Anda di halaman 1dari 25

INTITUT TEKNOLOGI SEPULUH

NOPEMBER SURABAYA
JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN
PROGRAM MAGISTER

PROPOSAL IMPLEMENTASI DAN NILAI EKONOMIS


PENERAPAN TEKNOLOGI BERSIH PADA INDUSTRI
PABRIK GULA

Disusun oleh:
RACHMI LAYINA CHIMAYATI
03211750010011

FAKULTAS TEKNIK SIPIL LINGKUNGAN DAN KEBUMIAN


INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang menghasilkan polusi terbanyak didunia.
Sumber polusi yang upaling tama adalah dari kendaraan bermotor dan limbah industry.
Polusi ini terjadi akibat kurangnya penanganan limbah-limbah industry sedangkan
semakin hari semakin banyak berdiri pabrik industry. Pencemaran yang disebabkan oleh
polusi ini menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap lingkungan. Perubahan yang
paling bias dirasakan adalah perubahan suhu udara yang semakin panas dan perubahan
pada air sungai. Permasalahan tentang pencemaran ini terjadi akibat kurangnya
pengetahuan serta penanganan yang lebih terhadap limbah. Meskipun limbah tidak dapat
dihilangkan secara total tetapi denga penanganan limbah yang baik dapat mengurangi
seminimal mungkin polutan yang mencemari udara, air maupun tanah. Maka dari itu,
dilaksanakan kegiatan produksi bersih untuk proses pembuatan gula Kristal serta
pengolahan limbah pabriknya.
Dalam proses produksi di pabrik gula, selain gula yang menjadi produk utama, juga
dihasilkan produk samping maupun limbah buangan. Selama ini, hanya produk utama berupa
gula yang diperhatikan, sementara produk samping ataupun limbah buangan tidak begitu
diperhatikan, kecuali tetes tebu (molasses) yang sudah lama dimanfaatkan untuk pembuatan
etanol dan bahan pembuatan monosodium glutamate (MSG, salah satu bahan untuk membuat
bumbu masak), atau ampas tebu (bagasse) yang dimanfaatkan untuk bahan bakar boiler di
pabrik gula. Namun, penggunaannya masih terbatas dan nilai ekonomi yang diperoleh juga
belum tinggi. Sementara, limbah buangan lainnya terbuang percuma, bahkan menimbulkan
pencemaran lingkungan, sehingga menambah pengeluaran pabrik gula (Misran, 2005).
Sementara itu, dari budi daya tanaman tebu sendiri dihasilkan pula limbah buangan,
sejak masa tanam hingga penebangan/pemanenan. Daun klethekan atau daun tebu kering
(daduk), pucuk tebu, hingga sogolan (pangkal tebu) menimbulkan masalah tersendiri untuk
membuangnya, padahal semuanya bisa dimanfaatkan dan juga mempunyai nilai ekonomis
(Kompas, 12 Juli 2000).
Menurut Kurniawan dan Santoso (2009), tebu merupakan alternatif sumber energi yang
potensial karena tebu menghasilkan biomassa berupa ampas tebu (bagase) dan daun tebu
kering (daduk). Tebu juga tergolong tanaman yang paling efektif dalam mengubah energi
matahari menjadi energi kimia dalam bentuk biomassa.
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji berbagai alternatif pemanfaatan
produk samping maupun limbah buangan dari industri tebu. Dengan demikian,
diharapkan konsep bebas limbah (zero waste) dan ramah lingkungan pada industri
tebu bisa diwujudkan. Penerapan bebas limbah penting untuk dilakukan agar
dampak negatif limbah dapat diminimalkan dan dampak yang menguntungkan
dapat dimaksimalkan dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara sistem
produksi dengan lingkungan hidup (Astuti, 2013), di antaranya adalah dengan
memanfaatkan limbah untuk dapat digunakan bagi keperluan industri tebu itu
sendiri atau dimanfaatkan sebagai bahan baku/bahan pembantu industri lainnya

1.2 Perumusan masalah

1. Bagaimana pengelolaan yang seharusnya dilakukan oleh industri tersebut


untuk menuju Teknologi Bersih?

2. Berdasarkan alur bahan dan energy buatlah rancangan bahan yang dapat di
Reduse, Reuse, dan Recycle!

3. Berikan arahan proses produksi industri gula untuk menuju Teknologi Bersih!

1.3 Tujuan

1. Mengetahui tata cara pengolahan industri untuk memenuhi prinsip teknologi


bersih

2. Mengklasifikasikan produk sampingan yang dapat di Reduse, Reuse, dan


Recycle untuk dapat dijadikan bahan baku dan energi

3. Mengetahui arah industri agar menerapkan teknologi bersih


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian produksi bersih

Produksi Bersih merupakan tindakan efisiensi pemakaian bahan baku, air dan
energi, dan pencegahan pencemaran, dengan sasaran peningkatan produktivitas dan
minimisasi timbulan limbah. Istilah Pencegahan Pencemaran seringkali digunakan untuk
maksud yang sama dengan istilah Produksi Bersih. Demikian pula halnya dengan Eco-
efficiency yang menekankan pendekatan bisnis yang memberikan peningkatan efisiensi
secara ekonomi dan lingkungan.
Pola pendekatan produksi bersih bersifat preventif atau pencegahan timbulnya
pencemar, dengan melihat bagaimana suatu proses produksi dijalankan dan bagaimana
daur hidup suatu produk. Pengelolaan pencemaran dimulai dengan melihat sumber
timbulan limbah mulai dari bahan baku, proses produksi, produk dan transportasi sampai
ke konsumen dan produk menjadi limbah. Pendekatan pengelolaan lingkungan dengan
penerapan konsep produksi bersih melalui peningkatan efisiensi merupakan pola
pendekatan yang dapat diterapkan untuk meningkatkan daya saing.
Menurut UNEP, Produksi Bersih adalah strategi pencegahan dampak lingkungan
terpadu yang diterapkan secara terus menerus pada proses, produk, jasa untuk
meningkatkan efisiensi secara keseluruhan dan mengurangi resiko terhadap manusia
maupun lingkungan (UNEP, 1994).
Produksi Bersih, menurut Kementerian Lingkungan Hidup, idefinisikan sebagai :
Strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif, terpadu dan diterapkan secara
terus-menerus pada setiap kegiatan mulai dari hulu ke hilir yang terkait dengan proses
produksi, produk dan jasa untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya alam,
mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dan mengurangi terbentuknya limbah pada
sumbernya sehingga dapat meminimisasi resiko terhadap kesehatan dan keselamatan
manusia serta kerusakan lingkungan (KLH, 2003).
Dari pengertian mengenai Produksi Bersih maka terdapat kata kunci yang dipakai
untuk pengelolaan lingkungan yaitu : pencegahan pencemaran, proses,
produk, jasa, peningkatan efisiensi, minimisasi resiko. Dengan demikian maka perlu
perubahan sikap, manajemen yang bertanggung-jawab pada lingkungan dan evalusi
teknologi yang dipilih.
Pada proses industri, produksi bersih berarti meningkatkan efisiensi pemakaian
bahan baku, energi, mencegah atau mengganti penggunaan bahan-bahan berbahaya dan
beracun, mengurangi jumlah dan tingkat racun semua emisi dan limbah sebelum
meninggalkan proses.
Pada produk, produksi bersih bertujuan untuk mengurangi dampak lingkungan
selama daur hidup produk, mulai dari pengambilan bahan baku sampai ke pembuangan
akhir setelah produk tersebut tidak digunakan.
Produksi bersih pada sektor jasa adalah memadukan pertimbangan lingkungan ke
dalam perancangan dan layanan jasa. Penerapan Produksi Bersih sangat luas mulai dari
kegiatan pengambilan bahan termasuk pertambangan, proses produksi, pertanian,
perikanan, pariwisata, perhubungan, konservasi energi, rumah sakit, rumah makan,
perhotelan, sampai pada sistem informasi. Pola pendekatan produksi bersih dalam
melakukan pencegahan dan pengurangan limbah yaitu dengan strategi 1E4R (Elimination,
Reduce, Reuse, Recycle, Recovery/Reclaim) (UNEP, 1999).

2.2 Prinsip-prinsip pokok produksi bersih

Prinsip-prinsip pokok dalam strategi produksi bersih dalam Kebijakan Nasional


Produksi Bersih (KLH, 2003) dituangkan dalam 5R (Re-think, Re-use, Reduction, Recovery
and Recycle). Elimination (pencegahan) adalah upaya untuk mencegah timbulan limbah
langsung dari sumbernya, mulai dari bahan baku, proses produksi sampai produk.

1. Rethink (berpikir ulang), adalah suatu konsep pemikiaran yang harus dimiliki
pada saat awal kegiatan akan beroperasi, dengan implikasi :
Perubahan dalam pola produksi dan konsumsi berlaku baik pada proses
maupun produk yang dihasilkan, sehingga harus dipahami betul analisis
daur hidup produk
Upaya produksi bersih tidak dapat berhasil dilaksanakan tanpa adanya
perubahan dalam pola pikir, sikap dan tingkah laku dari semua pihak
terkait pemerintah, masyarakat maupun kalangan usaha
2. Reduce (pengurangan) adalah upaya untuk menurunkan atau mengurangi
timbulan limbah pada sumbernya.
3. Reuse (pakai ulang/penggunaan kembali) adalah upaya yang memungkinkan
suatu limbah dapat digunakan kembali tanpa perlakuan fisika, kimia atau
biologi.
4. Recycle (daur ulang) adalah upaya mendaur ulang limbah untuk
memanfaatkan limbah dengan memrosesnya kembali ke proses semula
melalui perlakuakn fisika, kimia dan biologi.
5. Recovery/ Reclaim (pungut ulang, ambil ulang) adalah upaya mengambil
bahan-bahan yang masih mempunyai nilai ekonomi tinggi dari suatu limbah,
kemudian dikembalikan ke dalam proses produksi dengan atau tanpa
perlakuakn fisika, kimia dan biologi.

Meskipun prinsip produksi bersih dengan strategi 1E4R atau 5R, namun
perlu ditekankan bahwa strategi utama perlu ditekankan pada Pencegahan dan
Pengurangan (1E1R) atau 2R pertama. Bila strategi 1E1R atau 2R pertama masih
menimbulkan pencemar atau limbah, baru kemudian melakukan strategi 3R
berikutnya (reuse, recycle, dan recovery) sebagai suatu strategi tingkatan
pengelolaan limbah.
Tingkatan terakhir dalam pengelolaan lingkungan adalah pengolahan dan
pembuangan limbah apabila upaya produksi bersih sudah tidak dapat dilakukan:

Treatment (pengolahan) dilakukan apabila seluruh tingkatan produksi


bersih telah dikerjakan, sehingga limbah yang masih ditimbulkan perlu
untuk dilakukan pengolahan agar buanagn memenuhi baku mutu
lingkungan.
Disposal (pembuangan) limbah bagi limbah yang telah diolah. Beberapa
limbah yang termasuk dalam ketegori berbahaya dan beracun perlu
dilakukan penanganan khusus.
Tingkatan pengelolaan limbah dapat dilakukan berdasarkan konsep
produksi bersih dan pengolahan limbah sampai dengan
pembuangan (Weston dan Stuckey, 1994).
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

Studi ini merupakan literature review dari berbagai hasil studi yang telah diterbitkan
pada berbagai publikasi, baik di dalam maupun di luar negeri, dengan didukung oleh data
statistik yang relevan. Ruang lingkup analisis mencakup potensi produk samping dan limbah
buangan dari industri tebu dan potensi pemanfaatannya baik bagi keperluan industri tebu
sendiri maupun dimanfaatkan sebagai bahan baku/bahan pembantu industri lainnya.

Pemanfaatan Limbah Budi Daya Tebu

Dari proses budi daya hingga pemanenan tebu dihasilkan limbah berupa daun klethekan
dan daun tebu kering (daduk), pucuk tebu, dan sogolan (pangkal tebu). Jumlah limbah pucuk
tebu mencapai 15% dari total tanaman, sementara jumlah limbah berupa sogolan mencapai
2% (Kompas, 12 Juli 2000). Pucuk tebu, daun klethekan maupun sogolan bisa diolah menjadi
pakan ternak (sapi), sementara daduk dapat diolah menjadi substitusi bahan bakar minyak.
Pucuk batang tebu dapat digunakan sebagai pengganti rumput gajah sebagai hijauan
pakan ternak pada penggemukan sapi, sapi perah produktif, maupun pedet lepas sapih, baik
sebagai satu-satunya sumber hijauan makanan ternak maupun sebagai hijauan campuran
dengan rumput gajah. Pucuk tebu yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak adalah ujung atas
batang tebu berikut 5-7 helai daun yang dipotong dari tebu yang dipanen untuk tebu bibit atau
bibit giling. Menurut Kuswandi (2007), hamparan kebun tebu seluas 100 ha diperkirakan
dapat menghasilkan pucuk tebu sebanyak 380 ton bahan kering, yang dapat digunakan untuk
memelihara tidak kurang dari 347-520 ekor sapi dengan bobot hidup 200 kg sepanjang tahun
bila sapi mampu mengonsumsi bahan kering 1-1,5% dari bobot hidup.
Namun demikian, pucuk tebu mempunyai kandungan gizi yang kurang memadai untuk
pakan ternak, sehingga diperlukan penambahan pakan suplemen. Pucuk tebu mempunyai
kandungan bahan kering lebih rendah dari bahan kering jerami padi, namun protein kasarnya
lebih tinggi dari jerami padi dan jagung. Upaya meningkatkan kualitas pucuk tebu dapat
dilakukan dengan pembuatan silase pucuk tebu dengan penambahan urea dan molases.

Daun klethekan diperoleh dengan cara melepaskan 3-4 daun tebu pada saat tebu
berumur 4 bulan, 6 bulan, dan 8 bulan, yang masing-masing disebut klethekan 1, 2, dan 3.
Daun klethekan dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia, baik secara langsung
maupun melalui pengolahan terlebih dahulu.

Terkait dengan limbah daun tebu kering, Sinaga (2005) memberikan gambaran bahwa
PG Rajawali I dan II setiap bulannya harus mengeluarkan biaya antara 1,8 miliar hingga 2
miliar untuk membuang daduk atau daun tebu kering. Pemanfaatan daduk menjadi substitusi
bahan bakar minyak oleh pabrik gula akan memberikan penghematan yang besar di samping
memberikan solusi bagi penanganan limbah daduk tersebut.

\Jadi keuntugan yang didapat dari pemanfaatan limbah budidaya tebu adalah :
1. Limbah pucuk dan pangkal tebu untuk pakan ternak
Limbah pucuk tebu = 15 % x 380 ton/100ha = 57 ton limbah pucuk tebu/100hektar
Limbah sogolan = 2% x 380 ton/ha = 7.6 ton limbah sogolan tebu/100hektar
Jadi total dari limbah pucuk tebu dan pangkal = 64.6 ton limbah pucuk&pangakal tebu/100
ha

Jika dijual pada peternak dengan harga sebagai berikut :

Sumber : http://www.sakadoci.com/2016/07/harga-bahan-baku-pakan-sapi-dari.html

Total pendapatan = 64.7 ton x 1000 kg x Rp 600/kg


= Rp 38.820.000/ 100ha

Limbah daduk (untuk bahan bakar minyak)


Jika di rupiahkan menurut harga solar untuk industry adalah sebagai berikut :
Sumber : https://solarindustripekanbaru.wordpress.com/hargadasarsolarindustripertamina/

Total limbah yang dihasilkan 380 ton/ha limbah bahan kering daduk
Dengan pertimbangan bahwa 1 kg = 1 liter
Total pendapatan = 380 ton x 1000 kg x 1 liter x Rp 8.700/liter
= Rp 3.306.000.000 /100ha

Jadi perusahaan dapat menghemat pembelian bahan bakar solar dengan mengganti dengan
daduk yang dijadikan sebagai bahan bakar dengan nilai penghematan 3,3 milliar
dibandingakn dengan perusahaan harus membuang limbah budidaya tebu sebesar 2 milliar
hanya untuk 380 ton limbah/100ha

Pemanfaatan Tetes Tebu (Molasses)


Tetes tebu (molasses) termasuk produk samping pabrik gula. Tetes merupakan sisa
sirup terakhir dari stasiun masakan yang telah dipisahkan gulanya melalui kristalisasi
berulangkali sehingga tidak mungkin lagi menghasilkan gula dengan kristalisasi
konvensional. Tetes diproduksi sekitar 4,5% dari tebu. Selain dapat digunakan sebagai pupuk
dan pakan ternak, tetes dapat juga digunakan sebagai bahan baku fermentasi yang dapat
menghasilkan etanol, asam asetat, asam sitrat, monosodium glutamat (MSG), asam laktat,
dan lain-lain. Kandungan tetes tebu diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan cairan tetes tebu
Unsur Kadar kandungan (%)

Protein kasar 3,1


Serat kasar 60,0
Lemak kasar 0,9
Abu 11,9
Kadar air 15-25
Sumber: Afriyanto (2011)

Dalam upaya memberi nilai tambah, pemanfaatan tetes tebu untuk diolah menjadi
bioetanol telah dilakukan PT Energi Agro Nusantara (Enero), yang merupakan anak usaha PT
Perkebunan Nusantara X. Sebelumnya, pabrik gula hanya menjual tetes tebu ke pabrik lain
yang mengembangkan produk turunannya seperti pabrik makanan, sehingga pabrik gula tidak
mendapatkan nilai tambah secara optimal dari tebu yang diolahnya. Pabrik pengolahan
bioetanol yang terletak di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur tersebut mempunyai desain
kapasitas produksi sebesar 30 juta liter per tahun dengan kebutuhan bahan baku 120 ribu ton
tetes tebu yang diambil dari pabrik gula milik PTPN X.
Bioetanol yang dihasilkan merupakan bioetanol fuel grade dengan tingkat kemurnian
minimal 99,5% yang sangat ramah lingkungan serta memiliki angka oktan yang tinggi yaitu
RON (Research Octane Number) 120. Akan tetapi, karena saat ini pasar bioetanol dalam
negeri masih belum ada kepastian, PTPN X menjual bioetanol produksinya ke Filipina yang
sedang gencar mencanangkan mandatory blending BBM E10 (kewajiban pencampuran 10%
bioetanol). Peluang memasok pasar Filipina semakin besar karena Thailand yang selama ini
memasok bioetanol ke Filipina akan mengurangi ekspor bioetanolnya dan lebih banyak
mengalokasikan bioetanol produksinya untuk dipakai sendiri di dalam negeri akibat
peningkatan mandatory blending dari E10 menjadi E20 di Thailand (PTPN X, 2014).

Dari hasil tetes tebu yang dihasilkan di peroleh 120.000 ton tetes tebu/100ha yang di
gunakan sebgai etanol adalah 4,5% maka :
Total bioethanol yang didapatkan adalah
= 120.000 ton x 4,5% = 5400 ton/100ha/tahun
Dijual dengan harga : Rp 8500/ liter
Maka hasil keuntungan yang di dapat dari penjualan bioethanol adalah
= 5400 ton x 1000 kg x 1liter x Rp 8500
= Rp 45.900.000.000 /100 ha/tahun
Pemanfaatan Ampas Tebu (Bagasse)

Ampas tebu merupakan produk samping yang dihasilkan dalam proses pengolahan tebu
menjadi gula, yang merupakan residu dari proses penggilingan tanaman tebu setelah
diekstrak atau dikeluarkan niranya. Ampas tebu merupakan produk limbah berserat dan
mempunyai tingkat higroskopis tinggi. Menurut Subiyono (Agrofarm, 2014), satu ton tebu
dapat menghasilkan sekitar 300 kilogram ampas (30%), sementara menurut Misran (2005),
dalam proses produksi di pabrik gula dihasilkan sekitar 35-40% ampas tebu dari setiap tebu
yang diproses. Hasil perhitungan Syahputra et al. (2011), dengan asumsi proses penggilingan
tebu menjadi gula menghasilkan ampas tebu sebesar 32%, dihasilkan sekitar 10,2 juta ton
ampas tebu per tahun atau per musim giling se-Indonesia.
Ampas tebu mudah terbakar karena mengandung air, gula, serat dan mikroba sehingga
bila tertumpuk akan terfermentasi dan melepaskan panas. Jika suhu tumpukan mencapai 94
C akan terjadi kebakaran spontan. Adapun komposisi kimia ampas tebu disajikan pada Tabel
2.
Tabel 2. Komposisi kimia ampas tebu
Unsur Kadar kandungan
Karbon ( C ) 47,0%
Hidrogen (H) 6,5%
Oksigen (O) 44,0%
Abu 2,5%
Kalor 1.825 kkal /kg (2,5% gula)
Protein kasar 1,01-2,11%
Serat kasar 43-52%
Kecernaan < 25%
Kadar NDF (Neutral Detergent
Fiber) 84,2%
Kadar ADF (Acid Detergent Fiber) 51%
Hemiselulosa 33,2%
Selulosa 40,3%
Lignin 11,2%
Nilai kalor 7.600 kJ/kg (kadar air 50%)
Sumber: Christiyanto dan Subrata (2005)

Ampas tebu merupakan limbah selulosik yang banyak sekali potensi pemanfaatannya.
Selain untuk bahan bakar boiler di pabrik gula, sumber energi listrik, dan pakan ternak,
ampas tebu juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kompos, pulp, particle
board, juga merupakan bahan pembuatan kanvas rem, furfural, sirup glukosa, etanol, CMC
(carboxymethyl cellulose), dan bahan penyerap (adsorbent) zat warna (Misran, 2005). Ampas
tebu diserap untuk bahan pembuatan kertas oleh pabrik kertas (Kompas, 12 Juli 2000).
Sebagian besar ampas tebu digunakan sebagai bahan bakar ketel (boiler) untuk
memproduksi energi, sedangkan sisanya terhampar di lahan pabrik sebagai limbah padat yang
merugikan lingkungan jika tidak dimanfaatkan. Menurut Subiyono (Agrofarm, 2014), dahulu
Belanda sudah mendesain semua PG supaya bisa mandiri dengan ampas tebu sebagai bahan
bakar. Ampas bisa digunakan untuk menggerakkan mesin tanpa harus menggunakan BBM
atau batubara. Namun, dalam perjalanan waktu banyak PG di Indonesia yang justru
menggunakan bahan bakar fosil yang sangat mahal, sehingga menimbulkan inefisiensi. Oleh
karena itu, sejak empat tahun terakhir PG-PG di Lingkup PTPN X mengoptimalkan
pemanfaatan ampas, sehingga penggunaan bahan bakar fosil semakin menurun. Bahkan,
tahun depan ditargetkan penggunaan BBM untuk pengoperasian pabrik hingga 0%. Hasil
studi Rosmeika et al. (2010) menggunakan perangkat lunak Life Cycle Assessment (LCA)
menunjukkan bahwa input energi di stasiun gilingan dan stasiun ketel PG Madukismo lebih
besar dibandingkan output energinya. Demikian pula, pemanfaatan ampas tebu sebagai bahan
bakar lebih ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar fosil.
Dengan nilai kalor ampas tebu sekitar 7.600 kJ/kg pada kadar air 50% (Tabel 2), maka
ampas tebu dan daun tebu kering (daduk) merupakan sumber energi potensial penghasil
listrik. Potensi produksi listrik dari ampas dan daduk mencapai 1.408.940 MWh dan bisa
diwujudkan dalam jangka pendek, sedangkan untuk jangka panjang potensi produksi listrik
dapat ditingkatkan hingga 2,80 juta MWh (Kurniawan dan Santoso, 2009). Teknologi
pembangkit listrik yang masih banyak digunakan di Indonesia adalah teknologi konvensional
Backpressure Turbines. Teknologi ini menggunakan uap bertekanan rendah-menengah (<20
bar) dengan konversi 12-19 kg uap/kWh dan mampu memproduksi listrik 28-60 kWh/ton
tebu. Di Kuba, ampas tebu telah dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik yang dapat
memenuhi 30% kebutuhan energi listrik di Kuba (Lampung Post, 29 Juni 2004).
Subiyono (Agrofarm, 2014) menambahkan bahwa ampas tebu juga bisa digunakan
untuk memproduksi listrik melalui program cogeneration. Satu ton ampas tebu bisa untuk
membangkitkan listrik dengan cogeneration sebesar 220-240 kWh. Di sejumlah negara,
cogeneration untuk memproduksi listrik dari ampas tebu sudah dijalankan dengan mengganti
boiler bertekanan rendah (7-21 bar) dengan boiler bertekanan tinggi (di atas 80 bar) serta
melakukan elektrifikasi pada semua penggerak. Dengan lahan tebu nasional seluas sekitar
475 ribu hektar dan lebih dari 33 juta ton produksi tebu, potensi bisnis listrik dari ampas tebu
bisa mencapai 3,5-3,8 juta MWh (3.800 GWh). Saat ini PTPN X pada tahap uji coba
pengembangan program cogeneration di PG Ngadiredjo, Kediri. Listrik yang dihasilkan di
PG tersebut akan digunakan untuk operasional pabrik dan dijual ke PLN.
Ampas tebu juga berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak berserat.
Akan tetapi, untuk dapat digunakan sebagai pakan ternak berserat ampas tebu harus
mengalami perlakuan fisik dan biologis terlebih dahulu karena tekstur ampas tebu yang keras,
nilai gizi yang rendah dan rendahnya kecernaan oleh hewan ternak karena adanya ikatan
lignin dengan selulosa dan hemiselulosa, sehingga perlu dilakukan pemecahan ikatan lignin
selulosa dan hemiselulosa pada ampas tebu. Pemasakan ampas tebu dengan kadar air 30%
pada tekanan 1,5 kg/cm2 menggunakan autoclave dan fermentasi menggunakan starter
berupa kapang T. viride mampu menurunkan kadar serat dinding sel (NDF/Neutral Detergent
Fiber) dan kadar selulosa pada ampas tebu sehingga sesuai digunakan sebagai pakan ternak
berserat (Christiyanto dan Subrata, 2005).
Ampas tebu memiliki kadar pentosan cukup tinggi, yaitu sebesar 18,86% (dengan kadar
air sebesar 6,76%) (Andaka, 2011), sehingga memungkinkan ampas tebu untuk diolah
menjadi furfural. Hasil studi menunjukkan yield furfural mencapai titik maksimum pada suhu
100 oC sebesar 5,07% dan yield furfural mencapai titik optimum pada waktu reaksi hidrolisis
selama 120 menit sebesar 5,67%.
Furfural memiliki aplikasi cukup luas dalam berbagai industri, seperti pengolahan
minyak bumi, pembuatan nilon, pelapisan, farmasi, dan serat sintetik (Wijanarko et al., 2006)
dan dapat disintesis menjadi turunan-turunannya seperti furfuril alkohol, furan, dan lain-lain.
Saat ini seluruh kebutuhan furfural dalam negeri diperoleh melalui impor. Impor furfural
terbesar diperoleh dari Cina yang saat ini menguasai 72% pasar furfural dunia.
Berdasarkan analisis pasar dalam negeri studi Wijanarko et al. (2006) menunjukkan
kebutuhan membangun pabrik furfural dengan kapasitas sebesar 510 ton/tahun. Dari hasil
perhitungan ekonomi, untuk mendirikan pabrik furfural ini diperlukan total investasi kurang
lebih sebesar US$ 4,7 juta dengan biaya manufaktur sebesar US$ 1,1 juta. Nilai Net Present
Value (NPV) adalah sekitar sebesar US$ 3,3 juta, tingkat pengembalian internal/internal rate
of return (IRR) sebesar 12,3%, dengan waktu pengembalian kurang lebih selama 3 tahun 9
bulan.
Ampas tebu dapat juga dimanfaatkan menjadi kanvas rem (brake pad). Berdasarkan
riset yang dilakukan selama tiga tahun (1999-2002), PT PG Rajawali II menemukan bahwa
ampas tebu merupakan bahan yang lebih baik dibandingkan jerami atau jagung, untuk
menggantikan asbes. Pemanfaatan ampas tebu dalam pembuatan kanvas rem meningkatkan
nilai ekonomi ampas tebu dibandingkan ketika ampas tebu tersebut dijadikan bahan bakar
yang hanya bernilai Rp50/kg. Pengolahan ampas tebu menjadi kampas rem dilakukan PT Inti
Bagas Perkasa yang merupakan anak perusahaan PT PG Rajawali II. Sumber bahan baku
adalah tebu dari lahan sendiri (HGU) seluas 12 ribu hektar dan tebu dari petani di sekitar
wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah (PT Rajawali Nusantara Indonesia, 2014).

Keuntungan pengolahan dari ampas tebu ini jika di jadikan listrik


Jika di hasilkan 32% total tebu menjadi ampas
Maka jika 100 ha = 10.000 ton tebu

Maka total ampas tebu adalah 32% x 10.000 ton = 3200 ton
dengan nilai kalor 7.600 kJ/kg pada kadar air 50% (Tabel 2), maka :
= 3200 ton x 1000 kg x 7600 Kj/kg
= 24.320.000.000 Kj/Kg listrik
Jika harga listrik adalah sesuai taridf dari PLN maka :

1 Kj = 0,000277778 KWH
= 24.320.000.000 Kj/Kg listrik x 0,000277778 Kwh x Rp 1.352/kwh
= Rp 9.133.518.418

Pemanfaatan Blotong
Blotong adalah limbah padat pabrik gula yang berasal dari stasiun pemurnian,
berbentuk seperti tanah berpasir berwarna hitam dan memiliki bau tidak sedap ketika masih
basah. Menurut Siregar (2010), dalam sehari dapat dihasilkan 3,8-4% blotong dari jumlah
tebu yang digiling. Sebagai gambaran, pada tahun 2003 dalam satu proses produksi di PG
Kebon Agung dihasilkan blotong.
sebanyak sekitar 21 ribu ton (Solihin, 2010). Jumlah blotong yang banyak dengan
pemanfaatan yang minim menjadi masalah yang serius bagi pabrik gula tebu dan lingkungan
masyarakat sekitar. Tumpukan blotong di musim hujan akan menjadi basah, sehingga
menyebarkan bau busuk dan mencemari lingkungan (Dewi, 2009).
Meskipun dianggap sebagai limbah, blotong masih memiliki sifat dan kandungan zat
yang masih berguna dan bermanfaat. Kelebihan limbah biomassa ini adalah mempunyai nilai
kalor yang cukup tinggi. Blotong basah mempunyai kadar air 50-70% (Astuti, 2013). Tabel 3
menyajikan hasil analisis komposisi blotong kering (kadar air 25%) oleh Laboratorium Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Bahan dan Barang Teknik Bandung.

Tabel 3. Komposisi kimia blotong kering


Unsur Kadar kandungan
Nitrogen (N) 1,40%
Phosphat (P) 3,03%
Kalium (K) 0,70%
Kalsium (Ca) 16,20%
Sulfat (SO3) 6,42%
Ampas tebu (bagasse) 64,00%
Kalor bakar 3.319 kkal/kg
Sumber: BBPPIBB dalam Afriyanto (2011)

Blotong dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan bata beton, briket biomassa,
pakan ternak maupun bahan baku kompos/pupuk. Di dalam pembuatan bata beton digunakan
bahan baku semen, pasir, dan blotong setelah dibakar. Blotong digunakan untuk
mensubstitusi semen sehingga penggunaan semen dapat dikurangi dan menghasilkan produk
dengan harga lebih murah. Penambahan abu blotong 30% dari berat semen yang seharusnya
mampu menghasilkan bata beton dengan kuat tekan 100 kg/cm2, sedangkan bata beton
dengan kuat tekan 70 kg/cm2 dihasilkan dari penambahan abu blotong 44-50% (Moenir et al.,
1997).
Blotong dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku briket karena memiliki nilai kalor
cukup tinggi 3.319 kkal/kg (Tabel 3). Briket merupakan bahan bakar alternatif pengganti dan
termasuk dalam sumber energi terbarukan. Penggunaan briket biomassa dapat mengganti
fungsi minyak tanah dan LPG. Karakteristik briket bermutu baik adalah memiliki kadar air,
kadar abu, kadar zat terbang, laju pembakaran yang rendah, tetapi memiliki kerapatan, nilai
kalor yang tinggi, begitu pula suhu api/bara yang dihasilkan juga tinggi. Kerapatan tinggi
dapat meningkatkan nilai kalor. Namun, kerapatan yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan
briket sulit terbakar. Sebaliknya, briket dengan kerapatan terlalu rendah mengakibatkan briket
cepat habis dalam pembakarannya karena bobot yang lebih rendah.
Penambahan perekat pada pembuatan briket blotong meningkatkan kerapatan,
menurunkan laju pembakaran, dan meningkatkan nilai kalor briket dari 1.026-1.995 kal/g.
Bara yang dihasilkan briket blotong mempunyai kualitas yang cukup baik dan menghasilkan
suhu bara antara 357-496 C. Briket blotong ini menghasilkan kandungan kadar abu serta
kadar zat terbang yang lebih tinggi dibandingkan dengan briket arang kayu yang ada di
pasaran (Afriyanto, 2011; Ismayana dan Afriyanto, 2011). Kualitas briket blotong berbahan
perekat tetes tebu disajikan pada Tabel 4.
Blotong juga dapat digunakan sebagai bahan pembuatan kompos karena blotong
mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanah. Untuk memperkaya unsur nitrogen, proses
pengomposan blotong dicampur dengan abu ampas tebu yang juga merupakan limbah padat
pabrik gula dengan perbandingan 1:3 (abu ampas tebu:blotong). Kandungan hara kompos
blotong dan abu ampas tebu disajikan pada Tabel 5. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa
kualitas kompos yang dihasilkan sudah memenuhi kriteria kompos dari SNI 19-7030-2004.
Penggunaan kompos campuran blotong dan abu ampas tebu tersebut pada tanaman tebu
sebanyak 100 ton kompos per hektar dapat meningkatkan bobot dan rendemen tebu secara
signifikan (Astuti, 2006).

Jumlah limbah blotong yang dihasilkan adalah 4% per produksi


Maka jila dalam 1 ha menghasilkan 100 ton tebu maka, dengan 100 ha didapatkan 10.000 ton
tebu/ tahunnya :

Dengan mengelolah 10.000 ton tebu x 4% (blotong) = 40 ton blotong/100ha


Jika langsung dijual dengan harga Rp 200/ kg blotong ke pengusaha briket maka hasil
yang di dapat adalah
= 40 ton x 1000kg x Rp 200
= Rp 8.000.000
Jika dengan proses pengeringan dan pengepressaan untuk menjadi briket adalah 40% daro
berat total blotong maka = 40 ton x 4% = 16 ton briket
Dan harga briket blotong adalah Rp 12.000/ kg

Jika blotong tersebut digunakan sebagai briket maka nilai ekonomis yang didapatkan
adalah
= 16 ton x 1000 kg x Rp 12.000
= Rp 192.000.000

Tabel 4. Perbandingan kualitas briket blotong, briket arang kayu, dan parafin

Briket SNI 01-


Briket
Parameter Satuan blotong arang kayu Parafin 6235-
(pasar) 2000
Suhu api/bara yang
dihasilkan C 357,22-496,11 489,17 506,53
Laju pembakaran gram/menit 0,73-0,93 1,15 3,33
Nilai kalor kal/gram 1.615-1.995 4.546 > 5.000
Kerapatan gram/cm3 0,86-1,04
Kadar zat terbang % 24,93-28,50 143,97 0 < 15
Kadar abu % 35,40-51,27 9,66 0 <8
Kadar air % 9,00-13,40 11,70 10,10 <8
Sumber: Afriyanto (2011) dan Badan Standarisasi Negara (2000)

Tabel 5. Kompos blotong dan abu ampas tebu


Parameter Satuan Hasil Pengujian SNI 19-7030 -2004
Nitrogen (N) % 1,37 > 0,40
Phosphat (P2O5) % 1,81 > 0,10
Kalium (K2O) % 2,22 > 0,20
Besi (Fe) % 0,49 < 2,00
Calsium (Ca) % 2,56 < 25,50
Magnesium oksida (MgO) % 0,53 < 0,60
Manganesse (Mn) % 0,06 < 0,10
pH 10% larutan - 7,10 6,80-7,49
Zinc (Zn) ppm 80,99 < 500
Tembaga (Cu) ppm 44,01 < 100
Karbon organik % 16,48 9,80-32,00
C/N Ratio % 12,03 10,00-20,00
Sumber: Astuti (2006) dan Badan Standarisasi Negara (2004)
Kompas (12 Juli 2000) melaporkan bahwa, sejak tahun 1998 PG Tasikmadu di
Karanganyar (PTPN XI) telah mengolah hasil limbah produksinya yaitu blotong, abu, tetes,
dan ampas yang dicampur dengan kotoran hewan, menjadi pupuk kompos unggul (fine
compost) yang mempunyai nilai tinggi. PG Tasikmadu sudah memperoleh keuntungan
sebesar Rp8 miliar dari bahan yang semula limbah ini.

Pemanfaatan Abu Ampas Tebu


Abu ampas tebu merupakan hasil perubahan secara kimiawi pembakaran ampas tebu
sebagai bahan bakar untuk memanaskan ketel dengan suhu mencapai 550 C-600 C dan lama
pembakaran 4-8 jam. Limbah abu boiler (ketel) seringkali menjadi bahan protes masyarakat
karena menyebabkan pencemaran lingkungan. Komposisi kimia abu pembakaran ampas tebu
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Komposisi abu ampas tebu
Unsur Kadar kandungan (%)
SiO2 7,1
Al2O3 1,9
Fe2O3 7,8
CaO 3,4
MgO 0,3
K2O 8,2
P2O5 3,0
MnO 0,2
Sumber: Siregar (2010)

Abu ampas tebu mengandung senyawa silika (SiO2) yang juga merupakan bahan baku
utama dari semen biasa (Portland) yang jumlahnya mencapai 71%. Pada proses pembakaran
ampas tebu, semua komponen organik diubah menjadi gas CO2 dan H2O dengan
meninggalkan abu yang merupakan komponen anorganik (Hanafi dan Nandang, 2010).
Abu ampas tebu mempunyai kandungan silika (SiO 2) yang sangat tinggi. Silika dalam
abu yang dihasilkan dengan suhu pengabuan 550 C-600 C berbentuk amorf. Penambahan
10% berat silika dalam bentuk amorf ke dalam adonan keramik menghasilkan kuat patah
maksimum pada keramik yang lebih tinggi dari kuat patah keramik Indonesia dalam literatur
yaitu 940 dyne/cm2 (Hanafi dan Nandang, 2010). Hasil tersebut sejalan dengan hasil studi
Srinivasan dan Sathiya (2010) yang menemukan bahwa penggunaan abu ampas tebu sebagai
bahan pengganti semen hingga 10% dapat meningkatkan kualitas dan mengurangi biaya
bahan konstruksi. Penggunaan abu ampas tebu pada pembuatan beton (concrete)
menyebabkan kekuatan kompresif (compressive strength), kekuatan tarik (tensile strength),
dan kekuatan lentur (flexural strength) beton meningkat dibandingkan beton yang tidak
menggunakan abu ampas tebu.
Bata abu tebu merupakan bahan bangunan dinding berupa bata dengan bahan dasar
tanah liat, abu tebu dari pabrik gula dan semen sebagai perekat yang dicetak dengan
pemadatan dan melalui proses pengeringan tanpa dibakar. Bata abu tebu termasuk bahan
bangunan efisien energi bila dibandingkan dengan bata merah karena tidak mengalami
pembakaran pada proses produksinya. Bata abu tebu termasuk bahan bangunan tanah dengan
stabilisasi semen yang ber-embodied energy 0,3-0,8 MJ/kg, mempunyai thermal properties
yang sesuai dengan iklim tropis lembab, mempunyai densitas 1,42 g/cm3, dan mempunyai
daya serap air maksimum 25% dari volume bata. Bata abu tebu mempunyai kuat tekan lebih
tinggi dari sebagian besar batu bata yang ada di pasaran saat ini yaitu minimal 50 kg/cm 2.
Kuat tekan bata abu tebu dapat didesain sesuai kebutuhan dengan persentase abu tebu
maksimal 50% dan persentase semen maksimal 10% (Noerwarsito, 2004).
Pemanfaatan abu ampas tebu dapat meningkatkan sifat mekanik dan fisis pada mortar.
Mortar sering disebut sebagai plesteran adalah campuran semen, pasir dan air yang
memiliki persentase yang berbeda. Mortar berfungsi untuk melapisi pasangan batu bata, batu
kali maupun batako agar permukaannya tidak mudah rusak dan kelihatan rapi dan bersih
(Mulyati et al., 2011). Abu ampas tebu mampu mengisi partikel-partikel pembentuk mortar
sehingga porositas mortar akan menjadi lebih kecil, kedapan menjadi bertambah dan
permeabilitas semakin kecil sehingga kekuatan mortar akan meningkat. Hal ini dikarenakan
abu ampas tebu mempunyai kandungan senyawa silika SiO2 yang juga merupakan bahan
baku utama dari semen biasa (Portland).
Abu ampas tebu dapat dicampur dengan beberapa zat lain (seperti blotong, tetes, dan
ampas tebu) untuk dimanfaatkan menjadi pupuk mixed (fine compost). Campuran abu ampas
tebu dan blotong dalam pembuatan kompos menghasilkan kompos dengan kualitas yang
memenuhi kriteria kompos dari SNI 19-7030-2004 (Tabel 5). Sementara, campuran limbah
abu ampas tebu, blotong, tetes, dan ampas tebu yang dicampur dengan kotoran hewan yang
dilakukan PG Tasikmadu di Karanganyar (PTPN XI) menghasilkan kompos unggul (fine
compost) yang mempunyai nilai tinggi.

Nilai dari pemanfaatan abu ampas tebu jika digunakan sebagai campuran semen ini adalah :
Rp. 80.000/ kg abu
Maka di jual ke pabrik semen sebagai campuran semen
Jika jumlah perusahaan memiliki 100 ha luas lahan maka di dapatkan 10.000 ton tebu.
Dan menurut kanty endah (2012) abu ampas tebu yang dihasilkan pabrik tebu adalah 30%
dari total ampas tebu ton abu

Jika di hasilkan 32% total tebu menjadi ampas


Maka jika 100 ha = 10.000 ton tebu
Maka total ampas tebu adalah 32% x 10.000 ton = 3200 ton

Dan jika ampas tebu adalah 30% dari total ampas tebu maka :
3200 ton x 30% = 960 ton

Jika dijual maka didapatkan nilai ekonomi sebesar


= 960 ton/ tahun x 1000 kg x Rp 80.000/kg
= Rp 76.800.000.000

Industri Tebu Terintegrasi


Mengingat luasnya areal penanaman tebu di Indonesia serta besarnya potensi
pemanfaatan dari tanaman tebu dan buangan atau hasil samping pengolahannya, maka perlu
dikembangkan suatu industri tebu terpadu (terintegrasi) yang dapat mengoptimalkan
pemanfaatannya. Dengan demikian akan tercipta suatu zero waste industry dari pemanfaatan
tebu yang di samping mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan juga meningkatkan
nilai ekonomi produk samping maupun limbah buangan industri tebu. Di samping itu,
optimalisasi pemanfaatan ini diharapkan dapat menekan Harga Pokok Produksi (HPP) pada
pembuatan gula yang pada gilirannya dapat menekan harga gula, sehingga produk gula
domestik bisa bersaing dengan produk gula internasional.

Gambar 1 memperlihatkan intisari dari bahasan potensi pemanfaatan berbagai produk


samping maupun limbah buangan dari industri tebu.
Berikut adalah total jumlah nilai ekonomi dari implementasi system produksi bersih :

1. Limbah pucuk dan pangkal tebu (pakan ternak) Rp 38.820.000


2. Limbah daduk (bahan bakar minyak solar) Rp 3.306.000.000
3. Limbah tetes tebu (bioethanol) Rp 45.900.000.000
4. Limbah ampas tebu (listrik ) Rp 9.133.518.418
5. Limbah blotong (briket) Rp 192.000.000
6. Limbah abu ampas tebu (campuran semen) Rp 76.800.000.000
Rp 135.370.338.400

Dilihat dari hasil diatas didapatkan laba kotor (diluar biyaya operasional pelaksanaan)
yang di dapatkan jika pabrik gula memanfaatkan seluruh limbah yang dihasilkan mulai dari
awal proses hingga akhir proses diluar dari hasil pendapatan utama dari penjualan produk
utamanya yakni gula. Dari hal tersebut bias dikatakan perusahaan akan mendapatkan hasil
produksamping yang bermanfaat tanpa menghasilkan limbah yang dapat merugikan namun
juga menguntugkan.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dalam hasil observasi yang telah dilakukan bahwa hasil dari pruduk
samping yang dihasilkan oleh pabrik gula dapat di manfaatkan dan bernilai
ekonomis yang cukup tinggi dengan cara menerapkan system teknologi bersih
pada system pengolahan / proses penggilingan tebu. Dimana perusahaan dengan
jumlah luas lahan tebu sebesar 100 hektar dihasilkan 10.000 ton tebu didapatkan
hasil laba kotor dari proses pengolahan produk samping yakni sebesar Rp
135.370.338.400

4.2 Saran
Diharapkan industri pabrik gula ini dapat mengimplementasikan sistem
produksi bersih yang diterapkan saat ini dan dapat mengembangkan teknologi
untuk menghasilkan emisi yang seminim mungkin.
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2012. Pembuatan Gula Pasir. http://www.iptek.net.id/. Diakses


tanggal 10 Desember 2012. 20.26 WIB

Anonymous. 2012. Proses Produksi Gula.

http://id.scribd.com/doc/98021255/Penda-Hulu-An. Diakses pada 07-12-


2012 pukul 10.15 WIB

Anonymous. 2012. Proses Produksi Gula

http://id.scribd.com/doc/52242557/BAB-III-PROSES-
PRODUKSI-GULA. Diakses pada 07-12-2012 pukul 10.00 WIB

Bapedal. 1994. Program Produksi Bersih Badan Pengendalian


Dampak Lingkungan. Penerbit Nuansa, Bandung

Harliyani, Ade. 1999. Pemanfaatan Limbah Tebu Sebagai Bahan Baku Utama

Complete Feed Block Untuk Ternak Ruminansia. Skripsi. Fakultas


Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Indeswari, N. Sri. 1986. Penetuan Dosis Kapur dan Belerang pada Proses
Pemurnian Nira Tebu di Pabrik Gula Mini Lawang. Laporan Penelitian.

Fakultas Pertanian. Universitas Andalas, Padang.

Moerdokusumo, A. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula


di Indonesia. Penerbit ITB, Bandung

Mubyarto. 1984. Masalah Industri Gula di Indonesia. Penerbit BPFE, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai