Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. GGK (Gagal Ginjal Kronik)


1. Pengertian
Menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes
(KDIGO) Penyakit ginjal dapat akut atau kronik. Penyakit ginjal yang
terjadi selama lebih dari 3 bulan dikatagorikan sebagai penyakit ginjal
kronik. Ginjal memiliki banyak fungsi antara lain, fungsi ekskretori,
endokrin, dan fungsi metabolisme. Glomerular Filtration Rate (GFR)
adalah salah satu komponen dari fungsi ekskretoris. Namun secara luas
GFR diterima sebagai indeks untuk menilai keseluruhan fungsi ginjal.
Karena, secara umum GFR berkurang setelah terjadi kerusakan
struktural yang luas. GFR < 60 ml/menit/1,73 m2 dapat dideteksi
dengan pemeriksaan laboratorium secara rutin. Sedangkan kerusakan
ginjal dapat terjadi pada parenkim ginjal, pembuluh darah, dan sistem
kolektivus ginjal. Kerusakan ginjal lebih sering diperiksa
menggunakan marker (penanda) ginjal dari pada menggunakan
pemeriksaan langsung jaringan ginjal. Marker pada kerusakan ginjal
dapat memberikan petunjuk pada lokasi ginjal yang mengalami
kerusakan (NKF-KDIGO, 2013).

2. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung
pada penyakit yang mendasarinya. Pengurangan massa ginjal
mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa sebagai upaya kompensasi. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerulus. Proses kompensasi ini kemudian diikuti oleh proses
maladaptasi yaitu sklerosis nefron. Dengan adanya peningkatan

10
11

aktivitas aksis rennin-angiotensin-aldosteron, ikut memberikan 9


kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas
tersebut (Suwitra, 2014).
Pada stadium dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan
daya cadang ginjal. Kemudian terjadi penurunan fungsi nefron yang
ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada
keadaan LFG sebesar 60 % pasien masih asimtomatik. Selanjutnya
pada LFG sebesar 30 % mulai timbul keluhan pada pasien seperti
nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan berkurang, dan penurunan
berat badan. Setelah kadar LFG dibawah 30 % pasien memperlihatkan
gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor, dan kalsium, gangguan
keseimbangan elektrolit. Pada saat LFG di bawah 15 % terjadi gejala
dan komplikasi yang serius, pada tahap ini pasien sudah
membutuhkan terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy)
antara lain hemodialisa, peritoneal dialysis, atau transplantasi ginjal
(Suwitra, 2014).

3. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan derajat penyakit
menurut National Kidney Foundation, penyakit ginjal kronik dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Klasifikasi penyakit ginjal kronik bedasarkan derajat penyakit
Tabel 3
Derajat Deskripsi Nama Lain GFR
(ml/menit/1,73m2)
I Kerusakan ginjal dengan Resiko > 90
GFR normal
(pasien dengan tekanan
darah normal, tanpa
abnormalitas hasil
12

laboratorium, dan tanpa


manifestasi klinis).
II Kerusakan ginjal dengan Chronic renal 60-89
penurunan GFR ringan insufisiensi
(asintomatik, (CRI)
berkembang menjadi
hipertensi, dan
munculnya hasil
laboratorium yang
abnormal).
III Penurunan GFR tingkat CRI, Chronic 30-59
sedang Renal Failure
(asintomatik, nilai (CRF)
laboratorium
menandakan adanya
abnormalitas pada
beberapa sistem organ).
IV Penurunan GFR tingkat CFR 15-29
berat
(munculnya manifestasi
klinis penyakit ginjal
kronik berupa kelelahan
dan penurunan
rangsangan).
V Gagal ginjal End-Stage < 15
(peningkatan Blood Renal Disease
Urea Nitrogen (BUN) (ESRD)
dan anemia).
Sumber (Black & Hawks, dikutip dalam Nurhayati, 2010)
13

4. Penatalaksanaan
Pengobatan pada penyakit ginjal kronik bertujuan untuk
memperlambat perkembangan penyakit menjadi End-Stage Renal
Disease (ESRD). Control tekanan darah menggunakan Angiotensin-
Converting Enzyme (ACE) Inhibitors atau Angiotensin II Receptor
Blockers (ARBs) secara efektif dapat membantu memperlambat
perkembangan dari penyakit ginjal kronik. Selain itu kontrol glikemik
pada pasien dengan diabetes dapat menghambat perkembangan dari
penyakit ginjal kronik (Turner et al.,2012).
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi, terapi spesifik
terhadap penyakit yang mendasarinya, pencegahan dan terapi terhadap
kondisi komorbid, pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, terapi
pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Terapi
spesifik terhadap penyakit dasarnya diberikan ketika sebelum terjadi
penurunan 11 LFG, sehingga tidak terjadi perburukan ginjal. Jika
sudah terjadi penurunan LFG maka terapi terhadap penyakit dasarnya
sudah tidak banyak bermanfaat. Pencegahan dan terapi terhadap
kondisi komorbid juga penting. Sedangkan untuk terapi pengganti
ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG < 15 ml/menit (Suwitra, 2014).

B. Hemodialisa
1. Pengertian
Hemodialisa dapat didefinisikan sebagai suatu proses
pengubahan komposisi solute darah oleh larutan lain (cairan dialisat)
melalui membran semi permeable (membran dialisis). Tetapi pada
prinsipnya, hemodialisis adalah suatu proses pemisahan atau
penyaringan atau pembersihan darah melalui suatu membran semi
permeabel yang dilakukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
baik akut maupun kronik (Suhardjono, 2014).
14

Tujuan hemodialisis adalah menghilangkan gejala yaitu


mengendalikan uremia, kelebihan cairan dan ketidakseimbangan
elektrolit yang terjadi pada pasien penyakit ginjal tahap akhir (KPIG
XIV Cikini, 2008).

2. Proses Hemodialisisa
Sebelum melakukan hemodialisa, pasien harus ditimbang berat
badannya untuk mengetahui berat badan pradialisis. Setelah itu pasien
dipersilahkan berbaring untuk mulai dilakukannya hemodialisa. Pada
pasien yang sudah memakai arteri-vena, perawat akan melakukan
penusukan dijalan masuk vaskuler. Bagi pasien yang menggunakan
kateter subclavia, perawat hanya tinggal menghubungkan kanul -
kanul kateter saja. Bagi pasien yang tidak menggunakan kateter
subclavia maupun hubungan arteri-vena, dibuat tusukan langsung
yang dilakukan pada pembuluh darah lengan atau pelipatan paha.
Waktu untuk hemodialisa adalah 3 sampai 5 jam. Selama hemodialisa
berlangsung perawat secara teratur akan mengontrol mesin, mengukur
tekanan darah pasien, mengawasi setiap hal yang terjadi. Setelah
proses hemodialisa selesai, perawat akan mencabut jarum dari pintu
masuk vascular atau membuka kanul kateter subclavia. Selanjutnya
pasien diminta untuk menimbang berat badan, perawat akan
menghitung apakah penurunan berat badan sesuai dengan yang
diprogramkan. Jumlah pengurangan berat badan merupakan jumlah air
yang dikeluarkan dari tubuh selama proses hemodialisa (Suwitra,
2010).

3. Indikasi dan kontraindikasi


Kidney Disease Outcome Quality (KDOQI) tahun 2015
merekomendasikan untuk mempertimbangkan manfaat serta resiko
melalui terapi pengganti ginjal pada pasien dengan LFG < 30
ml/menit/1,73 m2. Edukasi mengenai penyakit ginjal kronik dan
15

pilihan terapi dialysis mulai diberikan kepada pasien dengan penyakit


ginjal kronik tahap 4, termasuk pasien yang memiliki kebutuhan
segera untuk dialysis. Kepatuhan untuk memulai perawatan dialysis
pada pasien harus didasarkan pada penelitian tanda atau gejala uremia
pada pasien, tanda kekurangan energi-protein, bukan pada pasien
dengan stadium tertentu tanpa adanya tanda - tanda atau gejala
tersebut (Rocco et al., 2015)
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik tahap 5 inisiasi HD
dimuali dengan indikasi sebagai berikut :
a. Kelebihan (overload) cairan ekstraseluler yang sulit
dikendalikan dan atau hipertensi.
b. Hiperkalemia yang refrakter terhadap restriksi diet dan terapi
farmakologis.
c. Asidosis metabolic yang refrakter terhadap pemberian terapi
bikarbonat.
d. Hiperfosfatemia yang refrakter terhadap restriksi diet dan
terapi pengikat fosfat.
e. Anemia yang refrakter terhadap pemberian eritropoetin dan
besi.
f. Adanya penurunan kapasitas fungsional atau kualitas hidup
tanpa sebab yang jelas.
g. Penurunan berat badan atau malnutrisi, terutama apabila
disertai gejala mual, muntah, atau adanya bukti lain
gastroduodenitis.
h. Adanya ganguan neurologis (neuropati ensefalopati,
gangguan psikiatri), pleuritis atau perikarditis yang tidak
disebabkan oleh penyebab lain, serta diathesis hemoragik
dengan pemanjangan waktu perdarahan.
Kontraindikasi dilakukannya hemodialisis dibedakan menjadi 2
yaitu, kontraindikasi absolut dan kontraindikasi relatif. Kontraindikasi
absolut adalah apabila tidak didapatkannya akses vascular. Sedangkan
16

untuk kontraindikasi relatif adalah apabila ditemukannya kesulitan


akses vascular, fobia terhadap jarum, gagal jantung, dan koagulopati
(Suhardjono, 2014).

4. Komplikasi
Komplikasi kronik pasien hemodialisis dapat dibagi menjadi dua
katagori yaitu :
a. Komplikasi yang terjadi karena terapi hemodialisis seperti,
hipotensi, anemia, endocarditis.
b. Komplikasi yang terjadi karena penyakit ginjal primer
seperti nefropati, kronik glomeluropati, glomerulonefritis
(Checheita et al., 2010).
Salah satu kesulitan utama pada pasien dialisis jangka panjang
adalah mortalitas yang berhubungan dengan infark miokard dan
penyakit serebrovaskuler. Hal ini mungkin diakibatkan oleh faktor
risiko yang umum pada pasien uremik, seperti hipertensi,
hiperlipidemi, kalsifikasi vaskuler akibat hipertiroidisme dan curah
jantung yang tinggi akibat anemia atau faktor lain (Harrison, 2014).

C. Dukungan Sosial
1. Pengertian
Dukungan sosial adalah informasi atau umpan balik dari orang
lain yang menunjukkan bahwa seseorang dicintai dan diperhatikan,
dihargai, dan dihormati, serta dilibatkan dalam jaringan komunikasi
dan kewajiban yang timbal balik dan tersedianya hubungan yang
bersifat menolong dan mempunyai nilai khusus bagi individu yang
menerimanya (King, 2012 : 226). Lebih lanjut dukungan sosial
menurut House & Khan (dalam Apollo & Cahyadi, 2012 : 216) adalah
tindakan yang bersifat membantu yang melibatkan emosi, pemberian
informasi, bantuan instrument, dan penilaian positif pada individu
dalam menghadapi permasalahannya.
17

2. Sumber dukungan sosial


Sumber dukungan sosial menurut Rook dan Dooley (1985)
diacu dalam Febriasari (2007) ada dua sumber dukungan sosial, yaitu :
a. Sumber Natural : dukungan sosial yang diterima seseorang
melalui interaksi sosial secara spontan dengan orang - orang
yang berbeda di sekitarnya, misalnya anggota keluarga (anak,
istri, suami), teman dekat atau relasi. Dukungan sosial ini
bersifat non formal.
b. Sumber Artificial : dukungan sosial untuk kebutuhan primer
seseorang, misalnya dukungan sosial akibat bencana alam
melalui berbagai sumbangan.

3. Bentuk dukungan sosial


Beberapa bentuk dukungan sosial menurut Cohen & Hoberman
(dalam Isnawati & Suhariadi, 2013 : 3) yaitu :
a. Appraisal Support
Yaitu adanya bantuan yang berupa nasehat yang berkaitan
dengan pemecahan suatu masalah untuk membantu
mengurangi stressor.
b. Tangiable Support
Yaitu bantuan yang nyata yang berupa tindakan atau bantuan
fisik dalam menyelesaikan tugas.
c. Self Esteem Support
Dukungan yang diberikan oleh orang lain terhadap perasaan
kompeten atau harga diri individu atau perasaan seseorang
sebagai bagian dari sebuah kelompok dimana para
anggotanya memiliki dukungan yang berkaitan dengan self-
esteem seseorang.
18

d. Belonging Support
Menunjukkan perasaan diterima menjadi bagian dari suatu
kelompok dan rasa kebersamaan.
Sarafino (dalam Purba, dkk, 2007 : 82-83) mengungkapkan pada
dasarnya terdapat lima jenis dukungan sosial yaitu :
a. Dukungan Emosi
Dukungan emosi meliputi ungkapan rasa empati,
kepedulian, dan perhatian terhadap individu. Biasanya,
dukungan ini diperoleh dari pasangan atau keluarga, seperti
memberikan pengertian terhadap masalah yang sedang
dihadapi atau mendengarkan keluhannya. Adanya dukungan
ini akan memberikan rasa nyaman, kepastian, perasaan
memiliki, dan dicintai kepada individu.
b. Dukungan Penghargaan
Dukungan penghargaan terjadi melalui ungkapan positif atau
penghargaan yang positif pada individu, dorongan untuk
maju, atau persetujuan akan gagasan atau perasaan individu
dan perbandingan yang positif individu dengan orang lain.
Biasanya dukungan ini diberikan oleh atasan atau rekan
kerja. Dukungan jenis ini, akan membangun perasaan
berharga, kompeten dan bernilai.
c. Dukungan Instrumental atau Konkrit
Dukungan jenis ini meliputi bantuan secara langsung.
Biasanya dukungan ini lebih sering diberikan oleh teman
atau rekan kerja, seperti bantuan untuk menyelesaikan tugas
yang menumpuk atau meminjamkan uang atau lain - lain
yang dibutuhkan individu. Adanya dukungan ini,
menggambarkan tersedianya barang - barang (materi) atau
adanya pelayanan dari orang lain yang dapat membantu
individu dalam menyelesaikan masalahnya sehingga
19

memudahkan individu untuk dapat memenuhi tanggung


jawab dalam menjalankan perannya sehari - hari.
d. Dukungan Informasi
Dukungan jenis ini meliputi pemeberian nasehat, saran atau
umpan balik kepada individu. Dukungan ini biasanya
diperoleh dari sahabat, rekan kerja, atasan atau seseorang
professional seperti dokter atau psikolog. Adanya dukungan
informasi seperti nasehat atau saran yang pernah mengalami
keadaan yang serupa akan membantu individu memahami
situasi dan mencari alternatif pemecahan masalah atau
tindakan yang akan diambil.
e. Dukungan Jaringan Sosial
Dukungan jaringan dengan memberikan perasaan bahwa
individu adalah anggota dari kelompok tertentu dan
memiliki minat yang sama rasa kebersamaan dengan
anggota kelompok merupakan dukungan bagi individu yang
bersangkutan. Adanya dukungan jaringan sosial akan
membantu individu untuk mengurangi stres yang dialami
dengan cara memenuhi kebutuhan akan persahabatan dan
kontak sosial dengan orang lain. Hal tersebut juga akan
membantu individu untuk mengalihkan perhatiannya dari
kekahwatiran terhadap masalah yang dihadapinya.

4. Faktor - faktor yang menghambat pemberian dukungan sosial


Faktor - fakor yang menghambat pemberian dukungan sosial
menurut (Apollo & Cahyadi, 2012 : 262) :
a. Penarikan diri dari orang lain, disebabkan karena harga diri
yang rendah, ketakutan untuk dikritik, pengharapan bahwa
orang lain tidak akan menolong, seperti menghindar,
mengutuk diri, diam, menjauh, tidak mau meminta bantuan.
20

b. Melawan orang lain, seperti, sikap curiga, tidak sensitif,


tidak timbal balik, dan agresif.
c. Tidakan sosial yang tidak pantas, seperti membicarakan
dirinya secara terus menerus, mengganggu orang lain,
berpakaian tidak pantas, dan tidak pernah merasa puas.

D. Mekanisme Koping
1. Pengertian
Mekanisme koping adalah upaya untuk mengatasi stressor -
stressor yang mengakibatkan rasa takut dan cemas. Mekanisme
koping dapat menjadi efektif bila didukung oleh kekuatan lain dan
adanya keyakinan pada individu yang bersangkutan bahwa
mekanisme koping yang digunakan dapat mengatasi kecemasannya.
Sumber koping merupakan modal kemampuan yang dimiliki individu
guna mengatasi ansietas ( Asmadi, 2008).

2. Penggolongan Mekanisme Koping


Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi
menjadi dua (Stuart dan Sundeen, 1995 dalam Nasir, 2010) yaitu :
a. Mekanisme Koping Adaptif
Adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi
integrasi, pertumbuhan, belajar, dan mencapai tujuan.
Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecah
masalah secara efektif, teknik relaksasi, seimbang dan
aktivitas konstruktif.
b. Mekanisme Koping Maladaptif
Adalah mekanisme koping yang menghambat fungsi
integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan
cenderung mengatasi lingkungan. Kategorinya adalah makan
berlebihan atau tidak makan, bekerja berlebihan atau tidak
bekerja, bekerja berlebihan menghindar.
21

3. Faktor yang mempengaruhi strategi koping


Faktor faktor yang dapat mempengaruhi strategi koping, yaitu
(Lazarus dan Folkman, 1984 dalam Nasir dan Muhith, 2011) :
a. Kesehatan fisik
Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama
dalam usaha mengatasi stres individu dituntut untuk
mengerahkan tenaga yang cukup besar.
b. Keyakinan atau pandang positif
Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat
penting, seperti keyakinan akan nasib (external locus of
control) yang mengerahkan individu pada penilaian
ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan
kemampuan strategi koping tipe : problem-solving focused
coping.
c. Keterampilan memecahkan masalah
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari
informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah
dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan,
kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut
sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada
akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu
tindakan yang tepat.
d. Keterampilan sosial
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi
dan bertingkah laku dengan cara - cara yang sesuai dengan
nilai - nilai sosial yang berlaku dimasyarakat.
e. Dukungan sosial
Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan
informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan
oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan
lingkungan masyarakat sekitarnya.
22

4. Hasil dari koping (coping outcome)


Koping yang efektif adalah koping yang membantu seseorang
untuk menoleransi dan menerima situasi menekan, serta tidak
merisaukan tekanan yang dapat dikuasainya. Sesuai dengan
pernyataan tersebut, Coben dan lazarus, dalam Taylor (1991),
mengemukakan agar koping dilakukan dengan efektif, maka strategi
koping perlu mengacu pada lima fungsi tugas koping dengan istilah
coping task (Lazarus dan Folkam 1984 dalam Nasir, 2011), yaitu
sebagai berikut :
1. Mengurangi kondisi lingkungan yang berbahaya dan
meningkatkan prospek untuk memperbaikinya.
2. Menoleransi atau menyesuaikan diri dengan kenyataan yang
negatif.
3. Mempertahankan gambaran diri yang positif.
4. Mempertahankan keseimbangan emosional.
5. Melanjutkan kepuasan terhadap hubungannya dengan orang
lain.
Efektifitas koping bergantung pada keberhasilan pemenuhan
coping task. Individu tidak harus memenuhi semua koping task untuk
ditanyakan berhasil melakukan koping dengan baik. Setelah koping
dapat memenuhi sebagian atas semua fungsi tugas tersebut, maka
dapat terlihat bagaimana coping outcome yang dialami tiap individu.
Coping outcome adalah kriteria hasil koping untuk menentukan
keberhasilan koping.
Beberapa kriteria coping outcome menurut (Taylor 1991 : 95
dalam Nasir, 2011), sebagai berikut :
1. Ukuran fungsi fisiologis, yaitu koping dinyatakan berhasil
bila koping yang dilakukan dapat mengurangi indikator dan
membangkitkan (arouosal) stress seperti menurunnya
tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem
pernapasan.
23

2. Apakah individu dapat kembali pada keadaan seperti


sebelum ia mengalami stres dan seberapa cepat ia dapat
kembali. Koping dinyatakan berhasil bila koping yang
dilakukan dapat membawa individu kembali pada keadaan
seperti sebelum mengalami stres.
3. Efektivitas dalam mengurangi psychological distres. Koping
dinyatakan berhasil jika koping tersebut dapat mengurangi
rasa cemas dan depresi pada individu

E. Penelitian Terkait
Penelitian terkait dengan hubungan dukungan keluarga sebagai
bentuk dari dukungan sosial yang dilakukan oleh Handayani, dkk (2011),
dengan judul hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup pasien
penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa di RSUP
Sanglah Denpasar dengan menggunakan metode penelitian correlation
study dengan rancangan penelitian cross sectional yang mana data yang
dikumpulkan satu kali saja dengan cara memberikan dua jenis kuesioner
untuk masing - masing variable yang diteliti, populasi yang digunakan
adalah seluruh pasien yang menjalani terapi hemodialisa regular dua kali
seminggu di Instalasi Unit Hemodialisa RSUP Sanglah Denpasar sebanyak
184 pasien, tetapi peneliti hanya mengambil 50 pasien yang telah
memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, dengan hasil penelitian
adanya hubungan signifikan antara dukungan keluarga dengan kualitas
hidup pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisa di RSUP Sanglah Denpasar, yang berarti bahwa dukungan
keluarga merupakan salah satu faktor yang berhubungan sangat kuat
dengan kualitas hidup pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisa.
Menurut penelitian dengan judul hubungan dukungan keluarga
dengan mekanisme koping pasien CDK derajat 5 yang menjalani terapi
hemodialisa di poli hemodialisa RSD dr. Soebandi Jember dilakukan oleh
24

Evi Ratnani, dkk (2015), dengan menggunakan metode penelitian korelasi


dengan pendekatan cross sectional, sampel pasien CKD sebanyak 80
orang dengan kriteria pasien yang menjalani terapi hemodialisa lebih dari
1x, menggunakan teknik sampling consecutive sampling, dengan hasil
dukungan keluarga pada pasien CKD derajat 5 yang menjalani terapi
hemodialisa di poli hemodialisa RSD dr. Soebandi Jember sebagian besar
didapatkan dukungan keluarga yang baik, sedangkan mekanisme koping
pada pasien CKD derajat 5 yang menjalani terapi hemodialisa sebagian
besar adalah menggunakan mekanisme koping yang adaptif, dengan
simpulan adanya hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga
dengan mekanisme koping pasien CKD derajat 5 yang menjalani terapi
hemodialisa di poli hemodialisa RSD dr. Soebandi Jember.
Penelitian dengan judul hubungan stres, depresi, dan dukungan
sosial dengan kepatuhan pembatasan asupan nutrisi dan cairan pada pasien
gagal ginjal kronik yang dilakukan oleh Minta Ito (2014), memiliki tujuan
untuk mengidentifikasi dan menjelaskan hubungan stres, depresi, dan
dukungan sosial dengan kepatuhan pembatasan nutrisi dan cairan pada
pasien gagal ginjal kronik, menggunakan desain penelitian cross sectional
dengan jumlah sampel 96 responden, populasi yang didapat dengan
purposive sampling, menggunakan metode pengumpulan data dengan cara
mengisi kuesioner. Hasil penelitian menggunakan uji spearman (bivariat),
analisa korelasi yang didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara
stres, depresi, dukungan sosial dengan kepatuhan pembatasan nutrisi pada
pasien gagal ginjal kronik dan ada hubungan yang bermakna antara stres,
depresi, dukungan sosial dengan kepatuhan pembatasan cairan pada pasien
gagal ginjal kronik.
Hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan resiliensi pada
pasien gagal ginjal yang menjalani terapi hemodialaisa penelitian yang
dilakukan oleh Arumingtyas (2012) memiliki tujuan untuk mengetahui
hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan resiliensi pada pasien
gagal ginjal yang menjalani terapi hemodialisa, untuk mengetahui tingkat
25

dukungan sosial keluarga terhadap resiliensi pada pasien gagal ginjal yang
menjalani terapi hemodialisa, dan untuk mengetahui sumbangan efektifitas
dukungan sosial keluarga terhadap resiliensi pada pasien gagal ginjal yang
menjalani terapi hemodialisa. Hipotesis yang digunakan adalah adanya
hubungan positif antara dukungan sosial keluarga dengan resiliensi pada
pasien gagal ginjal yang menjalani terapi hemodialisa dengan subjek yang
digunakan sebanyak 56 orang dengan alat ukur yang digunakan skala
resiliensi dan skala dukungan sosial keluarga. Teknik analisis data yang
digunakan adalah korelasi product memont, dengan hasil adanya hubungan
positif yang sangat signifikan antara dukungan sosial keluarga dengan
resiliensi pada pasien gagal ginjal yang menjalani terapi hemodialisa.
Hasil penelitian Yemima, dkk (2013) dengan judul mekanisme
koping pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis di RS Prof. dr. R. D. Kandou Manado memiliki tujuan untuk
mengetahui bagaimana mekanisme koping pada pasien gagal ginjal kronik
yang menjalani terapi hemodialisa, jenis penelitian deskriptif. Dengan
sampel menggunakan metode Aksidental sampling, yaitu sebuah teknik
penentuan sampel berdasarkan kebutuhan kebetulan dengan jumlah
sampel 59 responden berdasarkan rumus penentuan besar sampel,
instrument yang digunakan berupa kuesioner dengan hasil penelitian
menunjukkan bahwa responden yang menggunakan koping adaptif 27
orang, sedangkan yang menggunakan koping maladaptive 32 orang dapat
disimpulkan bahwa pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisa lebih banyak menggunakan menkanisme koping maladaptif.
Penelitian yang dilakukan oleh Devi dan Dwita (2015) dengan judul
pengaruh illness perception, dukungan sosial, dan health locus of control
terhadap kepatuhan pada pasien gagal ginjal kronik. Menggunakan desain
penelitian dengan tipe kuantitatif. Penelitian dilakukan dengan
menyebarkan kuesioner kepada pasien gagal ginjal kronik yang tercatat
pada Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI), di atas 18 tahun. Metode
analisa data dengan menggunakan analisis jamak, analisis regresi jamak
26

digunakan untuk mengetahui pengaruh dari lebih satu prediktor terhadap


suatu outcome variable. Dengan hasil penelitian faktor protektif yang
berperan dalam kepatuhan pasien gagal ginjal konik adalah powerful
others dan treatment control, serta faktor resiko yang berperan dalam
kepatuhan pasien gagal ginjal kronis adalh berjenis kelamin perempuan,
dukungan sosial, timeline cyclical, dan emotional representation.
Hubungan mekanisme koping dengan kejadian depresi pada pasien
gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di ruang hemodialisa
RSUD Raden Mattaher Jambi yang dilakukan oleh Baso Abdul Hamit
(2017) dengan tujuan untuk melihat hubungan mekanisme koping dengan
kejadian depresi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
hemodialisa. Merupakan penelitian kuntitatif dengan metode cross
sectional, menggunakan kuesioner dalam pengumpulan data dengan
populasi sebanyak 124 responden dan sampel yang dipilih menggunakan
teknik purposive sampling sebanyak 32 responden. Menggunakan analisis
univariat dan bivariat dengan uji Chi-square. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa adanya hubungan mekanisme koping dengan
kejadian depresi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisa di ruang hemodialisa RSUD Raden Mattaher Jambi.
Penelitian faktor - faktor yang berhubungan dengan mekanisme
koping pada klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa di
RS Sentra Medika Cikarang, yang dilakukan oleh Hyang Reksa Agung
(2016), bertujuan untuk mengetahui faktor - faktor yang berhubungan
dengan mekanisme koping pada klien gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisa yaitu jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan, harapan
akan self efficacy, dukungan sosial/keluarga. Menggunakan metode
analitik kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Sampel yang
digunakan sebanyak 30 responden dengan metode pengambilan sampel
total sampling menggunakan kuesioner. Analisa data yang digunakan
adalah analisa univariat dan bivariat berupa Chi-square. Dengan hasil
penelitian adanya hubungan yang bermakna dan signifikan antara
27

pendidikan, jenis kelamin, pengetahuan, harapan akan self efficacy, dan


dukungan sosial/keluarga dengan mekanisme koping pada klien gagal
ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa.
Penelitian yang dilakukan oleh Yunie dan Desi (2014) dengan judul
faktor yang berkorelasi terhadap mekanisme koping pasien CKD yang
menjalani hemodialisis di RSUD kota Semarang yang bertujuan untuk
menganalisis faktor yang berkontribusi terhadap mekanisme koping pasien
CKD yang menjalani hemodialisa dengan desain penelitian deskriptif
korelasi, sampel yang diambil sebanyak 39 responden. Analisis data yang
digunakan univariat untuk mendeskripsikan distribusi dari masing -
masing komplikasi yang terjadi. Penghitungan statistic yang digunakan
adalah tendensi sentral, persentase dan proporsi. Analisis bivariat
menggunakan korelasi pearson product meomment karena hasil uji
normalitas data menggunakan Saphiro Wilk menunjukkan bahwa data
berdistribusi normal. Dengan hasil penelitian adalah tidak adanya
hubungan antara umur dengan responden mekanisme koping, adanya
hubungan antara lama CKD dengan mekanisme koping, adanya hubungan
antara lama menjalani HD dengan mekanisme koping, dan adanya
hubungan sangat signifikan antara respon penerimaan stres terhadap
mekanisme koping pasien.
Gambaran mekanisme koping pada pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisa di ruang hemodialisa RSUD Prof. dr. W. Z.
Johannes Kupang yang dilakukan oleh Engelbertus, dkk (2016) dengan
tujuan untuk mengetahui jenis mekanisme koping pasien gagal ginjal
kronik yang menjalani terapi hemodialisa, merupakan jenis penelitian
deskriptif, menggunakan metode purposive sampling, dengan jumlah
sampel 57 responden menggunakan instrument kuesioner. Dengan hasil
penelitian menunjukkan bahwa responden yang menggunakan koping
adaptif sebanyak 52 orang, sedangkan yang menggunakan mekanisme
koping maladaptif sebanyak 5 orang. Dapat disimpulkan bahwa pasien
gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa di ruang
28

hemodialisa RSUD Prof. dr. W. Z. Johannes Kupang menggunakan


mekanisme koping adaptif.

Anda mungkin juga menyukai