Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Ketuban pecah dini (KPD) adalah keluarnya cairan dari jalan lahir/vagina sebelum
proses persalinan. Beberapa penulis mendefinisikan KPD yaitu apabila ketuban pecah spontan
dan tidak diikuti tanda-tanda persalinan, ada teori yang menghitung beberapa jam sebelum
inpartu, misalnya 1 jam atau 6 jam sebelum inpartu. Ada juga yang menyatakan dalam ukuran
pembukaan serviks pada kala I, misalnya ketuban pecah sebelum pembukaan servik pada
primigravida kurang dari 3 cm dan pada multigravida kurang dari 5 cm.1
Ada 2 komplikasi yang sering terjadi pada KPD, yaitu : pertama, infeksi, karena
ketuban yang utuh merupakan barier atau penghalang terhadap masuknya penyebab infeksi.
Dengan tidak adanya selaput ketuban seperti pada KPD, flora vagina yang normal ada bisa
menjadi patogen yang akan membahayakan baik pada ibu maupun pada janinnya. Oleh karena
itu membutuhkan pengelolaan yang agresif seperti diinduksi untuk mempercepat persalinan
dengan maksud untuk mengurangi kemungkinan resiko terjadinya infeksi. Kedua adalah
kurang bulan atau prematuritas, karena KPD sering terjadi pada kehamilan kurang bulan.
Masalah yang sering timbul pada bayi yang kurang bulan adalah gejala sesak nafas atau
Respiratory Distress Syndrome (RDS).1,2
Seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding
perut dan dinding uterus. Dewasa ini cara ini jauh lebih aman daripada dahulu berhubung
dengan adanya antibiotika, transfusi darah, teknik operasi yang lebih sempurna dan anestesi
yang lebih baik.1 WHO(World Health Organization) memperkirakan bahwa angka persalinan
dengan seksio sesarea sekitar 10-15% dari semua proses persalinan di negara-negara
berkembang dibandingkan dengan 20% di Britania Raya dan 23% di Amerika Serikat. Kanada
pada 2003 memiliki angka 21%. Data statistik dari 1990-an menyebutkan bahwa kurang dari
1 kematian dari 2.500 yang menjalani bedah caesar, dibandingkan dengan 1 dari 10.000 untuk
persalinan normal.3
Anestesi regional dapat meliputi spinal, epidural dan caudal. Anestesi spinal juga
disebut sebagai blok subarachnoid (SAB) umumnya digunakan pada operasi tubuh bagian
bawah, seperti ekstremitas bawah, perineum, maupun abdomen bagian bawah. Anestesia
regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia
regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada
pasien dengan keadaan hipovolemia.4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ketuban Pecah Dini


2.1.1. Definisi
Ketuban Pecah Dini ( amniorrhexis premature rupture of the membrane
PROM ) adalah pecahnya selaput korioamniotik sebelum terjadi proses persalinan.
Secara klinis diagnosa KPD ditegakkan bila seorang ibu hamil mengalami pecah
selaput ketuban dan dalam waktu satu jam kemudian tidak terdapat tanda awal
persalinan, dengan demikian untuk kepentingan klinis waktu 1 jam tersebut
merupakan waktu yang disediakan untuk melakukan pengamatan adanya tanda-
tanda awal persalinan. Bila terjadi pada kehamilan < 37 minggu maka peristiwa
tersebut disebut KPD Preterm (PPROM = preterm premature rupture of the
membrane - preterm amniorrhexis.5

2.1.2. Etiologi dan Faktor Risiko


Pada sebagian besar kasus, penyebabnya belum ditemukan. Faktor yang
disebutkan memiliki kaitan dengan KPD yaitu riwayat kelahiran prematur,
merokok, dan perdarahan selama kehamilan. 5,6
Beberapa faktor risiko dari KPD :
Inkompetensi serviks (leher rahim)
Polihidramnion (cairan ketuban berlebih)
Riwayat KPD sebelumya
Kehamilan kembar
Trauma
Serviks (leher rahim) yang pendek (<25mm) pada usia kehamilan 23
minggu
Infeksi 5,6

2.1.3. Gejala Klinis dan Diagnosis


Untuk mendiagnosa KPD, maka diperlukan anamnesa yang sesuai dan
mengarah, 90 % diagnosa ditentukan dari anamnesis yang di dapat. 6

2
Anamnesis dan Gejala klinis yang terjadi adalah riwayat keluarnya cairan
ketuban merembes melalui vagina. Cairan ketuban normal berwarna bening dan
mungkin sedikit keruh, Aroma air ketuban berbau manis ( tidak berbau amoniak
). Biasanya cairan ketuban dapat merembes ataupun menetes, banyak nya cairan
ketuban yang keluar kadang sedikit, kadang banyak tergantung pada kehamilan.
Apakah terdapat rasa mulas, rasa sakit pada perut, apakah terdapat perdarahan dari
jalan lahir, apakah terdapat riwayat trauma sebelumnya ( riwayat terjatuh), riwayat
koitus sebelumnya, riwayat penggunaan obat obatan. 6
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan inspekulo secara steril, yang
memperlihatkan cairan yang mengenang pada forniks posterior. 6,7
Pemeriksaan dalam perlu dihindari karena akan menyebabkan terjadinya
infeksi intrauteri, memperpendek periode laten, dan meningkatkan insiden dari
sepsis neonatorum. 6,7

2.1.4. Pemeriksaan Penunjang


a. Tes lakmus (Nitrazine)
Pemeriksaan secara langsung cairan yang merembes tersebut dapat
dilakukan dengan kertas Lakmus / nitrazine, kertas ini mengukur pH (asam-
basa). pH normal dari vagina adalah 4- 4,7 sedangkan pH cairan ketuban adalah
7,1-7,3.
Apabila cairan ketuban diperiksa oleh kertas lakmus, maka kertas Lakmus
merah akan menjadi biru karena pH Alkali / basa. Sedangkan apabila cairan
tersebut cairan vagina maka kertas lakmus berwana merah karena pH asam.
Hasil positif yang salah apabila terdapat keterlibatan trikomonas, darah,
semen, lendir leher rahim, dan air seni. Hasil yang negatif dapat ditemukan pada
KPD yang berkepanjangan dan bila cairan amnionnya sedikit.8

3
b. Ferning Test ( Cairan Amnion )
Ferning Test adalah suatu pemeriksaan pada cairan amnion (Apabila
dicurigai adanya pecahnya cairan ketuban pada kehamilan ). Tes yang dilakukan
yaitu mengambil apusan dari cairan yang diduga amnion pada kaca objek,
dibiarkan kering, dan dilihat dibawah mikroskop, dan akan terbentuk kristalisasi
yang akan tampak gambaran ferning ( daun pakis).7,8
Kedua tes tersebut sudah mengkonfirmasi KPD sebesar 99%.
Gambar 2. 2. Ferning Appearance

c. Ultrasonography ( USG )
USG dapat juga mengkonfirmasi adanya oligohidramnion akibat KPD,
tetapi keadaan ini dapat disebabkan oleh hal lain diluar KPD. Disebut
oligohidramnion bila volume cairan amnion < 500 ml pada usia kehamilan 32-
36 minggu.8
d. Amniosentesis
Sangat jarang dilakukan karena invasive. Cara Tes ini yaitu memasukkan
zat warna indigo carmine atau fluorescein, kemudian dipasang sebuah tampon
diletakkan di vagina lalu dilakukan pemeriksaan setelah 2 jam, dimana pada
tampon akan menampakkan zat warna tersebut. 8
2.1.5. Penatalaksanaan
1. Konservatif
Rawat di rumah sakit, berikan antibiotik (ampisilin 4x500mg atau
eritromisin bila tidak tahan dengan ampisilin dan metronidazol 2 x 500mg
selama 7 hari). Jika umur kehamilan kurang dari 32 34 minggu, dirawat
selama air ketuban masih keluar. Jika usia kehamilan 32 37 minggu belum
inpartu, tidak ada infeksi, tes busa negatif berikan dexametason, observasi
tanda tanda infeksi, dan kesejahteraan janin. Terminasi pada usia kehamilan
37 minggu. Jika usia kehamilan 32 37 minggu, sudah inpartu, tidak ada

4
infeksi, berikan tokolitik (salbutamol), deksametason, dan induksi setelah 24
jam. Jika usia kehamilan 32 37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan
lakukan induksi, nilai tanda tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda tanda
infeksi intrauterin). Pada usia kehamilan 32 37 minggu berikan steroid untuk
kematangan paru janin, dan bila memungkinkan periksa kadar lesitin dan
spingomietin tiap minggu. Dosis betametason 12mg sehari dosis tunggal
selama 2 hari, deksametason IM 5 mg setiap 6 jam selama 4 kali.2,8,9
2. Aktif
Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitoksin. Bila gagal seksio
sesarea. Bila tanda tanda infeksi berikan antibiotik dosis tinggi dan terminasi
persalinan. Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan pelviks, kemudian
induksi. Jika tidak berhasil lakukan seksio sesarea. Bila skor pelviks > 5
lakukan induksi persalinan.9

Catatan :
1. Riwayat medis : Waktu dan kuantitas bocor atau basah, minggu
kehamilan, riwayat kehamilan dari PROM, dll
2. Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan fisik: Hindari pemeriksaan dalam
kecuali persalinan aktif. Gunakan pemeriksaan spekulum steril untuk:

5
Periksa secara visual untuk servisitis, prolaps tali pusat, atau prolaps
janin
Menilai dilatasi serviks dan penipisan
Mendapatkan kultur yang diperlukan
Secara visual memastikan diagnosis PROM
3. Test: jika diagnosis PROM tidak dapat ditegakkan secara visual:
Uji pH cairan dari vagina posterior forniks
Carilah apakah ada cairan yang keluar dari dari vagina posterior fornik
Pertimbangkan USG, untuk memeriksa volume cairan ketuban, untuk
menilai berat janin, usia kehamilan, dan presentasi; untuk memeriksa
kelainan anatomi.9

2.1.6. Komplikasi
a. Korioamnionitis
Risiko infeksi meningkat pada kejadian KPD. Semua ibu hamil dengan
KPD prematur sebaiknya dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya
korioamnionitis (radang pada korion dan amnion). 8,9
Infeksi intrapartum adalah infeksi yang terjadi dalam masa persalinan
/ in partu. Disebut juga Korioamnionitis, karena infeksi ini melibatkan selaput
janin. Pada ketuban pecah 6 jam, risiko infeksi meningkat 1 kali. Ketuban
pecah 24 jam, risiko infeksi meningkat sampai 2 kali lipat. Dianjurkan paling
lama 2 x 24 jam setelah ketuban pecah, harus sudah partus. 8,9
Patofisiologi infeksi intrapartum yaitu Ascending infection, pecahnya
ketuban menyebabkan ada hubungan langsung antara ruang intraamnion
dengan dunia luar, Infeksi intraamnion bisa terjadi langsung pada ruang
amnion, atau dengan penjalaran infeksi melalui dinding uterus, selaput janin,
kemudian ke ruang intraamnion, jika ibu mengalami infeksi sistemik, infeksi
intrauterin menjalar melalui plasenta (sirkulasi fetomaternal), dan tindakan
iatrogenik traumatik atau higiene buruk, misalnya pemeriksaan dalam yang
terlalu sering. 8,9
Diagnosis infeksi intrapartum
o Demam
o Nadi Ibu takikardia (>100 denyut per menit)

6
o Fetal takikardia (>160 denyut per menit)
o Nyeri abdomen dan Nyeri tekan uterus
o Cairan amnion berwarna keruh atau hijau dan berbau
o Leukositosis pada pemeriksaan darah tepi (>15000-20000/mm3)
o Pemeriksaan penunjang lain : leukosit esterase (+)9
Komplikasi infeksi intrapartum:
Komplikasi pada ibu : Endometritis, penurunan aktifitas miometrium
(atonia), sepsis (karena daerah uterus dan intraamnion memiliki vaskularisasi
sangat banyak), dapat terjadi septic syok sampai kematian ibu. 9
Komplikasi pada janin : Asfiksia janin, sepsis perinatal sampai
kematian janin. 9

2.2. Anestesi Blok Subaraknoid (Anestesi Spinal)


2.2.1. Definisi
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal
atau blok subaraknoid disebut juga sebagai analgesi atau blok spinal intradural
atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat
analgesik lokal ke dalam ruang subaraknoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau
L3-L4 atau L4-L5. Jarum spinal hanya dapat diinsersikan di bawah lumbal 2 dan
di atas vertebra sakralis. Batas atas ini dikarenakan adanya ujung medula spinalis
dan batas bawah dikarenakan penyatuan vertebra sakralis yang tidak
memungkinkan dilakukan insersi. 4,10
2.2.2. Anatomi Tulang Belakang
Untuk mempelajari kelainan Tulang Belakang atau Tulang Punggung seperti
scoliosis terlebih dahulu kita harus mengenal anatominya.

7
Tulang punggung atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang
membentuk punggung yang mudah digerakkan, terdapat 33 tulang punggung
pada manusia, 5 diantaranya bergabung membentuk bagian sacral, dan 4 tulang
membentuk tulang ekor (coccyx). Tiga bagian di atasnya terdiri dari 24 tulang
yang dibagi menjadi 7 tulang cervical (leher), 12 tulang thorax (thoraks atau dada)
dan, 5 tulang lumbal. Banyaknya tulang belakang dapat saja terjadi
ketidaknormalan. Bagian terjarang terjadi ketidaknormalan adalah bagian
punggung.11
Struktur umum
Sebuah tulang punggung terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang
terdiri dari badan dan tulang atau corpus vertebrae dan bagian posterior yang
terdiri dari arcus vertebrae. Arcus vertebrae dibentuk oleh dua kaki atau
pediculus dan dua lamina, serta didukung oleh penonjolan atau procesus yakni
procesus articularis, procesus transversus, dan procesus spinosus. Procesus
tersebut membentuk lubang yang disebut foramen vertebrale. Ketika tulang
punggung disusun, foramen ini akan membentuk saluran sebagai tempat sumsum
tulang belakang atau medulla spinalis. Di antara dua tulang punggung dapat
ditemui celah yang disebut foramen intervertebrale.11

Tulang punggung cervical


Secara umum memiliki bentuk tulang yang kecil dengan spina atau
procesus spinosus (bagian seperti sayap pada belakang tulang) yang pendek,
kecuali tulang ke-2 dan 7 yang procesus spinosusnya pendek. Diberi nomor sesuai
dengan urutannya dari C1-C7 (C dari cervical), namun beberapa memiliki sebutan
khusus seperti C1 atau atlas, C2 atau aksis.11

8
Tulang punggung thorax
Procesus spinosusnya akan berhubungan dengan tulang rusuk. Beberapa
gerakan memutar dapat terjadi. Bagian ini dikenal juga sebagai tulang
punggung dorsal. Bagian ini diberi nomor T1 hingga T12.11
Tulang punggung lumbal
Bagian ini (L1-L5) merupakan bagian paling tegap konstruksinya dan
menanggung beban terberat dari yang lainnya. Bagian ini memungkinkan
gerakan fleksi dan ekstensi tubuh, dan beberapa gerakan rotasi dengan derajat
yang kecil.11
Tulang punggung sacral
Terdapat 5 tulang di bagian ini (S1-S5). Tulang-tulang bergabung dan
tidak memiliki celah atau diskus intervertebralis satu sama lainnya.11
Tulang punggung coccygeal
Terdapat 3 hingga 5 tulang (Co1-Co5) yang saling bergabung dan tanpa
celah.11
2.2.3. Indikasi dan Kontraindikasi:
Indikasi :
Bedah ekstremitas bawah
Bedah panggul
Tindakan sekitar rektum perineum
Bedah obstetrik-ginekologi
Bedah urologi
Bedah abdomen bawah
Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan
dengan anesthesia umum ringan. 4,12
Kontraindikasi absolut:
Pasien menolak
Infeksi pada tempat suntikan
Hipovolemia berat, syok
Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
Tekanan intrakranial meningkat
Fasilitas resusitasi minim
Kurang pengalaman atau tanpa didampingi konsulen anestesi. . 4,10,12

9
Kontra indikasi relatif:
Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
Infeksi sekitar tempat suntikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronis. 4,12

2.2.4. Persiapan dan peralatan analgesia spinal :


Persiapan analgesia spinal:
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada
anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan
menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau
pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu
perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
1. Informed consent (izin dari pasien)
Tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal.
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung.
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, trombosit, PT (prothrombine time) dan APTT (activated
partial thromboplastine time). 4,12
Peralatan analgesia spinal:
1. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut dan EKG.
2. Peralatan resusitasi/anestesi umum
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, quinckebacock)
atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point whitecare). . 4,12

10
2.2.5. Teknik analgesia spinal :
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat. . 4,12
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah
teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis krista iliaka,
misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko
trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3
ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit
10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor
yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi
menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda
yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar
arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat
dimasukan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum
dewasa 6cm. . 4,10,12

11
2.2.6. Anestesi Lokal untuk Anastesi Spinal :
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-
1.008. Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobaric.
Anastetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik.
Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik. . 4,12
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
- Lidokain (xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis 20-
100 mg (2-5ml).
- Lidokain (xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003,
sifat hiperbarik, dosis 20-50 mg (1-2 ml).
- Bupivakain (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis
5-20 mg
- Bupivakain (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15 mg (1-3 ml). . 4,12
Bupivakain
Obat anestetik lokal yang sering digunakan adalah prokain, tetrakain,
lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran
obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat
lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat
ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari
area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang
sama di tempat penyuntikan. . 4,12
Bupivakain adalah obat anestetik lokal yang termasuk dalam golongan amino
amida. Bupivakain diindikasi pada penggunaan anestesi lokal termasuk anestesi
infiltrasi, blok serabut saraf, anestesi epidura dan anestesi intratekal. Bupivakain
kadang diberikan pada injeksi epidural sebelum melakukan operasi athroplasty
pinggul. Obat tersebut juga biasa digunakan untuk luka bekas operasi untuk
mengurangi rasa nyeri dengan efek obat mencapai 20 jam setelah operasi. . 4,12
Bupivakain dapat diberikan bersamaan dengan obat lain untuk
memperpanjang durasi efek obat seperti misalnya epinefrin, glukosa, dan fentanil
untuk analgesi epidural. Kontraindikasi untuk pemberian bupivakain adalah
anestesi regional IV (IVRA) karena potensi risiko untuk kegagalan tourniket dan
adanya absorpsi sistemik dari obat tersebut. . 4,12

12
Bupivakain bekerja dengan cara berikatan secara intaselular dengan natrium
dan memblok influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya
depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri
mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung mielin, maka
bupivakain dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri
dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang
mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal. 4,10,12
2.2.7. Komplikasi Anastesi Spinal :
Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi tindakan dan
komplikasi pasca tindakan.
Komplikasi tindakan :
1. Hipotensi berat4,10,12
Efek samping penggunaan anestesi spinal salah satunya adalah
terjadinya hipotensi. Kejadian hipotensi pada tindakan anestesi spinal
merupakan manifestasi fisiologis yang biasa terjadi. Hal ini terjadi karena : (1)
Penurunan darah balik, penurunan secara fungsional volume sirkulasi efektif
karena venodilatasi, dan penumpukan darah. (2) Penurunan tahanan pembuluh
darah sistemik karena vasodilatasi dan (3) Penurunan curah jantung karena
penurunan kontraktilitas dan denyut jantung.
Mekanisme utama penyebab hipotensi setelah anestesi spinal adalah
blok simpatis yang menyebabkan dilatasi arteri dan vena. Dilatasi arteri
menyebabkan penurunan tahanan perifer total dan tekanan darah sistolik
sampai 30%. Dilatasi vena dapat menyebabkan hipotensi yang berat sebagai
akibat penurunan aliran balik vena dan curah jantung. Tetapi sebetulnya hal
ini tidak boleh terjadi karena ketika terjadi hipotensi, perfusi organ menjadi
tidak adekuat sehingga oksigenasinya tidak adekuat. Hal ini sangat berbahaya
pada pasien dengan kelainan pembuluh coroner (misalnya pada geriatri).
Dikatakan hipotensi jika terjadi penurunan tekanan darah sistolik, biasanya 90
atau 100 mmhg, atau penurunan prosentase 20% atau 30% dari biasanya. Dan
lamanya perubahan bervariasi dari 3 sampai 10 menit. Oleh karena itu kejadian
hipotensi harus dicegah.
Ada beberapa cara untuk mencegah atau mengatasi hipotensi akibat
spinal anestesi adalah dengan pemberian cairan prabeban yaitu Ringer Laktat
(RL) dan atau obat vasopressor salah satunya dengan pemberian efedrin.

13
Efedrin merupakan vasopresor pilihan yang digunakan pada anestesi obstetric
sebagai obat yang diberikan untuk mencegah hipotensi akibat anestesi spinal.
Efedrin adalah obat sintetik non katekolamin yang mempunyai aksi langsung
yang menstimuli reseptor 1, 2, 1 adrenergik dan aksi tak langsung dengan
melepaskan nor-epinefrin endogen.
Efedrin akan menyebabkan peningkatan cardiac output, denyut
jantung dan tekanan darah sistolik maupun diastolik. Menurunkan aliran darah
splanikus dan ginjal tetapi meningkatkan aliran darah ke otak dan otot.
Pemberian efedrin dapat secara subkutan, intra muskuler, bolus intravena, dan
infus kontinyu dan pada praktek sehari-hari, efedrin diberikan secara bolus IV
5-10mg bila terjadi hipotensi akibat anestesi spinal. 4,10,12
2. Bradikardia
Efek samping kardiovaskuler, terutama hipotensi dan bradikardi adalah
perubahan fisiologis yang paling penting dan sering pada anestesi spinal.
Pemahaman tentang mekanisme homeostasis yang bertujuan untuk
mengontrol tekanan darah dan denyut jantung penting untuk merawat
perubahan kardiovaskuler terkait dengan anestesi spinal.
Perubahan frekuensi denyut nadi merupakan salah satu tanda vital pada
anestesi spinal. Frekuensi denyut nadi yang tidak stabil dapat menyebabkan
bradikardi apabila terdapat penurunan frekuensi denyut nadi yang berlebihan.
Karena itu pemilihan obat anestesi spinal merupakan hal yang penting
mengingat adanya efek-efek yang ditimbulkan. Apabila terjadi penurunan
tekanan darah dan frekuesi denyut nadi yang berlebihan dapat digunakan
efedrin yang berfungsi berdasarkan reseptor adrenergik yang menghasilkan
respon simpatis. Oleh karena efedrin dapat menyebabkan vasokonstriksi
perifer, sehingga pada penggunaan klinis efedrin meningkatkan tekanan darah
dan frekuensi denyut nadi. 4,10,12
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total

14
Faktor yang mempengaruhi tinggi blok anestesi spinal:
Volume obat analgetik lokal makin besar makin tinggi daerah analgesia
Konsentrasi obat makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
Barbotase penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas
daerah analgetik
Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang
tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan : 3 detik untuk 1 ml
larutan.
Maneuver valsava : mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
Tempat pungsi : pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul kekaudal (saddle block) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.
Berat jenis larutan : hiper, iso atau hipo barik.
Tekanan abdominal yang meningkat : dengan dosis yang sama didapat
batas analgesia yang lebih tinggi.
Tinggi pasien : makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin
besar dosis yang diperlukan (berat badan tidak berpengaruh terhadap dosis
obat)
Waktu : setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan
analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah
dengan posisi pasien.
Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motoris
dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi. 4,10,12

Komplikasi pasca tindakan :


1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
Sakit kepala pascaspinal anestesi mungkin disebabkan karena adanya
kebocoran likuor serebrospinal. Makin besar jarum spinal yang dipakai,
semakin besar kebocoran yang terjadi, dan semakin tinggi kemungkinan
terjadinya sakit kepala pascaspinal anestesi. Bila duramater terbuka bisa terjadi

15
kebocoran cairan serebrospina l sampai 1-2 minggu. Kehilangan CSS
sebanyak 20 ml dapat menimbulkan terjadinya sakit kepala. Post spinal
headache (PSH) ini pada 90% pasien terlihat dalam 3 hari postspinal, dan pada
80% kasus akan menghilang dalam 4 hari. Supaya tidak terjadi postspinal
headache dapat dilakukan pencegahan dengan :
Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no. 25,27,29).
Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater sehingga
jarum tidak merobek dura tetapi menyisihkan duramater.
Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama 3 hari, hal
ini akan menambah produksi CSF sebagai pengganti yang hilang.
Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan :
Memakai abdominal binder
Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu sendiri di ruang
epidural tempat kebocoran.
Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari.
Kejadian post spinal headache10-20% pada umur 20-40 tahun; >10% bila
dipakai jarum besar (no. 20 ke bawah); 9% bila dipakai jarum no.22 ke atas.
Wanita lebih banyak yang mengalami sakit kepala daripada laki-laki.
4. Retensio urine
5. Meningitis. 4,10,12

2.2.8. Persiapan dan Penilaian Pra Anastesia


Persiapan Tindakan Anestesi
Dokter anestesi memberi salam kepada pasien dan memperkenalkan dirinya.
Memeriksa identitas pasien, bila perlu: tanggal lahir, jenis dan lokasi operasi
(misalnya, lutut kanan).
Bertanya mengenai kapan pasien makan terakhir kali
Memeriksa mulut dan keadaan gigi (dalam keadaan terbuka).
Memasang alat monitor standar: EKG, oksimetri nadi, pengukur tekanan
darah arteri. 4,10,12
Tujuan utama kunjungan pra anesthesia ialah untuk mengurangi angka
kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan. 4,10,12

16
Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum
pasien menjalani suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan, dilakukan
wawancara (anamnesis) sepertinya menanyakan apakah pernah mendapat
anestesi sebelumnya, adakah penyakit-penyakit sistemik, saluran napas, dan
alergi obat. Kemudian pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi-
geligi, tindakan buka mulut, ukuran lidah, leher kaku dan pendek. Perhatikan juga
hasil pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai dengan penyakit yang sedang
dicurigai, misalnya pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa pendarahan, masa
10,12
pembekuan), radiologi, EKG.
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan
dengan status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).
- Kelas I : Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
- Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
- Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.
- Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat. Melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupan setiap saat.
- Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat huruf E (E = EMERGENCY). 10,12

2.3. Anestesi untuk Operasi Sesar 13


Sarana dan Prasarana
Tersedianya sarana dan prasarana untuk persiapan operasi, persiapan tatalaksana bila
terjadi komplikasi, hingga tatalaksana pemulihan dari efek regional anestesi maupun
anestesi umum. 13
Pemilihan Anestesi (Umum/Spinal/Epidural/CSE)
Penelitian randomized controlled trial pada penggunaan teknik anestesi epidural
dibandingkan dengan anestesi umum, didapatkan APGAR score yang lebih tinggi
pada penggunaan tekik anestesi epidural. Tidak ada perbedaan APGAR score pada
penggunaan anestesi umum dibandingkan dengan anestesi spinal. Penggunaan teknik

17
anestesi spinal, epidural maupun CSE juga tidak memiliki perbedaan yang bermakna
pada APGAR score, waktu persalinan, maupun efek hipotensi. 13
Setiap teknik yang digunakan harus mempertimbangkan risiko anestesi, risiko ibu dan
fetus. Teknik regional anestesi lebih disarankan dibandingkan anestesi umun, anestesi
umum dilakukan dengan pertimbangan seperti terjadinya bradikardi pada fetus, ruptur
uterus, perdarahan masif, abrupsio plasenta, prolaps tali pusat, dan bayi prematur letak
kaki. 13
Penatalaksanaan uterus displacement dilakukan selama jalannya operasi.
Cairan Intravena
Pemberian cairan intravena dapat mengurangi risiko hipotensi maternal setelah
dilakukannya anestesi spinal pada operasi sesar. Pemberian cairan ini tidak akan
mempengaruhi anestesi spinal yang dilakukan. 13
Efedrin dan Fenilefedrin
Pemberian efedrin maupun fenilefedrin dapat digunakan untuk hipotensi akibat teknik
regional anestesi. Bila tidak terdapat bradikardi pada ibu hamil, pemberian
fenilefedrin lebih disarankan untuk meningkatkan fetal acid base untuk persalinan
tanpa komplikasi. 13
Pemberian Opioid pada Anestesi Regional untuk Analgesik Postoperatif
Pemberian opioid pada saat dilakukan anestesi lebih disarankan dibandingkan
pemberian opioid secara intravena. 13

18
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : Ny. Fitri H. Sihotang
Umur : 28 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Berat Badan : 62 kg
Tinggi Badan : 158 cm
Agama : Kristen Protestan
Tanggal masuk rumah sakit : 25 Maret 2017
Tanggal operasi : 25 Maret 2017

3.2. Anamnesis
Keluhan utama:
Keluar air-air dari jalan lahir

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien G2P1A0 hamil 40 minggu, datang dengan keluhan keluar air ketuban banyak sejak
10 jam SMRS, pasien mengaku air ketuban keluar seperti air kencing berwarna bening
lumayan banyak, cairan tidak berbau, tidak ada darah yang keluar, pasien tidak merasakan
adanya rasa mules dan tidak ada sakit perut. Pasien tidak ada riwayat trauma atau terjatuh.
Tidak ada riwayat koitus pada hari sebelumnya. BAB dan BAK normal, pasien tidak
pernah mengalami kejadian seperti ini sebelumnya, pasien tidak ada keluhan pusing, tidak
ada mual, tidak ada riwayat kaki bengkak sebelumnya, pasien tidak ada riwayat keputihan,
tidak ada riwayat kencing panas dan tidak ada demam.

Riwayat Penyakit Sebelumnya :


Tidak ada riwayat hipertensi
Tidak ada riwayat asma
Tidak ada riwayat Diabetes mellitus, penyakit jantung, dan penyakit serius lainnya.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Riwayat Diabetes Melitus pada keluarga (-). Tidak ada riwayat penyakit hipertensi, asma
dalam keluarga.

19
Riwayat Obat Yang Diminum:
Riwayat mengkonsumsi obat-obatan disangkal oleh pasien.

Riwayat Alergi:
Riwayat alergi obat Ceftriaxone (+)

Riwayat Anestesi dan Pembedahan Sebelumnya:


Riwayat operasi Sectio Caesarea pada tahun 2012

Riwayat obstetrik:
Pasien saat ini G2P1A0 dengan usia kehamilan 40 minggu.
Anak Pertama : Lahir Cukup umur, di Rumah Sakit, melalui Sectio Cesarea, tidak ada
penyulit melahirkan lainya.

3.3. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : baik
Kesadaran : composmentis
BB sebelum hamil : 59 kg
BB saat hamil : 62 kg
LILA : 29 cm
TB : 158 cm
Tanda-tanda vital
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 90 x/menit
RR : 20 x/menit
Temp : 36,50C
IMT : 24,83 Kg/m2 (Normal)
Sianosis : Tidak ada
Udema umum : Tidak ada
Kulit
Warna : sawo matang
Efloresensi :(-)
Jaringan parut : Tidak ada
Pigmentasi : Tidak ada

20
Pertumbuhan rambut : Distribusi baik merata
Lembab/kering : Kering
Suhu raba : Hangat
Pembuluh darah : Tidak ada pelebaran pembuluh darah
Keringat : Umum
Turgor : Baik
Ikterus : Tidak
Lapisan lemak : Normal
Kelenjar Getah Bening
Submandibula : Tidak teraba membesar
Supraklavikula : Tidak teraba membesar
Lipat paha : Tidak teraba membesar
Leher : Tidak teraba membesar
Ketiak : Tidak teraba membesar
Kepala
Ekspresi wajah : Gelisah Simetri muka : Simetris
Rambut : Hitam dan merata
Mata
Exopthalamus : Tidak ada Enopthalamus : Tidak ada
Kelopak : Udema ( - ) Lensa : Jernih
Konjungtiva : Anemis ( - ) Visus : Tidak dilakukan
Sklera : Ikterik ( - ) Nistagmus : Tidak ada
Lapangan penglihatan : Normal Tekanan bola mata : Normal
Gerak bola mata : Normal
Telinga
Tuli : -/- Selaput pendengaran : Utuh
Lubang : Liang telinga lapang Penyumbatan : -/-
Serumen : +/+ Perdarahan : -/-
Cairan : -/-
Mulut
Bibir : Tidak sianosis, kering
Tonsil : T1/T1
Langit-langit : Tidak ada kelainan
Bau pernpasan : Tidak ada

21
Gigi geligi : Tidak lengkap
Trismus : Tidak ada
Faring : Tidak hiperemis
Selaput lendir : Normal
Lidah : Tidak tampak atrofi papil lidah
Mallampati :1
Leher
JVP : 5+1 cmH2O
Kelenjar tiroid : Tidak tampak membesar
Kelenjar limfe kanan : Tidak tampak membesar
Dada
Bentuk : Simetris
Pembuluh darah : Tidak tampak pelebaran, tidak ada spider nevi
Buah dada : Simetris, normal
Paru-paru
Depan Belakang
Simetris saat statis dan Simetris saat statis dan
Kiri
dinamis dinamis
Inspeksi
Simetris saat statis dan Simetris saat statis dan
Kanan
dinamis dinamis
- Tidak ada benjolan - Tidak ada benjolan
Kiri
- Fremitus simetris - Fremitus simetris
Palpasi
- Tidak ada benjolan - Tidak ada benjolan
Kanan
- Fremitus simetris - Fremitus simetris
Kiri - Redup - Redup
Perkusi
Kanan - Redup - Redup
- Suara bronkial - Suara bronkial
Kiri - Tidak ada wheezing - Tidak ada wheezing
- Tidak ada Ronkhi - Tidak ada Ronkhi
Auskultasi
- Suara bronkial - Suara bronkial
Kanan - Tidak ada wheezing - Tidak ada wheezing
- Ronkhi basah halus - Ronkhi basah halus

22
Jantung
Inspeksi Tampak pulsasi iktus cordis
Teraba iktus cordis pada ICS V, 2 jari sebelah lateral dari garis
Palpasi
midklavikula kiri
- Batas kanan : ICS IV linea sternalis kanan
Perkusi - Batas kiri : ICS V linea midklavikula kiri
- Batas atas : ICS II linea parasternal kiri
Auskultasi Bunyi jantung I-II murni reguler, Gallop (-), Murmur (-)

Perut
1) Inspeksi
Tidak ada luka bekas operasi, pembesaran perut sesuai usia kehamilan, tidak ada strie
gravidarum.
2) Palpasi
Leopold I : TFU pertengahan antara pusat dan Px, pada fundus teraba bagian
yang agak keras tapi tidak melenting berarti bokong. TFU: 31cm
Leopold II : Sebelah kiri teraba seperti paparan keras memanjang yang berarti
punggung janin. Sedangkan bagian kanan teraba bagian-bagian
kecil yang berarti ektremitas
Leopold III : Bagian terendah teraba bulat, keras dan melenting berarti kepala-
kepala sebagian sudah masuk PAP.
Leopold IV : Bagian terendah janin sudah masuk PAP, divergen
3) Auskultasi
BJJ: 138x/menit teratur
4) Gynekologi
Ano genital:
Inspeksi : Pengeluaran pervaginam : blood (-)
Vulva vagina : tak
Inspekulo : Vagina: tak
Vaginal toucher : Portio tebal lunak. 1 cm

23
Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot
Tonus : baik baik
Massa : tidak ada tidak ada
Sendi : tidak ada kelainan tidak ada kelainan
Gerakan : aktif aktif
Kekuatan : +5 +5
Oedem : tidak ada tidak ada
Lain-lain : tidak ada tidak ada
Petechie : tidak ada tidak ada
Tungkai dan Kaki Kanan Kiri
Luka : tidak ada tidak ada
Varises : tidak ada tidak ada
Otot
Tonus : baik baik
Massa : tidak ada tidak ada
Sendi : baik baik
Gerakan : aktif aktif
Kekuatan : +5 +5
Oedem : tidak ada tidak ada
Lain-lain : tidak ada tidak ada
Petechie tidak ada tidak ada

3.4. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap 25 Maret 2017
Hemoglobin 12,4 g/dl
Leukosit 12.600/mm3
Trombosit 157.000/mm3
CT 830
BT 330

24
3.5. Status Anestesi
3.5.1. Persiapan Anestesi
Informed consent, Surat Ijin Operasi, pasang IV line dan pastikan IV line mengalir
dengan lancar, puasa, ganti baju, transportasi, pasang monitor, dan dilaporkan ke
supervisor.
3.5.2. Laporan Anestesi
PS. ASA : II E (Pasien Obstetri)
Hari/Tanggal : 25 Maret 2017
Ahli Anestesiologi : dr. F. N. Sp.An
Ahli Bedah : dr. L. W, Sp.OG
Diagnosa Pra Bedah : G2P1A0 Hamil 40-42 minggu, Janin Presentasi
Kepala Tunggal Hidup, BSC 1X, KPD 10 jam
Diagnosa Pasca Bedah : P2A0 Hamil 40-42 minggu, Janin Presentasi Kepala
Tunggal Hidup, BSC 1X, KPD 10 jam
Keadaan Pra Anestesi
KU : Tampak baik
Makan terakhir : 6 jam yang lalu
TTV : TD : 120/70 mmHg,N:86 x/m, SB: 37,0oC, RR :22 x/m
SpO2 : 100 %
B1 Airway: bebas, gigi goyah (-), gigi palsu (-),
malampati score : I,
: Breathing: thorax simetris, ikut gerak napas, RR: 20
x/m, perkusi: sonor, suara napas vesikuler +/+, ronkhi-
/-, wheezing -/-,
B2 Perfusi: hangat, kering, merah. Capilarry Refill Time
: < 2 detik, BJ: I-II murni regular, konjungtiva anemis
-/-
B3 Kesadaran Compos Mentis, GCS: 15 (E4V5M6),
:
riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-)
B4 : Terpasang DC : Urin pre op 150 cc, kuning jernih.
B5 Cembung, Peristaltik (+) normal, Soepel, hepar dan
:
lien tidak teraba membesar, DJJ : 132-142 x/m
B6 : Akral hangat, edema (-), deformitas (-)

25
Jenis Pembedahan : Sectio Cesarea
Lama Operasi : 90 menit (10.45-12.00 WIT)
Jenis Anestesi : Regional Anestesi Subarakhnoid Blok Anestesi
Premedikasi : -
Induksi : Bupivakain 0,5% 15 mg
Nasal O2 4 Lpm, Efedrin 5 mg, Efedrin 10 mg, Asam
Maintenance :
Traneksamat 500 mg
Teknik Anestesi :
Pasien duduk di meja operasi dan kepala menunduk,
dilakukan aseptik di sekitar daerah tusukan yaitu di
regio vertebra lumbal 3-4, dilakukan blok subaraknoid
(injeksi Decain 0,5 % 20 mg) dengan jarum spinal
No.27 pada regio vertebra antara lumbal 3-4, Cairan
serebro spinal keluar (+) jernih, dilakukan blok.

Pernafasan : Respirasi terkontrol

Posisi : Tidur terlentang


Infus : Tangan Kanan, IV line abocath 18 G, cairan RL
Penyulit pembedahan : -
Tanda vital pada akhir : TD : 110/70 mmHg N:82 x/m, SB: 36,0, RR: 24
x/m, SpO2: 100%

Medikasi : -

3.6. Terapi Cairan Perioperatif


Pre Operatif Durante Operatif
Maintenance Maintenance
Kebutuhan cairan per 24 jam Penguapan saat operasi sedang berlangsung:
10 x 100 = 1000 = 2-4 cc/kgBB/jam = 4 cc x 62 kg x 90 menit
10 x 50 = 500 = 22,3cc

26
42 x 20 = 840 EBV
2340 = 65 cc x kgBB = 65 x 62 kg
Kebutuhan cairan per jam: = 4030 cc
= 95,8 cc/ jam EBL
ABL = 10% EBV = 403
Input 20% EBV = 806
Infus : Ringer Laktat 500 cc 30% EBV = 1209
Input
Output Infus : Ringer Laktat 2000cc
Urin = 150 cc Output
Perdarahan = 1050 cc
IWL = 15 x 62 kg x 1,5= 1395 cc Urin = 600 cc
IWL/jam = 1395 / 24 jam
= 58,1 cc/jam

27
BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang pasien, perempuan, umur 28 tahun hamil aterm, berdasarkan kasus di atas
menjalani sectio cesarea dengan regional anestesi subarakhnoid blok anestesi. Berdasarkan
pemeriksaan preoperative pasien digolongkan pada PS ASA II E sesuai dengan klasifikasi
penilaian status fisik menurut The American Society of Anesthesiologist. Ini disimpulkan
karena pasien berada dalam keadaan stabil namun pasien adalah pasien obstetri.
Pada pasien ini kemudian dilakukan tindakan sectio cesarea dengan menggunakan anestesi
blok subarakhnoid (SAB). Anestesi blok subaraknoid berdasarkan indikasi anestesi blok
subaraknoid digunakan pada, bedah ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan sekitar
rektum perineum, bedah obstetrik-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah, pada
bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan anesthesia umum
ringan. Anestesi blok subaraknoid banyak digunakan karena relatif murah, pengaruh sistemik
minimal, menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan mencegah respon stress lebih
sempurna. Pasien ini menggunakan anastesi spinal karena aman untuk janin, pasien sadar
sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi, pengaruh terhadap bayi sangat
minimal, dan tangisan bayi yang baru dilahirkan merupakan kenikmatan yang ditunggu oleh
seorang ibu, disertai jalinan psikologik berupa kontak mata antara ibu dan anak dan
penyembuhan rasa sakit pasca operasi.
Untuk tatalaksana anestesi pada kasus ini, digunakan anestesi blok subarakhnoid dengan
Bupivakain 0,5% HCl 15 mg. Bupivakain merupakan anestesi lokal isobarik. Bupivakain
bekerja dengan cara berikatan secara intraselular dengan natrium dan memblok influk natrium
kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang
menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung
mielin, maka bupivakain dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri
dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai selubung
mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal. Anestesi local bupivakain dengan masa kerja yang
panjang. Efek analgesia bupivakain lebih panjang dari lidokain dan mepivakain. Bupivakain
0,5% paling sering digunakan pada anestesi regional. Salah satu efek samping anestesi blok
subaraknoid adalah hipotensi. Untuk mencegah hipotensi pasien diberi cairan prabeban yaitu
Ringer Laktat sebanyak 500 ml. Hal ini dikarenakan cairan kristaloid ini mudah didapat,

28
komposisi menyerupai plasma (acetated ringer, lactated ringer), bebas reaksi anafilaksis, dan
dari segi biayanya lebih ekonomis.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai critical point dalam tatalaksana anestesi
pada pasien ini.
Problem
Actual Potensial Planning
List
B1 Airway: bebas Kesulitan Intubasi O2 nasal atau masker
Breathing: napas dikontrol, sesuai saturasi O2, chin
thoraks simetris, perkusi: lift, Jika harus dilakukan
sonor, suara napas vesikuler intubasi maka dengan
+/+, rhonki -/-, wheezing -/- teknik:
pemasangan fiber optic
intubation, pemadangan
laringeal mask airway
menurut brain, intubasi
retrograde, trakeostomi.
B2 Perfusi hangat, kering, Syok Hipovolemik, Resusitasi tepat,
merah, Capilary Refill Time Hipotensi karena Monitoring vital sign,
< 2 detik, BJ I-II murni, penggunaan anestesi efedrin 5 mg (efek
regular, konjungtiva anemis spinal vasokonstriksi
(-/-). epinefrin)
B3 Kesadaran Compos Mentis, Hipoksia Pemberian O2 nasal
GCS: 15 (E4V5M6), riwayat Hipotermi atau masker sesuai
kejang (-), riwayat pingsan Eklampsia saturasi O2
(-) Ventilasi
Obs. TTV dan tanda
eklampsia
B4 Terpasang DC, produksi urin Oliguria Anuria Rehidrasi, observasi
500 cc, warna kuning jernih Dehidrasi produksi urin

B5 Membesar sesuai usia Risiko refluks Pemberian obat AH2


kehamilan, nyeri tekan (-), gastroesofageal saat blocker dan anti muntah
timpani, BU (+) normal, intubasi dan ekstubasi

29
Denyut jantung janin 120-150
x/mnt, BAB (+), mual (-),
muntah (-).
B6 Edema (-) fraktur (-) Edema Posisikan pasien dengan
deformitas (-) tepat, pantau Capillary
refill time pada distal
kedua tungkai bawah

Selain penentuan pemilihan anestesi yang sesuai pada pasien ini, juga dipertimbangkan
mengenai terapi cairan selama masa perioperatif. Terapi cairan sendiri adalah tindakan untuk
memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-batas fisiologis dengan cairan infus krsitaloid
atau koloid secara intravena.
Pre Operatif Durante Operatif
Maintenance Maintenance Operasi (O):
Kebutuhan cairan per 24 jam Penguapan saat operasi sedang berlangsung:
10 x 100 = 1000 = 4 cc/kgBB/jam = 372 cc
10 x 50 = 500 Lama Puasa (P):
42 x 20 = 840 6 x 95,8cc = 574,8
2340 Pemberian pada jam pertama:
Kebutuhan cairan per jam: M + 1/2P + O
= 95,8 cc/ jam = 95,8 + (574,8)+372
Input =755,2 cc
Infus : Ringer Laktat 500cc Pemberian pada jam kedua:
M+1/4P+O
Output = 95,8+1/4(574,8)+372
Urin = 150 cc =611,5 cc
IWL = 15 x 62 kg x 1,5= 1395 cc EBV
IWL/jam = 1395 / 24 jam = 65 cc x kgBB = 65 x 62 kg
= 58,1 cc/jam = 4030 cc
Pre operatif 6 jam sehingga IWL 6 EBL
jam adalah 348,6 cc 30% EBV = 1209
Input
Infus : Ringer Laktat 2000 cc

30
Output
Perdarahan = 1050 cc
Urin = 600 cc
IWL = 58,1 / jam
Total IWL selama operasi selama 1 jam
adalah 58,1 cc / jam
Aktual Cairan yang diberikan: Aktual Cairan yang diberikan:
Ringer Laktat : 500cc Ringer Laktat 2000 cc

Balans Aktual Balans Aktual


Input Output = Input Output =
500 cc 498,6 cc = + 1,4 cc 2000 cc 1688,75 cc = + 291,9 cc

31
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serat pemeriksaan penunjang
didapatkan diagnosis G2P1A0 Hamil 40-42 minggu, Janin Presentasi Kepala
Tunggal Hidup, BSC 1x, KPD 10 jam, yang dilakukan tindakan Sectio Cesarea
dengan Regional Anestesi Subarakhnoid Blok Anestesi.
2. Pemilihan anestesi ini sudah sesuai indikasi, dengan Subarakhnoid Blok Anestesi
dapat dilakukan tindakan sectio cesarea yang cocok untuk Anestesi pada operasi
Obstetri Ginekologi.
3. Pasien diklasifikasikan ke dalam PS ASA II E karena pasien merupakan pasien
obstetri yang membutuhkan tindakan segera.
4. Resusitasi dan terapi cairan perioperatif kurang lebih telah memenuhi kebutuhan
cairan perioperatif pada pasien ini, terbukti dengan stabilnya hemodinamik pasien.

5.2. Saran
Penatalaksanaan anestesi perlu dilakukan dengan baik mulai dari persiapan pre
anestesi, tindakan anestesi hingga observasi post operasi, terutama menyangkut resusitasi
cairan yang akan sangat mempengaruhi kestabilan hemodinamik perioperative.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Mochtar R. Ketuban Pecah Dini. Dalam: Sinopsis Obstetri, Obstetri Operatif dan Obstetri
Sosial. Jilid I. Ed. II. Jakarta. EGC. 1998.p. 255-8.
2. Manuaba.I.B.G. Ketuban Pecah Dini dalam Kapita Selekta Penatalaksanaan Obstetri
Ginekologi dan KB, EGC, Jakarta, 2001, hal : 221 225.
3. Winjosastro. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan bina pustaka Sarwono Prawiroharjo.2002
4. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan R. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi ke-2. Jakarta:
FakultasKedokteranUniversitas Indonesia; 2010.
5. Williams Obstetrics, Edisi ke-22, Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC,
Gilstrap L, Wenstrom KD, penyunting. New York: McGraw-Hill. 2005: 177.
6. Garite T, Premature Rupture of Membranes, Dalam: Current Therapy in Obstetrics and
Gynecology, Edisi ke-5, Quilligan EJ, Zuspan FP, penyunting. New York: W.B.Saunders
Company, 2000: 326-9.
7. Soewarto S. Ketuban Pecah Dini. In Prawirohardjo S.(ed.) Ilmu Kebidanan. Bagian
Ketiga: Patologi Kehamilan, Persalinan, Nifas dan Bayi Baru Lahir. Edisi Keempat.
Cetakan Kedua. Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2009. Pp 677-82.
8. DeCherney, AH. MD et al; LANGE Current Diagnosis & Treatment Obstetrics &
Gynecology 10thedition : Premature Rupture of Membranes; McGraw-Hill 2007; 279
281.
9. Manuaba I.B.G, Chandranita Manuaba I.A, Fajar Manuaba I.B.G.(eds) Pengantar Kuliah
Obstertri. Bab 6: Komplikasi Umum Pada Kehamilan. Ketuban Pecah Dini. Cetakan
Pertama. Jakarta. Penerbit EGC. 2007. Pp 456-60.

33
10. Dwi N A. Perbedaan hemodinamik pre dan post operasi antara anestesi umum dan anestesi
regional. [serial online] 2008 [Diunduh 29 Maret 2017]. Tersedia dari: URL:
http://eprints.undip.ac.id/13538/1/dwi_novi_andraeni-G2A_002_065.pdf. 2008.
11. Rumah Sakit Ortopedi. 2013. Anatomi dan Fisiologi Tulang Belakang. [serial online] 2013
[Diunduh 29 Maret 2017] tersedia dari: URL rsop.co.id.
12. Lubis A. Chapter II.pdf-USU Anestesi Spinal. [Serial Online] 2011[Diunduh 29 Maret
2017] Tersedia dari: http
://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21570/.../Chapter%20II.pdf
13. The Amercian Society of Anesthesiologist. Practice Guideline for Obstetric Anesthesia :
An Updated Report by the American Society of Anesthesiologists Task Force on Obstetric
Anesthesia and the Society for Obstetric Anesthesia and Perinatology. February 2016 .

34

Anda mungkin juga menyukai