Anda di halaman 1dari 16

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi Dermatitis Atopik


Dermatitis atopik adalah suatu dermatitis yang bersifat kronik residif yang
dapat terjadi pada bayi, anak dan dewasa dengan riwayat atopi pada penderita atau
keluarganya (Dharmadji, 2006).

2.2. Epidemiologi

Dermatitis atopik (DA) merupakan masalah kesehatan masyarakat utama


di seluruh dunia dengan prevalensi pada anak-anak 10-20%, dan prevalensi pada
orang dewasa 1-3% (Williams et al, 1999 dalam Leung, et al., 2007; Schultz dan
Hanifin, 2002 dalam Leung dan Bieber, 2003). Dermatitis atopik lebih sering
terjadi pada wanita daripada laki-laki dengan ratio kira-kira 1.5:1 (Kuster, et al.,
1990 dalam Abramovits, 2005). Dermatitis atopik sering dimulai pada awal masa
pertumbuhan (early-onset dermatitis atopic). Empat puluh lima persen kasus
dermatitis atopik pada anak pertama kali muncul dalam usia 6 bulan pertama,
60% muncul pada usia satu tahun pertama dan 85% kasus muncul pertama kali
sebelum anak berusia 5 tahun. Lebih dari 50% anak-anak yang terkena dermatitis
atopik pada 2 tahun pertama tidak memiliki tanda-tanda sensitisasi IgE, tetapi
mereka menjadi jauh lebih peka selama masa dermatitis atopik (Illi et al., 2004
dalam Bieber, 2008). Sebagian besar yaitu 70% kasus penderita dermatitis atopik
anak, akan mengalami remisi spontan sebelum dewasa. Namun penyakit ini juga
dapat terjadi pada saat dewasa ( late onset dermatitis atopic ), dan pasien ini
dalam jumlah yang besar tidak ada tanda-tanda sensitisasi yang dimediasi oleh
IgE (Novak dan Bieber, 2003 dalam Bieber, 2008).
Menurut International Study of Asthma and Allergies in Children,
prevalensi penderita dermatitis atopik pada anak bervariasi di berbagai negara.
Prevalensi dermatitis atopik pada anak di Iran dan China kurang lebih sebanyak

Universitas Sumatera Utara


2%, di Australia, England dan Scandinavia sebesar 20%. Prevalensi yang tinggi
juga didapatkan di Negara Amerika Serikat yaitu sebesar 17,2% (Flohr, et al.,
dalam Zulkarnain, 2009; Laughter, et al., 2000 dalam Simpson dan Hanifin,
2005).
Penelitian Yuin Chew Chan dkk, di Asia Tenggara didapatkan prevalensi
dermatitis atopik pada orang dewasa adalah sebesar kurang lebih 20% (Chan et
al., 2006 dalam Zulkarnain, 2009).
Data mengenai penderita dermatitis atopik pada anak di Indonesia belum
diketahui secara pasti. Berdasarkan data di Unit Rawat jalan Penyakit Kulit Anak
RSU Dr. Soetomo didapatkan jumlah pasien dermatitis atopik mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Jumlah pasien dermatitis atopik baru yang
berkunjung pada tahun 2006 sebanyak 116 pasien (8,14%) dan pada tahun 2007
sebanyak 148 pasien (11,05%), sedangkan tahun 2008 sebanyak 230 pasien
(17,65%) (Zulkarnain, 2009).
Penyebab dari peningkatan prevalensi dermatitis atopik belum sepenuhnya
dimengerti. Riwayat keluarga yang positif mempunyai peran yang penting dalam
kerentanan terhadap dermatitis atopik, namun faktor genetik saja tidak dapat
menjelaskan peningkatan prevalensi yang demikian besar. Dari hasil observasi
yang dilakukan pada negara-negara yang memiliki ethnis grup yang sama
didapatkan bahwa faktor lingkungan berhubungan dengan peningkatan risiko
dermatitis atopik (Flohr, et al., 2005 dalam Gondokaryono, 2009; Tay, 2002
dalam Leung, et al., 2007). Prevalensi dermatitis atopik lebih rendah di daerah
pedesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan yang dihubungkan dengan
hygiene hypothesis, yang mendalilkan bahwa ketiadaan pemaparan terhadap
agen infeksi pada masa anak-anak yang dini meningkatkan kerentanan terhadap
penyakit alergi (Williams dan Flohr, 2006 dalam Bieber, 2008; Zutavern, et al.,
2005 dalam Bieber, 2008).
Beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan prevalensi dermatitis
atopik yaitu pada daerah kota dengan peningkatan pemaparan stimulus dari
lingkungan industri yang berbahaya, sosial ekonomi yang tinggi, jumlah anak
yang sedikit, migrasi dari pedesaan ke perkotaan, infeksi terhadap Staphylococcus

Universitas Sumatera Utara


aureus, dan umur ibu yang tua pada saat melahirkan (Larsen dan Hanifin, 2002
dalam Abramovits, 2005; Von, 2000 dalam Abramovits, 2005; Jones, 2002 dalam
Abramovits, 2005; Eichenfield, et al., 2003 dalam Leung, et al., 2007).

2.3. Etiologi dan Patogenesis Dermatitis Atopik


Faktor endogen yang berperan, meliputi faktor genetik, hipersensitivitas
akibat peningkatan kadar immunoglobulin (Ig)E total dan spesifik, kondisi kulit
yang relatif kering (disfungsi sawar kulit), dan gangguan psikis. Faktor eksogen
pada DA, antara lain adalah trauma fisik-kimia-panas, bahan iritan, allergen debu,
tungau debu rumah, makanan (susu sapi, telur), infeksi mikroba, perubahan iklim
(peningkatan suhu dan kelembaban), serta hygiene lingkungan. Faktor endogen
lebih berperan sebagai faktor predisposisi sedangkan faktor eksogen cenderung
menjadi faktor pencetus (Boediardja, 2006).

2.3.1. Faktor Endogen


a. Sawar kulit
Penderita DA pada umumnya memiliki kulit yang relatif kering baik di
daerah lesi maupun non lesi, dengan mekanisme yang kompleks dan terkait erat
dengan kerusakan sawar kulit. Hilangnya ceramide di kulit, yang berfungsi
sebagai molekul utama pengikat air di ruang ekstraselular stratum korneum,
dianggap sebagai penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Variasi pH kulit dapat
menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar kulit
mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss (TEWL) 2-5 kali normal,
kulit akan makin kering dan merupakan port dentry untuk terjadinya penetrasi
allergen, iritasi, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien dermatitis atopik
mensekresi ceramidase yang menyebabkan metabolisme ceramide menjadi
sphingosine dan asam lemak, selanjutnya semakin mengurangi ceramide di
stratum korneum, sehingga menyebabkan kulit makin kering (Soebaryo, 2009).
Selain itu, faktor luar (eksogen) yang dapat memperberat keringnya kulit adalah
suhu panas, kelembaban yang tinggi, serta keringat berlebih. Demikian pula
penggunaan sabun yang bersifat lebih alkalis dapat mengakibatkan gangguan

Universitas Sumatera Utara


sawar kulit. Gangguan sawar kulit tersebut meningkatkan rasa gatal, terjadilah
garukan berulang (siklus gatal-garuk-gatal) yang menyebabkan kerusakan sawar
kulit. Dengan demikian penetrasi alergen, iritasi, dan infeksi menjadi lebih mudah
(Boediardja, 2006).

b. Genetik
Pendapat tentang faktor genetik diperkuat dengan bukti, yaitu terdapat DA
dalam keluarga. Jumlah penderita DA di keluarga meningkat 50% apabila salah
satu orangtuanya DA, 75% bila kedua orangtuanya menderita DA. Risiko terjadi
DA pada kembar monozigot sebesar 77% sedangkan kembar dizigot sebesar 25%.
Dari berbagai penelitian terungkap tentang polimorfisme gen dihubungkan dengan
DA. Selain itu pada penderita DA atau keluarga sering terdapat riwayat rinitis
alergik dan alergi pada saluran napas. Mekanisme imunologik berkaitan erat
dengan ekspresi gen penyandi, diantaranya (Boediardja, 2006):
1. Ekspresi human leucocyte antigen (HLA)-DR pada sel Langerhans meningkat
berkaitan dengan gen penyandi pada kromosom 6p21.3.
2. Aktivasi sel T oleh sel penyaji antigen atau antigen presenting cells (APC)
atau sel Langerhans dengan ekspresi kuat reseptor IgE (FcRI). Selain itu
ditemukan peningkatan jumlah IgE (100-1000 kali lipat) pada sel Langerhans
di epidermis lesi DA yang sangat efisien untuk mempresentasikan alergen
tungau debu rumah ke sel T.
3. Secara konsisten terdapat peningkatan sintesis IgE spesifik terhadap banyak
alergen. Hal tersebut berkaitan dengan kromosom 5q gen penyandi IgE
terangkai dengan penyandi interleukin (IL)-4
4. Peningkatan activated cutaneous lymphocyte antigen (CLA) dan sel T, serta
jumlah IL-4 dan IL-13 produksi sel Th2, yang secara genetik menunjukkan
adanya polimorfisme. Terdapat asosiasi genotip antara gen pengkode sel T
dengan gen pengkode IL-4 pada DA. Peningkatan kadar IL-4 dan IL-13
berperan penting pada induksi produksi IgE.
5. Peningkatan sekresi IL-4 dan IL-13 produksi sel Th2 sesuai penemuan para
peneliti imunogenetik, yaitu adanya polimorfisme :

Universitas Sumatera Utara


- Gen pada 5q3.33 merupakan gen penyandi IL-5, IL-9, IL-10, IL-13.
- Gen pada 5q31-33 merupakan gen penyandi IL-4, IL-5, IL-13 dan
granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) produksi sel
Th2.
- Ditemukan peningkatan IL-6 (dihasilkan sel keratinosit), selain sitokin lain
yang sudah ditemukan sebelumnya, yaitu IL-4, IL-8, IL-10, IL-12, GM-
CSF dan regulated on activation normal T-cell expressed and secreted
(RANTES).
6. Terdapat penurunan kadar interferon (IFN) produksi sel Th1 pada DA :
- IFN- memediasi reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan menghambat
produksi IgE.
- Pada DA kronik didominasi peningkatan IFN- bersama-sama dengan
peningkatan IL-12.
7. Eosinofil pada lesi DA fase akut :
- Terdapat peningkatan kadar sitokin yang dihasilkan sel T helper
(ThCD4+), yaitu : IL-4, IL-5, dan IL-13. Sitokin tersebut yang sangat
berperan penting sebagai induksi molekul adhesi (E selectin) sel endotel
pada inflamasi dan reaksi alergik, sehingga mampu menarik eosinofil
dan sel inflamasi lainnya.
- IL-5 berfungsi memacu perkembangan, aktivitasi, kemotaksis dan
kelangsungan hidup sel eosinofil dalam menghasilkan granul protein
sitotoksik, major basic protein (MBP) pada lesi DA.
8. Ditemukan gen yang berkaitan dengan reseptor, yaitu gen 14q12 penyandi
reseptor sel T (TCR) dan gen 11q13 penyandi reseptor subunit reseptor
subunit IgE (FcRI).
9. Bukti polimorfisme lainnya, antara lain adalah polimorfisme keterikatan
DA dan asma pada gen reseptor di 11q12-13. Pada DA terdapat
keterikatan gen di kromosom 3q21 (penyandi CD80 dan CD86).
Keterikatan antara kromosom 1q21 dan 17q21, kedua lokus tersebut
berdekatan dengan lokus gen penyandi psoriasis (1q21 dan 17q25).

Universitas Sumatera Utara


c. Hipersensitivitas
Berbagai hasil penelitian terdahulu membuktikan adanya peningkatan
kadar IgE dalam serum dan IgE di permukaan sel Langerhans epidermis. Data
statistik menunjukkan peningkatan IgE pada 85% pasien DA dan proliferasi sel
mast. Pada fase akut terjadi peningkatan IL-4, IL-5, IL-13 yang diproduksi sel
Th2, baik di kulit maupun dalam sirkulasi, penurunan IFN-, dan peningkatan
IL-4. Produksi IFN- juga dihambat oleh prostaglandin (PG) E2 mengaktivasi
Th1, sehingga terjadi peningkatan produksi IFN-, sedangkan IL-5 dan IL-13
tetap tinggi. Pasien DA bereaksi positif terhadap berbagai alergen, misalnya
terhadap alergen makanan 40-96% DA bereaksi positif (pada food challenge
test) (Boediardja, 2006).

d. Faktor psikis
Berdasarkan laporan orangtua, antara 22-80% penderita DA menyatakan
lesi DA bertambah buruk akibat stress emosi (Boediardja, 2006).

2.3.2. Faktor eksogen


a. Iritan
Kulit penderita DA ternyata lebih rentan terhadap bahan iritan, antara lain
sabun alkalis, bahan kimia yang terkandung pada berbagai obat gosok untuk
bayi dan anak, sinar matahari, dan pakaian wol (Boediardja, 2006).

b. Alergen
Penderita DA mudah mengalami alergi terutama terhadap beberapa
alergen, antara lain:
1. Alergen hirup, yaitu debu rumah dan tungau debu rumah. Hal tersebut
dibuktikan dengan peningkatan kadar IgE RAST (IgE spesifik) (Boediardja,
2006).
2. Alergen makanan, khususnya pada bayi dan anak usia kurang dari 1 tahun
(mungkin karena sawar usus belum bekerja sempurna). Konfirmasi alergi

Universitas Sumatera Utara


dibuktikan dengan uji kulit soft allergen fast test (SAFT) atau double blind
placebo food challenge test (DBPFCT) (Boediardja, 2006).
3. Infeksi: Infeksi Staphylococcus aureus ditemukan pada > 90% lesi DA dan
hanya pada 5% populasi normal. Hal tersebut mempengaruhi derajat
keparahan dermatitis atopik, pada kulit yang mengalami inflamasi ditemukan
107 unit koloni setiap sentimeter persegi. Salah satu cara S.aureus
menyebabkan eksaserbasi atau mempertahankan inflamasi ialah dengan
mensekresi sejumlah toksin (Staphylococcal enterotoin A,B,C,D - SEA-
SEB-SEC-SED) yang berperan sebagai superantigen, menyebabkan
rangsangan pada sel T dan makrofag. Superantigen S.aureus yang disekresi
permukaan kulit dapat berpenetrasi di daerah inflamasi Langerhans untuk
memproduksi IL-1, TNF dan IL-12. Semua mekanisme tersebut
meningkatkan inflamasi pada DA dengan kemungkinan peningkatan
kolonisasi S.aureus. Demikian pula jenis toksin atau protein S.aureus yang
lain dapat mengindusi inflamasi kulit melalui sekresi TNF- oleh keratinosit
atau efek sitotoksik langsung pada keratinosit (Soebaryo, 2009).

c. Lingkungan
Faktor lingkungan yang kurang bersih berpengaruh pada kekambuhan DA,
misalnya asap rokok, polusi udara (nitrogen dioksida, sufur dioksida),
walaupun secara pasti belum terbukti. Suhu yang panas, kelembaban, dan
keringat yang banyak akan memicu rasa gatal dan kekambuhan DA. Di negara
4 musim, musim dingin memperberat lesi DA, mungkin karena penggunaan
heater (pemanas ruangan). Pada beberapa kasus DA terjadi eksaserbasi akibat
reaksi fotosensitivitas terhadap sinar UVA dan UVB (Boediardja, 2006).

2.4. Imunopatogenesis Dermatitis Atopik


a. Imunitas bawaan (innate)
Sistem imunitas innate (bawaan) dapat segera bereaksi terhadap berbagai
macam kolonisasi mikroba atau alergen atau iritan, serta berperan terhadap awitan
mekanisme imunitas adaptive (didapat). Sel epitel kulit yang merupakan sel yang

Universitas Sumatera Utara


membatasi tubuh dengan lingkungan merupakan mekanisme pertahanan pertama
pada sistem imunitas innate. Sel tersebut dilengkapi dengan sarana untuk
pengenalan, disebut sebagai reseptor pattern recognition (PRR), misalnya reseptor
toll-like (TLR). Dikenal lebih dari 10 macam pada manusia, dapat berikatan
secara spesifik dengan dinding sel bakteri, jamur atau DNA-RNA virus. TLR
dapat berikatan dengan berbagai struktur mikroba karena adanya molekul
permukaan pathogen-associated molecular pattern (PAMP). Terikatnya produk
mikroba pada permukaan sel epitel akan menyebabkan aktivitas selular dengan
mengeluarkan molekul dengan aktivitas antimikroba, disebut sebagai anti-
microbial peptide/protein (AMP). Pada DA, AMP jumlahnya kurang sehingga
menyebabkan pasien dermatitis atopik mudah terinfeksi herpes (Soebaryo, 2009).

b. Imunitas didapat (acquired)


Peran sel T dan konsep Th1/Th2 merupakan hal penting pada dermatitis
atopik. Ketidakseimbangan Th2 sistemik disertai eosinofilia diterima sebagai
patogenesis atopik. Sitokin yang diproduksi sel Th2, misalnya IL-4, IL-5 dan IL-
13 dapat dideteksi pada fase akut penyakit, baik pada lesi kulit maupun non lesi.
IL-4 dan IL-13 terkait dengan awitan jaringan inflamasi dan memicu ekspresi
molekul adhesi di sel endotel. IL-5 terkait dengan keberadaan eosinofil .
Eosinofilia sistemik dan peningkatan eosinophilic cationic protein (ECP) terjadi
sesuai dengan aktivitas penyakit dermatitis atopik. Pada dermatitis atopik fase
kronik terjadi peningkatan kadar IFN-, IL-12, IL-5 dan GMCSF yang
merupakan karakteristik dominasi sel Th1/Th0. Kronisitas dermatitis atopik
terkait dengan produksi sitokin oleh sel Th1, yaitu IL-12 dan IL-18, juga IL-11
dan transforming growth factor (TGF)-1. Dermatitis atopik merupakan penyakit
inflamasi bifasik, dimulai dengan fase akut terkait dengan sel Th2, dilanjutkan
dengan fase kronik terkait dengan sel Th1 (Soebaryo, 2009).

c. Sel dendritik
Sel dendritik merupakan sel penyaji antigen yang professional dan
selanjutnya menyajikannya kepada sel T pada respons imun primer dan sekunder.

Universitas Sumatera Utara


Ada 2 tipe sel dendritik dermatitis atopik yaitu myeloid dendritik (mDC) dan sel
plasmasitoid dendritik (pDC). Pada lesi dermatitis atopik keduanya ditemukan,
tetapi pDC lebih sedikit dibandingkan mDC. Pada kulit yang mengalami inflamasi
terdapat sel inflamasi dendritik epidermal (inflammatory dendritic epidermal cell
IDEC). Sel Langerhans dan IDEC termasuk mDC dan mengekspresikan
reseptor IgE berafinitas tinggi (FcRI) pada lesi dermatitis atopik . Sel Langerhans
dan IDEC berperan sentral pada penyajian antigen ke sel Th1/Th2. FcRI pada Sel
Langerhans ditemukan pada kulit normal pada saat eksaserbasi penyakit atopik
lain, misalnya asma atau rinitis, sedangkan FcRI IDEC ditemukan pada kulit
berlesi. Sel Langerhans berperan aktif pada perkembangan sel T menjadi sel Th2,
sedangkan rangsangan FcRI pada IDEC akan memicu ke arah respons sel Th1
alergik (Bieber, 2008; Akdis, 2003 dalam Soebaryo 2009; Oppel, et al., 2000
dalam Soebaryo 2009). pDC mengekspresikan FcRI secara alami dan mengalami
peningkatan pada dermatitis atopik, penting untuk penanggulangan infeksi virus
dengan cara mengeluarkan interferon (Soebaryo, 2009).

d. Faktor yang berpengaruh pada diferensiasi sel T helper


Sel Th0 dapat berkembang menjadi sel Th1 atau sel Th2 dan rangkaian
reaksi selanjutnya bergantung pada berbagai faktor, termasuk lingkungan sitokin
setempat, latar belakang genetik pejamu, faktor farmakologik, dan penanda
tambahan terkait dengan aktivasi sel T (Soebaryo, 2009).
Pada saat pajanan alergen, lingkungan sitokin berperan penting pada
perubahan sel T helper menjadi sel Th1 atau Th2. Sel Th1 dipicu oleh IL-12 yang
diproduksi makrofag dan sel dendritik. IL-4 menghambat nonlensi dan lesi akut
sel T mengekspresikan peningkatan jumlah IL-4, IL-5 dan IL-13, namun sedikit
IFN-. Lingkungan sitokin tersebut cenderung memicu perkembangan ke arah sel
Th2 dan mengurangi produksi sel Th1. Faktor genetik juga berpengaruh pada
diferensiasi sel T helper. Perbedaan genetik pada aktivitas transkripsi gen IL-4
mempengaruhi predisposisi terjadinya dermatitis atopik (Soebaryo, 2009).
Faktor farmakologis juga berpengaruh terhadap diferensiasi sel T
helper. Leukosit pasien dermatitis atopik mempunyai peningkatan aktivitas enzim

Universitas Sumatera Utara


cyclic adenosine monophosphate (cAMP)-phosphodiesterase (PDE). Hal tersebut
mempengaruhi peningkatan sintesis IgE oleh sel B dan produksi IL-4 oleh sel T
pada dermatitis atopik (Soebaryo, 2009).

e. Ekspresi sitokin dengan pola bifasik pada lesi Dermatitis Atopik


Pola ekspresi lokal sitokin berperan penting pada terjadinya inflamasi di
jaringan setempat. Pada dermatitis atopik pola tersebut bergantung pada umur lesi
kulit. Pada inflamasi akut terutama terlihat ekspresi sitokin IL-4 dan IL-13,
sedangkan pada lesi kronik terutama terlihat ekspresi IL-5 dan IFN-. IL-12
berperan pada perkembangan sel Th1 dan pada lesi kronik ekspresinya pada
eosinofil dan makrofag memicu diferensiasi sel T CD4+ ke arah lesi akut dan
GM-CSF meningkatkan ketahanan hidup sel eosinofil dan makrofag pada lesi
kronik (Soebaryo, 2009).
Peningkatan ekspresi IL-4 dapat diamati 24 jam setelah terpajan
alergen, setelah itu akan terjadi penurunan ekspresi tersebut. Sedangkan ekspresi
IFN- tidak ditemukan dalam 24 jam setelah terpajan alergen, namun terlihat
ekspresi berlebihan 48-72 jam setelah terpajan alergen. Hasil tersebut sesuai
dengan temuan sel Th2 spesifik pada masa awal reaksi uji tempel, sedangkan pola
utama sitokin sel atopi didahului ekspresi puncak IL-12, membuktikan peran IL-
12 pada perkembangan respons Th1. Peningkatan ekspresi IL-12 bersamaan
dengan infiltrasi makrofag dan eosinofil, sel yang mengekspresikan IL-12. Hal
tersebut diatas menggambarkan bahwa fase awal dermatitis atopik dipicu oleh
alergen yang mengaktifkan sel Th2, sedangkan pada respons inflamasi kronik
didominasi oleh respons sel Th1 yang dipicu pula oleh keberadaan makrofag dan
eosinofil yang mengekspresikan IL-12 (Leung dan Soter, 2001 dalam Soebaryo,
2009).

f. Respons sel Th2 terhadap kulit pada Dermatitis Atopik


Rinitis alergik dan asma terjadi pada 80% anak dengan dermatitis
atopik dan pada banyak pasien DA terjadi perburukan bila mengalami alergi
saluran nafas. Hal tersebut sesuai konsep bahwa ekspresi klinis penyakit alergi

Universitas Sumatera Utara


ditentukan sebagian oleh sensitisasi alergen di jaringan lokal dan respons imun di
kulit dibandingkan dengan mukosa saluran napas. Karena penyakit alergi terkait
respons inflamasi yang spesifik pada organ, maka sel T akan bermigrasi ke
berbagai jaringan. Sel T yang bermigrasi tersebut, disebut sebagai sel T-homing,
terutama diatur oleh interaksi antara reseptor sel T-homing dengan antigen
permukaan sel endotel vaskular yang pada manusia disebut cutaneous
lymphocyte-associated antigen (CLA) dan pasangan reseptornya yaitu E-selectin
(Soebaryo, 2009).
Ekspresi sel T yang dipicu oleh CLA diatur oleh berbagai sitokin.
Transforming growth factor (TGF), IL-12 dan IL-6 meningkatkan ekspresi CLA,
tetapi tidak IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-7 dan IFN- (Soebaryo, 2009).

g. Peran multifungsi IgE pada inflamasi kulit atopik


IgE berperan pada infiltrat sel inflamasi dermatitis atopik melalui
berbagai mekanisme termasuk reaksi bifasik, presentasi alergen oleh sel
Langerhans penyandang IgE, aktivasi makrofag penyandang IgE yang dipicu
alergen, dan autoreaktivitas IgE terhadap protein manusia (Soebaryo, 2009).
Kelainan klinis reaksi yang dipicu oleh alergen terkait dengan respons
bifasik dan bergantung pada IgE. Sel mast penyandang IgE mediator ke jaringan
setempat dalam waktu 15-60 menit pasca pajanan. Hal tersebut tergambar setelah
pruritus dan eritema akut. Tiga sampai 4 jam kemudian, setelah reaksi akut
menghilang akan terjadi reaksi lambat (late phase reaction-LPR). Reaksi ditandai
dengan ekspresi molekul adhesi pada endotel kapiler, diikuti infiltrasi eosinofil,
neutrofil dan infiltrat mononuklear sekitar 24-48 jam setelah awitan LPR. Infiltrat
tersebut menunjukkan peningkatan ekspresi mRNA untuk IL-3, IL-4, IL-5 dan
GM-CSF, sehingga timbul dugaan bahwa infiltrat terdiri atas sel Th2 (Soebaryo,
2009).
Permukaan sel Langerhans dan makrofag yang menginfiltrasi lesi DA
menyandang IgE. Terdapat 2 macam reseptor IgE, yaitu reseptor berafinitas tinggi
dan yang berafinitas rendah. Reseptor IgE pada sel Langerhans berafinitas tinggi,
sedangkan reseptor IgE pada makrofag berafinitas rendah. Sebagian besar pasien

Universitas Sumatera Utara


DA mempunyai antibodi IgE yang bersirkulasi terhadap protein manusia. Respons
imun IgE diawali oleh alergen lingkungan dan inflamasi dipertahankan oleh
alergen endogen manusia tersebut (Soebaryo, 2009).
Pruritus akut pada dermatitis atopik dipicu oleh pelepasan berbagai
macam mediator ke kulit setelah terpajan alergen, meski perkembangan lesi
eksematosa bergantung pada trauma kulit akibat garukan (Leung dan Soter, 2001
dalam Soebaryo 2009). Akan terjadi proses inflamasi sebagai akibat keratinosit
mengeluarkan berbagai sitokin proinflamasi sebagai akibat keratinosit
mengeluarkan berbagai sitokin proinflamasi, antara lain IL-1, TNF- , IL-4 dan
CC kemokin yang mampu mengarahkan limfosit, eosinofil dan makrofag ke
tempat terjadinya inflamasi. Pada tahap ini sel residen dan sel yang menginfiltrasi
akan mengeluarkan sitokin dan mediator yang akan mempertahan inflamasi.
Dermatitis atopik merupakan hasil kombinasi antara berbagai mekanisme selular
spesifik maupun nonspesifik yang bertugas memicu dan mempertahankan
inflamasi (Soebaryo, 2009).

2.5. Gejala Klinis

Gejala dermatitis atopik dapat bervariasi pada setiap orang. Gejala yang
paling umum adalah kulit tampak kering dan gatal. Gatal merupakan gejala yang
paling penting pada dermatitis atopik. Garukan atau gosokan sebagai reaksi
terhadap rasa gatal menyebabkan iritasi pada kulit, menambah peradangan, dan
juga akan meningkatkan rasa gatal. Gatal merupakan masalah utama selama tidur,
pada waktu kontrol kesadaran terhadap garukan menjadi hilang. Gambaran kulit
atopik bergantung pada parahnya garukan yang dialami dan adanya infeksi
sekunder pada kulit. Kulit dapat menjadi merah, bersisik, tebal dan kasar,
beruntusan atau terdapat cairan yang keluar dan menjadi keropeng (krusta) dan
terinfeksi (Dewi, 2004). Kulit yang merah dan basah (eksim) disebabkan
peningkatan peredaran darah di kulit akibat rangsangan alergen, stress, atau bahan
pencetus lain. Peningkatan aliran darah diikuti dengan perembesan cairan ke kulit
melalui dinding pembuluh darah. Kulit kering dan bersisik membuat kulit lebih

Universitas Sumatera Utara


sensitif sehingga lebih mudah terangsang. Bila sangat kering kulit akan pecah
sehingga menimbulkan rasa nyeri. Penebalan kulit (likenifikasi) terutama di
daerah yang sering mengalami garukan, disertai dengan perubahan warna menjadi
lebih gelap akibat peningkatan jumlah pigmen kulit. Daerah yang lebih sering
mengalami likenifikasi ialah leher bagian belakang, lengan bawah, daerah pusar,
di atas tulang kering, dan daerah genital. Dermatitis atopik dapat juga mengenai
kulit sekitar mata, kelopak mata dan alis mata. Garukan dan gosokan sekitar mata
menyebabkan mata menjadi merah dan bengkak. (Soebaryo,2002 ).
Gejala dermatitis atopik dibedakan menjadi 3 kelompok usia yaitu
dermatitis atopik pada masa bayi (0-2 tahun), masa anak (2-12 tahun), dan saat
dewasa (>12 tahun). Dermatitis atopik yang terjadi pada masa bayi dan anak
mempunyai gejala yang berbeda-beda, baik dalam usia saat mulai timbul gejala
maupun derajat beratnya penyakit. Pada masa bayi, umumnya gejala mulai terlihat
sekitar usia 6-12 minggu. Pertama kali timbul di pipi dan dagu sebagai bercak-
bercak kemerahan, bersisik dan basah. Kulit pun kemudian mudah terinfeksi.
Kelainan kulit pada bayi umumnya di kedua pipi sehingga oleh masyarakat sering
dianggap akibat terkena air susu ibu ketika disusui ibunya, sehingga dikenal
istilah eksim susu. Sebenarnya, pendapat tersebut tidak benar, pipi bayi yang
mengalami gangguan bukan akibat terkena air susu ibu. Bahkan bayi yang pada
beberapa bulan pertama diberi air susu ibu (ASI) secara ekslusif (hanya ASI saja)
akan lebih jarang terkena penyakit ini dibandingkan bayi yang mendapat susu
formula (Dewi, 2004). Selain itu, sisik tebal bewarna kuning kerak juga sering
ditemui pada bayi di kepala (cradle cap), yang dapat meluas ke daerah muka
(Soebaryo, 2002).
Bersamaan dengan proses tumbuh kembang bayi, saat bayi lebih banyak
bergerak dan mulai merangkak, maka daerah yang terkena dapat meluas ke lengan
dan tungkai. Lesi kulit muncul sebagai bintil-bintil merah kecil yang terasa gatal
yang dapat bergabung membentuk bercak yang berukuran besar. Pada umumnya
lesinya polimorfik cenderung eksudatif, kadang-kadang disertai dengan infeksi
sekunder atau pioderma. Bayi dengan dermatitis atopik sering tampak gelisah dan
rewel karena rasa gatal dan rasa tak nyaman oleh penyakitnya. Ketika mencapai

Universitas Sumatera Utara


usia sekitar 18 bulan kulit bayi mulai meperlihatkan tanda-tanda perbaikan.
Walaupun demikian bayi tersebut mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk
mempunyai kulit yang kering dan dermatitis atopik di kemudian hari (Dewi, 2004;
Zulkarnain, 2009).
Pada masa anak, pola distribusi lesi kulit mengalami perubahan. Awitan
lesi muncul sebelum umur 5 tahun. Sebagian besar merupakan kelanjutan fase
bayi. Tempat predileksi cenderung di daerah lipat lutut, lipat siku dan sangat
jarang di daerah wajah, selain itu juga dapat mengenai sisi leher (bagian anterior
dan lateral), sekitar mulut, pergelangan tangan, pergelangan kaki, dan kedua
tangan (Dharmadji, 2006; Dewi, 2004). Distribusi lesi biasanya simetris.
Manifestasi dermatitis sub akut dan cenderung kronis. Pada kondisi kronis tampak
lesi hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan likenifikasi. Biasanya kelainan kulit
dimulai dengan beruntusan yang menjadi keras dan bersisik bila digaruk. Kulit di
sekitar bibir dapat juga terkena dan upaya menjilat terus-menerus di daerah
tersebut dapat menyebabkan kulit sekitar mulut pecah-pecah dan terasa nyeri,
demikian pula bagian sudut lobus telinga sering mengalami fisura. Lesi dermatitis
atopik pada anak juga dapat ditemukan di paha dan bokong. Pada sebagian anak
penyakit akan menyembuh untuk jangka waktu yang lama. Pada anak usia sekolah
sering terjadi ruam kulit di kedua paha atas bagian belakang menyerupai
lingkaran tempat duduk (toilet seat eczema). Terdapat bentuk lain yang mengenai
kaki, disebut sebagai eksim kaos kaki (sweaty sock dermatitis), menyerupai
infeksi jamur tetapi sela jari kaki terbebas dari ruam (Zulkarnain, 2009; Wisesa,
2009; Dewi, 2004). Pada awal masa pubertas oleh karena pengaruh hormon,
stress, dan penggunaan produk atau kosmetik perawatan kulit yang bersifat iritasi
penyakit dapat timbul kembali (Dewi, 2004).
Sebagian orang yang mengalami dermatitis atopik pada masa anak juga
mengalami gejala pada masa dewasanya, namun penyakit ini dapat juga pertama
kali timbul pada saat telah dewasa. Gambaran penyakit saat dewasa serupa dengan
yang terlihat pada fase akhir anak. Pada umumnya ditemukan adanya penebalan
kulit di daerah belakang lutut dan fleksural siku serta tengkuk leher. Akibat
adanya garukan secara berulang dan perjalanan penyakit yang kronis, lesi ditandai

Universitas Sumatera Utara


dengan adanya hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan likenifikasi. Distribusi lesi
biasanya simetris. Lokasi lesi menjadi lebih luas, selain fosa kubiti dan poplitea,
juga dapat ditemukan bagian lateral leher, tengkuk, badan bagian atas dan dorsum
pedis. Namun, dapat pula terbatas hanya pada beberapa bagian tubuh, misalnya
hanya tangan atau kaki. Pada fase remaja, area di sekitar puting susu juga dapat
terkena (Zulkarnain, 2009).

2.6. Diagnosis
Sampai saat ini belum ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat
digunakan untuk memastikan penyakit dermatitis atopik. Pada umumnya diagnosis
dibuat dari riwayat adanya penyakit alergi, misalnya eksim, asma dan rinitis
alergik, pada keluarga, khususnya kedua orang tuanya. Kemudian dari gejala yang
dialami pasien, kadang perlu melihat beberapa kali untuk dapat memastikan
dermatitis atopik dan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain serta mempelajari
keadaan yang menyebabkan iritasi/alergi kulit. Para ahli penyakit kulit telah
membuat beberapa kriteria diagnosis dan saat ini banyak digunakan adalah kriteria
yang dikemukakan oleh sarjana Hanifin dan Rajka, yang meliputi kriteria mayor
dan kriteria minor (Zulkarnain, 2009; Dewi, 2004).
Kriteria mayor :
- Rasa gatal
- Gambaran dan penyebaran kelainan kulit yang khas (bayi dan anak di muka
dan lengan)
- Eksim yang menahun dan kambuhan
- Riwayat penyakit alergi pada keluarga (stigmata atopik)
Kriteria minor :
- Kulit kering
- Luka memanjang sekitar telinga (fisura periaurikular)
- Garis telapak tangan lebih jelas (hiperlinearitas Palmaris)
- Bintil keras di siku, lutut (keratosis pilaris)
- White dermographisme : bila kulit digores tumpul, timbul bengkak bewarna
keputihan di tempat goresan

Universitas Sumatera Utara


- Garis Dennie Morgan : garis lipatan di bawah mata
- Kemerahan atau kepucatan di wajah
- Kulit pecah/luka di sudut bibir (keilitis)
- Pitiriasis alba : bercak-bercak putih bersisik
- Perjalanan penyakit dipengaruhi emosi dan lingkungan
- Uji kulit positif
- Peningkatan kadar Immunoglobulin E dalam darah
Seseorang dianggap menderita dermatitis atopik bila ditemukan minimal 3 gejala
mayor dan 3 gejala minor.

2.7. Diagnosis Banding


Kelainan kulit dermatitis atopik sering menunjukkan gambaran
morfologik yang khas, yang dapat menyerupai dermatitis seboroik, dermatitis
kontak, dermatitis numularis, psoriasis, scabies, penyakit Lettere-Siwe,
Acrodermatitis enteropathica, Sindroma Wiskot-Aldrich (Zulkarnain, 2009;
Leung, et al., 2007).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai