Anda di halaman 1dari 11

Pendahuluan

1. Latar Belakang

Ilmu kedokteran forensik adalah salah satu cabang spesialistik ilmu kedokteran yang
memanfaatkan ilmu kedokteran untuk membantu penegakan hukum dan pemecahan
masalah masalah di bidang hukum. Memang pada mulanya ilmu kedokteran forensik
hanya diperuntukan bagi kepentingan peradilan, namun dalam perkembangannya juga
dimanfaatkan dibidang bidang yang bukan untuk peradilan.

Ruang lingkup kedokteran forensik berkembang dari waktu ke waktu. Dari semula
hanya pada kematian korban kejahatan, kematian tak diharapkan/ tak diduga, mayat tak
dikenal, hingga para korban kejahatan yang masih hidup, atau bahkan kerangka, jaringan,
dan bahan biologis yang diduga berasal dari manusia. Jenis perkaranya pum meluas dari
pembunuhan, penganiayaan, kejahatan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, child
abuse and neglect, perselisihan pada perceraian, anak yang mencari ayah (paternity
testing), hingga ke pelangggaran hak asasi manusia. Apabila Ilmu Kedokteran Forensik
yang digunakan utuk menangani korban mati disebut sebagai patologi forensik, maka
yang menangani korban hidup ataupun tersangka pelaku disebut sebagai kedokteran
forensik klinik (clinical forensic medicine, atau di beberapa negara disebut police
surgeon).

Kedokteran forensic terdiri dari 2 cabang ilmu yaitu ilmu patologi forensik dan
forensik klinis. Patologi forensik sudah menjadi cabang spesialistik kedokteran sejak
1958, dan dikenal sebagai ilmu yang memanfaatkan orang mati untuk kepentingan orang
hidup (learn from the dead for the living). Patologi forensik membuat mayat dan barang
bukti diam lain (silent witness) menjadi mampu berbicar dan bersaksi untuk kepentingan
hukum. Patologi forensik melakukan pemeriksaan mayat, baik bagian luar maupun
melakukan autopsi, dan kemudian melakukan pemeriksaan laboratorium penunjang. Tidak
jarang pekerjaannya didahului dengan pemeriksaan di tempat kejadian perkara, serta
mereview keterangan saksi dan riwayat penyakit. Dalam prakteknya, patologi forensik
bekerjasama dengan ilmu ilmu forensik lainnya, dalam mengungkap tindak pidana,
seperti entomologi, toksikologi, antropologi, balistik, odontologi, serologi, forensik
molekular (DNA) dan lain lain.

Sedangkan forensik klinik adalah bidang kedokteran forensik yang relatif baru
berkembang. Di Indonesia bahkan baru dalam tahap penerapan awal setelah diperkenalkan
sejak tahun 1998. Bidang ini melayani korban perkara kekerasan fisik (termasuk
penganiayaan dan kekerasan dalam rumah tangga), pencederaan diri, cedera non
aksidental pada anak, perkosaan dan kejahatan seksual lainnya, kelayakan diperiksa atau
ditahan (fitness to be interviewed, fitness to be detained). Forensik klinik adalah cabang
ilmu kedokteran forensik yang mempergunakan ilmu dan pengetahuan klinik dalam usaha
untuk pembuktian ilmiah dengan pencatatan, pengumpulan dan interpretasi bukti medis
dari korban hidup agar tetap asli, ilmiah dan diterima di pengadilan. Pelayanan forensic
klinik bersifat komprehensif dengan mempertimbangkan korban bukan saja sebagai
barang bukti tetapi juga dilihat sebagai pasien.

Sekitar 50-70% kasus yang terdapat di instalasi gawat darurat adalah kasus
perlukaan atau trauma. Luka-luka ini dapat terjadi akibat dari kecelakaan, penganiayaan,
bunuh diri, bencana, maupun terorisme. Luka pada trauma terjadi sekitar 1,6 juta kasus
setiap tahunnya. Salah satu luka yang disebabkan oleh karena kekerasan benda tajam yaitu
luka bacok. Luka bacok umumnya terjadi pada daerah yang dapat terjangkau oleh tangan
korban. Tempat yang lazim adalah leher, dada sebelah kiri, pergelangan tangan, dan perut.
.
Ciri luka bacok yaitu luka biasanya besar, pinggir luka rata, sudut luka tajam,
hampir selalu menimbulkan kerusakan pada tulang, dapat memutuskan bagian tubuh yang
terkena bacokan, kadang-kadang pada tepi luka terdapat memar. Untuk mendiagnosis luka
bacok, selain dalam ilmu forensic klinis dapat juga didiagnosis dengan menggunakan ilmu
radiologi, salah satunya dengan 3DCT.

2. Rumusan Masalah
Apa kegunaan pengetahuan proses peran 3DCT dalam evaluasi luka bacok pada
pengobatan forensic klinis
3. Tujuan Masalah
a. Mengetahui proses dan kegunaan 3DCT dalam evaluasi luka bacok pada
pengobatan forensic klinis
b. Mengetahui adakah peran penting antara kegunaan 3DCT dalam forensic klinis
c. Mengetahui cara mengidentifikasi luka bacok pada 3DCT
4. Manfaat
a. Dapat digunakan untuk menambang pengetahuan ilmu kedokteran fornsik
terutama kegunaaan 3DCT dalam evaluasi luka bacok pada pengobatan forensic
klinis
b. Dapat memberikan informasi yang bermanfaat tentang pengetahuan kegunaan
3DCT dalam luka bacok
BAB II
JOURNAL READING

2.2 Jurnal Terjemahan

PERAN 3DCT DALAM EVALUASI LUKA BACOKAN PADA PENGOBATAN


FORENSIK KLINIS

ABSTRAK

Dikarenakan serangan kapak ke kepala manusia seringkali menyebabkan cedera yang


fatal, pemeriksaan 3rofessi dari orang yang selamat dari luka bacokan pada area kranial
adalah fenomena yang langka dalam penanganan kasus 3rofessi. Disamping evaluasi dari
rekam jejak klinis, foto dan pemeriksaan fisik 3rofes-legal; analisis dan rekonstruksi tiga-
dimensi dari data CT pra-perawatan (3DCT) harus dipertimbangkan sebagai aspek penting
dan tak tergantikan dalam penilaian terhadap kasus-kasus tersebut; hal ini disebabkan
beberapa karakteristik dari trauma luka bacokan seringkali terselubung atau berubah-ubah
apabila diberikan penanganan klinis. Dalam artikel ini, peran dari 3DCT dalam evaluasi
luka bacokan pada pengobatan 3rofessi klinis didemonstrasikan lewat sebuah laporan kasus
ilustratif dari seorang pria muda yang dilukai oleh kapak kecil (hatchet/kapak beliung),
dimana 3DCT menyediakan kemungkinan-kemungkinan tambahan dalam menyuplai
informasi yang hilang, seperti jumlah 3rofessi dari serangan kapak serta identifikasi
terhadap senjata yang digunakan. Lebih lanjut, 3DCT dapat memfasilitasi demonstrasi di
ranah pengadilan dan dapat lebih mudah dipahami oleh masyarakat yang awam medis.
Kami menyimpulkan bahwa 3DCT memiliki nilai yang khusus dalam evaluasi terhadap
pasien yang selamat dari cedera wajah dan kepala yang berpotensi fatal. Maka dari itu,
signifikansi yang semakin tinggi dari penggunaan teknik ini dapat diperkirakan dalam
beberapa waktu ke depan.

PENDAHULUAN

Luka bacokan umumnya dijabarkan sebagai hasil akhir dari gaya yang disebabkan
benda tajam, khususnya alat berat yang memiliki mata pisau tajam seperti kapak, kapak
kecil/beliung, machete, sekop dan pisau daging. Baling-baling kapal laut, pesawat terbang
atau 3rofession dapat juga menyebabkan luka serupa bacokan. Temuan yang tipikal dari
luka bacokan adalah luka torehan yang menganga dan dalam disertai cedera terhadap
struktur tulang dibawahnya. Tepian dari luka umumnya lurus dan tajam, namun seringkali
terdapat abrasi setidaknya pada satu sisi, dimana abrasi ini dapat dikaitkan dengan ketebalan
mata pisau dan/atau derajat ketumpulannya. Jembatan dari jaringan lembut pada kedalaman
luka, kerusakan jaringan disekitarnya serta pada tepian luka dapat pula ditemukan. Maka
dari itu, kebanyakan luka bacokan memperlihatkan kombinasi dari karakteristik gaya yang
disebabkan benda tumpul dan tajam. Gaya kausatif ini dapat pula dijabarkan sebagai gaya
semi-tajam, khususnya oleh beberapa penulis berkebangsaan Jerman. Analisis luka yang
komprehensif, termasuk penilaian akan bentuk total, jenis dari fraktur didasar luka, serta
karakteristik histologis, dapat memfasilitasi identifikasi dari jenis senjata yang digunakan.
Beberapa ketidakteraturan kecil dari bentuk mata pisau dapat pula menyebabkan pola
fraktur unik yang dapat membantu mengenali jenis 4rofession pemotong tertentu yang
menyebabkan luka tersebut. Namun, disamping mempertimbangkan jenis senjata yang
dipakai, derajat keparahan serta morfologi dari luka bacokan bergantung pula pada gaya
yang diberikan kepada senjata. Target yang paling umum dari serangan benda tajam
merupakan daerah kepala dan leher, hal ini menjelaskan hasil akhir yang fatal pada
kebanyakan kasus. Dalam kasus dimana gaya tangensial (gaya dimana 4rofes arahnya
membentuk kurva menukik) diberikan kepada area batok kepala, adanya pengulitan
terhadap kulit kepala serta fragmentasi tulang yang berbentuk piringan atau baji (wedge)
dapat pula ditemukan.

Berbanding terbalik terhadap situasi di ruang otopsi, karakteristik-karakteristik dari


luka bacokan terkadang sulit untuk dinilai oleh patologis 4rofessi yang terlibat dalam kasus-
kasus semcaam ini. Maka dari itu, dalam beberapa tahun belakangan ini, pencitraan medis
dan rekonstruksi 3-dimensi dari trauma kranio-serebral dan area aplikasi lain telah dianggap
sebagai alat bantu yang penting dan berharga oleh ahli 4rofessi. Dalam beberapa kasus, data
radiologis klinis merupakan satu-satunya sumber informasi yang dapat diandalkan mengenai
beberapa luka.

Dalam artikel ini, kami melaporkan sebuah kasus langka dimana terdapat pasien yang
selamat dari trauma kepala parah dimana terdapat sebuah 4rofession pemotong yang diduga
digunakan sebagai senjata pelaku. Lebih lanjut, kasus ini menunjukkan kemampuan dari
rekonstruksi computed tomography 3-dimensi pra-perawatan (3DCT) sebagai 4rofession
yang dapat diandalkan dalam evaluasi luka dan identifikasi senjata.
LAPORAN KASUS

Riwayat Kasus

Pada saat sedang tertidur, seorang pria 29 tahun diserang tetangganya oleh kapak
kecil/beliung. Sesaat kemudian pelaku meninggalkan TKP setelah yakin bahwa ia telah
membunuh korban, dan kemudian menyerahkan diri ke kantor polisi terdekat. Sementara, si
korban yang masih hidup dilarikan ke rumah sakit pelayanan kesehatan tersier. Dokter
unit gawat darurat yang menanganinya melaporkan bahwa korban mengalami penurunan
kewaspadaan, stabilitas 5rofes sirkulasi serta luka-luka yang parah pada area frontal dan
midfacial. Setelah melakukan CT scan darurat pada bagian kepala, luka-lukanya kemudian
diberikan pembedahan komprehensif serta rekonstruksi. Sejak penyerangan terjadi, pasien
mengalami rasa sakit yang permanen dan kemungkinan kehilangan indera penglihatannya
pada mata kanan.

Jaksa penuntut meminta laporan dari ahli 5rofessiona untuk mengevaluasi luka yang
dialami korban terkait jumlah luka yang dialami, aspek etiologisnya dan ancamannya
terhadap kehidupan. Hasil dari investigasi polisi serta rekam medisnya kemudian
diperbolehkan untuk dipakai dalam review ini.

Investigasi Medikolegal

Pemeriksaan fisik 5rofessiona selama 2 hari setelah operasi pembedahan


mengungkapkan bahwa terdapat luka sepanjang 30 sentimeter berbentuk semi-lunar
(menyerupai bulan sabit) yang sudah dijahit pada area kening bagian atas dan luka lurus
sepanjang 12 sentimeter pada area kelopak mata bagian atas dan hidung bagian atas. Pada
awal peradilan belum jelas apakah kedua luka ini merupakan hasil satu kali serangan atas
korban atau salah satunya (pada bagian mata) merupakan luka perpanjangan atau hasil dari
kesalahan prosedur pembedahan.

Kemudian rekam jejak medis menyertakan serangkaian foto pra-perawatan dari luka di
kepala yang menunjukkan kedua luka yang berdarah dan menganga. Tepian luka tertutup
sebagian oleh darah. Pada beberapa bagian, tepian dari luka tersebut terlihat seperti hasil dari
sayatan. Abrasi pada sekitar luka atau jembatan jaringan lunak pada kedalaman luka tidak
dapat dikenali pada foto ini.

Penyidikan Forensik-Radiologis

Menggunakan rekonstruksi axial, coronal dan sagittal, CT scan trauma standar


dengan 40 baris 5rofes multi-detector computed tomography (5rofes MDCT; SOMATOM
Sensation 40 buatan Siemens), mengungkapkan dua zona luka utama.

1) Trauma kranioserebral yang menyertakan fraktur pada bagian frontal kiri tengkorak,
hematoma epidural, gelembung udara yang terperangkap dan terbelahnya calvarium antara
lapisan internal dan eksternal.

2) Fraktur midfacial kompleks disertai fragmentasi dari rongga hidung, sinus paranasal dan
kedua orbit, perpindahan bola mata secara latero-ventral (latero-ventral displacement) serta
keberadaan udara yang terperangkap.

Karena kerumitan dari cedera yang dialami pasien, alokasi menyeluruh dan jelas dari dua
zona luka yang ditemukan pada hasil pencitraan standar 2-dimensi dianggap tidak
memuaskan, begitu pula dengan foto pra-operasi dari kedua luka tersebut, serta keadaan dari
luka pasca-penanganan medis. Maka dari 3DCT memainkan peranannya untuk menyediakan
pandangan tambahan kepada radiologis klinis dan patologis 6rofessi untuk menilai trauma
kompleks yang terjadi. Analisis citra 3DCT menunjukkan tak hanya pandangan yang jelas
dari kedua luka tersebut, namun juga sudut-sudut benturan benda tajam, dimana hal ini dapat
membantu membuat kesimpulan akan arah dari gaya mekanik yang diberikan kepada si
korban. Cedera frontal ini menyebabkan trauma yang tangensial (sudutnya menukik) kepada
area calvaria dengan disertai formasi fragmen tulang yang berbentuk piringan, dimulai dari
area frontal kiri atas dan memanjang hingga ke area parietal kanan. Fraktur midfacial yang
terjadi memiliki konfigurasi serupa baji dan terdapat orientasi yang menurun/kemiringan
terhadap bidang (tulang) yang transversal/melintang.

Kesimpulan Medikolegal

Kesimpulan yang ditarik oleh ahli 6rofessiona menyatakan bahwa dua hasil foto pra-
perawatan dapat dianggap konsisten dengan setidaknya dua luka bacokan yang disebabkan
oleh senjata seperti kampak, dimana sebuah kapak kecil ditemukan pada TKP. Kemungkinan
besar, apabila tidak diberikan penanganan medis secara cukup, kondisi ini dapat berujung
kematian.

DISKUSI

Pemeriksaan 6rofessi dari korban yang selamat dari luka seperti ini mewakili
fenomena yang langka pada pengobatan 6rofessi klinis. Dalam kasus-kasus post-mortem,
patologis 6rofessi seringkali diminta untuk mengklarifikasi jenis 6rofession pembunuh,
jumlah benturan/serangan yang diberikan, serta arah serta sudut dari benturan. Mekanismenya
(baik bersifat disengaja maupun tidak disengaja) dan keberadaan atau ketiadaan dari luka-luka
yang mengancam jiwa merupakan pertanyaan umum yang diberikan oleh pihak penyidik
kepada patologis 6rofessi.

Dalam pengobatan 6rofessi klinis, karakteristik yang disebutkan diatas mengenai trauma
luka bacok seringkali tertutupi atau berubah seiring dengan pemberian penanganan klinis.
Fotografi pra-penanganan yang sesuai dengan tuntutan dari penyidikan 6rofessiona pun
tergolong jarang, dan apabila terdapat foto-foto yang dianggap mencukupi sejumlah kriteria
tersebut, resolusi serta kualitasnya seringkali tidak cukup atau tidak menyertakan skala untuk
ukuran (pengukuran panjang luka, dsb). Maka dari itu, analisis 7rofessi-radiologis dari
pencitraan CT pra-perawatan standar, termasuk rekonstruksi 3-dimensi dari data (3DCT) akan
menyediakan informasi-informasi yang hilang serta membantu menarik kesimpulan yang
jelas. Dalam kasus yang dibahas diatas, 3DCT menampilkan karakteristik tulang yang
konsisten dengan dua luka bacokan yang disebabkan oleh kapak beliung. Menurut
pengalaman kami, interpretasi 7rofessiona dari cedera-cedera semacam ini yang didasarkan
hanya pada pencitraan CT 2-dimensi saja lebih sulit bagi pihak radiologis dan patologis
7rofessi. Maka dari itu, kami percaya bahwa 3DCT merupakan alat bantu yang sangat
berharga untuk mendukung evaluasi 7rofessiona dari (khususnya) luka bacok di area kranial.

Dengan menerapkan 7 rofessional 7 rofessi klasik kkepada korban yang selamat,


Grassberger dan kolega menyatakan bahwa 3DCT dalam kasus trauma kepala parah memiliki
beberapa kelebihan, khususnya kepada patologis 7rofessi yang mengevaluasi kasus-kasus
tersebut. Penulis khususnya menekankan penampilan pola fraktur yang serupa pada proses
otopsi, kemungkinan akan pengukuran dimensi luka yang akurat, kemungkinan dalam
melakukan reka ulang kejadian perkara, serta kemungkinan penyocokan 7rofession yang
dipakai pelaku. Lebih lanjut, trauma kompleks pada area wajah atau kranial dapat
divisualisasikan secara lebih mudah dalam laporan ahli atau didemonstrasikan dan dijelaskan
di depan hakim, yang secara langsung juga memfasilitasi pemahaman dari khalayak yang
awam medis. Beberapa penulis juga menjelaskan potensi berharga dari 3DCT dalam proses
mengidentifikasi 7rofession yang bertanggung jawab akan luka terkait, bahkan dalam kasus
dimana terdapat penggunaan jenis senjata yang tidak lazim.

Dengan mempertimbangkan pencitraan 7rofessi dari luka yang disebabkan kapak


beliung, Ampanozi dan kolega melaporkan bahwa dalam kasus post-mortem yang menjalani
prosedur CT scan dan MRI sebelum otopsi, penggunaan 3DCT sebaliknya dapat
menunjukkan karakteristik dari trauma yang disebabkan luka bacokan pada pengujian awal.

Johnson dan kolega juga melaporkan sejumlah kasus luka bacokan yang fatal ke
kepala dan interpretasi cedera yang optimal menggunakan 3DCT pada individu yang masih
hidup pada saat kejadian perkara. Sebaliknya dalam kasus yang kami tangani, penulis
dihadapkan oleh korelasi antara citra CT dan foto dari luka yang telah dijahit dan diambil
pada 3-4 hari pasca-operasi. Namun, peran 3DCT dalam mendiagnosa kerusakan fraktur yang
disebabkan luka bacok dapat didemonstrasikan secara jelas. Lebih lanjut, penulis menekankan
kebutuhan akan menyelidiki serangkaian kasus yang lebih besar dengan disertai aplikasi dari
rekonstruksi yang dibantu 3DCT untuk mengevaluasi teknik ini lebih lanjut.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah, bahwa dalam pengalaman kami akan analisa
kasus tunggal ini, hasil yang didapatkan serupa dengan laporan-laporan yang telah ada
sebelumnya. 3DCT menyediakan bukti-bukti yang umumnya tidak tersedia, hal ini kemudian
memfasilitasi penilaian/assessment 8rofessiona yang lebih optimal. Karena aplikasi 8rofessi
dari 3DCT telah menunjukkan nilai yang tak terhingga dalam evaluasi pasien yang selamat
dari cedera wajah dan kepala yang berpotensi fatal, signifikansi yang kian meningkat dari
penggunaan teknik ini dapat diperkirakan dalam beberapa waktu yang akan datang. Seperti
yang juga direkomendasikan oleh penulis lain, penilaian gabungan dari rekonstruksi 3DCT
oleh patologis 8rofessi yang berpengalaman dengan disertai radiologis klinis yang
berpengalaman merupakan cara yang paling efektif dalam menghasilkan opini ahli
8rofessional dalam kasus-kasus tersebut.
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Traumatology

Traumatologi (dari bahasa Yunani Trauma "yang berarti luka" atau luka) adalah studi
tentang luka dan luka yang disebabkan oleh kecelakaan atau kekerasan kepada seseorang, dan
terapi bedah dan perbaikan kerusakan. Traumatologi adalah cabang ilmu kedokteran yang
mempelajari tentang trauma atau perlukaan, cedera serta hubungannya dengan berbagai
kekerasan (rudapaksa), yang kelainannya terjadi pada tubuh karena adanya diskontinuitas
jaringan akibat kekerasan yang menimbulkan jejas.

Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Didalam melakukan
pemeriksaan terhadap orang yang menderita luka akibat kekerasan, pada hakekatnya dokter
diwajibkan untuk dapat memberikan kejelasan dari permasalahan jenis luka yang terjadi, jenis
kekerasan yang menyebabkan luka, dan kualifikasi luka.
3.2 Etiologi
1. Luka karena kekerasan mekanik (benda tajam, tumpul, dan senjata api).
2. Luka karena kekerasan fisik (arus listrik, petir, suhu)
3. Luka karena kekerasan kimiawi (asam, basa, logam berat)
3.3 Traumatology Luka Bacok

Luka bacok ialah luka akibat benda atau alat yang berat dengan mata tajam atau agak
tumpul yang terjadi dengan suatu ayunan disertai tenaga yang cukup besar. Ciri luka bacok
yaitu luka biasanya besar, pinggir luka rata, sudut luka tajam, hampir selalu menimbulkan
kerusakan pada tulang, dapat memutuskan bagian tubuh yang terkena bacokan, kadang-kadang
pada tepi luka terdapat memar, abrasi. Contoh alat yang biasa digunakan adalah pedang, clurit,
kapak, baling-baling kapal dan Machete. (6)
Gambar 1.1 :Luka Bacok (6)
Sumber: Dix J. Color Atlas of Forensic Pathology. New York. 2000

3.4 Deskripsi Luka

1. Jumlah luka.
2. Lokasi luka, meliputi:
a. Lokasi berdasarkan regio anatomiknya.
b. Lokasi berdasarkan garis koordinat atau berdasarkan bagian-bagian tertentu dari
tubuh.
Menentukan lokasi berdasarkan garis koordinat dilakukan untuk luka pada regio
yang luas seperti di dada, perut, penggung. Koordinat tubuh dibagi dengan
menggunakan garis khayal yang membagi tubuh menjadi dua yaitu kanan dan
kiri, garis khayal mendatar yang melewati puting susu, garis khayal mendatar
yang melewati pusat, dan garis khayal mendatar yang melewati ujung tumit. Pada
kasus luka tembak harus selalu diukur jarak luka dari garis khayal mendatar yang
melewati kedua ujung tumit untuk kepentingan rekonstruksi. Untuk luka di bagian
punggung dapat dideskripsikan lokasinya berdasarkan garis khayal yang
menghubungkan ujung bawah tulang belikat kanan dan kiri.
3. Bentuk luka, meliputi :
a. Bentuk sebelum dirapatkan
b. Bentuk setelah dirapatkan
4. Ukuran luka, meliputi sebelum dan sesudah dirapatkan ditulis dalam bentuk panjang x
lebar x tinggi dalam satuan sentimeter atau milimeter.
5. Sifat-sifat luka, meliputi :
a. Daerah pada garis batas luka, meliputi :
- Batas (tegas atau tidak tegas)
- Tepi (rata atau tidak rata)
- Sudut luka (runcing atau tumpul)
b. Daerah di dalam garis batas luka, meliputi:
- Jembatan jaringan (ada atau tidak ada)
- Tebing (ada atau tidak ada, jika ada terdiri dari apa)
- Dasar luka
c. Daerah di sekitar garis batas luka, meliputi :
- Memar (ada atau tidak)
- Lecet (ada atau tidak)
- Tatoase (ada atau tidak)

Anda mungkin juga menyukai