan Obtained by Thermo-
Mechanical, Carbohydrate Polymer, 95, 241-251
Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI No. HK
00.05.55.6497 tentang Bahan Kemasan Pangan , 20 Agustus 2007.
Qiu Wu lin, Zhang Farao, Endo T and Hirotsu T, 2005, Isocyanate as a
compatabilizing agent on the properties of highly crystalline

234
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

cellulose/polypropylene composites, Journal of Material science, 40, 3607


-3614.
Randal, D., dan Lee. 2002. The Polyurethanes Book Jhon Willey & Son. Ltd.
Everberg
R. Chandra and R. Rustgi. 1998. Biodegradable Polymer. Prog. Polymer. Sci. 23.
12731335.
Robertson, L.G., 1992 Food Packging Principles and Practice Marcell Dekker.
Inc. New. York.
Rozanna Dewi, harry Agusnar, Basuki Wirjosentono, Halimahtuddahliana, and
Medyan Riza, Synthesis of Modified Thermoplastic Starch (TPS) Using
In-situ Technique, Advancesin Environmental Engineering, 8(18) special
2014, pages 26-33.
Sinawayan, P., Ooi, T.Y., Norin, Z.K.S., Ahmad, S., Ang, P.F., Yap, K.S., Wiese,
D. and Chua,M.F. 2001. Industrial Application of Malaysian palm oil
based polyurethane products.Proceeding of PIPOC.
Wiwik Pudjiastuti, Arie Lystiarini dan Sudirman, 2012, Polimer Nanokomposit
sebagai Master Batch Polimer Biodegradable untuk Kemasan Makanan,
Jurnal Riset Industri Vol. VI No. 1, 2012, Hal. 51-60
Wu Qiangxian, Zhengshun Wu, Huafeng Tian, Yu Zhang, and Shuilian Cai.
2008.Structure and Properties of Tough Thermoplastic Strach Modified
with polyurethane microparticles. IndustrialEngineering and Chemical
Research, 47, 9896 9902.

235
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

EFEKTIVITAS SUHU DAN WAKTU DISTILASI TERHADAP


KOMPOSISI KIMIA ASAP CAIR DARI TEMPURUNG KEMIRI

Sulhatun1, Nasrun1,Cut Putri1


1
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh
Laboratorium Teknik Kimia, Jl. Batam No. 2, Bukit Indah, Lhokseumawe
24353 e-mail: cutputri.yani91@gmail.com

Abstrak
Distilasi asap cair merupakan salah satu usaha pemanfaatan asap cair hasil
pirolisis menjadi produk yang mempunyai nilai guna tinggi, dilakukan dengan
melakukan pemisahan komponen-komponen senyawa kimia dengan berdasarkan
perbedaan titik didih. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu
dan waktu distilasi terhadap komposisi kimia asap cair dari tempurung kemiri.
Asap cair hasil distilasi dengan variasi suhu 125; 150; 175; dan 200oC
dilakukan analisa GC-MS untuk mengetahui kandungan tar dan benzopirien
didalam asap cair. Pada suhu 125-150oC diperoleh nilai pH rendah,175-200oC
diperoleh nilai pH tinggi, dan pada suhu 125oC diperoleh distilat rendah
83,81% sedangkan pada suhu 200oC diperoleh distilat tinggi 90,93%. Semakin
tinggi suhu distilasi maka semakin besar persen distilat yang diperoleh dan
kandungan PAH (Policyclyc Aromatic Hydrokarbon) dalam asap cair hasil
distilasi sudah menghilang sehingga asap cair sudah terbebas dari
kandungan karsinogenik. Asap cair hasil distilasi menghasilkan grade 2 pada
suhu 2000C dengan waktu maksimum 2 jam diperoleh kandungan fenol sebesar
60,77%.

Kata Kunci : Distilasi, Asap Cair, Tempurung kemiri

1. Pendahuluan
Sejak akhir tahun 2005, formalin merupakan bahan kimia yang paling banyak
dibicarakan di tengah masyarakat di seluruh tanah air, baik dikalangan ilmuan
maupun dikalangan masyarakat umum. Hal ini disebabkan karena kekhawatiran
masyarakat akan dampak penggunaan formalin dalam makanan terhadap
kesehatan. Formalin dapat menyebabkan berbagai macam penyakit antara lain
tenggorokan, perut perih rasa terbakar, dan penyebab kanker.

236
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Banyak hasil alam yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet alami.
Atas dasar itu, peneliti tertarik melakukan penelitian membuat asap cair dari
cangkang kemiri sebagai pengawet, dikarenakan karena cangkang kemiri
merupakan hasil samping dari buah kemiri. Sebagian besar cangkang kemiri
belum dimanfaatkan secara maksimal oleh industri dan masyarakat sebagai
penghasil asap cair. Dominannya selama ini asap cair yang dihasilkan oleh
industri sebagian besar berasal dari cangkang kelapa.
Kemiri merupakan salah satu komuditi yang paling banyak ditanam di
Indonesia, selain menghasilkan produksi minyak yang cukup tinggi, produk
samping atau limbah juga tinggi. Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi perlu dikembangkan untuk mengolah hasil sampingan seperti cangkang
kemiri agar dapat diolah menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi yang
tinggi, seperti asap cair. Asap cair dapat diproduksi dengan cara pirolisis yaitu
pembakaran dengan sedikit udara atau tanpa udara terhadap bahan baku. Maka
akan diperoleh rendemen berupa asap cair yang dapat digunakan sebagai
biopreservatif baru pengganti preservatif kimia. Limbah pertanian mempunyai
potensi yang cukup besar untuk digunakan sebagai bahan utama pembuatan asap
cair seperti cangkang kemiri. Pemanfaatan limbah pertanian ini menjadi suatu
produk yang dapat memberikan nilai tambah dari sektor pertanian. Sehingga dapat
dimanfaatkan dan tidak terbuang dengan sia-sia.
Pemanfaatan asap cair sebagai pengawet makanan telah banyak diteliti dan
dilakukan oleh manusia, pemanfaatan asap cair ini sangat bergantung pada
kondisi asap cair itu sendiri karena selain terdapat kandungan fenol dan
asam- asam organik, juga terdapat beberapa komponen yang berbahaya pada
asap cair itu yaitu tar dan senyawa-senyawa polisiklik hidrokarbon aromatis yang
sebagian bersifat karsinogenik serta menyebabkan kerusakan asam amino esensial
dari protein dan vitamin, juga sifat keasaman asap cair yang sebagian besar
dihasilkan dari senyawa-senyawa asam organik yang terdekomposisi pada proses
pirolisis, kualitas asap cair itu sendiri dan kandungan senyawanya sebagian besar

237
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

juga dipengaruhi oleh suhu pirolisis mengingat senyawa kimia didalamnya dapat
terdekomposisi pada suhu yang berbeda-beda.
Hal ini membuat peneliti ingin memanfaatkan asap cair hasil pirolisis
cangkang kemiri, mejadi suatu hasil produk yang terhindar dari sifat-sifat
karsinogenik, sehingga dapat meningkatkan mutu atau kualitas dari asap cair
cangkang kemiri. Peneliti juga mengharapkan dapat memberikan nilai
tambah bagi peningkatan pendapatan masyarakat desa. Serta memberikan
informasi yang bermanfaat tentang senyawa-senyawa yang terkandung dalam
asap cair tersebut untuk mengetahui pemanfaatannya dan memperkaya wawasan
ilmu pengetahuan dan teknologi.

2. Tinjauan Pustaka
Distilasi adalah teknik untuk memisahkan larutan ke dalam masing-masing
komponennya. Prinsip destilasi adalah didasarkan atas perbedaan titik didih
komponen zatnya. Destilasi dapat digunakan untuk memurnikan senyawa-
senyawa yang mempunyai titik didih berbeda sehingga dapat dihasilkan senyawa
yang memiliki kemurnian yang tinggi. Ketika uap diproduksi dari campuran, uap
tersebut lebih banyak berisi komponen-komponen yang bersifat lebih volatil,
sehingga proses pemisahan komponen-komponen dari campuran dapat terjadi.
Komponen-komponen dominan yang mendukung sifat fungsional dari asap cair
adalah senyawa fenolat, karbonil dan asam.
Senyawa-senyawa penyusun asap cair yang mempunyai persen massa
tinggi ada yang dapat digunakan pada produk makanan, akan tetapi ada juga
senyawa yang berbahaya bagi kesehatan. Senyawa furfural , 2-methyl-2-
cyclopentenone, guaiacol , 2,3-butanedione aman digunakan pada makanan.
Senyawa furfural dan 2-methyl-2-cyclopentenone merupakan senyawa penting
untuk citarasa pada produk makanan. Asap cair memiliki banyak manfaat dan
telah digunakan pada berbagai industri, antara lain dalam Industri pangan,
Industri perkebunan, dan Industri Kayu.

238
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

3. Metode Penelitian
Pada penelitian ini digunakan empat tahap proses penelitian yaitu
penyiapan,pembuatan, pemurnian, analisa. Tahap penyiapan meliputi pada
pemilihan bahan baku (sampel), pembuatan alat, serta tempat penelitian. Tahap
pembuatan adalah proses produksi asap yaitu pirolisis serta kondensasi. Tahap
pemurnian adalah proses pendistilasian asap cair agar menghasilkan peningkatan
mutu asap cair. Tahap terakhir adalah tahap analisa produk dengan mengukur
kualitas yang dihasilkan dari sampel tersebut. Tahap distilasi dilakukan pada
suhu 125, 150 , 175 dan 200 oC selama 0,5; 1; 1,5; dan 2 jam. Untuk membuat
asap cair yang terbebas dari kandungan karsinogenik.

Gambar 1. Rangkaian Alat Distilasi

4. Hasil dan Diskusi


Komponen yang memiliki titik didih rendah akan terlebih dahulu menguap
dibandingkan dengan titik didih tinggi. Senyawa aktif yang terdapat didalam asap
cair adalah fenol, asam, dan karbonil. Masing- masing senyawa tersebut memiliki
titik didih yang berbeda. Fenol mempunyai titik didih 162200 oC, asam
mempunyai titik didih 118-176 oC, dan karbonil mempunyai ttik didih 21-97 oC.
Distilasi asap cair cangkang kemiri sebanyak 250 ml menggunakan variasi suhu
yaitu 125, 150, 175, dan 200 0C.

239
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Hasil produk distilasi yang diperoleh dapat dilihat dalam tabel 4.1.
Tabel 4.1 Hasil Distilasi Asap Cair Cangkang Kemiri
Waktu Suhu Distilat % Rata-Rata Residu % Rata-Rata
Distilasi (C) (%) (Distilat) (%) (Residu)
(jam)
0,5 125 22,2153 4,29
1 125 22,7547 83,81 4,3942 16,18
1,5 125 19,5294 3,7713
0,5
2 150
125 23,4423
19,3148 3,8296
3,7299
1 150 23,573 3,851 14,04
85,95
1,5 150 20,6553 3,3743
0,5
2 175
150 20,3524
18,2868 2,9076
2,9874
1 175 24,7683 3,5385 12,5
87,49
1,5 175 22,0288 3,1471
0,5
2 200
175 22,0201
20,3497 2,1943
2,9072
1 200 25,9318 2,5841 9,06
90,93
1,5 200 23,572 2,349
Berdasarkan
2 tabel
2004.1 diatas dapat dilihat bahwa distilasi
19,4138 1,9346yang dilakukan
dengan tingkat suhu yang berbeda maka diperoleh hasil distilat yang berbeda pula.
Pada suhu 200oC diperoleh hasil distilat yang tinggi 90,93%, sedangkan pada
suhu 125oC hasil distilat hanya 83,81%. Adanya perbedaan hasil distilat yang
diperoleh disebabkan karena pada suhu 200oC komposisi senyawa kimia yang
terdapat didalam asap cair distilasi sudah terkondensasi secara sempurna. Grafik
yang memperlihatkan hubungan temperatur distilasi dengan rendemen asap cair
dapat dilihat dalam grafik 4.1.

240
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Pada
da gambar 4.1 tterlihat kenaikan pada hasil distilat,
ilat, kenaikan hasil distilat
ini menunjukkan perba
perbandingan, semakin tingggi suhu yang dilakukan
dila maka
semakin tinggi
nggi pula ha
hasil produk yang diperoleh. Pada
ada suhu distilasi
dis 200oC
menghasilkan
an hasil (dis liknya pada suhu 125oC
(distilat) asap cair tertinggi. Sebaliknya
diperoleh hasil
asil residu yyang rendah. semakin tinggi suhu yang dilakukan
dila maka
ndah hasil ris
semakin rendah risidu yang diperoleh.

4.2 il Analisa D
Hasil Derajat Keasaman (pH)
Untuk mengetahui kadar asam/ derajat keasaman
an asap cair maka perlu
diukur pH asap cair hasil distilasi. Tingkat keasaman
saman suatu asap cair
ruhi kualitas yang terdapat didalam asap cair. Berdasarkan
mempengaruhi Berda hasil
sap cair diata
rendemen asap ada suhu 200oC, dan asap
diatas, asap cair tertinggi diperoleh pada
cair dengan rendemen terendah dihasilkan pada suhu 150oC. Hasil analisa pH
dapat dilihatt dalam tabel 4.2.

241
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Tabel 4.2 Analisa Derajat Keasaman (pH)

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa nilai pH asap cair distilasi pada
suhu 125, 150, 175, dan 200oC berturut- turut adalah 5,29; 5,14; 5,48; 5,86. Pada
suhu 125- 150oC pH mengalami penurunan, dikarenakan pada suhu tersebut
terjadi pemisahan kandungan air, dan asam organik. Pada suhu 175- 200oC
menunjukkan nilai pH tinggi karena terjadi pemisahan kandungan fenol.

4.3 Hasil Analisa Densitas


Densitas dari suatu zat adalah massa dari sejumlah volum suatu zat pada
temperatur dan tekanan tertentu. Untuk asap cair yang berasal dari cangkang

242
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

kemiri diuji
ji kadar den
densitasnya dengan cara menimbang picnometer
picnom terlebih
dahulu dan menimbang picnom
picnometer yang berisi sampel, lalu hasil sampel
sa tersebut
dikurangkann selanjutnya dibagi dengan volume picnometer. Adapun hasil dari
analisa densitas
nsitas asap cair dapat dilihat dari tabel 4.3.
Tabel 4.3 Analisa Dens
Densitas (!)

Dari hasil tabel diatas maka dapat dibuat sebuah grafik. Grafik perbandingan
perba nilai
densitas terhadap
hadap suhu ddistilasi dapat dilihat dalam grafik
rafik 4.3

243
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Grafik diat
diatas pemperlihatkan pengaruh variasi waktu
wa terhadap
densitas asap
ap cair cangk
cangkang kemiri hasil distilasi. Dari grafik diatas dapat dilihat
nilai dari densitas
ensitas asap cair cangkang kemiri yang tidah
idah jauh berbeda,
b yaitu
pada run pertama densi
densitasnya 0,98578; run kedua
dua 0,98316; run ketiga
0,97955; dan
an keempat 0,97917. Berdasarkan hasil analisa
lisa yang diperoleh
dip dapat
diambil kesimpulan,
simpulan, semakin tinggi suhu asap cair makaa semakin rendah
re densitas
yangg dihasilkan.
4.4 Analisa
lisa GC-MS
Untuk mengetahui hhasil komponen senyawa apa yan terkandung
pa saja yang
didalam asap
ap cair, ma
maka perlu dilakukan analisa GC-MS.
-MS. An
Analisa GS-MS
dilakukan pada sebelum dan sesudah distilasi, tujuanya
uanya untuk mengetahui
perbandingan
an jumlah ko
komponen asap cair yang diperoleh.
leh.

4.4.1 Hasil
il Analisa G
GC-MS Sebelum Distilasi
Komposisi kimia asap cair dari cangkang kemiri
ri hasil pirolisis di analisa
dengan GC-MS,
S, untuk m
mengetahui kualitas dan kuantitas seny
tas dari senyawa-senyawa
yang terdapat
at dalam asa
asap cair. Hasil Analisa GC-MS yang
ang terdapat ddidalam asap
cair sebelum distilasi dap
dapat dilihat dalam tabel 4.4.

244
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Dari
ri hasil anali
analisa pirolisis diperoleh 7 komponen,
ponen, yang terdiri
t dari 1
komponen golongan asa
asam, 2 komponen senyawa keton dan aldehid, 3 komponen
senyawa fenol,
nol, dan satu komponen dalam senyawa benzenol.
enzenol. Dalam asap cair
hasil pirolisis diperoleh kkandungan fenol tinggi yaitu 5-Metil Guaiakol,
Gu 6-Etil
Guaiakol, 4-Etil
-Etil Guaiak
Guaiakol, secara berturut- turut (73,44%),
4%), (13,05%),
(13,05% (2,58%).
Kandungan asam didala
didalam pirolisis hanya sebesar (3,19%).
9%). Hasil analisa
ana asap cair
pirolisis didapatkan ka
kandungan benzenol yaitu Oxybenzene
enzene sebesar
sebe (2,36%).
Kandungann benzenol me
merupakan komponen yang bersifat
rsifat karsiogenik,
karsioge sehingga
berbahaya bila terdapat didalam asap acair, dan oleh karena itu maka perlu
dipisahkan dengan me
melakukan proses distilasi agarr terbebas dari
da komponen
karsiogenik.
nik.

4.4.2 Hasil
il Analisa G
GC-MS Sesudah Distilasi
Berdasarkan
dasarkan hasil rendemen yang diperoleh maka
ka asap cair yang diambil
ntuk di analisa GC-MS yaitu pada suhu 200oC, karena
alisa GC-M rena pada suhu tersebut
tertinggi.
dihasilkan % rendemen te

245
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Tabel 4.5 Hasil Analisa GC-MS Sesudah Distilasi


No. Komponen Area (%) Hasil analisa
Senyawa Asam
1. Asam Asetat 7,09
Senyawa Furan dan Piran
Furfural 8,31
2.
Senyawa Fenol dan Turunannya
3. 2- Metoksi Fenol (Guaiakol) 60,77
4. 4- Etil Guaiakol 4,19
5. Hidrokuinon 2,33
Senyawa Alkohol
6. p-Anisil Alkohol Metanol 17,31

Total 100,00
Proses Distilasi didahului dengan penguapan senyawa cair dengan
pemanasan dilanjutkan dengan pengembunan uap yang terbentuk dan ditampung
dalam wadah yang terpisah untuk mendapatkan distilat. Distilasi asap cair
dilakukan untuk memisahkan zat aktif pada asap cair yaitu fenol, asam-asam
organik dan juga karbonil sehingga didapatkan asap cair yang memiliki sifat
pengawetan yang tinggi dan terhindar dari senyawa karsinogenik seperti PAH dan
tar. Proses distilasi juga dilakukan untuk menentukan kualitas asap cair grade 1, 2
dan 3 berdasarkan komposisi kimia yang terkandung. Hasil analisa GC-MS
diperoleh enam senyawa, L-Asam Askorbat (7,09%), Furfural (8,31%), 2-
Metoksi Fenol Guaiakol (60,77%), 4-Etil Guaiakol (4,19%), Hidrokuinon
(2,33%), p-Anisil Alkohol Metanol (17,31%). Dalam hasil distilasi sudah tidak
ditemukan lagi kandungan benzenol, kandungan benzenol sudah terpisahkan
didalam asap cair hasil residu, karena benzenol tidak menguap pada suhu 200oC.
Benzenol akan menguap pada suhu 300- 400oC.
Pada penelitian ini, komponen yang paling dominan dalam asap cair
hasil distilasi dari cangkang kemiri adalah Fenol sebesar (60,77%) dan L-Asam
Askorbat (7,09%) sedangkan pada penelitian Widiya; dkk (2013) komponen yang

246
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

paling banyak terdapat dalam asap cair kulit durian pada suhu pirolisis 200oC
adalah asam asetat sebesar (70,55%), dan fenol (2,11%). Adanya perbedaan
komposisi kimia dalam asap cair disebabkan karena adanya perbedaan bahan
baku yang digunakan. Perbedaan bahan baku yang digunakan menunjukkan
perbedaan komposisi kimia yang terkandung didalamnya. Fenol diperoleh dari
dekomposisi lignin, asam asetat diperoleh dari dekomposisi selulosa, hemiselulosa
dan pati. Didalam cangkang kemiri komponen yang paling banyak adalah lignin
sekitar 44,4 % (Paimin. 1997). Sedangkan komponen yang paling banyak dalam
kulit durian adalah selulosa, pati dan hemiselulosa sekitar 30 % (Dewati; dkk.
2011).
Senyawa yang mendukung sifat antibakteri dalam asap cair adalah
adanya senyawa asam dan fenol. Senyawa asam lebih kuat menghambat
pertumbuhan bakteri dari pada senyawa fenol, tetapi kombinasi keduanya akan
meningkatkan kualitas asap cair (Darmadji, 2009). Fenol merupakan senyawa
yang paling bertanggung jawab pada pembentukan aroma spesifik yang
diinginkan pada produk asapan, terutama fenol dengan titik didih medium seperti
guaiakol (2-metoksi fenol), eugenol dan siringol (Guillen.1996). Sedangkan
senyawa furfural dan asetofenon memunculkan aroma sugary dan flowery yang
menyenangkan dan membantu mengurangi flavor dari senyawa fenol. Senyawa
karbonil yang memiliki bau caramel seperti senyawa- senyawa keton, aldehid,
ester dan lain-lain juga memegang peranan penting dalam asap cair (Kim; dkk.
1972). Senyawa karbonil, lakton dan furan memberikan flavor agar
karakteristik asap muncul (Darmadji, 2009).
Senyawa-senyawa penyusun asap cair yang mempunyai persen massa
tinggi dapat digunakan pada produk makanan. Senyawa furfural , 2-
Metoksi Fenol (Guaiakol), 4- Etil Guaiakol, hidrokuinon aman digunakan pada
makanan. Senyawa furfural dan 2- Metoksi Fenol (Guaiakol) merupakan senyawa
penting untuk citarasa pada produk makanan, guaiacol merupakan salah satu
komponen Fenol yang penting sebagai antioksidan pada produk makanan
sehingga memperpanjangmasa simpan produk.

247
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Dari
ri data penga
pengamatan yang telah dilakukan, dapat
apat dibuat sebuah
s grafik
perbandingan
an persentase hasil analisa GC-MS asap cair pirolisis ddengan hasil
analisa GC-MSS asap ca
cair distilasi. Perbandingan tersebut
ebut dapat dilihat
di dalam
gambarr 4.4.

Gambar 4.4 Grafik Peb


Pebandingan Jumlah Kandungan
gan Senyawa A
Asap Cair
Dari
ri grafik perb
perbandingan diatas dapat dilihat kandungan
andungan Fenol
F didalam
asap cair baik
aik sebelum dan sesudah distilasi menghasilkan
asilkan persentase
perse tinggi,
dibandingkan
an dengan se
senyawa- senyawa lainnya . Hal ini dikarenakan
dikarenaka kandungan
lignin didalam cangkang kemiri lebih tinggi (Paimin. 1997). Kualitas
Kual asap cair
dibagi menjadi 3 grade yaitu grade 1, grade 2 dan grade 3 Grade pe
pertama adalah
asap cair yang
ang digunak
digunakan untuk pengawet makanan seperti
eperti bakso, tempe, mie,
tahu dan lain-lain. Gr
Grade kedua adalah asap cair yang digunakan
diguna sebagai
pengganti formalin sepe
seperti ikan dan daging. Grade ketiga
iga adalah asap
as cair yang
digunakann untuk penga
pengawet kayu dan karet. Menurut
rut Food and A
Agriculture
Organization of the Un
United nations (FAO) komposisi asap cair da
dalam makanan
meliputi total
tal asam, karb
karbonil, dan fenol. Berdasarkan hasil
sil analisa yang
ya diperoleh
maka asap cair cangk ngan suhu 200 oC dapat
cangkang kemiri hasil distilasi dengan
digolongkann dalam pene
penentuan grade kedua.

248
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian pemurnian asap cair cangkang kemiri dapat di ambil
kesimpulan sebagai berikut :

1. Persentase rendemen destilat tertinggi dihasilkan pada suhu distilasi


200oC sebesar 25,9318%.
2. Hasil analisa GC-MS diperoleh kandungan Fenol tinggi. Kandungan
fenol sebelum distilasi (73,44%), dan sesudah distilasi diperoleh (60,77%),
hal ini dikarenakan didalam komposisi kimia cangkang kemiri terdapat
komposisi kandungan lignin yang tinggi, sehingga menghasilkan fenol
tinggi.
3. Asap cair distilasi tempurung kemiri menghasilkan kandungan fenol
tinggi sedangkan asap cair distilasi kulit durian (Widiya; dkk 2013)
menghasilkan kandungan asam tinggi, perbedaan keduanya disebabkan
karena adanya perbedaan jenis bahan baku yang digunakan.
4. Pada suhu 125-150oC diperoleh nilai pH rendah, dan suhu 175-
200oC diperoleh nilai pH tinggi.
5. Dalam asap cair hasil distilasi, kandungan PAH sudah menghilang
sehingga asap cair sudah terbebas dari kandungan karsiogenik. Penentuan
grade asap cair hasil distilasi cangkang kemiri dapat digolongkan dalam
garde 2.
6. Daftar Pustaka.
Anonimus, 2010. Asap Cair. Google. http://google.co.id /google/Asap_cair
(Liquid smoke). [25 Desember].

Bernasconi, G., H. Gerster, H. Hauser, H. stauble dan E. Scheiter,


1995.Teknologi Kimia 2. Penerjemah Lienda Handojo, Pradnya Paramita,
Jakarta.

Buckingham, 2010. Asap Cair dan Etanol. Google. http://google.co.id


/google/Asap_cair_dan Etanol. [20 April].

249
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Carmila, O., 2004, Pembuatan Pulp Dari Tandan Kosong Sawit, TGA D-III
Teknik Kimia Politeknik Kimia.

Darmadji, P. 1996. Aktivitas Anti bakteri Asap Cair yang Diproduksi dari
Bermacam-macam Limbah Pertanian. Yogyakarta : Fakultas Teknologi
Pertanian Universitas Gajah Mada.

Darmadji, P. 1999. Sifat Antioksidatif Asap Cair Hasil Redistilasi Selama


Penyimpanan. Prosiding Seminar Nasional Pangan, Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta.

250
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

PEMANFAATAN LIMBAH SERAT AMPAS TEBU


(SACCHARUM OFFICINARUM) SEBAGAI BAHAN BAKU
GENTENG ELASTIS

Mis Ariska AJ Rambe1, Fiqhi Fauzi1,SitiKhanifa1


1
Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara, Jln.
Bioteknologi e-mail: misariskashine@gmail.com

Abstrak

Genteng polimer merupakan suatu material yang ringan dimana


campurannya terdiri dari agregat pasir sebagai pengisi, aspal sebagai perekat
dan serat ampas tebu sebagai penguat yang banyak mengandung parenkim
serta mengandung air 48%-52%, gula 2,5%-6% dan serat 44%-48%.
Sehingga genteng polimer cocok dikembangkan untuk menggantikan genteng
beton yang sangat berat dan mudah retak, seng (Zn) yang mudah mengalami
korosi. Dalam penelitian ini genteng elastis dibuat dengan mencampurkan bahan
polimer (aspal) dan serat ampas tebu dengan metode sederhana cetak dan
tekan.Kelayakan serat ampas tebu yang digunakan karena seratnya memiliki
kekuatan yang baik dimana panjang seratnya 1,7-2 mm sedangkan aspal
memiliki daya rekat yang sangat tinggi. Genteng elastis dibuat dengan
memvariasi komposisi 80:0 gr, 78:2 gr, 76:4 gr,74:6 gr, 72:8 gr, 70:10 gr
dicampur selama 15 menit pada suhu 100 oC, kemudian dicor dan ditekan
selama 1/2 jam pada suhu 120oC dan tekanan 38 atm (38,5 x 105Pa) dengan Hot
Compressor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa campuran yang bagus sesuai
dengan percobaan adalah berupa campuran agregat pasir halus dan serat
ampas tebu dengan perbandingan 70:10:20 gr memiliki sifat fisis uji daya
serap air 2,72% , porositas 4,5%. Kemudian memiliki sifat mekanik kuat impak
129,8J/m2, kuat lentur 11840 N/m2 dan kuat tarik 3500 N/m2. Sehingga genteng
elastis dapat digunakan untuk atap rumah.

Kata Kunci : Aspal, Genteng Elastis dan Serat Ampas Tebu

1. Pendahuluan
Perkembangan akhir-akhir ini akan atap rumah sudah mempunyai
berbagai macam tipe dan bahan penyusunnya. Seperti bahan Zn (seng) dan bahan
Al (alumunium) yang sudah banyak dipasarkan. Namun dari segi harga bisa jadi
kurang ekonomis. Sehingga dibuatlah suatu genteng dimana memiliki ketahanan
akan air, kelembaban (korosi).Yakni dengan melakukanpencampuran bahan
khusus yang elastis, memiliki daya tahan terhadap panas, air,kelembaban dan
bermassa yang cukup ringan dengan mencampurkan serat dari bahan organik yang
sudah tidak digunakan lagi. Dengan itu kita telah melakukan dua tujuan yakni,

251
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

mencegah global warming, memanfaatkan suatu bahan yang tidak bernilai


guna (limbah) menjadi jauh lebih berguna (Biocerra.co.id, 2014).
Milawarni (2013) mengadakan penelitian pembentukan material genteng
polimer dari bahan baku serat sabut kelapa dengan perekat polipropilen bekas
melalui metode pencampuran mekanik. Hasil yang didapat dari penelitian
tersebut adalah fraksi massa aspal : polipropilen : pasir : serat sabut kelapa
(10:10:77:3) memiliki nilai kekuatan tarik sebesar 53,26 kgf/cm2, kekuatan
lentur 91,37kgf/cm2 dan kekuatan impak sebesar 2 J/cm2.Genteng elastis
merupakan suatu material yang ringan dimana campurannya terdiri dari agregat
pasir sebagai pengisi, aspal sebagai perekat dan serat ampas tebu sebagai penguat
yang banyak mengandung parenkim serta mengandung air 48%-52%, gula 2,5%-
6% dan serat 44%-48%. Sehingga genteng elastis cocok dikembangkan untuk
menggantikan genteng beton atau genteng tanah liat yang sangat berat dan
mudah retak sedangkan genteng dari seng (Zn) atau aluminium (Al) yang mudah
mengalami korosi. Genteng polimer diharapkan memberikan 2 sifat yang
unggul dan dapat memberikansebuah kontribusi penting bagi masyarakat serta
bidang industri (Surdia, 1995).Dalam penelitian ini dibuatlah suatu genteng
elastis sebagai material atap rumah mencampurkan bahan polimer (aspal),
agregat kasar (kerikil), agregat halus (pasir) dan serat ampas tebu dengan teknik
konvensional cetak dan tekan.
Kelayakan aspal sebagai material perekat dikarenakan aspal memiliki
sifat viskoelastis, tahan terhadap air dan memiliki ikatan kohesivitas (adhesi dan
kohesi) yang membentuk suatu ikatan silang untuk mengikat agregat ataupun
serat lebih kuat sedangkan serat ampas tebu sebagai bahan penguat karena serat
tebu memiliki kekuatan yang sangat baik dimana panjang seratnya sekitar 1,7-2
mm. Sehingga campuran tersebut diharapkan dapat menghasilkan suatu genteng
elastis yang memiliki sifat fisis dan mekanik yang baik. Uji karakterisasi untuk
genteng elastis sifat fisis (daya serap air dan porositas) dan sifat mekanik (kuat
impak, kuat tarik dan kuat lentur). Hasil akhir penelitian ini diharapkan
dapat diaplikasikan sebagai material atap rumah pengganti genteng tanah liat,
genteng beton, genteng seng (Zn) dan genteng aluminium (Al).

252
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

2.TinjauanPustaka
Agregat merupakan butiran mineral alami atau buatan yang berfungsi
sebagai bahan pengisi dalam campuran genteng. Agregat ini menempati kira-
kira 70 % sampai 80% dari volume genteng yang akan dibuat nantinya.
Meskipun sebagai bahan pengisi, agregat sangat berpengaruh pada sifat-sifat
genteng ini. Dilihat dari ukurannya, agregat dapat diklasifikasikan menjadi :
(Asiyanto, 2008)
2.2 Aspal
Aspal ialah bahan hidrokarbon yang bersifat melekat (adhesive), berwarna hitam
kecoklatan, tahan terhadap air, dan visoelastis. Aspal sering juga disebut bitumen
merupakan bahan pengikat pada campuran beraspal yang dimanfaatkan sebagai
lapis permukaan lapis perkerasan lentur. Aspal berasal dari aspal alam (aspal
buton} atau aspal minyak (aspal yang berasal dari minyak bumi). Berdasarkan
konsistensinya, aspal dapat diklasifikasikan menjadi aspal padat, dan aspal
cair.Aspal atau bitumen adalah suatu cairan kental yang merupakan senyawa
hidrokarbon dengan sedikit mengandung sulfur, oksigen, dan klor. Aspal
sebagai bahan pengikat dalam perkerasan lentur mempunyai sifat viskoelastis.
Aspal akan bersifat padat pada suhu ruang dan bersifat cair bila dipanaskan.
Kandungan utama aspal adalah senyawa karbon jenuh dan tak jenuh, alifatik dan
aromatic yang mempunyai atom karbon sampai 150 per molekul. Atom-atom
selain 5 hidrogen dan karbon yang juga menyusun aspal adalah nitrogen,
oksigen,belerang, dan beberapa atom lain. Secara kuantitatif, biasanya 80% massa
aspal adalah karbon, 10% hydrogen, 6% belerang, dan sisanya oksigen dan
nitrogen,serta sejumlah renik besi, nikel, dan vanadium. Senyawa-senyawa ini
sering dikelaskan atas aspalten (yang massa molekulnya kecil) dan malten (yang
massa molekulnya besar). Biasanya aspal mengandung 5 sampai 25% aspalten.
Sebagian besar senyawa di aspal adalah senyawa polar. Aspal memiliki fungsi
antara lainnya sebagai berikut : (Asnawi, 2011)
1. Untuk mengikat batuan agar tidak lepas dari permukaan jalan akibat lalu
linta (water proofing, protect terhadap erosi).

253
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

2. Sebagai bahan pelapis dan perekat agregat.


3. Lapis resap pengikat (prime coat) adalah lapisan tipis aspal cair yang
diletakan di atas lapis pondasi sebelum lapis berikutnya.
4. Lapis pengikat (tack coat) adalah lapis aspal cair yang diletakan di atas
jalan yang telah beraspal sebelum lapis berikutnya dihampar, berfungsi
pengikat di antara keduanya
5. Sebagai pengisi ruang yang kosong antara agregat kasar, agregat
halus, dan filler.Dengan memiliki fungsi tersebut maka kebanyakan aspal
dapat digunakan di dalambermacam produk - produk, termasuk: Atap
bangunan (roof), minyak bakar, tambalan lubang di jalanan, jalan aspal,
jalan dan penutup tanah, Dasar pondasi dan subdasar, tambalan dingin
untuk lubang di jalanan, trotoar kaki lima,jalan untuk mobil, lereng-
lereng, jembatan-jembatan, dan bidang parkir.

2.2.1 Sifat-Sifat Aspal


Pada proses pencampuran dan proses pemadatan sifat aspal dapat
ditunjukkan dari nilai viscositasnya, sedangkan pada sebagian besar kondisi saat
masa pelayanan, aspal mempunyai sifat viscositas yang diwujudkan dalam suatu
nilai modulus kekakuan :
Sifat aspal adalah coloidal antara asphaltens dengan maltene.
1. Sifat adhesi dan kohesi
2. Adhesi adalah kemampuan aspal untuk mengikat agregat sehingga
dihasilkan ikatan yang baik antara agregat dengan aspal.
3. Kohesi adalah kemampuan aspal untuk tetap mempertahankan agregat
tetap pada tempatnya setelah terjadi pengikatan.
4. Daya tahan (durabilitas) dimana daya tahan aspal adalah kemampuan
aspal mempertahankan sifat asalnya akibat pengaruh cuaca selama masa
pelayanan jalan. (Ediputra, 2012)
2.3 Serat
Serat adalah (Inggris: fiber) adalah suatu jenis bahan berupa potongan
potongan komponen yang membentuk jaringan memanjang yang utuh. Serat

254
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

memiliki dua jenis yaitu serat organik dan serat sintetis. Serat organik merupakan
serat yang terjadi secara alamiah meliputi serat yang diproduksi oleh
tumbuhtumbuhan dan hewan. Serat dengan jenis ini bersifat dapat mengalami
pelapukan.Serat alami dapat digolongkan kedalam beberapa pengelompkan,
yaitu:
1. Serat tumbuhan
Serat tumbuhan biasanya tersusun atas selulosa, hemiselulosa, dan
terkadang juga mengandung lignin. Contoh dari serat jenis ini yaitu katun
dan kain ramie,sabut kelapa, serat pinang, ampas tebu, ijuk, batang pisang
dan lainnya. Serat tumbuhan digunakan sebagai bahan pembuat kertas dan
tekstil.
2. Serat kayu
Serat kayu berasal dari tumbuhan berkayu. Seterti kayu dari pohon
kelapa,pinang dan lain sebagainya.
3. Serat hewan
Serat hewan umumnya tersusun atas protein tertentu. Contoh dari
serat hewan yang dimanfaatkan oleh manusia adalah serat laba-laba
(sutra) dan bulu domba (wol).
4. Serat mineral
Serat mineral umumnya terbuat dari asbeston dimana saat ini asbeston
merupakan satu- satunya mineral yang secara alami terdapat dalam
bentuk serat panjang.
5. Serat sintetis
Serat sintesis atau serat buatan manusia umumnya berasal dari bahan
petrokimia. Namun demikian, ada pula serat sintetis yang dibuat dari
selulosa alami seperti rayon. Serat sintetis terbagi menjadi dua jenis yaitu
serat mineral dan serat polimer. Serat mineral contohnya yaitu : serat kaca
(fiberglass) yang dibuat dari kuarsa, serat logam dapat dibuat dari logam
yang duktil seperti tembaga,emas, atau perak dan serat karbon (I
Putu, 2009) Selain itu, serat polimer merupakan bagian dari serat sintetis.

255
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Serat jenis ini dibuat melalui proses kimia. Bahan yang digunakan
dalam membuat serat polimer adalah sebagai berikut : polyamida nilon,
PET atau PBT poliester digunakan untuk membuat botol plastik, fenol-
formaldehid (PF), serat polivinyl alkohol(PVOH), serat polivinyl
khlorida (PVC), poliolefin (PP dan PE) polyethylene(PE), Elastomer
digunakan untuk membuat spandex serta poliuretan.

2.4 Serat Ampas Tebu


Tebu (Saccharum officinarum) merupakan salah satu komoditi pertanian
yang mengandung lignoselulosa sehingga berpotensi sebagai bahan baku
pembuatan genteng elastis. Walker (1993) mengemukakan bahwa ampas tebu
merupakan sumber alternatif utama dalam pembuatan genteng elastis. Menurut
Rowell (1998) bedasarkan inventarisasi beberapa sumber bio-based composite
keberadaan bagase mencapai 75 juta ton berdasarkan berat keringnya. Tebu
(Saccharum officinarum) memiliki kandungan zat ektraktif terutama gula atau
pati sehingga dapat menghambat proses perekatan dan akan menurunkan sifat
genteng elastis yang dihasilkan. Menurut Maloney (1993) zat ekstraktif sangat
berpengaruh terhadap konsumsi perekat, laju pengerasan perekat dan daya tahan
genteng elastis yang dihasilkannya. Selain itu bahan ekstraktif yang dapat
menguap dapat menyebabkan terjadinya blowing atau deliminasi terhadap proses
pengempaan. Perendaman partikel merupakan perlakuan yang cukup efektif
untuk mengurangi zat ekstraktif yang mana semakin lama partikel tebu
direndam dalam air dingin semakin rendah pengembangan tebal genteng elastis
yang dihasilkan.Hal ini berhubungan dengan kadar ekstraktif yaitu dengan
adanya perlakuan perendaman partikel tebu didalam air dingin akan melarutkan
sebagian zat ekstraktif yang mengakibatkan daya rekatnya lebih kuat
(Kliwon,2002).Serat ampas tebu atau bagase merupakan bahan sisa serat dari
batang tebu yang telah mengalami ekstraksi niranya dan banyak mengandung
parenkim. Serat ampas tebu atau bagase mengandung air 48%-52%, gula 2,5%-
6% dan serat 44%-48% (Saragih, 2011).

256
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

3. Metode Penelitian
Genteng elastis merupakan suatu material konstruksi yang bersifat
ringan karena tersusun dari bahan yang elastis (aspal) dan kecil (agregat pasir dan
serat ampas tebu).Genteng elastis yang dalam penelitian ini dibuat yaitu
menggunakan teknik konvensional cetak dan tekan dengan bahan baku : aspal,
agregat kasar, agregat halus dan serbuk serat ampas tebu yang dicampur dengan
pencampuran kering (dry mixing). Variasi komposisi agregat halus, agregat
kasar dan serat ampas tebu 80:0 gr, 78:2 gr, 76:4 gr,
74:6 gr, 72:8 gr, 70:10 gr dengan perekat aspal dipertahanan konstan
sebesar 20% dari massa total campuran kemudian dicampur selama 15 menit
pada suhu 100oC, kemudian dicor dan ditekan selama 1/2 jam pada suhu 120oC
dan tekanan 38 atm (38,5 x 105 Pa) dengan Hot Compressor dengan waktu
tahan 3 jam. Karakterisasi material dilakukan pada genteng elastis untuk
melihat bagaimana interaksi antar bahan dalam membentuk genteng elastis yaitu
aspal, agregat dan serat ampas tebu terhadap sifat fisis : porositas dan daya
serap air, sifat mekanik: kuat impak, kuat lentur dan kuat tekan. Dalam hal ini,
dilihat parameter yang mempengaruhi sifat-sifat dari material tersebut meliputi
pengaruh komposisi untuk memberikan gambaran interaksi untuk membentuk
suatu ikatan antar campuran bahan yang satu dengan bahan yang lain. Juga
dilihat kemungkinan- kemungkinan hasil sampingan dari produk yang ada dalam
genteng elastis tersebut.

257
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

4. Hasil dan Diskusi


4.2 Daya Serap Air
Daya serap air merupakan kemampuan penyerapan air oleh atom-atom yang
menyusun pada material tersebut. Dari hasil penelitian yang dilakukan
dengan menggunakan persamaan 4.1 sesuai dengan ASTM C-20-00-2005.

Pada Gambar 4.1 menggambarkan hubungan antara pengaruh variasi


komposisi dengan nilai daya serap air bahwa nilai daya serap air yang optimum
terjadi pada kode sampel VI dengan komposisi agregat:serat ampas tebu :
aspal yaitu 70% : 10% :20% dengan nilai daya serap air berkisar 2,72%.
Sedangkan nilai daya serap air yang kurang optimum terjadi pada kode sampel I
dengan komposisi agregat: serat ampas tebu :aspal yaitu 80% : 0% : 20% dengan
nilai daya serap air Berkisar 11,04%.Nilai daya serap air sangat
dipengaruhi denganpenambahan komposisi penguat seratampas tebu disebabkan
sifat serat tersebut . Ini terjadi karena adanya ikatan kohesivitas (adesi-kohesi)
antara lain: ikatan antar muka (interface) partikel penguat serat ampas tebu
dengan agregat kasar dan halus serta pengaruh dari perekat aspal, gaya
elektrostatik dan gaya VanDerWalls .Ikatan antar muka dari serat ampas tebu,
agregat dan aspal berhubungan dengan kekasaran permukaan partikel, dimana
semakin tinggi kekasaran partikel maka semakin luas kontak antar permukaan.
Sedangkan ikatan elektrostatik terjadi karena adanya gaya gesek antar permukaan
partikelyang diakibatkan oleh proses kompaksi (tekanan). Gaya VanDer Walls
dipengaruhi oleh besar beban penekananyangdiberikan.

258
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

4.2.2 Porositas
Porositas merupakan jumlah pori-pori yang terdapat pada material,
dimana pori-pori tersebut terbentuk karena adanya pengosongan atom-
atom atau cacat kristal. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan
menggunakan persamaan4.2
Sesuai dengan ASTMC-373-88.

Dengan perhitungan persamaan 4.2 dapat dibuat tabel pengukuran nilai


porositas material genteng sebagai berikut:

Tabel4.2 Data Hasil Pengukuran Porositas


Genteng
Kode Komposisi100g
Sampel Agregat: Aspal Massa Massa Volume Porositas
Serat Kering Jenuh
Ampas (Mk) (Mj)
Tebu
I 80%: 0% 13,49gr 14,98gr 18,09cm3 8,23%

II 78%: 2% 15,43gr 17,01gr 20,02cm3 7,89%

III 76%: 4% 20% 8,43gr 8,77gr 7,859cm3 4,33%

IV 74%: 6% 17,48gr 18,92gr 19,09cm3 7,54%

V 72%: 8% 17,42gr 18,41gr 14,48cm3 6,84%

VI 70%: 10% 14,72gr 15,12gr 8,885cm3 4,5%

Dari tabel 4.2 maka dapat dibuat grafik hubungan antara nilai porositas Terhadap
perubahan komposisi agregat dan serat ampas tebu.

259
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Dari Gambar 4.2 menunjukkan bahwa nilai porositas berbanding lurus


dengan pertambahan komposisi penguat serat ampas tebu.Semakin besar serat
yang diberikan maka semakin kecil porositas yang dihasilkan. Ini menunjukkan
bahwa pada saat diberikan suhu dan penekanan atom-atom penyusun material
tersebut mengalami difusi sehingga terjadi penyusutan pori-pori. Hasil grafik
ditunjukkan bahwa komposisi dengan nilai porositas bahwa nilai porositas
yang optimum terjadi pada kode sampelVI dengan komposisi agregat:serat ampa
stebu:aspal yaitu 70% : 10% : 20% dengan nilai porositas berkisar 4,5%.
Sedangkan nilai daya serap air yang kurang optimum terjadi pada kode sampel I
dengan komposisi agregat :serat ampas tebu :aspal yaitu 80% : 0% :20% dengan
nilai daya serap air berkisar 8,23%.

4.3 Karakterisasi Sifat Mekanik Genteng


4.3.1 Kuat Impak
Kuat impak merupakan kemampuan suatu material menahan suatu
benturan. Dari hasil penelitian yang dilakukan denganmenggunakan
persamaan 4.3 sesuai Dengan ASTMC773

Dengan perhitungan persamaan 4.3 dapat dibuat table pengukuran nilai


kuat impak material genteng sebagai berikut:

260
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Tabel 4.3Data Hasil Pengukuran Kuat Impak Genteng elastis


Kode Agregat: Aspal Luas Es Is
Sampel SeratAmpas
Tebu
1 80: 0 20,05cm2 0,26J 129,8J/m2
2 78: 2 18,12cm2 0,20J 110,4J/m2
3 76: 4 20% 16,8cm2 0,22J 130,9J/m2
4 74: 6 18,83cm2 0,22J 116,8J/m2
5 72: 8 14,73cm2 0,18J 122J/m2
6 70: 10 13,13cm2 0,16J 121,7J/m2
Dari tabel4.3 maka dapat dibuat grafik hubungan antara nilai kuat impak
Terhadap perubahan komposisi agregat dan serat ampas tebu.

Dalam Gambar4.4 diatas menunjukkan bahwa kondisi optimum diperoleh


nilai kuat impak yang tinggi pada kode sampel IVdengan komposisia
gregat: serat ampas tebu: aspal yaitu 74% : 6% : 20% dengan nilai kuat tarik
berkisar130,9 J/m2. Sedangkan kondisi kurang optimum terjadi pada kode
sampel V dengan Komposisi agregat: serat ampas tebu: aspal yaitu
72% : 8% : 20 %

4.3.2 Kuat Lentur


Kuat lentur merupakan kemampuan suatu material dapat kembali ke bentuk
semula setelah beban yang diberikan. Dari hasil penelitian yang dilakukan
dengan menggunakan persamaan 4.5 sesuai dengan ASTMD-790.

261
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

lentur material genteng sebagai berikut:


Tabel 4.4 Data Hasil Pengukuran Kuat Lentur Genteng Elastis
Kode Agregat: Aspal Beban (P) 3PL UFS
Sampe kulit Load Stroke ! (Nm) (N/m2)
l pinang
I 80: 0 0,00 17,20 * * *
II 78: 2 0,00 18,80 * * *
III 76: 4 20% 0,02 28,39 87 0,047 265,7
IV 74: 6 0,03 25,20 191 0,071 489,2
V 72: 8 0,16 39,22 930 0,376 970,8
VI 70: 10 0,58 62,53 3400 1,364 11840
Ket:*sampel hancur (jarak 8cm, beban max 100 kgf dan kecepatan 50mm/menit)
Dari tabe l4.4 maka dapat dibuat grafik hubungan antara nilai kuat lentur
Terhadap perubahan komposisi agregat dan serat amaps tebu.

Dalam Gambar 4.4 diatas menunjukkan bahwa kondisi optimum


diperoleh nilai kuat lentur yang tinggi pada kode sampel VI dengan komposisi
agregat: serat ampas tebu:aspal yaitu 70% : 10% :20% dengan nilai kuat
tarik berkisar 11840N/m2. Sedangkan kondisi kurang optimum terjadi pada
kode sampel III dengan komposisi agregat: serat ampas tebu: aspal yaitu 76%
:4% : 20% dengan nilai kuat tarik berkisar 265,7N/m2

262
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

4.3.3 Kuat Tarik


Kuat tarik merupakan kemampuan suatu material menahan suatu beban
dan mengalami deformasi. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan
menggunakan persamaan 4.5 sesuai dengan ASTMC773.

Dengan perhitungan persamaan 4.5 dapatdibuat table pengukuran nilai


kuat tarik material genteng sebagai berikut:
Tabel 4.5 Data Hasil Pengukuran Kuat Tarik Genteng
Kode Agregat Aspal Panjang Lebar Luas Load Stroke !f
Sampel : kulit (cm) (cm) (cm2) (N/m2)
pinang

I 80: 0 7,30 1,425 10,41 * * *


II 78: 2 9,27 1,32 12,24 * * *
III 76: 4 20% 10,87 1,72 18,70 0,63 0,34 3300
IV 74: 6 10,30 1,49 15,35 0,43 15,51 2700
V 72: 8 10,35 1,75 18,12 1,02 15,84 5500
VI 70: 10 10,51 1,575 16,56 0,59 20,55 3500

Ket:*sampel hancur ( jarak 8cm, beban max 100kgf dan kecepatan 50mm/menit)

Dari table 4.5 maka dapat dibuat grafik hubungan antara nilai kuat tarik
terhadap perubahan komposisi agregat dan serat kulit pinang.

263
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Dalam Gambar4.5 diatasme nunjukkan bahwa kondisi


optimumdiperoleh nilai kuat tarik yang tinggipada kode sampel V dengan
komposisi agregat : ampas tebu:aspal yaitu 72% : 8% : 20% dengan nilai
kuat tarik berkisar 5500N/m2. Sedangkan kondisi kurang optimum terjadi
pada kode sampel IV dengan komposisi agregat : serat ampas tebu: aspal yaitu
74% : 6% : 20% dengan nilai kuat tarik berkisar 2700N/m2. Nilai kuat tarik ini
tidak hanya dipengaruhi oleh struktur mikromaterial, yang meliputi rongga dan
retakan yang terbentuk pada saat penekanan dan suhu yang diberikan, tetapi
juga dipengaruhi oleh sifat serat penyusun material tersebut.

5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat
diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Telahdilakukan pembuatan genteng berbahan baku agregat kasar dan
agregat halus yang diperkuat serat ampas tebu dengan perekat aspal
menggunakan teknik konvensional cetak dan tekan.
2. Dalam penelitian diperoleh komposisi yang optimum pada variasi
komposisi agregat:seratampas tebu: aspal yaitu70:10:20gr memiliki sifat
fisis uji daya serap air2,72%,porositas 4,5%.Kemudian memiliki sifat
mekanik kuat impak129,8J/m2,kuat lentur11840N/m2dan
kuattarik3500N/m2
3. Pada penelitian diperoleh genteng yang memiliki sifat mekanik yang
baik yaitu yang optimum yaitu agregat: serat ampas tebu: aspal
yaitu70:10:20gr dengan nilai kuat impak129,8 J/m2,kuat lentur
11840N/m2dan kuat tarik 3500 N/m2dapat diaplikasikan sebagai untuk
konsep baru material konstruksi bagian atap rumah yang ramah
lingkungan pengganti genteng konvensional.

264
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

6. Daftar Pustaka
Ariyadi,Yulli.2010.Pengujian Karakteristik Mekanik Genteng. ProgramStudi
TeknikMesin.FakultasTeknik.UniversitasMuhammadiyahSurakarta.http://et
d.eprt.ums.ac.id/10073/2/D200020067.pdfdiakses tanggal21 Desember2014.
Asiyanto.2008.Metode Konstruksi Proyek Jalan.Jakarta:UniversitasIndonesia
Press.
Asnawi.2011. Pembuatan Genteng dari Pemanfaatan LDPE (Low Density
Polyethilen) Bekas, Aspal Iran, dan Agregat Pasir Halus
http://resipotery.usu.ac.id.Diaksestanggal20Desember2014.
Damayanthi,R.2007.Proses Pembuatan Bahan Bakar Cairdengan Memanfaatkan
Limbah Ban Bekas Menggunakan Katalis ZeolitY dan ZSM-5.Semarang:
Universitas Diponegoro.
Ediputra,K.2004.Studi Campuran Aspal Dengan Ban Bekas(Tire Rubber)
Sebagai Bahan Baku Genteng Polymer Menggunakan Bahan Perekat
Isosianat: Universitas Sumatera Utara.
Latif,Syafruddin.2009. Perencanaan dan Pencetakan Genteng Polimer.Diakses
tanggal 21 Desember 2014.
Saragih,DeliNatalia.2007.Pembuatan dan Karakterisasi Genteng Betonyang
Dibuat dari Pulp SeratDaun Nenas-SemenPortland Pozolan. Program
StudiFisika.fakulats MIPA. Universitas SumateraUtara.Medan.
http://repository.usu.ac.id/xmlui/handle/123456789/14210Diaksestanggal
21Desember2016.

265

  
 

ANALISA PROFIL ALIRAN FLUIDA AMMONIA CAIR DALAM


TUBULAR REAKTOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE
COMPUTATIONAL FLUID DINAMICS (CFD)

Amiruddin1, Azhari1, Wusnah1


1
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh
Laboratorium Teknik Kimia, Jl. Batam No. 2, Bukit Indah, Lhokseumawe 24353
e-mail: amirkubik@gmail.com

Abstrak

Tubular reaktor merupakan suatu jenis reaktor yang banyak digunakan dalam
industri. Profil aliran fluida ammonia cair dalam tubular reaktor sangat penting
untuk diketahui guna melihat turbulensi suatu fluida dalam tubular reaktor.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil aliran fluida ammonia cair
diantaranya viscositas, suhu, NRe yang mempengaruhi profil aliran didalam
tubular reaktor dengan bantuan aplikasi computational fluid dynamics (CFD).
Software yang digunakan dalam penelitian ini adalah autodesk inventor dan
autodesk simulation CFD. Hasil simulasi yang dilakukan pada tubular reaktor
dengan memvariasikan laju alir massa dan temperature dimana semakin kecil
laju alir massa maka semakin besar bilangan Reynold dan bilangan Reynold
terbesar adalah 157.547,077 terjadi pada laju alir massa 46.000 kg/jam dengan
suhu 93C dan bilangan Reynold terendah adalah 79.584 terjadi pada laju alir
massa 66.000 kg/jam dengan suhu 83C. Temperature 73C nilai viscositas
ammonia cair adalah 0,0001 Pa.s dan temperature 83C nilai viscositasnya
0,00007 Pa.s. Besarnya nilai viscositas didalam tubular reaktor berbanding
terbalik dengan perubahan temperature ammonia cair.

Kata kunci :tubular reaktor, laju alir massa, turbulensi, bilangan Reynold,
Computational Fluid Dynamics(CFD)

1. Pendahuluan
Tersedianya sumber daya migas yang potensial sebagai bahan baku
merupakan faktor penting untuk tumbuh dan berkembangnya industri petrokimia
yang produknya selain memenuhi kebutuhan domestik juga dapat diekspor.
Industri pupuk urea dari bahan baku gas alam merupakan salah satu industri
strategis nasional yang berperan penting dalam menyediakan kebutuhan pupuk
sebagai komoditas yang memiliki peran sangat strategis di sektor pertanian dalam



  
 

rangka menunjang program ketahanan pangan nasional. Data tahun 2005


menunjukkan total konsumsi urea untuk kebutuhan pertanian, perkebunan dan
industri adalah sebesar 5.422,606 ton/tahun, sementara sebanyak 732,909 ton
dapat terjual untuk ekspor.

Urea adalah suatu senyawa organik yang terdiri dari unsur karbon, hidrogen,
oksigen dan nitrogen dengan rumus CON2H4 atau (NH2)2CO. Urea juga dikenal
dengan nama carbamide yang terutama digunakan di kawasan Eropa. Nama lain
yang juga sering dipakai adalah carbamide resin, isourea, carbonyl diamide dan
carbonyldiamine. Senyawa ini adalah senyawa organik sintesis pertama yang
berhasil dibuat dari senyawa anorganik. Tubular Reactor (Plug Flow Reactor)
sering digunakan sebagai alat sinstesis urea. Penggunaan PFR sering dijumpai
sebagai alat sintesis bahan-bahan kimia. PFR juga dijumpai pada industri-industri
kimia dengan temperatur dan tekanan tinggi untuk kondisi operasinya.

Kinerja sebuah PFR urea biasanya ditinjau dari aspek konversi sintesis
ureanya. Parameter proses yang mempengaruhi konversi sintesis urea adalah suhu,
perbandingan mol H2O/CO2 dan perbandingan mol NH3/CO2. Namun perlu
diketahui selain faktor suhu, perbandingan mol H2O/CO2 dan perbandingan mol
NH3/CO2 seperti uraian diatas, ada faktor-faktor lain baik dari teknik proses
maupun ekonomi yang menjadi pertimbangan terhadap kondisi operasi yang
dipilih.

2. Tinjauan Pustaka
Fluida adalah zat yang tidak dapat menahan perubahan bentuk (distorsi)
secara permanen. Bila kita mencoba mengubah bentuk suatu massa fluida, maka
di dalam fluida tersebut akan terbentuk lapisan-lapisan di mana lapisan yang satu
akan mengalir di atas lapisan yang lain, sehingga tercapai bentuk baru. Selama
perubahan bentuk tersebut, terdapat tegangan geser (shear stress), yang besarnya
bergantung pada viskositas fluida dan laju alir fluida relatif terhadap arah tertentu.
Bila fluida telah mendapatkan bentuk akhirnya, semua tegangan geser tersebut
akan hilang sehingga fluida berada dalam keadaan kesetimbangan. Pada



  
 

temperatur dan tekanan tertentu, setiap fluida mempunyai densitas tertentu. Jika
densitas hanya sedikit terpengaruh oleh perubahan yang suhu dan tekanan yang
relatif besar, fluida tersebut bersifat incompressible. Tetapi jika densitasnya peka
terhadap perubahan variabel temperatur dan tekanan, fluida tersebut digolongkan
compressible.

Zat cair biasanya dianggap zat yang incompresible, sedangkan gas


umumnya dikenal sebagai zat yang compresible. Perilaku zat cair yang mengalir
sangat bergantung pada kenyataan apakah fluida itu berada di bawah pengaruh
bidang batas padat atau tidak. Di daerah yang pengaruh gesekan dinding kecil,
tegangan geser dapat diabaikan dan perilakunya mendekati fluida-ideal, yaitu
incompresible dan mempunyai viskositas 0.Aliran fluida ideal yang demikian
disebut aliran potensial. Pada aliran potensial berlaku prinsip-prinsip mekanika
Newton dan hukum kekekalan massa. Aliran potensial mempunyai 2 ciri pokok:

1. Tidak terdapat sirkulasi ataupun pusaran sehingga aliran potensial itu disebut
aliran irotasional.

2. Tidak terjadi gesekan sehingga tidak ada disipasi (pelepasan) dari energy
mekanik menjadi kalor.

Bilangan Reynold

Bilangan Reynold aliran digunakan untuk menunjukkan sifat utama aliran,


yaitu apakah aliran adalah laminar, turbulen, atau transisi serta letaknya pada
skala yang menunjukkan pentingnya secara relatif kecenderungan turbulen
berbanding dengan laminar (Raswari, 1987) ditunjukkan dalam persamaan 2.1
berikut ini:

 
Nre = (2.1)

Dimana :
v = kecepatan aliran fluida (m/s)
D = diameter dalam pipa (m)




  
 

= massa jenis fluida (kg/m3)


= viskositas dinamik fluida (kg/m.s)

Pada fluida cair, suatu aliran diklasifikasikan laminar apabila aliran tersebut
mempunyai bilangan Reynold (Re) kurang dari 2300. Untuk aliran transisi berada
pada bilangan 2300 < Re < 4000, disebut juga sebagai bilangan Reynold kritis.
Sedangkan untuk aliran turbulen mempunyai bilangan Reynolds lebih dari 4000.

Rapat Jenis (Density)

Rapat jenis atau density (!) adalah ukuran konsentrasi suatu zat dan
dinyatakan dalam satuan massa per satuan volume. Sifat ini ditentukan dengan
cara menghitung ratio massa zat yang terkandung dalam suatu bagian tertentu
terhadap volume bagian tersebut. Hubungannya dapat dinyatakan dalam
persamaan 2.2 berikut :

!= (2.2)

Dimana :
! = massa density (kg/m3
m = massa fluida (kg)
V = volume fluida (m3)

Viskositas

Viskositas fluida adalah ukuran ketahanan suatu fluida terhadap deformasi


atau perubahan bentuk. Viskositas dipengaruhi oleh temperatur, tekanan, kohesi
dan laju perpindahan momentum molekularnya. Viskositas zat cair cenderung
menurun dengan seiring bertambahnya kenaikan temperatur hal ini disebabkan
gayagaya kohesi pada zat cair bila dipanaskan akan mengalami penurunan
dengan semakin bertambahnya temperatur pada zat cair yang menyebabkan
berturunnya viskositas dari zat cair tersebut. Viskositas dibedakan atas dua macam
yaitu :
1. Viskositas kinematik, adalah perbandingan antara viskositas mutlak terhadap
rapat jenis / density seperti yang ditunjukkan dalam persamaan 2.3 berikut:



  
 

v= (2.3)

Dimana :
= nilai dari viskositas mutlak atau viskositas dinamik (kg./m.s)
! = nilai kerapatan massa fluida (kg/m3)

2. Viskositas dinamik atau viskositas mutlak mempunyai nilai sama dengan


hukum viskositas Newton seperti yang ditunjukkan dalam persamaan 2.4
berikut:

= (2.4)


Dimana :
" = tegangan geser pada fluida (N/m2)
du/dy = gradient kecepatan ((m/s)/m)
Aliran Laminar
Aliran laminar didefinisikan sebagai aliran dengan fluida yang bergerak
dalam lapisan-lapisan, atau lamina-lamina dengan satu lapisan meluncur secara
merata. Dalan aliran laminar ini viskositas berfungsi untuk meredam
kecenderungan-kecenderungan terjadinya gerakan relative antara lapisan.
Sehingga aliran laminar memenuhi pasti hukum viskositas Newton.
Aliran dalam pipa terhadap sumbu z tidak simetris sehingga diperlukan
kontrol volume diferensial yang berbeda dibandingkan dengan kontrol volume
pada aliran di antara plat datar. Bentuk kontrol volumenya adalah bentuk cincin
dan dengan dua sumbu yaitu sumbu x dan sumbu r seperti gambar 2.1

Gambar 2.1 Kontrol volume cincin untuk analisa aliran dalam pipa

 

  
 

Aliran Turbulen

Aliran turbulen didefinisikan sebagai aliran yang dimana pergerakan


partikel-partikel fluida sangat tidak menentu karena mengalami pencampuran
serta putaran partikel antar lapisan, yang mengakibatkan saling tukar momentum
dari satu bagian fluida kebagian fluida yang lain dalam skala yang besar. Dalam
keadaan aliran turbulen maka turbulensi yang terjadi mengakibatkan tegangan
geser yang merata diseluruh fluida sehingga menghasilkan kerugian- kerugian
aliran.

Jenis fluida berdasarkan kemampuan menahan terhadap tekanan terbagi


menjadi 2 jenis yaitu :
1. Fluida incompressible (tidak termampatkan)

Fluida incompressible yaitu fluida yang tidak dapat dikompressi


atauvolumenya tidak dapat ditekan menjadi lebih kecil sehingga massa jenisnya
konstan.Contoh: Air.

2. Fluida compressible (termampatkan)

Fluida compressible yaitu fluida yang dapat dikompressi atau


volumenyadapat ditekan menjadi lebih kecil sehingga massa jenisnya tidak
konstan.Contoh: Gas nitrogen dan gas oksigen

Tabel 2.1 Sifat Air (Viskositas Kinematik) Pada Tekanan Atmosfer


Suhu Viskositas Kinematik (v) Suhu Viskositas Kinematik (v)
C m2/det C m2/det

0 1.795 10-6 50 0.556 10-6

5 1.519 10-6 60 0.477 10-6

10 1.308 10-6 70 0.415 10-6

20 1.007 10-6 80 0.367 10-6

30 0.804 10-6 90 0.328 10-6

 

  
 

40 0.661 10-6 100 0.296 10-6

Sumber : Triatmojo 1996

Aliran viskos dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam. Apabila pengaruh


kekentalan (viskositas) adalah cukup dominan sehingga partikel-partikel zat cair
bergerak secara teratur menurut lintasan lurus maka aliran disebut laminar. Aliran
laminar terjadi apabila kekentalan besar dan kecepatan aliran kecil. Dengan
berkurangnya pengaruh kekentalan atau bertambahnya kecepatan maka aliran
akan berubah dari laminar menjadi turbulen. Pada aliran turbulen partikel-partikel
zat cair bergerak secara tidak teratur.

Plug Flow Reactor (PFR)

Plug flow reactor adalah suatu alat yang digunakan untuk mereaksikan
suatu reaktan dalam hal ini fluida dan mengubahnya menjadi produk dengan cara
mengalirkan fluida tersebut secara berkelanjutan (continuous). Biasanya reaktor
ini dipakai untuk mempelajari berbagai proses kimia yang penting seperti
perubahan senyawa kimia, reaksi termal dan lain-lain.

Plug flow reactor biasanya digunakan untuk mempelajari beberapa proses


penting seperti reaksi termal dan reaksi kimia plasma dalam aliran gas yang cepat
serta daerah katalis. Dalam beberapa kasus, hasil yang didapat tidak hanya
membantu kita dalam memahami karakteristik proses-proses kimia, tetapi juga
dapat memberikan kita pengertian praktis dari proses-proses kimia yang penting.
Bagian-bagian PFR ditunjukkan pada Gambar 2.2

 

  
 

Gambar 2.2 Bagian-bagian


Bagian bagian PFR (Nirmalayahdi, 2013)

Prinsip Kerja Plug Flow Reactor (PFR)

Prinsip kerja dari PFR adalah terdapatnya cairan dan gas yang bereaksi dan
mengalir dengan cara melewati tube (tabung) dengan kecepatan tinggi, tanpa
cepat Reaktan diinjeksikan ke dalam
terjadi pembentukan arus putar pada aliran cepat.
lintasan tengah, sementara itu gas inert disalurkan melalui dinding pipa. Kita
berasumsi bahwa hanya pada dasar pipa terdapat endapan, akibat
aki kondisi pipa
yang panas.

Gambar 2.3 Prinsip Kerja PFR (Nirmalayahdi, 2013)

 

  
 

Autodesk Inventor

Autodesk Inventor merupakan program yang dirancang khusus untuk


keperluan bidang teknik seperti desain produk, desain mesin, desain mold, desain
konstruksi, atau keperluan teknik lainnya. Autodesk Inventor adalah program
pemodelan solid berbasis fitur parametrik, artinya semua objek dan hubungan
antargeometri dapat dimodifikasi kembali meski geometrinya sudah jadi, tanpa
perlu mengulang lagi dari awal. Hal ini sangat memudahkan kita ketika sedang
dalam proses desain suatu produk atau rancangan. Untuk membuat suatu model
3D yang solid ataupun surface, kita harus membuat sketch-nya terlebih dahulu
atau mengimpor gambar 2D dari Autodesk Autocad. Setelah gambar atau model
3D tersebut jadi, kita dapat membuat gambar kerjanya menggunakan fasilitas
drawing.

Autodesk Inventor juga mampu memberikan simulasi pergerakan dari


produk yang kita desain serta mempunyai alat untuk menganalisis kekuatan. Alat
ini cukup mudah digunakan dan dapat membantu kita untuk mengurangi
kesalahan dalam membuat desain. Dengan demikian, selain biaya yang harus kita
keluarkan akan berkurang, time to market dari benda yang kita desain pun dapat
dipercepat karena kita sudah mensimulasikan terlebih dahulu benda yang kita
desain di komputer sebelum masuk ke proses produksi.

Autodesk Simulation CFD

Autodesk Simulation CFD merupakan program simulasi aliran fluida dan


termal untuk membantu menganalisa aliran fluida dan pergantian panas di dalam
maupun di luar bangunan. Adapun faktor-faktor seperti tampilan estetis,
kenyamanan termal, kualitas udara dalam ruang, dan kebutuhan keamanan
menjadi pertimbangan. Autodesk Simulation CFD juga menyajikan simulasi yang
nyata untuk membantu dalam menciptakan desain yang hemat energi dan
berkelanjutan.

Autodesk Simulation CFD ini telah digunakan untuk beberapa penelitian.


ElDabosy (2013) menggunakan program ini untuk mengevaluasi desain fasad dan

 

  
 

bangunan untuk menciptakan ventilasi alami yang dapat meningkatkan kualitas


ruang pada bangunan, sehingga tercipta kenyamanan termal. Kemudian, Zhang
(2013) juga menggunakan program ini untuk menyimulasikan kondisi angin dan
temperatur di taman Chanba. Adapun dari hasil simulasi tersebut, diperoleh solusi
perencanaan kota dan desain layout, orientasi bangunan, desain hemat energi, dan
pemanfaatan energi.

3. Metode Penelitian
Secara keseluruhan proses simulasi untuk penelitian ini ada 6 langkah yang
sebelumnya dimulai dari pembentukan geometri, dapat dilihat pada diagram alir
prosedur simulasi pada Gambar 3.1 berikut ini :

Gambar 3.1 Langkah Pembuatan Geometri Dan Proses Simulasi

 

  
 

Penggambaran Geometri Tubular Reactor

Hal yang perlu dilakukan pertama kali sebelum melakukan proses simulasi
adalah dengan membuat model geometri tubular reaktor. Asumsi penyederhanaan
model yang dilakukan adalah dengan mengganggap ketebalan tubular reaktor
diabaikan. Dalam pembuatan model menggunakan software Autodesk Inventor.

Tahap Desain Permodelan Pada Autodesk Inventor

Autodesk Inventor merupakan salah satu perangkat lunak analisis komputasi


untuk membantu membuat gambar atau model untuk disimulasikan ke software
Autodesk Simulation CFD.

Pada Autodesk Inventor ini untuk mendasain gambar (2D dan 3D) yang
akan disimulasikan, sedangkan yang akan kita simulasikan akan berbentuk 3D.
Setelah model gambar 3D selesai, selanjutnya diinput ke Autodesk Simulation
CFD.

Pembuatan Kondisi Fisik Model

Sebelum masuk pembuatan fisik model geometri yang telah dibuat dalam
Autodesk Inventor di ekstrak ke software Autodesk Simulation CFD. Setelah itu
klik pada bagian geometri lalu pilih void fill. Pada void fill pilih edge lalu arahkan
menuju diameter reaktor lalu pilih build surface dan fill void. Ini dilakukan untuk
pembuatan volume dalam reaktor. Lalu pada bagian material disini adalah untuk
pemilihan jenis reaktor yang digunakan dan juga pemilihan jenis bahan yang
masuk pada reaktor.

3.1.1 Pembuatan Kondisi Batasan (Boundary Condition)

Boundary condition merupakan definisi dari zona-zona yang telah terdifinisi


sebelumnya pada software Autodesk Inventor. Selanjutnya, kita menentukan
daerah-daerah batas untuk benda tersebut. Karena tiap-tiap permukaan
mempunyai kondisi batas yang berbeda sesuai dengan proses yang terjadi pada
saat fluida mengalir. Dalam Autodesk Simulation CFD nilai-nilai dan
karakteristik dari masing-masing disini dimasukkan .

 

  
 

Pembuatan Meshing

Meshing adalah proses dimana geometri secara keseluruhan dibagi-bagi


dalam elemen-elemen kecil. Elemen-elemen kecil ini nantinya berperan sebagai
control surface atau volume dalam proses perhitungan yang kemudian tiap-tiap
elemen ini akan menjadi inputan untuk elemen sebelahnya. Hal ini akan terjadi
berulang-ulang hingga domain terpenuhi.

Proses Iterasi

Langkah terakhir adalah proses Iterasi pada gambar yang telah ditetapkan.
Klik solve pada bagian kiri, pilih adaptation lalu pada bagian enable adaption pilih
kolom cycles to run isi angka yang diinginkan untuk berapa kali pengulangan
iterasi. Setelah itu klik solve agar simulasi berjalan.

4. Hasil dan Diskusi


Tubular Reaktor

Gambar 4.1 menggambarkan bentuk tubular reaktor dengan diameter 2,16 m


dan tinggi 29,7 m. penggambaran model dilakukan menggunakan software
autodesk inventor.

Gambar 4.1 Tubular Reaktor dengan diameter 2,16 meter dan tinggi 29,7 meter.

Profil Aliran Fluida Dengan Menggunakan CFD



  
 

Gambar 4.2 Profil Viscositas Pada T=73C Gambar 4.3 Profil Viscositas Pada T=83C

Pada gambar 4.2 dan 4.3 menunjukkan bahwa besarnya nilai viscositas suatu
fluida cair yaitu ammonia dipengaruhi oleh besar kecilnya suatu temperature yang
digunakan, pada gambar 4.2 suhu yang digunakan adalah 73C dengan nilai
viscositasnya sebesar 0,0001 Pa.s dan pada gambar 4.3 suhu yang digunakan
adalah 83C nilai viscositasnya sebesar 0,00007 Pa.s, dimana untuk mass flow
yang diinput kedalam tubular reaktor masing-masing sebesar 46.000 kg/jam. Hal
ini menunjukkan bahwa semakin besar suhu yang digunakan pada suatu kondisi
operasi ammonia cair tersebut maka nilai viscositas akan semakin
menurun.(Bird,1993)

Gambar 4.4 Profil Viscositas Terhadap P, T=73C Gambar 4.5 Profil Viscositas Terhadap P, T=83C

Pada gambar 4.4 dan 4.5 menampilkan bahwa besarnya nilai viscositas suatu
fluida cair yaitu ammonia juga dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur yang
digunakan, pada gambar 4.4 suhu yang digunakan adalah 73C dan tekanannya
3x105 Pa, nilai viscositasnya sebesar 0,00008 Pa.s dan pada gambar 4.5 suhu yang
digunakan 83C dan tekanannya 4,4x105 Pa, nilai viscositasnya sebesar 0,00013
Pa.s, dimana untuk mass flow yang diinput kedalam tubular reaktor masing-
masing sebesar 56.000 kg/jam. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar


  
 

tekanan yang digunakan pada suatu kondisi operasi yaitu ammonia maka nilai
juga viscositasnya juga semakin meningkat.(Rohana,2009)

Tabel 4.1 Data Hasil Simulasi Profil Aliran Fluida Ammonia Cair Dalam Tubular
Reaktor Dengan Mengggunakan Metode CFD
Suhu Suhu Tekanan
Mass flow
Sebelum Sesudah Pada Viskositas Reynold
No ammonia
Simulasi Simulasi Reaktor (Pa.s) number
(Kg/jam)
(C) (C) (Pa)
1 46.000 73 73 3,8x105 0,0001 111.974,4
2 56.000 73 73 3x105 0,00008 139.968
3 66.000 73 73 2,8x105 0,000075 149.299,2
4 46.000 83 83 2,9x105 0,00007 153.483,428
5 56.000 83 83 4,4x105 0,00013 82.644,923
6 66.000 83 83 4,5x105 0,000135 79.584
7 46.000 93 93 2,75x105 0,000065 157.547,077
8 56.000 93 93 4x105 0,00012 85.338
9 66.000 93 93 3x105 0,00008 128.007

Dari tabel 4.1 menunjukkan profil aliran fluida ammonia cair, pada laju
alir massa 46.000 kg/jam dengan temperatur 73C menunjukkan pola aliran
didalam tubular reaktor adalah turbulen dengan nilai bilangan reynold 111.974,4.
Secara keseluruhan jenis aliran didalam tubular reaktor adalah turbulen yang
ditinjau dari nilai bilangan reynold untuk setiap variasi laju alir massanya.
Berdasarkan hasil simulasi menggunakan metode CFD profil nilai viskositas
didalam tubular reaktor untuk keseluruhan mengalami perubahan seiring dengan
berubahnya temperature dan tekanan. Pada temperature 73C dengan mass flow
ammonia cair 46.000 kg/jam, nilai viscositasnya sebesar 0,0001 Pa.s dan pada
temperature 83C dengan mass flow 46.000 kg/jam, nilai viscositasnya sebesar
0,00007 Pa.s. Kondisi ini menunjukkan bahwa seiring meningkatnya suhu operasi
didalam tubular reaktor maka semakin menurun nilai viscositas ammonia cair
didalam reaktor tersebut(Bird,1993). Pada tekanan 3x105 Pa dan suhu 73C



  
 

dengan mass flow 56.000 kg/jam nilai viscositas ammonia cair didalam tubular
reaktor 0,00008 Pa.s dan pada tekanan 4,4x105 Pa dan suhu 83C dengan mass
flow 56.000 kg/jam nilai viscositas ammonia cair didalam tubular reaktor 0,00013
Pa.s. Kondisi ini menunjukkan semakin besar tekanan operasi didalam tubular
reaktor maka nilai viskositas pada ammonia cair tersebut akan semakin
meningkat(Rohana,2009).

5. Simpulan

1. Hasil Penelitian dengan simulasi yang dilakukan pada tubular reaktor


dengan variasi laju alir massa dan temperature dimana semakin kecil laju
alir massa maka semakin tinggi nilai bilangan Reynold.
2. Bilangan Reynold tertinggi terjadi pada laju alir massa 46.000 kg/jam, nilai
bilangan reynoldnya 157.547,077 dengan temperature 93C, sedangkan
yang terendah terjadi pada laju alir massa 66.000 kg/jam, dengan bilangan
reynoldnya 79.584 dengan temperature 83C.
3. Viscositas dari hasil simulasi menunjukkan semakin besar tekanan operasi
didalam tubular reaktor maka viscositas ammonia cair juga akan semakin
meningkat dan semakin besar suhu yang digunakan didalam tubular reaktor
maka nilai viscositas ammonia cair akan menurun.
4. Aliran didalam tubular reaktor adalah turbulen, yang ditandai dengan
besarnya nilai bilangan Reynold
6. Daftar Pustaka

Abdul, K. 2005. Laju Reaksi dan Mekanisme Reaksi Kimia. Universitas


Mulawarman. Samarinda.
Anwar Ilmar R, Ery D. 2014. Studi Analitik Pola Aliran Dan Distribusi Suhu
Dinding Elemen Bakar Silinder di Teras Reaktor Nuklir Small Modular
Reactor (SMR). Siposium Nasional Teknologi Terapan (SNTT)2.ISSN :
2339-028X.
Autodesk, Inc. 2011. Autodesk Simulation CFD 2012. USA.
ElDabosy. 2013. Mengevaluasi Desain Fasad dan Bangunan Untuk Menciptakan
Ventilasi Alami Pada Ruangan. Spanyol.




  
 

Levenspiel, O. 1996. Chemical Reaction Engineering Third Edition.


Departement of Chemical Engineering Oregon State University. USA.
Mc Cabe, W. L. 1993. Unit Operations of Chemical Engineering International
Editions. Singapore.
Noviansyah, C. 2014. Simulasi Perancangan Ruang Pengering. Jurusan Teknik
Mesin Universitas Lampung. Lampung.
Piotrowski. 1998. Konversi Kesetimbangan.Inggris.
Sukarsono, dkk. 2012. Variasi Kecepatan Alir Gas Pada Proses Pelapisan Kernel
UO2 Dengan CFD. Jurnal Iptek Nuklir Ganedra Vol.15 No. 1: 7-20..
Widodo, S.W. 2007, Formulasi Sistematika Knowledge-Based Engineering
Untuk Penanganan Permasalahan Proses Dengan Studi Kasus Reaktor Urea
Pabrik Kaltim-1. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Zhang. 2013. Simulasi Kondisi Angin dan Temperatur di Taman Chanba dengan
Autodesk Simulation CFD. Korea Utara.




  
 

OPTIMASI KONDISI OPERASI PADA SISTEM ADSORPSI BESI (Fe2+)


MENGGUNAKAN KOLOM FIX BED SECARA KONTINYU

Novi Sylvia1*, Fikri Hasfita1, Meriatna1 , Fitriani1, dan Malasari Nasution1


1
Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Malikussaleh
*
Korespondensi: e-mail: nxsylvia@gmail.com

Abstrak

Air tanah sebagai salah satu sumber air baku biasanya memiliki kandungan
logam besi (Fe) yang relatif tinggi sehingga perlu diolah. Salah satu alternatif
pengolahan yang dapat dilakukan adalah adsorpsi. Salah satu material yang
dapat digunakan sebagai adsorben adalah karbon aktif. Sehubungan dengan itu
perlu dilakukannya penelitian optimasi penyisihan Fe air tanah menggunakan
karbon aktif sebagai adsorben dengan menggunakan Response Surface
Methodology berdasarkan desain. Response Surface Methodology merupakan
Pemodelan yang menetapkan hubungan secara matematis antara variabel proses
yang berinteraksi dan optimasi proses dalam menentukan nilai faktor respon
persen penjerapan (removal efficiency) maksimal. Tujuan penelitian ini adalah
menganalisis optimasi kondisi operasi kolom adsorpsi dalam menyerap logam
Fe (besi) air tanah. Penelitian dilakukan secara kontinyu dengan variasi tinggi
unggun adsorben 7,5; 10 dan 12,5 cm, waktu kontak 20; 40; dan 60 menit, dan
laju alir fluida 6, 10 dan 14 L/menit. Konsentrasi Fe diukur dengan
Spektrofotometer Serapan Atom (SSA). Hasil penelitian menunjukkan, kondisi
optimum penyisihan Fe pada larutan pada air tanah adalah pada tinggi unggun
11,36 cm, waktu kontak 55,67 menit dan laju alir 6 L/mnt dengan perolehan
persentase penjerapannya 95,598%.

Kata kunci: Adsorpsi, optimasi, air tanah, logam besi (Fe2+) dan karbon aktif

1. Pendahuluan
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat berguna bagi
kehidupan. Kebutuhan air terutama air bersih makin meningkat sejalan dengan
perkembangan masyarakat dan teknologi. Perkembangan penduduk yang pesat
membutuhkan berbagai fasilitas antara lain air bersih. Sedangkan dengan
bertambahnya industri yang didirikan, bukan timbul pencemaran antara lain
berupa buangan limbah industri. Limbah merupakan buangan yang kehadirannya

282

  
 

pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungannya karena tidak
mempunyai nilai ekonomi. (Suhendrayatna, 2001).
Air tanah biasanya memiliki kandungan besi yang relatif tinggi. Kadar Fe
dalam jumlah sedikit diperlukan untuk pembentukan sel darah merah, tetapi jika
kadarnya terlalu besar dapat berdampak buruk bagi kesehatan manusia dan
lingkungan. Oleh karena itu pada beberapa sumber air tanah harus dilakukan
pengolahan terlebih dahulu sebelum digunakan. Salah satu pengolahan yang dapat
digunakan untuk menyisihkan logam Fe dalam air tanah adalah Adsorpsi (Nunik,
2013). Adsorpsi dilakukan dengan penambahan adsorben, karbon aktif atau
sejenisnya. Sistem pada adsorpsi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu
sistem batch dan sistem kontinyu (kolom) (Ivana et.al 2012).
Messaoudi et. al (2016) melakukan penelitian tentang biosorpsi Kongo
merah dalam fixed-bed kolom dari larutan menggunakan shell jujube. Variabel
proses bed depth (2, 4 dan 6 cm), flow rate (2,8, 4,5 dan 6,4 L / min), konsentrasi
influen CR (100, 200 dan 300 mg / L) dan ukuran partikel (50-100, 100-315, 315-
500 dan 500-1000 m). Kapasitas biosorpsi tertinggi (80,49 mg/ g) dari 100 mg / L
larutan CR dicapai pada laju alir 2,8 mL / menit, bed depth 4 cm dan JS ukuran
partikel 50-100 pM. Data yang diperoleh sesuai dengan model Thomas. Namun
demikian, tidak ada penelitian yang telah ditemukan dalam literatur untuk
optimasi adsorpsi zat besi dalam sistem kontinyu. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengoptimalkan kondisi adsorpsi besi dengan karbon aktif granular
dalam kolom fixed-bed menggunakan Response Surface Methodology (RSM).
Pengaruh variabel termasuk bed depth, waktu kontak dan flow rate terhadap hasil
adsorpsi diselidiki oleh tiga variabel-tiga-tingkat Box-Behnken Desain (BBD).
Model empiris yang berhubungan dengan variabel tanggap persen penjerapan
(removal efficiency) terhadap tiga variabel proses kemudian dikembangkan.

2. Bahan dan Metode


Sampel air sumur yang digunakan berasal dari sumur laboratorium teknik kimia
dengan kandungan logam Fe 0.169 mg/l, dengan pH 7.09. Sampel dianalisis untuk
mengetahui karakteristik awal sampel. Penelitian ini dilakukan dalam skala

283

  
 

laboratorium di Laboratorium Jurusan Teknik Kimia UNIMAL. Optimasi


adsorpsi menggunakan adsorben karbon aktif commercial dilakukan dengan cara
mengalirkan air sumur bor ke dalam kolom adsorpsi yang telah diisi adsorben
karbon aktif dengan menvariasikan tinggi unggun (bed depth) masing-masing 7,5
cm, 10 cm, 12,5 cm, waktu kontak 20 menit, 40 menit dan 60 menit serta laju alir
6, 10 dan 14 l/menit secara kontinyu seperti ditunjukkan pada gambar 1.
Kemudian dipelajari berbagai pengaruh yang terjadi terhadap persen
penjerapannya (removal Efficiency).

Gambar 1. Alat Adsorpsi yang digunakan

Variabel independen yang diteliti adalah Tinggi Unggun (X1; 7,5 cm, 10
cm, 12,5 cm), waktu adsorpsi (X2; 20 menit, 40 menit dan 60 menit) dan flow rate
(X3 mengalir; 6, 10 dan 14 l / min). Tujuan penelitian ini adalah untuk
memisahkan logam ion Fe dalam air tanah digunakan granular karbon aktif
dengan kolom fixed- bed sistem kontinyu. konsentrasi awal Fe (II) (C0) adalah
0,169 mg/L. Variabel dependen dianalisis adalah Persen Penjerapan Fe (Y1).
Level dan code yang diselidiki dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1,
kemudian data eksperimen dianalisis dengan RSM dengan bantuan software
Desain expert (Version 7.5, State-Ease Inc, Minneapolis, USA)

284

  
 

Tabel 1. Faktor dan level yang digunakan pada rancangan Box-Behnken.


Level
Faktor
-1 0 +1
- Laju Alir Fluida
6 10 14
(cm3/min)
- Tinggi Unggun (cm) 7,5 10 12,5
- Waktu Kontak (min) 20 40 60

3. Hasil dan Diskusi


Korelasi Variabel Tanggap Terhadap Variabel Independen

Sejumlah 17 run secara acak dilakukan untuk mengoptimalkan variabel


proses, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2 bersama-sama dengan hasil
eksperimen dan hasil simulasi dari variabel dependen. Data eksperimen dianalisis
dengan RSM dengan bantuan software Desain expert (Version 7.5, State-Ease Inc,
Minneapolis, USA) agar sesuai dengan orde kedua persamaan polinomial
persamaan 1:

Yk  o  i X i  ii X i2  i  j ij X i X j  j
3 3
(1)
i 1 i 1

di mana Y adalah prediksi respon dan X1, X2, dan X3 dikodekan variabel
independen yang sesuai dengan tinggi bed depth, waktu adsorpsi dan flow
ratepada kolom adsorpsi yang digunakan Secara di mana sampel dialirkan pada
kolom adsorpsi yang mengandung karbon aktif. Konstanta !o, !i, !ii, dan !ij
adalah jangka linear, jangka kuadrat dan koefisien lintas jangka produk, masing-
masing. nilai-nilai kode yang terkait dengan nilai-nilai riil melalui Persamaan 2
disajikan di bawah ini.
Z X X
o

X (2)

Hasil kalkulasi Design-Expert (Design-Expert, 2000) memberikan


estimasi koefisien regresi untuk masing-masing variabel tanggap. Pada tabel
tersebut ditunjukkan juga hasil perhitungan koefisien korelasi untuk setiap

285

  
 

hubungan variabel tanggap dengan variabel independen. Dengan menginspeksi


nilai-nilai koefisien korelasi, secara umum dapat dikatakan bahwa hubungan
antara variabel independen adsorpsi dengan variabel tanggap cukup kuat, dimana
R2 rata-rata > 0,8. Dari tabel korelasi, model empiris yang diperoleh untuk persen
penjerapan Fe (Y1) dengan persamaan 3 yang disusun berdasarkan korelasi
variabel tanggap terhadap variabel independen adsorpsi.

Y2 = 6,97115 + 16,89349X1 + 0,52145X2 2,49630X3 0,014793X1X2 +


0,32544X1X3 0,00739645X2X3 0,79290X1 - 0,00277367X2 0,078587X3
........(3)
Dimana : X1 = tinggi unggun, X2= waktu kontak, X3 =laju alir, Y1= persentase
penjerapan Fe Pada persamaan 3, tanda positif menandakan pengaruh secara
sinergis sedangkan tanda negatif menandakan pengaruh secara antagonis. Nilai
koefisien determinasi (R2) persamaan 3 sebesar 0,9657. Hal ini menandakan
bahwa model orde dua sangat signifikan dan cukup layak untuk mewakili
hubungan antara variabel respon dengan variabel independen. Untuk
membuktikan kelayakan model orde satu dan orde dua ini perlu dilakukan analisa
lebih lanjut melalui analisa varian dan uji kelayakan model, yang ditunjukkan
tabel 2. Gambar 2 juga menujukkan distribusi ekperimen dan prediksi.

Tabel 2. Validasi hasil prediksi model terhadap data eksperimen


menggunakan adsorben karbon aktif untuk persentase ppenjeenjerapan
Fe

Tinggi Waktu Laju % Penjerapan %


No Unggun Kontak Alir Fe Penyimpangan

(cm) (Menit) (L/mnt) Exp Pred

1 10 60 6 91,72 94,156 -2,661

2 12,5 20 10 92,31 92,307 0,001

286

  
 

3 12,5 40 14 89,35 91,789 -2,731

4 10 40 10 89,94 89,940 0,000

5 10 20 14 84,62 82,174 2,885

6 12,5 40 6 95,86 94,156 1,775

7 10 40 10 89,94 89,940 0,000

8 10 40 10 89,94 89,940 0,000

9 10 60 14 85,80 84,097 1,983

10 10 40 10 89,94 89,940 0,000

11 12,5 60 10 94,67 93,934 0,782

12 10 40 10 89,94 89,940 0,000

13 7,5 60 10 76,92 76,923 0,000

14 7,5 40 6 84,62 82,174 2,885

15 7,5 20 10 71,60 72,337 -1,033

16 10 20 6 88,17 89,867 -1,929

17 7,5 40 14 65,09 66,790 -2,613

Keterangan : X1= Tinggi unggun, X2= Waktu kontak, dan X3 = Laju alir

Tabel 3. menunjukkan hasil analisa varian model kuadratik persentase


penjerapan Fe. ANOVA untuk model kuadratik pada Tabel 3 terlihat variabel X1
dan X3 memiliki nilai probabiliti (Prob > F) lebih kecil dari 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa model kuadratik, variabel X1 = tinggi unggun, X3= laju alir
dan variabel kuadratik X12 berpengaruh secara nyata terhadap persentase
penjerapan Fe. Sebaliknya variabel X2 = waktu kontak, dan variabel interaksi
X1X2, X1X3 dan X2X3 serta variabel kuadratik X22 dan X32 terlihat tidak

287

  
 

signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik variabel-variabel ini hanya
memberikan pengaruh yang kecil terhadap persentase penjerapan Fe. Namun
variabel-variabel ini tetap disertakan di dalam model mengingat kemungkinan
variabel-variabel tersebut memberikan pengaruh yang berarti terhadap adsorpsi.
Design-Expert Software Norm al Plot of Res iduals
Persentase penjerapan Fe

Color points by value of


Persentase penjerapan Fe: 99
95.858
95
65.089
Normal % Probability
90

80
70

50

30
20

10
5

-2.14 -1.07 0.00 1.07 2.14

I nternally St udentized R es iduals

Gambar 2. Eksperimen prediksi plot untuk respon Y1

Tabel 3. Analisis Of Varian (ANOVA) untuk persentase penjerapan Fe


P Value
Sum Mean
Faktor df Value Prob Keterangan
square square
(p)> F

Model 1028,75 9 114,31 21,92 0,0003 Signifikan

X1 683,84 1 683,84 131,15 <0,0001 Signifikan

X2 19,30 1 19,30 3,70 0,0958 Tidak signifikan

X3 157,56 1 157,56 30,22 0,0009 Signifikan

X1X2 2,19 1 2,19 0,42 0,5378 Tidak signifikan

X1X3 42,37 1 42,37 8,12 0,0247 Tidak signifikan

X2X3 1,40 1 1,40 0,27 0,6203 Tidak signifikan

X12 103,40 1 103,40 19,83 0,0030 Signifikan

X22 5,18 1 5,18 0,99 0,3520 Tidak signifikan

288

  
 

X32 6,66 1 6,66 1,28 0,2957 Tidak signifikan

Residual 36,50 7 5,21

Lackof 36,50 3 12,17


Fit
Pure
0,000 4 0,000
Error

Cor
1065,25 16
Total

R2=0,9657; adj R2 = 0,9217; pred. R2=0,4518; C.V = 2,64%; Adeq


Precision=15,626

Design-Expert Software Persentase penjerapan Fe


14.00
Persentase penjerapan Fe 96
X1 = A: Tinggi unggun
Persentase penjerapan Fe

72.1345

76.8272
88.75
12.00
X1 = A: Tinggi unggun B: Waktu kontak = 55.67
81.5
81.5199
C: Laju alir

B: Waktu kontak = 55.67 90.9054


86.2127
10.00
74.25

67

8.00

12.50 6.00
11.25 8.00
 

 10.00 10.00
8.75 12.00
6.00 A: Tinggi unggun 7.50 14.00
C: Laju alir
7.50 8.75 10.00 11.25 12.50

A: Tinggi unggun

Gambar 3. Contour plot kiri dan Grafik tanggap permukaan kanan


untuk Persentase penjerapan Fe (Y1) terhadap tinggi unggun dan waktu
kontak

Pada Gambar 3 terlihat grafik kontur dan grafik tanggap permukaan tiga
dimensi yang menggambarkan persentase penjerapan Fe dengan variasi tinggi
unggun dan laju alir. Kedua gambar tersebut menunjukkan bahwa grafik tanggap
permukaan dan contour plot mempunyai bentuk maksimum. Dari Gambar

289

  
 

tersebut dapat diketahui optimasi respon penjerapan Fe 95,598  yang berada


pada tinggi unggun 11,36 cm, waktu kontak 55,67 menit dan laju alir 6 L/mnt.

Berdasarkan teori semakin tinggi unggun maka semakin tingggi persentase


penjerapan Fe. Hal ini disebabkan karena tinggi unggun akan meperluas
permukaa kontak karbon aktif menjadi semakin besar sehingga penjerapan Fe
menjadi lebih baik. Laju alir berbanding terbalik dengan tinggi unggun, semakin
tinggi laju alir maka waktu kontak antara logam Fe semakin sedikit terjadi
sehingga persentase penjerapan Fe juga akan semakin rendah.

Pada awal proses, air baru dapat bergerak pada permukaan, akan tetapi
dengan bertambahnya waktu kontak seluruh pori akan terbasahi oleh air. Keadaan
ini akan mengakibatkan pembengkakan pori sehingga luas permukaan kontak
akan tersedia lebih baik Haryati dkk, 2011.

Tabel 4. Analisa optimasi dengan batasan pada adsorpsi menggunakan adsorben


karbon aktif (Design Expert 7.1.5)

Kadar Fe %
X1 X2 X3 penjerapan DF
Alternatif mg/L Fe (%)

1 11,36 55,67 6,00 0,0074390 95,5982 0,996

2 11,37 55,53 6.00 0,0074392 95,5981 0,996

Dari hasil analisis seleksi pada Tabel 4, alternatif 1 memiliki nilai DF sebesar
0,996. Dari hasil optimasi ini diperoleh tinggi unggun = 11,36 cm, waktu kontak =
55,67 menit dan laju alir = 6 L/menit.

4. Simpulan

Dari penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan:

1. Semakin tinggi unggun dan waktu kontak yang digunakan maka


logam Besi (Fe) yang teradsobsi oleh karbon aktif akan semakin

290

  
 

besar. Demikian sebaliknya semakin besar laju alir limbah maka


semakin kecil logam besi (Fe) yang terserap.
2. Kondisi optimum adsorpsi menggunakan karbon aktif pada kombinasi
variabel bebas yaitu tinggi unggun 11,36 cm, waktu kontak 55,67
menit dan laju alir 6 L/mnt.

5. Daftar Pustaka

Ali Qasim, Mohd. Zamri Abdullah, Lau Kok Keong, dan Suzana Yusup. (2014).
Computational Fluid Dynamics Simulation of CO2 Adsorption On Nanoporous
Activated Carbon: Effect of Feed Velocity. Journal of Applied Science and
Agriculture, 9(18): 163-169.

Design-Expert, Stat Ease, (2000), Version 7.0 Minneapolis, MN.

Derringer, G. dan Suich, R., (1980) Simultaneous optimization of several


response variables. J. Qual. Technol, 12: 214-219.

Erika Mulyana Gultom, M. Turmuzi Lubis. (2014). Aplikasi Karbon Aktif Dari
Cangkang Kelapa Sawit Dengan Aktivator H3PO4 Untuk Penjerapan Logam Berat
Cd Dan Pb. Jurnal Teknik Kimia USU, 3:1.

FLUENT, (2005), User Guide. Version 6.2.16, Fluent Incoparated.

Husin, H. dan Cut Meurah R., 2007, Studi Kinetika Adsorpsi Larutan Logam
Timbal (Pb) Menggunakan Karbon Aktif Dari Batang Pisang. Universitas Syiah
Kuala.

Juli Elmariza, Titin Anita Zaharah, Savante Arrneuz (2015). Optimasi Ukuran
Partikel, Massa, dan Waktu Kontak Karbon Aktif Berdasarkan Efektifitas
Adsorpsi !-Karoten Pada CPO. JKK, 4 (2): 21-25

Maya Sari, Ida Zahrina, Zultiniar (2012). Optimasi Kondisi proses (kecepatan
Pengadukan Dan Temperatur), Adsorpsi Logam Fe Dengan Zeolit. Laporan
Penelitian, Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Riau,
Pekanbaru.

291

  
 

Nunik, Prabarini dan DG Okayadnya, (2013) Penyisihan Logam Besi (Fe) Pada
Air Sumur Dengan Karbon aktif Tempurung Kemiri. Jurnal Ilmiah Teknik
Lingkungan. 5 (2) : 33-41.

Sri Haryati, Endang Supraptiah dan Muhammad D.Bustan. (2011), Pengujian


Performance Adsorben Serat Buah Mahkota Dewa (Phaleria marcocarpa (Scheff))
dan Clay Terhadap Larutan Yang Mengandung Logam Kromium, Journal of
Applied and Engineering Chemistry, Sriwijaya University, 1:18-23.

Suhendrayatna. (2001), Bioremoval Logam Berat Dengan Menggunakan


Microorganisme : Suatu Kajian Kepustakaan, Seminar Bioteknologi untuk
Indonesia Abad 21, Sinergy Forum-PPI Tokyo Institute of Technology.

Turkyilmaz, H., Kartal, T., dan Yildiz, S, Y. (2014), Optimization of lead


adsorption of mordenite by response surface methodology: characterization and
modification. Journal of Environmental Health Science & Engineering, 12:5

Vasanth kumar K, Ramamurthi V, Sivanesan S, (2005). Modeling the mechanism


involved during the sorption of methylene blue onto fly ash. J Colloid Interface
Sci. 284:1421.

Widaningrum, Miskiyah dan Suismono. (2007). Bahaya Kontaminasi Logam


Berat Dalam Sayuran Dan Alternatif Pencegahan Cemarannya, Buletin Teknologi
Pascapanen Pertanian 3: 16-27.

Yuniawan Hidayat, dan Sentot Budi Raharjo, (Juli 2010), Optimasi Kapasitas
Adsorpsi Gliserol Pada !-Al2O3 DAN Efek Tegangan Permukaannya Terhadap
Daya Serap Adsorpsinya Sebagai Kajian Awal Pemisahan Gliserol Pada Limbah
Biodiesel. Jurnal EKOSAINS. 2(2):66-73.

Zahangir, Md, A., Muyibi S, A, Toramae, J. (2007). Statistical optimization of


adsorption processes for removal of 2,4- dichlorophenol by activated carbon
derived from oil palm empty fruit bunches. Journal of Environmental Sciences.
19 :6746.

Ivana M. Savic, Stanisa T. Stojiljkovic, Ivan M. Savic, Sreten B. Stojanovic, Karl


Moder. (2012). Modeling and Optimization of Fe(III) Adsorption from Water
using Bentonite Clay:Comparison of Central Composite Design and Artificial
Neural Network, Chem. Eng. Technol. 35, No. 11.

N.El. Messaoudi, M. El. Khomri, A. Dbik, S. Bentahar, A. Lacheraia, B. Bakiz,


(2016). "Biosorption of Congo red in a fixed-bed column from aqueous solution
using jujube shell: Experimental and mathematical modeling", Journal of
Environmental Chemical Engineering, 4 (4):38483855.

292
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

KENDALI PROSES GRATE COOLER PLANT 8 GRATE 1,


PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA Tbk

Heri Haryanto1 Ahmad Taslim1,


1
Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Jenderal Sudirman Km. 3 Cilegon-Banten 42435
heriheriyanto@untirta.ac.id

Abstrak

Kebutuhan bahan bangunan terutama semen di Indonesia setiap tahunnya semakin


meningkat ditambah dengan banyaknya perusahaan semen di Indonesia membuat
perusahan semen harus bersaing untuk memenuhi kebutuhan pasar yang cukup banyak
tiap tahunnya (kuantitas) dan kepuasan konsumen (kualitas) di Indonesia. Dalam proses
produksi semen terdapat tahap yang cukup menentukan kualitas dan kuantitas produk
semen yaitu tahap pendinginan clinker dengan grate cooler. Pada tahap ini clinker hasil
pembakaran kiln diturunkan suhunya dari awalnya sekitar 1400 C menjadi 100-200 C.
Pada grate cooler, clinker didinginkan dengan cara meniupkan udara dengan kipas
pendingin dari bawah grate plate. Grate Cooler IKN terdiri dari 2 ruang, yaitu grate 1
dan grate 2. Clinker yang baru keluar dari kiln akan masuk kedalam grate 1 untuk
didinginkan dan dihancurkan menjadi ukuran yang lebih kecil setelahnya clinker akan
didinginkan kembali pada grate 2 sebelum dipindahkan ke proses selanjutnya. Proses
kendali grate 1 pada grate cooler dilakukan dari beberapa tempat seperti CCP (Central
Control Panel), MCC (Module Central Control) LCB (Local Control Board) dan HCB
(Hydraulic Control Board). Ketika sinyal kendali dikeluarkan oleh CCP untuk
menentukan jumlah SPM (Stroke per Minute) maka sinyal kendali tersebut mengalami
beberapa pengkondisian sinyal hingga grate plate bergerak sesuai dengan setpoint SPM
yang diinginkan oleh operator di CCP. Berdasarkan hasil pengamatan di dapatkan
bahwa perlu adanya pengambilan data arus pada output card modul I/O di MCC
sehingga didapat persamaan yang valid dari konversi setpoint spm ke arus
Kata kunci : Produksi Semen, Grate Cooler, Grate 1, Stroke per Minute.

1. Pendahuluan

Perkembangan industri produksi semen di Indonesia dalam beberapa tahun


terakhir semakin ketat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya produk semen yang
ada di pasar Indonesia. Selain itu, dengan banyaknya pesaing membuat
perusahaan semen harus meningkatkan kualitas dan kuantitas produknya sehingga
dapat bersaing. Salah satu caranya adalah dengan memiliki sistem yang baik dari

293
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

sisi kinerja dan efektif agar jumlah produksi yang diinginkan tercapai dan dapat
menekan biaya produksi yang tidak dibutuhkan.
Secara garis besar proses produksi semen terdiri dari 5 tahap. Dalam
tahapan tersebut terdapat tahapan yang cukup menentukan kualitas dan kuantitas
produk yang dihasilkan yaitu tahap pendinginan clinker dengan grate cooler.
Proses pendinginan dengan grate cooler adalah proses pendinginan hasil
pembakaran kiln yaitu clinker secara mendadak yang suhu awalnya sekitar 1400
C menjadi 100-200 C.
Proses pendinginan dilakukan dengan meniupkan angin menggunakan kipas
ke clinker dari bagian bawah grate plate. Grate plate digerakkan dengan hidrolik
silinder untuk memindahkan clinker menuju crusher. Proses pendinginan clinker
adalah proses yang cukup menentukan sehingga dibutuhkan pembahasan lebih
lanjut mengenai kendali pada grate cooler.

2. Tinjauan Pustaka

Proses Produksi Semen


Plant 8 adalah salah satu plant dari 14 plant yang dimiliki PT Indocement
Tunggal Prakarsa Tbk. Teknologi pembuatan semen yang digunakan adalah
teknologi proses kering karena mempunyai keuntungan yaitu biaya operasi yang
rendah dan kapasitas produksi yang besar sehingga sangat menguntungkan pabrik.
Proses pertama pada proses kering adalah bahan baku dipecah dan digiling
sampai kadar air 1%. Proses kedua adalah bahan baku yang telah digiling pada
proses sebelumnya dicampur kedalam blending silo untuk mendapatkan campuran
yang homogen atau disebut meal dengan menggunakan udara tekan. Proses ketiga
adalah meal diumpankan ke kiln dan didinginkan dengan grate cooler
menghasilkan clinker. Proses keempat adalah clinker digiling hingga berukuran
30 m, kemudian dicampur dengan gypsum dan bahan tambahan dalam
perbandingan 96:4. Proses kelima adalah pengepakan semen dalam kantung
semen.

294
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Secara umum proses pembuatan semen dengan proses kering dibagi atas lima
bagian yaitu :
1. Penyediaan
enyediaan Bahan Baku
2. Pengolahan Bahan
3. Pembakaran
embakaran dan Pendinginan
4. Penggilingan
enggilingan Semen
5. Pengisian
engisian dan Pengantongan Semen

Kelima tahap tersebut direpresentasikan menjadi 5 unit operasi utama yaitu :


Tahap I : Unit Crusher
Tahap II : Unit Raw Mill
Tahap III : Unit Kiln and Coal Mill
Tahap IV : Unit Finishing Mill
Tahap V : Unit Packer

Gambar 1 Proses Produksi Semen

Unit Kiln and Coal Mill


Unit Kiln and Coal Mill adalah unit yang bertugas untuk membakar meal
material (bentuk material sudah menjadi tepung) hingga menjadi clinker
clinker. Proses
tersebut melibatkan beberapa alat yang terdiri dari coal mill
mill, suspension

295
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

preheater, kiln dan grate cooler. Meal material yang masuk ke unit ini akan
dipanaskan terlebih dahulu dengan batu bara yang telah dihaluskan oleh coal mill.

Gambar 2 Coal mill plant 8 (kiri) dan Suspension


pension preheater plant 8 (kanan)

Proses pemanasan awal dilakukan di suspension preheater hingga suhu


750C. Meal material yang sudah dipanaskan kemudian dibakar didalam kiln.
Proses pembakaran pada kiln pun meal material dicampur dengan batu bara yang
telah dihaluskan. Tujuan pencampuran batu bara yang telah dihaluskan ppada
proses pemanasan awal di suspension preheater dan pembakaran di kiln adalah
untuk membantu
embantu peningkatan suhu pada meal material.
Meal material dibakar pada kiln hingga suhu mencapai 1400C hingga meal
material mencair. Pada kiln terdapat 4 zona yaitu zona kalsinasi, zona transisi,
zona klinkerisasi dan zona pendinginan. Zona kalisinasi, zona transisi ddan zona
klinkerisasi adalah zona pembentukan berdasarkan reaksi kimia sedangkan
sedan zona
pendinginan adalah zona dimana meal material sudah berubah menjadi clinker.
Clinker yang telah terbentuk kemudian dimasukan kedalam alat yang bernama
grate cooler..

296
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Gambar 3 Kiln plant 8

Grate Cooler
Grate cooler adalah sebuah alat pendingin yang ditempatkan setelah kiln.
Fungsinya untuk mendinginkan clinker keluaran dari kiln secara cepat dari suhu
1400C effect. Grate
C menjadi 200C atau juga disebut metode air quenching effect
ngan cara paling modern yaitu
cooler adalah jenis pendinginan clinker dengan
meniupkan angin dari bawah plate yang menggerakan clinker.

Gambar 4 Grate cooler IKN

Grate cooler yang digunakan adalah pabrikan IKN yang memiliki 2 ruang
yang disebut grate 1 dan grate 2. Posisi grate 1 adalah tepat setelah kiln,
sedangkan grate 2 posisinya dibawah crusher yang menghubungkan grate 1 dan 2.
Clinker yang keluar dari kiln kemudian masuk ke grate 1, digerakkan oleh grate
plate menuju crusher
crusher. Selama grate plate menggerakan clinker
clinker, proses

297
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

pendinginan dilakukan oleh cooling fan dengan meniupkan angin dari bawah
grate plate sehingga suhu clinker menjadi turun.

Gambar 5 Jenis grate plate

Clinker yang telah melalui crusher akan terjatuh ke grate 2. Clinker pada
grate 2 suhunya tidak setinggi ketika di grate 1 sehingga jumlah cooling fan lebih
sedikit dibanding jumlah cooling fan pada grate 1. Proses pada grate 2 pun sama
dengan proses pada grate 1 hanya diakhir grate 2 tidak ada crusher melainkan
conveyor menuju proses selanjutnya.

Gambar 6 Crusher pada grate cooler IKN

Grate 1 memiliki peran yang cukup penting pada grate cooler yaitu
menggerakan clinker dengan kecepatan yang sesuai dengan jumlah feeding
clinker.. Jika clinker terlalu cepat dikeluarkan dari grate cooler maka kualitas
clinker kurang
ang bagus dan jika clinker terlalu lama dikeluarkan dari grate cooler

298
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

maka bisa terjadi penimbunan clinker pada grate 1. Kecepatan gerak grate plate
pada grate 1 dkendalikan oleh operator di ruang kendali atau lapangan. Grate
plate digerakan oleh sebuah proportional valve yang dibantu 6 pendulum.

Gambar 7 Grate plate dengan pendulum

Parameter yang dikendalikan


Parameter yang dikendalikan adalah jumlah stroke per minute (spm) dari
grate plate pada grate 1. Grate plate digerakan oleh sebuah silinder yang
dikendalikan oleh proportional valve
valve. Kendali pada proportional valve sesuai
dengan nilai tegangan hasil konver
konversi p
si dari nilai spm yang diberi padanya oleh
operator

Gambar 8 Proportional valve

Pengkondisian Sinyal
Pengkondisian sinyal berkaitan dengan operasi yang dikenakan pada sin
sinyal
untuk mengkonversi sinyal tersebut ke bentuk yang sesuai dengan ya
yang

299
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

diperlukan oleh suatu device. Efek pengkondisian sinyal pada sinyal masukan
sering dinyatakan dalam bentuk fungsi alih. Pengkondisian sinyal dapat
dikelompokan dalam beberapa jenis, salah satu yang digunakan pada kegiatan
kerja praktek kali ini adalah linierisasi.
a. Linierisasi
Hubungan antara keluaran dengan masukan sering kali tidak linier sehingga
dibutuhkan linierisasi. Rumus dasar yang digunakan pada linierisasi adalah
sebagai berikut.

 ..................(1)

Dimana:
y = nilai output
yhigh = batas atas skala y
ylow = batas bawah skala y
x = nilai input
xhigh = batas atas skala x
xlow = batas bawah skala x

Penurunan rumus 2.1 menghasilkan rumus umum linierisasi. Berikut proses


penurunannya.
 

 
 

 

  
   

  
   

  
  
  
  
  

300
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016


   

  (2)

Dimana:
y = nilai output
x = nilai input batas bawah skala x
m = rentang skala y / rentang skala x
b = batas bawah skala y

3. Metode Penelitian

Pada Penelitian ini akan dilakukan beberapa tahap yaitu mengamati sistem
kendali grate 1 dari grate cooler pabrikan IKN Plant 8, mengamati pengolahan
sinyal kendali di grate 1 dari grate cooler pabrikan IKN, Plant 8.dari data tersebut
akan dilakukan perhitungan dengan berbagai variasi setpoint agar didapakan nilai
arus yang sesuai.

4. Pembahasan
Pendinginan cepat yang terjadi di grate cooler menjadi salah satu faktor
kualitas semen. Alasan itulah yang mengharuskan grate cooler dikendali sebaik
mungkin. Kendali yang dapat dilakukan pada grate cooler contohnya adalah
jumlah stroke per minute (spm), panjang stroke yang dilakukan, titik kerja stroke
dan lainnya. Fokus kendali yang akan dibahas adalah spm. Pembahasan lebih
dalamnya adalah sistem kendali grate 1 saat diberi setpoint jumlah spm, proses
data setpoint hingga grate cooler melakukan spm sesuai dengan setpoint

4.1. Sistem Kendali Grate 1 dari Grate Cooler IKN


Kendali grate 1 dapat dilakukan dari beberapa tempat, seperti CCP (Central
Control Panel), MCC (Module Central Control), HCB (Hydraulic Control Board)

301
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

dan LCB (Local Control Board


Board). Sistem kendali grate 1 dapat dilihat pada
gambar berikut.

Gambar 9. Blok Diagram Sistem Kendali Grate Cooler

memerintah seluruh aalat


CCP adalah ruang kendali dan monitor pusat untuk m
yang berada dilapangan termasuk grate cooler.. Kendali dilakukan dari ruang ini
menggunakan
oleh operator melalui komputer yang terhubung dengan server men
kabel ethernet.. Setpoint yang dimasukkan oleh operator pada grate cooler adalah
berupa stroke per minute (SPM). Sinyal analog yang digunakan 44-20 mA,
20 mA maka operator
alasannya adalah jika menggunakan sinyal analog 00-20 o tidak
dapat membedakan ketika terjadi kerusakan pada kabel (terputus) aatau setpoint
yang dimasukkan memang 0 mA. Data setpoint akan dikirim oleh server ke modul
optik adalah
I/O di MCC menggunakan kabel optik. Alasan penggunaan kabel opt
kecepatan dan kapasitas data yang mampu ditampung oleh kabel opt
optik cukup
besar sehingga mampu mengirim dan menerima data dari seluruh MCC
dilapangan.
lapangan.
MCC adalah ruang kendali modul alat yang berada dilapangan. Ke
Kegunaan
dari MCC adalah sebagai transitnya sinyal sinyal data se
sebelum ditransfer ke atau
dari CCP. Data setpoint yang telah dikirim ke modul I/O, akan diubah oleh card
pada modul I/O di MCC menjadi arus dengan rentang 44-20
20 mA.

302
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Gambar 10. Modul I/O Cooler


Data yang telah dirubah menjadi arus akan dikirim ke I/O CP
CPU IKN
menggunakan kabel har
hardwire biasa. Arus kemudian dimasukkan ke CPU IKN
melalui input analog dengan alamat PIW 256. Arus yang dimasukan me
melalui PIW
256 tidak akan terbaca sebagai arus melainkan menjadi suatu nilai de
denga
dengan rentang
tertentu yang dimengerti oleh CPU IKN. Hal ini dikarena
dikarenakan tidak semua output
alat dapat langsung dijadikan input alat lain sehingga perlu diu
diubah menjadi nilai
yang dimengerti oleh alat tersebut.

Gambar 11. CPU IKN

Nilai pada PIW 256 didapat dengan menggunakan konsep linieritas, rrentang
arus dilinierkan dengan
ngan rentang nilai di PIW 256. Input yang dimenge
dimengerti oleh
CPU IKN akan diskala hingga menjadi spm pada output dengan alamat

303
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

DB11.DBW 24. CPU IKN membaca nilai spm yang diatur oleh operator di CCP
untuk grate cooler. Nilai spm tersebut kemudian diubah kemba
kembali menjadi nilai
seperti di PIW 256. Hasilnya yang berupa data kemudian dikirim menuju LC
LCB.
Data tersebut juga dikirim ke HCB, yang digunakan untuk menggerakkan
motor silinder hidrolik. LCB adalah kendali alat yang berada dil
dilapangan. Pada
LCB terdapat HNC 100
100, Human Machine Interface (HMI) dan I/O. Data yang
dikirim ke LCB akan masuk ke alat tersebut. Data spm yang ma
masuk ke HNC 100
akan diubah menjadi tegangan dengan rentang -10 V sampai +10 V. Tegangan
Tega
tersebut digunakan untuk mengatur proportional valve silinder
ilinder hidrolik penggerak
grate 1 agar mencapai spm yang diatur oleh operator di CCP, sedangkan data
yang dikirim ke HMI digunakan untuk pemantauan langsung status grate cooler
dilapangan dan I/O untuk gerbang input dan output di grate cooler.

Gambar 12. Tampilan HMI di LCB

Ketika silinder hidrolik bergerak, displacement tranducer akan membaca panjang


tiap stroke yang dilakukan. Nilai yang terbaca akan dikirim ke CPU IKN se
sebagai
feedback.. Panjang stroke yang dibaca oleh displacement tranducer akan dihi
dihitung
menjadi spm actual yang selanjutnya akan dibandingkan dengan setpoint oleh
CPU IKN. Sistem kendali pada grate cooler di plant 8 merupakan sistem dengan
loop tertutup.

304
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Gambar 13. Diagram Close Loop dari Sistem Kendali Grate Cooler

4.2. Pengolahan sinyal di dalam grate cooler IKN


Berdasarkan penjelasan mengenai sistem kendali grate 1 dari grate cooler
IKN diatas, setpoint yang diberikan oleh operator melalui CCP beberapa kali
diubah sesuai dengan kebutuhan alat sehingga diperlukan pembahasan mengenai
pengolahan sinyal yang terjadi.
a. Komputer operator ke modul I/O di MCC
Operator CCP mengatur jumlah spm dari grate cooler. Rentang spm dari grate
cooler adalah dari 0-25 spm, sedangkan rentang arus yang digunakan 4-20 mA.
Hubungan antara keduanya adalah linier, sehingga ketika spm diatur 0 spm, maka
arus yang dikirim ke grate cooler adalah 4 mA. Menggunakan rumus 2.2, maka
didapat rumus liner arus terhadap spm sebagai berikut.
 

 

  

 


 

(3)

Nilai spm dimasukan ke persamaan 3 , maka hasilnya seperti didalam tabel


berikut.

305
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Tabel 1 Nilai SPM dan Arus


Setpoint Arus
No.
(spm) (mA)
1 0 4
2 1 4,64
3 2 5,28
4 3 5,92
5 4 6,56
6 5 7,2
7 6 7,84
8 7 8,48
9 8 9,12
10 9 9,76
11 10 10,4
12 11 11,04
13 12 11,68
14 13 12,32
15 14 12,96
16 15 13,6
17 16 14,24
18 17 14,88
19 18 15,52
20 19 16,16
21 20 16,8
22 21 17,44
23 22 18,08
24 23 18,72
25 24 19,36

306
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

26 25 20
Berdasarkan tabel 1 jika operator mengatur setpoint dari grate cooler adalah
2 spm maka nilai arus yang dikirim oleh modul I/O adalah 5,28 mA sedangkan
jika operator mengatur setpoint sebesar 24 spm maka arusnya adalah 19,36 mA.
Nilai diatas adalah berdasarkan hubungan linier antara setpoint dengan arus
namun kenyataannya operator tidak bisa mengatur setpoint kurang dari 3 spm dan
lebih dari 23 spm, hal ini dikarenakan jika grate cooler digerakan dibawah 3 spm
dan diatas 23 spm akan menyebabkan masalah pada grate cooler sehingga pada
program kendali grate cooler rentang spm yang bisa diatur oleh operator hanya
dari 3-23 spm.

b. Modul I/O di MCC ke input analog CPU IKN (PIW 256)


Nilai yang dikirim modul I/O adalah arus. Arus tersebut masuk kedalam
input analog CPU IKN (PIW 256) namun arus tidak terbaca oleh CPU IKN
melainkan dibaca menjadi nilai hasil konversi dengan sebuah rumus. Nilai hasil
konversi tersebut didapat dengan percobaan dilapangan yaitu dengan
memasukkan arus langsung ke PIW 256. Data yang didapatkan dapat dilihat pada
tabel 2

307
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Tabel 2 Data Percobaan Input Arus Langsung ke PIW 256


Arus
No PIW 256
(mA)
1 4 0
2 5 1728
3 6 3456
4 7 5192
5 8 6920
6 9 8648
7 10 10392
8 11 12120
9 12 13848
10 13 15576
11 14 17312
12 15 19040
13 16 20776
14 17 22512
15 18 24240
16 19 25968
17 20 27696
Data diatas kemudian dicari rumus linieritasnya dengan menggunakan
grafik X Y (scatter). Grafik akan menggambarkan bentuk linier kedua data
tersebut. Tampilkan formula grafik untuk melihat rumus linier nya.

308
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

%!"!$!%''$ $%'&$



 
  
 %'&   


 


 
 

 




      
       

%'&#

Gambar 14 Grafik Linier Hubungan Arus dan PIW 256


Rumus linier berdasarkan data diatas adalah
       
................................................ (4)

Persamaan (4) digunakan untuk data dari tabel 1 maka didapat nilai PIW 256
yang terbaca pada CPU IKN.

Tabel 4 Nilai Setpoint, Arus dan PIW 256


Setpoint Arus
No PIW 256
(spm) (mA)
1 0 4 -3,4
2 1 4,64 1104,76
3 2 5,28 2212,92
4 3 5,92 3321,08
5 4 6,56 4429,24
6 5 7,2 5537,4
7 6 7,84 6645,56
8 7 8,48 7753,72
9 8 9,12 8861,88
10 9 9,76 9970,04

309
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

11 10 10,4 11078,2
12 11 11,04 12186,36
13 12 11,68 13294,52
14 13 12,32 14402,68
15 14 12,96 15510,84
16 15 13,6 16619
17 16 14,24 17727,16
18 17 14,88 18835,32
19 18 15,52 19943,48
20 19 16,16 21051,64
21 20 16,8 22159,8
22 21 17,44 23267,96
23 22 18,08 24376,12
24 23 18,72 25484,28
25 24 19,36 26592,44
26 25 20 27700,6

c. Input analog PIW 256 ke DB11.DBW 24


Input yang terbaca CPU IKN adalah nilai di PIW 256. Input analog diubah
menjadi satuan spm menggunakan rumus 3.2 dengan nilai :
y = #EngReal (tipe data real)
x = #PV_in (tipe data word)
b = #dnScl (tipe data real)
m = (upScl-dnScl)/27648

Percobaan yang dilakukan di lapangan dengan memasukan arus langsung ke


PIW 256, juga menghasilkan analog input. Datanya dapat dilihat pada tabel 5

Tabel 5 Data SPM Actual dari Memasukkan Arus Langsung ke PIW 256

310
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Arus DB11.DBW
No PIW 256
(mA) 24 (spm)
1 4 0 30
2 5 1728 30
3 6 3456 31
4 7 5192 47
5 8 6920 63
6 9 8648 78
7 10 10392 94
8 11 12120 110
9 12 13848 125
10 13 15576 141
11 14 17312 157
12 15 19040 172
13 16 20776 188
14 17 22512 204
15 18 24240 219
16 19 25968 230
17 20 27696 230

Nilai DB11.DBW 24 tipe datanya adalah integer sehingga hanya menampilkan


bilangan bulat. Alasan tersebut yang menyebabkan nilai DB11.DBW 24 lebih
besar 10 kali lipatnya dengan pembulatan dari nilai EngReal agar nilai real dapat
terbaca. Perbandingan datanya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 6 Data Perbandingan SPM Actual dan SPM Rumus


DB11.DBW 24 EngReal
No
(spm) (spm)
1 3,0 0

311
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

2 3,0 1,5625
3 3,1 3,125
4 4,7 4,694734
5 6,3 6,257234
6 7,8 7,819734
7 9,4 9,396701
8 11,0 10,9592
9 12,5 12,5217
10 14,1 14,0842
11 15,7 15,65394
12 17,2 17,21644
13 18,8 18,78617
14 20,4 20,3559
15 21,9 21,9184
16 23,0 23,4809
17 23,0 25,0434

Data diatas membuktikan bahwa rumus scaling analog input benar dan berlaku
pada proses ini sehingga nilai DB11.DBW 24 dari data tabel 7 adalah sebagai
berikut.

Tabel 7 Nilai Setpoint, Arus, PIW 256 dan DB11.DBW 24


Setpoint Arus DB11.DBW
No PIW 256
(spm) (mA) 24 (spm)
1 0 4 -3,4 -0,00307
2 1 4,64 1104,76 0,998951
3 2 5,28 2212,92 2,000977
4 3 5,92 3321,08 3,003002
5 4 6,56 4429,24 4,005027

312
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

6 5 7,2 5537,4 5,007053


7 6 7,84 6645,56 6,009078
8 7 8,48 7753,72 7,011104
9 8 9,12 8861,88 8,013129
10 9 9,76 9970,04 9,015155
11 10 10,4 11078,2 10,01718
12 11 11,04 12186,36 11,01921
13 12 11,68 13294,52 12,02123

313
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Lanjutan Tabel 7 Nilai Setpoint, Arus, PIW 256 dan DB11.DBW 24


14 13 12,32 14402,68 13,02326
15 14 12,96 15510,84 14,02528
16 15 13,6 16619 15,02731
17 16 14,24 17727,16 16,02933
18 17 14,88 18835,32 17,03136
19 18 15,52 19943,48 18,03338
20 19 16,16 21051,64 19,03541
21 20 16,8 22159,8 20,03743
22 21 17,44 23267,96 21,03946
23 22 18,08 24376,12 22,04149
24 23 18,72 25484,28 23,04351
25 24 19,36 26592,44 24,04554
26 25 20 27700,6 25,04756
d. DB11.DBW 24 ke profibus
Nilai DB11.DBW 24 pada tabel 3.6 kemudian diskala menggunakan rumus 2.2
dengan nilai :
y = #PV_out (tipe data word)
x = EngInt (tipe data integer)
b = #dnScl (tipe data real)
m = 27648/(upScl-dnScl)

Nilai pada profibus dengan rumus scaling analog output dapat dilihat sebagai
berikut.
Tabel 8 Nilai Setpoint, Arus, PIW 256, DB11.DBW 24 dan Profibus
Setpoint Arus PIW DB11.DBW
No Profibus
(spm) (mA) 256 24 (spm)
1 0 4 -3,4 -0,0031 -3,39517
2 1 4,64 1104,76 0,99895 1104,76

314
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

3 2 5,28 2212,92 2,00098 2212,92


4 3 5,92 3321,08 3,003 3321,08
5 4 6,56 4429,24 4,00503 4429,239
6 5 7,2 5537,4 5,00705 5537,4
7 6 7,84 6645,56 6,00908 6645,56
8 7 8,48 7753,72 7,0111 7753,72
9 8 9,12 8861,88 8,01313 8861,88
10 9 9,76 9970,04 9,01516 9970,04
11 10 10,4 11078,2 10,0172 11078,2
12 11 11,04 12186,4 11,0192 12186,36
13 12 11,68 13294,5 12,0212 13294,52
14 13 12,32 14402,7 13,0233 14402,68
15 14 12,96 15510,8 14,0253 15510,84
16 15 13,6 16619 15,0273 16619
17 16 14,24 17727,2 16,0293 17727,16
18 17 14,88 18835,3 17,0314 18835,32
19 18 15,52 19943,5 18,0334 19943,48
20 19 16,16 21051,6 19,0354 21051,64
21 20 16,8 22159,8 20,0374 22159,79
22 21 17,44 23268 21,0395 23267,96
23 22 18,08 24376,1 22,0415 24376,12
24 23 18,72 25484,3 23,0435 25484,28
25 24 19,36 26592,4 24,0455 26592,44
26 25 20 27700,6 25,0476 27700,6

Nilai pada profibus sama dengan nilai PIW 256, hal ini menunjukan proses
scaling analog output benar. Nilai tersebut akan dikirim menuju LCB. Pada LCB
terdapat HMI, I/O dan HNC 100. Pada HMI, nilai profibus akan dikonversi
menjadi spm dengan persamaan (2) untuk pengawasan di lapangan. Nilai Profibus
pada HNC 100 akan diubah menjadi tegangan untuk mengatur proportional valve.

315
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

e. Profibus ke HNC 100


Data yang dikirim oleh CPU IKN kemudian diolah oleh HNC 100 dengan
program yang ada didalamnya menjadi sebuah tegangan. Berikut datasheet dari
HNC 100.

Tabel 9 Datasheet HNC 100


Tegangan Panjang Stroke
0 . +10 V 0 - 60 mm
0 . -10 V 0 + 60 mm

Tabel 10 Data HNC 100


Tegangan (V)
Setpoint
Tanggal Mode Silinder Silinder
(spm)
Maju Mundur
5 -6,5 8,5
15/09/2015 Manual
8 -6,1 7,2

Berdasarkan datasheet HNC 100, maka dapat diambil kesimpulan bahwa


hubungan tegangan output HNC 100 dengan panjang stroke adalah linier sehingga
data diatas dapat diolah menjadi nilai panjang stroke yang terjadi. Datanya dapat
dilihat dibawah ini.
Tabel 11 Data Tegangan HNC 100 dan Panjang Stroke
Silinder Maju Silinder Mundur
Setpoint Panjang Panjang
Tegangan Tegangan
(spm) Stroke Stroke
(V) (V)
(mm) (mm)
5 -6,5 39 8,5 51
8 -6,1 36,6 7,2 43,2

316
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

f. HNC 100 ke Proportional Valve


Proportional valve unt
untuk
uk bekerja membutuhkan input berupa arus dengan
rentang -20
20 mA hingga +20 mA sehingga dibutuhkan converter dari tegangan
menjadi arus. Nilai tegangan diubah menjadi arus menggunakan pri
prinsip linieritas.
Jika tegangan dari HNC 100 sebesar -10 V maka arus yang sampai pada
proportional valve sebesar -20 mA.
A. Skemanya bisa dilihat pada gambar 4.7

Gambar 13 Skema dari HNC 100 menuju proportional valve

Nilai arus yang dikirim ke proportional valve menentukan proses yang


dilakukan oleh silinder hidrolik. Berikut datasheet dari proportional valve
valve.

Tabel 12. Datasheet Proportional Valve


Aliran valve piston Silinder
Arus
utama Hidrolik
0 +20 Bergerak
P-B dan A-T
mA Mundur
0 . -20 Bergerak
P-A dan B-T
mA Maju

317
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Gambar 14. Skema HNC 100, Proportional Valve dan Displacement Tranducer

Data pada 15 September 2015 jika dihubungkan secara linier dengan dat
datasheet
proportional valve diatas maka didapatkan data sebagai berikut.

Tabel 13.Data Tegangan dan Arus ketika Silinder Maju


Maju-Mundur
Silinder Maju Silinder Mundur
Setpoint
Tegangan Arus Tegangan Arus
(spm)
(V) (mA) (V) (mA)
5 -6,5 -13 8,5 17
8 -6,1 -12,2 7,2 14,4

Arus yang diterima oleh proportional valve ketika setpoint 5 spm adalah -13
mA hingga + 17 mA sedangkan ketika setpoint 8 spm adalah -12,2 mA hingga
+14,4 mA.
g. Displacement Tranducer
Displacement tranducer digunakan untuk mengukur panjang stroke yang
terjadi pada silinder. Pengukuran panjang stroke penting dilaku
dilakukan sebagai
feedback ke CPU IKN untuk dilakukan perbandingan nilai spm actual dengan
setpoint sehingga jika ada perbedaan, CPU IKN akan melakukan evaluasi sinyal

318
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

yang dikirm ke HNC 100. Berikut data pembacaan displacement tranducer yang
berhasil diambil dari lapangan.
Tabel 14 Data Displacement Tranducer
Setpoint Pengambilan Waktu/stroke
(spm) Data (s)
1 5,02
10
2 4,97
1 7,55
7
2 7,48

Data diatas kemudian diolah menjadi data sebagai berikut.


Tabel 15 Data Setpoint dan SPM Actual Berdasarkan Displacement Tranducer
SPM Actual
Penga Waktu
Setpoin (60
mbilan /stroke
t (spm) detik/[Waktu/st
Data (s)
roke])
1 5,02 11,95 spm
10
2 4,97 12,07 spm
1 7,55 7,95 spm
7
2 7,48 8,02 spm
SPM actual terlihat tidak sesuai dengan setpoint, data pembacaan ini yang akan
diperbaiki oleh CPU IKN sehingga sinyal yang dikirm ke HNC 100 memperbaiki
spm actual menjadi sesuai setpoint.
5. Simpulan
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilaksanakan di PT. Indocement
Tunggal Prakarsa Tbk dapat diambil kesimpulan sebagai berikut
1. Kendali pada grate cooler di plant 8 merupakan close loop karena terdapat
feedback berupa nilai actual stroke.
2. Setpoint akan dikonversi sesuai dengan kebutuhan device. Perubahan sinyal
yang terjadi pada grate 1 dari grate cooler IKN adalah sebagai berikut.

319
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

a. Komputer operator ke modul I/O : Perubahan dari spm ke arus,


menggunakan persamaan linieritas.
b. Modul I/O ke input analog CPU IKN: Perubahan dari arus ke bilangan
heksadesimal, menggunakan persamaan linieritas.
c. Input analog CPU IKN ke CPU IKN : Perubahan dari bilangan
heksadesimal ke spm, menggunakan persamaan scaling analog input.
d. CPU IKN ke Kabel Profibus : Perubahan dari spm ke bilangan
heksadesimal, menggunakan persamaan scaling analog output
e. Kabel Profibus ke HNC 100 : Perubahan dari bilangan heksadesimal ke
tegangan, menggunakan program yang ada dalam HNC 100
f. HNC 100 ke proportional valve : Perubahan dari tegangan ke arus,
menggunakan persamaan linieritas.
3. Perlu diambil data arus pada output card modul I/O di MCC sehingga didapat
persamaan yang valid dari konversi setpoint spm ke arus.
4.Perlu pengamatan lebih lanjut pada konversi panjang silinder menjadi nilai
actual grate
6. Daftar Pustaka
1. Ahmad, Arina Hasbana Laporan Praktek Kerja PT Indocement Tunggal
Prakarsa Tbk. Pabrik Citeureup Bogor, Plant 7 Universitas Diponegoro,
Semarang: 2015
2. Gojali, Fikri Inspeksi Grate Cooler AQC Plant 1-2 dan Pergantian Grate
Plate, Plant 2 Sekolah Tinggi Teknologi Indocement, Citeureup: 2015
3. Operating and maintenance manual cooler refurbishment IKN Book,2007
4. Anonim, Sistem Hidrolik dan Pompa Hidrolik
http://fortek-pembangunan.blogspot.co.id/2013/05/sistem-hidrolilk-dan-
pompa-hidrolik.html (URL diakses pada tanggal 18 Februari 2016)
5. Anonim, rumus konversi 4-20 mA
http://instrumentationtools.com/4-to-20-ma-conversion-formula/ (URL diakses
pada tanggal 17 Mei 2016)

320
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

ANALISA DISTRIBUSI TEMPERATUR ALAT PENUKAR KALOR


JENIS SHELL AND TUBE DENGAN MENGGUNAKAN METODE
COMPUTATIONAL FLUID DYNAMIC (CFD)

Lilis Hasibuan, Nasrul ZA


Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh
Laboratorium Teknik Kimia, Jl. Batam No. 2, Bukit Indah, Lhokseumawe 24535
e-mail : lilishasibuan@gmail.com

Abstrak

Tipe alat penukar kalor yang paling banyak digunakan didunia industri adalah
tipe shell and tube karena dari konstruksinya yang sederhana. Alat ini terdiri dari
sebuah shell silindris dibagian luar dan sejumlah tube di bagian dalam. Heat
Exchanger atau alat penukar kalor adalah alat yang berfungsi untuk
memindahkan kalor dari dua fluida atau lebih, melalui permukaan sentuh atau
memulai fluida, pada temperatur yang berbeda. Penelitian ini dilakukan untuk
menganalisis distribusi temperatur pada alat penukar kalor jenis shell and tube
dengan melihat beda temperatur atau LMTD dan pola aliran yang terbentuk
didalamnya. Penelitian dilakukan dengan metode CFD (Computation Fluid
Dynamic) menggunakan aplikasi Autodesk Simulation CFD dan menggunakan
Autodesk Inventor Proffesional untuk membuta model geometri. Variabel yang
divariasikan adalah temperatur masuk shell dan laju alir masuk shell. Dari
penelitian yang telah dilakukan, didapatkan nilai LMTD pada temperatur 100!C
dan laju alir masuk shell 200 kg/h; 250kg/h; 300kg/h; 350kg/h adalah 84,11; 85;
85; 0. Nilai LMTD pada temperatur 120!C dengan laju alir masuk shell yang sama
didapatkan nilai LMTD nya adalah 64; 66; 65; 63. Sedangkan pada temperatur
masuk shell 140!C didapatkan nilai LMTD nya adalah 50; 51; 50; 48. Dari data
hasil penelitian nilai yang didapatkan semakin kecil apabila semakin besar
jumlah laju alir. Dan pola aliran yang terbentuk pada sisi shell dalah turbulen.

Kata Kunci : Computational Fluid Dynamics, Heat Exchanger, Shell And


Tube, LMTD, Turbulen

1. Pendahuluan
Dalam suatu industri kimia, heat exchanger memiliki peranan yang sangat
penting terhadap keberhasilan keseluruhan rangkaian proses pada suatu unit,
kerena operasi heat exchanger yang gagal dapat menyebabkan berhentinya
operasi unit. Heat Exchanger adalah peralatan yang digunakan untuk melakukan
proses pertukaran kalor antara dua fluida, baik cair (panas atau dingin) maupun

321
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

gas, dimana fluida tersebut mempunyai suhu yang berbeda. Tipe alat penukar
kalor yang paling banyak digunakan pada industri adalah tipe shell and tube
karena konstruksinya yang sederhana. Alat ini terdiri dari sebuah shell silindris
dibagian luar dan sejumlah tube di bagian dalam.
Alat penukar kalor jenis shell and tube ini juga memiliki perbedaan antara
satu dengan yang lainnya, yaitu jumlah pipa, bentuk susunan pipa, panjang pipa,
dan sebagainya. Hal ini behubungan dengan luas penampang atau permukaan
untuk terjadinya perpindahan panas yang pada akhirnya akan menentukan
besarnya nilai koefisien perpindahan panas dari alat penukar kalor tersebut.
Efektifitas perpindahan panas dari suatu alat penukar kalor ditentukan nilai
koefisien panas menyeluruh, luas permukaan perpindahan panas, dan juga beda
suhu fluida masuk dan keluar dari alat penukar kalor. Pada alat yang akan diteliti
ini, koefisien perpindahan panas dari alat ini juga ditentukan dari profil aliran dan
kecepatan serta distribusi suhu yang terjadi. Jenis-jenis aliran fluida dalam alat
penukar kalor diantaranya aliran sejajar (parallel flow), aliran melintang (cross
flow), aliran berlawanan (counter flow). Selain dipengaruhi oleh material
konstruksi yang digunakan, kemampuan memindahkan panas alat penukar kalor
juga tergantung pada konstruksi pipa.
Pada penelitian ini, pemilihan alat penukar kalor tipe shell and tube adalah
didasarkan pada permasalahan yang sering terjadi pada alat penukar kalor jenis ini
karena distribusi suhu yang tidak merata yaitu adanya stagnasi fluida dibeberapa
bagian dalam alat penukar kalor yang dapat menyebabkan korosi. Korosi yang
tejadi dapat menurunkan kinerja alat penukar kalor itu sendiri. Untuk bisa
mengamati bagaimana mengamati distribusi suhu dan aliran fluida dalam alat
tersebut, maka pada penelitian ini dilakukan simulasi dengan menggunakan
program komputer untuk menganalisa aliran dan suhu pada alat penukar kalor
yaitu CFD (Computational Fluid Dynamic). Di harapkan penelitian ini dapat
digunakan untuk memahami kinerja alat penukar kalor yang banyak digunakan
pada berbagai industri kimia.

322
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

2. Tinjauan Pustaka
Fungsi penukar kalor yang dipergunakan di industri lebih diutamakan
untuk menukarkan energi dua fluida (boleh sama zatnya) yang berbeda
temperaturnya. Pertukaran energi dapat berlangsung melalui bidang atau
permukaan perpindahan kalor yang memisahkan kedua fluida atau secara kontak
langsung (fluidanya bercampur). Energi yang dipertukarkan akan menyebabkan
perubahan temperatur fluida (kalor sensibel) atau kadang dipergunakan untuk
berubah fasa (kalor laten). Laju perpindahan energi dalam penukar kalor
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kecepatan aliran fluida, sifat-sifat fisik
(viskositas, konduktivitas termal, kapasitas kalor spesifik, dan lain-lain), beda
temperatur antara kedua fluida, dan sifat permukaan bidang perpindahan kalor
yang memisahkan kedua fluida. Walaupun fungsi penukar kalor adalah untuk
menukarkan energi dua fluida atau dua zat, namun jenisnya banyak sekali. Hal ini
terjadi karena biasanya desain penukar kalor harus menunjang fungsi utama
proses yang akan terjadi di dalamnya. Perpindahan panas dapat didefenisikan
sebagai suatu proses berpindahnya suatu energi (kalor) dari satu daerah ke daerah
lain akibat adanya perbedaan suhu pada daerah tersebut. Beberapa macam proses
perpindahan kalor, yaitu :
1. Perpindahan kalor secara konduksi adalah proses perpindahan kalor dimana
kalor mengalir dari daerah bersuhu tinggi ke daerah yang bersuhu rendah
dalam suatu medium (padat, cair, atau gas) atau antara medium-medium yang
berlainan yang bersinggungan secara langsung. Secara umum laju aliran kalor
secara konduksi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

qk = -kA ...(2.1)

Dimana :
q = Laju aliran kalor
k = konduktivitas termal bahan (W/m2. ! C)
A = Luas penampang (m2 )
dT/dx = gradient suhu terhadap penampang tersebut, yaitu laju perubahan
suhu T terhadap jarak dalam arah aliran panas x.

323
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

2. Perpindahan kalor secara konveksi adalah proses perpindahan energi dengan


kerja gabungan dari konduksi kalor, penyimpanan energi dan gerakan
mencampur. Konveksi sangat penting sebagai mekanisme perpindahan energi
antara permukaan benda padat dan cair atau gas. Perpindahan kalor secara
konveksi dari suatu permukaan yang suhunya diatas suhu fluida disekitarnya
berlangsung dalam beberapa tahap. Pertama kalor akan mengalir dengan cara
konduksi dari permukaan ke partikel-partikel fluida yang berbatasan. Energi
yang berpindah dengan cara demikian akan menaikkan suhu dan energi dalam
partikel-partikel fluida tersebut. Kedua, partikel-partikel tersebut akan
bergerak kedaerah suhu yang lebih rendah dimana partikel tersebut akan
bercampur dengan partikel fluida lainnya. Perpindahan kalor secara konveksi
dapat dikelompokkan menurut gerakan alirannya, yaitu konveksi bebas (free
convection) dan konveksi paksa (forced convection). Apabila gerakan fluida
tersebut terjadi sebagai akibat dari perbedaan densitas (kerapatan) yang
disebabkan oleh gradient suhu maka disebut konveksi bebas atau konveksi
alamiah (natural convection). Bila gerakan fluida tersebut disebabkan oleh
penggunaan alat dari luar, seperti pompa atau kipas, maka prosesnya disebut
konveksi paksa. Laju perpindahan kalor antara suatu permukaan plat dan suatu
fluida dapat dihitung dengan hubungan :
qc = c.A. ...(2.2)
Dimana :
qc = Laju perpindahan kalor secara konveksi (W)
c = Koefisien perpindahan kalor konveksi (W/m2.K)
A = Luas perpindahan kalor (m)
!T = Beda antara suhu permukaan Tw dan suhu fluida T~
3. Perpindahan kalor secara radiasi adalah proses dimana panas mengalir dari
benda yang bersuhu tinggi ke benda yang bersuhu rendah bila benda-benda itu
terpisah didalam ruang, bahkan jika terdapat ruang hampa diantara benda-
benda tersebut. Energi radiasi yang dikeluarkan oleh benda karena temperatur
yang dipindahkan melalui ruang antara dalam bentuk gelombang
elektromagnetik. Bila energi radiasi menimpa suatu bahan, maka sebagian

324
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
radiasi dipantulkan, sebagai diserap dan sebagian diteruskan.
diteruskan Besarnya
perpindahan energi secara radiasi dengan persamaan berikut :
Qpancaran = T4 ..(2.3
..(2.3)
Dimana :
Qpancaran = Laju
Laj perpindahan panas (W)
= Konstanta boltzman (5,669.10-8 W/m2K4)
A = Luas permukaan benda (m2)
T = Suhu absolute benda ( ! C )

3. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menganalisa distribusi temperatur pada alat penukar
p kalor
komputasi dan dengan menggunakan aplikasi Autodesk
jenis shell and tube secara komputasi
simulation CFD..
A. Pembuatan model geometri alat penukar kalor pada Autodesk inventor
Model geometri digambar dengan menggunakan aplikasi Autodesk Inventor
diinput
professional.. Model geometri yang digambar berbentuk 3D. Selanjutnya dii
ke Autodesk Simulation CFD. Autodesk Invertor merupakan salah satu perangkat
lunak analisis komputasi untuk membantu membuat gambar atau model untuk
disimulasikan ke software Autodesk Simulation CFD Gambar alat penukar kalor
utodesk invetor proffesional 2014 dapat dilihat pada gambar 3.2 berikut.
pada autodesk

Gambar 3.1 Heat Exchanger pada software autodesk inventor

325
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

(a) (b)
Gambar 3.2 (a) Penampang Geometri Heat Exchanger bagian dalam (b)
Penampang Geometri Heat Exchanger tampak sebelah kanan

Tabel 1. Spesifikasi Alat Penukar Kalor


No. Parameter Keterangan
1 Panjang Shell 710 mm
2 Jenis Tube U tube
3 Jumlah Tube 4 buah U tube
4 Panjang Tube 680 mm
5 Diameter Tube 25,4 mm
6 Diameter Shell 200 mm
7 Susunan Tube Square Pitch

Data masukan (input) :


Jenis Fluida yang digunakan : - shell : a-MDEA Solution
- Tube : Ammonia Gas
Laju alir inlet shell : 350 kg/h
Laju alir inlet tube : 200 kg/h
Suhu inlet shell : 120 ! C
Suhu inlet tube : 210 ! C
Material shell and tube : Stainless steel 304

326
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

B. Pembuatan kondisi fisik model


Pembuatan kondisi fisik pada model dilakukan setelah model geometri diinput ke
Autodesk simulation CFD. Yang dimaksud dengan pembuatan kondisi fisik model
disini adalah menentukan material heat exchanger dan fluida yang masuk
didalamnya. Sebelum masuk pembuatan kondisi model terlebih dahu dila
dilakukan
void fill yang bertujuan untuk membuat volume pada model sehingga simulasi
dapat dilakukan.

model
Gambar 3.3 Pembuatan Material model dan fluida dalam mod
C. Pembuatan kondisi batasan (Boundary
( Condition)
Boundary condition adalah zona-zona
zona zona yang digunakan untuk menentukan batas
untuk daerah tersebut. Karena tiap-tiap
tiap tiap permukaan mempunyai kondisi batas yang
f luida mengalir. Nilai yang
berbeda sesuai dengan proses yang terjadi pada saat fluida
sebelumnya.
dimasukkan adalah dari variabel bebas yang ditentukan sebelumnya.

327
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Gambar 3.4 Pembuatan Kondisi Batasan


D. Pembuatan Meshing
Meshing adalah proses dimana geometri secara keseluruhan dibagi-bagi
dibagi dalam
elemen-elemen
elemen kecil. Elemen-elemen
Elemen elemen kecil ini nantinya berperan sebagai control
surface atau volume dalam proses perhitungan yang kemudian tiap-tiap
tiap elemen ini
akan menjadi inputan untuk elemen
el sebelahnya.

Gambar 3.5
3 Tampilan setelah meshing
E. Proses Iterasi
Langkah terakhir adalah proses iterasi pada gambar yang telah ditetapkan.

328
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

4. Hasil dan Diskusi


A. Visualisasi Distribusi Temperatur
Distribusi temperatur pada alat penukar kalor merupakan salah
sal satu
parameter yang ditinjau dari suatu alat penukar kalor. Setelah
Setela proses iterasi
selesai, maka akan didapatkan hasil sebagai berikut.

Gambar 4.1 Visualisasi Distribusi Temperatur pada Alat Penukar Kalor


Gambar diatas merupakan hasil simulasi bila dilihat pada sisi koordinat z.
Distribusi temperatur dapat dengan sangat jelas dilihat pada
pada gambar diatas. Dilihat
dari gambar 4.1 diatas, temperatur inlet yaitu gas ammonia (berwarna merah)
sangat tinggi. Pada saat fluida mengalir didalam tube, pada bagian inlet ini
terdapat tube sheet yaitu bagian tempat menempelnya tube-tube
tube sering terjadi
stagnasi fluida panas yang dapat menyebabkan korosi
osi pada daerah tube sheet
tersebut yang mengakibatkan terjadinya kerusakan yang cepat pada bagian tube
ang berupa kebocoran karena mengalami pemanasan yang telalu lama
yang la oleh gas
ammonia yang masuk.. Kerusakan yang terjadi berupa korosi yang mengakiba
mengakibatkan
me
kebocoran pada tube didaerah panas tersebut.
tersebut Dilihat dari gambar 4.1 visualisasi
distribusi temperatur, tejadi
jadi perubahan temperatur pada umpan
um masuk tube dari
210 ! C menjadi 190 ! C.
B. Visualisasi Pola Aliran
Pola aliran pada bagian shell alat penukar kalor umumnya adalah turbulen.
Pola aliran yang turbulen pada suatu alat penukar kalor dipengaruhi
dipengar oleh adanya

329
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
baffle.. Pada hasil simulasi ini di dapatkan pola aliran yang bergolak
ber pada bagian
shellnya
nya dan ditampilkan sebagai berikut.

Gambar 4.2 Visualisasi Pola aliran pada bagian Shell


Semakin turbulen aliran suatu fluida pada alat penukar kalor, maka akan
semakin lama waktu tinggal fluida didalam shell sehingga proses perpindahan
panas dalam alat penukar kalor semakin efektif. Pola aliran didalam
did shell yang
mpak yang baik pada terjadinya proses perpindahan
turbulen memberikan dampak perpind panas
alat penukar kalor tersebut. Dimana semakin besar perpindahan panas yang
terjadi, semakin efektif kinerja alat penukar kalor tersebut.
5. Daftar Pustaka
xchanger Shell And Tube
Ahmad Wafi B. At All,. 2011. Rancang Bangun Heat Exchanger
.Tugas Akhir Program Sarjana Universitas Diponegoro.
Single Phase.Tugas
Semarang.
Candra Damis W. 2012. Pengembangan Prosedur Design dan Redesign dengan
menggunakan CFD Untuk Alat Penukar Kalorjenis Shell & Tube. Tube.Master
PadaFakultasTeknik Program StudiTeknikMesin UI Depok.
Thesis PadaFakultasTeknik
Gaddis D. Editor. 2007. Standard Of The Tubular Exchanger Manufacturers
Manufacturers.
Ninth Edition.
Inacio D. At All., 2011. Simulasi Karakteristik Aliran Dan Perpindahan Panas
Cross Flow Susunan Tube Di Kondensortipe Aligned Dan Staggared
Untuk Sistem ORC. Tesis Program Pascasarjana ITS .Surabaya.
Surabaya.
Incropera P. Frank, Dewitt P. David, Bergman L. Theodore and Lav Lavine S.
Adrienne. 2007. Introduction to Heat Transfer.
Transfer. John Wiley & Sons (Asia)
Pte Ltd.
Suroso, M. Darwis Isnaeni. 2010. Penggunaan Fluent untuk Simulasi Distribusi
Suhu dan Kecepatan pada Alat Penukar Kalor.
Kalor. Pusat Teknologi Reaktor
dan Keselamatan Nuklir. BATAN

330
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

SINTESIS MEMBRAN SILIKA/ALUMINA UNTUK MEMISAHKAN


OKSIGEN DARI UDARA DENGAN METODE SOL-GEL

Ratna Sari 1, Ratni Dewi 1, Muhammad Yunus 1, Zulfayani 1


Jurusan Teknik kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe
Jl. Banda Aceh-Medan Km 275 Buketrata, Lhokseumawe
e-mail: akmalsalwa@yahoo.co.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tekanan dan suhu operasi
terhadap pemisahan oksigen dari udara dengan menggunakan membran silika/
alumina. Pelapisan membran silika/alumina dilakukan dengan menggunakan metode
sol-gel. Alumina disk dicelupkan ke dalam silika sehingga menghasilkan membran
silika/alumina. Komposisi gas dianalisa dengan menggunakan gas chromatography
(GC). Proses pemisahan oksigen dari udara dilakukan pada tekanan 1,2; 1,4; 1,6;
dan 1,8 bar dan suhu 20, 40, 60, 80 . Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin
besar tekanan dan temperatur maka semakin besar persen oksigen yang keluar dari
permeat. Persen oksigen yang keluar dari permeat yang paling baik pada tekanan 1,8
bar dengan komposisi 20.9576%. Selektivitas membran silika / alumina terbaik pada
tekanan 1,8 sebesar 26,514%.

Kata kunci : Membran silika/alumina, oksigen, sol-gel

1. Pendahuluan

Pemisahan adalah salah satu cara yang digunakan untuk memisahkan atau
memurnikan suatu senyawa atau kelompok senyawa yang mempunyai susunan kimia
yang berkaitan dari suatu bahan, baik dalam skala laboratorium maupun dalam skala
industri. Pemisahan oksigen dari udara dapat dilakukan dengan menggunakan
membran (Burdyny dan Struchtrup, 2010). Proses pemisahan oksigen menggunakan
membran merupakan salah satu teknologi yang mengalami pertumbuhan yang cepat
selama dua dekade terakhir. Membran banyak digunakan pada berbagai aplikasi.
Alasan menggunakan teknologi membran pada industri kimia dibandingkan dengan
teknologi lainnya karena membran memiliki ketahanan kimia yang baik yang bisa
bekerja pada kondisi proses yang sulit, kondisi pH yang ekstrim dan larutan yang

331
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
peka terhadap suhu atau pada proses-proses yang menggunakan pelarut organik.
Membran juga menawarkan harga yang murah dan ekonomis karena dapat dipakai
berulang-ulang, konsumsi energi yang sedikit dan sistem pengoperasian yang
mudah. Selain itu penggunaan membran tidak berdampak negatif pada lingkungan
karena proses pemisahan dengan membran bersifat fisik sehingga tidak diperlukan
senyawa kimia tambahan. Teknologi membran banyak digunakan untuk pemisahan
gas di industri, proses desalinasi air, proses pengolahan makanan, dan bahkan
aplikasi di bidang medis.
McCool dkk. (2003) menggunakan metode hydrothermal dan metode sol-gel
untuk pemisahan gas oksigen dari udara. Bahan baku yang digunakan adalah alumina
bubuk, Tetra Ethyl Ortho Silicate (TEOS), NaOH dan Cetyltrimethyl Ammonium
Bromide (CATB). Membran dibuat dalam bentuk disk, dan disimpan pada suhu ruang
selama 96 jam, dikalsinasikan selama 3 jam pada suhu 500  C. Diperoleh pori-pori
membran 0,1 m. Temperatur operasi yang digunakan 22  C, 100  C, dan 150  C, dan
tekanan yang dgunakan adalah 1,4 atm, 1,5 atm dan 1,6 atm. Fluks oksigen murni
yang didapat pada tekanan tetap 1 atm dan variasi suhu diatas menggunakan metode
hydrothermal adalah 0,012-0,013 mol m-2 s-1. Sedangkan fluks oksigen murni yang
diperoleh menggunakan metode sol-gel dengan operasi yang sama diperoleh 0,02-
0,25 m-2 s-1.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka penulis mencoba kondisi
operasi yang lebih rendah, baik suhu maupun tekanan yaitu pada suhu 20-60  C dan
tekanan 1,21,8 bar.

1. Tinjauan Pustaka

Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi
bumi dan komponen campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Udara juga
merupakan atmosfer yang berada di sekeliling bumi yang fungsinya sangat penting
bagi kehidupan manusia di dunia ini. Unsur terpenting dari udara untuk kehidupan
adalah oksigen. Oksigen, merupakan komponen esensial bagi kehidupan, baik
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
manusia maupun makhluk hidup lainnya. Oksigen terkandung di dalam udara sebesar
20%, dengan unsur gas lainnya nitrogen 78 %, argon 0,93% , karbon dioksida 0,03%
dan sisanya terdiri dari neon, helium, metan dan hidrogen (Burdyny dan Struchtrup,
2010).
Alumina merupakan bahan keramik paling umum di gunakan untuk menyongkong
film membran. Hal ini disebabkan alumina tahan terhadap bahan kimia dan suhu
tinggi dan juga mempunyai struktur simetri dan asimetri dengan ukuran pori mikron
hingga nanometer. Alumina mempunyai permukaan yang licin sehingga hambatan
perpindahan gas rendah dan dapat dioperasikan hingga suhu 800      alami
perubahan struktur pori (Hsieh, 1996).
Secara umum, membran didefinisikan sebagai lapisan tipis yang selektif di antara
dua fasa, yaitu fasa yang akan dipisahkan (fasa umpan) dan fasa hasil pemisahan
(fasa permeat). Membran dapat berbentuk lapisan tebal atau tipis, yang memiliki
struktur homogen atau heterogen dan dapat berperan sebagai penyaring aktif maupun
pasif. Proses pemisahan dengan membran terjadi karena adanya perbedaan sifat fisika
dan kimia antara komponen dalam fasa yang dipisahkan dengan membran serta
        
                
            (Bissett dkk., 2008)

2. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui lima tahap yaitu tahap persiapan membran, tahap
kedua adalah pelapisan membran alumina dengan larutan sol alumina, tahap ketiga
adalah pelapisan membran alumina dengan larutan sol silika, tahap keempat adalah
karakterisasi membran dan tahap kelima adalah proses pemisahan oksigen dari udara.
Pemisahan oksigen dari udara dapat dilakukan pada suhu 20, 40, 60, dan 80  C dan
tekanan yang digunakan adalah 1,2; 1,4; 1,6; dan 1,8 bar, Komposisi gas dianalisa
dengan menggunakan Gas Cromatography (GC).

3. Hasil dan Diskusi


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
Hasil sintesis membran silika alumina dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Membran silika/alumina

Membran berwarna putih berdiameter 2,5 cm dengan permukaan masih terlihat


kasar. Untuk mengidentifikasi gugus fungsi membran dilakukan dengan alat Fourier
Transform Infra-Red (FTIR) (Gambar 2).

Gambar 2. Hasil analisa gugus fungsi alumina


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa pada spektrum infra merah diperoleh pita
serapan pada 4000 cm-1 dengan persen transmitan 18629, 96 % menunjukkan adanya
serapan vibrasi gugus -OH, pita serapan 3448,72 dengan persen transmitan
19873,74% menunjukkan adanya vibrasi ulur OH. Hasil ini menunjukkan gugus
fungsi yang terkandung dalam membran merupakan gugus fungsi gamma alumina.
Pemisahan oksigen dari udara menggunakan membran silika/alumina dilakukan
pada suhu 20, 40, 60, 80        1,2; 1,4; 1,6 dan 1,8 bar dengan
menggunakan alat yang terbuat dari bahan stainless steel (Gambar 3).

Nitrogen keluar (retentate)

Okseigen keluar Udara masuk


(permeat)

Gambar 3. Alat pemisahan oksigen dari udara

Pengaruh suhu dan tekanan terhadap persen oksigen yang keluar dari permeat
dapat dilihat pada Gambar 4. Semakin besar tekanan dan temperatur yang digunakan
maka semakin besar gas oksigen yang dapat melewati membran. Hal ini dikarenakan
gaya dorong yang semakin besar menyebabkan gas melewati membran semakin
banyak. Kenaikan tekanan akan menyebabkan tahanan permukaan akan menjadi
kurang dibandingkan dengan difusi oksigen di dalam lapisan membran. Oleh sebab
itu permeasi oksigen meningkat berbanding lurus dengan bertambahnya tekanan. Gas
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
oksigen dan nitrogen pada suhu yang sama mempunyai energi yang setara dan karena
energi ini sebagian besarnya adalah energi kinetik, maka molekul-molekul gas yang
lebih berat (nitrogen) akan mempunyai kecepatan yang lebih rendah (Oyama et al.
2011).



 
 


 
 


   
  

     
  

Gambar 4 Pengaruh suhu dan tekanan terhadap persen oksigen yang keluar (permeat)

Adapun slektivitas membran silika/alumina dapat dilihat dalam Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Selektivitas membran silika/alumina
Tekanan Temperatur Selektivitas membran
(bar) (  C) silika/alumina(%)
1,2 20 25,904
40 26,064
60 26,083
80 26,107
1,4 20 26,125
40 26,187
60 26,191
80 26,282
1,6 20 26,418
40 26,448
60 26,463
80 26,470
1,8 20 26,498
40 26,505
60 26,505
80 26,514
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
Tabel 1 menunjukkan bahwa semakin besar tekanan dan temperatur maka semakin
besar selektivitas membran silika/alumina. Hal ini dikarenakan adanya gaya dorong
dari udara dan juga tekanan pada retentat lebih besar sehingga gas oksigen yang dapat
melewati membran semakin besar.

4 Kesimpulan

1. Semakin besar temperatur dan tekanan maka semakin besar persen oksigen
yang keluar dari bagian permeat. Tekanan operasi untuk penelitian ini yang
paling baik adalah 1,8 bar dengan temperatur 80            
oksigen sebesar 20,95755%.
2. Semakin besar temperatur dan tekanan maka semakin besar selektivitas
membran silika/alumina. Tekanan operasi 1,8 bar dengan temperatur 80  C
menghasilkan selektivitas membran silika/alumina sebesar 26,514%.

5 Daftar Pustaka

Burdyny, T. dan Struchtrup, H., 2010, Hybrid Membrane/Cryogenic Separation of


Oxygen from Air for Use in The Oxy-Fuel Process, Energy, 35: p.1884-1897

McCool, B.A., 2003, Synthesis and characterization of mesoporous silica membranes


via dip-coating and hydrothermal deposition techniques, Journal of Membrae
Science, 218 (1-2): p. 55-67.

Hsieh, H. P., 1996, Inorganic membranes for separation and reaction, AE


Amsterdam, The Netherlands, Elsevier Science.

Bissett, H., Zah, J. & Krieg, H.M., 2008, Manufacture and optimization of tubular
ceramic membrane supports, Powder Technology, 181: 57-66

Oyama, S.T., Yamada, M., Sugawara, T., Takagaki, A. & Kikuchi, R., 2011, Review
on mechanisms of gas permeation through inorganic membranes, Journal of
the Japan Petroleum Institute, 54: 298-309.
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

KAJI EKSPERIMENTAL FILM EVAPORATIVE DAN HUMIDIFIKASI


PADA KOLEKTOR PELAT DATAR

Zulfikar1, Muhammad2, Teuku Hafli1, Zulkarnein1


1
Jurusan Teknik Mesin, Universitas Malikussaleh, Reuleut, Indonesia
2
Jurusan Teknik Kimia, Universitas Malikussaleh, Reuleut, Indonesia
Email : zfikar.hamid@gmail.com

Abstrak

Produktivitas dan kuantitas garam produksi masih sangat rendah. Produksi


garam secara tradisi di provinsi Aceh dilakukan dengan dua tahapan, yaitu :
tahap produksi ie kuloh atau ie iku (larutan garam) dan tahap perebusan
sehingga terbentuk kristal garam. Produktivitas produksi larutan kosentrat garam
masih sangat rendah, karena proses evaporasi yang terjadi lamban.
Pengembangan dan penerapan teknologi kolektor diharapkan dapat
meningkatkan proses evaporasi. Pada penelitian tahap pertama akan
dikembangkan kolektor pelat datar sebagai alat penerima panas surya dan juga
berfungsi sebagai evaporator. Kolektor jenis pelat datar telah dibangun dengan
menggunakan pelat absorber stainless-steel yang dicat hitam dengan permukaan
bertekstur. Pelat absorber membagi ruang menjadi dua fungsi, yaitu ruang atas
sebagai evaporator dan ruang bawah sebagai kondensor. Air diumpankan
melalui pipa yang berada di ruang kondensor dan diharapkan air tersebut akan
menerima panas dari proses kondensasi uap. Selanjutnya, air tersebut dialirkan
diatas permukaan pelat absorber membentuk lapisan tipis (film) sedangkan udara
diumpankan dari bawah dan berlawanan dengan arah aliran air sehingga
diharapkan efek evaporasi lebih baik. Pengujian telah dilakukan di pekarangan
laboratorium teknik mesin dan difokuskan pada proses evaporasi. Hasil
pengujian menunjukkan proses evaporasi meningkat terhadap peningkatan
intensitas matahari dengan sebaran produksi uap antara 1300 hingga 2100 gram
untuk sebaran intensitas matahari antara 461 hingga 622 W/m2.

Keywords: kolektor, evaporator, produksi uap.

1 Pendahuluan

Garam kerap kali dikesampingkan dan dianggap tidak memiliki nilai ekonomis
yang mampu berkontribusi terhadap pembangunan dan peningkatan kesejahteraan
pelaku usaha garam. Sangat ironis sebagai negara maritim dengan garis pantai
terpanjang di dunia, setiap tahun Indonesia harus bergantung pada garam impor

338
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

dan menghabiskan devisa cukup besar untuk pemenuhan kebutuhan garam dalam
negeri.
Produktivitas dan kualitas garam produksi dalam negeri masih sangat rendah
karena pelaku garam masih memproduksi secara trandional tanpa adanya sentuhan
sains dan teknologi. Di provinsi Aceh, secara tradisi garam diproduksi dengan dua
tahapan, yaitu : tahap produksi ie kuloh atau ie iku (konsentrat garam) dan tahap
perebusan sehingga terbentuk kristal garam.
Produktivitas produksi kosentrat garam masih sangat rendah, karena proses
dilakukan secara terbuka sehingga pemanfaatan energi panas matahari belum
maksimal dan membutuhkan lahan yang luas serta sangat tergantung pada cuaca
dan tidak dapat berproduksi pada musim hujan. Kualitas kosentrat yang dihasilkan
juga masih sangat rendah, keruh atau terkontaminasi dengan tanah. Kegiatan
produksi konsentrat juga sangat membutuhkan kerja ekstra terutama selama
proses penyiapan pasir filter yaitu penyiraman dan penggarukan pasir yang
dilakukan secara berulang-ulang.
Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah Bagaimana
mengembangkan kolektor surya pelat datar sebagai evaporator air laut untuk
produksi kosentrat garam.

2 Dasar Teori

Distilasi merupakan proses pemisahan secara diffuse berdasarkan volatilitas dari


komponen-komponen akibat perbedaan titik didih masing-masing komponen.
Proses distilasi air laut melibatkan tiga aliran cairan, yaitu umpan berupa air laut,
produk air bersalinitas rendah, dan produk kosentrat garam. Sistem distilasi dapat
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sistem distilasi surya langsung dan tidak
langsung. Distilator surya konvensional (atau single-slope solar still) merupakan
penyuling surya langsung dan paling sederhana (Gambar 1). Air dalam basin
dipanaskan oleh sinar matahari sehingga terjadi evaporasi dan menhdasilkan uap.
Ketika uap mencapai permukaan kaca penutup bagian dalam yang memiliki
temperatur lebih rendah daripada temperatur titik embun (dew point) campuran
udara-uap dalam ruang (cavity) maka uap akan terkondesasi pada permukaan kaca

339
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

bagian dalam. Kemiringan kaca penutup menyebabkan air distilat mengalir dan
terkumpul pada saluran yang telah disediakan [1]. Produkstivitas sistem distilasi
langsung dapat ditingkat dengan penggunaan basin bertingkat [2,3,4], penerapan
pendinginan kaca penutup [5,6], penggunaan wick [7].

Gambar 1 Distilator surya konvensional

Penyuling basin ganda aktif yang diintegrasikan dengan kolektor plat datar dan
penyuling basin ganda pasif tanpa kolektor pelat datar. Pengujian dilakukan
dengan ketinggian air dalam basin 0,03m. Hasil menujukkan penerapan kolektor
pada penyuling aktif mampu meningkatkan kinerja penyuling hingga 51%
dibandingkan tanpa kolektor. Penyuling aktif menghasilkan 2,791 kg/m2
sedangkan penyuling pasif menghasilkan 1,838 kg/m2 [8].
Penerapan humidifier-dehumidifier pada distilator surya mampu meningkatkan
laju produktivitas. Distilator terdiri dari berupa kotak persegi bertingkat pada
bagian tengah membagi menjadi ruang atas dan bawah. Ruang atas merupakan
ruang evaporasi tempat terjadi evaporasi karena pemanasan sinar matahari dan
ruang bawah merupakan kondensor. Sirkulasi alami aliran udara memberi efek
humidifikasi pada ruang evaporator dan dehumidifikasi pada ruang kondensor
sehingga produktivitas mencapai 5,3 kg/m2.p. [9]. Sirkulasi aliran udara secdan
humidifikasi karena aliran yang terbentuk secara alami. Ruang bawah merupakan
ruang kondensor dan dehumidifikasi akibat sirkulasi udara yang terjadi.
Produkstivitas distilator ini mencapai 5,3 kg/m2.d. Pemisahan kondensor dari
evaporator dengan membuatkan pipa tembaga sebagai pipa kondensasi. ra
evaporator dan kondensor. Kipas menghembuskan udara kedalam distilator
sehingga uap air terdesak masuk kedalam pipa tembaga sebagai kondensor. Pipa

340
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

tembaga dengan menambahkan pipa kondensor pada sebuah distilator


konvensional. Telah mengembangkan metoda desalinasi dengan humidifikasi
yang terdiri beberapa perlatan utama. Kolektor surya digunakan untuk
memanskan udara dan peralatan humidifikasi digunakan untuk meningkatkan
kandungan [10].

Tabel 1 Hasil pengujian sistem-sistem desalinasi surya [1]


Intensitas Temp. Lingk.
Produktivitas
Sistem Lokasi Matahari Rata-rata
(kg/m2.d)
(MJ/m2.d) (C)
Distilator langsung
Penyuling surya basin ganda
Bahrain 18.15 39 3.91
dengan insulasi dinding
Penyuling surya basin tunggal
Bahrain 18.15 39 2.84
dengan insulasi dinding
Penyuling surya miring dengan North
11.98 25 2.99
black-fleece wick Cyprus
Penyuling surya vertikal Algeria 17.31 40 0.52.3
Penyuling surya basin tunggal
Italy 27 30 1.8
plastik
Penyuling surya basin tunggal
Jordan 21.56 27 5.75
dengan KMnO4

Penyuling surya basin tunggal


Jordan 21.56 27 5.2
dengan 50% arang
DIFICAP with single stage Algeria N/A 40 2.76
DIFICAP with two stages Algeria N/A 40 5.19
Distilator tidak langsung
&.,$"& *,).& & !)"&   

#'&&**"(#*

'$) *+"$$',($+'&',+*" ,)#. 


 

'&&*)

"*+%*,).& & !"&  


 

(%&+&,$& (&*!+

)'-).

341
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

"*+%*,).& &#'$#+') !"&   

(%&*")

"*+%*,).,)+)+,+,( ')&   




*"&+.(%,$+"($+ (& /    /# ()

",*"'&',($*'$)*+"$$ ,&"+)'+!

$**'-)

2 Metodologi Penelitian

Ada beberapa aspek teknis yang menjadi pertimbangan dalam penelitian ini,
yaitu: Memaksimalkan laju evaporasi kandungan air dari air laut sehingga
diperoleh air laut kadar garam tinggi atau kosentrat garam. Hal ini dapat dicapai
dengan cara :
a. Mengalirkan aliran air laut ke atas permukaan pelat absorber sehingga
memungkinkan pencapaian temperatur air lebih tinggi (sama dengan
temperatur pelat) dengan waktu yang lebih singkat karena volume air yang
dipanaskan sangat sedikit.
b. Mengalirkan aliran udara berlawanan arah dengan aliran air laut yang
dipanaskan sehingga memungkinkan terjadinya film evaporation.

Meminimalkan kehilangan energi panas sehingga tidak ada kehilangan panas ke


lingkungan. Hal ini dapat dicapai dengan cara :
a. Mengisolasi termal seluruh sisi/permukaan yang berinteraksi dengan
lingkungan yang memiliki temperatur lebih rendah.
b. Pemanfaatan kembali panas yang dimiliki uap hasil evaporasi dengan proses
kondensasi. Panas hasil kondensasi ini digunakan untuk pemanasan awal air
laut sebelum dipanaskan pada pelat absorber.

Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Teknik Mesin Universitas


Malikussaleh di dalam ruangan untuk pengujian evaporator dan diluar ruangan
untuk kolektor.

342
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Kolektor surya (flat plate collector)


Kolektor jenis pelat datar ini telah dibuat dengan menggunakan pelat absorber
stainless-steel dan dicat hitam dengan permukaan bertekstur membagi ruang
menjadi dua fungsi, yaitu ruang atas sebagai evaporator dan ruang bawah sebagai
kondensor. Air mengalir melalui pipa yang berada di ruang kondensor menerima
pemanasan uap yang terkondensasi dan mengalir diatas permukaan pelat absorber
sehingga temperatur air meningkat dan terjadi evaporasi. Aliran udara yang
berlawanan arah diharapkan dapat meningkatkan laju evaporasi kandungan air.

udara

kosentrat air laut

Gambar 3 Set-up peralatan pengujian

3 Hasil dan Pembahasan

Pengujian telah dilakukan selama lima jam pengambilan data dengan


pengulangan pengujian sebanyak lima kali dengan interval pengambilan data 1
jam. Hasil berupa distribusi temperatur dan produksi uap terhadap intensitas
matahari seperti diperlihatkan pada Gambar 3 dan Gambar 4.

343
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Temperatur[C]



T. Air Umpan T. Kaca T. Ruang T. Plat


T. Air Keluar T. Udara T. Lingk


450 500 550 600 650


Intensitas Matahari [W/M2]

Gambar 3 Distribusi temperatur terhadap intensitas matahari

Gambar 3 memperlihatkan peningkatan nilai intensitas matahari yang diter


diterima
kolektor
ektor menyebabkan terjadinya peningkatan nilai temperatur plat,
plat ruang dan air
keluar. Semakin
in besar nilai intensitas maka semakin besar energi
ene matahari yang
diterima oleh plat sehingga semakin besar energi tersimpan
tersimpan pada plat yang dapat
dilihat dari peningkatan nilai temperatur plat. Nilai temperatur
temperatur plat yang tinggi
akan memperbesar laju perpindahan
perpi han panas ke lapisan air yang mengalir
dipermukaan plat yang ditunjukkan dengan peningkatan temperatur air keluar
sehingga laju penguapan menjadi lebih besar dan nilai temperatur ruang menjadi
lebih tinggi.




$"'%#$ 



 

  *
)
+




  





  


!&!%&%&$( 

344
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Gambar 4 Produksi Uap terhadap intensitas matahari [W/m2]

Nilai temperatur plat dan ruang semakin meningkat dengan semakin besar
peningkatan intensitas matahari. Produktivitas uap dapat dilihat dari produksi uap
yang dihasilkan terhadap intesitas matahari sebagai faktor yang berpengaruh
terhadap energi masuk ke sistem, seperti diperlihatkan pada Gambar 4. Produksi
uap menunjukkan peningkatan terhadap peningkatan intensitas matahari dengan
Sebaran produksi uap antara 1300 hingga 2100 gram untuk sebaran intensitas
matahari antara 461 hingga 622 W/m2.

4 Kesimpulan

Kaji eksperimental film evaporatif dan humidifikasi pada kolektor pelat datar
telah berhasil dilakukan dengan kesimpulan sebagai berikut :
1) Mekanisme film evaporatif dan humidifikasi dapat diterapkan pada kolektor
pelat datar untuk sistem distilator surya tidak langsung.
2) Semakin tinggi nilai intensitas matahari, maka semakin tinggi nilai
temperatur plat sehingga semakin besar penguapan yang terjadi.

Ucapan Terimakasih
Terima kasih disampaikan kepada Kementerian Ristek Teknologi dan Pendidikan
Tinggi yang telah membiayai penelitian ini.
5. Daftar Pustaka

[1] H.S Aybar dan H. Assefi, A review and comparison of solar distillation :
direct and indirect type systems, Desalination and Water Treatment, 10
(2009) 321331.
[2] A.A. Al-Karaghouli and W.E. Alnaser, Performances of single and double
basin solar stills. Appl. Energy, 78 (2004) 347354
[3] A.A. El-Sebaii, Thermal performance of a triple-basin solar still.
Desalination, 174 (2005) 2337.

345
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

[4] H. Al-Hinai, M.S. Al-Nassri and B.A. Jubran, Parametric investigation of a


double-effect solar still in comparison with a single-effect solar still.
Desalination, 150 (2002) 7583.
[5] M. Abu-Arabi, Y. Zurigat, H. Al-Hinai and S. Al-Hiddabi, Modeling and
performance analysis of a solar desalination unit with double glass cover
cooling. Desalination, 143 (2002) 173182
[6] M. Dula dan L. Aba, Studi Karakteristik Kondensor pada Solar Still tipe
Basin dan Aplikasinya sebagai Alat Destilasi Air Laut Menjadi Air Tawar.
Jurnal Aplikasi Fisika, Vol. 5 No.1 Februari 2009,40-45.
[7] H.S. Aybar, F. Egelioglu and U. Atikol, An experimental study on an
inclined tilted-wick type solar still with the effect of water flowing over the
glass cover. Desalination, 180 (2005) 285289.
[8] V.K. Dwivedi dan G.N. Tiwari, Experimental validation of thermal model of
a double slope active solar still under natural circulation mode, Desalination,
250 (2010) 49-55.
[9] H.E.S. Fath, S.M. El-Sherbiny and A. Ghazy, Transient analysis of a new
humidification-dehumidification solar still. Desalination, 155 (2003) 187
203.
 E. Chafik, A New type of seawater desalination plants using solar energy,
Desalination, 156 (2003), 333-348.

346
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

ANALISA PENGARUH JARAK ANTAR BAFFLE


TERHADAP PERPINDAHAN PANAS PADA ALAT PENUKAR KALOR
JENIS SHELL AND TUBE DENGAN MENGGUNAKAN METODE
SIMULASI COMPUTATIONAL FLUID DYNAMIC (CFD)

Muhammad Jayanta Bangun1, Nasrul ZA1, Azhari1


1
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh
Laboratorium Teknik Kimia, Jl. Batam No. 2, Bukit Indah, Lhokseumawe 24353
e-mail: mjayantabangun@gmail.com

Abstrak

Penukar kalor (heat exchanger) adalah sebuah alat yang digunakan untuk
memindahkan panas antara dua jenis fluida atau lebih yang memiliki perbedaan
temperatur. Efektivitas suatu alat penukar kalor perlu diperhatikan agar proses
perpindahan panas berlangsung dengan baik, salah satu faktor yang mempengaruhi
efektivitas adalah pemasang baffle pada alat penukar kalor. Penelitian dilakukan
untuk mengetahui pengaruh jarak antar baffle dan laju aliran massa fluida pendingin
terhadap efektifitas dalam alat penukar kalor. Metode penelitian yang dilakukan
menggunakan simulasi komputer melalui software Autodesk Computational Fluid
Dynamics (CFD) Simulation. Penelitian ini menggunakan alat penukar kalor tipe shell
and tube dengan variasi jarak baffle (500 mm,550 mm dan 600 mm), dan variasi laju
alir massa fluida pendingin (25 Kg/jam, 35 Kg/jam dan 50 Kg/jam). Fluida panas
berupa ammonia (103oC, pada sisi tube) dan Fluida pendingin berupa air (31,5oC,
pada sisi shell) dialirkan secara berlawanan arah. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan semakin dekat jarak baffle dan laju alir massa pendingin yang besar
meningkatkan efektivitas alat penukar kalor . Pada jarak baffle 500 mm dan laju alir
massa air 25, 35 dan 50 Kg/jam diperoleh nilai efektivitas 0,42 ; 0,66 dan 0,98.
Sedangkan pada jarak baffle 550 mm = 0,23 ; 0,44 dan 0,70. Dan pada jarak baffle
600 mm = 0,35 ; 0,59 dan 0,91. Nilai efektifitas maksimum yang diperoleh adalah
0.98 yang terjadi pada jarak antar baffle 500 mm dan laju alir massa air 50 Kg/jam.

Kata Kunci : perpindahan panas, heat exchanger, shell and tube, simulasi, CFD,
baffle, fluida, efektivitas

1. Pendahuluan

Proses perpindahan panas merupakan peristiwa yang dijumpai hampir


dalam setiap operasi dalam kegiatan teknik kimia. Pada saat sekarang beberapa
peningkatan perpindahan panas pada penukar kalor telah banyak dikembangkan
seiring dengan perkembangan industri, perkembangan alat penukar kalor juga
semakin meningkat. Perkembangan-perkembangan tersebut mengarah pada

347
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

efektivitas alat penukar kalor yang semakin tinggi nilainya. Efektivitas dari
penukar kalor dipengaruhi oleh banyak hal. Salah satunya adalah jenis aliran yang
berada dalam alat penukar kalor. Aliran yang turbulen diketahui memiliki nilai
perpindahan kalor yang lebih baik dibanding dengan jenis aliran laminar. Dengan
pemasangan baffles, maka aliran menjadi lebih turbulen, sehingga koefisien
perpindahan kalor konveksi yang terjadi lebih besar bila dibandingkan dengan
tanpa baffles (Kern,1950).
Menurut Incropera dan Dewitt (1990), beberapa teknik untuk memacu
perpindahan kalor secara konveksi pada aliran fluida dalam pipa (internal flow),
yaitu dengan cara meningkatkan turbulensi aliran fluida dan memperluas
permukaan konveksi. Teknik untuk meningkatkan turbulensi fluida dapat
dilakukan dengan cara pemberian piranti tertentu yang disisipkan pada aliran
fluida didalam pipa seperti, baffles, kawat spiral, pita spiral, pal dipilin, anulus
bergalur, dan ring spiral. Pada penelitian ini satu cara untuk meningkatkan
turbulensi aliran fluida dalam penukar kalor adalah dengan menggunakan baffles,
yaitu sekat yang dapat membuat aliran di dalam pipa penukar kalor menjadi lebih
turbulen.
Pentingnya jarak baffles pada penukar kalor dijelaskan oleh Dogan
Eryener (1998). Penukar kalor dengan baffles memiliki banyak keuntungan seperti
pemisahan sempurna antara panas dan fluida dingin, ringan efektifitas pemulih
panas tinggi, tidak ada bagian yang bergerak, dan tidak ada daya eksternal.
. Menurut penelitian Danny (2015), menunjukkan koefisien perpindahan
panas maksimal terdapat pada kemiringan baffles 30o dengan variasi bilangan
Reynolds terbesar yaitu 6000 dengan nilai 229.80 W. Efektivitas maksimal
diperoleh pada kemiringan baffles 0 dengan variasi bilangan Reynolds 6000
sebesar 0.0391. Simulasi penelitian ini mampu memberikan desain pembuatan
untuk penukar kalor.
Computational Fluid Dinamic (CFD) adalah salah satu metode yang
diaplikasikan dalam bentuk persamaan pada perangkat lunak, saat ini banyak jenis
Software CFD seperti : Autodesk CFD, SolidWork, Fluent, CFDSoft, Ansys, dan

348
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

lainnya. CFD merupakan software alat bantu yang dipengaruhi oleh parameter
kondisi batas yang diberikan sehingga diperlukan kondisi batas yang tepat untuk
mendapatkan hasil yang akurat serta sesuai dengan teori dasar. Penelitian yang
akan dilakukan akan membuat sebuah simulasi pemodelan menggunakan
Autodesk CFD 2015, Autodesk CFD dapat digunakan untuk menyelesaikan
permasalahan kompleks dari geometri sehingga dapat memberikan hasil
persamaan yang dianalisa dengan memberikan hasil pendekatan dari nilai yang
tidak diketahui pada titik tertentu dalam sistem yang kontinyu (iterasi). Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh jarak antar baffle pada alat penukar
kalor jenis shell and tube yang menghasilkan perpindahan panas yang paling baik.

2. Tinjauan Pustaka
Alat penukar panas (heat exchanger) adalah suatu alat yang digunakan
untuk memindahkan panas antara dua buah fluida atau lebih yang memiliki
perbedaan temperatur yaitu fluida yang bertemperatur tinggi kefluida yang
bertemperatur rendah. Alat penukar kalor berfungsi untuk mengontrol kenaikan
temperatur sistem dengan menambahkan atau menghilangkan energi termal dari
suatu fluida ke fluida lainnya. walaupun ada banyak perbedaan jenis alat penukar
kalor, semua alat penukar kalor menggunakan elemen-elemen konduksi termal
yang pada umumnya berupa tabung tube atau plat untuk memisahkan dua fluida
tersebut. salah satu dari elemen tersebut, memindahkan energi kalor ke elemen
lainnya.
Faktor perhitungan pada alat penukar kalor adalah masalah perpindahan
panasnya. Apabila panas yang dilepaskan besarnya sama dengan Q persatuan
waktu, maka panas itu diterima fluida yang dingin sebesar Q tersebut dengan
persamaaan :
    ........................................................(2.1)
di mana :
Q = Kalor yang dilepaskan/diterima ( W )
U = Koefisien perpindahan panas menyeluruh ( W/m2 .oC )
A = Luas perpindahan panas ( m2 )

349
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

!Tm!=!Selisih!temperatur!rata-rata!(oC)
Sebelum!menentukan!luas!permukaan!kalor!(A),!maka!terlebih!dahulu!ditentukan
nilai!dari!LMTD.!Hal!ini!berdasarkan!selisih!temperature!dari!fluida!yang!masuk
dan!keluar!dari!kalor.


 ........................................(2.2)

Untuk!aliran!fluida!paralel,! Tmax!=!(T1 t1)!dan! Tmin!=!(T2 t2)


Untuk!aliran!fluida!silang,! Tmax!=!(T1 t2)!dan! Tmin!=!(T2 t1)
di!mana!:
LMTD =!Selisih!temperatur!rata rata!logaritma!(oC)
T1 =!Temperatur!fluida!masuk!ke!dalam!shell!(oC)
T2 =!Temperatur!fluida!keluar!shell!(oC)
t1 =!Temperatur!fluida!masuk!ke!dalam!tube!(oC)
t2 =!Temperatur fluida!ke!luar!tube!(oC)

Efektifitas!suatu!alat!penukar!kalor!didapat!dengan!membandingkan!antara
laju! perpindahan! kalor! aktual! dengan! laju! perpindahan! kalor! maksimum! yang
mungkin!terjadi.
Pendekatan! LMTD! dengan! penukar! kalor! berguna! bila! suhu! masuk! dan
suhu!kelua!dapat!ditentukan!dengan!mudah,!sehingga!LMTD!dapat!dengan!mudah
dihitung.! Selanjutnya! aliran! kalor,! luas! permukaan,! dan! koefisien! perpindahan
kalor!menyeluruh!dapat!ditentukan.!Bila!kita!menentukan!temperatur!masuk!atau
temperatur! keluar,! analisis! akan! melibatkan! prosedur! iterasi! karena! LMTD! itu
sesuai!dengan!fungsi!logaritma.!Analisis!akan!lebih!mudah!dilaksanakan!dengan
dengan! menggunakan! metode! yang! berdasarkan! atas! efektifitas! penukar! kalor
dalam!rnemindahkon!kalor!tertentu.
Untuk! mendefenisikan! efektifitas! suatu! penukar! kalor,! laju! perpindahan
kalor! maksimum! yang! mungkin! terjadi,! qmax untuk! penukar! kalor! itu! harus
ditentukan!terlebih!dahulu.

350
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Untuk menentukan laju perpindahan kalor maksimum pada suatu penukar


kalor, pertama-tama harus dipahami terlebih dahulu bahwa nilai maksimum akan
didapat bila salah satu fluida mengalami perubahan temperatur sebesar beda
temperatur maksimum yang terdapat dalam penukar kalor itu, yaitu selisih antara
temperature masuk fluida panas Th,i dan fluida dingin Tc,i. Fluida yang mengalami
beda temperatur maksimum adalah fluida yang kapasitas kalornya minimum,
karena kesetimbangan energi menyaratkan bahwa energi yang diterima oleh fluida
satu harus sama dengan energi yang dilepaskan oleh fluida yang satu lagi. Jika
fluida yang mempunyai nilai kapasitas yang lebih besar mengalami beda beda
temperature maksimum, maka fluida yang satu lagi akan mengalami perubahan
temperatur yang lebih besar dari maksimum, dan ini tentu saja tidak mungkin.
Jadi laju perpindahan kalor maksimum dinyatakan sebagai berikut:

      ...............................(2.3)

dimana Cmin adalah harga yang paling kecil diantara besaran Ch atau Cc.
jika Cc < Ch maka q maks = Cc (Th,i Tc,i)
jika Cc > Ch, maka q maks = Ch (T h,i Tc,i)
dimana C = m cp.
Efektifitas suatu penukar kalor didifinisikan sebagai rasio antara laju
perpindahan kalor sebenarnya untuk suatu penukar kalor terhadap laju
perpindahan kalor maksimum yang mungkin. Secara umum efektifitas dapat
dinyatakan sebagai berikut

 ..........................................................(2.4)

Sedangkan NTU (Number Of Transfer Units) merupakan parameter yang


tidak berdimensi yang secara luas digunakan dalam analisis suatu penukar kalor.
Bilangan ini didefinisikan sebagai berikut :

 ....................................................(2.5)

351
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

ecara umum CFD terdiri dari dua kata yaitu, Computational yang berarti
segala sesuatu yang berhubungan dengan matematika dan metode numerik atau
komputasi dan Fluid Dynamic yang artinya dinamika dari segala sesuatu yang
mengalir. Ditinjau dari istilah di atas, CFD bisa berarti suatu teknologi komputasi
yang memungkinkan untuk mempelajari dinamika dari benda-benda atau zat yang
mengalir. Maka secara definisi, CFD adalah ilmu yang mempelajari cara
memprediksi aliran fluida, perpindahan panas, reaksi kimia, dan fenomena lainnya
dengan menyelesaikan persamaan-persamaan matematika atau model matematika
(Tuakia,2008).

3. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menganalisa pengaruh jarak antar baffle terhadap efektivitas
perpindahan panas pada alat penukar kalor secara numerik dengan menggunakan
software Autoodesk CFD simulation.
A. Pembuatan Desain Geometri Alat Penukar Kalor
Dalam pembuatan model menggunakan software Autodesk Invertor 2014.
Gambar model dapat dilihat pada Gambar 3.2.

Gambar 3.1. Desain geometri alat penukar kalor pada Autodesk inventor

352
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Tabel 3.1. Dimensi geometri alat penukar kalor jenis shell and tube

Panjang Shell 1199,8 mm


Panjang Tube 1040 mm
Diameter Shell (ID) 175 mm
Diameter Tube (OD) 25,4 mm
Jumlah Baffle 3
Jumlah Tube 6
Jarak Antar Baffle 500,550,600 mm
Jarak antar tube (pitch) 30 mm
B. Input Desain Geometri ke Autodesk CFD
Desain gambar yang telah dibuat di input kedalam CFD untuk memulai
simulasi. Geometry Tools ini berfungsi untuk menentukan dimana letak inlet atau
outlet alat penukar kalor dan jenis bahan yang digunakan dalam alat penukar
kalor. Adapun tata cara menggunakan geometri ini yakni setelah di input desain
ke CFD akan muncul kotak geometri tools Setelah itu klik pada bagian geometry
lalu pilih void fill. Pada void fill pilih edge lalu arahkan menuju inlet tube dan
inlet shell pada desain kemudian pilih build surface dan fill void. Ini dilakukan
untuk pembuatan volume dalam alat penukar kalor. Lalu pada bagian material
disini adalah untuk pemilihan jenis material alat yang digunakan dan juga
pemilihan jenis bahan yang masuk pada inlet tube dan inlet shell.

C. Kondisi Batas
Boundary condition merupakan definisi dari zona-zona yang telah diketahui
sebelumnya pada aplikasi Autodesk inventor. Selanjutnya, kita menentukan
daerah-daerah batas untuk benda tersebut. Karena kondisi batas pada tiap-tiap

353
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

permukaan alat berbeda-beda sesuai dengan proses yang terjadi pada saat fluida
mengalir. Dalam Autodesk inventor CFD ini kita dapat memasukkan kondisi batas
serta yang ingin di lihat hasil analisanya. Disini dimasukkan angka laju alir masuk
umpan dan temperatur. Penentuan tahap ini dapat dilihat pada gambar 3.2.

Gambar 3.2. Penentuan Kondisi Batas


D. Meshing
Meshing adalah proses dimana geometri secara keseluruhan dibagi-bagi dalam
elemen-elemen kecil. Elemen-elemen kecil ini nantinya berperan sebagai control
surface atau volume dalam proses perhitungan yang kemudian tiap-tiap elemen ini
akan menjadi inputan untuk elemen disebelahnya. Hal ini akan terjadi berulang-
ulang hingga domain terpenuh. Jenis mesh berbeda-beda untuk tiap jenis volume,
bergantung pada kerumitan bentuk geometri volume yang bersangkutan. Proses
Meshing dapat dilihat pada gambar 3.3.

354
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Gambar 3.3. Pembuatan Meshing

E. Iterasi
Setelah melaui proses meshing maka tahap selanjutnya adalah iterasi. Iterasi
merupakan langkah terakhir dalam pemodelan simulasi CFD. Tahapan iterasi
dapat dilihat pada gambar 3.4. Iterasi akan terhenti ketika simulasi konvergen.

Gambar 3.4. Tahapan Iterasi


4. Hasil dan Diskusi

355
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

A. Analisa Distribusi Temperatur


Hasil simulasi distribusi temperatur alat penukar kalor dapat dilihat pada
Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Simulasi distribusi temperatur pada alat penukar kalor dengan CFD
Berdasarkan hasil simulasi diatas menunjukkan temperatur ammonia
disepanjang Tube menurun. Distribusi temperatur terjadi akibat adanya baffle dan
laju alir fluida pendingin. Temperatur outlet ammonia yang diperoleh dari hasil
simulasi adalah 75oC sedangkan temperatur air adalah 45oC.

B. Analisa pengaruh Baffle dan Laju Alir Massa Fluida Pendingin


Terhadap Penurunan Temperatur
Simulasi alat penukar kalor jenis shell and tube menggunakan CFD
dengan kondisi fluida masuk tube adalah ammonia pada temperatur 103oC, fluida
masuk pada Shell adalah air pada temperatur 31,5 oC laju alir massa fluida melalui
tube tetap yaitu 20 kg/jam sedangkan laju alir massa air divariasikan, maka
diperoleh hasil yang dapat dilihat pada Tabel 4.1

Tabel 4.1 Data hasil dari running dengan software CFD


Variasi Laju Alir Tin Tube TOut Tin Shell TOut
o o
Jarak Air ( C) Tube ( C) Shell LMTD
o o
Baffle (Kg/Jam) ( C) ( C)

356
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

500 mm 25 103 79 31.5 40 57.138


35 103 76 31.5 42 53.66
50 103 75 31.5 45 50.40
550 mm 25 103 90 31.5 42 59.12
35 103 85 31.5 40 58.12
50 103 83 31.5 42 56.12
600 mm 25 103 83 31.5 40 57.06
35 103 79 31.5 43 53.51
50 103 77 31.5 45 51.50

Berdasarkan Tabel tersebut dapat dilihat bahwa laju alir air mempengaruhi
penurunan temperatur pada hasil keluaran tube. Semakin besar laju alir air maka
penurunan temperatur pada tube semakin besar. Hal ini disebabkan karena
semakin banyak terjadinya transfer panas antara fluida panas dan fluida dingin
maka perpindahan panas juga akan semakin besar. Dengan adanya baffle yang
divariasikan jaraknya maka perpindahan panas akan semakin lama dalam alat
penukar kalor sehingga perpindahan panasnya juga akan semakin maksimal. Pada
Gambar 4.2. dapat dilihat pengaruh jarak antar baffle mempengaruhi penurunan
temperatur

(a)

357
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

(b)

(c)
Gambar 4.2. Kontur temperatur dengan laju aliran massa 20 kg/jam pada baffle
space : a) 500 mm b) 550 mm c) 600 mm
Berdasarkan kontur temperatur pada Gambar 4.1 dapat kita lihat terdapat
sejumlah gradasi sepanjang shell dan tube alat penukar kalor khususnya pada
bagian outlet alat penukar kalor. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat penurunan
temperatur pada sepanjang aliran secara bertahap. Semakin kecil jarak antar
baffle kontur warnanya semakin mendekati warna kuning pada outlet tube nya, ini
menyatakan bahwa semakin kecil jarak antar baffle samakin banyak penurunan
temperatur atau kalor yang dapat dipindahkan ke fluida dingin. Hal ini disebabkan
karena penurunan hambatan aliran akibat pengurangan intensitas vortex yang
terjadi pada dekat dinding baffle pada setiap jarak baffle sehingga alliran yang
terjadi mempengaruhi nilai dari temperatur outlet pada tube.

100
95
90
85
Temperatur

80
(oC)

75 Baffle Space 500 mm


70 Baffle Space 550 mm
65 358
Baffle Space 600 mm
60
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Gambar 4.3. Grafik pengaruh laju alir air terhadap outlet pada tube.

Berdasarkan Gambar 4.2. dapat dilihat bahwa laju alir air 50 kg/jam,
penurunan temperatur terjadi secara signifikan pada jarak antar baffle 550 mm ke
baffle 500 mm sebesar 19oC, sedangkan pada perubahan jarak antar baffle 600
mm ke 500 terjadi penurunan temperatur sebesar 13oC dengan demikan dapat
dilihat bahwa penurunan temperatur dipengaruhi oleh laju alir air dan jarak antar
baffle.
1.1. Log Mean Temperature Different (LMTD)
LMTD merupakan rata-rata logaritmik dari perbedaan suhu antara panas
dan dingin disetiap aliran alat penukar kalor. Semakin besar LMTD maka semakin
banyak panas yang ditransfer (Kern,1950).
70

65

60
LMTD

55

50 Baffle Space 500 mm


Baffle Space 550 mm
45
Baffle Space 600 mm
40
15 25 35 45 55
Laju Alir Air (Kg/Jam)
Gambar 4.4 Grafik LMTD Terhadap Laju Alir Air
Gambar 4.4. Menunjukkan grafik LMTD terhadap laju alir fluida
pendigin. Berdasarkan Gambar tersebut LMTD pada baffle space 500 mm lebih
rendah dibandingkan dengan jarak baffle lainnya. Baffle dengan jarak 550 mm

359
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

memiliki nilai LMTD paling tinggi, dengan demikian panas yang paling banyak
ditransfer terjadi pada baffle dengan jarak 550 mm.
1.2. Pengaruh Laju Alir Terhadap Efektivitas Alat Penukar Kalor
Efektivitas  merupakan perbandingan antara laju perpindahan panas
qaktual alat penukar kalor dengan laju perpindahan panas maksimum qmaks yang
dimungkinkan. Efektivitas merupakan bilangan tanpa dimensi yang berada dalam
batasan     . Hasil perhitungaan efektivitas yang dipengaruhi oleh laju alir
media pendingin pada alat penukar kalor dapat dilihat pada Gambar 4.5.

1
0.9
0.8
0.7
Efektivitas

0.6
0.5
0.4
0.3 Baffle Space 500 mm
0.2 Baffle Space 550 mm
0.1 Baffle Space 600 mm
0
25 30 35 40 45 50
Laju Alir (Kg/Jam)

Gambar 4.5. Grafik Pengaruh Laju Alir Terhadap Efektivitas.

Dari Gambar 4.5. terlihat bahwa efektifitas pemanasan meningkat seiring


dengan peningkatan laju aliran massa. Hal ini dapat dimengerti karena dengan

360
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

naiknya laju aliran massa berarti kecepatan aliran meningkat. Kecepatan aliran
yang meningkat semakin banyak terjadinya kontak dengan baffle dan membuat
bilangan Reynold aliran membesar (lebih turbulen), dimana hal ini membawa
dampak yang menguntungkan yaitu kenaikan koefisien perpindahan panas
konveksi yang pada akhirnya meningkatkan koefisien perpindahan panas total
dalam heat exchanger. Aliran turbulen mempengaruhi perpindahan panas karena
aliran turbulen merupakan aliran fluida yang partikelnya bergerak secara acak dan
tidak stabil sehingga semakin banyak terjadinya kontak dengan dinding tube
sehingga semakin besar panas yang ditransfer. Namun, kenaikan laju aliran massa
juga membuat waktu kontak/singgung antara kedua fluida (ammonia dan air)
menjadi lebih singkat. Jadi, dengan meningkatnya laju aliran massa perpindahan
panas dalam heat exchanger lebih baik namun waktu kontak lebih singkat.
Fenomena ini memungkinkan adanya nilai optimum dari efektifitas pada laju
aliran massa tertentu.
Semakin kecil jarak antar baffle yang dipasang membuat efektifitas
meningkat. Hal ini menunjukkan adanya nilai optimum pula untuk jarak baffle
yang dipasang dalam suatu heat exchanger. Penggunaan atau penambahan baffle
membuat kecepatan udara dingin dalam shell meningkat karena luas penampang
yang tegak lurus dengan aliran udara semakin kecil. Dengan bertambahnya
kecepatan aliran, koefisien perpindahan panas akan meningkat. Oleh karena itu
dengan bertambahnya jumlah baffle yang dipasang, atau semakin kecil jarak antar
baffle, efektifitas meningkat. Namun, dengan bertambahnya jumlah baffle
membuat fraksi aliran melintang (cross flow) menurun. Menurut Hewitt, dkk.
(1994), perpindahan panas yang paling efektif dalam heat exchanger adalah pada
aliran jenis melintang (cross flow). Dengan berkurangnya fraksi aliran melintang
berarti perpindahan panas dari udara panas ke udara dingin menjadi berkurang.
Jadi, jarak antar baffle yang lebih kecil menaikkan koefisien perpindahan panas
namun mengurangi fraksi aliran melintang. Fenomena ini membuat adanya harga
optimum dari efektifitas pada jarak antar baffle tertentu.

361
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Dalam eksperimen yang dilakukan, didapat efektifitas maksimum yaitu


0.98 pada saat air masuk dengan laju 50 Kg/jam dan jarak antar baffle 500 mm.

5. Simpulan
Berdasarkan analisa pengaruh jarak antar baffle pada alat penukar kalor jenis
shell and tube terhadap aliran fluida dan perpindahan panas dimana variasi jarak
antar baffle sebesar 500 mm ; 550 mm dan 600 mm dengan laju alir air sebesar 25
kg/jam ; 35 kg/jam dan 50 kg/jam, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Semakin kecil/dekat jarak antar baffle dapat meningkatkan perpindahan
panas sehingga temperatur keluaran tube semakin kecil.
2. Pada alat penukar kalor jenis shell and tube dengan baffle space 500 mm
perpindahan panas nya lebih baik dari baffle space 550 mm dan 600 mm.
3. Semakin besar laju alir air pada aliran shell semakin besar juga
perpindahan panas yang terjadi atau penurunan temperaturnya lebih tinggi.
4. Efektivitas alat penukar kalor dipengaruhi oleh laju alir dan jarak antara
baffle
5. Efektivitas pemanasan maksimum pada jarak baffle 500 mm dan laju alir
50 Kg/jam dengan nila efektivitas 0,98
6. Daftar Pustaka
Danny Harnanto.2015. Simulasi pengaruh kemiringan baffles terhadap koefisien
perpindahan panas dan efektivitas pada alat penukar kalor tipe shell and
tube menggunakan solidworks.Teknik Mesin. Universitas Sebelas Maret.
Surakarta
Dogan Eryener. 2008. Thermoeconomic optimazation of baffle spacing for shell
and tube heatexchanger.

Hewitt, G.F., Shires, G.L., Bott, T.R. 1994., Process Heat Transfer. Begell
House.

Incropera, Frank P. And Dewitt, David P. 1990. Fundamentals Of Heat and


Mass Transfer 2nd edition. Singapore : John Wiley & Sons, Inc.

362
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Kern, D.Q., 1950, Process Heat Transfer. International Student edition. Mc


Graw-Hill International Book Co., Tokyo

Tuakia, Firman.2008. Dasar-dasar CFD menggunakan FLUENT. Teknik Mesin.


Universitas Indonesia. Jakarta.

363
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

PENGARUH TEMPERATUR LINGKUNGAN TERHADAP


PRODUKSI BIOGAS DI TPSA BAGENDUNG KOTA CILEGON

Caturwati1, Agung Sudrajat1, Heri Haryanto1, Mekro Permana1, Aminullah M1.


1
Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
email: n4wati@yahoo.co.id , n4wati@untirta.ac.id,
elektrojos@yahoo.com, mekro_permana@yahoo.com

Abstrak

Pemanfaatan sampah menjadi sumber energi alternatif perlu dilakukan secara intensif
mengingat langkah ini dapat menjadi solusi dalam menangani pencemaran lingkungan
sekaligus memperoleh sumber energi baru terbarukan. Penanganan sampah dengan
metode landfill sangat tepat dilakukan untuk tujuan tersebut, karena dapat menghasilkan
sumber energi baru seperti biogas. Penelitian ini dilakukan untuk mengukur kandungan
gas metana (CH4) yang terkandung dalam biogas yang dihasilkan dari Tempat
Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) Bagendung-Cilegon berdasarkan variasi temperatur
lingkungan. Hasil pengukuran menunjukkan kandungan gas metana dalam biogas stabil
pada temperatur diatas 30!C. Kandungan gas metana cenderung meningkat dengan
peningkatan temperatur lingkungan hingga mencapai 13,89 % pada temperatur tertinggi
pengukuran 35 36 !C. Peningkatan kandungan methana dalam biogas meningkat
sebesar 0.19 % per derajat C peningkatan temperatur lingkungan.

Kata Kunci : energi, sampah, biogas, temperatur lingkungan

1. PENDAHULUAN
Penanganan sampah dewasa ini semakin lama semakin rumit, teruitama di kota-
kota besar. Mulai dari masalah lahan yang kian sempit serta pencemaran lingkungan baik
berupa bau yang sangat menyengat maupun pencemaran lingkungan lainnya seperti
pencemaran terhadap air disekitar tempat penampungan sampah Akhir.
Penimbunan sampah dengan metode landfill adalah cara menimbun sampah
dengan memberi lapisan tanah diatas sampah secara bergantian. Cara ini dapat
mengurangi pencemaran bau menyengat serta penyebaran penyakit-penyakit lain akibat
pembusukan yang terjadi pada sampah. Penimbunan sampah dengan tanah dapat
mengakibatkan terjadinya proses degradasi sampah secara anaerob sehingga dapat
menghasilkan biogas yang mengandung metana (CH4) dan karbon (CO2) (Damanhuri,
2008).
Hasil berbagai penelitian menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
proses degradasi sampah dalam menghasilkan biogas diantaranya adalah : kelembaban,

364
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
temperatur, tingkat keasaman, kontur tanah, konsentrasi gas metana, oksigen, nutrisi dan
lainya. (charlotte and peter, 2004).
TPSA Bagendung merupakan tempat penampungan sampah yang ada di Kota
Cilegon. Penampungan sampah dengan metode landfill sudah dilakukan di TPSA ini
yang dilengkapi dengan pemasangan instalasi produksi biogas oleh salah satu LSM
asing ERC (Emission Reduction Center) pada tahun 2001. Pengujian saat itu
menunjukkan biogas yang dihasilkan cukup baik dan memenuhi syarat sebagai sumber
energi. Namun sangat disayangkan project tersebut tidak berlanjut sehingga peralatan
yang telah terpasang terbengkalai hingga saat ini. Gambar 1 memperlihatkan denah lokasi
pengambilan data.

Gambar 1. Denah lokasi pengambilan data di TPSA Bagendung - Cilegon

Sedangkan skema pipa berpori yang terpasang di TPSA Bagendung-Cilegon


diperlihatkan pada Gambar 2.

365
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Gambar 2. Skema pipa berpori yang tertanam di TPSA Bagendung.

Kondisi Indonesia yang mempunyai temperatur udara cukup tinggi dengan kelembaban
udara yang tinggi pula diharapkan dapat menghasilkan produksi biogas yang lebih baik
dibandingkan pada daerah yang beriklim dingin.
Paper ini menampilkan hasil penelitian produksi biogas dari instalasi yang sudah
ada di TPSA Bagendung Cilegon untuk mengetahui kualitas dan kuantitas biogas yang
dihasilkan berdasarkan variasi temperatur lingkungan saat biogas diuji.
Dengan dilaksanakannya penelitian ini diharapkan dapat berpartisipasi dalam
upaya pengembangan renewable energy serta penanganan sampah ramah lingkungan .

2. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data biogas yang dihasilkan
dan temperatur lingkungan TPSA setiap satu jam dari jam 08.00 hingga jam 16.00
selama 7 hari.
Adapun penelitian ini terbagi beberapa tahap, yaitu sebagai berikut :
1. Observasi yaitu survei lapangan di TPSA Bagendung - Kota Cilegon.
2. Studi literatur dengan mengumpulkan sumber referensi yang relevan dengan
kasus yang akan diteliti.
3. Memasang instalasi perancangan pemipaan dan pemasangan pompa hisap merk
Chuan Fan type RB 750S, thermometer dengan themocouple type K merk APPA
55II dan biogas analyzer portable biotech 2000, serta instalasi alat lainnya yang
dibutuhkan seperti terlihat pada Gambar 3 yang terpasang di terminal gas.

366
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Gambar 3. Instalasi pengambilan data biogas


4. Penghisapan gas metana yang berada di dalam tumpukan sampah dengan pompa
hisap (Vacum) melalui pipa yang telah tertanam yang dilengkapi dengan
pemisahan cairan dari biogas yang dihasilkan melalui jebakan pipa U yang
dilengkapi kerikil/pasir sehingga cairan dapat ditampung di kolam penampungan
air lindi.
5. Pengambilan data dengan cara perekaman data manual 367emperature
lingkungan , komposisi gas metana dalam biogas yang dihasilkan.
6. Pengolahan data dan analisa.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil pengumpulan data kualitas biogas serta temperatur lingkungan saat data
diambil pada hari I diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1.Data Pengujian komposisi gas dan temperatur lingkungan pada hari I .


 Tm (C)
CH4 CO2 O2 Bal
 11,53 11,03 6,73 70,7 31,9
 13,9 7,7 9,4 69 34,4
 14,4 7,13 10,43 68,03 33,3
 14,53 6,7 10,73 68,03 32,7

 14,43 6,5 11 68,07 32,8
 14,4 6,37 10,87 68,37 33,2
 14,27 6,87 10,63 68,23 33,6
 14,5 6,27 11,1 68,13 32,4
 14,5 5,57 11,87 68,07 31,8

367
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
Sedangkan pada Tabel 2 dan Gambar 4 memperlihatkan nilai rata-rata temparatur
lingkungan Tam(!C), konsentrasi CH4 (%) dan kandungan balanced (%) per hari dari
hasil pengujian yang dilakukan selama 7 hari.

Tabel 2. Nilai rata-rata temperatur lingkungan dan komposisi metana per hari

Gambar 4. Nilai rata-rata metana dan temperatur lingkungan per hari.

Dari Gambar 4 nilai temperatur berfluktuasi dengan temperatur terendah yaitu 27,98oC di
hari ke- 4 dan tertinggi pada 33,66 oC di hari ke- 6 adapun kandungan CH4 (%) dalam
biogas hasil landfill terendah diperoleh pada hari ke-4 juga yaitu 12,37% dan tertinggi
sebesar 14,06% pada hari ke-1. Selama periode pengukuran pengaruh temperatur sesuai
dengan keadaan cuaca di daerah sekitar TPSA, dimana cuaca hujan terjadi saat hari ke- 2
sampai ke- 4 sejalan dengan penurunan nilai temperatur, lalu mulai meningkat kembali

368
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
hingga periode berakhir. Kandungan gas metana CH4 mengikuti pergerakan nilai
temperatur dimana meningkat perlahan hingga periode berakhir.
Selain analisa data dilakukan per hari, dilakukan pula klasifikasi data berdasarkan
temperatur udara lingkungan terukur Ta, yang dikumpulkan dari 7 hari pengamatan yang
diambil tiap jam seperti pada tabel 1. Hasil klasifikasi data pengamatan berdasarkan
temperatur lingkungan diperlihatkan pada Tabel 3. Dengan Tam merupakan nilai tengah
temperatur.

Tabel 3. Klasifikasi data berdasarkan temperatur lingkungan


Ta (oC) Tam(C) CH4 m (%)
26-27 26,5 12,74
27-28 27,5 12,21
28-29 28,5 12,77
29-30 29,5 12,05
30-31 30,5 13,06
31-32 31,5 12,93
32-33 32,5 13,71
33-34 33,5 13,77
34-35 34,5 13,87
35-36 35,5 13,89



 






 



Gambar 5. Kandungan CH4 (%) biogas terhadap temperatur lingkungan
Berdasarkan tingkatan temperatur didapatkan nilai rata-rata konsentrasi gas metan
(CH4) pada Tabel. 3 memiliki kadar gas metan (CH4) berangsur meningkat sejalan

369
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
dengan peningkatan temperatur. Nilai volume gas metana dalam kandungan biogas
terhadap temperatur lingkungan terukur stabil berkisar pada suhu 31-36 C dengan
volume 12,93 13,89%, maka dengan selisih 0,96% pada suhu 5C didapatkan nilai
kenaikan volume gas metan rata-rata tiap derajat temperatur sebesar  Hasil ini
sesuai dengan pernyataan bahwa temperatur yang baik untuk proses dekomposisi adalah
30-55 0C, karena pada suhu tersebut mikroorganisme dapat bekerja secara optimal dalam
merombak bahan-bahan organik (Ginting, 2007).

4. KESIMPULAN
Dari hasil pengujian komposisi gas dari biogas hasil landfill pada TPSA
Bagendung Cilegon terhadap temperatur lingkungan, diperoleh beberapa kesimpulan
antara lain :
- Produktivitas biogas di TPSA Bagendung masih sangat rendah yang
kemungkinan diakibatkan oleh banyaknya kebocoran pipa dalam instalasi yang ada.
- Kadar gas metana (CH4) dalam biogas yang dihasilkan meningkat seiring dengan
peningkatan temperatur lingkungan.
- Variasi temperatur yang terukur berpengaruh pada komposisi gas hasil sampah
di TPSA Bagendung ditunjukkan dengan gas metana (CH4) rata-rata berkisar 14% pada
temperatur 35-36 oC.
- Temperatur lingkungan yang baik berkisar diatas 30oC ketika terjadi kondisi
kandungan gas metan yang cukup stabil. Kadar gas metan (CH4) yang berangsur
meningkat sejalan dengan peningkatan temperatur hingga mencapai 13,89% pada
temperatur 35-36 oC dengan peningkatan perderajat temperaturnya sebesar 0,19%.

5. Daftar pustaka
Buku Panduan Energi Terbarukan, PNPM 2015.
Departemen Pekerjaan Umum. (2003). Profil Kota Cilegon. Dipetik pada November 3,
2011 dari : http:// ciptakarya.pu.go.id/profil/profil/barat/ banten/cilegon
Deublein, Dieter., Angelika, Steinhauser.2008. -Biogas from Waste and Renewable
Resources.WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim.
DKP. 2014. Pengelolaan Persampahan Kota Cilegon. Kota Cilegon.
Darmanto, Ardyanto., dkk. 2012. Pengaruh Kondisi Temperatur Mesophilic (35C) Dan
Thermophilic (55C) Anaerob Digester Kotoran Kuda Terhadap Produksi Biogas.
Malang : Fakultas Teknik Universitas Brawijaya.

370
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
Enri Damanhuri. 2008. Diktat Landfilling Limbah. FTSL ITB.
Electronic publication.1999.Biogas Digest Vol 3. GTZ project Information and Advisory
Service on Appropriate Technology (ISAT). (Available from:
http://www.gtz.de.dokumente/en_biogas_volume _pdf)
Ginting, N. 2007. Penuntun Praktikum : Teknologi Pengolahan Limbah Peternakan.
Departemen Peternakan Fakultas Pertanian : Universitas Sumatera Utara.
Indarto, Ari Martyono. 2007. Pengaruh Kematangan Sampah Terhadap Produksi Gas
Metana (CH4) di TPA Putri Cempo Mojosongo. Tesis. Surakarta: Program Studi
Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Scheutz, Charlotte and Peter Kjeldsen. 2004. Environmental Factors Influencing
Attenuation of Methane and Hydrochlorofluorocarbons in Landfill Cover Soils.
Published in J. Environ. Qual. USA.
Wahyudi, Muhammad Amin., dkk. 2012. Pengaruh Kondisi Temperatur Meshophilic dan
Thermophilic Anaerob Disgester te Terhadap Parameter Karakteristik Biogas.
Malang : Universitas Brawijaya

371
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

BIOSORPSI LOGAM BERAT KROMIUM HEKSAVALEN


MENGGUNAKAN BIOMASSA TONGKOL JAGUNG YANG
TERAKTIFASI NaOH PADA LIMBAH ARTIFISIAL

Cut Nur Fitriani1, Meriatna1, Fikri Hasfita1,


1
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh
Laboratorium Teknik Kimia, Jl. Batam No. 2, Bukit Indah, Lhokseumawe 24353

ABSTRAK
Limbah logam yang berat merupakan limbah yang umumnya dihasilakan oleh
hampir semua industri kimia, saat ini perkembangan teknologi penanggulangan
limbah logam berat secara ekonomi merupakan tantangan dalam dunia
bioteknologi. Biosorpsi merupakan teknologi yang berkembang dan memiliki
potensi sebagai teknologi penyerapan alternative sehingga menjadi solusi bagi
tantangan tersebut. Aktifasi adalah suatu perlakuan terhadap arang yang
bertujuan untuk memperbesar pori-pori yaitu dengan cara memecahkan ikatan
hidrokarbon atau mengoksidasi molekul-molekul permukaan sehingga arang
mengalami perubahan sifat, baik fisika maupun kimia. Penelitian ini bertujuan
untuk mengatahui potensi pengunaan limbah tongkol jagung yang di aktifasi
dengan NaOH 5% sebagai biosorben untuk menyisihkan logam berat Cr(VI) yang
terdapat pada larutan. Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap yaitu
pembuatan biosorben, uji kinerja biosorben dengan variasi kosentrasi biosorben,
waktu kontak dan kosentrasi logam Cr(VI) yang bertujuan untuk melihat kadar
dan kapasitas penyerapan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar
penyisihan logam maksimum di peroleh 88.57% dan kapasitas adsorpsi
maksimum 1.265 mg/g dengan berat adsorben 7 gram, kosentrasi 100 ppm pada
waktu 180 menit.

Kata Kunci : Biosorpsi, Aktifasi, Kromium Heksavalen

1. Pendahuluan
Akibat proses industrialisasi yang begitu pesat dihasilkan buangan limbah
industry berupa limbah cair, padat maupun gas yang dapat mengakibatkan
terjadinya pencemaran lingkungan. Limbah cair pada industri ini memberikan
kontribusi terhadap pelepasan logam berat beracun di dalam aliran air. Hal ini
akan berdampak negatif pada makhluk hidup di lingkungan sekitarnya.
Beberapa metode untuk menghilangkan logam berat dari air limbah telah
dilakukan dengan proses secara fisika dan kimia yang meliputi presipitasi,


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

koagulasi dan pertukaran ion. Tetapi metode-motede tersebut diatas masih mahal
terutama bagi negara-neraga yang sedang berkembang. Proses adsorpsi
merupakan teknik pemurnian dan pemisahan yang efektif di pakai dalam industry
karena dianggap lebih ekonomis dalam pengolahan air dan limbah (Al-Asheh el
at, 2000) dan merupakan teknik yang sering digunakan untuk mengurangi ion
logam berat air limbah (Selvi es at, 2001). Penggunaan biomaterial dari limbah
pertanian atau industry dapat digunakan sebagai alternatif adsorben dengan biaya
rendah diantaranya adalah tongkol Jagung, gabah padi, ampas, tebu, biji kapas,
jerami padi, dan kulit kacang tanah. (Marshall dan Michell, 1996).
Salah satu industri yang menghasilkan limbah logam berat adalah industri
peleburan tembaga. Jenis logam berbahaya yang kerap ditemukan pada industri ini
adalah Cr(VI) (Kromium Heksavalen). Banyak metode yang telah digunakan
untuk menyerap Cr(VI) yang telah diteliti, namun beberapa masih membutuhkan
banyak biaya kemudian mempunyai permasalahan menyangkut ketersediaan
bahan baku yang sulit dan mahal. Oleh karena itu pemanfaatan tongkol jagung
diharapkan mampu mencari alternatiaf terbaru serta rahma lingkungan terhadap
solusi dalam penyerapan limbah logam Cr(VI). Aktivasi terhadap adsorben
mengarah pada aktivasi gugus hidroksil pada selulosa, sehingga kemampuannya
menjerap zat warna maupun ion logam meningkat (Igwe et al, 2005). Menurut
Fahrizal (2008), modifikasi selulosa pada tongkol jagung mampu menjerap biru
metilena dari limbah tekstil dengan kapasitas adsorpsi 518.07 !g/g adsorben.
Sary Sulistiawati (2008) meneliti tentang pemafaatan tanaman jagung
sebagai adsorben untu penyerapan logam berat Pb(II) dengan hasil 90%. Fatimah,
dkk (2013) menggunakan tongkol jagung untuk menyerap klorin pada air olahan
dengan hasil yang diperoleh 96,80%. Setelah itu Mahbul Watan (2014) meneliti
dengan menfaatkan limbah tongkol jagung sebagai adsorben untuk menyerap
limbah Cr(VI) dengan hasil 64,94%. Beranjak dari penelitian-penelitian di atas
maka peneliti melakukan langkah selanjutnya dengang melakukan aktifasi tongkol
jangung dengan larutan NaOH 5 % untuk menyisihkan logam Cr(VI) pada limbah
artifisial, diharapkan dapat melihat seberapa besar penyerapan tongkol jagung
sebagai adsorben untuk penyisihan logam logam Cr(VI). Menguji pengaruh waktu


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

kontak dan konsentrasi limbah terhadap presentase penyerapan serta menguji


mekanisme penyerapan melalui pendekatan isotermis adsorpsi Langmuir dan
isotermis adsorpsi Freundlich.

2. Tinjauan Pustaka
Tanaman Jagung
Jagung memiliki nama latin Zea mays. Kandungan gizi utama jagung adalah
pati (72-73%), dengan nisbah amilosa dan amilopektin 25-30% : 70-75%, Kadar
gula sederhana jagung (glukosa, fruktosa, dan sukrosa) berkisar antara 1-3%.
Kandungan senyawa berkarbon, yaitu selulosa (41%) dan hemiselulosa (36%)
yang cukup tinggi mengindikasikan bahwa tongkol jagung berpotensi sebagai
bahan pembuat arang aktif. Persentase komposisi diperlihatkan pada tabel 2.1.
Tabel 1 Komposisi Tongkol Jagung

Selulosa dan Hemiselulosa


Selulosa terdiri atas rantai panjang unit-unit glukosa yang terikat dengan
ikatan 1-4!-glukosida seperti Gambar 1.

Gambar 1.Selulosa
Hemiselulosa adalah polimer polisakarida heterogen tersusun dari unit
Dglukosa, D-manosa, L-arabiosa dan D-xilosa. Hemiselulosa pada kayu berkisar
antara 20-30%. Dilihat dari strukturnya, selulosa dan hemiselulosa mempunyai

PROSIDING SNTK UNIMAL 2016


17 OKTOBER 2016

potensi yang cukup besar untuk dijadikan sebagai penjerap karena gugus OH yang
terikat dapat berinteraksi dengan komponen adsorbat. Adanya gugus OH, pada
selulosa dan hemiselulosa menyebabkan terjadinya sifat polar pada adsorben
tersebut. Dengan demikian selulosa dan hemiselulosa lebih kuat menjerap zat
yang bersifat polar dari pada zat yang kurang polar. Mekanisme serapan yang
terjadi antara gugus -OH yang terikat pada permukaan dengan ion logam yang
bermuatan positif (kation) merupakan mekanisme pertukaran ion sebagai berikut
(Yantri dalam Wattimury,2012).

M+ dan M2+ adalah ion logam, -OH adalah gugus hidroksil dan Y adalah
matriks tempat gugus -OH terikat. Interaksi antara gugus -OH dengan ion logam
juga memungkinkan melalui mekanisme pembentukan kompleks koordinasi
karena atom oksigen (O) pada gugus -OH mempunyai pasangan elektron bebas,
sedangkan ion logam mempunyai orbital d kosong. Pasangan elektron bebas
tersebut akan menempati orbital kosong yang dimiliki oleh ion logam, sehingga
terbentuk suatu senyawa atau ion kompleks.
Menurut Terada dkk. (1983) ikatan kimia yang terjadi antara gugus aktif
pada zat organik dengan molekul dapat dijelaskan sebagai perilaku interaksi
asam-ba Lewi yang menghasilkan kompleks pada permukaan padatan. Pada
sistem adsorpsi larutan ion logam, interaksi tersebut dalam bentuk umum ditulis:

dengan GH adalah gugus fungsional yang terdapat pada zat organik, dan M adalah
ion bervalensi z.


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Kromium (Cr)
Kromium memiliki simbol Cr, merupakan unsur pertama dalam grup 6
dengan bilangan atom 24, tidak berbau dan tidak berasa. Kromium memilki
kemungkinan bentuk teroksidasi yang luas. Bentuk yang paling banyak ditemui
adalah +2, +3,dan +6, bentuk +3 adalah yang paling stabil sedangkan bentuk +1,
+4 dan +5 jarang ditemukan. Kromium dikenal dengan ketahanannya yang tinggi
terhadap korosi dan kesadahan. Sifat ini yang menjadikan kromium banyak
digunakan bersama nikel untuk pelapisan baja agar baja tahan terhadap korosi dan
perubahan warna dalam pembuatan stainless steel. Kromium di lingkungan
banyak ditemukan dalam dua bentuk, kromium trivalen [Cr(III)] dan kromium
hexavalen [Cr(VI)]. Cr(III) bermanfaat sebagai traceelement bagi manusia untuk
metabolisme gula dan lipid. Sedangkan Cr(VI)bersifat racun dan karsinogenik.
Cr(VI) merupakan oksidator yang sangat kuat dan memiliki oksigen ligan
seperti anion khromat (CrO42-) dan khromil klorida (CrO2Cl2). Namun Cr(VI) lebih
sering ditemukan dalam bentuk kromat dan dikromat (Cr2O7-2). Adapun syarat
sebagai adsorben memiliki surface area yang luas, volume internal yang besar,
yang ditunjukkan dengan porositas. Kekuatan mekanis yang baik serta ketahanan
terhadap abrasi merupakan sifat yang penting, mengingat adsorben akan
mengalami proses regenerasi berulang-ulang pada saat digunakan. Agar dapat
memisahkan bahan dengan baik, maka adsorben harus memiliki kemampuan
transfer massa yang baik (Yang dalam Ramadhan, 2010).

Adsorpsi
Adsorpsi adalah peristiwa penyerapan cairan pada permukaan zat penyerap
(adsorben). Zat yang diserap disebut adsorbat. Adsorpsi dapat didefinisikan juga
sebagai suatu proses pemisahan komponen tertentu dari suatu fluida sehingga
berpindah ke permukaan zat padat yang menyerap (Mc. Cabe, 1999). Ada
beberapa hal yang dapat membedakan jenis-jenis adsorpsi. Perbedaan yang sangat
penting adalah didasarkan pada sifat ikatan fisika dan kimia yang menyebabkan
adsorbat ditarik ke permukaan adsorben. Para ahli mengklasifikasikan adsorpsi


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

atau dua tipe berdasarkan fenomena terjadinya adsorpsi, yaitu adsorpsi fisika dan
adsorpsi kimia.
Adsorpsi fisika atau adsorpsi Van Der Walls adalah fenomena yang mudah
berbalik (reversibel) yang terjadi akibat adanya gaya tarik menarik (interaksi
elektrolisis antar dipol) antara permukaan adsorben dengan molekul-molekul
adsorbat yang disebabkan oleh ikatan Van Der Walls.
Adsorpsi kimia atau adsorpsi aktifasi interaksi kimia antara zat padat dan zat
terlarut. Terdapatnya rantai kimia yang kuat dan jenis senyawa kimia yang
dimiliki, mempunyai suatu gaya untuk mengikat zat lain yang lebih kuat
dibandingkan dengan adsorpsi fisika. Proses yang terjadi merupakan proses
irreversibel dan proses adsorbsi yang terjadi akan memberikan jumlah senyawa
yang lebih rendah dari senyawa sebelum proses adsorpsi.
Salah satu adsorben yang telah dibuat diantaranya ialah adsorben dari
tongkol jagung dengan karakteristik yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik Absorben dari Tongkol Jagung


Karakteristik Komposisi
Kadar Air 2.7278 %
Kadar Abu 2.4957 %
Berat Jenis 0.2430 %
Daya Serap Terhadap Larutan 223.5573 %
Sumber : Retnoningrum, 2000

Biosorpsi
Biosorpsi merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kemampuan biomassa dalam mengikat dan mengakumulasi ion atau senyawa
tertentu dari larutan (Volesky, 2007). Biosorpsi mulai banyak dikembangkan pada
awal tahun 1990. Saat itu sebuah perkembangan baru dicapai dengan diketahuinya
kemampuan biomassa dapat menyerap logam berat yang berbahaya bahkan pada
konsentrasi yang sangat kecil (<10 mg/L). Berdasarkan ketergantungan proses
adsorpsi dengan metabolisme sel, mekanisme biosorpsi dapat dibagi berdasarkan
dua kriteria, yaitu: Tergantung terhadap proses metabolism dan tidak tergantung
terhadap proses metabolisme


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Biosorpsi logam terjadi karena kompleksitas ion logam yang bermuatan


positif dengan pusat aktif yang bermuatan negatif pada permukaan dinding sel
atau dalam polimer-polimer ekstraseluler, seperti protein dan polisakarida sebagai
sumber gugus fungsi yang berperan penting dalam mengikat ion logam. Proses
penyerapan ini berlangsung cepat dan terjadi pada sel hidup maupun sel yang
telah mati (Volesky, 2007) yang bertindak sebagai biosorben.

3. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dalam tiga tahap yaitu pembuatan biosorben, uji
kinerja biosorben, serta penentuan mekanisme sorpsi melalui pedekatan
persamaan isotherm Langmuir dan isotherm freundlich. Limbah Tongkol Jagung
yang akan digunakan dicuci sampai bersih, didiamkan pada suhu kamar selama 24
jam, kemudian diovenkan pada suhu 110  selama 60 menit, dihancurkan dan
ayak dengan ayakan 100 mesh. Serbuk adsorben selanjutnya direndam dengan
larutan NaOH 5% selama 6 jam, disaring dan dicuci sampai air cucian terakhir.
Kemudian adsorben diovenkan pada suhu 60  selama 30 menit.

Uji Kinerja
Penentuan uji kinerja biosorben dilakukan pada waktu kontak, dan
konsentasi Logam Cr Artifiasial. Sebanyak 7 gr biosorben dimasukkan kedalam
gelas piala yang telah diisi dengan beberapa variasi konsentrasi 40, 60, 80 dan 100
ppm. Larutan di-shanker selama beberapa variasi waktu kontak, yaitu, 90, 120,
150 dan 180 menit dengan kecepatan pengandukan 150 ppm. Konsentrasi
biosorben yang tersisa didalam filtrate dianalisa dengan menggunakan AAS
(Atomic Absorpsi Spectroscopy)

4. Hasil dan Diskusi


Adsorpsi Logam Berat Kromium Heksavalen dengan menggunakan
biomassa tongkol jagung yang teraktifasi NaOH pada limbah artifisial dapat di
lihat pada Tabel 3.


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Tabel 3 Hasil kadar penyerapan, kapasitas penyerapan dan konsentrasi Kromiun


Heksavalen dengan berat adsorben 7 gram
Kapsitas %
Co Waktu Ce
No Absorpsi Absorpsi Penyerapan penyera
(ppm) (Menit) (ppm)
Sebelum Sesudah (mg/gr) pan
1 40 0.7632 0.4210 11.9585 0.4005 70.103
2 60 0.8781 0.4525 12.8533 0.6735 78.577
60
3 80 0.9093 0.4960 14.0889 0.9415 82.388
4 100 0.9285 0.5980 16.9862 1.1859 83.013
5 40 0.7632 0.3850 10.9359 0.415 72.660
6 60 0.8781 0.4060 11.5324 0.6923 80.779
90
7 80 0.9093 0.4632 13.1572 0.9548 83.553
8 100 0.9285 0.5283 15.0064 1.2141 84.993
9 40 0.7632 0.3421 9.7174 0.4326 75.706
10 60 0.8781 0.3917 11.1263 0.6981 81.456
120
11 80 0.9093 0.4318 12.2653 0.9676 84.668
12 100 0.9285 0.4834 13.731 1.2499 87.493
13 40 0.7632 0.3027 8.5982 0.4485 78.504
14 60 0.8781 0.3522 10.0042 0.7142 83.325
150
15 80 0.9093 0.4011 11.3933 0.9800 85.758
16 100 0.9285 0.4403 12.5067 1.2499 87.493
17 40 0.7632 0.2953 8.38804 0.4515 79.029
18 60 0.8781 0.3181 9.03568 0.7280 84.940
180
19 80 0.9093 0.3679 10.4502 0.9935 86.937
20 100 0.9285 0.4023 11.4273 1.2653 88.572
(Sumber: Hasil Penelitian, 2016)
Keterangan : Co = Konsentrasi Awal (ppm)
Ce = Konsentrasi Akhir (ppm)

4.1 Pengaruh Waktu Kontak Terhadap Persen Penyerapan


Waktu kontak merupakan suatu hal yang sangat menentukan dalam proses
adsorpsi. Waktu kontak yang lebih lama memungkinkan proses difusi dan
penempelan molekul adsorbat berlangsung lebih baik. Waktu kontak untuk
mencapai keadaan setimbang pada proses serapan logam oleh adsorben berkisar
antara beberapa menit hingga beberapa jam (Bernasconi, 1995). Hasil yang


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

didapat dari kadar penyerapan dengan variasi waktu kontak dapat dilihat pada
Gambar 2 berikut.

% penyerapan



(mg/L)





  
 

Waktu kontak (menit

Gambar 2. Grafik Hubungan Persen Penyerapan Terhadap Waktu Kontak pada


konsentrasi 100 ppm
Gambar 2 menunjukan bahwa semakin lama waktu yang digunakan untuk
proses adsorpsi maka semakin tinggi persen peyerapanya. Pada waktu 60 menit
persen penyerapan yang didapat sebesar 83.01%, sedangkan pada waktu 90 menit
hasil penyerapan didapat sebesar 84.99%. Persen penyerapan terus meningkat
pada waktu 180 menit didapatkan persen penyerapan terbaik yaitu sebesar 79.02
%, sedangkan pada waktu 120 menit dan 150 menit masing-masing persen
penyerapan didapat sebesar 87.49% dan 87.49%.
Gambar 2 dapat simpulkan bahwa persen penyerapan terbaik terjadi pada
waktu 180 menit dengan persen penyerapan sebesar 88.57%. Peningkatan persen
penyerapan pada variasi waktu menunjukan masih terdapat permukaan sel yang
menjadi aktif. Atkins (1999) mengemukakan bahwa waktu kontak yang lebih
lama memungkinkan proses difusi dan penempelan molekul adsorbat berlangsung
lebih baik, namun pada kondisi tertentu akan stabil karena sudah jenuh sehingga
terjadi proses kesetimbangan. Aktifasi adalah suatu perlakuan terhadap arang
yang bertujuan untuk memperbesar pori yaitu dengan cara memecahkan ikatan
hidrokarbon atau mengoksidasi molekul-molekul permukaan sehingga arang
mengalami perubahan sifat, baik fisika maupun kimia, yaitu luas permukaanya
bertambah besar dan berpengaruh terhadap daya adsorpsi (Sembiring, 2003).
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan toeri yang dikemukan oleh
Atkins dan Sembiring dimana semakin lama waktu yang digunakan dan dengan


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

adanya penambahan aktifasi NaOH, persen penyerapan semakin tinggi dimana


persen penyerapan maksimum terjadi pada waktu 180 menit dengan persen
penyerapan sebesar 88.57%. Hasil ini perlihatkan juga pada penelitian
sebelumnya oleh Mahbul (2014) dengan mengunakan limbah artifisial dan
adsorben yang sama tetapi tanpa aktifasi, memperoleh hasil kadar maksimum
sebesar 64.94% selama waktu kontak 120 menit. Jika dibandingkan dengan
penelitian tersebut, penggunaan aktifasi NaOH pada biomassa Tongkol Jagung
lebih efisien menyerap logam berat Cr(VI), karena mempunyai kadar penyerapan
yang lebih besar yaitu 88.57% pada waktu pengadukan 180 menit.

4.2. Pengaruh Kosentrasi Logam Cr(VI) Terhadap Persen Penyerapan


Pengujian pengaruh kosentrasi limbah Cr(VI) terhadap persen penyerapan
dilakukan dengan kisaran kosentrasi 40-100 ppm dengan massa biosorben
Tongkol Jagung 7 gram kemudian diaduk dengan lama 180 menit. Hasil kadar
penyerapan dengan variasi kosentrasi ini, ditunjukkan pada Gambar 3.



% penyerapan


(mg/L)


 


    

Konsentrasi Cr (ppm

Gambar 3 Grafik Hubungan Kosentrasi Limbah Cr(VI) Terhadap Kadar


Penyerapan dengan Waktu Pengadukan 180 Menit.

Gambar 3 menunjukkan bahwa semakin besar kosentrasi awal limbah Cr


maka semakin besar persen penyerapan yang mampu dilakukan per-7 gr massa
biosorben Tongkol Jagung. Pada saat kosentrasi limbah Cr(VI) 40 ppm kadar
penyerapan diperoleh 79.02%, kemudian diikuti dengan kosentrasi limbah Cr(VI)
60 ppm sebesar 84.94%, kondisi kosentrasi limbah Cr(VI) 80 ppm kadar


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

penyerapannya 86.93% dan terakhir dengan limbah Cr(VI) 100 ppm kadar
penyerapannya 88.57%. dari gambar dapat dijelaskan bahwa persen penyerapan
terbaik pada kosentrasi 100 ppm yaitu sebesar 88.57%. Kemampuan penyerapan
logam Cr(VI) oleh biomassa Tongkol Jagung terus meningkat ini disebabkan
karena permukaan biosorben yang masih aktif dan belum mengalami
kesetimbagan.

4.3 Pengaruh waktu Kontak Terhadap Kapasitas Penyerapan


Lamanya waktu kontak antara adsorbat dengan adsorben akan
mempengaruhi kapasitas penyerapan. Semakin lama waktu kontak maka ion
logam yang terserap akan semakin meningkat sampai terjadinya kesetimbangan.
Pengujian kapasitas penyerapan terhadap waktu dilakukan pada kosentrasi 40-100
ppm dengan massa adsorben 7 gram. Hasil penelitian ini dapat ditujukkan pada
gambar.4.



penyerapan (mg/g)



Kapasitas


 


  
 

Waktu kontak (menit)

Gambar 4 Grafik Hubungan Waktu Kontak Dengan Kapasitas Penyerapan pada


konsentrasi 100 ppm

Kapasitas penyerapan merupakan banyaknya Cr(VI) yang diserap


persatuan gram adsorben yang diberikan. Namun pada bagian ini, kapasitas
penyerapan ditinjau dari pengaruh waktu pengadukan yang diberikan kepada
adsorben dalam larutan limbah. Berdasarkan hasil penelitian ini nilai kapasitas
penyerapan pada waktu pengadukan 60 menit didapatkan hasil 1.18591 mg/gr, 90
menit sebesar 1.214194 mg/gr, kemudian pada waktu 120 menit, 150 menit dan
180 menit didapat kapasitas penyerapan sebesar 1.249903 mg/gr , 1.249903 mg/gr
dan 1.265323 mg/gr. Berdasarkan hasil yang didapat kapasitas penyerapan


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

terbaik terdapat pada waktu 180 menit dengan kosentrasi 100 ppm yaitu
1.265323 mg/gr. Sama halnya dengan kadar penyerapan sebelumnya, peningkatan
kapasitas penyerapan menunjukkan bahwa terdapat permukaan sel yang masih
aktif dan membetuk ikatan dengan larutan logam, kemudian kemampuan
penyerapan turun saat biomassa mencapai kondisi jenuh (Frraz, 2005). Penelitian
oleh Mahbul (2014) memperoleh kapasitas penyerapan sebesar 0.91 mg/gr pada
kondisi konstan 120 menit, sedangkan pada penelitian kapasitas terbaik pada
waktu 180 menit hasil yang diperoleh sebesar 1.265323 mg/gr, maka kondisi
konstan biomassa Tongkol Jagung tanpa aktifasi lebih cepat dari pada aktifasi.
Kapasitas penyerapan jugak di pengaruhi oleh kecepatan pengadukan apabila
pengadukan yang terlalu cepat akan mengakibatkan rusaknya struktur adsorbat.
Dimana akan membuat ikatan antar partikel adsorben dan adsorbat terlepas.

4.4 Pengaruh Konsentrasi Terhadap Kapasitas Penyerapan


Pengujian pengaruh kosentrasi limbah Cr(VI) terhadap kapasitas
penyerapan ini dilakukan dengan kisaran kosentrasi 40-100 ppm dengan massa
biosorben Tongkol Jagung 7 gr. Perlakuan ini bertujun untuk melihat bagaimana
pengaruh kapasitas penyerapan terhadap kosentrasi limbah Cr(VI). Hasil
penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 5



 
  



  







    

konsentrasi logam Cr (ppm)

Gambar 6 Grafik Hubungan Konsentrasi Dengan Kapasitas Penyerapan pada


waktu 180 menit

Dapat dilihat pada Gambar 6 Kapasitas penyerapan juga mengalami


kenaikan dengan semakin besarnya kosentrasi limbah Cr(VI) yang akan diserap.


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Pada 40 ppm kapasitas penyerapan yang di peroleh adalah 0.451599 mg/gr, pada
60 ppm limbah Cr(VI) sebesar 0.728062 mg/gr, 80 ppm limbah Cr(VI) diperoleh
0.993568 mg/gr dan pada 100 ppm limbah Cr(VI) kapasitas penyerapanya
1.265323 mg/gr. Kondisi kenaikan ini juga didukung pada penelitian sebelumnya
oleh Mahbul (2014) yang mengalami kenaikan setiap perubahan kosentrasi limbah
Cr(VI) yang akan diserap menggunakan biosorben yang sama yaitu Tongkol
Jagung tanpa aktifasi. Mahbul medapatkan nilai terbaik kosentrasi 100 ppm yaitu
sebesar 0.89 mg/gr pada waktu pengadukan 120 menit dengan massa absorben
yang sama yaitu 7 gram.
Hasil yang berbanding lurus antara kosentrasi Cr(VI) dan Kapasitas
penyerapan yang terjadi, selalu terjadi pada proses biosorpsi bahkan membentuk
rasio yang proposional(Vasudevan, 2003). Hal ini dikarenakan pada kosentrasi
logam redah, ketersedian permukaan sel pada biosorben tidak cepat menuju jenuh
karena sedikitnya jumlah ion logam yang dapat terikat.

5. Kesimpulan
Berdasarkan data hasil yang diperoleh, maka dapat disimpulkan yaitu :
1. Kadar penyerapan maksimum pada biosorpsi tongkol jagung dengan adanya
penambahan aktifator NaOH terhadap logam Cr(VI) diperoleh 88,57% dengan
berat biosorben 7 gram, waktu kontak 180 menit dan konsentrasi 100 ppm.
2. Kapasitas Penyerapan Maksimum diperoleh sebesar 1,265 mg/gr pada waktu
180 menit dengan kosentrasi 100 ppm.

6. Daftar Pustaka
1. Al-Asheh, S., F. Bamat., R. Al Omri and Z. Duvnjak, 200. Prediction of
Binary Sorption for the sorption Of Heavy Metal by Pine Bark Using Single
Isoterm Data. Ehemosphone. Vol 41 : 659-665.
2. Fatimah, R. 2013. Pemanfaatan Limbah Batang Jagung Sebagai Adsorben
Alternatif Pada Pengurangan Kadar Klorin dalam Air Olahan (Treated
Water). Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik USU. Medan

PROSIDING SNTK UNIMAL 2016


17 OKTOBER 2016

3. Hasfita, F.,2012, Study Pembuatan Biosorben dari Limbah Daun Akasia


Mangium ( Acacia Mangium Wild) Untuk Aplikasi Penyisihan Logam.
Thesis, ITB.
4. Mc Cabe, Warren L. Julian C.Smith dan Peter Hariot. 1999. Unit Operation
Of Chemical Engineering, Fifth Edition. McGraw-Hill,Inc. New York
5. Murni,R. dan Akmal, S BL. Ginting. 2008. Buku Ajar Teknologi
Pemanfaatan Limbah Pakan Laboratorium Makanan Ternak. Fakultas
Perternakan Universitas Jambi. Jambi
6. Ramachandra, TV., Ahalya N dan Kanamadi RD. 2006. Biosorption :
Technique and Mechanism. CES Technical Repost 110.
7. Rahmah, 2011, Adsorpsi Tanah Diatomeae (Diatomaceous earth) terhadap
ion kromium (VI). Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia. USU.
8. Ramadhan, Bayu ,2010, Biosorpsi Logam Cr (VI) dengan Menggunakan
Biomassa Saccharomyces cerevisiae . Program Studi Teknik Lingkungan ,
ITB, Bandung
9. Retnoningrum,A. 2000. Pembuatan, Karakterisasi, dan Uji Aktivitas Karbon
Aktif dari Tongkol Jagung Sebagai Adsorben Zat Warna Tekstil. Universitas
Negeri Malang. Malang
10. Saefudin, N dan Raziah, A.Z.. 2007. Removal of Heavy Metals from
Industrial Effluent Using Saccharomyces cerevisiae (Bakers Yeast)
Immobilised in Chitosan/Lignosulphonate Matrix. Journal of Applied Science
Research. 3(12) : 2091 -2099.
11. Safrianti, Iin. Dkk. 2012. Adsorpsi Timbal (II) Oleh Selulosa Limbah Jerami
Padi Teraktivasi Asam Nitrat: Pengaruh Ph Dan Waktu Kontak . Program
Studi Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura. Langkat
12. Tewari,N ., Vasudevan, P. dan Guha,B.K. 2005. Study on Biosorption of
Cr(VI) by Mucor hiemalis. Biochemical Engineering Journal. 23 : 185 -192.
Vasudevan, Padma., V.Padmavathy dan S.C Dhingra. 2002. Biosorption of
Monovalent and Divalent ions on bakerss yeast. Bioresource Technology. 82
: 285 289.


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

13. Wang, Jianlong dan Can Chen. 2006. Biosorption of Heavy Metal bt
Saccharomyces cerevisiae : A review. Biotechnology Advances. 24 : 427
451. Wattimury, J. Hendrik. 2012. Studi Adsorpsi Ion Logam Crom (III)
Menggunakan Kulit Pisang Kepok (Musa normalis L.). Program Studi Kimia,
Jurusan Kimia Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas.
14. Watan, Mahbul. 2014 Biosorpsi Logam Berat Kromium Heksavalen
Mengunakan Biomassa Tongkol Jagung Pada Limbah Artifisial. Tugas
Akhir. Program Studi Teknik Kimia. Fakultas Teknik. Universitas
Malikussaleh. Reulet. Aceh Utara.


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

PENYISIHAN ZAT WARNA METHYL VIOLET MENGGUNAKAN KULIT


KACANG TANAH
Fikri Hasfita , Lenni Maulinda1, Riska Sabila1
1

Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh


Kampus Utama Cot Teungku Nie Reuleut, Muara Batu, Aceh Utara 24355
Korespondensi: HP:082117069373, e-mail: itaku_hf@yahoo.com

Abstrak

pengembangan teknologi pengolahan limbah yang mengandung zat warna secara


ekonomis dan ramah lingkungan menjadi tantangan peneliti dalam mengatasi
pencemaran lingkungan. Teknologi pengolahan limbah menggunakan biomassa
hasil limbah pertanian merupakan salah satu solusi yang dapat mengatasi
tantangan tersebut. penelitian ini bertujuan untuk melihat potensi kulit kacang
tanah sebagai media penyerap (biosorben) dalam menyisihkan zat warna methyl
violet. Hasil yang diharapkan limbah kacang tanah memiliki karakteristik yang
menyamai adsorben komersial. Penelitian terdiri dari dua tahap yaitu pembuatan
biosorben kacang tanah dan uji kemampuan sorbsi limbah kacang tanah pada
limbah artifial yang mengandung zat warna methyl violet.. Kemampuan sorbsi
biosorben dijalankan menggunakan reaktor batch pada variasi waktu kontak, dan
konsentrasi methyl violet. Penyisihan tertinggi mencapai 84% pada pH netral
dengan konsentrasi 110 mg/L, jumlah adsorben 5 gram waktu pengadukan 145
menit.

Kata kunci : kulit kacang tanah, biosorben, methyl violet, limbah zat
warna,biomassa

1. Pendahuluan

Pencemaran lingkungan akibat zat warna semakin meningkat seiring


dengan bertambahnya industri yang menggunakan warna sebagai komponen
utama dalam proses produksi. Salah satu industri yang menggunakan warna
sebagai bahan baku utama adalah industri tekstil. Pesatnya pertumbuhan industri
tekstil di Indonesia sebagai bentuk dari pengembangan pengetahuan dan
kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Disisi lain dampak buruk
terhadap lingkungan tidak dapat dihindari. Terlebih jika teknologi yang rumit dan
biaya pengolahan yang mahal akan sangat sulit untuk menghindari pencemaran


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

lingkungan dari limbah zat warna. Polutan ini terbukti meracuni perairan,
berdampak buruk bagi kesehatan makhluk hidup, dan mengakibatkan penurunan
kualitas lingkungan. Oleh karena itu dibutuhkan perhatian khusus dalam hal
penanganan dan pengolahan limbah yang dihasilkan.
Zat warna adalah salah satu jenis polutan yang mengandung zat beracun
yang dapat mencemari air. Limbah cair industri tekstil di Indonesia umumnya
mengandung zat tersuspensi dengan konsentrasi 750 ppm dan BOD sebesar 500
ppm. (Badan Lingkungan Hidup Indonesia, 2000). Salah satu limbah yang
dihasilkan oleh industri tekstil yaitu zat warna methyl violet. Zat warna methyl
violet tergolong dalam zat warna karbon -nitrogen yang terdapat pada gugus
benzena. Gugus benzena sangat sulit didegradasi, kalaupun dapat didegradasi
membutuhkan waktu yang lama. Zat warna ini termasuk dalam kelas azo
(Manurung, 2004). Zat warna azo merupakan zat warna yang mempunyai sifat
karsinogenik, membahayakan hewan air, tidak mudah terurai secara biologi dan
mencemari lingkungan melalui buangan limbah cairnya. Oleh karena itu
diperlukan upaya penanganan limbah secara tepat baik secara fisika ataupun
kimia.
Saat ini Penggunaan biomaterial dalam mengatasi pencemaran zat warna
terbukti lebih efektif. Metode ini dinyakini sangat menjanjikan terutama harganya
murah, memiliki kemampuan adsorpsi yang baik, mudah diregenerasi, serta lebih
aman bagi lingkungan (Volesky, 2007). Pada penelitian ini digunakan kulit
kacang tanah sebagai biosorben untuk menyisihkan zat warna methyl violet.
Kulit kacang tanah mengandung selulosa yang mampu menjerap zat warna
karena gugus OH yang terikat dapat berinteraksi dengan adsorbat. Selulosa
merupakan senyawa yang memiliki karakter hidrofilik karena adanya gugus
hidroksil pada tiap unit polimernya. Permukaaan gugus fungsi selulosa alam
ataupun turunannya dapat berinteraksi secara fisik atau kimia. Selulosa memiliki
gugus fungsi yang dapat melakukan pengikatan dengan ion logam. Gugus fungsi
tersebut terutama gugus karboksil, hidroksil, Herwanto, 2006).
Marshall dan Mitchell (1996) melaporkan beberapa produk samping
pertanian yang berpotensi sebagai adsorben, yaitu tongkol jagung, gabah padi,


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

gabah kedelai, biji kapas, jerami, ampas tebu, serta daun akasia. Hasil penelitian
Aprilia Susanti (2009) menggunakan kacang tanah sebagai absorben zat warna
cibacron red dengan modifikasi asam dan tanpa modifikasi asam diperoleh
efektivitas penjerapan berturut-turut 87,14% dan 4,69%. Hasil penelitian Mutia
Fonna (2015) menggunakan tongkol jagung sebagai adsorben untuk zat warna
methyl violet, diperoleh kapasitas penyerapan maksimum sebesar 1,71 mg/g pada
waktu 260 menit dengan konsentrasi 60 ppm. Hasil penelitian Rizky Indah Sari
(2015) menggunakan kulit buah kakao sebagai adsorben untuk zat warna methyl
violet, diperoleh kapasitas penyerapan maksimum 1,81 mg/g pada konsentrasi 50
ppm dengan waktu 140 menit. Hasil penelitian Zahrul Ulfa (2015) menggunakan
daun akasia sebagai adsorben untuk zat warna methyl violet, diperoleh kapasitas
penyerapan maksimum sebesar 1,62 mg/g pada waktu 145 menit dengan
konsentrasi 110 ppm.
Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa limbah pertanian yang
mengandung selulosa dapat diolah lebih lanjut sebagai adsorben dan diharapkan
mampu meningkatkan nilai tambahnya Komponen kulit kacang tanah terdiri dari
selulosa, air, abu, protein, lignin dan lemak. Komposisi kimia dan gambar kulit
kacang tanah diperlihatkan pada Tabel 1 dan Gambar 1.
Tabel 1 Komposisi Kimia Kulit Kacang Tanah
Komposisi Kimia Kulit Kacang Tanah %

Air 9.5
Abu 3.6
Protein 8.4
Selulosa 63.5
Lignin 13.2
Lemak 1.8
Sumber: Deptan (2008).

 
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Gambar .1 Kulit Kacang Tanah

ahan dan Metode


2. Bahan
lain
Bahan dan peralatan yang diperlukan dalam penelitian ini antara la
Ayakan 100 mesh,Neraca Digital, Erlemeyer, Labu Ukur, Gelas Piala,
P Cawan
Spektrofotometer UV-Vis
Poerselin,Shaker, Kertas Saring, Blender, pH Meter, Spektrofotomet
penyaring buchner dan blender yang digunakan untuk menghancurkan limbah
it kacang sedangkan bahan yang digunakan adalah limbah kulit kacang tanah,
kulit
larutan limbah artifisial yang mengandung zat warna Larutan Basic Methyl Violet
serta aquades
Penelitian ini terdiri atas dua tahap yaitu, pembuatan biosorben,
biosorben serta Uji
kinerja biosorben kulit kacang tanah dalam menyisihkan zat warna Basic Methyl
Violet. Proses penyerapandilakukan secara batch dengan menganalisa pengaruh
penyerapan dan
waktu kontak dan konsentrasi awal limbah terhadap kapasitas peny
persentase penyisihan. Analisa zat warna Basic Methyl Violet dilakukan
UV-Vis. Untuk menentukan konsentrasi akhir
menggunakan Spektrofotometer UV
dari suatu larutan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Fkalibrasi = (1)

Dimana : C : Konsentrasi awal (ppm)


A : Absorbansi Awal


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Konsentrasi Akhir (Ce) = Fkalibrasi rata-rata x Absorbansi Akhir


Penentuan kandungan zat warna didalam larutan ditentukan dengan
menggunakan Spektrofotometer UV-Vis. Penentuan persentase zat warna yang
tersisihkan dihitung dengan persamaan:
% Penyisihan = [(Co Ce) / Co] x 100% (2)
Dimana : Co : Konsentrasi awal larutan (mg/L)
Ce : Konsentrasi setelah kesetimbangan (mg/L)
Adapun tahap pengujian kapasitas adsorpsi zat warna dapat di tentukan dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut:
 
qe = (3)

Dimana : qe : Kapasitas adsorpsi zat warna (mg/g)


V : Volume larutan yang diadsorbsi (ml)
Co : Konsentrasi awal larutan (mg/L)
Ce : Konsentrasi setelah kesetimbangan (mg/L)
S : Berat sampel (g)

3. Hasil dan Diskusi


Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektifitas kulit kacang tanah dalam
menyerap zat warna jenis methyl violet. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan dengan menggunakan biomassa kulit kacang tanah, pengaruh waktu
kontak dan pengaruh konsentrasi awal pada penyisihan zat warna methyl violet
dapat dilihat dengan menganalisa persen penyerapan dan kapasitas penyerapan.
Pada penelitian ini proses adsorpsi methyl violet dengan menggunakan adsorben
kulit kacang tanah dilakukan pada suhu ruangan dengan beberapa variasi waktu
dan konsentrasi dengan kecepatan pengadukan 150 rpm. Jumlah adsorben yang
digunakan 5 gram dengan jumlah limbah 100 ml. lebih lanjut akandibahan
hubungan waktu dan konsentrasi terhadap kapasitas dan persentase penyerapan.

3.1 Pengaruh Waktu Kontak Terhadap Kapasitas Penyerapan


Penelitian ini dilakukan variasi waktu 110 menit, 120 menit,, 130 menit,
140 menit, dan 150 menit. Kapasitas penyerapan akan meningkat seiring


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

meningkatnya waktu kontak antara adsorben dengan zat warna seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2.


kapasitas penyerapam (mg/g)








 


      

waktu (menit)

Gambar 2 Grafik hubungan waktu kontak dengan Kapasitas Penyerapan


Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa kapasitas adsorbsi zat warna
meningkat dengan meningkatnya waktu kontak. Hal ini disebabkan semakin lama
waktu tumbukan antara kulit kacang tanah dengan limbah, maka semakin banyak
kemungkinan zat warna yang teradsorbsi oleh kulit kacang tanah karena semakin
banyak gugus aktif pada kulit kacang tanah yang dapat berikatan dengan zat
warna (Rina, 2009). Dari Gambar 2 diatas diperoleh kapasitas penyerapan
tertinggi pada 145 menit dengan besarnya zat teradsorbsi yaitu 2,379 mg/g.
Menurut Amir (2003), semakin lama waktu penyerapan maka akan didapatkan
pula hasil penyerapan yang baik dan ini akan berpengaruh pula terhadap besarnya
daya serap suatu adsorben.

3.2 Pengaruh Waktu Kontak terhadap persentase Penyerapan


Waktu kontak dan tumbukan merupakan faktor penting dalam adsorbsi..
Menurut teori tumbukan, kecepatan reaksi bergantung pada jumlah tumbukan
persatuan waktu. Makin banyak tumbukan yang terjadi maka reaksi semakin cepat
berlangsung sampai mencapai kesetimbangan. Waktu tercapainya keadaan
setimbang pada proses adsorbsi berbeda-beda. Hal itu dipengaruhi oleh jenis


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

interaksi yang terjadi anatara adsorben dan adsorbat (Rina, 2009). Semakin lama
waktu kontak, tumbukan yang terjadi semakin banyak hingga mencapai
kesetimbangan sehingga kadar penyerapan semakin tinggi seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3 :


   


 
 
 
 
 


      
 

Gambar 3 Grafik hubungan waktu kontak terhadap persentase penyerapan


Pada Gambar 3 terlihat persentase penyerapan semakin tinggi dengan
meningkatnya waktu penyerapan. Hal ini disebabkan semakin lama waktu maka
semakin banyak tumbukan antara biosorben dan limbah zat warna sehingga
persentase penyisihan akan semakin meningkat sampai mencapai titik jenuh. Dari
penelitian diperoleh kadar penyerapan tertinggi pada waktu 145 menit yaitu
sebesar 84,044 % dan kadar terendah pada waktu 125 menit 61.542%.

3.3 Pengaruh konsentrasi limbah terhadap kapasitas penyerapan


Kapasitas penyerapan merupakan banyaknya zat warna methyl violet yang
diserap persatuan gram adsorben yang diberikan. Pada bagian ini, Kapasitas
penyerapan ditinjau dari pengaruh konsentrasi yang diberikan pada adsorben
dalam larutan methyl violet seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4.


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016





   
  


 

 

 




       
   

Gambar 4 Grafik hubungan konsentrasi limbah terhadap kapasitas


penyerapan
Berdasarkan Gambar 4 diatas dapat dilihat bahwa semakin tinggi
konsentrasi maka semakin meningkat kapasitas penyerapannya. Peningkatan
kapasitas disebabkan oleh permukaan sel menjadi aktiv dan membentuk ikatan
dengan larutan zat warna. Dimana kapasitas penyerapan tertinggi terjadi pada
konsentrasi 150 ppm dengan besar kapasitas penyerapan yaitu 2.379 mg/g dan
kapasitas penyerapan terendah terjadi pada konsentrasi 110 ppm dengan kapasitas
penyerapan hanya sebesar 1.456 mg/g. Kapasitas penyerapan yang terjadi
berbanding terbalik dengan persen penyerapan. Kapasitas adsorbsi dan efesiensi
penjerapan meningkat seiring kenaikan konsentrasi awal zat warna hingga
mencapai titik jenuh. Kapasitas penyerapan yang semakin meningkat seiring
meningkatnya waktu dan tidak mengalami penurunan kapasitas adsorbsi
membuktikan penelitian ini belum mencapai titik jenuh..

3.4 pengaruh konsentrasi limbah terhadap persentase penyerapan


Kadar penyerapan merupakan banyaknya zat warna methyl violet yang
diserap oleh adsorben kulit kacang tanah. Salah satu variabel yang mempengaruhi
kadar penyerapan yaitu konsentrasi adsorbat. Konsentrasi adsorbat sangat
berpengaruh terhadap banyaknya limbah yang akan diserap oleh adsorben. Proses


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

adsorpsi akan konstan jika terjadi kesetimbangan antara konsentrasi adsorbat yang
terserap dengan konsentrasi yang tersisa dalam larutan. Pengujian kadar
penyerapan methyl violet oleh kulit kacang tanah dlakukan dengan memvariasikan
konsentrasi larutan yang akan diserap yaitu 110 ppm, 120 ppm, 130 ppm, 140
ppm dan 150 ppm untuk melihat seberapa besar kulit kacang tanah mampu
menyerap limbah zat warna methyl violet. Dari variasi tersebut dapat
dilihat persentase penyerapan yang terjadi dari Gambar 5.



 
  






 
 
 

    
   

Gambar 5 Grafik hubungan konsentrasi limbah terhadap kadar penyerapan


Pada Gambar 5 terlihat persentase penyerapan menurun seiring dengan
bertambahnya konsentrasi limbah. kondisi ini disebabkan semakin tinggi
konsentrasi kemampuan biosorben akan lebih cepat mengalami kejenuhan
sehingga meski waktu ditambah persentase penyerapan tidak lagi mengalami
peningkatan. Pada Gambar 5 terlihat kapasitsa tertinggi diperoleh pada waktu 145,
konsentrasi 110 ppm sebesar 84%.

4. Simpulan dan Saran


4.1 Kesimpulan
1. Penyerapan maksimum pada penyisihan zat warna methyl violet oleh kulit
kacang tanah diperoleh sebesar 84,099% pada waktu 145 dengan
konsentrasi 110 ppm , berat adsorben 5 gram dan kecepatan pengadukan
150 rpm.


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

2. Kapasitas penyerapan maksimum diperoleh sebesar 2.379mg/gr pada


waktu 145 menit dengan berat adsorben 5 gram.
3. Persentase penyerapan menurun dengan bertambahnya konsentrasi
sedangkan kapasitas penyerapan meningkat.
4. Semakin lama waktu kontak maka persentase penyerapan dan kapasitas
penyerapan meningkat sampai mencapai titik jenuh

4.2 Saran
Penelitian ini masih bias dilanjutkan dengan menggunakan aktifator asam
atau basa

5. Daftar Pustaka

Adamson, A.W., 1990. Physical Chemistry Of Surface, 5 Ed., John Wiley


And Sons Inc., Toronto.

Ahalya, Ramachandra And Kanadamadi. 2003. Biosorption Of Heavy Metals.


Http://144.16.932.3/Energy/Water/Paper/Biosorption/Biosorptio.Html.

Anonim,2008, Prototype Alat Pembuatan Arang Aktif Dan Asap Cair


Tempurung,Badan Penelitian Dan Pengembangan Industri, Departemen
Perindustrian

Anto. 2008. Pemanfaatan Tongkol Jagung Sebagai Biosorben Zat Warna Biru
Metilena [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.

Aprilia Susanti. 2009. Potensi Kacang Tanah sebagai Absorben Zat Warna (azo)
Reaktif Cibacron Red. Bogor: Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Badan Lingkungan Hidup. (2000), Keputusan Kepala Badan


PengendalianDampak Lingkungan Nomor 113 Tentang Pedoman Umum
Dan Pedoman Teknis Laboratorium Lingkungan. Badan
PengendalianDampak Lingkungan, Serpong, Tangerang.

Blackburn, R. S. And S. M. Burkinshaw. 2002. A Greener To Cotton Dyeing


With Excellent Wash Fastness, Green Chem, 4: 47-52

BPS. 2015. Statistik Pertanian Indonesia. Jakarta: Biro Pusat Statistik.


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Deptan. 2008. Pemanfaatan Limbah Sebagai Bahan Pakan Ternak. [Terhubung


Berkala]. Http://Jajo 66.Files.Wordpress.Com [16 Feb 2016].

Dogan Dan Alkan. (2003). Adsorpstion Kinetics Of Methyl Violet Onto


Perlite.Chemosphere 50.P. 517-528.

Fengel, D., and Gerd, W., 1995, Kayu, Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Fessenden RJ Dan Fessenden JS. 1986. Kimia Organik Jilid 1. Edisi Ke-3.
Penerjemah; Pudjaatmaka AH. Jakarta: Erlangga. Terjemahan Dari:
Organic Chemistry.

Fonna, Mutia. 2011. Bioadsorbsi Zat Warna Basic Metyl Violet dengan Biomassa
Tongkol Jagung. Lhokseumawe: Universitas Malikussaleh.

Gufta, G.S; Prassad, G; Panday, K.K And Singh, V.N; 1998, Removalof Chrome


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

EFEKTIFITAS ELEKTRODA ALUMINIUM UNTUK PENJERNIHAN


AIR SUMUR DENGAN METODE ELEKTROKOAGULASI SISTEM
KONTINYU

Suryati, Radhiah, Rachmawati


Dosen Jurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Lhokseumawe, Aceh
E-mail : Suryati_zya@yahoo.com,

Abstrak
Dalam memenuhi kebutuhan air sehari-hari masyarakat Aceh khususnya
masyarakat pedesaan masih menggunakan air yang bersumber dari Air tanah (air
sumur). Kendala yang paling sering ditemui masyarakat dalam menggunakan air
sumur adalah banyaknya kandungan zat pencemar didalamnya, kondisi air
umumnya berwarna kuning dan berbau. Air yang mengandung zat besi (Fe) dan
Mangan (Mn) dalam jumlah yang cukup besar dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan teknis, gangguan kesehatan dan gangguan fisik. Metode penjernihan
air yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode elektrokoagulasi, sebagai
elektroda digunakan material aluminium. Penelitian dibagi dalam dua tahap yaitu
tahap pendahuluan (sistem batch) dan tahap lanjutan (sistem kontinyu).
Parameter yang dianalisis adalah pengaruh kuat arus, waktu kontak dan debit air
terhadap karakteristik sampel. Hasil penelitian menunjukkan Kuat arus dan waktu
kontak memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kualitas air olahan,
kuat arus terbaik diperoleh 2 ampere dan waktu kontak 60 menit, Pada sistem
batch Efesiensi kekeruhan terbesar adalah 99,45% dan efisiensi penurunan
kekeruhan terbesar 98,71%.Efisiensi penurunan kekeruhan dan kandungan fe
terbesar pada sistem kontinyu terjadi pada debit air 0,5 liter/menit yaitu 99,55%.
Proses elektrokoagulasi dengan elektroda aluminium sangat efektif digunakan
untuk menurunkan tingkat kekeruhan dan kandungan fe pada air sumur
Kata kunci: elektrokoagulasi, penjernihan air, Elektroda Aluminium, Sistem
Kontinyu, Air Sumur

I. PENDAHULUAN
Ketersediaan air bersih atau air layak pakai di suatu daerah merupakan hal
yang penting untuk menunjang keberlangsungan aktifitas manusia seharihari,
masyarakat Aceh yang tinggal di pedesaan umumnya menggunakan air tanah
(air sumur galian) sebagai air baku. Kualitas air sumur galian yang ada di daerah
Aceh umumnya sangat rendah, air berwarna kuning, berbau dan berasa

PROSIDING SNTK UNIMAL 2016


17 OKTOBER 2016

(mengandung fe dan Mn) sehingga air tersebut tidak bisa dimanfaatkan secara
langsung. Kandungan zat besi (fe) dan Mangan yang tinggi dalam air dapat
menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti gangguan kesehatan, gangguan
fisik dan gengguan teknis. Sebagai contoh kandungan fe yang tinggi dalam air
dapat menimbulkan korosi dan menyebabkan kerusakan infrastruktur,
meninggalkan bercak kuning pada bak dan kain cucian dan lain sebagainya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.907/Menkes/SK/VII/2002
disebutkan bahwa kandungan mineral maksimum yang diijinkan dalam air minum
masing-masing adalah: 0,2 mg/l untuk aluminium (Al), 0,3 mg/l untuk besi (Fe)
dan 0,1 mg/l untuk mangan (Mn). Air tidak berwarna, tidak berbau dan tidak
berasa.
Beberapa metode yang pernah dilakukan untuk mengolah air sumur galian
yang mengandung banyak Fe dan Mn antara lain dengan proses filtrasi, aerasi,
dan koagulasi. Metode elektrokoagulasi adalah salah satu metode alternatif yang
dapat digunakan untuk menjernihkan air atau limbah cair dengan memanfaatkan
elektroda yang dilewati oleh arus listrik. Elektrokoagulasi merupakan metode
yang mampu menyisihkan berbagai jenis polutan dalam air, yaitu partikel
tersuspensi, logam-logam berat, produk minyak bumi, warna pada zat
pewarna, larutan humus, dan deflouridasi air. Metode ini mempunyai
kelebihan yaitu nilai efisiensinya cukup tinggi dan tidak diperlukan penambahan
bahan kimia. Hal ini telah dibuktikan oleh Susilawati (2009) Model pengolahan
air gambut dibuat dalam skala pilot dengan menggunakan 4 buah elektroda
aluminium pada jarak 6 cm Hasil penelitian menunjukkan penurunan warna,
turbidity, COD, BOD, total organik dan kandungan logam Al, Fe, Mn, Zn, Cd dan
Cu yang cukup signifikan. Danang dkk dalam penelitiannya yang berjudul Model
Alat Penawar Air Tanah Terintrusi Air Laut dengan proses elektrokoagulasi
mendapatkan bahwa penggunaan arus 3 Ampere mampu menurunkan kadar
magnesium dari 100000 mg/l menjadi 81 mg/l dan kadar natrium dari 9600 mg/l
menjadi 185 mg/l. Slamet dkk ( 2009) juga membuktikan bahwa metode
elektrokoagulasi cukup efektif untuk menurunkan kekeruhan, COD dan Cl-. Hasil


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

penelitiannya menunjukkan bahwa penggunaan elektroda Fe dengan waktu kontak


5 jam mampu menurunkan kekeruhan mencapai 71,41 %, COD 86,67%.
Dalam penelitian ini dirancang suatu model untuk pengolahan air sumur
galian dalam skala pilot dengan metode elektrokoagulasi dengan sistem kontinyu.
Air sumur digunakan sebagai sampel mengingat air sumur merupakan sumber air
baku yang sangat potensial terutama di sebagian besar daerah Aceh. Elektroda
yang digunakan adalah Aluminium-aluminium.

Elektrokoagulasi
Elektrokoagulasi merupakan proses koagulasi atau penggumpalan dengan
tenaga listrik melalui proses elektrolisa untuk mengurangi atau menurunkan ion-
ion logam dan partikel-partikel di dalam air. Prinsip dasar dari elektrokoagulasi
ini merupakan reaksi reduksi dan oksidasi (redoks). Dalam suatu sel
elektrokoagulasi, peristiwa oksidasi terjadi di elektroda (+) yaitu anoda dan
sekaligus berfungsi sebagai koagulan, sedangkan reduksi dan pengendapan terjadi
di elektroda (-) yaitu katoda. Yang terlibat reaksi dalam elektrokoagulasi selain
elektroda adalah air yang diolah yang berfungsi sebagai larutan elektrolit.
Untuk proses elektrokoagulasi digunakan elektroda yang dibuat dari
aluminium (Al), karena logam ini mempunyai sifat sebagai koagulan yang baik.
Proses elektrokoagulasi disusun meliputi proses equalisasi, elektrokimia,
sedimentasi dan proses filtrasi. Proses equalisasi dimaksudkan untuk
menyeragamkan air yang akan diolah terutama kondisi pH, pada tahap ini tidak
terjadi reaksi kimia. Pada proses elektrokimia akan terjadi pelepasan Al 3+ dari
plat elektroda ( anoda ) sehingga membentuk flok Al(OH)3 yang mampu
mengikat kontaminan dan partikel-partikel dalam limbah. Proses elektrokoagulasi
dilakukan pada bejana elektrolisis yang didalamnya terdapat dua penghantar arus
listrik searah yang disebut elektroda, yang tercelup dalam larutan limbah sebagai
elektrolit seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Apabila dalam suatu elektrolit
ditempatkan dua elektroda dan dialiri arus listrik searah, maka akan terjadi
peristiwa elektrokimia yaitu gejala dekomposisi elektrolit, yaitu ion positif
(kation) bergerak ke katoda dan menerima elektron yang direduksi dan ion negatif


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

(anion) bergerak ke anoda dan menyerahkan elektron yang dioksidasi. (Sunardi,


2007).

Gambar 1 Iilustrasi proses elektrokoagulasi

Waktu tinggal
Waktu tinggal merupakan waktu yang diperlukan sampel untuk kontak langsung
dengan elektroda yang dialiri arus listrik. Waktu tinggal berkaitan dengan jumlah
koagulan (Al3+) yang dilepaskan ke air. Untuk proses elektrokoagulasi yang
dilakukan secara kontinyu, maka persamaan waktu tinggal air dalam bejana
adalah:

 (1)

dengan:
t = waktu tinggal air limbah dalam bejana (det)
A = luas penampang bejana (cm2)
Q = debit air limbah ( cm3/det)
s = tinggi bejana (cm) (Chen dkk,2000)

persamaan untuk waktu proses elektrolisis menurut hukum Faraday pertama


adalah:


 (2)

Jika Persamaan.1 dimasukkan ke persamaan.2, maka didapat persamaan:



 (3)

Hukum Faraday membuat hubungan antara kuat arus (I) yang mengalir
dengan jumlah massa yang terlepas ke larutan, hal ini merupakan


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

pendekatan secara teoritis untuk menghitung jumlah aluminium yang terlepas


ke larutan. Adapun rumus dari hukum Faraday adalah sebagai
berikut :
 (4)

w = berat aluminium yang larut (gram)


I = kuat arus yang digunakan (Ampere)
t = waktu kontak (detik)
ar = berat molekul aluminium, yaitu 27 gram.Mol
n = valensi aluminium, yaitu 3
F = konstanta Faraday, 96500 Coulomb/mol

2. METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Air sumur, Plat Aluminium (tebal plat 1 mm), Pasir, Kassa Plastik, Pipa PVC,
Keran air, Bak Sampel (Bak kaca ukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm), Bak
Elektrokoagulasi (Bak kaca ukuran 25 cm x 30 cm x 40 cm), Bak Filtrasi, Bak Air
Bersih, Pompa, Power Supply DC (6 30 Volt), pH meter, Stopwatch,
Amperemeter (Multimeter)

Rangkaian Alat Penelitian


Alat proses terdiri atas sumber DC, Avometer, bak pengumpan (bak sampel),
bak proses adsorpsi, bak proses elektrokoagulasi, bak pengendap kotoran dan
bak penampung air olahan, rangkaian alat penelitian dapat dilihat pada gambar 2.
Sumber DC dengan besar tegangan antara 0 sampai 30 volt dan arus listrik
antara 0 sampai 2 amper. Avometer digunakan untuk mengukur arus listrik
dan tegangan. Bak pengumpan berukuran panjang 40 cm, lebar 40 cm dan tinggi
40 cm. Bak proses elektrokoagulasi berbentuk persegi yang dilengkapi anoda
dan katoda dari bahan aluminium masing-masing berukuran lebar 7 cm dan
panjang 10 cm. Jarak antara anoda dan katoda 5 cm


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Prosedur Penelitian
1. Pemeriksaan parameter-parameter sampel, yaitu : pH, Turbidity dan, Fe.
2. Pengaturan alat sesuai dengan rancangan percobaan.
3. Pengaturan jumlah dan jarak elektroda (plat Aluminium) yang
diletakkan dalam bak elektrokoagulasi.
4. air sumur dimasukkan ke dalam bak elektrokoagulasil.
5. Plat elektroda dihubungkan pada sumber arus searah dengan kuat arus 0,5 A.
6. Diatur waktu kontak selama 60 menit.
7. Dari bak elektrokoagulasi, selanjutnya air dialirkan ke dalam bak filtrasi,
yang telah diisi dengan pasir sebagai penahan flok yang telah terbentuk
pada proses elektrokoagulasi.
8. Selanjutnya air jernih dialirkan ke dalam bak kontrol untuk mengetahui
apakah masih terjadi pengendapan, disini air didiamkan selama 15 menit.
Dari bak kontrol air jernih dialirkan ke dalam bak air bersih.
9. Proses selesai, kemudian dilakukan pemeriksaan parameter-parameter air
Olahan, yaitu : pH, Turbidity dan Fe
10. Percobaan diulangai untuk variasi arus 1 A dan 2 A
11. Setelah didapatkan kuat arus optimum percobaan diulangi untuk variasi
waktu kontak 30 menitdan 45 menit
12. Setelah didapatkan parameter optimum, percobaan diulangi untuk sistem
kontinyu dengan memvariasikan debit air

Gambar 2 Sket rangkaian Alat percobaan


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

3. HASIL DAN DISKUSI

Pada penelitian ini dilakukan analisa terhadap kemampuan elektroda


dari plat Aluminium (Al) sebagai anoda dan katoda dalam menurunkan
kekeruhan dan warna dengan menggunakan metode elektrokoagulasi. Ada dua
tahapan dalam analisa ini yaitu Percobaan Pendahuluan (sistem Batch) dan
Percobaan Lanjutan (Sistem Kontinyu). untuk mengetahui besarnya pengaruh
waktu kontak dan kuat arus terhadap efisiensi penurunan kekeruhan dan
kandungan zat besi (fe) dalam percobaan pendahuluan dilakukan variasi waktu
kontak dan kuat arus. Kuat arus yang dipakai adalah 2 A; 1A; dan 0,5 A serta
waktu yang dipakai adalah 60, 45 dan 30 menit. Percobaan Lanjutan (Sistem
Kontinyu) dilakukan dengan cara air dari bak pengumpan menuju bak
elktrokoagulasi dialirkan secara kontinyu dengan debit air yang divariasikan.
Dalam percobaan ini waktu kontak yang digunakan adalah waktu kontak terbaik
dari percobaan pendahuluan sehingga didapatkan debit dan kuat arus yag terbaik
dalam analisa ini.
Sebelum dilakukan penjernihan air dengan metode elektrokoagulasi, air
baku yang akan dijadikan sebagai sampel di uji terlebih dahulu, sehingga dapat
diketahui karakteristik awalnya, dan diperoleh data seperti yang disajikan dalam
tabel 1 berikut ini.
Tabel 1 Karakteristik sampel air sebelum dilakukan proses elektrokoagulasi
No Parameter Satuan Nilai Standar Air Bersih
1 pH - 7 6,5 -8,5
o
2 Suhu C 26 Suhu udara 3oC
3 Kekeruhan NTU 270 5
4 Fe mg/l 13,2 0,3
5 DHL S.cm-1 30 200

Sistem Batch
Pada tahap pertama dilakukan percobaan dengan menggunakan dua
variabel, yaitu kuat arus dan waktu kontak. Percobaan ini dilakukan untuk
melihat pengaruh kuat arus dan waktu kontak terhadap efisiensi penurunan
kekeruhan dan kandungan zat besi dalam air. Percobaan elektrokoagulasi
dilakukan dengan variasi kuat arus 0,5 A, 1 A dan 2 A. masing-masing percobaan


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

dilakukan dengan waktu kontak selama 30 menit. Sampel yang sudah


diperlakukan selanjutnya dianalisis parameter ph, kandungan fe, kekeruhan dan
DHL. Adapun data hasil percobaan dapat dilihat dalam Tabel 2

Tabel 2 Pengaruh kuat arus terhadap kejernihan air sumur dengan proses
elektrokoagulasi
NO Arus (A) Waktu (menit) Kekeruhan (NTU) Fe (mg/l)
1 0,5 30 3,6 0,325
2 1 30 2,42 0,284
3 2 30 1,55 0,202

Data pada tabel 2 di atas menunjukkan bahwa perubahan arus pada proses
elektrokoagulasi memberikan dampak perubahan yang sangat besar terhadap
karakteristik air sampel. Karakteristik air yang paling optimal diperoleh dari
proses elektrokoagulasi yang menggunakan kuat arus 2 A. Arus adalah elektron
yang mengalir, sehingga jika arus diperbesar maka jumlah elektron yang
mengalir dalam sel elektrolit (dari anoda ke katoda) semakin meningkat.
Peningkatan jumlah elektron meningkatkan jumlah OH- dan gelembung gas
H2. Penurunan kekeruhan dapat terjadi karena adanya reaksi selama proses
elektrokoagulasi, yaitu:

Pada katoda terjadi reaksi


2H+ + 2e  H2
Setelah gas terbentuk gas hidrogen maka
2H2O+ 2e  2OH- + H2
dan pada anoda terjadi reaksi
Al3+ + 3H2O  Al(OH)3 + 3H- + 3e
OH- akan bergabung dengan Al3+ dari anoda membentuk senyawa kompleks yang
dapat mengikat polutan dan kemudian membentuk flok. Semakin banyak jumlah
OH- yang terbentuk maka flok yang terbentuk semakin banyak. Semakin
banyaknya gelembung gas H2 yang terbentuk menyebabkan semakin
mudahnya proses pengangkatan flok yang dihasilkan ke permukaan.
Pembentukan ion Al3+sebagai koagulan dapat terjadi karena adanya reaksi
yang terjadi pada anoda dan katoda sebagai pasangan elektroda selama proses


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

elektrokoagulasi. Pelepasan ion Al3+ yang berasal dari elektroda sangatlah


dipengaruhi oleh besarnya arus yang mengalir pada elektroda. Semakin besar arus
yang mengalir pada elektroda maka akan semakin banyak pula ion Al3+ yang
dilepaskan dari anoda sebagai agen koagulan. Sehingga pengikatan polutan
pengotor di dalam air menjadi semakin banyak. Dari Tabel 5.2 dapat terlihat jelas
bahwasannya penurunan kekeruhan semakin meningkat dengan meningkatnya
kuat arus yang digunakan. Karakteristik air terbaik diperoleh pada percobaan yang
dilewati arus 2 A dan diperoleh efesiensi penurunan kekeruhan sebesar 99,42%
dan penurunan fe sebesar 98,47%, sehingga dapat dikatakan bahwa untuk proses
elektrokoagulasi pada percobaan ini diperoleh kuat arus optimum pada I = 2A
Setelah didapatkan arus optimul yaitu 2 A, percobaan selanjutnya dilakukan untuk
melihat pengaruh waktu waktu kontak terhadap efisiensi penurunan kekeruhan
dan kandungan fe dalam air. Waktu kontak divariasikan 30 menit, 45 menit dan
60 menit. Dan diperoleh data seperti yang ditunjukkan pada tabel 3.
Tabel 3 Pengaruh kuat arus terhadap kejernihan air sumur dengan proses
elektrokoagulasi
No Arus (A) Waktu (menit) Kekeruhan (NTU) Fe (mg/l)
1 2 30 1,55 0,202
2 2 45 1,52 0,188
3 2 60 1,49 0,169

Data hasil percobaan menunjukkan waktu kontak memberikan pengaruh terhadap


parameter air sampel, terutama pada nilai kekeruhan dan kandungan fe dalam air.
semakin lama waktu yang digunakan pada saat proses elektrokoagulasi maka akan
memberikan kesempatan kepada anoda untuk semakin banyak melepaskan ion
Al3+ yang akan mengikat polutan air sehingga semakin banyak flok yang
terbentuk dan akhirnya terjadi pengendapan, hal ini menyebabkan persentase
penurunan kekeruhan dan kandungan fe dalam air semakin meningkat. Dari data
yang ditunjukkan pada Tabel 3 penurunan kekeruhan dan kandungan fe terbesar
terjadi pada waktu kontak 60 menit yaitu sebesar 99,45% untuk nilai kekeruhan
dan 98,72% untuk kandungan fe.
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa, kuat arus dan waktu kontak
berbanding lurus dengan efesiensi penurunan kandungan fe dalam air dan nilai


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

kekeruhan air hasil penjernihan dengan proses elektrokoagulasi. Atau dengan kata
lain, semakin besar kuat arus yang digunakan semakin tinggi efisiensi penurunan
kekeruhan air, begitu pula dengan waktu kontak. Semakin lama waktu kontak
yang digunakan pada proses elektrokoagulasi maka akan semakin tinggi pula
penurunan kekeruhan air hasil penjernihan dengan proses elektrokoagulasi. karena
semakin besar waktu dan kuat arus yang digunakan pada saat proses
elektrokoagulasi, maka akan semakin banyak ion Alumunium (Al3+) yang
dilepaskan. Ionion alumunium inilah yang berperan aktif sebagai koagulan untuk
mengikat partikelpartikel koloid yang terdapat dalam air. Setelah ion alumunium
berikatan dengan partikel partikel kontaminan tersebut, maka akan membentuk
suatu flok. Ada dua jenis flok yang terbentuk yaitu flok yang mengendap pada
dasar wadah dan flok yang berada pada permukaan air hasil penjernihan. Adapun
flok yang mengendap pada dasar wadah merupakan flok flok yang berukuran
besar sehingga pada saat air didiamkan maka flok tersebut akan bersedimentasi
pada dasar wadah. Sedangkan flok yang terdapat pada permukaan air disebabkan
karena adanya gas hydrogen yang dilepaskan dari katoda yang mengangkat flok
yang masih melayang pada air menuju permukaan air. Adapun peristiwa ini
dikenal dengan flotasi. Flotasi adalah peristiwa terangkatnya flok flok yang
terbentuk pada proses elektrokoagulasi oleh gas hydrogen yang dihasilkan katoda
menuju permukaan air.
Secara keseluruhan, hasil pengolahan air secara eketrokoagulasi pada sistem
batch menggunakan kuat arus 2 A dengan waktu kontak 45 menit dan waktu
kontak 60 menit telah memenuhi baku mutu air bersih sesuai dengan Permenkes
No. 492/MENKES/PER/IV/2010. Ini artinya penggunaan aluminium sebagai
elektroda dalam menjernihkan air sumur secara elektrokoagulasi sangat efektif
dalam menurunkan kekeruhan dan kandungan fe dalam air.

Sistem Kontinyu
Percobaan Lanjutan dilakukan pada reaktor kontinyu yaitu menggunakan
air sampel dari bak pengumpan yang dialiri kedalam bak elektrokoagulasi dengan
kuat arus dan waktu terbaik yang didapatkan dari percobaan pendahuluan, dari


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

percobaan pendahuluan dengan sistem batch diperoleh kuat arus terbaik yaitu 2 A
dan waktu kontak terbaik yaitu 60 menit untuk menjernihkan air 20 liter,
sehingga diperoleh estimasi debit air yang efektif dalam percobaan kontinyu
adalah 0,333liter/menit.
Data hasil percobaan pendahuluan menunjukkan air hasil penjernihan
dengan kuat arus 2 A dan waktu kontak 45 menit pun telah memenuhi baku mutu
yang ditetapkan, atas dasar pertimbangan tersebut dan juga keterbatasan alat maka
dalam percobaan lanjutan dengan sistem kontinyu laju aliran air divariasikan 0,5
liter/menit dan 1 liter/menit.
Seperti halnya pada percobaan pendahhuluan, Percobaan lanjutan juga
menganalisa perubahan yang terjadi pada Kekeruhan, pH, kandungan fe dan Daya
Hantar Listrik pada air sampel dan diperoleh parameter air hasil penjernihan
seperti ditunjukkan tabel 5.4 berikut:
Tabel 4 Pengaruh debit air terhadap kekeruhan dan kandungan fe
No Arus (I) Debit (L/menit) Fe (mg/l) Kekeruhan (NTU)
1 2A 0,5 l/menit 0,195 1,98
2 2A 1 liter /menit 0,258 2,01

Data dalam tabel 4 di atas dapat menunjukkan bahwa semakin kecil debit yang
dipakai maka semakin besar penurunan kekeruhan yang terjadi, hal ini
dikarenakan semakin kecil debit maka waktu kontak antara elektroda yang dialiri
arus listrik dengan air semakin lama sehingga banyak terjadi pengikatan antara
Al3+ terhadap partikel kontaminan sehingga terbentuk flok yang semakin
banyak. Jadi efisiensi penurunan kekeruhan terbesar pada percobaan kali ini
berada pada debit kontak sebesar 0,5 liter/menit yaitu sebesar 99,26% dan
efisiensi penurunan fe sebesar 98,52% yaitu dari 13,2 mg/l menjadi 0,195 mg/l.
Hasil percobaan sistem kontinyu menunjukkan bahwa, air hasil
penjernihan dengan proses elektrokoagulasi menggunakan elektroda aluminium
yang dilewati arus 2 A, baik dengan debit kontak 0,5 l/menit ataupun 1 l/menit
keduanya adalah jernih, secara fisik air tidak berwarna, tidak berasa dan tidak
berbau, dengan kandungan fe dibawah 0,3 mg/l dan tingkat kekeruhan dibawah 5
NTU. Dari beberapa parameter yang dianalisa, air dapat dinyatakan telah
memenuhi baku mutu air minum sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam



PROSIDING SNTK UNIMAL 2016


17 OKTOBER 2016

permenkes No. 492/MENKES/PER/IV/2010. Ini artinya metode elektrokoagulasi


dengan elektroda aluminium sangat efektif untuk menjernihkan air sumur yang
kuning kecokelatan, berbau dan berasa tidak enak (air sumur dengan konsentrasi
fe yang tinggi).

4. Kesimpulan
1. Kuat arus dan waktu kontak memberikan pengaruh yang sangat besar
terhadap kualitas air olahan, semakin besar arus dan waktu kontak yang
diberikan maka semakin besar pula penurunan kekeruhan dan kandungan fe
dalam air baku, dan pada penelitian ini kuat arus yang maksimal diperoleh 2
ampere dan waktu kontak 60 menit
2. Pada sistem batch Efesiensi kekeruhan terbesar adalah 99,45% dan efisiensi
penurunan kekeruhan terbesar 98,71% yaitu pada proses elektrokuagulasi
yang dilewati arus 2 ampere dan waktu kontak 60 menit.
3. Efisiensi penurunan kekeruhan dan kandungan fe terbesar pada sistem
kontinyu terjadi pada debit air 0,5 liter/menit yaitu 99,55% dan 98,65%
4. Proses elektrokoagulasi dengan elektroda aluminium sangat efektif digunakan
untuk menurunkan tingkat kekeruhan dan kandungan fe pada air sumur

5. Daftar Pustaka

BPS. (2011). Aceh Utara Dalam Angka. BPS Aceh Utara.

Kodoatie, R. J. (2008). Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Yogyakarta: Andi


Offset.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2002). Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang Syarat-
syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Jakarta: KEMENKES.
P, B. H. (2010). Pengolahan Limabai Cair Textil menggunakan Metode
Elektrokoagulasi dengan Sel Al-Al. Prosiding Seminar Nasional Teknik
Kimia "Kejuangan". Yogyakarta.
Simanjuntak.Wasinton (2007), Pengaruh Variabel Dasar Elektrokimia Terhadap
Elektrokoagulasi Limbah Cair Industri Tahu, Jurnal Sains MIPA, Agustus
2007, Vol. 13, No. 2, Hal.: 89 - 94 ISSN 1978-1873


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Sunardi, (2007), Pengaruh Tegangan Listrik dan Kecepatan Alir Terhadap Hasil
Pengolahan Limbah Cair Mengandung Logam Pb, Cd dan TSS
Menggunakan Alat Elektrokoagulasi, SDM Teknologi Nuklir
BATAN, Yogyakarta, hal. 441-446
Susilawati, dkk, (2009), Model Peat Water Treatment for People Compsumption
With Electrocoagulation Method, International Seminar on Chemistry
And Polymer 2009, Medan Indonesia
Wijayanto. Danang, Susanto, Model Alat Penawar Air Tanah Terintrusi Air Laut
(Air Payau) Dengan Proses Elektrokoagulasi, Politeknik Negeri Jakarta,


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

KINETIKA ADSORPSI Pb(II) DALAM AIR SUMUR TERCEMAR


MENGGUNAKAN SISTEM KOLOM DENGAN
BIOADSORBEN KULIT KACANG TANAH

Halim Zaini1), Muhammad Sami2)


1,2
Teknik Kimia, Politeknik Negeri Lhokseumawe Jl.Banda Aceh-Medan Km
280
email: halimzaini60@gmail.com

Abstrak

Logam berat dalam air menimbulkan permasalahan yang serius bagi lingkungan.
Usaha penanganannya telah banyak dilakukan dengan berbagai metoda. Metode
yang relatif efektif, efisien, aman, ramah lingkungan adalah metode adsorpsi.
Penelitian ini bertujuan tentang kinetika adsorpsi logam Pb(II) dalam air limbah
menggunakan bioadsorben kulit kacang tanah dengan sistem kolom. Pada
rancangan percobaan, variabel tetap terdiri dari berat bioadsorben 50 g, ukuran
partikel 40 mesh dan volume adsorbat digunakan 10 liter, laju alir 4 liter/menit.
Variabel bebas waktu kontak dan jenis bioadsorben. Variasi waktu kontak
0;5;10; 15;20; 30; 60; 90; 120; 150; 180; 210; 240 menit dan jenis bioadsorben:
tanpa aktivasi, aktivasi fisik dan aktivasi kimia (H2SO4 1N dan NaOH 1N). Hasil
penelitian menunjukan bahwa adsorpsi logam Pb(II) dipengaruhi oleh waktu dan
jenis bioadsorben. Dasar perhitungan kinetika adsorpsi kapasitas adsorpsi
kesetimbangan (qe) didasarkan pada waktu kontak 240 menit. Berdasarkan
pembahasan dan pertimbangan koefisien korelasi R2, konstanta laju adsorpsi k1
dan k2 serta perbanding qe hitung dan qe ektrapolasi dapat disimpulkan bahwa
kinetik adsorpsi Pb(II) adalah kinetika adsorpsi pseudo orde dua.Besarnya
koefisien korelasi R2secara berurutan adalah bioadsorben tanpa aktivasi: 0,9882,
aktivasi fisik: 0,9926, aktivasi NaOH 1N: 0,9885, aktivasi H2SO4 1N:0,9957.Hasil
qe kinetika adsorpsi untuk bioadsorban tanpa aktivasi: 0,0065 mg/g, aktivasi
fisika: 0,0074 mg/g, aktivasi NaOH 1N: 0,0087 mg/g dan aktivasi H2SO4 1N:
0,0101 mg/g.

Keywords: logam berat, metode adsorpsi, kinetika adsorpsi, kapasitas adsorpsi

1. Pendahuluan
Pencemaran logam berat merupakan suatu proses yang erat hubungannya
dengan penggunaan logam tersebut oleh manusia. Keberadaan logam berat dalam
lingkungan berasal dari dua sumber. Pertama dari proses alamiah seperti
pelapukan kimiawi, kegiatan geokimiawi, tumbuhan dan hewan yang membusuk.
Sumber lain berasal dari hasil aktivitas industri seperti industri kimia.

411
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
Sudah menjadi permasalahan umum tidak sedikit industri kimia
menghasilkan logam berat berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan
antara lain industri pelapisan logam (electroplating), revarasi dan pengisian ulang
arus listrik (accu), industri penyamakan kulit , industri cat, kosmetik dan industri
tekstil.
Pada industri tersebut selama proses berlangsung banyak mempergunakan
logam-logam berat seperti Cu, Zn, Cr, Cd, Ni, Pb yang sangat berbahaya bagi
kehidupan makhluk hidup. Limbah yang dihasilkan jika tidak ditangani dengan
tepat, maka dapat mengancam kehidupan makhluk disekitarnya. Bahan kimia
yang masuk ke dalam air dapat berupa, zat padat terlarut, tersuspensi,
terendapkan, gas mapun berupa zat cair. Sifat bahan pencemar antar lain mudah
terbakar, mudah meledak , penyebab kanker (carsinogenic) dan bersifat racun
(toxic).
Zaini dan Sami (2015), industri yang memiliki kepedulian lingkungan,
limbah yang dihasilkan disimpan pada bak penampungan sementara, kemudian
mengirimkan limbahnya ke perusahaan khusus pengolah limbah B3 seperti
kepada PT. PPLI (Prasadha Pemusnah Limbah Industri) di Cileungsi Bogor.
Namun hal ini dirasakan cukup berat bagi sebagian besar industri karena kegiatan
ini dapat memakan biaya yang relatif besar. Dalam penelitian ini, adsorbat yang
digunakan berasal dari limbah laboratorium kimia yang mengandung logam berat
Fe, Cu dan Pb. Pada sisi lain sebagai adsorben yang digunakan berasal dari
limbah hasil pertanian seperti kulit kacang tanah.
Hidayati (2012), penanganan limbah logam berat dalam air dapat dilakukan
dengan berbagai cara seperti adsorpsi ( adsorption ) , pertukaran ion ( ion
exchange ), dengan menggunakan selaput tipis ( membran ), proses pengendapan
( sidementation ), penguapan (presivitasi), penggumpalan (koagulasi),
elektrokimia, elektroforesa. Proses adsorpsi lebih banyak digunakan karena
memiliki banyak keuntungan diantaranya tidak menimbulkan efek samping yang
beracun, sangat efektif untuk menyerap logam berat dan serta lebih ekonomis.
Menurut Mantel (1951), sorpsi adalah proses penyerapan ion oleh partikel
penyerap (sorban). Proses sorpsi dibedakan menjadi dua yaitu adsorpsi dan

412
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
absorpsi. Proses adsorpsi jika ion tersebut tertahan dipermukaan partikel penyerap
(adsorban), sedangkan absorpsi jika proses pengikatan ini berlangsung sampai di
dalam partikel penyerap (absorben).Salah satu solusi tentang penanganan limbah
logam Pb dengan biaya yang relatif jauh lebih murah adalah dengan
memanfaatkan kulit kacang tanah sebagai adsorban. Pada penelitian ini logam
Pb(II) sebagai adsorbat berasal dari air sumur tercemar Blang Pulo yang ada
dalam wilayah Kota Lhokseumawe.
Adsorpsi umumnya terjadi berdasarkan interaksi antara logam dengan gugus
fungsional yang ada pada permukaan adsorben melalui interaksi pertukaran ion
atau pembentukan kompleks, biasanya terjadi pada permukaan padatan yang
mengandung gugus fungsional seperti OH, -NH, -SH dan COOH.
Menurut Ahalya, dkk (2003) komponen yang berperan dalam proses
adsorpsi antara logam berat dengan adsorben dari limbah pertanian adalah
keberadaan gugus aktif hidroksil (OH), karbonil (C=O), karboksil ( -COOH),
amina (-NH2), amida (-CONH2) dan tiol (-SH). Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi proses adsorpsi Pb2+ diantaranya waktu kontak, temperatur
(Hidayati, 2012), dimana waktu kontak dari 0 menit, 15 menit, 30 menit, 45
menit, 60 menit, 75 menit dan 90 menit dan variasi suhu 30oC, 40oC dan 50oC.
Beberapa penelitian terdahulu Irmawati (2013), adsorpsi kromium dengan
metode kolom menggunakan adsorben kulit kacang tanah yang diaktivasi dengan
HNO3 0,1 M dipengaruhi oleh faktor laju alir adsorbat , tinggi kolom adsorben
dan konsentrasi adsorbat. Rusmaya (2008), sorpsi limbah nikel dengan kulit
kacang tanah dipengaruhi oleh variasi pH, dosis adsorban dan waktu, konsentrasi
adsorbat. Draman, dkk (2015), kulit kacang tanah mempunyai kemampuan
mengadsorpsi logam berat seperti Pb(II) 87,89% - 89,6% tergantung ukuran
partikel. Zhuang dan Xu (2014), adsorpsi logam Cd dengan adsorben kulit kacang
tanah berlangsung pada waktu 5 s/d 120 menit.
Pada penelitian terdahulu telah dilakukan pengujian daya serap adsorben
terhadap limbah artifisial Fe (II), Cu(II), Pb(II) dan Cr (VI), dimana bioadsorben
mempunyai kemampuan penyerapan terhadap logam berat tersebut. (Zaini dan
Sami, 2015).

413
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
Penelitian ini bertujuan mempelajari penurunan kadar logam berat Pb(II)
dari air sumur tercemar logam berat dan mempelajari fenomena kinetika adsorpsi
menggunakan model kinetika adsorpsi pseudo orde pertama dan orde dua.

2. Tinjauan Pustaka
Pada proses adsorpsi terdapat faktor yang berpengaruh kesetimbangan
adsorpsi yaitu adsorben, adsorbat dan kondisi proses adsorpsi baik hingga
mencapai adsorpsi dalam keadaan kesetimbangan (qe). Menurut Darmansyah, dkk
(2016) karakteristik adsorben yang dibutuhkan untuk adsorpsi antara lain:
1. Luas permukaan adsorben yang besar
2. Memiliki kapasitas terhadap adsorbat
3. Memiliki daya tahan guncang yang baik.
4. Tidak ada perubahan volume yang berarti selama proses adsorpsi dan
desorpsi.
Danarto (2007), proses adsorpsi terjadi pada permukaan pori-pori dalam
adsorben, sehingga untuk bisa terjadi adsorpsi, logam dalam cairan mengalami
perpindahan secara berturut sebagai berikut:
a. Perpindahan massa adsorbat ker permukaan adsorben
b. Difusi adsorbat dari permukaan adsorban ke dalam adsorben melalui pori-pori
c. Perpindahan massa adsorbat dalam pori ke dinding pori adsorben
d. Adsorpsi logam (adsorbat) pada dinding pori adsorben
Adsorpsi ion logam berat dapat dipelajari melalui berbagai teori adsorpsi
seperti isoterm adsorpsi Freunlich, isoterm adsorpsi Langmuir, kinetika adsorpsi
pseudo orde satu Lagergren (1898), kinetika adsorpsi pseudo orde oleh Ho dan
McKay (1998), yang disebut juga chemisorpsi yang mempelajari fenomena laju
kecepatan adsorpsi.
Analisa kinetika adsorpsi yang menggunakan sistem kolom dengan laju
alir tertentu biasanya didasarkan pada kinetika adsorpsi pseudo orde pertama dan
pseudo orde dua. Fenomena adsorpsi didasarkan pada kapasitas adsorpsi pada
kesetimbangan (qe), koefisien korelasi R2, tetapan laju adsorpsi k1 dan k2.
Persamaan ini digunakan untuk menguji data percobaan dari konsentrasi awal Co,

414
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
konsentrasi pada waktu t Ct , konsentrasi pada kesetimbangan Ce hingga diperoleh
kapasitas adsorpsi mg/g.

2.1. Kapasitas Adsorpsi


Kapasitas adsorpsi pada waktu tertentu dihitung berdasarkan sebagai berikut:

 (1)

Co adalah konsentrasi awal adsorbat (mg/L), Ct adalah konsentrasi adsorbat


(mg/L) pada waktu t (menit), m masa adsorban (g), V volume adsorbat (L), qt
kapasitas adsorpsi (mg/g) pada waktu t (menit).Kapasitas adsorpsi pada
kesetimbangan (qe) ditentukan dari ploting qt versus t atau dengan persamaan
berikut:

 (2)

Ce adalah konsentrasi adsorbat (mg/L) yang terserap pada waktu kesetimbangan,


m masa adsorban (g), V volume adsorbat (L), qe kapasitas adsorpsi (mg/g)
kestimbangan yang nilainya sudah tetap tidak tergantung lagi pada waktu t
(menit). Pada kinetika qe dapat diperoleh dari grafik dan persamaan.pseudo orde
satu dan pseudo orde dua.

2.2. Kinetika Adsorpsi


Perilaku adsorpsi dapat dipelajari dari persamaan fundamental chemosorpsi
berikut:
2.2.1. Model kinetika pseudo orde satu
Lagergren (1898) persamaan kinetika orde-pertama dinyatakan seperti pada
persamaan

    (3)

Integrasi pada kondisi qt = 0 s/d qt = qt dan t = 0 s/d t = t dari persamaan diatas


diperoleh bentuk persamaan linier orde satu berikut:
    (4)
Parameter qe (mg/g) dan k1 (.min-1) dapat dihitung dari plot ln (qe qt) versus t.

415
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

2.2.2. Model kinetika pseudo orde dua


Menurut Ho dan McKay (1999), persamaan pseudo orde dua sbb:

    (5)

Integrasi kondisi qt=0 s/d qt=qt dan t=0 s/d t=t diperoleh bentuk persamaan linier
sbb:
  ( 6)

Parameter qe (mg/g) dan k2 (g/mg.min) dapat dihitung dari plot t/qt versus t.

3. Metode Penelitian
3.1. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari alat untuk pengecilan
ukuran menggunakan Crusher, alat pengeringan di laboratorium dengan oven,
penimbangan menggunakan neraca, alat melakukan aktivasi kimia menggunakan
gelas kimia 1000 ml, alat aktifasi fisik menggunakan kukusan dan alat utama
berupa Unit Adsorpsi hasil rancangan. Bahan terdiri dari adsorbat yang berasal
dari limbah cair laboratorium kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe antara lain
mengandung logam Fe, Cu dan Pb. Bahan kimia HCl 1 N, H2SO4 1 N, NaOH 1 N.

Gambar 1. Unit Adsorpsi Multi Kolom


3.2. Pembuatan dan Aktivasi Adsorben
Adsorban dibuat dari kulit kacang berupa limbah kulit kacang tanah yang
selanjutnya dibersihkan, dikeringkan dan pengecilan ukuran menggunakan

416
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
Crusher dan mengambil hasil ayakan -30 mesh/(+40 mesh), lolos pada ayakan 30
mesh dan tertahan diayakan 40 mesh. Adsorben dikeringkan dengan oven pada
suhu 60oC s/d 105oC hingga beratnya konstan dan diaktifasi secara fisika dan
secara kimia.
Aktivasi secara fisika menggunakan kukusan selama 2 jam dan aktivasi
kimia menggunakan NaOH 1 N dan H2SO4 1 N masing-masing selama 24 jam.
Adsorban yang digunakan masing-masing sebanyak 50 gr untuk tanpa aktivasi
(TA), aktivasi fisik (AF), aktivasi kimia H2SO4 1N dan aktivasi kimia NaOH 1 N.

3.3. Proses Adsorpsi


Proses adsorpsi dalam kolom tunggal dengan diameter kolom 6,35 cm dan
tinggi kolom kondisi kosong 38 cm. Masing-masing adsorben dimasukkan ke
dalam kolom adsorpsi sebanyak 50 gr adsorben tanpa aktifasi (TA) dimasukkan
ke dalam kolom selanjutnya dilakukan pengambilan dan pengumpulan data.
Dengan cara yang sama dilakukan juga untuk 50 gr adsorban aktifasi fisik (AF),
50 gr adsorban aktifasi dengan H2SO4 dan 50 gr adsorban aktifasi dengan NaOH 1
N.Penelitian dilaksanakan di laboratorium Operasi Teknik Kimia Politeknik
Negeri Lhokseumawe dengan variabel tetap ukuran partikel (-30 mesh, + 40
mesh), laju alir 4 liter/menit, volume adsorbat 10 liter, suhu operasi 30 oC.
Variabel bebas waktu kontak (adsorpsi) 0; 10; 20; 30; 60; 90; 120; 150; 180; 210
dan 240 menit. Variabel terikat konsentrasi logam Pb(II) adsorbat yang tersisa
(ppm), , kapasitas adsorpsi (mg/g), persen (% ) penyisihan.

3.4. Analisa Logam Pb (II)


Analisis sampel hasil pengumpulan data dianalisa menggunakan metode
instrumentasi dengan alat Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) berdasarkan
lampu katoda Pb dengan panjang tertentu dan data hasil analisa dilakukan
pengolahan data dan pembahasan

4. Hasil dan Diskusi


Salah satu metode penyisihan logam berat yang efektif dan efisien adalah
metode adsorpsi menggunakan sistem pengadukan secara batch dalam tanki

417
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
berpengaduk dan menggunakan sistem kolom yang beroperasi secara kontinu
menggunakan kolom tunggal, dua kolom, multi kolom. Aji dan Kurniawan
(2016), jika dibandingkan sistem bejana (batch) dengan sistem kolom, maka
sistem kolom dipandang lebih aplikatif. Perbedaannya yang mendasar terletak
pada ukuran partikel adsorben yang digunakan.

4.1. Konsentrasi (Ct) Pb tersisa pada waktu t (menit)


Tabel 1. Hasil Analisa Pb (ppm) vs waktu t

Aktivasi Aktivasi Aktivasi


Tanpa Aktivasi
t men fisik NaOH H2SO4
(TA)
(AF) 1N 1N
0 0,084 0,084 0,084 0,084
5 0,080 0,081 0,080 0,079
10 0,078 0,077 0,076 0,074
15 0,074 0,073 0,072 0,070
20 0,073 0,070 0,068 0,065
30 0,070 0,065 0,065 0,060
60 0,067 0,060 0,060 0,056
90 0,065 0,058 0,058 0,051
120 0,061 0,056 0,056 0,048
150 0,058 0,055 0,051 0,044
180 0,058 0,054 0,049 0,043
210 0,057 0,053 0,048 0,042
240 0,056 0,051 0,046 0,040
Sumber: Hasil Analisa dengan SSA (2016)
Perubahan konsentrasi logam (tabel 1 dan gambar 2) terhadap waktu
kontak memperlihatkan adanya perbedaan. Perbedaan ini disebabkan bioadsorben
yang tidak diaktivasi permukaan pori-porinya masih tertutup oleh bahan-bahan
impuritis seperti bahan organik sehingga logam Pb(II) yang terdapat dalam
adsorbat sulit untuk masuk atau berdifusi ke dalam pori-pori bioadsorben,
sehingga kemampuan untuk menyerap rendah dibandingkan bioadsorben yang
mengalami aktivasi.
Bioadsorben yang mengalami aktivasi (aktivasi fisik dan kimia) juga ada
perbedaan satu dengan lainnya dimana bioadsorban yang diaktivasi dengan
larutan H2SO4 1 N daya serapnya lebih baik dibandingkan dengan yang diaktivasi

418
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
secara fisik dan dengan NaOH 1N. Hal ini disebabkan aktivasi dengan H2SO4
memberikan efek lebih besar karena H2SO4 bersifat lebih higroskopis daripada
NaOH, sehingga pori-pori bioadsorben menjadi terbuka dan tidak tertutup lagi
oleh bahan bahan yang menutupi pori-pori dengan demikian kemampuan daya
serapnya menjadi lebih baik dari semula.

Pb (ppm) tersisa vs Waktu


0,090

0,080
TA
Pb (ppm) tersisa

0,070
AF
0,060
Akv NaOH
0,050
Akv H2SO4
0,040

0,030
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270
Waktu Kontak (menit)

Gambar 2. Grafik Konsentrasi Pb Tersisa vs Waktu t (menit)


Pada aktivasi fisik adsorpsi hanya terhadap bahan-bahan penutup pori-pori
yang mempunyai ikatan fisik seperti bahan yang terikat berdasaran ikatan van der
Waals, sedangkan yang terikat secara kimia dengan cara ini tidak dapat diaktivasi.
Bahan-bahan ini adalah bahan-bahan yang dapat mengalami penguapan karena
pemanasan.
Permenkes (1990) standar mutu air minum kadar Pb(II) maksimal 0,05 ppm.
Berdasarkan nilai harga ambang batas dapat dikatakan hal ini sudah terpenuhi
bagi bioadsorben yang diaktivasi secara kimia dimana kadar Pb(II) yang diperoleh
dibawah nilai ambang batas tersebut. Namun berdasarkan Permenkes (2010),
kadar Pb(II) pada waktu kontak hingga waktu 240 menit belum memenuhi standar
mutu air minum yang nilai harga ambang batas maksimum 0,01 ppm. Standar ini
dapat dipenuhi bila dilakukan perubahan kondisi penelitian seperti laju alir,
perubahan waktu kontak.

419
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

4.2. Konsentrasi (Ct) Pb(II) terserap pada waktu t


Tabel 2. Pb (ppm) terserap dalam adsorben

t men Tanpa Aktivasi Aktivasi Aktivasi


Aktivasi (TA) fisik (AF) NaOH H2SO4
1N 1N
0 0,000 0,000 0,000 0,000
5 0,003 0,003 0,004 0,005
10 0,006 0,007 0,008 0,009
15 0,009 0,010 0,012 0,014
20 0,011 0,014 0,015 0,019
30 0,014 0,019 0,019 0,023
60 0,016 0,023 0,023 0,028
90 0,019 0,026 0,026 0,033
120 0,022 0,028 0,028 0,036
150 0,025 0,028 0,033 0,040
180 0,026 0,030 0,035 0,041
210 0,027 0,031 0,036 0,042
240 0,027 0,033 0,037 0,043
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2016)

Pb (ppm) terserap vs Waktu


0,050
0,045
0,040
TA
Pb (ppm) terserap

0,035
0,030 AF
0,025
0,020 Akv NaOH

0,015
Akv H2SO4
0,010
0,005
0,000
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270
Waktu Kontak (ppm)

Gambar 3. Grafik Konsentrasi Pb Terserap vs Waktu t (menit)

Data tabel 2 dan gambar 3 memberikan informasi bahwa jumlah logam


yang terserap ke dalam bioadsorben menunjukkan bahwa semakin lama waktu

420
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
kontak, maka jumlah konsentrasi Pb(II) dalam adsorbat yang teradsorpsi semakin
meningkat hingga waktu tertentu. Demikian juga berdasarkan grafik perbedaan
daya serap terjadi akibat adanya beda jenis perlakuan terhadap bioadsorben. Hal
ini terjadi karena adanya perbedaan karakteristik adsorban akibat perlakuan
aktivasi fisik dan aktivasi kimia.

4.3. Kapasitas Adsorpsi (mg/g) pada waktu t


Tabel 3. Kapasitas adsorpsi Pb (mg/g)

Aktivasi
Tanpa Aktivasi Aktivasi Aktivasi
t men NaOH
(TA) fisik (AF) H2SO4 1N
1N
0 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000
0,0006 0,0006 0,0007 0,0009
10 0,0011 0,0014 0,0016 0,0019
0,0019 0,0020 0,0023 0,0028
20 0,0021 0,0028 0,0031 0,0037
30 0,0028 0,0037 0,0037 0,0046
60 0,0032 0,0046 0,0046 0,0056
90 0,0037 0,0052 0,0052 0,0065
120 0,0045 0,0056 0,0056 0,0071
150 0,0050 0,0057 0,0065 0,0079
180 0,0052 0,0059 0,0070 0,0082
210 0,0053 0,0061 0,0071 0,0084
240 0,0055 0,0065 0,0074 0,0086
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2016)
Berdasarkan data tabel 3 dan gambar 4 bahwa jumlah logam yang terserap
ke dalam adsorben menunjukkan bahwa semakin lama waktu adsorpsi (kontak),
maka kapasitas adsorpsi logam meningkat hingga waktu tertentu. Kapasitas
adsorpsi kesetimbangan (qe) berdasarkan data percobaan dan data perhitungan
memperlihatkan bahwa waktu kontak untuk menghasilkan qe yang sesungguhnya
belum tercapai.

421
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Kapasitas Adsorpsi Pb (mg/g) vs Waktu


0,0100
0,0090
0,0080
Kapasitas Ads Pb ( (mg/g)
0,0070 TA
0,0060
AF
0,0050
0,0040 Akf NaOH
0,0030
AkfH2SO4
0,0020
0,0010
0,0000
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270
Waktu Kontak (menit

Gambar 4. Grafik Kapasitas adsorpsi (mg/g) vs Waktu t (menit)

4.4. Kinetika Adsorpsi

Kinetika Pseudo Orde Satu: ln(qe-qt) versus t


-4,000
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 TA
-4,500
AF
-5,000
Akv NaOH
-5,500
AkvH2SO4

     


-6,000
ln (qe - qt)

 
-6,500
 
   
-7,000   
 
  
 
-7,500

-8,000  


 
 

 

-8,500

-9,000
Waktu Kontak (menit)

Gambar 4. Grafik Kinetika Sorpsi Pseudo Orde Satu

Tabel 4. Nilai Parameter model kinetika adsorpsi Pb(II) Pseudo Orde Satu

Tanpa Aktivasi Aktivasi Aktivasi


t men
Aktivasi (TA) fisika (AF) NaOH 1N H2SO4 1N
R2 0,9819 0,9667 0,9700 0,9841
k1 (men-1) 0,015 0,0124 0,042 0,0164
qe hitung 0,0055 0,0065 0,0074 0,0086
qe
ekstrapolasi 0,0051 0,0049 0,0067 0,0078

422
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Beda nilai qe 0,0004 0,0016 0,0007 0,0008


Beda qe(%) 7,27 24,62 9,46 9,30
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2016

Kinetika Sorpsi Pseudo Orde Dua


50 TA
y = 0,1537x + 7,4324
45 R = 0,9882 TA AF
40
35 
 

 Akv NaOH
 
30 AkvH2SO4
t/qt

   
25
20  
15
10  


  

5
0
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270
Waktu Kontak (menit

Gambar 5. Grafik Kinetika Pseudo Orde 2

Tabel 5. Nilai Parameter model kinetika adsorpsi Pb(II) pseudo orde 2

t men Tanpa Aktivasi Aktivasi Aktvsi


Aktivasi fisik (AF) NaOH H2SO4
(TA) 1N 1N
2
R 0,9882 0,9926 0,9885 0,9957
k2 (g/mg.min) 153,846 135,135 114,943 99,010
qe hitung 0,0055 0,0065 0,0074 0,0086
qe
ekstrapolasi 0,0065 0,0074 0,0087 0,0101
Beda nilai qe 0,0010 0,0009 0,0013 0,0015
Beda qe (%) 18,18 13,85 17,57 17,44
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2016)
Pada tabel 4 dan tabel 5 nilai koefisien korelasi (R2) dari permodelan
kinetika adsorpsi pseudo orde pertama dan pseudo orde dua nilainya diatas 0,9
hampir mendekati angka 1. Namun jika dibandingkan kedua permodelan kinetika
adsorpsi, maka yang memberikan nilai R2 terbesar yang paling mendekati nilai
koefisien 1 adalah permodelan kinetika adsorpsi pseudo orde dua untuk jenis
bioadsorben tanpa aktivasi 0,9881 , aktivasi fisik 0,9926 , aktivasi dengan NaOH
0,9885 dan aktivasi dengan H2SO4 0,9957.

423
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
Estimasi nilai qe perhitungan digunakan berdasarkan nilai qe pada waktu
240 menit.Pada kondisi waktu ini nilai qe yang sebenarnya atau yang
sesungguhnya pada penelitian ini belum tercapai. Tentunya nilai qe ektrapolasi
memberikan nilai yang lebih besar dan bukan sebaliknya. Nilai qe yang lebih besar
ada pada nilai qe hasil ekstrapolasi permodelan kinetika pseudo orde dua yang
masing-masingnya untuk bioadsorben tanpa aktivasi 0,0065 mg/g, aktivasi fisik
0,0074 mg/g, aktivasi dengan NaOH 0,0087 mg/g dan aktivasi dengan H2SO4
0,0101 mg/g . Nilai qe hasil ekstrapolasi kinetika orde satu nilai qe yang dihasilkan
dibawah nilai hasil perhitungan dengan hal ini tidak sesuai dengan keadaan
sebenarnya.
Ditinjau dari konstanta laju adsorpsi nilai k1 kecil dari nilai k2, maka
pengaruh k2 terhadap laju adsorpsi lebih besar dari pada pengaruh k1. Untuk
kinetika adsorpsi pseudo orde dua nilai k2 secara berurut untuk bioadsorben tanpa
aktivasi 153,846 g/mg.men, aktivasi fisik 135,135 g/mg.men, aktivasi dengan
NaOH 114,943 g/mg.men dan aktivasi dengan H2SO4 99,010 g/mg.men.
Hasil penelitian menunjukan bahwa adsorpsi logam Pb(II) dipengaruhi
oleh waktu dan bioadsorben. Kinetika adsorpsi berdasarkan kapasitas adsorpsi
kesetimbangan (qe) hitung pada waktu kontak 240 menit. Berdasarkan
pertimbangan koefisien korelasi R2, konstanta laju adsorpsi k1 dan k2 serta
perbanding qe hitung dan qe ektrapolasi dapat disimpulkan kinetik adsorpsi yang
paling sesuai adalah kinetika adsorpsi pseudo orde dua. Menurut Estiaty (2013)
faktor mempengaruhi proses adsorpsi terdiri dari beberapa faktor, antara lain luas
permukaan, ukuran adsorben, sifat adsorben, kelarutan adsorbat, bentuk dan
ukuran adsorbat, temperatur dan derajat keasaman. Pada penelitian adsorpsi logam
berat Pb(II) dengan bioadsorben dapat dipelajari lebih lanjut variasi jumlah
bioadsorben dan laju alir.Setiaka , dkk (2011) pada sistem kolom, semakin cepat
laju alir influen maka kapasitas adsorpsi yang didapat semakin besar.

5. Kesimpulan
Berdasarkan data hasil penelitian, hasil pengolahan data dan hasil pembahasan
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

424
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
1. Adsorpsi logam Pb(II) dalam air limbah laboratorium kimia menggunakan
adsorben kulit kacang tanah dipengaruhi oleh aktivator dan waktu kontak
antara adsorbat dan adsorben.
2. Kapasitas adsorpsi semakin meningkat dengan meningkatnya waktu adsorpsi
hingga waktu kesetimbangan. Kapasitas adsorpsi kesetimbangan (qe)
bioadsorban tanpa aktivasi: 0,0065 mg/g, aktivasi fisik: 0,0074 mg/g, aktivasi
NaOH 1N: 0,0087 mg/g dan ativasi H2SO4.: 0,0101 mg/g
3. Proses adsorpsi air sumur tercemar logam berat yang mengandung logam
Pb(II) berlangsung mengikuti permodelan kinetika adsorpsi pseudo orde dua
untuk bioadsorben tanpa aktivasi, aktivasi fisik, aktivasi NaOH, aktivasi
H2SO4.

6. Daftar Pustaka
Aji, B.,K.,Kurniawan,F.2012.Pemanfaatan Serbuk Biji Salak (Salacca zalacca)
Sebagai Adsorben Cr(IV) dengan metode bath dan Kolom. Kimia MIPA
ITS Jurnal Sains Pomits.Vol.1, No.1 (2012) 1-6
Ahalya, N., Ramachandra, T.V., Kanamadi, R.D.2003.Biosorption of Heavy
Metals. Reseach Journal of Chemical and Environment.7(4),71-79.
Danarto, YC. 2007. Kinetika Adsorpsi Logam Berat Cr (VI) Dengan Adsorben
Pasir Yang Dilapisi Besi Oksida. Jurnal Ekuilibrium Vol 6 No. 2, Juli 2007,
halaman: 65-70.
Darmansyah, Simparmin, G., Ardiana, L., Saputra, H. 2016. Mesopori MCM-41
Sebagai Adsorben: Kajian Kinetika dan Isoterm Adsorpsi Limbah Cair
Tapioka. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan. Vol.11,No.1,Hlm 10-16,
Juni 2016 ISSN 1412-5064.
Draman, S.,F.,S., Mohammad, N., Wahab, N.,H.,I, Zulkifli, N.,S.,I., Zulkifli
,N.,S., Bakar,A.,A.2015. Adsorption of Lead (II) ions in Aqueus Solution
Using Selected Agro-Waste
Estiaty, L.,M.2013. Kesetimbangan dan Kinetika Adsorpsi Ion Cu2+ pada Zeolit-
H.Jurnal Riset Geologi-Tambang.Vol.22,No.2,Juni 2013 (127-141).

425
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
Hidayati,B., Sunarno, Yenti, S., R. 2012. Studi Kinetika Adsorpsi Logam Cu2+
Menggunakan Zeolit Alam Teraktifasi. Jurusan Teknik Kimia Universitas
Riau.
Ho, Y., S., McKay, G. 1998. Acomparison Of Chemosrption Kninetic Models
Applied To Pollutan Removal On Various Sorbent. Institution of Chemical
Engineer Journal. Vol 76, Part B, Nopember 1998.
Ho, Y., S., McKay, G. 1999. Pseudo- second Order model for sorption processes.
Departement of Chemical Engineering, The Hong Kong University of
Science and Technology. Elsevier. Process Biochemistry 34(1999) 451-465.
Irmawati, A., Ulfin, I. 2013. Pemanfaatan Biomasa Kulit Kacang Tanah Untuk
Adsorpsi Kromium Dalam Larutan Berair Dengan Metode Kolom. Jurusan
Kimia FMIPA ITS. Surabaya
Lagergren, S. 1898. Zur theorie der sogenannten adsorption geloster stoffe.
Kungliga Svenska Vetens kapsaka demiens. Handlingar 1898; 24(4):1-39
Mattel, C., L. 1951. Adsorption. Edisi 2, McGraw-Hill, Company Inc., New York
Setiaka,J.,Ulfin,I.,Widiastuti,N.2011. Adsorpsi Logam Cu(II) dalam Larutan Pada
Abu Dasar Batubara Menggunakan Metode Kolom. Prisiding Skripsi Kimia
MIPA ITS
Zaini,H., Sami, M. 2015. Adsorpsi Logam Berat Cu (II) dalam Air Limbah
dengan Sistem Kolom Menggunakan Bioadsorben Kulit Kacang Tanah.
ProsidingInovasi Teknologi Proses dan Produk Berbasis Sumber Daya
Alam Indonesia. Seminar Nasional Teknik Kimia UNPAR. Bandung 19
Nopember 2015 hal 16-22.
Zhuang, Z., Xu, L. 2014. Removal of Cadmium ion form aqueous solution using
chemically modified peanut shell. Journal of Chemical and Pharmaceautical
Research. USA 6(6): 649-653.

426
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Klasifikasi Kematangan Buah Pepaya Menggunakan Ekstraksi warna


Dengan metode K-Means Clustering

Eliyani 1) M.Basyir 2) Siti Amra 3)


1)
Jurusan Teknik Elektro Politeknik Negeri Lhokseumawe
email : eliyani.poli@yahoo.com
email : M.Basyir.@gmail.com
email : Sitiamra@yahoo.com

Abstrak

Tahap tahapan identifikasi buah-buahan secara tradisional mengalami kendala


akibat sifat manusia yang mempunyai kelemahan yang menyebabkan hasil yang
diinginkan tidak efektif. Kemajuan teknologi komputer telah menyentuh dunia
pertanian dari segi sebelum panen maupun pasca panen. Di sini timbul
permasalahan bagaimana mengenali buah sehingga sesuai dengan kondisi nyata.
Kondisi buah pepaya ditentukan oleh tingkat kematangan yang dilihat dari sisi
warna pepaya. Klasifikasi yang lakukan oleh petani biasanya mengelompokkan
pepaya dalam katagori muda, mengkal, dan masak penuh. Metode pengolahan
citra mempunyai kemampuan untuk menganalisa kondisi kematangan pepaya
dengan menggunakan nilai Red, Green, Blue (RGB) sebagai acuan. Penentuan
klasifikasi dengan metode K-means clustering yang menggunakan selisih jarak
eucludian sebagai acuannya. Untuk hasil pada kelompok pepaya muda 60%
berhasil dikenali sebagai pepaya muda, kelompok pepaya mengkal 90% berhasil
dikenali sebagai masak mengkal sedangkan pada kelompok pepaya penuh 100 %
dikenali sebagai masak penuh. Sehingga dapat disimpulkan metode K-means
Clustering hampir sama dengan proses klasifikasi oleh petani yang sudah
berpengalaman bertahun tahun.

Kata kunci : Ekstraksi warna, K-mean clustering, Pepaya

1. Pendahuluan
Banyak permasalahan yang muncul ketika proses identifikasi buah-buahan
dilakukan secara tradisional. Hal ini diakibatkan oleh sifat manusia itu sendiri
yang mempunyai kelemahan antara lain: lelah dan tidak akurat akibat keterbatasan
fisik. Pada akhirnya meyebabkan proses identifikasi tidak efektif dan efisien.
Pada saat ini kemajuan teknologi komputer atau interaksi antara manusia
dengan komputer telah menyentuh dunia pertanian baik sebelum panen maupun

427
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

pasca panen. Sebagai contoh sebelum panen biasanya digunakan teknologi


komputer untuk menganalisa jenis penyakit atau kromosom perkawinan silang.
Sedangkan pasca panen biasanya untuk mengetahui mutu dan berat dari buah
atau sayuran. Namun disini timbul permasalahan bagaimana mengenali buah dan
sayuran tersebut sehingga sesuai dengan kondisi real yang sesungguhnya.
Begitu juga halnya dengan tanaman papaya yang memiliki buah [1].
Kondisi buah pepaya ditentukan oleh beberapa parameter, diantaranya adalah
parameter tingkat kematangan (ketuaan) yang dilihat dari warna pepaya. Mata
sebagai salah satu alat pengenal (sensor) adalah bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari sifat manusia. Prinsip sensorik yang dimiliki manusia banyak
memiliki kelemahan yang ditimbulkan oleh sifat alami manusia itu sendiri. Dalam
menjalankan kegiatan sebagai pengenal dalam menentukan sesuatu itu berakhir
subjektif dimana hasil akhir dihasilkan dari tingkat kepentingan dan pengetahuan
yang dimiliki oleh manusia terhadap tingkat kematangan (ketuaan) pepaya.
Pepaya adalah salah satu komoditas hortikultura yang memiliki prospek
cerah untuk dikembangkan secara komersial dan sudah dikenal mendunia. Ini
terlihatnya banyaknya permintaan konsumen terhadap buah pepaya tersebut untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga, supermarket, pabrik, hotel dan restoran.
permintaanya ini berlaku untuk didalam maupun diluar negeri, sehingga
membuktikan bahwa produk pertanian yang satu ini sudah menjadi kebutuhan
global.
Namun kenyataannya andil Indonesia masih sangat kecil dalam
memenuhi permintaan pasar luar negeri. Rendahnya kualitas buah yang diekspor
salah satunya disebabkan oleh penanganan pascapanen yang dilakukan belum
baik, misalnya pada pemilihan dan pemutuan yang masih dilakukan secara
manual. Akibatnya menghasilkan keragaman yang kurang baik dan memerlukan
waktu yang relatif lama, selain itu jarak letak lokasi dan waktu sangat
mempengaruhi kondisi buah yang akan di jual atau dipetik.
Hal ini disebabkan belum adanya suatu alat yang mampu membantu untuk
memilah dan memilih kondisi buah yang akan dijual berdasarkan jarak kirim

428
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

untuk lokal, provinsi atau antar negara, salah satu sebab belum adanya peralatan
tersebut disebabkan belum banyaknya penelitian untuk menemukan metode yang
tepat yang bisa diterapkan pada peralatan yang mampu dan mempunyai keahlian
memilih dan memilah. Oleh sebab itu diperlukan adanya suatu metode untuk
mengelompokkan buah-buahan tersebut secara otomatis dengan akurasi yang
tinggi dan waktu yang relatif singkat. Telah banyak dilakukan penelitian dengan
beragam metode yang ada, salah satunya K-Means Clustering. Dengan K-Means
Clustering kita mampu mengelompokan langsung suatu data berdasarkan nilai-
nilai ciri yang ada. Penggunaan K-Means Clustering digunakan dengan dasar
memilah-milah data yang dianalisa ke dalam sebuah kelompok semisal kelompok
dari warna yang sama Penelitian sebelumnya pernah dilakukan oleh bebrapa
peneliti diantaranya M, Soltani tahun 2011 melihat besar buah, luas buah dan
diameter buah menggunakan pixel untuk rata-rata, minimum dan maxsimum
dengan hasil 89%, dan Slamet Riayadi tahun 2007 melakukan segmentasi dan
akurasi ukuran buah menggunakan metode Thresholding dan marfologi dengan
hasil 90,2% dan Ng, H.P tahun 2006 melakukan partisi gambar menggunakan K-
means mendapatkan hasil hingga 92% dan Usman Ahmad tahun 2010 mengenali
mutu jeruk menggunakan warna buah dengan pixel mendapatkan hasil 95,9% dari
850 sampel buah jeruk.[3][4][5][6]. Berdasarkan latar belakang masalah maka
tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini yaitu menganalisa citra buah papaya
dengan mengekstraksi fitur warna berdasarkan RGB menggunakan K-means
Clustering.

2. Tinjauan Pustaka
Pada bagian ini akan dijelaskan pepaya, citra RGB, Ekstraksi Warna
Ekstraksi Nilai Piksel Red, Green dan Blue (RGB), Klastering dengan K-Means.

2.1 Pepaya
Pepaya merupakan tanaman buah berupa herba dari famili Caricaceae
yang berasal dari Amerika Tengah dan Hindia Barat bahkan kawasan sekitar

429
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Mexsiko dan Coasta Rica. Tanaman pepaya banyak ditanam orang, baik di daerah
tropis maupun sub tropis. di daerah-daerah basah dan kering atau di daerah-daerah
dataran dan pegunungan (sampai 1000 m dpl). Buah pepaya merupakan buah
meja bermutu dan bergizi yang tinggi.

2.2 Citra RGB


Suatu citra biasanya mengacu ke citra RGB. Sebenarnya bagaimana citra
disimpan dan dimanipulasi dalam komputer diturunkan dari teknologi televisi,
yang pertama kali mengaplikasikannya untuk tampilan grafis komputer. Jika
dilihat dengan kaca pembesar, tampilan monitor komputer akan terdiri dari
sejumlah triplet titik warna merah (RED), hijau (GREEN) dan biru (BLUE).
Tergantung pada pabrik monitornya untuk menentukan apa titik tersebut
merupakan titik bulat atau kotak kecil, tetapi akan selalu terdiri dari 3 triplet red,
green dan blue. Citra dalam komputer tidak lebih dari sekumpulan sejumlah
triplet dimana setiap triplet terdiri atas variasi tingkat keterangan (brightness) dari
elemen red, green dan blue. Representasinya dalam citra, triplet akan terdiri dari 3
angka yang mengatur intensitas dari Red (R), Green (G) dan Blue (B) dari suatu
triplet. Setiap triplet akan merepresentasikan 1 pixel (picture element). Suatu
triplet dengan nilai 67, 228 dan 180 berarti akan mengeset nilai R ke nilai 67, G
ke nilai 228 dan B ke nilai 180. Angka-angka RGB ini yang seringkali disebut
dengan color values. Pada format .bmp citra setiap pixel pada citra
direpresentasikan dengan dengan 24 bit, 8 bit untuk R, 8 bit untuk G dan 8 bit
untuk B

2.3 Ekstraksi Warna Ekstraksi Nilai Piksel Red, Green dan Blue (RGB)
Hampir setiap pengolahan citra yang berbasis warna perlu dilakukan
pemisahan band-band yang ada pada citra khususnya citra RGB, MATLAB
menyediakan fasilitas yang cukup baik dalam memisahkan ketiga warna RGB.
Pada kanal warna RGB, kadang-kadang disebut sebagai gambar True Color,
disimpan sebagai baris m dan kolom n dengan 3 array data yang mendefinisikan
komponen warna merah, hijau, dan biru untuk setiap piksel individu. Gambar

430
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

RGB tidak menggunakan palet. Warna dari setiap pixel ditentukan oleh kombinasi
merah, hijau, dan biru intensitas disimpan di setiap kanal warna di lokasi pixel.
Format file grafis citra RGB sebagai citra 24-bit, di mana komponen merah,
hijau, dan biru adalah 8 bit masing-masing. Ini menghasilkan potensi 16 juta
warna. Presisi dengan Gambar kehidupan nyata dapat direplikasi telah
menyebabkan julukan "citra True Color." Sebuah array RGB MATLAB dapat
dari kelas uint8 atau uint16. Dalam array RGB, masing-masing komponen warna
adalah nilai antara 0 dan 1

2.4 Klastering dengan K-Means


Clustering adalah sebuah proses pengelompokan data ke dalam beberapa
kelas berdasarkan kemiripan data. Tujuannya adalah untuk menemukan klaster
yang berkualitas dalam waktu yang layak. Clustering merupakan suatu alat untuk
analisa data, yang memecahkan permasalahan penggolongan. Clustering dalam
data mining berguna untuk menemukan pola distribusi di dalam sebuah data set
yang berguna untuk proses analisa data [8].Kesamaan objek biasanya diperoleh
dari kedekatan nilai-nilai atribut yang menjelaskan objek-objek data, sedangkan
objek-objek data biasanya direpresentasikan sebagai sebuah titik dalam ruang
multidimensi

3. Metode Penelitian
Secara umum metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
yang dimulai dari bagian pertama adalah pengambilan dan pengolahan data yang
digunakan sebagai nilai acuan. Pada proses pengambilan data untuk acuan
dilakukan nantinya sebanyak 45 buah citra dengan 15 untuk pembelajaran lalu
dicari rata-rata tiap tingkat kematangan buah yang nantinya menjadi nilai acuan
matrik untuk proses pengenalan (dijadikan vektor matriks).
Selanjutnya pada proses pengujian 30 citra buah pepaya, pada setiap citra
setelah didapatkan nilainya RGB lalu dijadikan vektor matriks lalu di lihat jarak

431
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

kedekatan data dengan metode euclodiean distance semakin kecil jarak kedekatan
data maka semakin mirip lalu di klasifikasi dengan klaster.
Proses Klaster adalah berasal dari setiap nilai rata-rata dari RGB, langkah
pertama algoritma adalah menetapkan suatu vektor klaster awal dari nilai RGB
yang diuji. Langkah kedua adalah mengklasifikasikan setiap hasil pengukuran ke
klaster terdekat. Pada langkah ketiga, rata-rata vektor klaster baru yang diperoleh
dari nilai mean RGB tiap citra buah dihitung berdasarkan semua hasil pengukuran
dalam satu klaster lalu dikelompokan berdasarkan nilai rata-rata yang nantinya
menjadi acuan untuk pengklasteran pada proses pengujian nantinya. Langkah
kedua dan ketiga terus dilakukan sampai didapatkan perubahan dari nilai rata-rata
klaster dan iterasi yang kecil. Sasaran algoritma klaster ini adalah untuk
memperkecil variabilitas di dalam klaster. Kelakuan algoritma K-means
clustering dipengaruhi oleh penetapan jumlah pusat klaster, pemilihan inisial
pusat klaster, dan cara pengambilan urutan sampel data.

3.2 K-means Clustering


Algoritma K-means clustering ini akan memberikan hasil akurat jika data
memperlihatkan suatu karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan lainnya,
lalu diperoleh hasil jenis kematangan buah yang dicoba dari verifikasi
pengelompokan berdasarkan nilai acuan yang diperoleh dari proses pembelajaran
atau nilai yang didapat untuk digunakan sebagai pembanding. Selanjutnya
menerapkan data untuk diklaster dengan k-means clustering. Dari hasil klaster
akan ditampilkan dengan tampilan 3 dimensi dan hasil grafik k-means
ditunjukkan juga dengan metode sillhoutte.

3.3 Metode sillhoutte


Metode sillhoutte itu sendiri adalah metode untuk mencari nilai kedekatan
dari klaster yang dibuat dan hasilnya untuk mengukur performa klaster. Ini akan
memberikan keluaran berupa jarak tiap titik terhadap titik klaster yang sama
dibanding terhadap titik yang lain. Metode silhouette ini akan memberikan output

432
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

berupa jarak tiap titik terhadap titik di klaster yang sama dibanding terhadap titik
di klaster yang lain. Nilai ini berkisar dari -1 sampai +1. Untuk nilai +1 berarti
titik yang bersangkutan berjarak sangat jauh dari klaster yang lain, nilai 0
mengindikasikan bahwa titik yang bersangkutan sama saja berada diklaster yang
sekarang maupun diklaster yang lain. Sedangkan nilai -1 mengindikasikan bahwa
titik yang bersangkutan berada pada klaster yang salah. Untuk mengukur
performansi hasil klaster kita gunakan perintah silhouette. Perintah ini akan
memberikan output berupa jarak tiap titik terhadap titik di klaster yang sama
dibanding terhadap titik di klaster yang lain. Untuk contoh dapat kita lihat pada
Gambar 1.

Gambar 1. Contoh hasil sillhouette


3.3 Metode Analysis of variance (ANOVA)
Proses selanjutnya proses data menggunakan analysis of variance
(ANOVA). ANOVA yang dilakukan menggunakan metode yang menguraikan
keragaman total data hingga menjadi komponen-komponen dan ANOVA sendiri
digunakan untuk menguji rata rata lebih dari dua sample berbeda secara
signifikan.

4. Hasil Dan Pembahasan


Pembahasan hasil penelitian tesis ini secara garis besar akan dijelaskan
dalam lima bagian : bagian pertama adalah pengambilan dan hasil pengolahan
data yang digunakan sebagai nilai acuan. Bagian kedua menerapkan data untuk
diklaster dengan K-mean. Bagian ketiga adalah verifikasi dengan acuan nilai data

433
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

terhadap klaster yang dibuat. Bagian keempat merupakan analisa data dengan
menggunakan analysis of variance (ANOVA). Bagian kelima merupakan
pembahasan atas hasil pengujian secara keseluruhan.

Pengambilan dan Hasil Pengolahan Data


Pada proses pengambilan dan Hasil Pengolahan data dapat dilakukan
dengan beberapa cara untuk menghasilkan nilai rata-rata dari setiap citra buah.
Dalam mendapatkan nilai komponen warna red/merah (R), green/hijau (G),
blue/biru (B) untuk semua buah dengan katagori (masak mentah (10 buah), masak
mengkal (10 buah), masak penuh (10 buah). Selanjutnya menerapkan data untuk
diklaster dengan K-means. Proses pengklasteran dilakukan pertama dengan cara
menentukan banyak klastering yang diinginkan. Pada penelitian ini k-means
clustering yang diinginkan adalah 3, (k=3). Pertama tentukan kelompok atau
kelas pada data, untuk menunjukan kelompok atau kelas untuk data pada baris
tertentu. Jumlah klaster yang dikehendaki, untuk mengukur jarak digunakan
metode Euclidean distance. Untuk melihat lebih jelasnya, akan ditampilkan dalam
bentuk dimensi. Hasil klaster dengan tampilan 3 dimensi dapat dilihat pada
Gambar 2.

Gambar 2 Hasil klaster dengan tampilan 3 dimensi.

Pada gambar terlihat jelas bahwa setiap pengklasteran yang diperoleh


sesuai dengan kondisi buah yang dijadikan data acuan dimana untuk kode 1
termasuk masak muda dan kode 2 masak mengkal dan untuk kode 3 masak penuh.
Dari hasil klaster dengan tampilan 3 dimensi dapat dilihat terdapat klaster yang

434
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

tertimpa. Hal ini disebabkan karena adanya ciri data yang berdekatan. Hasilnya
untuk mengukur performa klaster. Ini akan memberikan keluaran berupa jarak tiap
titik terhadap titik klaster yang sama dibanding terhadap titik yang lain.
Dengan menggunakan metode silhaoutte pada klaster 1 dan 2 tidak sesuai
dengan hasil yang diharapkan karena ada data yang nilai berdekatan sehingga
sulit dibedakan sedangkan pada klaster 3 diperoleh hasil sesuai dengan yang
diharapkan.

Nilai sillhouette

12345678910 123456456 12345678910


11 789
klaster
Gambar.3 Grafik Kmeans ditunjukan dengan metode silhoutte

selanjutnya verifikasi dengan acuan nilai data terhadap klaster yang


dibuat.Verifikasi ini dilakukan untuk memastikan hasil klaster yang dilakukan
sejauh mana akurasi yang diperoleh. Berdasarkan nilai minimun dan nilai
maximum yang didapatkan. maka diperoleh logika untuk menetapkan nilai untuk
3 kondisi buah. Sehingga proses normalisasi diperlukan untuk menyeragamkan
ukuran. Selanjutnya melakukan proses pengelompokan data ke dalam beberapa
kelas berdasarkan kemiripan data dalam menentukan klaster yang berkualitas
digunakan K-means clustering yang merupakan suatu alat untuk menganalisa data
dan prosesnya berguna dalam menentukan titik tengah. Lebih jelas hasilnya dapat
kita lihat di rekapitulasi hasil eksperimen pada Tabel 1.

435
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Tabel 1 Rekapitulasi Hasil Eksperimen


File Keterangan Sistem KeteranganPetani

01 Pepaya 06 Masak Mengkal Masak muda

01 Pepaya 07 Masak muda Masak muda

01 Pepaya 08 Masak Mengkal Masak muda

01 Pepaya 09 Masak muda Masak muda

01 Pepaya 10 Masak muda Masak muda

01 Pepaya 11 Masak muda Masak muda

01 Pepaya 12 Masak muda Masak muda

01 Pepaya 13 Masak Mengkal Masak muda

01 Pepaya 14 Masak muda Masak muda

01 Pepaya 15 Masak Mengkal Masak muda

02 Pepaya 06 Masak Mengkal Masak Mengkal

02 Pepaya 07 Masak Mengkal Masak Mengkal

02 Pepaya 08 Masak Mengkal Masak Mengkal

02 Pepaya 09 Masak Mengkal Masak Mengkal

02 Pepaya 10 Masak Penuh Masak Mengkal

02 Pepaya 11 Masak Mengkal Masak Mengkal

02 pepaya 12 Masak mengkal Masak mengkal

436
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

02 Pepaya 13 Masak Mengkal Masak Mengkal

02 Pepaya 14 Masak Mengkal Masak Mengkal

02 Pepaya 15 Masak Mengkal Masak Mengkal

03 Pepaya 06 Masak penuh Masak penuh

03 Pepaya 07 Masak Penuh Masak Penuh

03 Pepaya 08 Masak Penuh Masak Penuh


03 Pepaya 09 Masak Penuh Masak Penuh
03 Pepaya 10 Masak penuh Masak penuh

03 Pepaya 11 Masak Penuh Masak Penuh

03 Pepaya 12 Masak Penuh Masak Penuh

03 Pepaya 13 Masak Penuh Masak Penuh

03 Pepaya 14 Masak penuh Masak penuh

03 Pepaya 15 Masak Penuh Masak Penuh

Analisa Data Menggunakan Anova


Dari data yang ada akan dianalisis dengan menggunakan analysis of
variance (ANOVA). ANOVA itu sendiri adalah suatu metode untuk menguraikan
keragaman total data menjadi komponen-komponen yang mengukur beberapa
sumber keragaman. ANOVA digunakan untuk menguji rata-rata lebih dari dua
sample berbeda secara signifikan atau tidak. Sehingga analisisnya untuk setiap
kelompok yaitu untuk mentah R, mengkal R juga masak R juga untuk mentah G,
mengkal G, masak G, dan mentah B, mengkal B dan masak B dan secara
keseluruhan setelah dianalisis dengan menggunakan ANOVA hasil akhirnya dapat

437
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

kita kelompokkan masing masing untuk mentah R, mengkal R juga masak R juga
untuk kelompok G dan kelompok B.
Secara deskriptif dari nilai data warna yang diperoleh bahwa rata rata nilai
R dan B berbeda tiap kelompok berbeda ini dikarenakan nilai dari F kritis dengan
F penghitungan berbeda sehingga secara analisis of variance signifikan.
Sedangkan untuk G hasil menunjukkan bahwa F perhitungan lebih kecil dari F
kritis dapat kita simpulkan tidak signifikan.
Analisa Keseluruhan
Dari hasil pengujian yang di peroleh baik menggunakan sistem k-means
clustering sudah mendapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan walaupun ada
beberapa citra yang tidak masuk kedalam jenis pengelompokannya hal ini
disebabkan faktor buah . Rekapitulasi hasil eksperimen menghasilkan kelompok
pepaya masak muda 60% dikenali sebagai masak muda disini disebabkan faktor
buah sehingga yang dikenali. Pada data kelompok pepaya masak mengkal 90%
dikenali sebagai masak mengkal sedangkan pada kelompok pepaya masak penuh
100 % dikenali masak penuh. Dari penjabaran klasifikasi dengan menggunakan K-
mean dibandingkan dengan metode verifikasi diperoleh suatu perbandingan
bahwa metode verifikasi hampir akurat seratus persen sesuai dengan penglihatan
manusia.

5. Kesimpulan
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan dan hasil yang diperoleh, maka
diperoleh beberapa kesimpulan berikut:
1. Dalam mengekstraksi fitur warna berdasarkan RGB menggunakan K-means
Clustering untuk mendapatkan nilai piksel dalam menganalisa citra buah
pepaya didapatkan hasil hampir sesuai dengan kenyataan (kondisi nyata buah
pepaya).
2. Dengan menggunakan analisis ragam atau analisis of variance (ANOVA)
bahwa secara deskriptif dari nilai data warna ketiga kelompok sampel pepaya
yang terdiri dari pepaya muda, pepaya masak mengkal maupun pepaya masak

438
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

penuh/tua menunjukkan perbedaan nilai yang signifikan terhadap perubahan


warna pepaya .
3. Dengan hasil rekapitulasi berdasarkan nilai RGB diketahui data yang diuji
menghasilkan kelompok masak muda 60% dikenali sebagai masak muda hal
ini disebabkan oleh faktor pengukuran jarak antara data dan dan titik tengah
yang dihitung menggunakan euclidean distance. Pada data kelompok pepaya
masak mengkal 90% dikenali sebagai masak mengkal ini juga disebabkan oleh
faktor pengukuran jarak antara data dan titik tengah dihitung menggunakan
euclidean
4. distance. sedangkan pada kelompok masak penuh semua buah atau
100 % dikenali masak penuh.

6. Daftar Pustaka

Lam,P.F,1987, Ciri-ciri Fizikal, Fisiologi dan Biokimia Buah Betik.

Angkitjaroen mongkol, R.; Kaittisin, S.; Ongwattanakul, S.; Inbound logistics


cassava starch planning: With application of GIS and K-means clustering
methods in Thailand, Journal IEEE ISBN: 978-1-4577-0686-8 23 June 2011

M, Soltani, R, Alimardani, M, Omid, 2011, Some Physical Properties of Full-


Ripe Banana Fruit (Cavendish variety) International Journal of Agricultural
Science, Research and Technology.

Slamet Riyadi, Mohd. Marzuki Mustafa, Aini Hussain, Azman Hamzah, 2007,
Papaya fruit grading based on size using image analys Proceedings of the
International Conference onElectrical Engineering and Informatics Institut
Teknologi Bandung, Indonesia June 17-19

439
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Ng, H.P.; Ong, S.H.; Foong, K.W.C.; Goh, P.S.; Nowinski, 2006, Medical
Image Segmentation Using K-Means Clustering and Improved Watershed
Algorithm, Journal IEEE ISBN: 1-4244-0069-4 2006

Ahmad Usman dkk, 2009, Pemutuan Buah Jeruk Pontianak Berdasarkan Ukuran
dan Warna Menggunakan Pengolahan Citra, prosiding seminar nasional
himpunan informatika pertanian Indonesia, Bogor

Marvin CH. Wijaya, Agus Prijono 2007, Pengolahan Citra Digital Menggunakan
Matlab, Penerbit Informatika, Bandung

Tzortzis, G.; Likas, A.2008 The global kernel k-means clustering algorithm ,
Journal IEEE ISSN: 1098-7576 ISBN: 978-1-4244-1820-6 26 September
2008

Budi Santosa 2007 , Data Mining Terapan dengan Matlab, Graha Ilmu,
Yogyakarta

440
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

KINERJA MEMBRAN NANOFILTRASI DARI SELULOSA ASETAT


DALAM MENURUNKAN KADAR GARAM PADA AIR BERSALINITAS
MENENGAH: TINJAUAN TERHADAP PROSES PEMBUATAN
MEMBRAN

Sofyana1), Cut Meurah Rosnelly1), Hisbullah1)


1)
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala
Email: sofyana71@yahoo.co.id

Abstrak

Pemanfaatan sumber-sumber air baku yang memiliki salinitas diatas air tawar
merupakan suatu alternatif pilihan yang dapat menyelesaikan masalah kurangnya
sumber air bersih untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakat. Membran
nanofiltrasi merupakan membran yang tepat digunakan untuk menurunkan kadar
garam dari air baku. Penelitian yang telah dilakukan bertujuan untuk
mempelajari pengaruh pelarut, komposisi bak koagulasi dan tekanan
transmembran terhadap kinerja membran selulosa asetat dalam menurunkan
kadar garam pada air bersalinitas menengah. Membran dibuat dari polimer
selulosa asetat dengan konsentrasi selulosa asetat 25%, dibuat empat buah
membran yaitu membran Selulosa Asetat dengan pelarut aseton dengan
komposisi bak koagulasi (rasio pelarut : non pelarut yaitu 0:10 dan 2:8) dan
membran selulosa asetat dengan pelarut Dimetil Formamid (DMF). dengan
komposisi bak koagulasi (rasio pelarut : non pelarut yaitu 0:10 dan 2:8).
Pembuatan membran mengikuti metode Inversi Fasa secara Presipitasi immersi,
dalam penelitian ini dilakukan modifikasi dalam proses pembuatan membran
yaitu pada tahap immersi. Membran yang telah dicasting diimersikan ke dalam
bak koagulasi yang berisi non pelarut (aquades). Membran yang telah
dipreparasi di karakteristik meliputi pengujian permeabilitas, molecular weight
cutt off (MWCO) dan analisa scanning electron microscopy. Membran yang telah
dikarakteristik diuji kinerjanya menggunakan umpan larutan NaCl 2000 ppm,
larutan NaCl dengan konsentrasi 2000 ppm dianggap mewakili kondisi air
bersalinitas menengah. Hasil karakteristik membran menunjukkan bahwa
membran dengan pelarut aseton dan DMF memiliki nilai Lp dan MWCO yang
berbeda. Penambahan pelarut dalam bak koagulasi memberikan pengaruh
terhadap struktur membran dan mempengaruhi kinerja membran dalam
menurunkan kadar garam.

Keyword: membran, selulosa asetat, salinitas, inversi fasa


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

1. Pendahuluan

Kebutuhan air dengan kualitas yang baik terus meningkat sejalan dengan
pertumbuhan penduduk dan sektor-sektor kehidupan yang membutuhkan air
bersih. Pada saat yang sama ketersediaan air juga semakin menipis akibat semakin
bertambahnya jumlah penduduk dan pola hidup masyarakat yang menuju pada
pola hidup modern.Peningkatan kebutuhan air bersih ini tidak diimbangi dengan
peningkatan sumber-sumber penyedia air bersih. Akibatnya terjadi
ketidakseimbangan antara sumber air bersih dan kebutuhan air bersih sehingga
krisis air bersih menjadi salah satu masalah kependudukan yang rumit dewasa ini.
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki pantai terpanjang di dunia,
maka salah satu sumber air yang banyak terdapat di Indonesia adalah air asin atau
air payau. Sebagian besar Negara dan wilayah didunia ini belum memanfaatkan
air payau sebangai sumber air yang dapat digunakan (J. Khouri , 2003).
Metode-metode untuk desalinasi digunakan secara luas termasuk metode
thermal dan proses desalinasi. Reverse Osmosis (RO) merupakan salah satu
teknik dari proses membran, dan lebih populer dibandingkan dengan teknik
konvensional pemanasan thermal seperti Multi Stage Flashing (MSF) dan Multi
Effect Disstillation (MED). Salah satu keuntungan besar dari teknik RO adalah
konsumsi energy yang sangat rendah dibandingkan dengan seluruh sistem
desalinasi yang lainnya (Fritzmann, et al, 2007; Li, 2011, Voros, et al, 1998).
Desalinasi menggunakan membran Reverse Osmosis (RO) dan Nanofiltrasi (NF)
saat ini menjadi pilihan yang tepat untuk pengolahan air laut dan air payau. Oleh
karena itu pengembangan material untuk memperoleh membran yang memiliki
fluks yang tinggi dan rejeksi yang tinggi terhadap garam dan penggunaannya pada
tekanan rendah menjadikan membran ini sangat menarik. (R. Haddad, et.al,2004).
Proses membran saat ini dianggap sebagai salah satu teknologi terbaik
yang layak digunakan di berbagai negara untuk proses pemisahan. Nanofiltrasi
(NF) telah menjadi suatu bidang yang berkembang pesat dan menjadi inovasi
yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir khususnya untuk pengolahan


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

limbah dalam beberapa industri (M. Gagliardi, 2014). Keuntungan yang menarik
diantaranya: fluks permeat yang tinggi dan memiliki kemampuan merejeksi ion
bivalen, tekanan operasi dan investasi yang rendah, maka membran Nanofiltrasi
semakin meningkat penggunaannya dalam bidang pengolahan air seperti proses
pelunakan air payau dan air laut, dan pengolahan limbah (Song, et al, 2011).
Teknologi Nanofiltrasi juga berpotensi besar untuk menggantikan skala membran
Reverse Osmosis dan mengurangi biaya unit plant Brackish Water Reverse
Osmosis (BWRO) karena kemampuannya yang sangat baik dalam menghilangkan
ion yang terbentuk dalam air.(Al-Amoudi, et al, 2007)
Struktur membran dibuat dengan proses inversi fasa dari selulosa asetat
(CA) seperti yang telah diuraikan oleh Loeb dan Sourirajan pada tahun 1985.
Material ini merupakan polimer yang menarik karena memiliki harga yang murah
dan memiliki daya tahan terhadap klorin. Selain itu CA merupakan produk alam
dimana diperoleh dari sumber yang terbaharukan.
Teknik pembuatan membran secara inversi fasa dengan presipitasi
immerse merupakan salah satu teknik pembuatan membran yang akan
menghasilkan membran asimetrik. Membran asimetrik tidak hanya digunakan
secara luas dalam proses ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi untuk pemisahan, tetapi
juga digunakan untuk memfabrikasi membran komposit digunakan pada proses
membran reverse osmosis,membran nanofiltrasi dan membran gas separation
(N.Widjojo,etc, 2011:214-223; K.L.Tung,etc, 2010:143-152; M.M Pandergast &
E.M.V. Hoek, 2011:1946-1971; P.B Kosaraju & K.K Sirkar, 2008;155-161: A.K
Glosh & E.M.V. Hoek, 2009:140-148; S.J Yuan, etc, 2011: 425-437).

2. METODE PENELITIAN
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah selulosa asetat
(Sigma Aldrich), Dimetil Formamid (Merck), Aseton (Merck), Aqua bidest.
Peralatan utama yang digunakan yaitu modul membran dan rangkaiannya, gas
nitrogen sebagai gas penekan, applicator membran, Magnetik Stirrer (Spinbar),
Erlenmeyer 50 ml (Pyrex), Hot Plate (Yamato, tipe Mag-mixer MH800),


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Timbangan digital 10-1000 gram (Metler-Toledo), bak koagulasi, water bath,


konduktometer.
Penelitian yang dilakukan meliputi tiga tahap, yaitu proses pembuatan
membran, karakteristik membran, pengujian kinerja membran.
Tahap pembuatan membran
Membran dipreparasi dengan teknik inversi fasa secara presipitasi immerse, yang
terdiri dari beberapa tahap yaitu:
- pembuatan larutan dope (pencampuran polimer selulosa asetat 25% dan pelarut
aseton atau DMF 75%),
-casting,
- evaporasi pelarut selama 2 menit, immerse dalam bak koagulasi yang diisi
pelarut atau campuran pelarut dan non pelarut,
- annealing pada suhu 750C .
Pada pembuatan membran ini divariasikan jenis pelarut dan komposisi bak
koagulasi, sehingga dihasilkan empat buah membran, yaitu:

- Membran dari selulosa asetat dengan pelarut aseton dengan rasio pelarut
dan non pelarut dalam bak koagulasi : (0:10) disebut sebagai sebagai
membran SA1-A, pada rasio (2:8) disebut sebagai membran SA2-A
- Membran dari selulosa asetat dengan pelarut DMF dengan rasio pelarut
dan non pelarut dalam bak koagulasi : (0:10) disebut sebagai sebagai
membran SA1-DMF, pada rasio (2:8) disebut sebagai membran SA2-DMF

Karakteristik Membran
Membran SA1-A, SA2-A, SA1-DMF dan SA2-DMF dikarakteristik terlebih
dahulu sebelum diuji kinerja membran. Karakteristik membran meliputi
penentuan permeabilitas (Lp) dan penentuan Molecular Weight Cutt Off
(MWCO).Penentuan permeabilitas dilakukan dengan menngunakan umpan
aqua distilled deionized pada tekanan trans membran 1, 2, 3, 4 dan 5 bar.
Penentuan MWCO dilakukan menggunakan larutan dekstran BM 12.000,
19.500 dan 39.000.


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Pengujian Kinerja Membran


Kinerja membran diuji dalam menurunkan salinitas menggunakan larutan
NaCl konsentrasi 2000 ppm, yang dianggap mewakili kondisi air bersalinitas
menengah. Tekanan yang digunakan merupakan tekanan trans membran 1, 2,
3, 4 dan 5 bar. Kinerja membran diukur dari nilai fluks dan rejeksi.
Fluks didefinisikan sebagai jumlah volume permeat yang melewati membran
per satuan luas permukaan per satuan waktu.
V
J= .. (1)
A.t
Dimana: J = fluks ( l/m2jam), V = volume permeat (liter), A = luas
permukaan membran (m2), t = waktu penyaringan (jam)
Koefisien rejeksi atau efisiensi penyisihan dapat diukur dengan menentukan
konsentrasi phosphat dalam permeat dan dalam umpan yang dianalisa
menggunakan UV Visible Specktrofotometer.. Rejeksi phosphat didefinisikan
sebagai (R) dimana
Cp
R (%) = ( 1 - ) x 100 % ......................................................................... (2)
Cf
dimana nilai rejeksi diperoleh dari nilai konsentrasi phosphat yang diperoleh
dari hasil analisa menggunakan spechtrophotometer UV Visible dalam umpan
(Cf) dan air yang dihasilkan atau permeat (Cp). (Mulder, 1996).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Membran yang dihasilkan dibuat dengan metode inversi fasa dengan
tujuan untuk memperoleh membran asimetrik, dimana lapisan atas berfungsi
sebagai lapisan aktif yang berkontak dengan sampel sedangkan lapisan bawah
merupakan lapisan support (penyangga). Beberapa faktor dalam proses
pembuatan membran akan mempengaruhi struktur membran yang terbentuk
seperti: pemilihan pelarutnon pelarut dengan kecenderungan satu sama lain
memiliki pencampuran yang rendah (Frommer dan Lancet, 1972:85; Frommer
dan Messalam, 1973:328), penambahan pelarut ke dalam bak koagulasi
(Stathmann, etc, 1975:179; Grobe dan Mann, 1968: 49). Pada penelitian ini dibuat


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

dua buah membran dengan pelarut yang berbeda serta dilakukan pena
penambahan
pelarut ke dalam bak koagulasi pada proses immerse uuntuk menge
mengetahui
pengaruhnya terhadap kinerja membran.

Permeabilitas Membran
Pengujian keempat membran menunjukkan bahwa keempat membran
memiliki nilai koefisien permeabilitas (Lp) yang berbeda, seperti yang
ditunjukkan pada gambar 1 dibawah ini.

  
 

 









Gambar
ar 1. Permeabilitas pada berbagai variasi membran
Membran yang dihasilkan dengan pelarut yang berbeda menunjukkan nilai
permeabilitas yang berbeda, hal ini dikarenakan setiap memb
membran memiliki struktur
yang berbeda. Jenis pelarut yang digunakan maupun penambahan pel
pelarut kedalam
bak koagulasi mempengaruhi pproses
roses pembentukan struktur membran.
Penambahan dimetil formamida (DMF) sebagai solvent kedalam bak koagulasi
mempengaruhi proses difusi antara solvent dan non solvent di dalam peristiwa
demixing pada bak koagulasi. Membran SA1 yang dibuat tanpa penambahan
solvent dalam bak koagulasi memiliki nilai Lp yang lebih tinggi dari membran
me
dengan penambahan pelarut dalam bak koagulasi (membran SA2) baik dengan
pelarut aseton maupun DMF.



PROSIDING SNTK UNIMAL 2016


17 OKTOBER 2016

Tabel 5.1 Nilai permeabilitas semua membran


Membran Nilai Lp Jenis proses
(L/m2h) membran*)
SA1-D 36,45 Ultrafiltrasi
SA2-D 13,15 Nanofiltrasi
SA1-A 30,35 Ultrafiltrasi
SA2-A 12,19 Nanofiltrasi
*)
Berdasarkan referensi Mulder, 1996

Molecular Weight Cutt Off (MWCO)


MWCO dapat didefinisikan sebagai bobot molekul suatu zat pelarut yang
menggunakan
80-90% dapat direjeksi oleh membran. MWCO dapat diuji dengan me
mengguna
suatu larutan standar yang telah diketahui berat molekulnya (Mulder, 1996).
Pengujian MWCO pada penelitian ini menggunakan larutan dekstran dengan
berbagai berat molekul
 

 










 


    

Gambar 3. Rejeksi membran terhadap larutan dekstran


Membran SA2-A dan SA2
SA2-D
D memiliki selektivitas yang lebi
lebih tinggi
dibandingkan dengan membran SA1 A karena memiliki struktur yang
SA1-Adan SA2-A y
lebih rapat. Hal ini membuktikan bahwa penambahan kompo
komposisi didala
didalam bak
koagulasi
gulasi maka akan menghasilkan ukuran pori membran yang lebih kecil
kecil, karena
variasi pelarut didalam komponen bak koagulasi akan mempengaruhi nila
nilai
koefisien
fisien rejeksi pada membran (Dwi Indarti, 2012). Membran dengan pelarut
p


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

aseton memiliki rejeksi lebih tinggi disbanding dengan pelarut DMF, hal ini
dikarenakan pada pelarut aseton interaksi antara pelarut dan non pelarut lebih
kecil, sehingga menghasilkan pola pembentukan membran delayed demixing pada
tahap immerse, menyebabkan membran memiliki struktur lebih rapat (Mulder,
1996). Pada Tabel 2 dibawah jelas terlihat bahwa membran SA2-A maupun SA2-
D dapat menahan 90 % larutan dekstran pada berat molekul 40.000 Da.
Tabel 2. Rejeksi larutan dekstran pada membran SA2
Membran BM Dekstran (dalton) Rejeksi (%)
12000 74,2
19500 87,12
SA2-D 39000 90,9
19500 70
39000 82
12000 67,44
SA2-A 19500 88,9
39000 92

Kinerja Membran dalam Menurunkan Kadar Garam


Kinerja membran dapat diukur dari nilai fluks dan rejeksi membran
terhadap garam. Berdasarkan dari hasil penelitian ini, diperoleh bahwa nilai fluks
semakin meningkat seiring bertambahnya tekanan operasi pada berbagai membran
selulosa asetat.



! 

 








   


Gambar 4. Fluks keempat membran pada berbagai tekanan transmembran


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

Peningkatan fluks ini dapat dijelaskan karena semakin besar gaya dorong yang
diberikan maka akan semakin banyak permeat yang lolos melewati membran.
Dari hasil penelitian jelas terlihat bahwa nilai fluks keem
keempat membran berbeda,
hal ini menunjukkan kinerja ke empat membran berbeda seperti ditun
ditunjukka
ditunjukkan pada
gambar 4 dibawah ini. semakin banyak penambahan pelarut dalam bbak koagulasi
maka nilai fluks semakin rendah, karena semakin rapatnya struktur m
membran
maka semakin banyak variasi bak koagulasi
gulasi juga mempengaruhi koefisien
koe nilai
fluks.
Kinerja membran dalam menurunkan salinitas dapat dilihat dari nila
nilai
rejeksi membran terhadap larutan NaCl 2000 ppm. Rejeksi dihitung bbe
berdasarkan
persamaan (2), dimana permeat membran diukur konduktivit
konduktivitasnya mengguna
menggunakan
peralatan konduktometer.






 


 



 

  




Gambar 5. Rejeksi bebagai membran terhadap larutan NaCl

Perbedan pelarut menunjukkan kinerja yang berbeda dalam mereje


merejeksi
larutan NACl, dimana membran dengan pelarut aseton memiliki rejeksi yang lebih
tinggi dibandingkan membran dengan pelarut DMF, hal ini sesuai dengan af
affinitas
antara aquades sebagai non pela
pelarut
rut dengan pelarut, dimana affinitas antara DMF
dan air lebih besar disbanding dengan aseton dan air, membran sel
selulosa asetat
dengan pelarut DMF mengikuti pola instansteneous demixing sedangkan
membran selulosa asetat dengan pelarut aseton mengikuti pola delayed


PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

demixing(Mulder, 1996). Oleh karena itu variasi penambahan pelarut dalam bak
koagulasi dapat diperlukan untuk mengatur laju difusi antara pelarut dan non
pelarut pada proses immerse dalam pembuatan membran.
Membran dengan penambahan pelarut kedalam bak koagulasi (membran
SA2-A dan SA2-D) menunjukkan nilai rejeksi yang lebih tinggi dibandingkan
membran tanpa penambahan pelarut (membran SA1-A dan SA2-A), hal ini
dikarenakan penambahan pelarut kedalam bak koagulasi menyebabkan terjadinya
peristiwa delayed demixing, sehingga struktur membran yang terbentuk menjadi
lebih rapat.Sesuai dengan referensi (Lin, K,Y, etc, 2002; Ren, J.Z. etc, 2004)
penambahan solvent kedalam bak koagulasi dapat mengurangi rasio perpindahan
massa solvent dan nonsolvent kemudian akan menghilangkan macrovoids.
Didalam referensi pencetakan lapisan films dilakukan diatas pelat kaca atau pelat
dense lainnya. Intrusi nonsolvent melalui permukaan bagian bawah casting film
terbukti mempengaruhi pembentukan macrovoid dalam proses inversi fasa secara
presipitasi immerse (Xinxia Tian, 2014:8-19). Maka penambahan nonsolvent yang
semakin banyak akan dapat memperkecil pembentukan macrovoid sehingga dapat
meningkatkan rejeksi dari membran

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pegujian permeabilitas menunjukkan membran dengan


pelarut aseton memiliki nilai permeabilitas yang lebih rendah dibandingkan
membran dengan pelarut Dimetil Formamid (DMF). Hasil karakteristik membran
menunjukkan bahwa membran SA1-A dan membran SA1-D tergolong kedalam
membran ultrafiltrasi dengan nilai Lp masing-masing 30,35 L/m2.H dan 36,45
L/m2.H. Membran SA2-A dan SA2-D dapat disimpulkan mendekati membran
nanofiltrasi dengan nilai Lp masing-masing 12,19 L/m2.H dan 13,15 L/m2.H.
Penambahan pelarut kedalam bak koagulasi yang berisi non pelarut pada
pembuatan membran secara inversi fasi dengan presipitasi immersi
mempengaruhi kinerja membran dalam menurunkan salinitas. Membran SA2
memiliki rejeksi lebih tinggi dibandingkan membran SA1 baik untuk pelarut

 
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016

aseton maupun DMF. Rejeksi tertinggi pada membran SA2-A yaitu 85,23% pada
tekanan 3 bar, sedangkan membran SA2-D memiliki rejeksi tertinggi pada
tekanan 4 bar sebesar 85,7%.

5. DAFTAR PUSTAKA

A. Al-Amoudi, R.W. Lovitt, 2011, Fouling strategies and the cleaning system of
NF membranesand factors affecting cleaning efficiency, J. Membr. Sci. 303:
4-28.
C. Fritzmann, J. Lowenberg, T. Wintgens, T. Melin, State-of-the-art of reverse
osmosis desalination, Desalination 216 (2007) 1e76.
K.L. Tung, Y.L.Li, S. Wang, D. Nanda, C.C.Hu, C.L.Li.J.Y. Lai, J.Huamg, 2010,
Performance and effect of polymeric membranes on the dead- end
microfiltration protein solution during filtration cycle, Journal Membrane
Science, 352: 143-152
M.M. Pendergast, E. M.V. Hoek, 2011, A review of water treatment membrane
nanotechnologies, Energy Environt, Science, 4:1946-1971
M. Gagliardi, Global market sand technologies for nanofiltration, BCC
Research,2014
Mulder,M.,( 1996), Basic Principles of Membranes Tecnology, Kluwer academic
Publisher,Netherland,
M. Li, 2011,Reducing specific energy consumption in Reverse Osmosis (RO)
water desalination: An analysis from first principles, Desalination 276
N. Widjojo, T.S. Chung, M. Weber, C. Maletzkoc, V. Warzelhan, 2011, The role of
sulphonated polymer and macrovoid-free structure in the support layer of thin
film composite (TFC) forward osmosis (FO) membranes, Journal Membrane
Science, 383: 214-223
N. Voros, C. Kiranoudis, Z. Maroulis, 1998,Solar energy exploitation for reverse
osmosis desalination plants, Desalination 115

P.B. Kosaraju, K.K. Sirkar, 2008, Interfacially polymerized thin film composite
membranes on microporous polypropylene supports for solvent-resistant
nanofiltration, Journal Membrane Science,321:155-161
R. Haddad, E. Ferjani, S. Roudesli and A. Deratani, 2004, Properties of Cellulose
Asetat Nanofiltration Membranes, Application to brackish water desalination, .
J. Membr. Sci., 167, 403 -409.

Y. Song, J. Xu, Y. Xu, X. Gao, C. Gao, 2011,Performance of UFNF integrated


membrane process for seawater softening, Desalination 276:109116.

 

Anda mungkin juga menyukai