Anda di halaman 1dari 7

REVIEW JURNAL

TUGAS PENGGANTI MANAJEMEN ZAKAT DAN PAJAK PERTEMUAN 14


MARIA MARTIANI 14423177

KEBIJAKAN PENGELOLAAN PAJAK DAERAH DALAM KERANGKA


PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH
(Analisa Terhadap Implementasi Wewenang Pengelolaan Pajak Daerah Oleh Pemerintah
Pusat Dan Pemerintah Daerah)

Oleh
Kadar Pamuji
Maria Martiani

PENDAHULUAN
Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum berdasarkan pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945, dalam perkembangannya telah menghasilkan pembangunan yang pesat
dalam kehidupan nasional yang perlu dilanjutkan dengan dukungan Pemerintah dan seluruh
potensi masyarakat. Dalam menyelenggarakan pemerintahan, negara mempunyai kewajiban
untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang kesejahteraan, keamanan,
pertahanan, maupun kecerdasan kehidupannya. Pada era 90-an Indonesia menganut sistem
pemerintahan yang bersifat sentralistik yang menimbulkan ketidakadilan di seluruh daerah, dan
sejak tahun 1999 pemerintah mengubah kebijakan pusat tersebut menjadi desentralisasi atau
yang sering dikenal sebagai era otonomi daerah.
Pemberian otonomi kepada daerah di samping dalam rangka memperhatikan adanya
keanekaragaman daerah di Indonesia, juga dimaksudkan untuk memberikan ruang demokrasi,
dan partisipasi masyarakat. Peluang dan kesempatan dibuka sangat luas kepada daerah dalam
rangka mendukung tujuan pemberian otonomi tersebut, daerah otonom juga diberi keleluasaan
untuk melaksanakan kewenangannya secara mendiri, luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Menyangkut hal tersebut, pemerintah mengganti Undang-Undang No.5 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dengan Undang-Undang No.22 Tahun 1999 yang
telah direvisi dengan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 dan Undang-Undang No.25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang telah direvisi
dengan Undang-Undang No.34 Tahun 2004. Dalam kedua Undang-undang di bidang otonomi
daerah tersebut telah menetapkan pemberian kewenangan otonomi dalam wujud otonomi yang
luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah. (Sriparno & Ratna Sari, 2015, p. 2)
Kemampuan keuangan suatu daerah dapat dilihat dari besar kecilnya Pendapatan Asli
Daerah (PAD) yang diperoleh daerah yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan pemberian
otonomi daerah yang lebih besar kepada daerah.Implikasi dari pemberian kewenangan otonomi
menuntut daerah untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama untuk
pembangunan sarana dan prasarana publik (Public Service).
Kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat adalah dengan memberikan
wewenang yang luas untuk mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk di dalamnya

1
wewenang untuk menggali potensi pemasukan keuangan daerah salah satunya adalah pajak
daerah. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.(Pamuji, 2014, p. 2)
Menurut Waluyo (2005), pajak pada dasarnya adalah pemberian harta kekayaan rakyat,
dan atau badan usaha untuk membiayai kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh negara.
Oleh sebab itu pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang dipungut
berdasarkan undang-undang. (Octaviana, 2014, p. 2)
Kurniawan (2006) menyebutkan bahwa pajak daerah merupakan pajak yang dikelola
oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota yang berguna untuk menunjang
penerimaan pendapatan asli daerah dan hasil penerimaan tersebut masuk dalam APBD.
Pemerintah pusat telah menunjang penerimaan bagi pemerintah daerah melalui pembagian
pajak pusat untuk menunjang pembangunan di daerah, di antaranya, melalui Pajak Bumi dan
Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Pajak Penghasilan Orang Pribadi
dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21.(Octaviana, 2014, p. 2)
Dominasi kebijakan pemerintah tentunya secara teoritis menjadi sebuah bahan diskusi
apa- lagi jika dikaitkan dengan makna otonomi daerah. Kebijakan pelaksanaan otonomi daerah
dapat membawa harapan yang menjanjikan bagi keberhasilan mewujudkan pembangunan
berkelanjutan. Dengan otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk
membuat sejumlah kebijakan yang sesuai dengan karakteristik wilayah dan aspirasi
masyarakatnya.
Untuk memahami lebih lanjut tentang pengelolaan pajak daerah , saya menemukan
artikel terkait KEBIJAKAN PENGELOLAAN PAJAK DAERAH DALAM KERANGKA
PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH yang ditulis oleh Kadar Pamuji. Untuk
mencegah kebingungan dalam makalah ini, saya ingin menekankan bahwa makalah ini
mencatat sebagai bahan diskusi, dan kemudian untuk membedakan personifikasi dalam
makalah ini, reviewer akan menggunakan istilah "saya", dan penulis akan menggunakan istilah
Dari "Penulis".

DISKUSI UTAMA
1. Pengaruh pajak terhadap kesejahteraan rakyat
Pajak sebagai instrumen perekonomian merupakan sumber pemasukan utama sebuah
Negara. Ia merupakan kewajiban setiap warganegara yang diatur dalam UUD 1945. Tetapi
pada faktanya pemerintah seringkali mengalami kekurangan atau defisit, sehingga untuk
menutupi kekurangan tersebut pemerintah berhutang baik domestik atau luar negeri. Misalnya
dengan menerbitkan surat berharga untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan jangka pendek.
Peran pajak belum menjawab atau memenuhi kebutuhan rakyat, misalnya infrastruktur jalan,
banyak sekali ditemui jalan rusak dan belum diperbaiki, fasilitas jembatan yang masih kurang,
akibatnya distribusi barang menjadi terhambat dan menyebabkan ekonomi biaya
tinggi.(Sulastyawati, 2014, p. 8)
Saya melihat dari segi pendidikan pun dirasa kurang, dana pendidikan telah
dialokasikan sebesar 20% dari APBN, dan terjadi kenaikan setiap tahun. Tetapi dampaknya
dirasa belum begitu mengena, karena bantuan operasional sekolah (BOS), memberikan
nominal yang sangat kecil kepada masyarakat kurang mampu, begitu pun tunjangan yang

2
diberikan kepada guru bantu atau guru tidak tetap, minim sekali. Dana bantuan operasional
lebih ditujukan kepada rehabilitasi sarana secara fisik, tetapi harus diakui tunjangan profesi
guru cukup menambah tingkat kesejahteraan para guru. Pajak yang besar pastinya akan
menambah kualitas pendidikan di Indonesia.
Adapun, dari segi pelayanan kesehatan, pelayanan kesehatan dengan program jaminan
kesehatan masyarakat (jamkesmas) dengan total dana 7,3 triliun, memang sangat membantu
rakyat miskin, yang selama ini merasa anti pasti untuk berobat ke rumah sakit. Namun
pelayanan tersebut masih kurang, lembaga kesehatan swasta biasanya bisa memberikan
pelayanan dengan baik. Ini berarti, masih dibutuhkan dana lebih besar untuk memberikan
kenyamanan kesehatan bagi masyarakat dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat.
Dari segi pertahanan dan keamanan, peralatan militer Indonesia sudah ketinggalan
zaman, tidak heran sering kita simak dalam berita kecelakaan darat, laut dan udara. Hal tersebut
dikarenakan karena alat yang digunakan sudah tidak layak pakai.

2. Perkembangan Pengaturan Kebijakan Pajak Daerah


Penarikan Pajak Daerah di Indonesia telah mulai diterapkan sejak jaman kolonial. UU
Darurat Nomor 11 Tahun 1957 tentang peraturan Umum Pajak Daerah merupakan Undang-
undang yang pertama dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Pasal
14 menyebutkan Daerah Tingkat II (sekarang disebut Daerah Kabupaten/Kota), diberi
wewenang memungut sejumlah jenis pajak daerah yaitu: Pajak atas pertunjukkan dan
keramaian umum; Pajak atas reklame sepanjang tidak diadakan dengan memuatnya dalam
majalah atau warta harian; Pajak anjing; Pajak atas izin penjualan atau pembikinan petasan dan
kembang api; Pajak atas izin penjualan minuman yang mengandung alkohol; Pajak atas
kendaraan tidak bemotor; Pajak atas izin mengadakan perjudian; Pajak atas tanda kemewahan
mengenai luas dan penghiasan kubur; Pajak karena berdiam di suatu daerah lebih dari 120 hari
dalam satu tahun pajak, kecuali untuk perawatan di dalamrumah sakit, dan juga atas penyediaan
rumah lengkap dengan perabotnya untuk diri sendiri atau keluarganya selama lebih dari 120
hari dari suatu tahun pajak, semua itu tanpa bertinggal tetap di daerah itu, dengan ketentuan,
bahwa mereka yang berdiam di luar daerahnya guna menjalankan tugas yang diberikan oleh
negara atau daerah, tidak boleh dikenakan pajak di maksud; Pajak atas milik berupa bangunan
serta halamannya yang berbatasan dengan jalan umum di darat atau di air, atau yang terletak
di sekitarnya, dan juga atas milik berupa tanah kosong yang berbatasan atau yang mempunyai
jalan ke luar pada jalan-jalan tersebut; Pajak atas milik berupa bangunan serta keturutannya
atau tanah kosong yang terletak dalam bagian tertentu dari daerah, pajak mana dipungut tiap-
tiap tahun untuk paling lama 30 tahun atas dasar sumbangan yang layak guna pembiayaan
pekerjaan yang diselenggarakan oleh atau dengan bantuan daerah dan yang menguntungkan
milik- milik tersebut; Pajak atas milik berupa bangunan serta halamannya yang berbatasan
dengan jalan umum di darat atau di air atau dengan lapangan, atau pajak atas tanah yang
menurut rencana bangunan daerah yang telah disahkan akan dipergunakan sebagai tanah
bangunan dan terletak dalam lingkungan yang ditentukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah; Pajak sekolah yang semata-mata diperuntukkan membiayai pembangunan rumah
sekolah rendah untuk pela- jaran umum dan pembelian perlengkapan pertama; dan Opsen atas
pokok pajak daerah tingkat atasannya sepanjang memungkinkan pemungutan opsen itu
diberikan dalam peraturan pajak daerah tingkat ini.(Pamuji, 2014, p. 4)

3
Kedudukan Kepala daerah adalah sebagai alat Pemerintah Pusat. Sebagai alat
Pemerintah Pusat Kepala Daerah memegang pimpinan kebijaksanaan politik di daerahnya,
menyelenggarakan koordinasi antara jawatan- jawatan Pemerintah Pusat di Daerah,melakukan
pengawasan atas jalannya Pemerintah Daerah; dan menjalankan tugas-tugas lain yang
diserahkan kepadanya oleh Pemerintah Pusat. Mendasarkan pada bunyi pasal tersebut praktis
sebetulnya pada masa ini tidak ada otonomi daerah dalam arti yang sesungguhnya.
Dikatakan terjadi perubahan paradigma dalam penyelenggaran pemerintahan di daerah
dikarenakan semangat yang dibawa di dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah otonomi
yang seluas-luasnya. Otonomi bukan lagi sekedar merupakan kewajiban pemerintah daerah
sebagaimana digariskan di dalam UU No 5 Tahun 1974 namun merupakan hak untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat.
Saat ini yang terjadi adalah adanya euforia otonomi, namun euforia itu tidak dibarengi
dengan dibangunnya etos kerja dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pengambil
kebijakan yang sebelumnya berada dalam suasana dan pola pikir yang sentralistik dalam suasa
seperti ini menjabaran pelaksanaan otonomi cenderung diartikan menurut kepentingannya
sendiri.Kebijakan perpajakan yang baik pada dasarnya akan berpengaruh terhadap kepatuhan
wajib pajak. Dalam satu sistem yang menekankan keaktifan wajib pajak, maka kepatuhan
perpajakan sangat diperlukan. Kepatuhan pajak (Tax compliance) dalam kaitannya
denganWajib Pajak, dapat didefinisikan sebagai perilaku Wajib Pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Perilaku tersebut sangat
dipengaruhi oleh motivasi. (Pamuji, 2014, p. 10)
Sebagai contoh pajak daerah, Kemandirian Keuangan daerah otonom kota Denpasar
adalah kemampuan keuangan daerah otonom tersebut dalam mendanai belanja daerahnya dari
kemampuan sendiri, yaitu penghasilan asli daerah atau PAD. (Sriparno & Ratna Sari, 2015, p.
15).
Penerimaan pajak daerah provinsi Jawa Tengah diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi
Jawa Tengah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah. Jenis pajak yang dipungut
pemerintah provinsi Jawa Tengah yaitu Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dan Pajak Air Permukaan.
Penerimaan PAP selama tahun 2008-2012 tergolong sangat efektif, namun mengalami
penurunan yang cukup signifikan pada tahun 2011. Hal ini dikarenakan adanya penghapusan
Pajak Air Bawah Tanah karena pemanfaatan air bawah tanah dianggap sebagai salah satu
penyebab penurunan permukaan tanah yang selanjutnya dipungut oleh pemerintah
kota/kabupaten. Secara keseluruhan, hasil perhitungan efektifitas masing-masing pajak daerah
tergolong sangat efektif yang menunjukkan bahwa tujuan anggaran yang telah ditetapkan
dalam bentuk target pajak daerah telah tercapai, bahkan melebihi target pada setiap sektor. Hal
ini dikarenakan potensi daerah provinsi Jawa Tengah sangat mendukung dan berarti
pemerintah daerah provinsi Jawa Tengah telah melakukan perhitungan yang cukup teliti dalam
menggali potensi pajak daerahnya.(Octaviana, 2014, p. 8)

3. Implementasi Wewenang Pengelolaan Pajak Daerah


Sebagai daerah otonom, maka setiap kabupaten mempunyai kewenangan untuk
mengurus rumah tangganya sendiri. Merujuk pada ketentuan UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Pasal 18 ayat (2) bahwa Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota

4
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Meski sebagai daerah yang sudah dinyatakan sebagai daerah otonom namun di
dalam pelaksanaannya tetap mengacu pada ketentuan yang digariskan oleh Pemerintah Pusat.
Penyusunan instrumen penyelenggara pemerintahan daerah diatur dalam UU No. 32 tahun
2004 yang dilaksanakan lebih lanjut dengan PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat daerah. Menurut ketentuan PP No. 41 tahun 2007, yang dimaksud dengan Perangkat
daerah kabupaten adalah unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis
daerah, kecamatan, dan kelurahan.(Pamuji, 2014, p. 10)
Urusan pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan,dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan yang meliputi: urusan kelautan dan perikanan; pertanian;
kehutanan; energi dan sumber daya mineral; pariwisata; industri; perdagangan; dan
ketransmigrasian.
Prinsip dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan, bahwa pemerintah daerah wajib
memperhatikan ketiga peraturan perundangan sebagaimana tersebut di atas, disamping
peraturan perundangan yang lain. Jika dicermati maka urusan yang terkait dengan pajak daerah
tidak diatur secara khusus di dalam ketiga peraturan. Urusan pajak daerah meskipun menjadi
urusan daerah, namun semua peraturan perundangan pemerintahan daerah dan pajak derah
yang pernah ada selalu mengamanatkan bahwa pengaturan pajak daerah wajib mendapat
pengesahan dari Pemerintah Pusat, dan sebelum diberlakukan wajib melalui proses evaluasi
dari Pusat atau pemerintahan yang lebih tinggi, selain itu mekanisme pengawasannya
menggunakan pengawasan preventif dan represif.
Ada penambahan fungsi pada Satuan Kerja perangkat daerah Kabupaten/Kota yang
menangani fungsi pendapatan, pengelolaan keuangan dan aset daerah sebagaimana disebutkan
dalam lampiran Permendagri, yaitu: pertama, Penyusunan kebijakan pelaksanaan pemungutan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan PBB perkotaan/pedesaan; kedua,
pendataan, penilaian dan penetapan PBB perkotaan/pedesaan; ketiga, pengolahan data dan
informasi Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan PBB
perkotaan/pedesaan; keempat, pelayanan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) dan PBB perkotaan/pedesaan; kelima, penagihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB) dan PBB perkotaan/pedesaan; dan keenam, pengawasan dan
penyelesaian sengketa pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
dan PBB perkotaan/pedesaan; dan pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan
fungsi.
Menyikapi kebijakan yang telah digariskan oleh Pemerintah Pusat baik dalam bentuk
undang-undang atau peraturan pemerintah maupun peraturan menteri atau keputusan setingkat
menteri yang terkait dengan wewenang pengelolaan pajak daerah, maka daerah hanya
melakukan penyikapan berupa penyesuaian kebijakan.

5
Keengganan pusat untuk memperluas wewenang pengelolaan pajak daerah kepada
daerah semakin terlihat dengan dikeluarkannya UU No. 28 Tahun 2009. Didaerahkannya PBB
dan BPHTB adalah dalam rangka pemberdayaan dae- rah namun kebijakan clossed list yang
diterapkan disertai dengan ancaman mengindikasikan bahwa daerah betul-betul dokondisikan
untuk mengikuti arahan pusat di dalam pengelolaan pajak daerah. Alur pemikiran Kebijakan
Pengelolaan Pajak daerah dalam rangka otonomi daerah sebagaimana diuraikan tersebut di atas
apabila dibuat dalam bagan alir dapat dilihat pada bagan 1.
Ada beberapa simpulan berdasar pada pembahasan permasalahan di atas. Pertama,
Pemerintah Daerah sebagai pelaksana otonomi daerah memiliki keterbatasan wewenang dalam
mengimpementasikan pengelolaan pajak daerah sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dan harus tunduk pada aturan yang sudah ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Kedua,
kurangnya kewenangan daerah dalammengelola pajak daerah terlihat dengan adanya
kewajiban evaluasi terhadap perda pajak daerah yang akan dibuat oleh pemerintah daerah.
Ketiga, kebijakan Pengelolaan pajak daerah yang diterapkan oleh Pemerintah Pusat
diimplementasikan dalam bentuk kebijakan pengawasan preventif dan represif dan adanya
keharusan bagi daerah untuk mengimplementasikan wewenang pengelolaan pajak daerah
sesuai dengan arahan dari Pemerintah Pusat mengindikasikan kebijakan pengelolaan pajak
daerah belum menunjukan arah kepada pelaksanaan otonomi daerah yang sebenarnya.(Pamuji,
2014, p. 14)

6
Reference :
Octaviana, D. S. (2014). ANALISIS EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI PAJAK DAERAH
SERTA KONTRIBUSINYA TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DI
PROVINSI JAWA TENGAH. Jurnal FEB DINUS SEMARANG, 111. Retrieved from
http://www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-jawa-tengah/profil-daerah
Pamuji, K. (2014). KEBIJAKAN PENGELOLAAN PAJAK DAERAH DALAM
KERANGKA PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH (Analisa Terhadap
Implementasi Wewenang Pengelolaan Pajak Daerah oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah). Jurnal Dinamika Hukum, 14(No. 3), 115.
Sriparno, A. R., & Ratna Sari, M. M. (2015). ANALISIS PAJAK DAN RETRIBUSI
DAERAH PADA TINGKAT EFEKTIVITAS DAN KEMANDIRIAN KEUANGAN
DAERAH. Jurnal Akuntansi Universitas Udayana, 13(No. 2), 119.
Sulastyawati, D. (2014). Hukum Pajak dan Implementasinya Bagi Kesejahteraan Rakyat.
Jurnal FILSAFAT DAN BUDAYA HUKUM, 110.

Anda mungkin juga menyukai