Anda di halaman 1dari 13

Hukum Perburuhan, Adalah seperangkat aturan dan norma baik

tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur pola hubungan Industrial


antara Pengusaha, disatu sisi, dan Pekerja atau buruh disisi yang lain.
Tidak ada definisi baku mengenai hukum perburuhan di Indonesia.
Buku-buku hukum Perburuhan di dominasi oleh karya-karya Prof. Imam
Soepomo. Guru besar hukum perburuhan di Universitas Indonesia.
karyanya antara lain : Pengantar Hukum Perburuhan; Hukum
Perburuhan Bidang Hubungan Kerja dan Hukum Perburuhan, Undang-
undang dan Peraturan-peraturan.

Belakangan, pasca Reformasi Hukum Perburuhan karya-karya Prof.


Imam Soepomo dianggap oleh sebagian kalangan sudah tidak relevan
lagi. hal ini terutama oleh aktivis Serikat Buruh dan advokat perburuhan.
meskipun di perguruan tinggi yang ada Fakultas Hukumnya di seluruh
Indonesia, masih menggunakan buku-buku karya Imam Soepomo
sebagai rujukan wajib.

Undang-undang no. 13 tahun 2003 LN 4279


Buruh ( molegraf)
Seseorang yg bekerja lebih banyak menggunakan tenaga daripada
pikirannya U/ mendapatkan upahnya.

Prof. iman soepomo


Hukum perburuhan
himpunan peraturan baik yg tertulis maupun tidak tertulis yg berkenaan
dgn suatu kejadian dimana seseorang bekerja kepada orang lain dan
mendapatkan upah / imbalan.

Menurut Soepomo ada 3 faktor Hukum perburuhan :


1) himpunan peraturan
2) bekerja pada orang lain dan
3) Untuk mendapatkan upah.

Pasal 1
mengatur segala hal yg berkaitan dgn seseorang baik sebelum,selama
dan setelah bekerja.
Pasal 1 (2)
tenaga kerja adalah setiap orang yg memiliki kemampuan U/ melakukan
suatu pekerjaan U/ menghasilkan barang & atau jasa U/ memenuhi
kebutuhannya sendiri maupun masyarakat.
Pasal 1 (3)
pekerja /buruh adalah setiap oarng yg bekerja U/ mendapatkan upah /
imbalan dalam bentuk lain

Hakikat
Secara yuridis
majikan dan buruh mempunyai kedudukan yg sama.
Pasal 27 : setiap warga Negara bersamaan kedudukannya didalam
hukum & pemerintahan & wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu tanpa terkecuali.
Secara sosiologis
tidak sama antara majikan & buru, ketika seseorang memutuskan
bekerja pada orang lain ia terikat oleh aturan-aturan.

Publik & Privat


Ranah Publik
pemerintah ada intervasi membentuk panitia P4p & P4d ( penyelesaian
PHK)_
ranah Privat
perjanjian kerja dll.

P4d ( Panitia penyelesaian perselisihan perburuhan daerah )


P4p ( Panitai penyelesaian perselisihan perburuhan pusat )

Sejarah Hukum Perburuhan

Pasca reformasi, hukum perburuhan memang mengalami perubahan


luar biasa radikal. baik secara regulatif, politik, ideologis bahkan
ekonomi Global. proses industrialisasi sebagai bagian dari gerak historis
ekonomi politik suatu bangsa dalam perkembanganya mulai menuai
momentumnya. hukum perburuhan, setidaknya menjadi peredam konflik
kepentingan antara pekerja dan pengusaha sekaligus.

Sebagai Peredam Konflik, tentu ia tidak bisa diharapkan maksimal.


faktanya, berbagai hak normatif perburuhan yang mustinya tidak perlu
lagi jadi perdebatan, namun kenyataanya Undang-undang memberi
peluang besar untuk memperselisihkan h ak-hak normatif tersebut.
memang Undang-undang perburuhan juga mengatur aturan pidanaya
namun hal tersebut masih dirasa sulit oleh penegak hukumnya.
disamping seabrek kelemahan lain yang kedepan musti segera dicarikan
jalan keluarnya.

Masa Orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto benar-benar


membatasi Gerakan Serikat Buruh dan Serikat Pekerja. saat itu
Organisasi Buruh dibatasi hanya satu organisasi SPSI (Serikat Pekerja
Seluruh Indonesia).

pola penyelesaia hubungan Industrialpun dianggap tidak adil dan


cenderung represif. TNI saat itu, misalnya, terlibat langsung bahkan
diberikan wewenang untuk turut serta menjadi bagian dari Pola
Penyelesaian hubungan Industrial. Saat itu, sejarah mencatat kasus-
kasus buruh yang terkenal di Jawa Timur misalnya Marsinah dan lain-
lain.

B. azas hokum ketanagakerjaan


Pembangunan ketanagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan
dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah
artinya asas pembangunan ketanagakerjaan pada dasarnya sesuai
dengan asas pembangunan nasional khususnya asas demokrasi
pancasila serta asas adil dan merata.

C. ruang lingkup
Ruang lingkup ketenagakerjaan meliputi : pra kerja, masa dalam
hubungan kerja, masa purna kerja ( post employment)
Jangkauan hokum ketenagakerjaan lebih luas bila dibandingkan dengan
hokum perdata sebagaimana di atur dalam buku III title 7A yang lebih
menitik beratkan pada aktivitas tenaga kerja dalam hubungan kerja
D. pelaksanaan hubungan kerja di Indonesia
Pasal 1 angka 15 UU no.13 th. 2003 disebutkan bahwa :

Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan


pekerja atau buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai
unsure-unsur pekerjaan , upah dan perintah
Hubungan kerja adalah suatu hubungan pengusaha dan pekerja
yang timbul dari perjanjian kerja yang diadakan untuk waktu
tertentu namun waktu yangtidak tertentu

Perjanjian Kerja
Pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih lainnya.

Pengertian luas dan lemah

Sudikno Mertokusumo , perjanjian adalah subjek hokum antara


dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hokum .
Definisi pejanjian klasik , perjanjian adalah perbuatan hokum
bukan hubungan hokum (sesuai dengan pasal 1313 perjanjian
adalah perbuatan ).

1. pengertian perjanjian kerja

dalam KUHPerdata , pasal 1601 titel VII A buku III tentang perjanjian
untuk melakuakn pekerjaan yang menyatakan bahwa :
selain perjanjian-perjanjian untuk melakukan sementara jasa-jasa yang
diatur oleh ketentuan yang khusus untuk itu dan untuk syarat-syarat
yang di perjanjikan dan jika itu tidak ada , oleh karena kebiasaan , maka
ada dua macam perjanjian dengan mana pihak yang lain dengan
menerima upah, perjanjian perburuhan dan pemborong pekerjaan.

1. unsure-unsur dalam perjanjian kerja :

KUHPerdata pasal 1320 (menurut pasal 1338 (1) ) menyatakan sahnya


perjanjian :
Mereka sepakat untuk mengakibatkan diri

Cakap untuk membuat suatu perikatan


Suatu hal tertentu
Suatu sebab yang hallal

Syarat subjektif : mengenai subjek perjanjian dan akibat hokum


M.G Rood (pakar hokum perburuhan dari belanda ), 4 unsur syarat
perjanjian kerja :

Adanya unsure work (pekerjaan )

Adanya unsure service (pelayanan)


Adanya unsure time (waktu )
Adanya unsure pay (upah )

1. Bentuk Perjanjian Kerja


Dalam praktik di kenal 2 bentuk perjanjian
Tertulis
Di peruntuk perjanjian-perjanjian yang sifatnya tertentu atau adanya
kesepakatan para pihak, bahwa perjanjian yang dibuatnya itu
menginginkan dibuat secara tertulis , agar adanya kepastian hokum
Tidak tertulis
bahwa perjnjian yang oleh undang-undahng tidak disyaratkan dalam
bentuk tertulis

1. Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dlam Perjanjian Kerja

Subjek dari perjanjian kerja adalah orang-orang yang terikat oleh


perjanjian yang di buatnya
Hak dan kewajiban subjek kerja , diman hak merupakan suatu tuntutan
& keinginan yang di peroleh oleh subjek kerja ( pengusaha dan pekerja
). sedangkan kewajiban adalah para pihak , disebut prestasi

1. Berakhirnya Perjanjian Kerja

Alas an berakhirnya perjanjian kerja adalah :

1.
o Pekerja meninggal dunia
o Berakhir karena jangka waktu dalam perjanjian
o Adanya putusan pengadilan dan atau putusan atau
penetapan lembaga penyelsaian perselisihan hubungan
industrial
o Adanya keadaan atau kejadian yang di cantumkan dalam
perjanjian kerja
o Pemutusan hubungan kerja

1. istilah dan pengertian hubungan kerja

1. Deter mination , putusan hubungan kerja karena selesai atau


berakhirnya kontrak kerja
2. Dissmisal, putusan hubungan kerja karena tindakan indisipliner
3. Redudancy, pemutusan hubungan kerja yang berkaitan dengan
perkembangan tekhnologi
4. Retrechtment, pemutusan hubungan kerja yang berkaitan dengan
masalah ekonomi
F.X. Djumialdji
Pemutusan hubungan kerja adalah suatu langkah pengakhiran
hubungan kerja antara buruh dan majikan karena suatu hal tertentu.
Pasal 1 angka 25 UU no.13 thn. 2003
PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena sesuatu hal tertentu
yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara perkara
(buruh dan pengusaha )

1. macam macam pemutusan hubungan kerja

1. pemutusan hubungan kerja demi hokum

hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja berhenti dengan


sendirinya yang mana kedua belah pihak hanya pasif saja , tanpa suatu
tindakan atau perbuatan salah satu pihak

1.
o pemutusan hubungan kerja ini terjadi pada saat

1. perjanjian kerja pada waktu tertentu, (pasal 1.1 Kep. Men tenaga
kerja & transmigrasi no: Kep.100/Men/ V/2004 tentang keterangan
pelaksanaan perjanjian kerja , waktu tertentu )
2. pekerja meninggal dunia

pasal 61 ayat 1 huruf a UU no.13 thn. 2003 ditegaskan bahwa perjanjian


kerja berakhir apabila pekerja meninggal dunia namun hak-hak nya bisa
di berikan pada ahli waris (61.a(5))

1.
o pemutusan hubungan kerja oleh pekerja

dapat terjadi karena :

1. masa percobaan
2. meninggalnya pengusaha
3. perjanjian kerja untuk waktu tidak tentu
4. pekerja dapat memutuskan hubungan kerja sewaktu-waktu

1.
o pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha

pemutusan hubungan kerja dilakuakan oleh pengusaha dengan


membayarkan uang pesangon, sebagai upah akhir.
Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan
Keputusan yang di tetapkan oleh pengadilan tentang pemutusan
hubungan kerja dalam pengadilan perdata yang biasa berdasarkan surat
permohonan oleh pihak yang bersangkutan.karena alas an alas an
penting.
Penyelsaian hubungan kerja
Dibedakan atas dan bagian :

1. menurut sifatnya
1. perselisihan kolektif
2. perselisihan perseorangan
2. menurut jenisnya

1.
1. peselisihan jenisnya
2. perselisihan kepentingan

system pengupahan
Di pandang dari sudut nilainya upah dibedakan antara upah nominal
dengan upah riil
a.upah nominal adalah jumlah yang berupa uang
b.upah riil adalah banyaknya barang yang dapat dibeli oleh jumlah uang
itu
menurut cara menetapkan upah dibagi kedalam system-sistem
pengupahan ,sebagai berikut :

1. system upah jangka waktu


2. upah yang ditetapkan menurut jangka waktu pekerja . melakukan
pekerjaan
3. system upah potongan

Hukum Perburuhan era Reformasi

Era Reformasi benar-benar membuka lebar arus demokrasi. Secara


regulatif, dan Gradual hukum perburuhan kemudian menemukan
momentumnya. hal tersebut terepresentasi dalam tiga paket Undang-
Undang perburuhan antara lain: Undang-undang No. 21 tahun 2000
Tentang Serikat Buruh, Undang-undang No.13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, dan Undang-Undang No.2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 21 TAHUN 1954
TENTANG
PERJANJIAN PERBURUHAN ANTARA SERIKAT BURUH DAN MAJIKAN

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang : bahwa perlu diadakan aturan-aturan tentang perjanjian


mengenai syarat-syarat perburuhan antara serikat buruh dengan
majikan; Mengingat : pasal 36 dan 89 Undang-undang Dasar Sementara
Republik Indonesia;

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERJANJIAN PERBURUHAN


ANTARA SERIKAT BURUH DAN MAJIKAN.

Pasal 1

(1) Perjanjian tentang syarta-syarat perburuhan antara serikat buruh


dengan majikan (disingkat perjanjian perburuhan) ialah perjanjian yang
diselenggarakan oleh serikat atau serikat-serikat buruh yang telah
didaftarkan pada Kementerian Perburuhan dengan majikan, majikan-
majikan, perkumpulan atau perkumpulan-perkumpulan majikan yang
berbadan hukum, yang pada umumnya atau semata-mata memuat
syarat-syarat, yang harus diperhatikan didalam perjanjian kerja.

(2) Perjanjian perburuhan dapat juga diselenggarakan untuk pekerjaan


borongan atau untuk perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan dan
didalam hal ini berlaku juga ketentuan-ketentuan didalam undang-
undang ini tentang perjanjian kerja, buruh dan majikan.

(3) Sesuatu atauran yang mewajibkan seorang majikan supaya hanya


menerima atau menolak buruh mewajibkan seorang buruh hanya
bekerja atau tidak boleh bekerja pada majikan dari sesuatu golongan,
baik berkenaan dengan agama, golongan warga negara atau bangsa,
maupun karena keyakinan politik atau anggota dari sesuatu
perkumpulan, adalah tidak sah.
Demikian juga halnya dengan atauran-aturan yang bertentangan
dengan hukum tentang ketertiban umum atau dengan kesusilaan.

Pasal 2

(1) Perjanjian perburuhan harus dibuat dengan surat resmi atau surat
yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak.

(2) Didalam Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan-ketentuan


tentang cara membuat dan mengatur perjanjian itu.

Pasal 3

(1)Sesuatu serikat buruh atau perkumpulan majikan yang


menyelenggarakan perjanjian perburuhan, wajib memberitahukan isi
perjanjian itu kepada anggota-anggotanya. Demikian juga bilamana oleh
kedua belah pihak dibuat keterangan-keterangan terhadap perjanjian
itu.

(2) Kewajiban tersebut pada ayat 1 berlaku juga, bilamana diadakan


perubahan-perubahan didalam perjanjian perburuhan atau bilamana
waktu berlakunya diperpanjang.

Pasal 4

(1)Sesuatu serikat buruh atau perkumpulan majikan yang


menyelenggarakan perjanjian perburuhan, wajib mengusahakan agar
anggota-anggotanya memenuhi aturan-aturan yang berlaku untuk
mereka.

(2) Serikat buruh atau perkumpulan majikan tersebut hanya


bertanggung jawab atas anggota-anggotanya, bilamana hal ini
bitentukan didalam perjanjian perburuhan.

Pasal 5

Majikan dan buruh yang terikat oleh perjanjian perburuhan, wajib


melaksanakan perjanjian itu sebaik-baiknya.

Pasal 6

(1)Mereka yang selama waktu berlakunya perjanjian perburuhan adalah


anggota atau menjadi anggota sesuatu serikat buruh atau perkumpulan
majikan yang menyelenggarakan perjanjian tersangkut didalam
perjanjian itu, terikat oleh perjanjian itu.

(2) Mereka bertanggung jawab terhadap masing-masing pihak pada


perjanjian perburuhan didalam hal menepati segala aturan, yang telah
ditentukan bagi mereka.

Pasal 7

(1)Anggota-anggota serikat buruh atau perkumpulan majikan tetap


terikat oleh perjanjian perburuhan, meskipun telah kehilangan
keanggotaannya.

(2) Mereka tidak lagi terikat, bilamana setelah mereka kehilangan


keanggotaannya, perjanjian tersebut diubah.

(3) Jika waktu berlakunya perjanjian itu diperpanjang atau dianggap


diperpanjang sesudah mereka kehilangan keanggotaan, maka mereka
hanya terikat sampai pada waktu berlakunya perjanjian itu dengan tidak
diperpanjang akan habis.

Pasal 8

Pembubaran sesuatu serikat buruh atau perkumpulan majikan yang


menyelenggarakan perjanjian perburuhan, tidak mengubah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang bersangkutan dengan perjanjian tersebut.

Pasal 9

(1) Sesuatu aturan didalam perjanjian kerja antara seorang buruh dan
seorang majikan yang bertentangan dengan perjanjian perburuhan yang
mengikat kedua mereka itu, tidak sah; didalam hal itu aturan-aturan
perjanjian perburuhan yang berlaku.

(2) Hal-hal yang tidak sah itu selalu dapat diajukan oleh tiap-tiap pihak
dalam perjanjian perburuhan.

Pasal 10

Bilamana suatu perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang


ditetapkan didalam perjanjian perburuhan yang mengikat buruh dan
majikan itu juga, maka aturan-aturan perjanjian perburuhan itulah yang
berlaku.
Pasal 11

(1)Menteri Perburuhan, setelah mendengar lebih dahulu pertimbangan


pihak-pihak yang bersangkutan, dapat menetapkan supaya seorang
majikan yang terikat oleh sesuatu perjanjian perburuhan memenuhi
sebagian atau semua aturan-aturannya, juga bilamana dia
menyelenggarakan perjanjian kerja dengan seorang buruh yang tidak
terikat perjanjian perburuhan itu.

(2) Menteri tersebut dapat pula, setelah mendengan lebih dahulu


pertimbangan pihak-pihak yang bersangkutan, menetapkan supaya
sebagian atau seluruh perjanjian perburuhan yang mengenai suatu,
lapang usaha yang tertentu, dipenuhi juga oleh buruh-buruh dan
majikan-majikan dari lapang usaha yang sama, tidak terikat oleh
perjanjian perburuhan tersebut.

(3) Didalam Peraturan Pemerintah ditetapkan aturan-aturan tentang


penetapan-penetapan tersebut pada ayat 1 dan 2.

Pasal 12

Seorang majikan atau perkumpulan majikan yang terikat oleh sesuatu


perjanjian perburuhan, tidak dapat menyelenggarakan perjanjian
perburuhan dengan serikat buruh lain, yang memuat syarat-syarat kerja
yang kurang dari pada yang termuat dalam perjanjian perburuhan yang
sudah ada.

Pasal 13

(1) Sesuatu serikat buruh yang menyelenggarakan perjanjian


perburuhan, dapat minta ganti kerugian, jika pihak yang lain pada
perjanjian itu atau seorang anggotanya bertindak bertentangan dengan
kewajibannya dalam perjanjian perburuhan tidak hanya untuk kerugian
yang dideritanya sendiri, melainkan juga untuk kerugian yang diderita
oleh anggota-anggotanya.

(2) Majikan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan, dapat minta


ganti kerugian kepada serikat buruh atau buruh, yang sengaja berbuat
bertentangan dengan kewajibannya.

Pasal 14
Bilamana kerugian itu tidak mungkin dinyatakan dengan uang, maka
pengganti kerugian itu, ditetapkan berupa sejumlah uang atas dasar
keadilan.

Pasal 15

(1) Mengenai pengganti kerugian didalam perjanjian perburuhan, dapat


ditetapkan aturan-aturan denda, yang menyimpang dari ketentuan
tersebut dalam pasal 12 dan 13.

(2) Aturan denda ini dapat diubah oleh pengadilan, bilamana kewajiban
yang dikenakan hukuman itu untuk sebagian telah dipenuhi.

Pasal 16

(1) Sesuatu perjanjian perburuhan hanya dapat diselenggarakan untuk


paling lama 2 tahun.

(2) Waktu itu dapat diperpanjang dengan paling lama 1 tahun lagi.

Pasal 17

(1)Masing-masing pihak pada Perjanjian perburuhan, karena alasan-


alasan yang memaksa, dapat minta kepada pengadilan supaya
membatalkan sebagian atau seluruhnya perjanjian itu.

(2) Sesuatu aturan didalam perjanjian itu, yang mengurangi atau


melenyapkan ketentuan pada ayat 1, adalah tidak sah.

Pasal 18

Walaupun sesuatu perjanjian perburuhan diselenggarakan untuk waktu


yang tertentu, maka jika didalam perjanjian itu tidak ada ketentuan
yang lain, perjanjian itu dianggap sebagai diperpanjang terus menurut
untuk waktu yang sama tetapi tidak lebih dari satu tahun, kecuali jika
ada pernyataan untuk mengakhiri. Pernyataan itu harus diberitahukan
sekurang-kurangnya satu bulan sebelum waktu yang dimaksudkan itu
habis.

Pasal 19
Pernyataan mengakhiri perjanjian perburuhan harus disampaikan
kepada semua pihak dalam perjanjian itu dan hanya dapat dilakukan
dengan surat tercatat.

Pasal 20

Bilamana didalam perjanjian perburuhan tidak ada ketentuan yang lain,


maka karena pernyataan untuk mengakhiri itu, perjanjian tersebut
berhenti berlaku bagi semua pihak pada perjanjian itu.

Pasal 21

Perjanjian perburuhan yang berlaku pada hari undang-undang ini mulai


berlaku, tetap berlaku sampai pada waktu berlakunya itu habis atau
perjanjian itu diubah; didalam hal itu selanjutnya harus diturut aturan-
aturan didalam undang-undang ini.

Pasal 22

Undang-undang ini disebut Undang-undang perjanjian perburuhan


tahun 1954.

Pasal 23

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.


Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan undang-undang ini dengan penempatan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 28 Mei 1954 PRESIDEN REPUBLIK


INDONESIA,

SUKARNO

Diundangkan pada tanggal 12 Juni 1954 MENTERI PERBURUHAN,

S.M. ABIDIN

MENTERI KEHAKIMAN

DJODY GONDOKUSUMO

Anda mungkin juga menyukai