Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Gelatin merupakan senyawa hidrokoloid berupa protein dengan berat

molekul tinggi yang banyak digunakan dalam industri pangan, farmasi, hingga

industri fotografi karena kemampuannya dalam membentuk gel

(Peranginangin, 2007). Sumber gelatin yang utama berasal dari kulit babi

(41%), kulit sapi (28,6%), dan tulang (30%). Data dari Badan Pusat Statistik

(BPS) tahun 2007 menyebutkan bahwa impor gelatin Indonesia mencapai

2.715.782 kg, hal ini menunjukkan besarnya penggunaan gelatin di Indonesia

(Zainudin, 2010). Namun maraknya isu halal, makin banyaknya penganut

vegetarian, serta adanya penyakit sapi gila atau bovine spongiform

encephalopathy (BSE) menyebabkan dilakukannya pencarian alternatif gelatin

selain dari sumber mamalia (Pranoto, 2006). Misalnya dengan penggunaan

gelatin kulit ikan yang memiliki viskositas lebih tinggi daripada gelatin dari

sumber mamalia (Pranoto et al, 2007), serta menghasilkan rendemen yang

lebih tinggi, mencapai 18,6% dengan bahan kulit ikan tuna (Peranginangin et

al, 2006).

Gelatin dapat digunakan di berbagai bidang, salah satunya sebagai

penyalut karena mampu berfungsi sebagai delivery system yang menjanjikan

bagi teknologi nanoenkapsulasi. Nanopartikel merupakan partikel padat

dengan ukuran 1-1000 nm (Jahanshahi and Babei, 2008). Nanoenkapsulasi

1
merupakan teknologi kemasan padat, yaitu apabila bahan cair dan gas dalam

kapsul berukuran nanometer, mampu melepaskan isinya pada tingkat

terkendali dalam jangka waktu yang lama. Teknik ini diterapkan dalam

berbagai bidang, misalnya pada industri farmasi, kosmetik, pangan, dan

bidang akuakultur. Pada industri pangan, beberapa tujuan yang ditargetkan

dalam aplikasi teknologi nanoenkapsulasi, yaitu : i) penstabil produk, melalui

teknik enkapsulasi produk dihindarkan dari kerusakan yang disebabkan oleh

kondisi eksternal seperti cahaya atau panas selama pemrosesan dan

penyimpanan dalam matriks makanan, ii) kontrol pelepasan rasa, iii)

diperolehnya warna homogen dalam bahan makanan, atau iv) pemisahan

spesies reaktif. Nanoenkapsulasi juga diharapkan tidak mengubah sifat

sensori, warna atau rasa produk makanan (Sauvant et al, 2012).

Beberapa teknik telah digunakan untuk pembuatan nanoenkapsulasi,

diantaranya : emulsifikasi dan ekstraksi pelarut, salting out, pembentukan

kompleks, desolvation, dan spray drying. Kelemahan teknik emulsi dan

beberapa teknik nanoenkapsulasi adalah rendahnya hasil yang diperoleh

(30%) atau distribusi ukuran yang kurang luas (Zwiorek, 2006). Teknik two-

step-desolvation hadir sebagai solusi penting bagi pembuatan nanopartikel

yang sebelumnya kurang sempurna karena sifat partikel yang kurang stabil

dan terbentuknya agregat yang lebih luas dari penggunaan cross-linking agent

(Coester et al, 2000). Metode ini menggunakan desolvation agent berupa

aseton atau alkohol untuk mendehidrasikan gelatin sehingga konformasinya

2
berubah, dan dilakukan penambahan cross-linking agent untuk menguatkan

pengkapsulan material inti dengan gelatin (Elzoghby, 2013).

Vitamin C atau yang sering dikenal sebagai asam askorbat merupakan

vitamin yang harus diasup dari makanan karena tubuh tidak dapat

memproduksi sendiri. Vitamin C berfungsi untuk mensintesis kolagen yang

merupakan komponen struktural penting dari pembuluh darah, tendon,

ligamen, dan tulang, serta berfungsi sebagai antioksidan. Meski demikian,

vitamin C bersifat tidak stabil pada udara, cahaya, kelembaban, temperatur,

dan pH, sehingga enkapsulasi merupakan salah satu metode untuk dapat

melindunginya dari kerusakan. Teknologi enkapsulasi yang sudah pernah

dilakukan terhadap vitamin C diantaranya : metode kompleks koaservasi

(Comunian et al, 2013), gelasi ionik (Alishahi et al., 2011a), stabilisasi

liposom (Wechtersbach et al., 2012), microfluidic technique (Comunian et al,

2014), spray drying (Pereira et al, 2009; Nesterenko et al, 2014), spray

congealing (spray beku) (Matos et al, 2015).

Sejauh ini, belum ada penelitian nanoenkapsulasi vitamin C dengan

metode two step desolvation. Melalui tahap desolvation (pengendapan) untuk

memisahkan berat molekul dan penambahan crosslinking agent, metode ini

diharapkan mampu meminimalisir terjadinya agregasi. Nahar et al, (2008)

menyebutkan bahwa suhu pemanasan gelatin, kondisi pH, konsentrasi core,

dan penambahan glutaraldehid sebagai cross-linking agent sangat berpengaruh

terhadap pembentukan morfologi dan ukuran nanopartikel yag dihasilkan pada

metode two step desolvation. Semakin besar konsentrasi core yang

3
ditambahkan menghasilkan ukuran partikel yang semakin besar, sementara

semakin besar penggunaan konsentrasi glutaraldehid menghasilkan ukuran

partikel yang semakin kecil.

Berdasarkan hal tersebut, aplikasi pembuatan nanokapsul vitamin C

dengan menggunakan penyalut gelatin kulit ikan tuna akan diteliti pada

penelitian ini. Variasi konsentrasi vitamin C sebagai material pengisi (core)

dan penambahan glutaraldehid sebagai cross-linking agent akan diteliti pada

penelitian ini. Belum adanya aplikasi metode two step desolvation, terutama

pembuatan nanokapsul vitamin C menggunakan gelatin kulit ikan tuna

(Thunnus albacares) digunakan sebagai dasar bagi penelitian ini. Diharapkan

aplikasi nanoenkapsulasi vitamin C ini dapat memenuhi kebutuhan

antioksidan maupun suplemen makanan yang bersifat aman dan halal.

1.2.Perumusan Masalah

Penelitian ini menggunakan metode enkapsulasi berupa two step desolvation.

Rumusan masalah dari penelitian ini, yaitu :

1. Berapa konsentrasi optimum vitamin C dan penambahan glutaraldehid

25% yang diperlukan pada nanoenkapsulasi vitamin C dengan gelatin kulit

ikan tuna menggunakan metode two step desolvation?

2. Bagaimana karakteristik nanokapsul vitamin C yang menggunakan

enkapsulan dari gelatin kulit ikan tuna?

4
1.3.Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui konsentrasi optimum vitamin C sebagai core dan penambahan

glutaraldehid 25% sebagai agen crosslinking pada pembuatan nanokapsul

yang menggunakan penyalut gelatin kulit ikan tuna dengan metode two

step desolvation.

2. Mengetahui karakteristik nanoenkapsul vitamin C yang menggunakan

enkapsulan berupa gelatin kulit ikan tuna.

1.4.Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu :

1. Mendapatkan informasi bahwa gelatin kulit ikan tuna mampu berfungsi

sebagai enkapsulan pada nanoenkapsulasi vitamin C dengan metode two

step desolvation.

2. Mendapatkan informasi bahwa penggunaan gelatin kulit ikan tuna sebagai

bahan penyalut mampu menghasilkan karakteristik nanokapsul yang

serupa dengan gelatin tipe A dari bahan kulit babi.

Anda mungkin juga menyukai