Anda di halaman 1dari 31

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH SINAR MATAHARI DAN VITAMIN D TERHADAP

PERKEMBANGAN PENYAKIT TUBERKULOSIS

OLEH:

MUH. FACHREZA PRATAMA GOMA

ST. GIRANTI ARDILIA GUNADI

ANDI AZIZAH NOOR

MENTOR:

Aulia Rahmah Aliah

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2014
DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Penelitian

1.4 Manfaat Penelitian

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori

2.2 Kerangka Teori

2.3 Kerangka Konsep

2.4 Hipotesis

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Desain Penelitian

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.4 Kriteria Sampel Penelitian

3.5 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif Penelitian

3.6 Sumber Data


3.7 Teknik Pengumpulan Data

3.8 Teknik Analisis Data

3.9 Pengecekan Validitas Temuan

3.10 Keterbatasan Penelitian

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis paru adalah penyakit peradangan pada parenkim paru akibat infeksi kuman

Mycobacterium tuberculosis. Sejak dulu, penyakit ini dikenal sebagai penyebab kematian yang

menakutkan hingga Robert Koch menemukan penyebabnya, penyakit ini masih termasuk

penyakit yang mematikan.1

World Health Organization (WHO) memperkirakan sepertiga dari populasi dunia telah

terinfeksi penyakit ini. Tuberkulosis masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama

di dunia. Setiap tahun terdapat 9 juta kasus baru dan kasus kematian hampir mencapai 2 juta

manusia. Di Indonesia, TB paru menduduki urutan ke-4 untuk angka kesakitan sedangkan

sebagai penyebab kematian menduduki urutan ke-5; menyerang sebagian besar kelompok usia

produktif dari kelompok sosioekonomi lemah. Walau upaya memberantas TB telah dilakukan,

tetapi angka insiden maupun prevalensi TB paru di Indonesia tidak pernah turun. Dengan

bertambahnya penduduk bertambah pula jumlah penderita TB paru, dan kini Indonesia adalah

negara peringkat ketiga terbanyak di dunia dalam jumlah penderita tuberculosis paru.2

Penderita TB harus diobati dan pengobatannya harus adekuat. Pengobatan TB memakan

waktu minimal 6 bulan. Dalam memberantas penyakit tuberculosis, negara mempunyai pedoman

dalam pengobatan TB yang disebut Program Pemberantasan TB. Prinsip pengobatan TB adalah

menggunakan multidrugs regimen; hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya resistensi basil

TB terhadap obat.3
Walaupun begitu, prevalensi dan insiden tuberculosis paru masih sangat tinggi dan sulit

diturunkan karena adanya masalah medik dan non medic. Yang termasuk dalam masalah medik

salah satunya adalah sifat penyakit tuberculosis merupakan penyakit kronik, dan perjalanan

penyakitnya lambat; terdapat masa tenang dan eksaserbasi. Penggunaan OAT juga harus

adekuat. Jika pemberiannya tidak adekuat, akan timbul mutan yang resisten terhadap OAT yang

diberikan, pasien juga sering berada dalam keadaan imunodepresi, mengidap diabetes mellitus

sehingga OAT tidak bekerja dengan efektif. Selain itu, penggunaan obat yang menuntut jangka

waktu panjang sering menimbulkan efek samping. Sedangkan yang termasuk masalah non medik

adalah kemiskinan masyarakat yang menyebabkan keadaan gizi yang rendah, higiene yang

rendah, dan kesulitan membeli obat. Rendahnya pendidikan juga berbanding lurus dengan

rendahnya kesadaran tentang perlunya berobat.4

Jika menilik kembali di era sebelum ditemukannya antibiotic, paparan sinar matahari

dikenali sebagai pengobatan untuk Tuberkulosis. Pada tahun 1920, misalnya, TB telah ditangani

secara rutin dengan paparan sinar matahari yang berkala. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana

hal itu bisa terjadi, kecuali banyaknya penderita TB yang dikirim untuk beristirahat di daerah

yang kaya akan sinar matahari menjadi bebas dari penyakit. Namun dengan ditemukannya

sulfonamide setelah Perang Dunia I, dan berbagai perkembangan selanjutnya, hubungan sinar

matahari dan penyakit TB pun terabaikan.5

Berkaitan dengan itu, dalam penelitian di Pakistan, Talat, dan 82 universitas lain

menyatakan setelah melakukan follow-up lebih dari 4 tahun, orang dengan kadar vitamin D lebih

rendah dari 17,5 nmol/L memiliki resiko peningkatan yang signifikan terhadap pengaktifan

penyakit TB dibandingkan dengan orang yang memiliki kadar vitamin D lebih dari 32,5 nmol/L.
Dengan begitu, suplemen vitamin D bisa berpotensi berguna untuk orang yang menderita TB

atau untuk menghindari penyakit TB.6

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana pengobatan alami seperti sinar matahari dan vitamin D dapat menghambat

perkembangan penyakit tuberculosis menjadi solusi pengobatan alami yang efektif?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh paparan sinar matahari dan vitamin D dengan perkembangan

penyakit tuberculosis.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui mekanisme dari paparan sinar matahari dalam menghambat perkembangan

Mycobacterium tuberculosis.

2. Mengetahui pengaruh asupan vitamin D terhadap resiko terjangkit penyakit TB.

3. Menemukan bukti empiris dari keberhasilan penyembuhan oleh sinar matahari dan vitamin D

yang diujicobakan pada sampel Mycobacterium Tuberculosis.


1. 4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Aspek Akademik

Dengan adanya penelitian ini, pembaca maupun penulis diharapkan dapat memperoleh

gambaran dan informasi yang lebih jelas baik mengenai penyakit tuberkulosis itu sendiri,

penatalaksanaan yang tepat, dan juga pengaruh sinar matahari dan vitamin D bagi perkembangan

penyakit TB.

1.4.2. Aspek Kesehatan Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dan inspirasi bagi tenaga

kesehatan untuk membuat inovasi-inovasi baru berkaitan dengan pengobatan penyakit TB yang

lebih mudah dijangkau dan diterapkan oleh semua kalangan masyarakat.

Sehingga dengan keberhasilan inovasi tersebut, tingkat prevalensi kematian akibat TB

dapat berkurang secara perlahan namun pasti, dan tentu saja hal itu sangat erat kaitannya dengan

kesehatan masyarakat, terutama di Indonesia, dapat mengalami peningkatan yang berarti.

1.4.3. Aspek Perkembangan Penelitian

Kandungan alam yang begitu melimpah ruah tentunya memiliki banyak faedah untuk

manusia hanya saja belum semua yang dapat digali secara lebih mendalam.

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat menjadi salah satu faktor penggerak

untuk penelitian-penelitian baru yang juga berkaitan dengan pengobatan yang dapat ditemukan

dari alam, khususnya untuk penyakit TB.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori

2.1.1 Tuberculosis Paru

2.1.1.1 Epidemiologi7

Mycobacterium tuberculosis disebarkan melalui droplet pernapasan dan transmisi pun

muncul akibat kontak erat dengan individu yang terinfeksi. Kontak dengan pasien yang telah

terbukti memiliki Mycobacterium tuberculosis dalam sputumnya memiliki risiko 25% untuk

menjadi penderita tuberculosis. Penyakit muncul pada 5-15% dari mereka yang terinfeksi, dan

risiko ini meningkat pada HIV. Di Indonesia sendiri, diperkirakan sekitar sepertiga penduduk

dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis dan sebagian besar pasien tuberculosis

adalah kelompok usia paling produktif secara ekonomis yaitu kisaran umur 15-50 tahun.

2.1.1.2 Patogenesis8

Patogenesis tuberculosis pada individu yang belum pernah terkena penyakit berpusat

pada pembentukan imunitas selular yang menimbulkan resistensi terhadap organism dan

menyebabkan terjadinya hipersensitivitas jaringan terhadap antigen tuberculosis. Penularan

kuman biasanya terjadi melalui udara dan dibutuhkan hubungan yang relatif dekat untuk

penularannya. Berdasarkan penularannya, tuberculosis dibagi atas 3 bentuk, yaitu:

1) Tuberkulosis primer
Tuberkulosis primer biasanya terjadi pada orang yang belum pernah terpajan sehingga

tidak pernah tersensitisasi, misalnya pada anak-anak. Namun pasien usia lanjut pun dapat

mengalami tuberculosis primer beberapa kali karena kehilangan sentivitas mereka terhadap basil

tuberkel. Pada tuberculosis primer, organism berasal dari luar (eksogen). Di dalam alveoli yang

kemasukan kuman terjadi penghancuran bakteri yang dilakukan oleh makrofag dengan

terdapatnya sel langhans, yakni makrofag yang mempunyai inti di perifer, sehingga terbentuklah

granulasi. Keadaan ini disertai dengan adanya fibrosis dan kalsifikasi paru. Manifestasi lain yang

muncul pada perkembangan penyakit dapat berupa limfadenopati atau pembesaran kelenjar limfe

yang terdapat di hilus yang disebut dengan kompleks Ghon yang sebenarnya merupakan fase

awal infeksi yang terjadi di alveoli atau di kelenjar limfe hilus. Selanjutnya penyebaran kuman

akan sampai secara hematogen ke apeks paru yang memiliki oksigenasi yang bagus dan

kemudian berdiam diri untuk menunggu reaksi lebih lanjut.

2) Reaktifasi dari tuberculosis primer

Sekitar 10% dari infeksi tuberculosis primer akan mengalami reaktifasi. Hal ini biasanya

terjadi setelah 2 tahun terinfeksi. Hal ini disebut juga sebagai tuberculosis postprimer. Pada

umumnya, kuman menyebar terbatas di apeks atau kedua lobus atas yang kemungkinan besar

karena adanya tekanan oksigen yang tinggi disana. Jaringan-jaringan tubuh juga dapat berperan

serta dalam reaktifasi akibat adanya metastasis hematogen.

3) Tipe reinfeksi

Reinfeksi atau terinfeksi kembali jarang terjadi sesaat setelah infeksi primer. Namun

besar kemungkinan terjadi apabila terdapat penurunan dari imunitas tubuh atau terjadi penularan

secara kontinyu oleh kuman tersebut dalam suatu populasi atau komunitas.
2.1.1.3 Manifestasi klinis9

Tanda-tanda klinis dari tuberculosis adalah terdapat keluhan berupa batuk kronik lebih

dari 2 minggu. Sifat batuk dimulai dari batuk kering atau non-produktif kemudian setelah timbul

peradangan menghasilkan sputum mukoid, purulen, atau mukopurulen, kemudian pada keadaan

lanjut dapat terjadi batuk darah atau hemoptisis yang diakibatkan oleh terlukanya pembuluh

darah di sekitar bronkus.

Keluhan lain berupa nyeri dada yang disebabkan apabila infiltrasi radang sudah sampai

ke pleura sehingga terjadi gesekan antara kedua pleuras. Sesak nafas juga merupakan salah satu

manifestasi klinis yang disebabkan infiltrasi sel radang yang sudah meliputi setengah bagian

paru-paru.

Demam subfebril yang disebabkan oleh infeksi kuman juga merupakan salah satu gejala

klinis tuberculosis. Demam bersifat hilang timbul dan disertai keringat terutama pada malam

hari. Malaise, anoreksia dan berat badan berkurang juga umum ditemukan pada penyakit ini.

Gejala ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur. Seluruh gejala

dapat menurunkan produktivitas hidup penderita dan bahkan dapat menyebabkan kematian.

2.1.1.4 Diagnosis10

Langkah-langkah diagnosis dapat dilakukan sebagai berikut:

1) Pemeriksaan Fisis

Keadaan umum pasien tuberculosis biasanya ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang

pucat karena anemia, badan hangat karena demam subfebris, dan badan kurus. Lokasi kelainan

tuberculosis paru yang paling sering terjadi adalah bagian apeks paru. Pada infiltrasi radang yang
meluas akan didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Biasanya juga

terdapat suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi dapat menjadi

vesicular yang melemah apabila infiltrasi diliputi dengan penebalan pleura. Sedangkan jika ada

kavitas yang cukup besar, akan terdengar suara hipersonor dan auskultasi memberikan suara

amforik.

Retraksi otot interkostal dapat terjadi apabila ada fibrosis paru yang meluas.

Ketidakseimbangan volume paru juga dapat terjadi karena bagian paru yang sakit cenderung

kolaps dan menarik bagian mediastinum ke arah paru yang sakit. Apabila tuberculosis mengenai

pleura, dapat mengakibatkan efusi pleura yang apabila diperkusi akan memberikan suara pekak,

sedangkan pada auskultasi memberikan suara napas yang lemah sampai bahkan tidak terdengar

sama sekali.

2) Pemeriksaan Radiologis

Pada umumnya lokasi lesi tuberculosis sering ditemukan di daerah segmen apikal lobus

atas atau segmen apikal lobus bawah namun dapat juga mengenai lobus inferior atau di daerah

hilus menyerupai tumor paru. Pada bagian atas lapangan paru, sering ditemukan bercak infiltrat.

Biasanya juga terdapat garis-garis fibrosis, kalsifikasi, dan kavitas. Kalsifikasi menyerupai

bercak-bercak padat dengan densitas tinggi. Sedangkan kavitas tampak menyerupai cincin yang

mula-mula berdinding tipis kemudian menebal menjadi sklerotik.

Komplikasi lain yang dapat ditemui pada gambaran radiologis tuberculosis adalah

atelektasis dan emfisema. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas disertai paru kolaps

sehingga bagian mediastinum tertarik ke arah yang sakit. Emfisema memberikan gambaran

hiperlusen.
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberculosis adalah efusi pleura berupa

adanya cairan pada bagian bawah paru menutupi sinus frenico costalis, dan organ mediastinum

tampak terdorong ke arah yang sehat akibat adanya massa cairan.

3) Pemeriksaan Laboratorium

Sampel untuk pemeriksaan laboratorium yang paling sering diambil adalah sputum.

Namun hal ini sulit bagi pasien yang batuknya tidak mengeluarkan sputum atau batuk kering.

Biasanya sehari sebelumnya, pasien dengan batuk non produktif dianjurkan minum air sebanyak

2 liter atau lebih dan diajarkan melakukan reflex batuk. Bisa juga diberikan mukolitik

ekspektoran untuk mempermudah pengeluaran dahak. Pada anak-anak dapat dilakukan

pemeriksaan dari cairan lambung.

Diagnosis pasti ditegakkan apabila tampak BTA (basil tahan asam) positif. Kriteria

positif itu sendiri ditentukan bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu

sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 ml sputum. Pada prinsipnya

diperlukan waktu selama 3-8 minggu untuk menumbuhkan kuman tuberculosis dalam medium

biakan. Apabila pada pemeriksaan mikroskopis biasa terlihat hasil positif namun pada biakan

hasilnya negative, artinya telah terjadi fenomena dead bacilli atau non culturable bacilli yang

dikarenakan efek obat anti tuberculosis jangka pendek yang dapat mematikan kuman BTA dalam

waktu singkat.

Sampel lain yang dapat digunakan untuk pemeriksaan laboratorium adalah darah. Tetapi

karena hasilnya yang meragukan, tidak sensitif, dan tidak spesifik maka pemeriksaan ini kurang

mendapat perhatian. Jumlah leukosit sedikit meninggi apabila berada pada fase awal aktifnya
tuberculosis. Jumlah limfosit masih berada di bawah normal dan laju endap darah mulai

meningkat.

4) Tes Tuberkulin

Tes ini biasanya digunakan untuk balita. Biasanya dipakai tes Mantoux dengan

menyuntikkan 0,1 cc tuberculin P.P.D (Purified Protein Derivative) secara intradermal

berkekuatan 5. Kemudian reaksi berupa indurasi kemerahan yang merupakan reaksi

persenyawaan antara antibodi selular dan antigen tuberkulin yang akan timbul dibaca selama 48-

72 jam setelah tes dan dikatakan positif bila diameter indurasi lebih besar dari 10 mm. Makin

besar pengaruh antibodi humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan.

Pada umumnya hampir semua pasien tuberculosis memberikan reaksi Mantoux positif .

Namun dapat ditemukan positif palsu apabila ada pemberian BCG atau terinfeksi

Mycobacterium lain. Tetapi lebih banyak lagi ditemukan negatif palsu yaitu pada pasien yang

baru 2-10 minggu terkena tuberculosis,penyakit sistemik berat, pemberian kortikosteroid yang

lama, usia tua, malnutrisi, uremia, dan penyakit keganasan.

2.1.1.5 Pengobatan11

Tujuan pengobatan tuberkulosis adalah mengobati pasien secara tepat, mencegah

kematian dan komplikasi lanjut, menurunkan tingkat penularan terhadap orang lain, mencegah

kambuh, dan mencegah munculnya resistensi obat. Prinsip utama pengobatan tuberculosis yaitu

harus terdiri dari 4 macam obat sekaligus pada 2 bulan awal pengobatan dan harus diteruskan 4-6

bulan sampai pemeriksaan sputum hasilnya menjadi negatif.


Obat-obatan tuberculosis dapat diklasifikasi menjadi dua jenis resimen, yaitu obat lapis

pertama dan lapis kedua, dan keduanya berorientasi untuk penghentian pertumbuhan basil,

pengurangan, dan pencegahan terjadinya resistensi. Obat golongan pertama terdiri dari Isoniazid

(H), Rifampisin (R), Etambutol (E), Streptomisin (S), Pirazinamid (Z), Tiaosetazon (T).

Sedangkan obat-obat golongan kedua terdiri dari Para-Amino Salisilat, Etionamid,

Aminoglikosida, Sikloserin, dan Fluorokuinolon.

Kategori Panduan Obat Alternatif

Pengobatan Penderita TB

TB
Fase Awal Fase Lanjut

-Kasus baru TB paru, dahak (+) 2 EHRZ (SHRZ) 6 HE


-Kasus baru TB paru dahak (-) 2 EHRZ (SHRZ) 4 HR
I dengan kerusakan parenkim yang
luas.
-Kasus baru TB paru di luar paru 2 EHRZ (SHRZ) 4 H3R3
yang berat

-Dahak (+) 2 SHRZE/ 1HRZE 5 H3R3E3


-Relaps 2 SHRZE/ 1 HRZE 5 HRE
II
-Gagal pengobatan
-Pengobatan setelah putus obat

-TB paru baru dengan dahak (-) (di 2 HRZ 6 HE


luar kategori I)
2 HRZ 6 HR
III -TB paru di luar paru yang sedang
2 HRZ 4 H3R3
-Kasus kronik (dahak masih) (+) Rujuk ke pusat spesialis untuk
IV setelah konsultasi pengobatan ulang menggunakan obat-obat golongan kedua.

Hampir semua obat tuberculosis mempunyai efek samping. Isoniazid, rifampisin,

pirazinamide, etionamide dapat memberikan efek samping pada hati. Sedangkan untuk neuritis

tidak luput dari efek samping yang dapat dihasilkan oleh isoniazid, streptomisin (nervus

vestibularis), dan etambutol (nervus optikus) bahkan sikloserin yang mempunyai efek psikosis.

Itulah mengapa pengawasan terhadap prosedur pengobatan harus diawasi secara ketat.

2.1.1.6 Pencegahan12

Cara pencegahan dan pengobatan tuberculosis tergantung pada vaksinasi sejak bayi.

Vaksinasi yang umum digunakan adalah Bacillus Calmette-Guerin (BCG) dan sudah digunakan

sebanyak lebih 90% anak-anak yang mendapat vaksinasi. Indikasi dari vaksinasi BCG adalah

pada orang dengan tes tuberculin negative dan yang memiliki risiko tinggi dalam pekerjaannya,

misalnya perawat atau pekerja sukarela. Di negara berkembang seperti Indonesia hanya efektif

diberikan pada neonatus atau bayi baru lahir. Imunisasi diberikan pada usia 2 bulan. Dosis untuk

bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan intrakutan. Bila BCG diberikan lebih

dari 3 bulan sebaiknya dilakukan uji tuberkulin dulu. BCG relatif aman, jarang ada efek samping

serius. Namun BCG ulangan tidak dianjurkan mengingat efektifitas perlindungannya hanya 40%.

Selain vaksinasi BCG, pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan kemoprofilaksis.

Kemoprofilaksis terbagi 2, yaitu kemoprofilaksis primer dan kemoprofilaksis sekunder.

Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi dengan berorientasi


membunuh kuman sebelum kuman mempunyai kemampuan bermultiplikasi dan menimbulkan

penyakit. Kemoprofilaksis primer diberikan kepada anak yang kontak dengan penderita TB

menular, tetapi belum terinfeksi. Sedangkan kemoprofilaksis sekunder bekerja mencegah

aktifnya infeksi dan mencegah progresifitas dari penyakit. Biasanya diberikan kepada anak yang

telah terinfeksi, tetapi belum tampak gejala, klinis dan radiologis normal.

Pada umumnya, kemoprofilaksis diberikan kepada pasien yang berhubungan lama

dengan pasien tuberculosis, baik yang tuberkulinnya positif ataupun negative. Lamanya

pemberian adalah 6-12 bulan. Pada pemberian 6 bulan, tingkat pencegahannya adalah 65%,

sedangkan yang 12 bulan adalah 75%.

2.1.1 Mycobacterium tuberculosis

Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis, dan Mycobacterium africanum,

merupakan anggota ordo Actinomisetales dan family Mikobakteriseae yang memiliki ciri-ciri

berbentuk batang lurus, gram positif lemah, pleiomorfik, tidak bergerak, tidak membentuk spora,

tidak berkapsul, panjang sekitar 2-4 m, dapat tampak soliter atau dalam koloni pada spesimen

klinis yang diwarnai atau media biakan. Mikobakteria ini tumbuh paling baik pada suhu 37-41oc

menghasilkan niasin dan tidak ada pigmentasi. Dinding mikobakterium sangat kompleks dan

terdiri dari lapisan lemak yang cukup tinggi. Penyusun utama dinding sel Mycobacterium

tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks, trehalosa dimikolat yang berperan dalam

virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang yang dihubungkan dengan

arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester.

Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti
arabinogalaktan dan arabinomanan. Ciri khas dari mikobakteria adalah ketahan-asamannya,

kapasitas membentuk kompleks mikolat stabil dengan pewarnaan arilmetan seperti kristal violet,

karbolfukhsin, auramin, dan rodamin. Bila diwarnai, mereka melawan perubahan warna dengan

etanol dan hidroklorida atau asam lain.

Mikobaterium tumbuh lambat, waktu pembentukannya adalah 12-24 jam. Sedangkan

isolasi dari specimen klinis pada media sintetik padat biasanya memerlukan waktu 3-6 minggu,

dan uji resistensi obat memerlukan 4 minggu tambahan.. Namun pertumbuhan dapat dideteksi

dalam 1-3 minggu pada medium cairan selektif dengan menggunakan nutrient radiolabel dan

kerentanan obat dapat ditentukan dalam 3-5 hari tambahan. Mycobacterium tuberculosis

mempunyai morfologi koloni khas, menghasilkan niasin tetapi bukan pigmen, mampu mereduksi

nitrat, dan menghasilkan katalase namun ada pula beberapa strain resisten isoniazid kehilangan

kemampuan untuk membuat katalase. Adanya M. tuberculosis dalam specimen klinik dapat

dideteksi dalam beberapa jam dengan menggunakan reaksi rantai polymerase (RRP) yang

menggunakan probe DNA yang merupakan pelengkap terhadap DNA atau RNA mikobakteria.13

Pada dasarnya, Mycobacterium tuberculosis sulit dibasmi dan bersifat asam serta peka

terhadap alcohol. Mycobacterium tuberculosis resisten terhadap desinfektan kimiawi dan

pengeringan (mungkin ini disebabkan oleh dindingnya yang berlilin). Di dalam sputum, basil

bisa bertahan sekitar seminggu atau sebulan dan di dalam sputum yang telah dikeringkan bisa

bertahan selama 6-8 bulan apabila mereka terlindung dari sinar matahari. Tanpa adanya sinar

matahari, bakteri ini bisa bertahan menginfeksi pasien tuberculosis selama 9-10 hari.14
2.1.2 Radiasi Sinar Matahari

Radiasi ultraviolet adalah radiasi elektromagnetis terhadap panjang gelombang yang

lebih pendek dari daerah dengan sinar tampak, namun lebih panjang dari sinar-X yang kecil.

Sekitar tahun 1700-an, kemampuan sinar matahari untuk membunuh kuman telah berhasil

ditemukan. Efek bakterisidal dari sinar matahari pertama kali didemonstrasikan pada tahun 1877.

Menggunakan larutan Pasteur yang belum mendidih, Downes dan Blunt menunjukkan bahwa

sinar matahari dapat mencegah pertumbuhan bakteri. Pada eksperimen selanjutnya, Downes dan

Blunt mampu mendemonstrasikan bahwa sinar ultraviolet dari spectrum elektromagnetik

memiliki potensi bakterisidal yang sangat kuat. Meskipun begitu, hal itu belum bisa dipastikan

hingga Duclaux pada tahun 1885 dan Ward pada tahun 1892 mendemonstrasikan efek

bakterisidal dari sinar matahari yang membuat hal itu bisa diterima oleh khalayak. Sinar

ultraviolet merupakan radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang lebih pendek dari

cahaya tampak. Ultraviolet itu sendiri dapat dibagi menjadi berbagai rentang. Pada panjang

gelombang tertentu ultraviolet dapat bersifat mutagenik terhadap bakteri, virus, dan

mikroorganisme. Misalnya saja pada panjang gelombang 254 nm, UV akan melepaskan ikatan

molekul dalam DNA mikroorganisme, menghasilkan dimer timin sehingga dapat

menghancurkan bakteri, membuat bakteri tidak berpotensi menginfeksi lagi. Radiasi ultraviolet

efektif dalam menghancurkan asam nukleat dalam mikroorganisme sehingga DNA terganggu.

Hal ini dapat menghilangkan kemampuan reproduksi dan membunuh bakteri.15

Beberapa tahun kemudian, Bernhard dan Morgan menjadi orang pertama yang

menunjukkan bahwa radiasi sinar ultraviolet yang berada di bawah 329 nm mampu membunuh

bakteri. Sekitar tahun 1890 dan 1909, energi ultraviolet diperlihatkan memberi efek bakterisidal

terhadap sejumlah besar bakter, termasuk Mycobaterium tuberculosis, Staphylococcus,


Streptococcus, Bacillus, dan Shigella dysenteriae. Tahun-tahun tersebut juga dikenal sebagai

masa dimana maraknya radiasi ultraviolet yang dijadikan pengobatan umum terhadap

tuberculosis pada kulit.16

Radiasi ultraviolet dari sinar matahari telah diketahui sangat efektif untuk desinfeksi air,

permukaan tanah, dan udara yang terkontaminasi dengan mikroorganisme. Paparan sinar

matahari yang dikombinasikan dengan filtrasi udara sangat ampuh mencegah pembentukan

koloni dari mikroorganisme. Dikarenakan adanya kekuatan penetrasi selektif dari radiasi sinar

matahari, desinfeksi ultraviolet sangatlah efektif untuk mengancam kelangsungan hidup partikel-

partikel asing, komponen organik, dan komponen berbahaya lainnya. Sinar matahari yang

bersifat bakterisidal ini juga bisa digunakan dalam sistem dekontaminasi untuk mengurangi

jumlah bakteri pathogen di udara. Bakteri di udara dapat dibinasakan dalam waktu yang cukup

singkat. Sinar matahari dapat menambah sel darah putih terutama limfosit yang digunakan untuk

menyerang penyakit. Kerja antibody meningkat. Neutrofil sendiri dapat membunuh kuman-

kuman lebih cepat setelah pemaparan dengan sinar ultraviolet. Sinar matahari juga mampu

mengubah simpanan kolesterol menjadi vitamin D.17

2.1.3. Vitamin D18

Vitamin D diproduksi di dalam lapisan kulit dari 7-dehydrocholesterol (pro-vitamin D3)

yang berasal dari kolesterol. Sinar ultraviolet tipe B dari sinar matahari bekerja pada pro-vitamin

D3 dan mengkonversinya menjadi pre-vitamin D3. Secara ilmiah, dapat disebut sebagai

cholecalciferol. Vitamin D3 kemudian meninggalkan kulit dan masuk ke dalam aliran darah

yang dibawa oleh protein tertentu yang disebut Vitamin-D binding protein. Melalui sirkulasi
darah, vitamin D3 mencapai bermacam-macam organ di dalam tubuh. Di hati, vitamin D3

mengalami sedikit perubahan pada struktur kimiawinya, menjadi 25-hydroxy cholecalciferol atau

25-(OH)-D3 (calcifediol). Selanjutnya akan dibawa bersama aliran darah menuju ginjal dimana

dia akan mengalami perubahan lain pada struktur kimianya menjadi 1,25-dihidroxy

cholecalciferol atau bisa juga disebut calcitriol. Ini merupakan bentuk aktif dari vitamin D.

Selama 20 tahun terakhir,terjadi revolusi penemuan baru tentang vitamin D. Misalnya,

telah ditemukan bahwa konversi 25-(OH)-D yang menjadi 1,25-(OH)2-D bekerja tidak hanya di

ginjal, tetapi juga di beberapa jaringan lain seperti limfonodus, kulit, dan paru-paru. Vitamin D

tidak hanya berperan dalam absorpsi kalsium dan fosfor di usus, namun juga memainkan peran

penting dalam mengatur fungsi normal seluruh sistem dalam tubuh, seperti regulasi

pertumbuhan sel, diferensiasi sel menjadi sel tertentu dan kematian sel yang mendadak, regulasi

sistem imun, kardiovaskular dan sistem musculoskeletal, serta metabolism insulin.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, penelitian dalam bidang kesehatan menemukan

bahwa vitamin D memiliki peran yang signifikan dalam perkembangan sistem imun dan paru-

paru selama masa pertumbuhan. Studi telah menunjukkan bahwa suplemen vitamin D selama

masa kehamilan dapat secara substansial menurunkan resiko penyakit pernapasan pada anak.

Vitamin D mempunyai metabolit aktif Clacitrol yang diketahui mempunyai aktivitas antibakteri

in vitro. Metabolit ini mampu memodulasi respon pejamu terhadap infeksi mikobakteria dengan

cara menginduksi nitrogen yang reaktif, menekan aktivitas enzim matrix metalloproteinase yang

berperan dalam proses pembentukan kavitas, dan menginduksi aktivitas antimikroba cathelicidin

yang menginduksi autofagi. Calcitrol mampu meningkatkan respon imun dengan mengikat

reseptor vitamin D yang diekspresikan oleh antigen-presenting cells dan limfosit untuk regulasi

proses transkripsi gen yang responsive terhadap vitamin D, tetapi reseptor vitamin D pada
manusia bersifat polimorfik dan pembawa alel dari polimorfisme reseptor dikaitkan dengan

peningkatan fagositosis induksi calcitrol terhadap Mycobacterium tuberculosis in vitro dan

konversi sputum yang lebih singkat. Seorang ahli dalam bidang pernapasan berspekulasi bahwa

wabah dari penyakit pernapasan berbanding lurus dengan adanya defisiensi vitamin D, dimana

keduanya mulai marak dalam beberapa dekade terakhir ini. Anak-anak dan orang dewasa yang

rendah asupan vitamin D nya memiliko resiko yang tinggi terkena penyakit infeksi saluran

pernapasan atas yang sering memicu terjadinya pernapasan wheezing dan serangan asma

mendadak. Beberapa kasus ditangani dengan steroid, tetap terkadang pasien resisten terhadap

steroid. Namun, vitamin D berhasil membuat pengobatan steroid ini menjadi lebih efektif

terhadap beberapa individu.


2.2 Kerangka Teori

Sinar matahari (Ultraviolet)

Provitamin D Vitamin D3
(Kulit)

Peningkatan sel-sel leukosit Imunitas seluler meningkat

Fagositosis makrofag
menigkat

Oksigen paru- Memperbaiki


paru meningkat fungsi otak dan
organ

Suhu tubuh Panas Bakteri mati


tinggi
2.3 Kerangka Konsep
Suhu tinggi

Sinar matahari Efek bakterisidal sinar


ultraviolet

Kekuatan penetrasi
seletif radiasi sinar
matahari

Meningkatkan respon
imun terhadap inflamasi
Menghambat
Vitamin D perkembangan
Mycobacterium

Meredam respon
inflamasi tanpa
menggaggu kerja
antibiotik

2.4 Hipotesis

Adanya pengaruh sinar matahari dan vitamin D yang dapat menghambat perkembangan

Mycobacterium.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian yang dilakukan menggunakan metode kualitatif. Dimana penulis akan

melihat perkembangan dari pasien yang di diagnosis TB yang menggunakan pengobatan OAT

secara konvensional dan yang menggunakan modifikasi pemberian suplai vitamin D dan paparan

matahari secara rutin.

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik eksperimental.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan d rumah sakit Ibnu Sina. Alasan mengapa mengambil

lokasi tersebut ialah karena rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit pendidikan dari tempat

penulis melakukan kegiatan perkuliahan sehingga dalam bekerja sama dengan tenaga medis yang

ada di sana bisa lebih mudah dan membuat penulis akan lebih mudah mengumpulkan sampel dan

melakukan penelitian

Proses penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan yang akan dijelaskan dengan

menggunakan matriks jadwal penelitian berikut.

Tabel 3.1 Matriks Jadwal Pelaksanan Penelitian di FK UMI

No Jenis Kegiatan Waktu Pelaksanaan

1. Pemilihan sampel (disesuaikan)


2. Pengumpulan data sampel (disesuaikan)

3. Pemeriksaan awal (disesuaikan)

4. Follow up pasien dengan (disesuaikan)

pemeriksaan berkala

5 Pemeriksaan akhir sampel (disesuaikan)

6 Laporan hasil (disesuaikan)

3.3 Populasi, Sampel Penelitian

Sampel yang digunakan merupakan pasien yang di diagnosis TB yang berada di

rumah sakit ibnu sina.

3.4 Kriteria Sampel Penelitian

a) Kriteria inklusi

- 4 orang Pasien diagnosis TB yang berada di rumah sakit Ibnu Sina.

- Jenis kelamin yang sama (laki-laki/perempuan)

- Memiliki tingkat keparahan penyakit yang sama atau hampir sama

- Berusia lebih dari 21 tahun (dewasa)

- Bersedia menjalani pengobatan kombinasi yang di anjurkan oleh penulis

b) Kriteria eksklusi
- Pasien bukan berasal dari rumah sakit Ibnu Sina

- Jenis kelamin yang berbeda-beda

- Memiliki tingkat keparahan penyakit yang berbeda

- Berusia di bawah 21 tahun

- Tidak bersedia mejalani pengobatan yang di anjurkan penulis

3.5 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

a. Definisi operasional

1. Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru akibat infeksi kuman

Mycobacterium tuberculosis.Sejak dulu, penyakit ini dikenal sebagai penyebab

kematian yang menakutkan.Sampai pada saat Robert Koch menemukan

penyebabnya, penyakit ini masih termasuk penyakit yang mematikan.

2. Radiasi ultraviolet dari sinar matahari telah diketahui sangat efektif untuk

desinfeksi air, permukaan tanah, dan udara yang terkontaminasi dengan

mikroorganisme.Paparan sinar matahari yang dikombinasikan dengan filtrasi

udara sangat ampuh mencegah pembentukan koloni dari

mikroorganisme.Dikarenakan adanya kekuatan penetrasi selektif dari radiasi sinar

matahari, desinfeksi ultraviolet sangatlah efektif untuk mengancam kelangsungan

hidup partikel-partikel asing, komponen organik, dan komponen berbahaya

lainnya.Sinar matahari yang bersifat bakterisidal ini juga bisa digunakan dalam

sistem dekontaminasi untuk mengurangi jumlah bakteri pathogen di udara.

Penelitian dalam bidang kesehatan menemukan bahwa vitamin D memiliki peran

yang signifikan dalam perkembangan sistem imun dan paru-paru selama masa
pertumbuhan.Studi telah menunjukkan bahwa suplemen vitamin D selama masa

kehamilan dapat secara substansial menurunkan resiko penyakit pernapasan pada

anak.Seorang ahli dalam bidang pernapasan berspekulasi bahwa wabah dari

penyakit pernapasan berbanding lurus dengan adanya defisiensi vitamin D,

dimana keduanya mulai marak dalam beberapa dekade terakhir ini. Anak-anak

dan orang dewasa yang rendah asupan vitamin D nya memiliko resiko yang

tinggi terkena penyakit infeksi saluran pernapasan atas yang sering memicu

terjadinya pernapasan wheezing dan serangan asma mendadak. Beberapa kasus

ditangani dengan steroid, tetap terkadang pasien resisten terhadap steroid.Namun

vitamin D berhasil membuat pengobatan steroid ini menjadi lebih efektif terhadap

beberapa individu. Keberhasilan dari penelitian ialah ketika pengobatan OAT

yang telah di kombinasikan dengan desain penelitian memiliki dampak yang lebih

pesat dalam menekan perkembangan dari penyakit TB di bandingkan dengan

pengobatan OAT secara konvesional.

b. Kriteria objektif

1. Penyakit TB

- Penderita : seseorang yang memiliki gejala keringa malam, batuk lama,

sesak, berat badan menurun dan dari hasil diagnosis dokter menunjukkan

positif TB

- Bukan penderita : seseorang yang tidak memiliki gejala layaknya yang di

paparkan di atas dan dari hasil diagnosis dokter di dapatka negative TB

2. Metode kombinasi terapi


- Pasien 1 : Diberikan pengobatan OAT secara konvensional tanpa

kombinasi

- Pasien 2 : Diberikan pengobatan OAT dengan kombinasi suplai vitamin D

sesuai takaran yang d tentukan

- Pasien 3 : Diberikan pengobatan OAT dengan kombinasi terapi sinar

matahari setiap pagi dengan waktu yang ditentukan

- Pasien 4 : Diberikan pengobatan OAT dengan kombinasi suplai vitamin D

sesuai takaran dan di tambah dengan terapi sinar matahari setiap pag

dengan waktu yang telah ditentukan.

3. Keberhasilan terapi

- Berhasil : jika terapi kombinasi yang dilakukan memiliki dampak yang

signifikan dalam menekan erkembangan penyakit TB dibandingkan

dengan terapi konvensional

- Tidak berhasil : jika tidak memberikan dampak yang berarti.

3.6 Sumber Data

Data primer : sumber data penelitian berasal dari riwayat rekam medic pasien dan

hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter serta hasil observasi langsung terhadap

perkembangan penyakit pasien selama terapi dilakukan

3.7 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan :

- Melihat riwayat rekam medis pasien dan hasil pemeriksaan pasien sebelum di

lakukan terapi

- Mengobservasi perkembangan penyakit dari pasien dengan melakukan

pemeriksaan secara berkala selama terapi diberikan

3.8 Teknik Analisa Data

Data yang di peroleh akan di bandingkan dari hasil pemeriksaan sebelum melakukan

terapi dan dari hasil pemeriksaan secara berkala selama terapi berlangsung serta membandingkan

hasil yang di dapatkan dari setiap pasien yang telah di kelompokkan sebelumnya apakah benar

terapi kombinasi yang dilakukan memberikan dampak yang positif ataukah tidak sama sekali.

3.9 Pengecekan Validitas Temuan

Pengecekan validitas temuan dilakukan peneliti dengan cara memastikan bahwa sampel

yang di ambil benar-benar menderita penyakit TB paru dengan tingkat keparahan yang sama atau

hampir sama dari setap pasien yang di teliti dan melakukan terapi sesuai denga yang di anjurkan

sampai waktu yang telah di tentukan oleh peneliti. Peneliti juga harus mampu menjaga

kerahasiaan dari setiap informasi dan hasil yang di dapat.

3.10 Keterbatasan Penelitian

Hal yang menjadi keterbatasan peneliti ialah mendapatkan sampel pasien yang menderita

penyakit TB paru dengan tingkat keparahan yang hampir sama dan memiliki jenis kelamin yang

hampir sama serta rentang umur yang tidak jauh berbeda. Ha lain yang menjadi kendala adalah

pasien tidak kooperatif dalam menjalakankan terapi yang telah di tentukan.


DAFTAR PUSTAKA

1. Djojodibroto D. Respirologi: respiratory medicine. Jakarta: EGC, 2014. hal. 151

2. Sihombing, H. 2012. Pola Resistensi Primer pada Penderita TB Paru Kategori I di

RSUP H. Adam Malik Medan, (Online), http://repository.usu.ac.id/bitstream diakses 9

November 2014

3. Djojodibroto D. Respirologi: respiratory medicine. Jakarta: EGC, 2014. hal. 165

4. Djojodibroto D. Respirologi: respiratory medicine. Jakarta: EGC, 2014. hal. 167-168

5. Motsoaledi, A. 2014. National Tuberculosis Management Guidelines 2014, (Online),

(http://sahivsoc.org/upload/documents diakses 9 November 2014

6. Nordqvist, C. 2012. Vitamin D In High Doses Accelerates Tuberculosis Recovery,

(Online), (www.medicalneswstoday.com/articles.php diakses 9 November 2014

7. Davey P. At a Glance Medicine. Rahmalia A, translator. Jakarta: Erlangga, 2005. hal.

296

8. Rab T. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Trans Info Media, 2013. hal. 158-159

9. Delp., Manning. Major Diagnosis Fisik.9th ed. Siregar MR, translator. Jakarta: EGC,

1996. hal. 258

10. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta: InternaPublishing, 2014. hal. 868-

870

11. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta: EGC, 2009. hal. 649-654


12. Rab T. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Trans Info Media, 2013. hal. 166-167

13. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak.Nelson.15th.ed. Wahab S,

translator. Jakarta: EGC, 2000. hal. 1028

14. Gupta, RL. Textbook of Surgery. 2nd ed. New Delhi: Jaypee, 2003. hal. 85

15. Sussman, C., Jensen, BB. Wound Care: A Collaborative Practice Manual for Health

Professionals.3rd ed. Philadelphia: HPS, 2007. hal. 591

16. Sussman, C., Jensen, BB. Wound Care: A Collaborative Practice Manual for Health

Professionals.3rd ed. Philadelphia: HPS, 2007. hal. 592

17. Gazso, LG., Ponta, CC.Radiation Inactivation of Bioterrorism Agents. Budapest: IOS

Press, 2005. hal. 171

18. Zaidi, S. Power of Vitamin D: A Vitamin D Book that Contains the Most Scientific,

Useful, and Practical Information about Vitamin D. 2nd ed.USA: ISBN, 2013. hal. 16-77

Anda mungkin juga menyukai