Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH PENYAKIT ISPA

1. Batasan / Definisi :
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernafasan akut
yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih
14 hari, ISPA mengenai struktur saluran di atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini
mengenai bagian saluran atas dan bawah secara stimulan atau berurutan (Muttaqin,
2008).
ISPA adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari
saluran pernafasan mulai dari hidung hingga alveoli termasuk jaringan adneksanya
seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Nelson, 2003).
Jadi disimpulkan bahwa ISPA adalah suatu tanda dan gejala akut akibat
infeksi yang terjadi disetiap bagian saluran pernafasan atau struktur yang
berhubungan dengan pernafasan yang berlangsung tidak lebih dari 14 hari

2. Epidemiologi/ Patologi
Distribusi Penyakit ISPA
a. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Orang
Penyakit ISPA lebih sering diderita oleh anak-anak. Daya tahan tubuh anak
sangat berbeda dengan orang dewasa karena sistim pertahanan tubuhnya belum
kuat. Kalau di dalam satu rumah seluruh anggota keluarga terkena pilek, anak-
anak akan Universitas Sumatera Utara 26 lebih mudah tertular. Dengan kondisi
tubuh anak yang masih lemah, proses penyebaran penyakit pun menjadi lebih
cepat. Dalam setahun seorang anak rata-rata bisa mengalami 6-8 kali penyakit
ISPA.
Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk dengan menganalisa data Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) 1998, didapatkan bahwa prevalensi penyakit ISPA
berdasarkan umur balita adalah untuk usia < 6 bulan (4,5%), 6-11 bulan (11,5%),
12-23 bulan (11,8%), 24-35 bulan (9,9%), 36-47 bulan (9,2%), 48-59 bulan
(8,0%)
Berdasarkan hasil penelitian Ridwan Daulay di Medan pada tahun 1999
mendapatkan bahwa kejadian ISPA atas tidak ada bedanya antara laki-laki dan
perempuan, sedangkan ISPA bawah pada umur < 6 tahun lebih sering pada anak
lakiclaki. Sesuai dengan penelitian Djaja, dkk (2001) prevalensi ISPA pada anak
laki laki (9,4%) hampir sama dengan perempuan (9,3%).
b. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Tempat
ISPA, diare dan kurang gizi merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada anak di negara maju dan berkembang. ISPA merupakan penyebab
morbiditas utama pada negara maju sedangkan di negara berkembang
morbiditasnya relatif lebih kecil tetapi mortalitasnya lebih tinggi terutama
disebabkan oleh ISPA bagian bawah atau pneumonia.
Menurut penelitian Djaja, dkk (2001) didapatkan bahwa prevalensi ISPA di
perkotaan (11,2%), sementara di pedesaan (8,4%); di Jawa-Bali (10,7%),
sementara di luar Jawa-bali (7,8%).6 Berdasarkan klasifikasi daerah prevalensi
ISPA untuk daerah tidak tertinggal (9,7%), sementara di daerah tertinggal (8,4%).
c. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Waktu
Berdasarkan hasil kesepakatan Declaration of the World Summit for Children
pada 30 desember 1999 di New York, AS ditargetkan bahwa penurunan kematian
akibat pneumonia balita sampai 33% pada tahun 1994-1999. Sedangkan di
Indonesia sendiri oleh Dirjen PPM & PL menargetkan bahwa angka kematian
balita akibat penyakit ISPA 5 per 1000 pada tahun 2000 akan diturunkan menjadi
3 per 1000 pada akhir tahun 2005.
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, terlihat bahwa cakupan
pneumonia penderita dan pengobatan dari target (perkiraan penderita) masih
relatif rendah, tahun 2000 ada 30,1%; tahun 2001 ada 25%; tahun 2002 ada
22,1%; tahun 2003 ada 30%; tahun 2004 ada 36%; tahun 2005 ada 27,7%. Hasil
pantauan yang dilakukan ini belum menggambarkan kondisi yang sebenarnya oleh
karena masih ada beberapa wilayah yang belum menyampaikan laporannya.
Penelitian Septri Anti (2007), dari catatan bulanan program P2 ISPA Kota
Medan tahun 2002-2006 didapatkan bahwa berdasarkan hasil uji regresi linier
terdapat nilai signifikan sebesar 0,552 (>0,05), tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara waktu dengan jumlah penderita ISPA pada balita, hal ini berarti
bahwa adanya kecenderungan peningkatan jumlah balita penderita ISPA, dimana
penderita penyakit ISPA pada tahun 2002 berjumlah 8.836 orang dan pada tahun
2007 mencapai 9.412 orang.

Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit ISPA


a. Agent
Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa
secara akut atau kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks, faringitis,
tonsilitis, dan sinusitis. Rinitis simpleks atau yang lebih dikenal sebagai
selesma/common cold/koriza/flu/pilek, merupakan penyakit virus yang paling
sering terjadi pada manusia. Penyebabnya adalah virus Myxovirus, Coxsackie,
dan Echo.
Berdasarkan hasil penelitian Isbagio (2003), mendapatkan bahwa bakteri
Streptococcus pneumonie adalah bakteri yang menyebabkan sebagian besar
kematian 4 juta balita setiap tahun di negara berkembang. Isbagio ini mengutip
penelitian WHO dan UNICEF tahun 1996, di Pakistan didapatkan bahwa 95%
S.pneumococcus kehilangan sensitivitas paling sedikit pada satu antibiotika,
hampir 50% dari bakteri yang diperiksa resisten terhadap kotrimoksasol yang
merupakan pilihan untuk mengobati infeksi pernafasan akut. Demikian pula di
Arab Saudi dan Spanyol 60% S. pneumonie ditemukan resisten terhadap
antibiotika.
Berdasarkan hasil penelitian Parhusip (2004), yang meneliti spektrum dari 101
penderita infeksi saluran pernafasan bagian bawah di BP4 Medan didapatkan
bahwa semua penderita terlihat hasil biakan positif, pada dua penderita dijumpai
tumbuh dua galur bakteri sedangkan yang lainnya hanya tumbuh satu galur.
Bakteri gram positif dijumpai sebanyak 54 galur (52,4%) dan bakteri gram negatif
49 galur (47,6%).
Dari hasil biakan terlihat bahwa yang terbanyak adalah bakteri Streptococcus
viridans 38 galur sebesar 36,89%, diikuti oleh Enterobacter aerogens 19 galur
Universitas Sumatera Utara 29 sebesar 18,45%, Pseudomonas aureginosa 16 galur
sebesar 15,53%, Klebsiella sp 14 galur sebesar 13,59%, Stapilococcus aureus 13
galur sebesar 12,62%, Pneumococcus 2 galur sebesar 1,94%, dan Sreptococcus
pneumonie 1 galur sebesar 0,97%.
b. Manusia
1. Umur
Berdasarkan hasil penelitian Daulay (1999) di Medan, anak berusia
dibawah 2 tahun mempunyai risiko mendapat ISPA 1,4 kali lebih besar
dibandingkan dengan anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi karena anak di
bawah usia 2 tahun imunitasnya belum sempurna dan lumen saluran nafasnya
masih sempit.
Berdasarkan hasil penelitian Maya di RS Haji Medan (2004),
didapatkan bahwa proporsi balita penderita pneumonia yang rawat inap dari
tahun 1998 sampai tahun 2002 terbesar pada kelompok umur 2 bulan - < 5
tahun adalah 91,1%. demikian juga penelitian Maafdi di RS Advent Medan
tahun 2006, didapatkan bahwa proporsi balita penderita pneumonia terbesar
pada kelompok umur 2 bulan -< 5 tahun sebesar 82,1% sementara kelompok
umur <2 bulan sebesar 17,9%
2. Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian Kartasasmita (1993), menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan prevalensi, insiden maupun lama ISPA pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan. Namun menurut beberapa penelitian
kejadian ISPA lebih sering didapatkan pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan, terutama anak usia muda, dibawah 6 tahun. Menurut Glenzen dan
Deeny, anak laki-laki lebih rentan terhadap ISPA yang lebih berat,
dibandingkan dengan anak perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian Dewi, dkk di Kabupaten Klaten (1996),
didapatkan bahwa sebagian besar kasus terjadi pada anak laki-laki sebesar
58,97%, sementara untuk anak perempuan sebesar 41,03%.
3. Status Gizi
Di banyak negara di dunia, penyakit infeksi masih merupakan
penyebab utama kematian terutama pada anak dibawah usia 5 tahun. Akan
tetapi anak-anak yang meninggal karena penyakit infeksi itu biasanya
didahului oleh keadaan gizi yang kurang memuaskan. Rendahnya daya tahan
tubuh akibat gizi buruk sangat memudahkan dan mempercepat
berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh.25
Hasil penelitian Dewi, dkk (1996) di Kabupaten Klaten, dengan desain
cross sectional didapatkan bahwa anak yang berstatus gizi kurang/buruk
mempunyai risiko pneumonia 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan anak
yang berstatus gizi baik/normal.
Hasil penelitian Mustafa di Kota Banda Aceh (2006), dengan desai
cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat antara penyakit ISPA
dengan status gizi anak balita menunjukkan bahwa anak balita yang menderita
penyakit ISPA didapatkan 2,19 kali mempunyai status gizi tidak baik
dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita penyakit ISPA (p =
0.038).
Salah satu penentuan status gizi adalah klasifikasi menurut Keputusan
Menteri Kesehatan RI No. 920/Menkes/SK/VIII/2002 untuk keperluan
Pemantauan Status Gizi (PSG) anak balita dengan mengukur berat badan
terhadap umur. Status gizi diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:
1) Gizi lebih : bila Z_Skor terletak > +2 SD
2) Gizi Baik : bila Z_Skor terletak diantara -2 SD s/d +2 SD
3) Gizi kurang : bila Z_Skor terletak pada < -2 SD s/d - 3 SD
4) Gizi Buruk : bila Z_Skor terletak < -3 SD
4. Berat Badan Lahir
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir
<2500 gram Menurut Tuminah (1999), bayi dengan BBLR mempunyai angka
kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat 2500 gram saat lahir
selama tahun pertama kehidupannya. Pneumonia adalah penyebab kematian
terbesar akibat infeksi pada bayi baru lahir
Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006), didapatkan
bahwa proporsi anak balita yang menderita pneumonia dengan berat badan
lahir <2500 gram sebesar 62,2%.
5. Status ASI Eksklusif
Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang bayi
kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus,
terutama selama minggu pertama (4-6 hari) payudara akan menghasilkan
kolostrum, yaitu ASI awal mengandung zat kekebalan (Imunoglobulin,
Lisozim, Laktoperin, bifidus factor dan sel-sel leukosit) yang sangat penting
untuk melindungi bayi dari infeksi.
Bayi (0-12 bulan) memerlukan jenis makanan ASI, susu formula, dan
makanan padat. Pada enam bulan pertama, bayi lebih baik hanya mendapatkan
ASI saja (ASI Eksklusif) tanpa diberikan susu formula. Usia lebih dari enam
bulan baru diberikan makanan pendamping ASI atau susu formula, kecuali
pada beberapa kasus tertentu ketika anak tidak bisa mendapatkan ASI, seperti
ibu dengan komplikasi postnatal
Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006),
didapatkan bahwa proporsi balita yang tidak mendapat ASI eksklusif
menderita pneumonia sebesar 56,2%, sedang yang tidak menderita pneumonia
38,8%. Hasil uji statistik diperoleh bahwa anak balita yang menderita
pneumonia risikonya 2 kali lebih besar pada anak balita yang tidak mendapat
ASI eksklusif.
6. Status Imunisasi
Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap
penyakit menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi
tertentu. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan
penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak.
Imunisasi bermanfaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit seperti, POLIO
(lumpuh layu), TBC (batuk berdarah), difteri, liver (hati), tetanus, pertusis.
Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian dari akibat penyakit-
penyakit tersebut. Jadwal pemberian imunisasi sesuai dengan yang ada dalam
Kartu Menuju Sehat (KMS) yaitu BCG : 0-11 bulan, DPT 3x : 2-11 bulan,
Polio 4x : 0-11 bulan, Campak 1x : 9-11 bulan, Hepatitis B 3x : 0-11 bulan.
Selang waktu pemberian imunisasi yang lebih dari 1x adalah 4 minggu.
Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006),
didapatkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kejadian pneumonia
pada balita dengan status imunisasi. Hasil uji statistik diperoleh nilai OR = 2,5
(CI 95%; 2.929 4.413), artinya anak balita yang menderita pneumonia
risikonya 2,5 kali lebih besar pada anak yang status imunisasinya tidak
lengkap.28 Berbeda dengan hasil penelitian Afrida di Medan (2007), hasil uji
chi square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
status imunisasi bayi dengan kejadian penyakit ISPA (p>0,05).
c. Lingkungan
1. Kelembaban Ruangan
Berdasarkan KepMenKes RI No. 829 tahun 1999 tentang kesehatan
perumahan menetapkan bahwa kelembaban yang sesuai untuk rumah sehat
adalah 40-70%, optimum 60%.
2. Suhu ruangan
Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan (2004), dengan
desain cross sectional didapatkan bahwa kelembaban ruangan berpengaruh
terhadap terjadinya ISPA pada balita. Berdasarkan hasil uji regresi, diperoleh
bahwa faktor kelembaban ruangan mempunyai exp (B) 28,097, yang artinya
kelembaban ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor
risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 28 kali.
Suhu Ruangan Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu
optimum 18- 300 C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah 180 C atau
diatas 300 C keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat. Suhu ruangan yang
tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita
sebesar 4 kali.
3. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga agar
aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O2
yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi
akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang
bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat.30 Sirkulasi udara dalam rumah
akan baik dan mendapatkan suhu yang optimum harus mempunyai ventilasi minimal
10% dari luas lantai
Berdasarkan hasil penelitian Afrida (2007), didapatkan bahwa prevalens rate ISPA
pada bayi yang memiliki ventilasi kamar tidur yang tidak memenuhi syarat
kesehatan sebesar 69,9%, sedangkan untuk yang memenuhi syarat kesehatan
sebesar 30,1%. Hasil uji statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna
antara kondisi ventilasi dengan kejadian penyakit ISPA (p <0,05).
4. Kepadatan Hunian Rumah
Kepadatan penghuni dalam rumah dibedakan atas 5 kategori yaitu, 3,9 m 2 /orang,
4-4,9 m2 /orang, 5-6,9 m2 /orang, 7-8 m2 /orang, 9 m2 /orang. Dikatakan padat
jika luas lantai rumah 3,9 m2 /orang, dan tidak padat jika luas lantai rumah 4 m2
/orang.31 Menurut Gani dalam penelitiannya di Sumatera Selatan (2004)
menemukan proses kejadian pneumonia pada anak balita lebih besar pada anak
yang tinggal di rumah yang padat dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah
yang tidak padat.
Berdasarkan hasil penelitian Chahaya tahun 2004, kepadatan hunian rumah dapat
memberikan risiko terjadinya ISPA sebesar 9 kali
5. Penggunaan Anti Nyamuk
Penggunaan Anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk
dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena menghasilkan asap
dan bau tidak sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan
merusak mekanisme pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya
gangguan pernafasan.
Berdasarkan hasil penelitian Afrida (2007), didapatkan bahwa adanya
hubungan yang bermakna antara penggunaan anti nyamuk dengan kejadian
penyakit ISPA (p <0,05).
6. Bahan Bakar Untuk Memasak
Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat menyebabkan
kualitas udara menjadi rusak. Kualitas udara di 74% wilayah pedesaan di
China tidak memenuhi standar nasional pada tahun 2002, hal ini menimbulkan
terjadinya peningkatan penyakit paru dan penyakit paru ini telah menyebabkan
1,3 juta kematian.
Berdasarkan hasil penelitian Afrida (2007), prevalens rate ISPA pada bayi
yang dirumahnya menggunakan bahan bakar untuk memasak adalah minyak
tanah sebesar 76,6%, sedangkan gas elpiji sebesar 33,3%. Hasil uji chi square
menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara penggunaan bahan
bakar memasak dengan kejadian penyakit ISPA (p < 0,05).
7. Keberadaan Perokok
Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap
rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan racun antara
lain Carbon Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan
lain-lain.
Berdasarkan hasil penelitian Pradono dan Kristanti (2003), secara keseluruhan
prevalensi perokok pasif pada semua umur di Indonesia adalah sebesar 48,9%
atau 97.560.002 penduduk. Prevalensi perokok pasif pada laki-laki 32,67%
atau 31.879.188 penduduk dan pada perempuan 67,33% atau 65.680.814
penduduk. Sedangkan prevalensi perokok aktif pada laki-laki umur 10 tahun
ke atas adalah sebesar 54,5%, pada perempuan 1,2%.
Prevalensi perokok pasif pada balita sebesar 69,5%, pada kelompok umur 5-9
tahun sebesar 70,6% dan kelompok umur muda 10-14 tahun sebesar 70,5%.
Tingginya prevalensi perokok pasif pada balita dan umur muda disebabkan
karena mereka masih tinggal serumah dengan orang tua ataupun saudaranya
yang merokok dalam rumah.
Berdasarkan hasil penelitian Syahril (2006), dari hasil uji statistik diperoleh
nilai OR = 2,7 (CI 95%; 1.481 4.751) artinya anak balita yang menderita
pneumonia risikonya 2,7 kali lebih besar pada anak balita yang terpapar asap
rokok dibandingkan dengan yang tidak terpapar.
8. Status Ekonomi dan Pendidikan

Persepsi masyarakat mengenai keadaan sehat dan sakit berbeda dari satu

individu dengan individu lainnya. Bagi seseorang yang sakit, persepsi terhadap

penyakitnya merupakan hal yang penting dalam menangani penyakit tersebut.

Untuk

bayi dan anak balita persepsi ibu sangat menentukan tindakan pengobatan yang

akan diterima oleh anaknya.6

Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk (2001), didapatkan bahwa bila

rasio pengeluaran makanan dibagi pengeluaran total perbulan bertambah besar,

maka jumlah ibu yang membawa anaknya berobat ke dukun ketika sakit lebih

banyak. Bedasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa ibu dengan status

ekonomi tinggi 1,8 kali lebih banyak pergi berobat ke pelayanan kesehatan

dibandingkan dengan ibu yang status ekonominya rendah.6

Ibu dengan pendidikan lebih tinggi, akan lebih banyak membawa anak

berobat ke fasilitas kesehatan, sedangkan ibu dengan pendidikan rendah lebih

banyak mengobati sendiri ketika anak sakit ataupun berobat ke dukun. Ibu yang
berpendidikan minimal tamat SLTP 2,2 kali lebih banyak membawa anaknya ke

pelayanan kesehatan ketika sakit dibandingkan dengan ibu yang tidak bersekolah,

hal ini disebabkan karena ibu yang tamat SLTP ke atas lebih mengenal gejala

penyakit yang diderita oleh balitanya.

3. Patogenesis/Patofisiologi

Pemeriksaaan Fisik
1. Nama : Zidan
2. Umur : 5 tahun
3. Kk :walanda 32 thn
4. Pekerjaaan : karyawan
5. Alamat : jl. Perintis kemerdekaan RT 004/013 (kp. Warung jengkol)

Diagnosis demam kurang lebih 2 hari batuk pilek

Tanda tanda vital n : 80

R: 20

S: 37

Bb 33,5

Ispa

Faringritis

P: minum air putih yang cukup

Istirahat yang cukup

Kontrol k/p

Kasus 2

Nama : tn. Moh chalik sh (61)

S: pasien dengan

Tanda tanda vital

T :130/80

N : 80

R :20

S: 36

Bb: 65
Tb : 67

P : rutin kepoli

Minum obat teratur

Anda mungkin juga menyukai