OLEH:
EKO SURYANTORO
NIM. I4B016116
OLEH:
EKO SURYANTORO
NIM. I4B016116
OLEH:
EKO SURYANTORO
NIM. I4B016116
I. RUANG KANTIL
Selama praktik di Ruang Kantil RSU Banyumas, saya mendapatkan banyak
pengalaman atau pelajaran baru yang sebelumnya jarang saya dapatkan atau lakukan.
Hal tersebut misalnya tentang perhitungan dosis pemberian obat anak, manajemen cairan
anak, manajemen asma pada anak, terapi bermain, berkomunikasi dengan anak,
penanganan anak dengan kejang demam dan epilepsi, serta kasus yang baru pertama kali
saya temui adalah anak dengan hemofilia B yang mengalami hemartthrosis.
Anak yang mengalami hemarthrosis tersebut mengalami nyeri pada lutut dan
pergelangan kaki kirinya karena terjadi edema (peradarahan pada sendi). Anak teresebut
sulit menggerakkan kaki kirinya dan tidak bisa berpindah tempat dari tempat tidur ke
kursi atau sebaliknya. Anak tersebut menderita hemofilia tipe B sejak usia 8 bulan.
Terapi yang diberikan berupa injeksi Oktanine (Faktor IX) 500 ui/24 jam. Injeksi
tersebut bertujuan untuk mengurangi/menghentikan perdarahan pada sendi. Saya
beruntung dapat melihat proses pemberian injeksi Faktor IX mulai dari cara melarutkan
obat sampai teknik pemberian injeksinya, karena injeksi Faktor IX berbeda dengan
injeksi yang lain, dimana membutuhkan keterampilan, kehati-hatian dan pengalaman
sebelumnya. Cara pengoplosan dan pemberian injeksi Oktanine sebagai berikut:
1. Buka tutup obat dan tutup aquabidest, lakukan disinfektan dengan alkohol swab
2. Buka jarum (doule-ended needle) dan pastikan ujung jarum tidak
tersentuh/terkontaminasi
3. Tusukkan ujung jarum yang yang lebih pendek ke vial aqubidest 5 ml secara
vertikal
4. Tusukkan ujung jarum yang satunya (lebih panjang) ke vial Oktanine
5. Biarkan dan pastikan aquabidest mengalir ke vial Oktanine sampai habis
6. Cabut jarum dari vial Oktanine terlebih dahulu, kemudian baru cabut dari vial
aqubidest
7. Masukkan vial Oktanine ke dalam karton pembungkus obat, kemudian kocok
secara pelan (digoyangkan) dan pastikan Oktanine dan aquabidest tercampur
dengan sempurna, kemudian ambil cairan Oktanine dengan jarum filter
8. Monitor dan pastikan kepatenan jalur intravena sebelum pemberian injeksi
Oktanine
9. Injeksikan Oktanine secara intravena dengan kecepatan 2-3 ml/menit
10. Monitor nadi selama pemberian injeksi Oktanine
11. Monitor efek samping pemberian injeksi Oktanine berupa urtikaria, sakit kepala,
hipotensi, mual-muntah, takikardia, demam, rasa terbakar di daerah penyuntikan,
dan angioedema.
Berdasarkan pengalaman tersebut, saya sudah memahami cara melarutkan dan
pemberian injeksi Faktor IX dengan benar, sehingga apabila saya di kemudian hari
menemukan terapi pemberian injeksi Faktor IX, saya akan siyap melakukan pemberian
injeksi sesuai dengan SOP pemberian injeksi Faktor IX.
Selain pemberian injeksi Faktor IX, pada kasus anak hemofilia B tersebut juga
dilakukan tindakan komplementer untuk mengurangi pembengkakan dan nyeri yaitu
berupa pemberian kompres es dengan menggunakan ice pack. Sebelumnya saya dan
teman jaga shift berkoordinasi dengan perawat ruangan terkait pemberian kompres es.
Setelah disetujui oleh perawat ruangan, saya dan teman jaga shift melakukan komprs es
dengan ice pack selama 15 menit, diulangi tiap 2 jam sekali. Ice pack difikssasi dengan
menggunakan handuk kecil dengan maksud untuk mendapatkan efek terapi kompres es
yang cepat meredakan pembengkakan dan nyeri. Hal tersebut sesuai dengan salah satu
teknik penanganan pada edema yng disebabkan karena hemarthrosis yaitu teknik RICE
(Rest, Ice, Comprresion, Elevation), tetapi untuk elevation belum dapat dilaukan karena
anak merasakan sangat nyeri ketika kaki kirinya digerakkan. Anak merasakan nyaman
dengan posisi kaki kiri bergelantungan di tepi tempat tidur.
Setelah dievaluasi pada hari ke dua, pembengkakan dan nyeri yang dirasakan
anak dapat berkurang. Hal tersebut dibuktikan dengan perbandingan pembengkakan
yang sudah berkurang dibanding hari sebelumnya dan perubahan skala nyeri yang awal
masuk skala nyerinya 7, kemudian setelah dilakukan kompres es berkurang menjadi
skala nyeri 3. Anak juga tampak lebih rileks, kaki kirinya sudah bisa digerakkan dan anak
sudah bisa berpindah temapt dari tempat tidur ke kursi dan sebaliknya.
Berdasarkan pengalaman pemberian kompres es tersebut, saya mendapatkan
tambahan ilmu dalam manajemen nyeri terutama pada kasus hemarthrosis. Saya dan
teman sekelompok membuat booklet tentang pemberian kompres es pada anak dengan
hemarthrosis, dengan harapan kompres es menggunakan ice pack untuk kedepannya
dapat diimplementasikan di ruangan ketika ada kasus hemarthrosis sebagai terapi
komplementer terapi medis.
II. RUANG PERINATOLOGI
Selama praktik di Ruang Perinatologi, saya menemui banyak kasus pada bayi
atau neonatus baik kasus infeksi, non infeksi, maupun kasus emergency. Selain itu, saya
juga mendapatkan pengalaman dan pelajaran baru yang sebelumnya saya jarang
menemuinya, misalnya perhitungan kebutuhan cairan bayi/neonatus, perhitungan dosis
obat bayi/neonatus, fototerapi, perawatan neonatus/bayi dalam inkubator, terapi CPAP,
pemberian terapi parenteral melalui OGT, sampai resusitasi bayi yang mengalami
asifiksia/hipoksia berat.
Saya dalam perhitungan dosis obat pada bayi/neonatus masih sering bertanya
kepada perawat ruangan, karena belum merasa percaya diri. Selain itu dalam perhitungan
kebutuhan cairan, saya juga masih bertanya kepada perawat ruangan, karena berbeda
antara kebutuhan cairan pada bayi dengan BBLR dan BBLC. Setelah bimbingan dari CI
dan perawat ruangan serta adaptasi selama dua hari, saya sudah cukup percaya diri dalam
perhitungan dosis obat maupu kebutuhan cairan bayi/neonatus.
Saya juga sempat menemukan kasus emergency, yaitu pada hari Sabtu tanggal
22 Juli 2017 saat shift sore. Pasien usia 0 hari, lahir pada jam 08.25 WIB dengan apgar
skor pada menit 1 = 3, menit 5 = 5, dan menit 10 = 7 dan didiagnosis meconium aspirasi
syndorme. Bayi tersebut merupakan bayi kembar, tetapi bayi yang satunya meninggal
dunia di dalam kandungan. Bayi tersebut lahir secara SC atas indikasi postterm dengan
BBL 2840 gram. TTV pada jam 16.00 WIB: Nadi 151 x/menit, Respirasi 86 x/menit,
Suhu 36,70C. Pada jam 15.00 saya bermaksud mengganti popok bayi, didapatkan
terdapat darah segar di popok bayi, kemudian penulis melapokan hal tersebut ke perawat
ruangan. Setelah memeriksa bersama dengan perawat ruangan, diketahui bahwa darah
tersebut berasal dari alat kelamin bayi (hematuria). Selain itu kondisi bayi juga tampak
pucat dan mengalami hiperventilasi, frekuensi respirasi 86 x/menit. Sesaat kemudian,
atas advice dokter residen anak via telepon, bayi dipindahkan dari ruang perawatan
infeksi ke ruang NICU untuk dilakukan tindakan intubasi.
Saya melihat bagaimana proses resusitasi pada bayi tersebut, mulai dari persiapan
dan setting/pemasangan ventilator, pemasangan ETT, suction, pemberian ventilasi
dengan ambu bag sampai pencatatan perkembangan bayi pada lembar monitoring. Saya
melihat dalam proses resusitasi tersebut memang perlu dibutuhkan kecepatan, ketepatan,
keahlian khusus dan tentunya pengalaman sebelumnya. Kasus tersebut merupakan
pengalaman baru bagi saya dan sangat bermanfaat untuk menambah kasanah ilmu
keperawatan saya.
III. RUANG POLIKLINIK
Selama 6 hari saya praktik di poliklinik yang terbagi atas: 2 hari poliklinik
tumbuh kembang, 1 hari poliklinik penyakit anak, 1 hari poliklinik bedah anak dan 2 hari
di poliklinik thalasemia. Kegaiatan di poliklinik tumbuh kembang diantaranya
pengukuran antropometri, pengukuran tanda vital, pemeriksaan fisik, pemberian
imunisasi polio, edukasi pada ibu untuk perawatan tali pusat yang benar dan pemberian
ASI ekslusif serta cara pemberian ASI yang benar.
Saat di poliklinik penyakit anak, saya menemui beberapa kasus anak seperti kasus
gangguan tumbuh kembang (global development delay), down syndrome, bronkhitis
kronis, pneumonia. Sedangkan di polilklinik bedah anak, saya menjumpai kasus seperti
bayi dengan kolostomi (post operasi laparatomi atas indikasi megakolon), anak dengan
post operasi benjolan di lidah, anak dengan hernia skrotalis.
Saya mendapatkan pengalaman baru saat praktik di poliklinik thalasemia, dimana
pasien thalasemia terdiri dari berbagai usia, dari anak hingga remaja. Di ruang tersebut
saya belajar tentang jenis thalasemia, cara menghitung kebutuhan cairan transfusi darah,
plebotomi dan pemasangan infus pada anak, hingga monitoring saat dan setelah
pemberian transfusi darah. Tindakan-tindakan tersebut merupakan hal yang baru bagi
saya, terutama dalam hal perhitungan kebutuhan cairan transfusi darah.
Berdasarkan pengalaman praktik yang saya sebutkan di atas, tentunya hal
tersebut merupakan pengalaman dan pelajaran yang sangat bermanfaat bagi saya. Dan
tentunya saya masih membutuhkan pengalaman dan belajar yang lebih banyak lagi dalam
hal teori pengkajian dan penanganan kasus pada bayi/neonatus dan anak. Hal tersebut
terlihat ketika praktik, saya masih sering mengalami kebingungan dan sering bertanya
kepada CI maupun perawat ruangan perihal tindakan yang harus diberikan.
PORTOFOLIO LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN
a. Gambaran Kasus
Bayi Ny. S lahir spontan pada tanggal 9 Juli 2017 di bidan desa dengan berat badan lahir
1630 gram. Satu hari kemudian bayi mengalami muntah setelah diberi susu formula
dengan warna muntah keruh. Kemudian oleh bidan desa, bayi dibawa ke puskesmas
setempat dan dirujuk ke RSUD Kebumen. Selama perawatan di rumah sakit, bayi masih
mengalami muntah berwarna kehijauan dan didiagnosis suspek stenosis duodenum.
Kemudian pada tanggal 15 Juli 2017 pasien dirujuk ke RSU Banyumas dan pasien
menjalani operasi pada tanggal 18 Juli 2017. Pasien mendapatkan terapi injeksi
Ampisilin + Sulbactam 2 x 85 mg, injeksi Amikasin 1 x 25 mg, injeksi Metronidazol 3 x
30 mg, injeksi Ranitidin 2 x 3 mg, injeksi Paracetamol 3 x 17 mg, infus pump KA-EN
3B 8,3 ml/jam, syiringe pump Aminofusin 5,3 ml/jam, sonde ASI 1-2 ml/2 jam. Diagnosa
medis saat pengkajian tanggal 18 Juni 2017 adalah post operasi laparatomi eksplorasi
atas indikasi atresia duodenum.
No.
Intervensi
Diagnosa
1 NIC: Penahapan Diet