Anda di halaman 1dari 50

Makalah KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

BAB I
PENDAHULUAN

Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin
keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani. Dengan keselamatan dan
kesehatan kerja maka para pihak diharapkan dapat melakukan pekerjaan dengan aman dan
nyaman. Pekerjaan dikatakan aman jika apapun yang dilakukan oleh pekerja tersebut, resiko
yang mungkin muncul dapat dihindari. Pekerjaan dikatakan nyaman jika para pekerja yang
bersangkutan dapat melakukan pekerjaan dengan merasa nyaman dan betah, sehingga tidak
mudah capek.
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu aspek perlindungan tenaga kerja
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Dengan menerapkan teknologi
pengendalian keselamatan dan kesehatan kerja, diharapkan tenaga kerja akan mencapai
ketahanan fisik, daya kerja, dan tingkat kesehatan yang tinggi. Disamping itu keselamatan
dan kesehatan kerja dapat diharapkan untuk menciptakan kenyamanan kerja dan keselamatan
kerja yang tinggi. Jadi, unsur yang ada dalam kesehatan dan keselamatan kerja tidak terpaku
pada faktor fisik, tetapi juga mental, emosional dan psikologi.
Meskipun ketentuan mengenai kesehatan dan keselamatan kerja telah diatur sedemikian
rupa, tetapi dalam praktiknya tidak seperti yang diharapkan. Begitu banyak faktor di lapangan
yang mempengaruhi kesehatan dan keselamatan kerja seperti faktor manusia, lingkungan dan
psikologis. Masih banyak perusahaan yang tidak memenuhi standar keselamatan dan
kesehatan kerja. Begitu banyak berita kecelakaan kerja yang dapat kita saksikan. Dalam
makalah ini kemudian akan dibahas mengenai permasalahan kesehatan dan keselamatan kerja
serta bagaimana mewujudkannya dalam keadaan yang nyata.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja


1. Menurut Mangkunegara, keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu pemikiran dan upaya
untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja
pada khususnya, dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya untuk menuju
masyarakat adil dan makmur.
2. Menurut Sumamur (1981: 2), keselamatan kerja merupakan rangkaian usaha untuk
menciptakan suasana kerja yang aman dan tentram bagi para karyawan yang bekerja di
perusahaan yang bersangkutan.
3. Menurut Simanjuntak (1994), keselamatan kerja adalah kondisi keselamatan yang bebas dari
resiko kecelakaan dan kerusakan dimana kita bekerja yang mencakup tentang kondisi
bangunan, kondisi mesin, peralatan keselamatan, dan kondisi pekerja
4. Mathis dan Jackson, menyatakan bahwa keselamatan adalah merujuk pada perlindungan
terhadap kesejahteraan fisik seseorang terhadap cidera yang terkait dengan pekerjaan.
Kesehatan adalah merujuk pada kondisi umum fisik, mental dan stabilitas emosi secara
umum.
5. Menurut Ridley, John (1983), mengartikan kesehatan dan keselamatan kerja adalah suatu
kondisi dalam pekerjaan yang sehat dan aman baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan
maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar pabrik atau tempat kerja tersebut.
6. Jackson, menjelaskan bahwa kesehatan dan keselamatan kerja menunjukkan kepada kondisi-
kondisi fisiologis-fisikal dan psikologis tenaga kerja yang diakibatkan oleh lingkungan kerja
yang disediakan oleh perusahaan.
7. Ditinjau dari sudut keilmuan, kesehatan dan keselamatan kerja adalah ilmu pengetahuan dan
penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit
akibat kerja di tempat kerja. (Lalu Husni, 2003: 138).

Setelah melihat berbagai pengertian di atas, pada intinya dapat ditarik kesimpulan bahwa
kesehatan dan keselamatan kerja adalah suatu usaha dan upaya untuk menciptakan
perindungan dan keamanan dari resiko kecelakaan dan bahaya baik fisik, mental maupun
emosional terhadap pekerja, perusahaan, masyarakat dan lingkungan. Jadi berbicara
mengenai kesehatan dan keselamatan kerja tidak melulu membicarakan masalah keamanan
fisik dari para pekerja, tetapi menyangkut berbagai unsur dan pihak.

B. Urgensi Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan bagian yang sangat penting dalam
ketenagakerjaan. Oleh karena itu, dibuatlah berbagai ketentuan yang mengatur tentang
kesehatan dan keselamatan kerja. Berawal dari adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1969 tentang Pokok-Pokok Ketenagakerjaan yang dinyatakan dalam Pasal 9 bahwa setiap
tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan dan
pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan harkat, martabat, manusia,
moral dan agama. Undang-Undang tersebut kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 ini ada beberapa hal yang diatur antara
lain:
a. Ruang lingkup keselamatan kerja, adalah segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah,
di permukaan air, di dalam air, maupun di udara yang berada dalam wilayah hukum
kekuasaan RI. (Pasal 2).
b. Syarat-syarat keselamatan kerja adalah untuk:
Mencegah dan mengurangi kecelakaan
Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran
Mencegah dan mengurangi peledakan
Memberi pertolongan pada kecelakaan
Memberi alat-alat perlindungan diri pada pekerja
Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai
Memelihara kesehatan dan ketertiban
dll (Pasal 3 dan 4).
c. Pengawasan Undang-Undang Keselamatan Kerja, direktur melakukan pelaksanaan umum
terhadap undang-undang ini, sedangkan para pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja
ditugaskan menjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinya undang-undang ini dan
membantu pelaksanaannya. (Pasal 5).
d. Menteri Tenaga Kerja berwenang membentuk Panitia Pembinaan Kesehatan dan Keselamatan
Kerja untuk mengembangkan kerja sama, saling pengertian dan partisipasi yang efektif dari
pengusaha atau pengurus tenaga kerja untuk melaksanakan tugas bersama dalam rangka
keselamatan dan kesehatan kerja untuk melancarkan produksi. (Pasal 10).
e. Setiap kecelakan kerja juga harus dilaporkan pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga
Kerja di dinas yang terkait. (Pasal 11 ayat 1).
(Sumamur. 1981: 29-34).
Dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 86 ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003 diatur pula bahwa
setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
a. Keselamatan kerja
b. Moral dan kesusilaan
c. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
Selain diwujudkan dalam bentuk undang-undang, kesehatan dan keselamatan kerja juga
diatur dalam berbagai Peraturan Menteri. Diantaranya Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor Per-01/MEN/1979 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja. Tujuan pelayanan kesehatan
kerja adalah:
a. Memberikan bantuan kepada tenaga kerja dalam penyesuaian diri dengan pekerjaanya.
b. Melindungi tenaga kerja terhadap setiap gangguan kesehatan yang timbul dari pekerjaan atau
lingkungan kerja.
c. Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental, dan kemapuan fisik tenaga kerja.
d. Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi tenaga kerja yang menderita
sakit.
Selanjutnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-02/MEN/1979 tentang
Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja meliputi:
pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, pemeriksaan kesehatan berkala, pemeriksaan
kesehatan khusus. Aturan yang lain diantaranya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981
tentang Wajib Lapor Ketenagaan dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 03/MEN/1984
tentang Mekanisme Pengawasan Ketenagakerjaan.
Arti penting dari kesehatan dan keselamatan kerja bagi perusahaan adalah tujuan dan
efisiensi perusahaan sendiri juga akan tercapai apabila semua pihak melakukan pekerjaannya
masing-masing dengan tenang dan tentram, tidak khawatir akan ancaman yang mungkin
menimpa mereka. Selain itu akan dapat meningkatkan produksi dan produktivitas nasional.
Setiap kecelakaan kerja yang terjadi nantinya juga akan membawa kerugian bagi semua
pihak. Kerugian tersebut diantaranya menurut Slamet Saksono (1988: 102) adalah hilangnya
jam kerja selama terjadi kecelakaan, pengeluaran biaya perbaikan atau penggantian mesin
dan alat kerja serta pengeluaran biaya pengobatan bagi korban kecelakaan kerja.
Menurut Mangkunegara tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai
berikut:
a. Agar setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik secara fisik,
sosial, dan psikologis.
b. Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya dan seefektif
mungkin.
c. Agar semua hasil produksi dipelihara keamanannya.
d. Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai.
e. Agar meningkatkan kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja.
f. Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atau kondisi kerja.
g. Agar setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja

Melihat urgensi mengenai pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja, maka di setiap
tempat kerja perlu adanya pihak-pihak yang melakukan kesehatan dan keselamatan kerja.
Pelaksananya dapat terdiri atas pimpinan atau pengurus perusahaan secara bersama-sama
dengan seluruh tenaga kerja serta petugas kesehatan dan keselamatan kerja di tempat kerja
yang bersangkutan. Petugas tersebut adalah karyawan yang memang mempunyai keahlian di
bidang keselamatan dan kesehatan kerja, dan ditunjuk oleh pimpinan atau pengurus tempat
kerja/perusahaan
Pengusaha sendiri juga memiliki kewajiban dalam melaksanakan kesehatan dan
keselamatan kerja. Misalnya terhadap tenaga kerja yang baru, ia berkewajiban menjelaskan
tentang kondisi dan bahaya yang dapat timbul di tempat kerja, semua alat pengaman diri yang
harus dipakai saat bekerja, dan cara melakukan pekerjaannya. Sedangkan untuk pekerja yang
telah dipekerjakan, pengusaha wajib memeriksa kesehatan fisik dan mental secara berkala,
menyediakan secara cuma-cuma alat pelindung diri, memasang gambar-gambar tanda bahaya
di tempat kerja dan melaporkan setiap kecelakaan kerja yang terjadi kepada Depnaker
setempat.
Para pekerja sendiri berhak meminta kepada pimpinan perusahaan untuk dilaksanakan
semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja, menyatakan keberatan bila melakukan
pekerjaan yang alat pelindung keselamatan dan kesehatan kerjanya tidak layak. Tetapi
pekerja juga memiliki kewajiban untuk memakai alat perlindungan diri yang diwajibkan dan
menaati persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja yang berlaku. Setelah mengetahui
urgensi mengenai kesehatan dan keselamatan kerja, koordinasi dari pihak-pihak yang ada di
tempat kerja guna mewujudkan keadaan yang aman saat bekerja akan lebih mudah terwujud.

C. Kasus Kecelakaan Kerja dan Solusi


1. Kecelakaan Kerja
Keselamatan dan kesehatan kerja bertalian dengan apa yang disebut dengan kecelakaan
kerja. Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang berhubungan dengan pelaksanaan kerja yang
disebabkan karena faktor melakukan pekerjaan. (Sumamur, 1981: 5). Kecelakaan kerja juga
diartikan sebagai kecelakaan yang terjadi di tempat kerja atau suatu kejadian yang tidak
diduga semula dan tidak dikehendaki yang mengacaukan proses aktivitas kerja. (Lalu Husni,
2003: 142). Kecelakaan kerja ini disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor dalam
hubungan pekerjaan yang dapat mendatangkan kecelakaan ini disebut sebagai bahaya kerja.
Bahaya kerja ini bersifat potensial jika faktor-faktor tersebut belum mendatangkan bahaya.
Jika kecelakaan telah terjadi, maka disebut sebagai bahaya nyata. (Sumamur, 1981: 5).

Lalu Husni secara lebih jauh mengklasifikasikan ada empat faktor penyebab kecelakaan
kerja yaitu:
a. Faktor manusia, diantaranya kurangnya keterampilan atau pengetahuan tentang industri dan
kesalahan penempatan tenaga kerja.
b. Faktor material atau peralatannya, misalnya bahan yang seharusnya dibuat dari besi dibuat
dengan bahan lain yang lebih murah sehingga menyebabkan kecelakaan kerja.
c. Faktor sumber bahaya, meliputi:
Perbuatan bahaya, misalnya metode kerja yang salah, sikap kerja yang teledor serta tidak
memakai alat pelindung diri.
Kondisi/keadaan bahaya, misalnya lingkungan kerja yang tidak aman serta pekerjaan yang
membahayakan.
d. Faktor lingkungan kerja yang tidak sehat, misalnya kurangnya cahaya, ventilasi, pergantian
udara yang tidak lancar dan suasana yang sumpek.
Dari beberapa faktor tersebut, Sumamur menyederhanakan faktor penyebab kecelakaan
kerja menjadi dua yaitu:
a. Tindak perbuatan manusia yang tidak memenuhi keselamatan (unsafe human act atau human
error).
b. Keadaan lingkungan yang tidak aman. (Sumamur, 1981: 9).
Diantara penyederhanaan tersebut, faktor manusia adalah penyebab kecelakaan kerja di
Indonesia yang paling dominan. Para ahli belum dapat menemukan cara yang benar-benar jitu
untuk menghilangkan tidakan karyawan yang tidak aman tersebut. Tindakan-tindakan
tersebut diantaranya membuat peralatan keselamatan dan keamanan tidak beroperasi dengan
cara memindahkan, mengubah setting, atau memasangi kembali, memakai peralatan yang
tidak aman atau menggunakannya secara tidak aman, menggunakan prosedur yang tidak
aman saat mengisi, menempatkan, mencampur, dan mengkombinasikan material, berada pada
posisi tidak aman di bawah muatan yang tergantung, menaikkan lift dengan cara yang tidak
benar, pikiran kacau, tidak memperhatikan tanda bahaya dan lain-lain.
Kecelakaan kerja tentunya akan membawa suatu akibat yang berupa kerugian. Kerugian
yang bersifat ekonomis misalnya kerusakan mesin, biaya perawatan dan pengobatan korban,
tunjangan kecelakaan, hilangnya waktu kerja, serta menurunnya mutu produksi. Sedangkan
kerugian yang bersifat non ekonomis adalah penderitaan korban yang dapat berupa kematian,
luka atau cidera dan cacat fisik.
Sumamur (1981: 5) secara lebih rinci menyebut akibat dari kecelakan kerja dengan 5K
yaitu:
a. Kerusakan
b. Kekacauan organisasi
c. Keluhan dan kesedihan
d. Kelainan dan cacat
e. Kematian

2. Contoh Kasus Kecelakaan Kerja


Empat Pekerja di Pabrik Gula Tewas, Tersiram Air Panas
CilacapEmpat pekerja cleaning servis di pabrik gula Rafinasi PT Darma Pala Usaha
Sukses, Cilacap, Jawa Tengah, Rabu (29/07/09), tewas setelah tersiram air panas didalam
tangki. Satu pekerja lainnya selamat namun mengalami luka parah. Diduga kecelakaan ini
akibat operator kran tidak tahu masih ada orang di dalam tangki. Pihak perusahaan terkesan
menutup-nutupi insiden ini.
Peristiwa tragis di pabrik gula Rafinasi PT Darma Pala Usaha Sukses yang ada di komplek
Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap ini terjadi sekitar pukul 10.00 WIB. Musibah bermula saat 5
pekerja tengah membersihkan bagian dalam tangki gula kristal di pabrik tersebut. Tiba-tiba
kran yang berada di atas dan mengarah kedalam tangki mengeluarkan air panas yang
diperkirakan mencapai 400 derajat Celsius. Akibatnya, keempat pekerja yang ada didalamnya
tewas seketika dengan kondisi mengenaskan karena panasnya uap.
Para korban yang tewas semuanya warga Cilacap yakni Feri Kisbianto, Jumono, Puji
Sutrisno dan Kasito. Sedangkan pekerja yang bernama Adi Purwanto berhasil
menyelamatkan diri, namun mengalami luka parah.
Menurut salah seorang rekan pekerja, air panas tersebut mengucur ke dalam tangki setelah
tombol kran dibuka oleh salah seorang karyawan pabrik. Diduga operator kran tidak
mengetahui jika pekerjaan didalam tangki tersebut belum selesai.
Hingga saat ini belum diperoleh keterangan resmi terkait kecelakaan kerja tersebut, karena
semua pimpinan di Pabrik PT Darma Pala Usaha Sukses berusaha menghindar saat ditemui
wartawan. Sementara polisi juga belum mau memberikan keterangan atas musibah tersebut.
(Nanang Anna Nur/Sup).

Analisis Kasus
Jika ditinjau dari faktor penyebab kecelakaan kerja, penyebab dasar kecelakaan kerja
adalah human error. Dalam hal ini, kesalahan terletak pada operator kran. Menanggapi
kecelakaan yang telah menewaskan empat orang tersebut, seharusnya sang operator kran
bersikap lebih hati-hati serta teliti yaitu dengan benar-benar memastikan bahwa tangki gula
krsital tersebut telah kosong serta aman dialirkan air ke dalamnya, maka mungkin kecelakaan
kerja tersebut tidak akan terjadi. Karyawan saat memasuki tangki seharusnya juga
mengenakan alat-alat pelindung diri agar terhindar dari bahaya kecelakaan kerja.
Kemudian penyebab kecelakaan yang lain adalah kurangnya pengawasan manajemen
dalam bidang kesehatan, keselamatan, dan keamanan pada perusahaan tersebut. Sistem
manajemen yang baik seharusnya lebih ketat pengawasannya terhadap alat ini menyadari alat
ini memiliki risiko yang besar untuk menghasilkan loss atau kerugian. Beberapa tindakan
manajemen yang bisa dilakukan adalah dengan meletakkan kamera-kamera di dalam alat
tersebut sehingga operator kran dapat memastikan bahwa di dalam tangki benar-benar tidak
ada orang. Kemudian, apabila teknologi yang lebih canggih dapat diterapkan di sana, maka
pada tangki tersebut dapat dipasang sebuah alat pendeteksi di mana apabila di dalam tangki
masih terdapat orang atau benda asing, maka ada sebuah lampu yang menyala yang
mengindikasikan di dalam tangki tersebut terdapat orang atau benda asing.
Kemudian apabila telah terjadi kecelakaan, seharusnya dilakukan investigasi kecelakaan,
inspeksi, pencatatan serta pelaporan kecelakaan kerja. Tujuan dari kegiatan ini tentu untuk
meningkatkan manajemen dari kesehatan, keamanan serta keselamatan pada perusahaan
tersebut, menentukan tindakan pencegahan yang tepat serta menurunkan faktor risiko pada
kecelakaan tersebut. Namun, sayangnya sikap dari pihak perusahaan yang menutup-nutupi
kejadian kecelakaan kerja tersebut dapat menghambat berjalannya investigasi tersebut.
Perusahaan tidak akan dapat mengambil pelajaran melalui kecelakaan ini. Ini berarti
kecelakaan semacam ini masih memiliki kemungkinan yang cukup besar untuk kembali
terjadi, baik pada perusahaan yang sama maupun pada perusahaan sejenisnya.

3. Solusi Mengatasi Kecelakaan Kerja


Ada beberapa solusi yang dapat digunakan untuk mencegah atau mengurangi resiko dari
adanya kecelakaan kerja. Salah satunya adalah pengusaha membentuk Panitia Pembina
Kesehatan dan Keselamatan Kerja untuk menyusun program keselamatan kerja. Beberapa hal
yang menjadi ruang lingkup tugas panitia tersebut adalah masalah kendali tata ruang kerja,
pakaian kerja, alat pelindung diri dan lingkungan kerja.
a. Tata ruang kerja yang baik adalah tata ruang kerja yang dapat mencegah timbulnya gangguan
keamanan dan keselamatan kerja bagi semua orang di dalamnya. Barang-barang dalam ruang
kerja harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga dapat dihindarkan dari gangguan yang
ditimbulkan oleh orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Jalan-jalan yang
dipergunakan untuk lalu lalang juga harus diberi tanda, misalnya dengan garis putih atau
kuning dan tidak boleh dipergunakan untuk meletakkan barang-barang yang tidak pada
tempatnya.
Kaleng-kaleng yang mudah bocor atau terbakar harus ditempatkan di tempat yang tidak
beresiko kebocoran. Jika perusahaan yang bersangkutan mengeluarkan sisa produksi berupa
uap, maka faktor penglihatan dan sirkulasi udara di ruang kerja juga harus diperhatikan
b. Pakaian kerja sebaiknya tidak terlalu ketat dan tidak pula terlalu longgar. Pakaian yang
terlalu longgar dapat mengganggu pekerja melakukan penyesuaian diri dengan mesin atau
lingkungan yang dihadapi. Pakaian yang terlalu sempit juga akan sangat membatasi aktivitas
kerjanya. Sepatu dan hak yang terlalu tinggi juga akan beresiko menimbulkan kecelakaan.
Memakai cincin di dekat mesin yang bermagnet juga sebaiknya dihindari.
c. Alat pelindung diri dapat berupa kaca mata, masker, sepatu atau sarung tangan. Alat
pelindung diri ini sangat penting untuk menghindari atau mengurangi resiko kecelakaan
kerja. Tapi sayangnya, para pekerja terkadang enggan memakai alat pelindung diri karena
terkesan merepotkan atau justru mengganggu aktivitas kerja. Dapat juga karena perusahaan
memang tidak menyediakan alat pelindung diri tersebut.
d. Lingkungan kerja meliputi faktor udara, suara, cahaya dan warna. Udara yang baik dalam
suatu ruangan kerja juga akan berpengaruh pada aktivitas kerja. Kadar udara tidak boleh
terlalu banyak mengandung CO2, ventilasi dan AC juga harus diperhatikan termasuk sirkulasi
pegawai dan banyaknya pegawai dalam suatu ruang kerja. Untuk mesin-mesin yang
menimbulkan kebisingan, tempatkan di ruangan yang dilengkapi dengan peredam suara.
Pencahayaan disesuaikan dengan kebutuhan dan warna ruang kerja disesuaikan dengan
macam dan sifat pekerjaan. (Slamet Saksono, 1988: 104-111).

Untuk kasus seperti yang terjadi pada pabrik gula di atas, ada beberapa alternatif
pencegahan selain yang tadi telah disebutkan. Tindakan tersebut dapat berupa:
a. Dibuatnya peraturan yang mewajibkan bagi setiap perusahaan untuk memilki standarisasi
yang berkaitan dengan keselamatan karyawan, perencanaan, konstruksi, alat-alat pelindung
diri, monitoring perlatan dan sebagainya.
b. Adanya pengawas yang dapat melakukan pengawasan agar peraturan perusahaan yang
berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan kerja dapat dipatuhi.
c. Dilakukan penelitian yang bersifat teknis meliputi sifat dan ciri-ciri bahan yang berbahaya,
pencegahan peledakan gas atau bahan beracun lainnya. Berilah tanda-tanda peringatan
beracun atau berbahaya pada alat-alat tersebut dan letakkan di tempat yang aman.
d. Dilakukan penelitian psikologis tentang pola-pola kejiwaan yang menyebabkan terjadinya
kecelakaan serta pemberian diklat tentang kesehatan dan keselamatan kerja pada karyawan.
e. Mengikutsertakan semua pihak yang berada dalam perusahaaan ke dalam asuransi. (Sutrisno
dan Kusmawan Ruswandi. 2007: 14).

D. Implementasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja.


Dalam era industri seperti sekarang ini, tidak dapat kita pungkiri begitu banyak
perusahaan-perusahaan besar yang berdiri di Indonesia. Mulai dari perusahaan kelas ringan
sampai kelas berat ada. Sebagai perusahaan yang telah mempekerjakan orang-orang di
dalamnya, perusahaan diwajibkan untuk memberi perlindungan dalam bidang kesehatan dan
keselamatan kerja kepada setiap pihak di dalamnya agar tercapai peningkatan produktivitas
perusahaan.
Pemerintah sendiri sebenarnya cukup menaruh perhatian terhadap permasalahan
kesehatan dan keselamatan kerja ini. Berbagai macam produk perundang-undangan dan
peraturan-peraturan pendukung lainnya dikeluarkan untuk melindungi hak-hak pekerja
terhadap kesehatan dan keselamatan kerja mereka. Beberapa perusahaan yang ada sebagian
juga telah memiliki standar keamanan dan kesehatan kerja.
UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan tentang pentingnya
perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja. Undang-Undang tersebut berawal
dari UU Nomor 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja. UU Nomor 1 Tahun 1970 tersebut
menjelaskan pentingnya keselamatan kerja baik itu di darat, di dalam tanah, di permukaan air,
di dalam air, dan di udara di wilayah Republik Indonesia. Implementasinya diberlakukan di
tempat kerja yang menggunakan peralatan berbahaya, bahan B3 (Bahan Beracun dan
Berbahaya), pekerjaan konstruksi, perawatan bangunan, pertamanan dan berbagai sektor
pekerjaan lainnya yang diidentifikasi memiliki sumber bahaya. Undang-undang tersebut juga
mengatur syarat-syarat keselamatan kerja dimulai dari perencanaan, pembuatan,
pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan, pemeliharaan
dan penyimpanan bahan, barang produk tekhnis dan aparat produksi yang mengandung dan
dapat menimbulkan bahaya kecelakaan.
Menurut Permenaker PER.05 / MEN / 1996 Bab I, salah satu upaya dalam
mengimplementasikan kesehatan dan keselamatan kerja adalah SMK3 (Sistem Manajemen
Kesehatan dan Keselamatan Kerja). SMK3 meliputi struktur organisasi, perencanaan,
tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses, dan sumber daya yang dibutuhkan bagi
pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan
dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja
guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. SMK3 merupakan upaya
integratif yang harus dilakukan tidak hanya dilakukan oleh pihak manajemen tetapi juga para
pekerja yang terlibat langsung dengan pekerjaan.
Perundang-undangan yang dihasilkan tentu saja harus selalu diawasi dalam proses
implementasinya. Proses pengawasan tersebut diharapkan bisa menekan angka kecelakaan
kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya menghasilkan angka zero accident yang
memang merupakan tujuan dilaksanakannya SMK3. Walaupun sudah banyak peraturan yang
diterbitkan, namun pada pelaksaannya masih banyak kekurangan dan kelemahannya karena
terbatasnya personil pengawasan, sumber daya manusia yang masih kurang memilki
pengetahuan tentang kesehatan dan keselamatan kerja serta perusahaan-perusahaan yang
ternyata memang belum memenuhi standar kesehatan dan keselamatan kerja.
Beberapa program yang dilaksanakan pemerintah dalam upaya mewujudkan kesehatan
dan keselamatan kerja diantaranya adalah :

1. Kebijakan, Hukum, dan Peraturan


a. Undang-undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Indonesia mempunyai kerangka hukum K3 yang ekstensif, sebagaimana terlihat pada
daftar peraturan perundang-undangan K3 yang terdapat dalam Lampiran II. Undang-undang
K3 yang terutama di Indonesia adalah Undang-Undang No. 1/ 1970 tentang Keselamatan
Kerja. Undang-undang ini meliputi semua tempat kerja dan menekankan pentingnya upaya
atau tindakan pencegahan primer.
Undang-Undang No. 23/ 1992 tentang Kesehatan memberikan ketentuan mengenai
kesehatan kerja dalam Pasal 23 yang menyebutkan bahwa kesehatan kerja dilaksanakan
supaya semua pekerja dapat bekerja dalam kondisi kesehatan yang baik tanpa membahayakan
diri mereka sendiri atau masyarakat, dan supaya mereka dapat mengoptimalkan produktivitas
kerja mereka sesuai dengan program perlindungan tenaga kerja.
b. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Di antara negara-negara Asia, Indonesia termasuk negara yang telah memberlakukan
undang-undang yang paling komprehensif (lengkap) tentang sistem manajemen K3
khususnya bagi perusahaan-perusahaan yang berisiko tinggi. Peraturan tersebut (Pasal 87 UU
no 13 Tahun 2003) menyebutkan bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan 100
karyawan atau lebih atau yang sifat proses atau bahan produksinya mengandung bahaya
karena dapat menyebabkan kecelakaan kerja berupa ledakan, kebakaran, pencemaran dan
penyakit akibat kerja diwajibkan menerapkan dan melaksanakan sistem manajemen K3.
Audit K3 secara sistematis, yang dianjurkan Pemerintah, diperlukan untuk mengukur
praktik sistem manajemen K3. Perusahaan yang mendapat sertifikat sistem manajemen K3
adalah perusahaan yang telah mematuhi sekurang-kurangnya 60 persen dari 12 elemen
utama, atau 166 kriteria.
c. Panitia Pembina K3 (P2K3)
Menurut Topobroto (Markkanen, 2004 : 15), Pembentukan Panitia Pembina K3
dimaksudkan untuk memperbaiki upaya penegakan ketentuan-ketentuan K3 dan
pelaksanaannya di perusahaan-perusahaan. Semua perusahaan yang mempekerjakan lebih
dari 50 karyawan diwajibkan mempunyai komite K3 dan mendaftarkannya pada kantor dinas
tenaga kerja setempat. Namun, pada kenyataannya masih ada banyak perusahaan dengan
lebih dari 50 karyawan yang belum membentuk komite K3, dan kalau pun sudah, komite
tersebut sering kali tidak berfungsi sebagaimana seharusnya.
d. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK)
Berdasarkan Undang-Undang No 3/ 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja,
Pemerintah mendirikan perseroan terbatas PT JAMSOSTEK. Undang-undang tersebut
mengatur jaminan yang berkaitan dengan :
(i) kecelakaan kerja [JKK],
(ii) hari tua [JHT],
(iii) kematian [JK], dan
(iv) perawatan kesehatan [JPK].
Keikutsertaan wajib dalam Jamsostek berlaku bagi pengusaha yang mempekerjakan
10 karyawan atau lebih, atau membayar upah bulanan sebesar1 juta rupiah atau lebih. Pekerja
yang mengalami kecelakaan kerja berhak atas manfaat/ jaminan yang meliputi (i) biaya
transportasi, (ii) biaya pemeriksaan dan perawatan medis, dan/ atau perawatan di rumah sakit,
(iii) biaya rehabilitasi, dan (iv) pembayaran tunai untuk santunan cacat atau santunan
kematian.
e. Konvensi-konvensi ILO yang berkaitan dengan K3
Pada tahun 2003, Indonesia masih belum meratifikasi Konvensi-konvensi ILO yang
berkaitan dengan K3 kecuali Konvensi ILO No 120/ 1964 tentang Higiene (Komersial dan
Perkantoran). Tetapi hingga tahun 2000, Indonesia sudah meratifikasi seluruh Konvensi
Dasar ILO tentang Hak Asasi Manusia yang semuanya berjumlah delapan.
Karena Indonesia mayoritas masih merupakan negara agraris dengan sekitar 70%
wilayahnya terdiri dari daerah pedesaan dan pertanian, Konvensi ILO yang terbaru, yaitu
Konvensi No. 184/ 2001 tentang Pertanian dan Rekomendasinya, dianggap merupakan
perangkat kebijakan yang bermanfaat. Tetapi secara luas Indonesia dipandang tidak siap
untuk meratifikasi Konvensi ini karena rendahnya tingkat kesadaran K3 di antara pekerja
pertanian. Tingkat pendidikan umum pekerja pertanian di Indonesia juga rendah, rata-rata
hanya 3 sampai 4 tahun di sekolah dasar (Markkanen, 2004 : 16)

2. Penegakan Hukum
Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan peraturan hukum terkait K3 kemudian
membentuk lembaga-lembaga penunjang diantaranya :
a. Direktorat Pengawasan Norma K3 di DEPNAKERTRANS
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pengawasan/ inspeksi keselamatan kerja telah
didesentralisasikan dan tanggung jawab untuk pengawasan tersebut telah dialihkan ke
pemerintah provinsi sejak tahun 1984. Di Direktorat Jenderal Pengawasan Ketenagakerjaan
DEPNAKERTRANS, sekitar 1,400 pengawas dilibatkan dalam pengawasan ketenagakerjaan
secara nasional. Sekitar 400 pengawas ketenagakerjaan memenuhi kualifikasi untuk
melakukan pengawasan K3 di bawah yurisdiksi Direktorat Pengawasan Norma K3 (PNKK).
b. Pusat Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan
Pelayanan kesehatan kerja adalah tanggung jawab Pusat Kesehatan Kerja di bawah
Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Pusat ini dibagi menjadi (i) Seksi Pelayanan
Kesehatan Kerja, (ii) Seksi Kesehatan dan Lingkungan Kerja, dan (iii) Unit Administrasi.
Pusat ini sudah menyusun Rencana Strategis Program Kesehatan Kerja untuk melaksanakan
upaya nasional. K3 merupakan salah satu program dalam mencapai Visi Indonesia Sehat
2010, yang merupakan kebijakan Departemen Kesehatan saat ini. Visi Indonesia Sehat 2010
dibentuk untuk mendorong pembangunan kesehatan nasional, meningkatkan pelayanan
kesehatan yang merata dan terjangkau untuk perorangan, keluarga, dan masyarakat .
c. Dewan Tripartit National Keselamatan dan Kesehatan Kerja (DK3N)
Dewan K3 Nasional (DK3N) dibentuk oleh DEPNAKERTRANS pada tahun 1982 sebagai
badan tripartit untuk memberikan rekomendasi dan nasihat kepada Pemerintah di tingkat
nasional. Anggota Dewan ini terdiri dari semua instansi pemerintah yang terkait dengan K3,
wakil-wakil pengusaha dan pekerja dan organisasi profesi. Tugasnya adalah mengumpulkan
dan menganalisa data K3 di tingkat nasional dan provinsi, membantu DEPNAKERTRANS
dalam membimbing dan mengawasi dewan-dewan K3 provinsi, melakukan kegiatan-kegiatan
penelitian, dan menyelenggarakan program-program pelatihan dan pendidikan. Selama
periode 1998-2002, DK3N telah menyelenggarakan sekurangkurangnya 27 lokakarya dan
seminar mengenai berbagai subyek di sektor-sektor industri terkait. DK3N juga telah
menerbitkan sejumlah buku dan majalah triwulan.
Pada hakikatnya kita memang tidak akan menemukan konsep dan realita yang berjalan
bersamaan, begitu pula dengan implementasi dari K3 yang belum bisa berjalan maksimal
apabila belum ada komitmen yang tegas dari berbagai pihak baik pmerintah, pengusaha dan
lembaga terkait lainnya dalam melaksanakan K3.
BAB III
PENUTUP

Dari pemaparan makalah di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kesehatan dan
keselamatan kerja adalah suatu usaha dan upaya untuk menciptakan perlindungan dan
keamanan dari resiko kecelakaan dan bahaya baik fisik, mental maupun emosional terhadap
pekerja, perusahaan, masyarakat dan lingkungan. Jadi kesehatan dan keselamatan kerja tidak
melulu berkaitan dengan masalah fisik pekerja, tetapi juga mental, psikologis dan emosional.
Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu unsur yang penting dalam
ketenagakerjaan. Oleh karena itulah sangat banyak berbagai peraturan perundang-undangan
yang dibuat untuk mengatur nmasalah kesehatan dan keselamatan kerja. Meskipun banyak
ketentuan yang mengatur mengenai kesehatan dan keselamatan kerja, tetapi masih banyak
faktor di lapangan yang mempengaruhi kesehatan dan keselamatan kerja yang disebut
sebagai bahaya kerja dan bahaya nyata. Masih banyak pula perusahaan yang tidak memenuhi
standar keselamatan dan kesehatan kerja sehingga banyak terjadi kecelakaan kerja.
Oleh karena itu, perlu ditingkatkan sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja
yang dalam hal ini tentu melibatkan peran bagi semua pihak. Tidak hanya bagi para pekerja,
tetapi juga pengusaha itu sendiri, masyarakat dan lingkungan sehingga dapat tercapai
peningkatan mutu kehidupan dan produktivitas nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Husni, Lalu. 2003. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Markkanen, Pia K. 2004. Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Indonesia. Jakarta : Internasional
Labour Organisation Sub Regional South-East Asia and The Pacific Manila Philippines
Saksono, Slamet. 1998. Administrasi Kepegawaian. Yogyakarta: Kanisius.
Sumamur. 1981. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: Gunung Agung.
Sutrisno dan Kusmawan Ruswandi. 2007. Prosedur Keamanan, Keselamatan, & Kesehatan Kerja.
Sukabumi: Yudhistira.

Sumber Internet:
http://sarisolo.multiply.com/journal/item/35/kecelakaan_kerja_di_perusahaan.
http://saintek.uin-suka.ac.id/file_kuliah/manajemen%20lab%20kimia.doc.
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/10/kesehatan-dan-keselamatan-kerja-k3.html
http://araralututu.wordpress.com/2009/12/19/my-k3ll-project/
http://solehpunya.wordpress.com/2009/02/03/implementasi-k3-di-indonesia/

Read more: http://hitamandbiru.blogspot.com/2012/08/makalah-keselamatan-dan-kesehatan-


kerja.html#ixzz4uHG5uNif

MAKALAH KESELAMATAN KESEHATAN KERJA

MAKALAH KESELAMATAN KESEHATAN KERJA


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) perusahaan di Indonesia secara umum

diperkirakan termasuk rendah. Pada tahun 2005 Indonesia menempati posisi yang buruk jauh di

bawah Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand. Kondisi tersebut mencerminkan kesiapan daya
saing perusahaan Indonesia di dunia internasional masih sangat rendah. Indonesia akan sulit

menghadapi pasar global karena mengalami ketidakefisienan pemanfaatan tenaga kerja

(produktivitas kerja yang rendah). Padahal kemajuan perusahaan sangat ditentukan peranan mutu

tenaga kerjanya. Karena itu disamping perhatian perusahaan, pemerintah juga perlu memfasilitasi

dengan peraturan atau aturan perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Nuansanya harus

bersifat manusiawi atau bermartabat.

Keselamatan kerja telah menjadi perhatian di kalangan pemerintah dan bisnis sejak lama.

Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait dengan kinerja karyawan dan pada

gilirannya pada kinerja perusahaan. Semakin tersedianya fasilitas keselamatan kerja semakin sedikit

kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja.

Di era globalisasi dan pasar bebas WTO dan GATT yang akan berlaku tahun 2020 mendatang,

kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu prasyarat yang ditetapkan dalam hubungan

ekonomi perdagangan barang dan jasa antar negara yang harus dipenuhi oleh seluruh negara

anggota, termasuk bangsa Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut serta mewujudkan

perlindungan masyarakat pekerja Indonesia; telah ditetapkan Visi Indonesia Sehat 2010 yaitu

gambaran masyarakat Indonesia di masa depan, yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan

perilaku sehat, memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta

memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk

menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat

mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat

meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.

Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja

dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh, merusak

lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas.


Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan petugas kesehatan dan non

kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik. Jika kita pelajari angka kecelakaan

dan penyakit akibat kerja di beberapa negara maju (dari beberapa pengamatan) menunjukan

kecenderungan peningkatan prevalensi. Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya

kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak pekerja

yang meremehkan risiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat pengaman walaupun sudah

tersedia. Dalam penjelasan undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan telah

mengamanatkan antara lain, setiap tempat kerja harus melaksanakan upaya kesehatan kerja, agar

tidak terjadi gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat dan lingkungan disekitarnya.

Setiap orang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuan hidupnya. Dalam bekerja

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan

karena seseorang yang mengalami sakit atau kecelakaan dalam bekerja akan berdampak pada diri,

keluarga dan lingkungannya. Salah satu komponen yang dapat meminimalisir Kecelakaan dalam kerja

adalah tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan mempunyai kemampuan untuk menangani korban

dalam kecelakaan kerja dan dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk menyadari

pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja.

B. Permasalahan

Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas

dalam makalah ini adalah bagaimana peran tenaga kesehatan dalam menangani korban kecelakaan

kerja dan mencegah kecelakaan kerja guna meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja.

C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui peran tenaga kesehatan dalam

menangani korban kecelakaan kerja dan mencegah kecelakaan kerja guna meningkatkan kesehatan

dan keselamatan kerja.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Keselamatan dan kesehatan kerja difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk

menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja pada khususnya

dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budayanya menuju masyarakat makmur dan sejahtera.

Sedangkan pengertian secara keilmuan adalah suatu ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam

usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tidak dapat dipisahkan dengan proses produksi baik jasa

maupun industri. Perkembangan pembangunan setelah Indonesia merdeka menimbulkan

konsekwensi meningkatkan intensitas kerja yang mengakibatkan pula meningkatnya resiko

kecelakaan di lingkungan kerja.

Hal tersebut juga mengakibatkan meningkatnya tuntutan yang lebih tinggi dalam mencegah

terjadinya kecelakaan yang beraneka ragam bentuk maupun jenis kecelakaannya. Sejalan dengan itu,

perkembangan pembangunan yang dilaksanakan tersebut maka disusunlah UU No.14 tahun 1969

tentang pokok-pokok mengenai tenaga kerja yang selanjutnya mengalami perubahan menjadi UU

No.12 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan.

Dalam pasal 86 UU No.13 tahun 2003, dinyatakan bahwa setiap pekerja atau buruh

mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan

kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat serta nilai-nilai agama.

Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, maka dikeluarkanlah peraturan perundangan-

undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja sebagai pengganti peraturan sebelumnya yaitu
Veiligheids Reglement, STBl No.406 tahun 1910 yang dinilai sudah tidak memadai menghadapi

kemajuan dan perkembangan yang ada.

Peraturan tersebut adalah Undang-undang No.1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja yang

ruang lingkupnya meliputi segala lingkungan kerja, baik di darat, didalam tanah, permukaan air, di

dalam air maupun udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia.

Undang-undang tersebut juga mengatur syarat-syarat keselamatan kerja dimulai dari

perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian,

penggunaan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang produk tekhnis dan aparat produksi

yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan.

Walaupun sudah banyak peraturan yang diterbitkan, namun pada pelaksaannya masih banyak

kekurangan dan kelemahannya karena terbatasnya personil pengawasan, sumber daya manusia K3

serta sarana yang ada. Oleh karena itu, masih diperlukan upaya untuk memberdayakan lembaga-

lembaga K3 yang ada di masyarakat, meningkatkan sosialisasi dan kerjasama dengan mitra sosial

guna membantu pelaksanaan pengawasan norma K3 agar terjalan dengan baik.


1. Sebab-sebab Kecelakaan

Kecelakaan tidak terjadi begitu saja, kecelakaan terjadi karena tindakan yang salah atau kondisi

yang tidak aman. Kelalaian sebagai sebab kecelakaan merupakan nilai tersendiri dari teknik

keselamatan. Ada pepatah yang mengungkapkan tindakan yang lalai seperti kegagalan dalam melihat

atau berjalan mencapai suatu yang jauh diatas sebuah tangga. Hal tersebut menunjukkan cara yang

lebih baik selamat untuk menghilangkan kondisi kelalaian dan memperbaiki kesadaran mengenai

keselamatan setiap karyawan pabrik.

Diantara kondisi yang kurang aman salah satunya adalah pencahayaan, ventilasi yang

memasukkan debu dan gas, layout yang berbahaya ditempatkan dekat dengan pekerja, pelindung

mesin yang tak sebanding, peralatan yang rusak, peralatan pelindung yang tak mencukupi, seperti

helm dan gudang yang kurang baik.

Diantara tindakan yang kurang aman salah satunya diklasifikasikan seperti latihan sebagai

kegagalan menggunakan peralatan keselamatan, mengoperasikan pelindung mesin mengoperasikan

tanpa izin atasan, memakai kecepatan penuh, menambah daya dan lain-lain. Dari hasil analisa

kebanyakan kecelakaan biasanya terjadi karena mereka lalai ataupun kondisi kerja yang kurang aman,

tidak hanya satu saja. Keselamatan dapat dilaksanakan sedini mungkin, tetapi untuk tingkat

efektivitas maksimum, pekerja harus dilatih, menggunakan peralatan keselamatan.

2. Faktor - faktor Kecelakaan

Studi kasus menunjukkan hanya proporsi yang kecil dari pekerja sebuah industri terdapat

kecelakaan yang cukup banyak. Pekerja pada industri mengatakan itu sebagai kecenderungan

kecelakaan. Untuk mengukur kecenderungan kecelakaan harus menggunakan data dari situasi yang

menunjukkan tingkat resiko yang ekivalen.

Begitupun, pelatihan yang diberikan kepada pekerja harus dianalisa, untuk seseorang yang

berada di kelas pelatihan kecenderungan kecelakaan mungkin hanya sedikit yang diketahuinya. Satu
lagi pertanyaan yang tak terjawab ialah apakah ada hubungan yang signifikan antara kecenderungan

terhadap kecelakaan yang kecil atau salah satu kecelakaan yang besar. Pendekatan yang sering

dilakukan untuk seorang manager untuk salah satu faktor kecelakaan terhadap pekerja adalah

dengan tidak membayar upahnya. Bagaimanapun jika banyak pabrik yang melakukan hal diatas akan

menyebabkan berkurangnya rata-rata pendapatan, dan tidak membayar upah pekerja akan membuat

pekerja malas melakukan pekerjaannya dan terus membahayakan diri mereka ataupun pekerja yang

lain. Ada kemungkinan bahwa kejadian secara acak dari sebuah kecelakaan dapat membuat faktor-

faktor kecelakaan tersendiri.

3. Masalah Kesehatan Dan Keselamatan Kerja

Kinerja (performen) setiap petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan resultante dari

tiga komponen kesehatan kerja yaitu kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja yang dapat

merupakan beban tambahan pada pekerja. Bila ketiga komponen tersebut serasi maka bisa dicapai

suatu derajat kesehatan kerja yang optimal dan peningkatan produktivitas. Sebaliknya bila terdapat

ketidak serasian dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja berupa penyakit ataupun kecelakaan

akibat kerja yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja.

a) Kapasitas Kerja

Status kesehatan masyarakat pekerja di Indonesia pada umumnya belum memuaskan. Dari beberapa

hasil penelitian didapat gambaran bahwa 30-40% masyarakat pekerja kurang kalori protein, 30%

menderita anemia gizi dan 35% kekurangan zat besi tanpa anemia. Kondisi kesehatan seperti ini tidak

memungkinkan bagi para pekerja untuk bekerja dengan produktivitas yang optimal. Hal ini

diperberat lagi dengan kenyataan bahwa angkatan kerja yang ada sebagian besar masih di isi oleh

petugas kesehatan dan non kesehatan yang mempunyai banyak keterbatasan, sehingga untuk dalam

melakukan tugasnya mungkin sering mendapat kendala terutama menyangkut masalah PAHK dan

kecelakaan kerja.
b) Beban Kerja

Sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun yang bersifat teknis beroperasi 8 - 24 jam sehari,

dengan demikian kegiatan pelayanan kesehatan pada laboratorium menuntut adanya pola kerja

bergilirdan tugas/jaga malam. Pola kerja yang berubah-ubah dapat menyebabkan kelelahan yang

meningkat, akibat terjadinya perubahan pada bioritmik (irama tubuh). Faktor lain yang turut

memperberat beban kerja antara lain tingkat gaji dan jaminan sosial bagi pekerja yang masih relatif

rendah, yang berdampak pekerja terpaksa melakukan kerja tambahan secara berlebihan. Beban

psikis ini dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan stres.


c) Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja bila tidak memenuhi persyaratan dapat mempengaruhi kesehatan kerja dapat

menimbulkan Kecelakaan Kerja (Occupational Accident), Penyakit Akibat Kerja dan Penyakit Akibat

Hubungan Kerja (Occupational Disease & Work Related Diseases).

B. Tinjauan Tentang Tenaga Kesehatan

1. Pengertian Tenaga Kesehatan

Kesehatan merupakan hak dan kebutuhan dasar manusia. Dengan demikian Pemerintah

mempunyai kewajiban untuk mengadakan dan mengatur upaya pelayanan kesehatan yang dapat

dijangkau rakyatnya. Masyarakat, dari semua lapisan, memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk

mendapat pelayanan kesehatan.

Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta

memiliki pengetahuan dan atau ketermpilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis

tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan, baik berupa pendidikan gelar-

D3, S1, S2 dan S3-; pendidikan non gelar; sampai dengan pelatihan khusus kejuruan khusus seperti

Juru Imunisasi, Malaria, dsb., dan keahlian. Hal inilah yang membedakan jenis tenaga ini dengan

tenaga lainnya. Hanya mereka yang mempunyai pendidikan atau keahlian khusus-lah yang boleh

melakukan pekerjaan tertentu yang berhubungan dengan jiwa dan fisik manusia, serta

lingkungannya.

Tenaga kesehatan berperan sebagai perencana, penggerak dan sekaligus pelaksana

pembangunan kesehatan sehingga tanpa tersedianya tenaga dalam jumlah dan jenis yang sesuai,

maka pembangunan kesehatan tidak akan dapat berjalan secara optimal. Kebijakan tentang

pendayagunaan tenaga kesehatan sangat dipengaruhi oleh kebijakan kebijakan sektor lain, seperti:

kebijakan sektor pendidikan, kebijakan sektor ketenagakerjaan, sektor keuangan dan peraturan
kepegawaian. Kebijakan sektor kesehatan yang berpengaruh terhadap pendayagunaan tenaga

kesehatan antara lain: kebijakan tentang arah dan strategi pembangunan kesehatan, kebijakan

tentang pelayanan kesehatan, kebijakan tentang pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, dan

kebijakan tentang pembiayaan kesehatan. Selain dari pada itu, beberapa faktor makro yang

berpengaruh terhadap pendayagunaan tenaga kesehatan, yaitu: desentralisasi, globalisasi,

menguatnya komersialisasi pelayanan kesehatan, teknologi kesehatan dan informasi. Oleh karena itu,

kebijakan pendayagunaan tenaga kesehatan harus memperhatikan semua faktor di atas.

C. Peran Tenaga Kesehatan Dalam Menangani Korban Kecelakaan Kerja

Kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dapat saling berkaitan. Pekerja yang menderita

gangguan kesehatan atau penyakit akibat kerja cenderung lebih mudah mengalami kecelakaan kerja.

Menengok ke negara-negara maju, penanganan kesehatan pekerja sudah sangat serius. Mereka

sangat menyadari bahwa kerugian ekonomi (lost benefit) suatu perusahaan atau negara akibat suatu

kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja sangat besar dan dapat ditekan dengan upaya-upaya

di bidang kesehatan dan keselamatan kerja.

Di negara maju banyak pakar tentang kesehatan dan keselamatan kerja dan banyak buku serta

hasil penelitian yang berkaitan dengan kesehatan tenaga kerja yang telah diterbitkan. Di era

globalisasi ini kita harus mengikuti trend yang ada di negara maju. Dalam hal penanganan kesehatan

pekerja, kitapun harus mengikuti standar internasional agar industri kita tetap dapat ikut bersaing di

pasar global. Dengan berbagai alasan tersebut rumah sakit pekerja merupakan hal yang sangat

strategis. Ditinjau dari segi apapun niscaya akan menguntungkan baik bagi perkembangan ilmu, bagi

tenaga kerja, dan bagi kepentingan (ekonomi) nasional serta untuk menghadapi persaingan global.
BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Sebagai suatu sistem program yang dibuat bagi pekerja maupun pengusaha, kesehatan dan

keselamatan kerja atau K3 diharapkan dapat menjadi upaya preventif terhadap timbulnya kecelakaan

kerja dan penyakit akibat hubungan kerja dalam lingkungan kerja. Pelaksanaan K3 diawali dengan

cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat

hubungan kerja, dan tindakan antisipatif bila terjadi hal demikian. Tujuan dari dibuatnya sistem ini

adalah untuk mengurangi biaya perusahaan apabila timbul kecelakaan kerja dan penyakit akibat

hubungan kerja.

Peran tenaga kesehatan dalam menangani korban kecelakaan kerja adalah menjadi melalui

pencegahan sekunder ini dilaksanakan melalui pemeriksaan kesehatan pekerja yang meliputi

pemeriksaan awal, pemeriksaan berkala dan pemeriksaan khusus. Untuk mencegah terjadinya

kecelakaan dan sakit pada tempat kerja dapat dilakukan dengan penyuluhan tentang kesehatan dan

keselamatan kerja.

B. Saran

Kesehatan dan keselamatan kerja sangat penting dalam pembangunan karena sakit dan

kecelakaan kerja akan menimbulkan kerugian ekonomi (lost benefit) suatu perusahaan atau negara

olehnya itu kesehatan dan keselamatan kerja harus dikelola secara maksimal bukan saja oleh tenaga

kesehatan tetapi seluruh masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Poerwanto, Helena dan Syaifullah. Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Silalahi, Bennett N.B. [dan] Silalahi,Rumondang.1991. Manajemen keselamatan dan kesehatan kerja.
[s.l]:Pustaka Binaman Pressindo.

Suma'mur .1991. Higene perusahaan dan kesehatan kerja. Jakarta :Haji Masagung

Suma'mur .1985. Keselamatan kerja dan pencegahan kecelakaan. Jakarta :Gunung Agung, 1985

-------------------,1990. Upaya kesehatan kerja sektor informal di Indonesia. [s.]:Direktorat Bina Peran
Masyarakat Depkes RT.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.. ii
DAFTAR ISI.. iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Pengertian Tenaga Kerja. 1
1.2 Perlindungan Tenaga Kerja. 1-5
1.3 Jenis Perlindungan Tenaga Kerja 5
1.3.1 Perlindungan Sosial atau Kesehatan Kerja. 5
1.3.2 Perlindungan Teknis atau Keselamatan Kerja 6-7
1.3.3 Perlindungan Ekonomis atau Jaminan Sosial. 7-8
1.4 Jenis-jenis Jaminan Sosial Tenaga Kerja 8
1.4.1 Jaminan Kecelakaan Kerja 8-9
1.4.2 Jaminan Kematian.. 9
1.4.3 Jaminan Hari Tua. 9
1.4.4 Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.. 9-10
1.5 Tujuan Perlindungan Terhadap Tenaga Kerja .... 10
BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA 11
2.1 Perlindungan Pekerja Perempuan 11-15
2.2 Perlindungan Pekerja Anak. 16-19
BAB III ANALISA 20
3.1 Perlindungan Pekerja Perempuan 20-21
3.2 Perlindungan Pekerja Anak. 21-24
BAB IV Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia 25
4.1 Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja.. 25
BAB V SIMPULAN dan SARAN 26
5.1 Simpulan... 26
5.2 Saran.
DAFTAR PUSTAKA. 27
LAMPIRAN 28

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengertian Tenaga Kerja
Dalam pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan

pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan barang atau jasa

untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.


Tenaga kerja merupakan modal utama serta pelaksanaan dari pembangunan

masyarakat pancasila. Tujuan terpenting dari pembangunan masyarakat tersebut adalah

kesejahteraan rakyat termasuk tenaga kerja. Tenaga kerja sebagai pelaksana pembangunan

harus di jamin haknya, diatur kewajibannya dan dikembangkan daya gunanya. Dalam

peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: PER-04/MEN/1994 pengertian tenaga kerja adalah

setiap orang yang bekerja pada perusahaan yang belum wajib mengikuti program jaminan

social tenaga kerja karena adanya pentahapan kepesertaan.


1.2 Perlindungan Tenaga Kerja
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan

masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat dan harga diri tenaga

kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur dan merata, baik materiil

maupun spiritual.
Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-

hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja atau buruh serta pada saat

yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha.

Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu

tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi

juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu,

diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup

pengembangan sumberdaya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja

Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan

pembinaan hubungan industrial.


Salah satu syarat untuk keberhasilan pembangunan nasional adalah kualitas manusia

Indonesia yang menentukan berhasil tidaknya usaha untuk memenuhi tahap tinggal landas.

Peningkatan kualitas manusia tidak mungkin tercapai tanpa memberikan jaminan hidup,

sebaliknya jaminan hidup tidak dapat tercapat apabila manusia tidak mempunyai pekerjaan,

dimana dari hasil pekerjaan itu dapat diperoleh imbalan jasa untuk membiayai dirinya dan

keluarganya.
Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi,

memberi rasa aman, tentram dan tertib untuk mencapai perdamaian dan keadilan setiap

orang. Hukum seyogyanya memberikan keadilan, karena keadilan itulah tujuan dari hukum.
Perluasan kesempatan kerja dan perlindungan tenaga kerja harus merupakan

kebijaksanaan pokok yang sifatnya menyeluruh di semua sektor. Dalam hubungan ini

program-program pembangunan sektoral maupun regional perlu senantiasa mengusahakan

terciptanya perluasan kesempatan kerja sebanyak mungkin dengan imbalan jasa yang
sepadan. Dengan jalan demikian maka disamping peningkatan produksi sekaligus dapat

dicapai pemerataan hasil pembangunan, karena adanya perluasan partisipasi masyarakat

secara aktif di dalam pembangunan.


Pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat ditandai dengan tumbuhnya industri-industri

baru yang menimbulkan banyak peluang bagi angkatan kerja pria maupun wanita. Sebagian

besar lapangan kerja di perusahaan pada tingkat organisasi yang rendah yang tidak

membutuhkan keterampilan yang khusus lebih banyak memberi peluang bagi tenaga kerja

wanita. Tuntutan ekonomi yang mendesak dan berkurangnya peluang serta penghasilan di

bidang pertanian yang tidak memberikan suatu hasil yang tepat dan rutuin, dan adanya

kesempatan untuk bekerja di bidang industri telah memberikan daya tarik yang kuat bagi

tenaga kerja wanita. Tidak hanya pada tenaga kerja wanita yang sudah dewasa yang sudah

dapat digolongkan pada angkatan kerja. Tetapi sering juga wanita yang belum dewasa yang

selayaknya masih harus belajar di bangku sekolah.


Bagi tenaga kerja wanita yang belum berkeluarga masalah yang timbul berbeda

dengan yang sudah berkeluarga yang sifatnya lebih subyektif, meski secara umum dari

kondisi objektif tidak ada perbedaan-perbedaan. Perhatian yang benar bagi pemerintah dan

masyarakat terhadap tenaga kerja terlihat pada beberapa peraturan-peraturan yang

memberikan kelonggaran-kelonggaran maupun larangan-larangan yang menyangkut kedirian

seseorang wanita secara umum seperti cuti hamil, kerja pada malam hari dan sebagainya.
Selain itu, masalah gangguan seksual (sexual harressment) seringkali dialami oleh

perempuan di tempat kerja, baik oleh teman sekerja maupun oleh majikan. Gangguan ini bisa

berbentuk komentar-komentar atau ucapan-ucapan verbal, tindakan atau kontak fisik yang

mempunyai konotasi seksual. Walaupun seringkali oleh orang yang menjadi sasaran tindakan

tersebut, suatu gangguan tampaknya tidak membahayakan secara langsung, namun dengan

adanya tindakan itu yang mempunyai unsur kekuasaan dan dominsi, si orang tersebut selalu

menjadi sadar akan keperempuannya dan keperawanannya terhadap gangguan-gangguan

tersebut. Bentuk yang paling ekstrem dari gangguan seksual itu adalah perkosaan yang
seringkali pula bentuknya sangat terselubung, dalam artian bahwa sering dianggap peristiwa

tersebut sebagai peristiwa individual semata dan tidak menyangkut pelanggaran hak asasi

manusia.
Masalah tenaga kerja saat ini terus berkembang semakin kompleks sehingga

memerlukan penanganan yang lebih serius. Pada masa perkembangan tersebut pergeseran

nilai dan tata kehidupan akan banyak terjadi. Pergeseran dimaksud tidak jarang melanggar

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menghadapi pergeseran nilai dan tata

kehidupan para pelaku industri dan perdagangan, pengawasan ketenagakerjaan dituntut untuk

mampu mengambil langkah-langkah antisipatif serta mampu menampung segala

perkembangan yang terjadi.


Oleh karena itu penyempurnaan terhadap sistem pengawasan ketenagakerjaan harus

terus dilakukan agar peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan secara efektif oleh

para pelaku industri dan perdagangan. Dengan demikian pengawasan ketenagakerjaan

sebagai suatu sistem mengemban misi dan fungsi agar peraturan perundang-undangan di

bidang ketenagakerjaan dapat ditegakkan. Penerapan peraturan perundang-undangan

ketenagakerjaan juga dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan/keserasian hubungan antara

hak dan kewajiban bagi pengusaha dan pekerja/buruh sehingga kelangsungan usaha dan

ketenagakerjaan dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan kerja

dapat terjamin.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan merupakan

salah satu solusi dalam perlindungan buruh maupun majikan tentang hak dan kewajiban

masing-masing pihak. Perlindungan buruh diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 67-101 meliputi perlindungan buruh penyandang cacat,

anak, perempuan, waktu kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, pengupahan dan

kesejahteraan. Dengan demikian,Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 sangat berarti dalam

mengatur hak dan kewajiban bagi para tenaga kerja maupun para pengusaha di dalam

melaksanakan suatu mekanisme proses produksi.


Tidak kalah pentingnya adalah perlindungan tenaga kerja yang bertujuan agar bisa

menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesempatan serta perlakuan tanpa

diskriminasi. Hal ini merupakan esensi dari disusunnya undang-undang ketenagakerjaan yaitu

mewujudkan kesejahteraan para pekerja/buruh yang akan berimbas terhadap kemajuan dunia

usaha di Indonesia.
Menurut Soepomo, perlindungan tenaga kerja dibagi menjadi 3 (tiga ) macam, yaitu:
1. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan yang

cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak mampu bekerja di luar kehendaknya.
2. Perlindungan sosial, yaitu : perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja,

dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.


3. Perlindungan teknis, yaitu : perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan

keselamatan kerja.
1.3 Jenis Perlindungan kerja
1.3.1 Perlindungan Sosial atau Kesehatan Kerja
Kesehatan kerja sebagaimana telah dikemukakan di atas termasuk jenis perlindungan

sosial karena ketentuan-ketentuan mengenai kesehatan kerja ini berkaitan dengan sosial

kemasyarakatan, yaitu aturan-aturan yang bermaksud mengadakan pembatasan-pembatasan

terhadap kekuasaan pengusaha untuk memperlakukan pekerja/buruh semaunya tanpa

memperhatikan norma-norma yang berlaku, dengan tidak memandang pekerja/buruh sebagai

mahluk Tuhan yang mempunyai hak asasi.


Karena sifatnya yang hendak mengadakan pembatasan ketentuan-ketentuan

perlindungan sosial dalam UU No. 13 Tahun 2003, Bab X Pasal 68 dan seterusnya bersifat

memaksa, bukan mengatur. Akibat adanya sifat memaksa dalam ketentuan perlindungan

sosial UU No. 13 Tahun 2003 ini, pembentuk undang-undang memandang perlu untuk

menjelaskan bahwa ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan sosial ini merupakan

hukum umum (Publiek-rechtelijk) dengan sanksi pidana


Jadi, jelasnya kesehatan kerja bermaksud melindungi atau menjaga pekerja/buruh dari

kejadian/keadaan hubungan kerja yang merugikan kesehatan dan kesusilaannya dalam hal

pekerja/buruh melakukan pekerjaannya. Adanya penekanan dalam suatu hubungan kerja

menunjukkan bahwa semua tenaga kerja yang tidak melakukan hubungan kerja dengan
pengusaha tidak mendapatkan perlindungan sosial sebagaimana ditentukan dalam Bab X UU

No 13 Tahun 2003.
1.3.2 Perlindungan Teknis Atau Keselamatan Kerja
Keselamatan kerja termasuk dalam apa yang disebut perlindungan teknis, yaitu

perlindungan terhadap pekerja/buruh agar selamat dari bahaya yang dapat ditimbulkan oleh

alat kerja atau bahan yang dikerjakan.


Berbeda dengan perlindungan kerja lain yang umumnya ditentukan untuk kepentingan

pekerja/buruh saja, keselamatan kerja ini tidak hanya memberikan perlindungan kepada

pekerja/buruh, tetapi kepada pengusaha dan pemerintah.


Bagi pekerja/buruh, adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja akan menimbulkan

suasana kerja yang tentram sehingga pekerja/buruh dapat memusatkan perhatian pda

pekerjaannya semaksimal mungkin tanpa khawatir sewaktu-waktu akan tertimpa kecelakaan

kerja.
Bagi pengusaha, adanya pengaturan keselamatan kerja di dalam perusahaannya akan dapat

mengurangi terjadinya kecelakaan yang dapat mengakibatkan pengusaha harus memberikan

jaminan sosial.
Bagi pemerintah (dan masyarakat), dengan adanya dan ditaatinya peraturan keselamatan kerja,

maka apa yang direncanakan pemerintah untuk mensejahterakan masyrakat akan tercapai

dengan meningkatnya produksi perusahaan baik kualitas maupun kuantitas.

Dasar pembicaraan masalah keselamatan kerja ini sampai sekarang adalah UU No 1

Tahun 1970 tentang keselamatan kerja. Namun, sebagian besar peraturan pelaksanaan

undang-undang ini belum ada sehingga beberapa peraturan warisan Hindia Belanda masih

dijadikan pedoman dalam pelaksanaan keselamatan kerja di perusahaan. Peraturan warisan

Hindia Belanda itu dalah sebagai berikut :

Veiligheidsreglement, S 1910 No. 406 yang telah beberapa kali dirubah, terakhir dengan S.

1931 No. 168 yang kemudian setelah Indonesia merdeka diberlakukan dengan Peraturan

Pemerintah No. 208 Tahun 1974. Peraturan ini menatur tentang keselamatan dan keamanan di

dalam pabrik atau tempat bekerja.


Stoom Ordonantie, S 1931 No. 225, lebih dikenal dengan peraturan Uap 1930.
Loodwit Ordonantie, 1931 No. 509 yaitu peraturan tentang pencegahan pemakaian timah putih

kering.

1.3.3 Perlindungan ekonomis atau Jaminan Sosial

Penyelenggara program jaminan sosial merupakan salah satu tangung jawab dan

kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat.

Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan Negara, Indonesia seperti halnya berbagai

Negara berkembang lainnya, mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded

social security, yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada

masyarakat pekerja di sektor formal.

Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk

santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang

dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa

kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia.

Dari pengertian diatas jelaslah bahwa jaminan sosial tenaga kerja adalah merupakan

perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang ( jaminan kecelakaan

kerja, kematian, dan tabungan hari tua ), dan pelyanan kesehatan yakni jaminan pemeliharaan

kesehatan.

Jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam Undang Undang Nomor. 3 Tahun

1992 adalah :

Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhanhidup minimal bagi tenaga kerja

beserta keluarganya.
Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja mendidik kemandirian pekerja sehingga pekerja

tidak harus meminta belas kasihan orang lain jika dalam hubungan kerja terjadi resiko

resiko seperti kecelakaan kerja, sakit, hari tua dan lainnya.


1.4 Jenis Jenis Jaminan Sosial tenaga kerja
1.4.1 Jaminan Kecelakaan Kerja
Kecelakaan Kerja maupun penyakit akibat kerja maerupakan resiko yang dihadapi oleh

tenaga kerja yang melakukan pekerjaan. Untuk menanggulangi hilangnya sebagian atau

seluruh penghasilannya yang diakibatkan oleh kematian atau cacat karena kecelakaan kerja

baik fisik maupun mental, maka perlu adanya jaminan kecelakaan kerja.

1.4.2 Jaminan Kematian

Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja akan mengakibatkan

terputusnya penghasilan, dan sangat berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi bagi

keluarga yang ditinggalkan. Oleh karena itu, diperlukan jaminan kematian dalam upaya

meringankan beban keluarga baik dalam bentuk biaya pemakaman maupun santunan berupa

uang.

1.4.3 Jaminan hari Tua

Hari tua dapat mengkibatkan terputusnya upah karena tidak lagi mapu bekerja. Akibat

terputusnya upah tersebut dapat menimbulkan kerisauan bagi tenaga kerja dan mempengaruhi

ketenaga kerjaan sewaktu masih bekerja, teruma bagi mereka yang penghasilannya rendah.

Jaminan hari tua memberikan kepastian penerimaan yang dibayarkan sekaligus dan atau

berkala pada saat tenaga kerja mencapai usia 55 ( lima puluh lima ) tahun atau memnuhi

persyaratan tersebut.

1.4.4 Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

Pemeliharaan kesehatan dimaksudkan unutk meningkatkan produktivitas tenaga kerja

sehingga dapat melaksankan rugas sebaik-baiknya dan merupakan upaya kesehatan dibidang

penyembuhan ( kuratif ).

Oleh karena, upaya penyembuhan memerlukan dana yang tidak sedikit dan memberatkan

jika dibebankan kepada perorangan, maka sudah selayaknya diupayakan penggulangan

kemampuan masyarakat melalui program jaminan sosial tenaga kerja.


Disamping itu pengusaha tetap berkewajiban mengadakan pemeliharaan kesehatan tenaga

kerja yang meliputi upaya peningkatan (promotif), pencegahan (oreventif), penyembuhan

(kuratif), dan pemulihan (rehabilitatif).

1.5 Tujuan perlindungan terhadap tenaga kerja

Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk

menjamin hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesamaan

serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk

mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya dengan

tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha

dan kepentingan pengusaha. Peraturan perundang-undangan

yang terkait dengan perlindungan bagi pekerja adalah

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

dan Peraturan Pelaksana dari perundang-undangan di bidang

Ketenagakerjaan.

Permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia terkait

mengenai hubungan kerja tidak seimbang antara pengusaha

dengan buruh dalam pembuatan perjanjian kerja. Bukan hanya

tidak seimbang dalam membuat perjanjian, akan tetapi iklim


persaingan usaha yang makin ketat yang menyebabkan

perusahaan melakukan efisiensi biaya produksi (cost of

production).
Bab II

Perlindungan Hukum Tenaga Kerja

2.1 Perlindungan Pekerja Perempuan

Di dalam pelaksanaan perlindungan bagi tenaga kerja perempuan yang bekerja yaitu

Pasal 27 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah,

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 8. Per-04/Men/1989 tentang Syarat-syarat Kerja Malam

dan Tata Cara Mempekerjakan Pekerja Peremuan pada Malam Hari, dan Keputusan Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep. 224/Men/2003 Tentang

Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara pukul 23.00

sampai dengan Pukul 07.00. Semua peraturan tersebut secara jelas memberikan perlindungan

kepada perempuan. Di Indonesia, ketentuan tentang perempuan mempunyai hak yang sama

dengan laki-laki dalam bekerja telah diatur dalam Pasal 5 dan 6 UU No. 13 Tahun 2003.

Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

disebutkan bahwa,Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna

menghasilkan barang/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk

masyarakat.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan Pekerja Wanita adalah

Tenaga Kerja Wanita dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja dengan

menerima upah.

Aturan hukum untuk pekerja perempuan ada yang berbeda dengan pekerja laki-laki,

seperti cuti melahirkan, pelecehan seksual di tempat kerja, jam perlindungan dan lain-lain.

Pedoman Hukum Bagi Pekerja Wanita

Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja wanita berpedoman pada Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya Pasal 76, 81, 82, 83, 84,
Pasal 93, Kepmenaker No. 224 tahun 2003 serta Peraturan Perusahaan atau perjanjian kerja

bersama perusahaan yang meliputi:

Perlindungan Jam Kerja

Perlindungan dalam hal kerja malam bagi pekerja wanita (pukul 23.00 sampai pukul

07.00). Hal ini diatur pada pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan. Tetapi dalam hal ini ada pengecualiannya yaitu pengusaha yang

mempekerjakan wanita pada jam tersebut wajib:

Memberikan makanan dan minuman bergizi

Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja

Menyediakan antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara

pukul 23.00 05.00.

Tetapi pengecualian ini tidak berlaku bagi pekerja perempuan yang berumur di bawah 18

(delapan belas) tahun ataupun perempuan hamil yang berdasarkan keterangan dokter

berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya apabila bekerja antara pukul 23.00

07.00.

Dalam pelaksanaannya masih ada perusahaan yang tidak memberikan makanan dan

minuman bergizi tetapi diganti dengan uang padahal ketentuannya tidak boleh diganti dengan

uang.

Perlindungan dalam masa haid

Pada Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur

masalah perlindungan dalam masa haid. Perlindungan terhadap pekerja wanita yang dalam

masa haid tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid dengan upah

penuh. Dalam pelaksanaanya lebih banyak yang tidak menggunakan haknya dengan alasan

tidak mendapatkan premi hadir.

Perlindungan Selama Cuti Hamil


Sedangkan pada pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan mengatur masalah cuti hamil. Perlindungan cuti hamil bersalin selama 1,5

bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan dengan upah penuh.

Ternyata dalam pelaksanaannya masih ada perusahaan yang tidak membayar upah secara

penuh.

Pemberian Lokasi Menyusui

Pasal 83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur

masalah ibu yang sedang menyusui. Pemberian kesempatan pada pekerja wanita yang

anaknya masih menyusui untuk menyusui anaknya hanya efektif untuk yang lokasinya dekat

dengan perusahaan.

Peranan Penting Dinas tenaga Kerja

Peran Dinas Tenaga Kerja dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja

wanit yakni dengan melalui pengesahan dan pendaftaran PP & PKB Perusahaan pada Dinas

Tenaga Kerja, Sosialisasi Peraturan Perundangan di bidang ketenagakerjaan dan melakukan

pengawasan ke Perusahaan.

Hambatan-Hambatan Hukum Bagi Pekerja Wanita

Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap

pekerja wanita adalah adanya kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha yang kadang

menyimpang dari aturan yang berlaku, tidak adanya sanksi dari peraturan perundangan

terhadap pelanggaran yang terjadi, faktor pekerja sendiri yang tidak menggunakan haknya

dengan alasan ekonomi.

Agar langkah ini dapat efektif maka negara harus menjabarkannya dan mengusahakan

untuk memasukkan jabaran konvensi tersebut ke dalam rumusan undang-undang negara dan

menegakkannya dengan cara mengajukan para pelanggarnya ke muka sidang pengadilan.

Namun demikian, perempuan sendiri masih belum banyak yang sadar bahwa hak-haknya
dilindungi dan bahwa hal tersebut mempunyai pengaruh terhadap kehidupan perempuan.

Adalah sangat prematur untuk mengadakan bahwa CEDAW sudah dihormati dan

dilaksanakan secara universal.

CEDAW memerintahkan kepada seluruh negara di dunia untuk tidak melakukan

diskriminasi terhadap perempuan. Di dalam CEDAW ditentukan bahwa diskriminasi terhadap

perempuan adalah perlakuan yang berbeda berdasarkan gender yang:

Secara sengaja atau tidak sengaja merugikan perempuan;

Mencegah masyarakat secara keseluruhan memberi pengakuan terhadap hak perempuan baik

di dalam maupun di luar negeri; atau

Mencegah kaum perempuan menggunakan hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang

dimilikinya.

Perempuan mempunyai atas perlindungan yang khusus sesuai dengan fungsi

reproduksinya sebagaimana diatur pada pasal 11 ayat (1) CEDAW huruf f bahwa hak atas

perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja termasuk usaha perlindungan terhadap fungsi

reproduksi.

Selain itu seringkali adanya pemalsuan dokumen seperti nama, usia, alamat dan nama

majikan sering berbeda dengan yang tercantum di dalam paspor. Tenaga kerja yang tidak

berdokumen tidak diberikan dokumen perjanjian kerja. Hal ini juga sering terjadi pada

pekerja perempuan yang bekerja di luar negeri. Maka untuk itu CEDAW pada pasal 15 ayat

(3) mengatur yaitu negara-negara peserta bersepakat bahwa semua kontrak dan semua

dokumen yang mempunyai kekuatan hukum, yang ditujukan kepada pembatasan kecakapan

hukum para wanita, wajib dianggap batal dan tidak berlaku.

Perlindungan Pekerja Perempuan Berdasarkan Konvensi ILO


Konvensi ILO Nomor 45 tentang Kerja wanita dalam semua macam tambang di

bawah tanah. Isi Pasal 2 menyebutkan bahwa setiap wanita tanpa memandang umurnya tidak

boleh melakukan pekerjaan tambah di bawah tanah. Pengecualiannya terdapat pada pasal 3.

Dalam konvensi ILO Nomor 100 mengenai Pengupahan Bagi Laki-Laki dan Wanita

untuk Pekerjaan yang Sama nilainya menyebutkan, Pengupahan meliputi upah atau gaji

biasa, pokok atau minimum dan pendapatan-pendapatan tambahan apapun juga, yang harus

dibayar secara langsung atau tidak, maupun secara tunai atau dengan barang oleh pengusaha

dengan buruh berhubung dengan pekerjaan buruh.

Hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir pada

saat hubungan kerja putus. Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh diskriminasi

antara buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.

2.2 Perlindungan Pekerja Anak


Masalah pekerja anak atau tenaga kerja anak diatur di dalam ps.1 Undang-undang

No.25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), yang sekaligus

menetapkan batas usia anak yang diperbolehkan bekerja adalah 15 tahun, baik untuk anak

laki-laki maupun untuk anak perempuan. Tetapi menanggapi pertanyaan apakah peraturan

tersebut sudah memadai dan sejauhmana pelaksanaannya adalah jauh dari mudah, karena

sampai saat ini masalah pekerja anak masih menjadi kontroversi dalam isu tentang

perlindungan anak pada umumnya. Bisa dikatakan, masalah pekerja anak merupakan masalah

klasik dalam hal perlindungan anak.

Sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) dalam Keppres

No.36 Tahun 1990, maka ada baiknya kita merujuk pada KHA untuk semua masalah seputar

anak yang kita temui. Di dalam pasal 32 dari KHA, dinyatakan bahwa anak mempunyai hak

untuk dilindungi dari segala bentuk eksploitasi ekonomi dan dari setiap bentuk pekerjaan

yang berbahaya dan mengganggu pendidikannya, membahayakan kesehatannya atau

mengganggu perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial anak. Oleh karena itu
negara berkewajiban untuk menentukan batas usia minimum pekerja anak, mengatur jam dan

kondisi penempatan kerja, serta menetapkan sanksi dan menjatuhi hukuman kepada pihak-

pihak yang melanggar peraturan tersebut.

Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa Negara telah menunaikan core obligation-nya

melalui UU Ketenagakerjaan tersebut. Negara telah menetapkan batas usia minimum pekerja

anak, telah mengatur bahwa anak harus dihindarkan dari kondisi pekerjaan yang berbahaya,

dsb. Tetapi persoalan implementasi merupakan masalah yang sangat berbeda.

Ada tiga pendekatan dalam memandang masalah pekerja anak, yaitu penghapusan

(abolition), perlindungan (protection), dan pemberdayaan (empowerment). Pendekatan

abolisi mendasarkan pemikirannya pada bahwa setiap anak tidak boleh bekerja dalam kondisi

apapun, karena anak punya hak yang seluas-luasnya untuk bersekolah dan bermain, serta

mengembangkan dirinya seoptimal mungkin. Sementara pendekatan proteksi mendasarkan

pemikirannya pada jaminan terhadap hak sipil yaitu bahwa sebagai manusia dan sebagai

warga negara setiap anak punya hak untuk bekerja. Dan pendekatan pemberdayaan

sebenarnya merupakan lanjutan dari pendekatan proteksi, yang mengupayakan pemberdayaan

terhadap pekerja anak agar mereka dapat memahami dan mampu memperjuangkan hak-

haknya. Pada dasarnya ILO didukung beberapa negara termasuk Indonesia secara terus-

menerus mengupayakan pendekatan abolisi atau penghapusan terhadap segala bentuk pekerja

anak.

Kondisi-kondisi yang sangat merugikan seperti diupah dengan murah, rentan terhadap

eksploitasi, rentan terhadap kecelakaan kerja, rentan terhadap PHK yang semena-mena, serta

berpotensi untuk kehilangan akses dan kesempatan mengembangkan diri, menimbulkan

kewajiban baru bagi negara untuk memberikan perlindungan kepada anak yang terpaksa

bekerja, dan bahwa kepada anak yang bekerja harus diberikan perlindungan melalui peraturan
ketenagakerjaan agar mereka mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja sebagaimana orang

dewasa dan agar mereka terhindar dari segala bentuk eksploitasi dan penyalahgunaan.

Jadi sementara negara belum bisa sepenuhnya menghapus pekerja anak, setidaknya

negara dapat menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja anak, sebagai anak dan sebagai

pekerja, serta memberikan perlindungan bagi anak-anak yang terpaksa bekerja, melalui cara

memfasilitasi mereka dengan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan.

Tetapi seperti halnya berbagai peraturan lainnya, kendala utamanya adalah dalam hal

pelaksanaan. Dan sejauh mana Negara telah memberikan perlindungan terhadap pekerja

anak, masih perlu kita kaji lebih lanjut.

Adapun pasal-pasal yang menyebutkan tentang perlindungan pekerja anak yang

termuat dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, sebagai berikut:

a. Pengusaha dilarang mempekerjakan anak (Pasal 68), yaitu setiap orang yang berumur

dibawah 18 (delapan belas) tahun (Pasal 1 nomor 26).

b. Ketentuan tersebut dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 tahun sampai

15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dari

kesehatan fisik, mental dan sosial (Pasal 69 ayat( 1)).

c. Pengusaha yang memperkerjakan anak pada pekerjaan ringan tersebut harus memenuhi

persyaratan sebagai berikut:

- Ijin tertulis dari orang tua/wali.

- Perjanjian kerja antara orang tua dan pengusaha

- Waktu kerja maksimal 3 (tiga) jam

- Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah.

- Keselamatan dan kesehatan kerja

- Adanya hubungan kerja yang jelas

- Menerima upah sesuai ketentuan yang berlaku.


d. Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja

anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa (Pasal 72).

e. Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan

sebaliknya (Pasal 73).

f. Siapapun dilarang mempekerjakan anak pada pekerjaan yang buruk, tercantum dalam

Pasal 74 ayat (1). Yang dimaksud pekerjaan terburuk seperti dalam Pasal 74 ayat (2), yaitu :

- Segala pekerjaan dalam bentuk pembudakan atau sejenisnya.

- Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk

produksi dan perdagangan minuman keras,narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.

- Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau menawarkan anak untuk

pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, perjudian.

- Segala pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.


Bab III

Analisa

3.1 Perlindungan pekerja perempuan

Perlindungan tenaga kerja wanita Indonesia yang bekerja di luar negeri masih lemah.

Kondisi demikian tidak sebanding dengan antusiasme menjadi TKW. Berharap dapat

memperbaiki ekonomi keluarga serta berharap mendapatkan upah yang besar, banyak remaja

dan ibu rumah tangga memilih bekerja sebagai pembantu rumah tangga di negeri orang.

Untuk hal tersebut, maka kita perlu memberikan perlindungan tenaga kerja wanita.

Resiko besar menghadang, baik berupa siksaan, pemerkosaan sampai kehilangan nyawa.

Bahkan tidak jarang mereka bekerja bertahun-tahun tanpa upah dan pulang tanpa nyawa

bahkan menderita cacat seumur hidup.

Korban tenaga kerja wanita yang disiksa, dibunuh oleh majikan hampir selalu ada dan

disiarkan berulang di berbagai media. Pemerintah hampir selalu ikut turun tangan dan angkat

bicara. Namun ironisnya kejadian tersebut terulang dan TKW terlanjur menjadi korbannya.

Kekerasan, pelecehan dan perampasan hak TKW ternyata masih belum mampu

menjadikan Pemerintah memberikan perlindungan tenaga kerja wanita rasa aman dan

nyaman dalam bekerja. Pemerintah hanya mampu menjadi mediator sesaat dalam hal

perlindungan tenaga kerja wanita saat mereka bermasalah perindividu perkasus. Bukti

ketidak seriusan pemerintah dalam memberi perlindungan tenaga kerja wanita adalah

terjadinya kekerasan berulang pada TKW yang ada di luar negeri.

Pemerintah harus serius menangani masalah ini agar tidak berulang terjadi dan seakan

tidak mampu mengurai benang kusut masalah yang dihadapi TKW. Pemerintah melalui

Menlu dan Dubes serta Depnaker, Menkumham, hendaknya mau duduk bersama

merumuskan upaya payung hukum perlindungan tenaga kerja wanita yang akurat sebelum

menandatangani kerja sama dengan Negara lain untuk pengiriman TKW.


Selain itu memperbaiki sIstem dan penyiapan SDM yang akan menjadi TKW dirasa

sangat perlu. Selama ini para TKW yang berangkat sebagian besar adalah dari mereka yang

memiliki pendidikan dan ketrampilan yang pas-pasan. Sehingga tujuan bekerja adalah hanya

memasuki sektor non formal menjadi pembantu rumah tangga. Kemungkinan akan menjadi

lain jika para TKW yang ke luar negeri adalah mereka yang memiliki pendidikan dan

keahlian khusus. Upaya ini membantu mereka mampu bersaing dan dapat bekerja dalam

sektor formal yang memiliki payung hukum dan perlakuan jelas dan bekerja secara

profesional.

Kemudian membuat program pemberdayaan perempuan agar mereka dapat memiliki

kompeten yang dapat membantu meningatkan perekonomian keluarga. Jika para wanita yang

antusias menjadi TKW ini ada kegiatan yang mampu membantu akan lebih memilih

berwirausaha dan bekerja di dalam negeri karena dekat dengan keluarga dan jauh dari resiko

penyiksaan.

3.2 Perlindungan pekerja anak

Tingginya jumlah pekerja anak di Indonesia masih menjadi salah satu problem serius

yang harus ditangani secara komprehensif. Sebagaimana ditunjukkan oleh hasil Survei

Nasional Pekerja Anak oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan International Labour

Organization (ILO) tahun 2009, ada sekitar 4 juta anak Indonesia aktif secara ekonomi.

Sekitar 1,8 juta dari mereka masuk dalam kategori pekerja anak. Sementara itu, Komisi

Nasional Perlindungan Anak juga mencatat 11 juta anak usia 7-8 tahun tidak terdaftar sekolah

di 33 provinsi di Indonesia.

Tingginya jumlah pekerja anak ini membuat ILO menjadikan Indonesia sebagai

negara yang menjadi target utama dalam Program Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan

Terburuk untuk Anak atau International Programme on The Elimination of Child Labour

(IPEC). Terhitung sejak 1992 hingga sekarang, pemerintah Indonesia bersama sejumlah pihak
terkait baik di tingkat pusat maupun daerah terus mengupayakan mengurangi jumlah pekerja

anak secara signifikan terutama pada sejumlah jenis pekerjaan yang dikategorikan sebagai

pekerjaan berbahaya bagi anak. Sejumlah pekerjaan berbahaya itu antara lain pelacuran,

pertambangan, penyelam mutiara, sektor konstruksi, jermal, pemulung sampah, pekerjaan

dengan proses produksi menggunakan bahan peledak, bekerja di jalan dan pembantu rumah

tangga.

Komitmen Pemerintah Indonesia termasuk negara yang memiliki komitmen besar

untuk menanggulangi masalah pekerja anak. Salah satunya ditandai dengan keikutsertaan

Indonesia dalam program IPEC ILO sejak dua dekade lalu. Indonesia juga turut meratifikasi

Konvensi ILO tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (No. 182) dan Konvensi

ILO mengenai usia minimum memasuki dunia kerja (No. 138). Dengan meratifikasi konvensi

tersebut, Indonesia mempertegas komitmennya untuk mengambil tindakan dengan segera dan

efektif untuk melarang dan menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

Sebagai tindak lanjut dari ratifikasi tersebut, Pemerintah juga mengembangkan

Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak yang disahkan

melalui Keputusan Presiden No. 59 tahun 2002. Rencana Aksi ini mengidentifikasikan

bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan menargetkan Indonesia akan bebas pekerja

anak pada tahun 2016. Untuk mengakselerasi tujuan ini, pemerintah menjalin kemitraan yang

strategis mulai dari pemerintah daerah, pihak swasta, lembaga swadaya masyarakat hingga

berbagai organisasi internasional. Beberapa pemerintah daerah bahkan dengan tegas

memproklamirkan daerahnya sebagai Zona Bebas Tenaga Kerja Anak (ZBTA).

Sejumlah upaya di atas mulai menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan.

Berdasarkan data ILO, telah terjadi penurunan jumlah pekerja anak yang cukup signifikan di

Indonesia. Jika pada tahun 1996 terdapat sekitar 2,5 juta pekerja anak, jumlah ini terus
mengalami penurunan sekitar 3,4 persen setiap tahunnya hingga menjadi 1,5 juta orang pada

2010.

Peningkatan partisipasi di sekolah juga dinilai telah berhasil membantu mengurangi

jumlah pekerja anak secara signifikan. Meski demikian, upaya untuk mewujudkan Indonesia

bebas pekerja anak pada tahun 2016 nanti masih sangat panjang. Tingginya angka

kemiskinan, kurangnya akses pendidikan, persepsi keluarga tentang pendidikan serta

dinamika permintaan akan tenaga kerja dinilai masih akan menjadi hambatan penghapusan

pekerja anak secara total.

Menuntaskan akar masalah meski bukan satu-satunya faktor, tingginya angka

kemiskinan seringkali dianggap sebagai salah satu faktor pendorong utama tingginya jumlah

pekerja anak di Indonesia. Di mana, salah satu dampak kemiskinan yang utama adalah

diabaikannya hak-hak anak, yang dengan segera memunculkan pekerja anak.

Karena itu, selain melakukan penarikan dan pencegahan anak secara langsung dari

dunia kerja, pendekatan ekonomi kini turut menjadi salah satu strategi utama dalam

menanggulangi masalah pekerja anak. Salah satu yang menjadi prioritas adalah program

pengentasan kemiskinan para orang tua. Karena kemiskinan orang tua bisa menjadi sumber

utama munculnya pekerja anak. Kemiskinan yang terus berlanjut juga bisa membuat siklus

pekerja anak terus mengalami regenerasi.

Dalam kasus pekerja anak, banyak di antara buruh anak yang ditemukan sekarang

merupakan anak dari orang tua yang dulunya juga buruh anak. Mereka tidak punya banyak

pilihan selain terus menjadi buruh dan ini bisa berlangsung hingga generasi berikutnya.

Kemiskinan juga membuat banyak orang tua dan anak tidak memiliki pemahaman dan akses

yang cukup pada pendidikan. Kondisi ini terkadang masih diperparah oleh budaya sebagian

masyarakat yang menganggap bekerja lebih menguntungkan daripada menuntut ilmu di

sekolah.
Untuk memutus lingkaran setan ini, sejumlah upaya pemberdayaan ekonomi keluarga

miskin terus digalakkan. Salah satunya melalui kredit mikro atau microfinance. Lembaga ini

sering dipandang sebagai salah satu obat yang mujarab untuk mengentaskan kemiskinan. Ia

tidak hanya memberi akses modal bagi masyarakat miskin yang tidak tersentuh akses

permodalan dari lembaga keuangan namun juga sekaligus bisa berfungsi sebagai sarana

pemberdayaan bagi masyarakat miskin. Meski demikian, kredit mikro bukan merupakan satu-

satunya penyelesaian, sehingga harus disinergiskan dengan program lain yang relevan.
Bab IV

Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

(BNP2TKI)

4.1 Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI)

Sebuah Lembaga Pemerintah Non Departemen di Indonesia yang mempunyai fungsi

pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindunganTenaga Kerja Indonesia di

luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Peraturan

PresidenNomor 81 Tahun 2006. Sekarang BNP2TKI diketuai oleh Nusron Wahid yang

dilantik pada 27 November 2014.

Tugas pokok BNP2TKI adalah:

melakukan penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan

Pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan hukum di negara tujuan

penempatan;

memberikan pelayanan, mengkoordinasikan, dan melakukan pengawasan mengenai:

dokumen; pembekalan akhir pemberangkatan (PAP); penyelesaian masalah; sumber-sumber

pembiayaan; pemberangkatan sampai pemulangan; peningkatan kualitas calon TKI;

informasi; kualitas pelaksana penempatan TKI; dan peningkatan kesejahteraan TKI dan

keluarganya.
Bab V

SIMPULAN dan SARAN

4.1 SIMPULAN
Setelah penulis melakukan analisis tentang perlindungan tenaga kerja, penulis

menyimpulkan bahwa perlindungan tenaga kerja Indonesia masih lemah. Masih banyak

kejadian yang menyebab tenaga kerja kerja Indonesia kehilangan hak-hak dasar sebagai

pekerja. Selain itu, permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia

terkait mengenai hubungan kerja tidak seimbang antara

pengusaha dengan buruh dalam pembuatan perjanjian kerja.

Bukan hanya tidak seimbang dalam membuat perjanjian, akan

tetapi iklim persaingan usaha yang makin ketat yang

menyebabkan perusahaan melakukan efisiensi biaya produksi

(cost of production).

4.2 SARAN
Adapun saran penulisan makalah ini sebagai berikut :

Mengingat masih banyak perusahaan dalam hal ini pengusaha meskipun sudah

mengetahui peraturan yang berlaku tetapi tidak melaksanakannya sebagaimana mestinya,

perlu dikenakan sanksi bagi pengusaha yang tidak melaksanakan peraturan tersebut oleh

pihak yang berwenang demi tercapainya hubungan industrial, adanya saling membutuhkan

antara pihak pengusaha dan tenaga kerja khususnya tenaga kerja wanita dan anak-anak.

Selain itu pemerintah harus meningkatkan pengawasannya terhadap pengusaha yang

mempekerjakan pekerja wanita dan anak-anak apakah sudah mentaati peraturan yang ada
atau belum. Dan peran aktif kesadaran pekerja wanita atau anak-anak sendiri serta

perusahaan juga sangat diperlukan.


DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.bnp2tki.go.id/

2.

http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Nasional_Penempatan_dan_Perlindungan_Tenaga_Kerja

_Indonesia

3. http://www.hukumtenagakerja.com/penempatan-dan-perlindungan-tenaga-kerja-indonesia-di-

luar-negeri/

4. https://m2.facebook.com/notes/universitas-borobudur-jakarta/undang-undang-jaminan-dan-

jenis-perlindungan-tenaga-kerja/546860785327961/?_rdr

5.

http://www.academia.edu/3167925/PERLINDUNGAN_HUKUM_TERHADAP_TENAGA_

KERJA_INDONESIA_DI_LUAR_NEGERI

6. http://www.hukumtenagakerja.com/tag/perlindungan-hukum/

7. https://artikelarunalshukum.wordpress.com/2013/07/25/apa-tujuan-perlindungan-terhadap-

tenaga-kerja/

8. http://www.lutfichakim.com/2012/08/perlindungan-hukum-tenaga-kerja.html

9. http://hukum.unsrat.ac.id/naker/naker.htm

10. http://www.kajianpustaka.com/2013/04/perlindungan-hukum-terhadap-pekerja.html

Anda mungkin juga menyukai