Anda di halaman 1dari 89

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

ISBN 978-979-1295-27-7

Centre for Strategic and International Studies, Jakarta, 2016

Didukung oleh:

Penulis:
Tim CSIS
Yose Rizal Damuri
Haryo Aswichayono
Ira Setiati
David Christian
Adinova Fauri

Desain Layout & Cover:


Lucynda Gunadi (99a.biz)

Percetakan:
PT Kanisius, Yogyakarta
PETA
JALAN
PENGARUSUTAMAAN
PERSAINGAN
USAHA

Menuju Kebijakan Ekonomi


yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 3


Daftar Isi

Daftar Isi 4

Daftar Gambar 7

Daftar Tabel, Box dan Singkatan 8

Kata Pengantar 9
Pengarusutamaan Persaingan Usaha yang Sehat

BAB 1 Pendahuluan 13

BAB 2 LATAR BELAKANG KONDISI: PRINSIP PERSAINGAN 16


USAHA DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA
2.1. Hukum Persaingan dan KPPU di Indonesia 19
2.2. Potret Terkini Persaingan Usaha di Indonesia 21
2.2.1. Persaingan Usaha dalam Sektor Industri Pengolahan 21
2.2.2. Persaingan Usaha di Sektor Jasa 24

BAB 3 SYARAT PERLU PENGARUSUTAMAAN PPU: 27


MEKANISME TINJAUAN REGULASI
3.1. Kebijakan, Regulasi dan Persaingan Usaha dalam Ekonomi 28
3.2. Sekilas Mengenai Proses Perbaikan Kualitas Regulasi 31
3.3. Kondisi Regulasi di Indonesia dan Persaingan Usaha 33
3.3.1 Kondisi Umum Regulasi di Indonesia 33
3.3.2. Pengaruh Regulasi Terhadap Persaingan Usaha 36
di Indonesia: Contoh-contoh Kasus
3.4. Inisiatif Dalam Perbaikan Kualitas Regulasi di Indonesia 42

4 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 4 GAMBARAN UMUM PETA JALAN 46
4.1. Tujuan dari Peta Jalan 46
4.2. Sistematika Pemikiran Peta Jalan 46
4.3. Tahapan-Tahapan dalam Peta Jalan 49
4.4. Sekilas tentang Prinsip Persaingan Usaha (PPU) 50
4.5. Tantangan Kunci 51
4.6. Aspek Penting dalam Peta Jalan 52
4.6.1. Aspek Kelembagaan 52
4.6.2. Aspek Konsultasi & Koordinasi 53
4.6.3. Aspek Hukum & Perundangan 53

BAB 5 ASPEK KELEMBAGAAN 55


5.1. Forum Diskusi Persaingan Usaha 55
5.2. Pembentukan/Penunjukkan Lembaga Peninjauan Regulasi (LPR) 58
5.3. Daftar Periksa Persaingan Usaha dalam Proses Peninjauan 60
Regulasi
5.4. Penyusunan Petunjuk Pelaksanaan Integrasi PPU dalam 63
Penyusunan atau Peninjauan Regulasi
5.5. Pembentukan Basis Data Regulasi Ekonomi dan Kaitannya 64
dengan Persaingan Usaha
5.6. Pembangunan Kapasitas dan Sosialisasi Proses Peninjauan 65
Regulasi kepada K/L/P
5.7. Penentuan Indikator Kinerja 65
5.8. Monitoring dan Evaluasi 65

BAB 6 ASPEK KONSULTASI & KOORDINASI 68


6.1. Daftar Pemangku Kepentingan untuk Pengarusutamaan PPU 68
serta Posisi dan Peran Masing-Masing (Stakeholders Mapping)
6.2. Mekanisme Konsultasi dan Koordinasi Penerapan PPU dalam 70
Peninjauan Regulasi
6.3. Mekanisme Konsultasi dan Koordinasi dengan Legislatif/DPR 73
6.4. Mekanisme Pelaporan Kegiatan kepada Presiden 73

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 5


Bab 7: ASPEK HUKUM DAN PERUNDANGAN 76
7.1 Revisi UU No 5 tahun 1999 76
7.2 Dasar Hukum Proses Peninjauan Regulasi 77
7.3 Dokumen Persetujuan Prinsip Persaingan Usaha 78
7.4 Perpres Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 80

Bab 8: PENUTUP/KERANGKA IMPLEMENTASI 83

Daftar Referensi 88

6 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


Daftar Gambar
Gambar 2.1. 26
Indeks Restriksi Perdagangan Jasa Indonesia Menurut OECD (2014)

Gambar 4.1. 48
Sistematika Pemikiran Peta Jalan Pengarusutamaan PPU

Gambar 4.2. 49
Rangkuman Tahapan dalam Peta Jalan Pengarusutamaan PPU

Gambar 4.3. 50
Output Masing-Masing Tahap dalam Peta Jalan Pengarusutamaan PPU

Gambar 5.1. 56
Alur Pemikiran Pembentukan Forum Diskusi Persaingan Usaha

Gambar 5.2. 60
Mekanisme Hubungan Kelembagaan Kunci dalam Proses Peninjauan
Regulasi

Gambar 5.3. 67
Kerangka Waktu Aktivitas Pengarusutamaan PPU pada Aspek
Kelembagaan

Gambar 6.1. 69
Pemetaan Pemangku Kepentingan dalam Pengarusutamaan PPU

Gambar 6.2. 71
Proses Penyusunan Regulasi Baru & Penerapan PPU di Dalamnya

Gambar 6.3. 75
Kerangka Waktu Pengarusutamaan PPU pada Aspek Konsultasi
dan Koordinasi

Gambar 7.1. 82
Kerangka Waktu Pengarusutamaan PPU pada Aspek Hukum
dan Perundangan

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 7


Daftar Tabel,
Box dan Singkatan
Tabel 2.1. 22
Gambaran Pangsa Pasar Industri Manufaktur Indonesia, 1997-2012

Tabel 2.2. 23
Perbandingan Unadjusted & Adjusted CR4, 1985-2012

Tabel 3.1. 34
Regulasi Perundangan di Indonesia 16

Tabel 3.2. 36
Indikator Kualitas Regulasi Indonesia

Box 4.1. 51
Sejumlah Prinsip Persaingan Usaha (PPU) Menurut PECC

Box 5.1. 57
Contoh Forum Diskusi Sejenis di Sektor Lain

Box 5.2. 62
Instrumen Daftar Periksa Persaingan Usaha dari KPPU

K/L Kementerian/Lembaga
K/L/P Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah
KPPU Komisi Pengawas Persaingan Usaha
LPR Lembaga Peninjauan Regulasi
PPU Prinsip Persaingan Usaha

8 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


Kata Pengantar
Pengarusutamaan
Persaingan Usaha
yang Sehat

P
erekonomian nasional menghadapi situasi
ekternal yang sulit. Perekonomian global mengalami proses
pemulihan yang lamban ditandai oleh penurunan permintaan
terhadap komoditas Sumber Daya Alam (SDA). Harga komoditas
pertambangan, perkebunan, perikanan dan pertanian menurun drastis.
Era commodity booming sudah berakhir. Pertumbuhan ekonomi nasional
yang dalam 10 tahun terakhir ditopang oleh ekspor komoditas SDA
mengalami pelambatan. Perekonomian nasional membutuhkan sumber
pendorong pertumbuhan ekonomi yang baru sehingga lebih berkelanjutan
dalam jangka panjang.
Productivity growth sebagai new source of growth. Pengalaman beberapa
negara, khususnya Korea yang mencapai status sebagai negara maju dengan
pendapatan per kapita lebih besar US$ 12.750,- pada tahun 2000 karena
ditopang oleh productivity growth yang tinggi. Demikian juga China yang
tumbuh sekitar 10 persen dalam beberapa dekade terakhir karena ditopang
oleh pertumbuhan produktifitas (total factor productivity growth).
Pengalaman internasional menunjukkan bahwa pertumbuhan
produktifitas sebagai sumber pertumbuhan ekonomi tinggi yang
berkelanjutan karena sejak awal mengadopsi kebijakan dan hukum
persaingan. Pemerintah Jepang dalam beberapa dekade sebelumnya
melakukan mainstreaming prinsip persaingan ke dalam proses pengambilan
kebijakan publiknya.
Sementara perekonomian Indonesia baru sekitar 15 tahun mengadopsi

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 9


kebijakan dan hukum persaingan melalui Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. Dimana Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjadi komisi
independen pertama yang didirikan paska reformasi 1997/1998.
Tantangan terbesar yang dihadapi KPPU dalam hal advokasi
kebijakan, memberikan saran dan pertimbangan kepada pemeritah adalah
meningkatkan pemahaman pengambil kebijakan tentang pentingnya
menginternalisasi nilai-nilai dan prinsip persaingan usaha yang sehat dalam
proses pengambilan kebijakan publik.
Perlu konsensus nasional bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi dan
berkelanjutan dapat dicapai melalui pertumbuhan produktifitas. Dimana
pertumbuhan produktifitas yang tinggi sebagai hasil dari persaingan usaha
sehat melalui tiga jalur, yaitu: persaingan usaha membuat more efficient use of
resources, more market entry and exit, more innovation and R&D.
Sehingga, perlu kesadaran bersama bahwa mainstreaming competition
policy and law dalam keseluruhan proses pengambilan kebijakan menjadi
kata kunci untuk menjawab isu-isu nasional, seperti ketimpangan antar
pendapatan per kapita yang semakin lebar dengan konsentrasi kepemilikan
hanya pada satu persen kelompok terkaya.
Tidak hanya itu, perlu membangun kesadaran bersama pengambil
kebijakan di semua level, mulai dari pemerintah pusat hingga ke pemerintah
kabupaten/kota bahwa persaingan usaha yang sehat merupakan kata kunci
untuk menjawab persoalan yang terkait dengan middle income trap ( jebakan
negara berpendapatan menengah).
Mainstreaming nilai-nilai dan prinsip persaingan usaha yang sehat ke
dalam proses pengambilan kebijakan bukan pekerjaan mudah. Hal ini dapat
diamati dalam 15 tahun pengalaman KPPU menangani perkara-perkara
kartel yang semuanya bersumber dari kebijakan pemerintah yang tidak pro
persaingan sehat.
Namun demikian, capaian KPPU dalam lima belas tahun sangat
menggembirakan. Pertumbuhan beberapa sektor mengalami proses
akselerasi, seperti sektor transportasi udara dan sektor telekomunikasi.
Sejak KPPU mendorong dibukanya pasar industri penerbangan nasional
telah melipatgandakan jumlah operator penerbangan dan pembeli tiket
pesawat hingga mencapai sekitar 70 juta pada tahun 2015.

10 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


Implikasi positif dari mainstreaming nilai-nilai dan prinsip persaingan
usaha sehat di industri penerbangan dapat diamati pada penigkatan efisiensi
industrinya dan lahirnya pelaku usaha baru (new entrants) yang mampu
bersaing dalam pasar regional ASEAN.
Ekspansi Lion Air ke Malaysia dan Thailand, serta terpilihnya Garuda
sebagai maskapai terbaik di dunia menjadi bukti bahwa implementasi
persaingan usaha yang sehat akan melahirkan pelaku usaha yang kompetitif
dan siap bersaing secara internasional.
Tantangan KPPU ke depan dalam mainstreaming kebijakan dan hukum
persaingan adalah masih banyaknya regulasi yang substansinya bertentangan
dengan UU No. 5 tahun 1999. Dimana hingga tahun 2015 tidak kurang dari
159 saran dan pertimbangan telah disampaikan KPPU kepada Pemerintah
dengan beragam hasil implementasinya.
Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan Pemerintah masih banyak yang
bertentangan dengan UU No. 5 tahun 1999. Hal ini menunjukkan bahwa
nilai-nilai persaingan usaha yang sehat, belum sepenuhnya dipahami dan
diakomodasi dalam kebijakan Pemerintah di berbagai sektor ekonomi.
Mainstreaming kebijakan dan hukum persaingan dalam setiap kebijakan
ekonomi terus dilakukan melalui forum harmonisasi kebijakan dan diskusi
yang intensif dengan Pemerintah. Hasilnya, persaingan usaha yang sehat
telah menjadi salah satu pilar mencapai daya saing nasional yang dinyatakan
secara formal di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN).
Langkah ke depan yang dapat dilakukan KPPU adalah mendorong
reformasi pasar (market reform) dengan fokus ada tiga agenda, yaitu:
regulatory review untuk merubah seluruh UU, perpres, permen, pergub,
perbup/perwali, dan perda agar sejalan dengan prinsip-prinsippersaingan
sehat, market structre reform dengan mendorong lahirnya pelaku
usaha baru di setiap sektor strategis, dan perubahan perilaku melalui
revolusi mental.
Sejalan dengan itu, KPPU memandang penting sebuah kajian
komprehensif tentang Peta Jalan Pengarusutamaan Prinsip Persaingan
Usaha dalam Penyusunan Kebijakan dan Regulasi Sektor Ekonomi
di Indonesia yang dilakukan oleh Centre For Strategic and International
Studies (CSIS).

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 11


Atas nama KPPU, saya mengucapkan selamat atas terbitnya buku hasil
kajian tentang peta jalan prinsip persaingan usaha dalam Penyusunan
Kebijakan dan Regulasi Sektor Ekonomi di Indonesia. Semoga hasil
kajian ini dapat membawa manfaat kepada seluruh stakeholder,
khususnya Pemerintah yang memiliki kewenangan dalam pengaturan
kebijakan persaingan.
No Competition, No Growth.

Jakarta, 10 Maret 2016


Muhammad Syarkawi Rauf

12 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 1: Pendahuluan

BAB 1
Pendahuluan

I
klim usaha berbasis kompetisi yang adil diperlukan
perekonomian untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi,
baik untuk kepentingan alokasi sumber daya maupun distribusi
hasil aktifitas perekonomian. Ini menjadi salah satu aspek penting
mengingat penerapan prinsip persaingan usaha dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan menciptakan harga yang lebih kompetitif
di pasaran, dan meningkatkan investasi sehingga dapat menciptakan
lebih banyak lapangan kerja. Kondisi perekonomian yang berbasis pro-
kompetisi dapat dicapai dengan dua mekanisme; implementasi dari
hukum persaingan usaha, dan pengarusutamaan prinsip persaingan
usaha ke dalam setiap kebijakan dan regulasi ekonomi. Meskipun hukum
persaingan usaha sudah dinilai cukup berhasil dalam satu dekade terakhir,
namun penegakan hukum persaingan usaha masih terbatas atau berbasis
pada perilaku persaingan tidak sehat yang terjadi. Prinsip persaingan
usaha (PPU) masih belum menjadi komponen utama dalam pembuatan
kebijakan dan regulasi ekonomi.
Pengarusutamaan prinsip persaingan usaha merupakan strategi untuk
mengintegrasikan PPU yang adil dalam pembangunan. Pengintegrasian
tersebut dimulai dari proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan,
serta pemantauan dan evaluasi seluruh regulasi, kebijakan, dan program
pembangunan. Pengarusutamaan prinsip persaingan usaha ditujukan
untuk mewujudkan iklim usaha yang lebih kompetitif, yaitu dunia usaha

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 13


yang lebih adil terhadap para pelaku usaha, baik perusahaan negara, swasta,
maupun perusahaan asing. Iklim usaha yang lebih kompetitif dapat dicapai
dengan memberikan kesempatan yang sama, dari sisi regulasi maupun
infrastruktur dan pelayanan publik, terhadap pelaku usaha, serta mengurangi
hak ekslusif (privileged) yang bisa didapatkan oleh beberapa pemain.
Selain itu pengarusutamaan prinsip persaingan usaha menjadi suatu langkah
pencegahan dari regulasi-regulasi maupun kebijakan yang anti-kompetitif.
Dalam pengulasan reformasi regulasi OECD (2012) untuk Indonesia
perihal kebijakan kompetisi, terdapat tiga poin utama yang dapat dilakukan
untuk mendorong pengintegrasian PPU dalam kebijakan dan regulasi
ekonomi. Aspek pertama adalah melakukan advokasi dan edukasi mengenai
pentingnya persaingan usaha kepada seluruh stakeholder terkait, terutama
terhadap pemerintah yang memiliki tanggungjawab akan pengambilan
kebijakan. Kedua, peningkatan kapasitas dan pengaruh dari KPPU sebagai
focal point untuk melakukan peninjauan atau pengulasan keberadaan prinsip
kompetisi dalam regulasi atau kebijakan ekonomi. Ketiga, peningkatan
koordinasi antar lembaga pemerintah yang berurusan dengan aspek yang
berpotensi anti-kompetitif dari regulasi yang akan dibuat maupun yang
sudah ada.
Untuk melakukan pengarusutamaan PPU ke dalam setiap regulasi
maupun kebijakan ekonomi, diperlukan Peta Jalan atau strategi untuk dapat
menjalankan tiga aspek yang diusulkan tersebut secara efektif dan terarah.
Peta Jalan ini dibuat sebagai petunjuk langkah-langkah pengarusutamaan
PPU dengan mempertimbangkan hal-hal yang menjadi prioritas, serta situasi
saat ini untuk menjadi langkah awal strategi pengarusutamaan. Selain itu
perlu juga dipertimbangkan aspek yang bersifat teknis seperti kelembagaan
dan rencana aksi. Salah satu tujuan dibentuknya Peta Jalan ini adalah untuk
mengelaborasi beberapa rencana aksi dalam rangka untuk menunjang iklim
kompetisi di tengah kondisi saat ini beserta tantangannya.
Dokumen ini merupakan Peta Jalan pengarusutamaan prinsip
persaingan usaha yang ditawarkan oleh CSIS. Peta Jalan ini merupakan
hasil pemikiran dan konsultasi yang dilakukan dengan berbagai pemangku
kepentingan. Ini dibentuk berdasarkan berbagai inisiatif yang sekarang ini
sedang dijalankan atau dimulai dalam kerangka perbaikan regulasi. Salah
satu aspek penting dalam strategi pengarusutamaan PPU dalam kebijakan

14 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 1: Pendahuluan

dan regulasi ekonomi adalah memasukan PPU dan mekanisme peninjauan


persaingan usaha dalam kerangka perbaikan regulasi nasional, terutama
dalam proses peninjauan regulasi yang dijalankan secara sistematis.
Bagian berikutnya dalam dokumen Peta Jalan ini akan membahas
mengenai pentingnya prinsip persaingan usaha dan kondisi persaingan
usaha di Indonesia. Bagian ketiga akan mengulas terlebih dahulu syarat perlu
adanya mekanisme dan proses peninjauan regulasi agar kebijakan kompetisi
di Indonesia berjalan efektif. Bagian keempat dari paper ini akan mengulas
gambaran dari peta jalan pengarusutamaan prinsip persaingan usaha yang
akan ditawarkan, dari mulai tujuan di setiap tahapan beserta tantangannya
dan pemangku kepentingan yang terlibat. Berikutnya akan diikuti dengan
penjelasan lebih mendalam dan hal-hal penting yang perlu diberikan catatan
lebih lanjut atau digarisbawahi dalam setiap aspek-aspek peta jalan, meliputi
aspek kelembagaan, koordinasi, serta peraturan perundangan. Bagian akhir
dari paper ini akan menutup pembahasan dengan memberikan kesimpulan
serta berbagai hal yang patut diperhatikan dalam implementasi strategi
pengarusutamaan PPU ke dalam setiap regulasi dan kebijakan ekonomi.

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 15


BAB 2
Latar Belakang Kondisi:
Prinsip Persaingan
Usaha dan Penerapannya
di Indonesia

P
enerapan prinsip persaingan dalam perekonomian
sangat penting karena perannya yang sentral dalam mendorong
efisiensi dan produktivitas. Dalam situasi perekonomian yang
menerapkan prinsip persaingan, terdapat banyak perusahaan
dalam setiap industri. Perusahaan-perusahaan ini harus berproduksi
secara efisien (dengan biaya minimum) untuk bisa bertahan dan mereka
yang tidak efisien harus keluar dari pasar. Perusahaan juga harus aktif
melakukan inovasi produk maupun metode produksi agar bertahan
menghadapi persaingan. Pada gilirannya, tingkat harga yang terbentuk
di pasarpun semakin mencerminkan biaya minimum sehingga semakin
dapat terjangkau oleh masyarakat dalam perekonomian. Dimensi sosial
prinsip persaingan ini mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat
lewat pembentukan harga yang lebih rendah dan peningkatan daya
beli konsumen.
Studi kepustakaan mencatat hubungan positif yang riil antara
meningkatnya persaingan usaha dan pertumbuhan ekonomi, produktivitas,

16 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


investasi dan kenaikan tingkat hidup rata-rata (OECD Survey by Dutz
and Hayri, 2002). Sayangnya, data empiris terkait hubungan antara
perkembangan persaingan usaha dengan pertumbuhan ekonomi belum
banyak tersedia karena kebanyakan negara (berkembang) baru mempunyai
peraturan persaingan usaha pada tahun 1990an dan mayoritas negara-
negara tersebut menerapkan prinsip persaingan usaha bersama dengan
berbagai perubahan kebijakan yang signifikan seperti privatisasi, deregulasi
dan liberalisasi perdagangan. Karena itu, sulit untuk menyakinkan publik
bahwa prinsip persaingan usaha mutlak diperlukan tanpa memisahkannya
dengan efek kebijakan lain seperti disebutkan di atas. Selain itu, hadirnya lobi-
lobi kelompok-kelompok yang berkepentingan memproteksi sektor-sektor
ataupun perusahaan tertentu dalam sektor-sektor seperti pertanian, utilitas
publik dan UKM) ikut menjadi faktor yang menyebabkan tidak populernya
prinsip persaingan usaha dalam kebijakan ekonomi suatu negara.
Selain itu, kebijakan persaingan usaha yang menekankan pentingnya
eksistensi persaingan antara para pelaku pasar bagi pembentukan tingkat
harga yang efisien dan mendorong inovasi selalu dibentrokkan dengan
peran pemerintah dalam penentuan harga. Seringkali, pemerintahan
di suatu negara menganggap kebijakan persaingan usaha merestriksi
peran pemerintah sehingga cenderung tidak menempatkan prinsip
persaingan usaha sebagai salah satu pilar fundamental untuk meningkatkan
kesejahteraan penduduk.
Sebenarnya, peran regulasi/pemerintah maupun penerapan prinsip
persaingan tidak bertentangan. Keduanya bahkan memilik tujuan yang
sama yakni efisiensi, produktivitas dan kesejahteraan masyarakat. Prinsip
persaingan bukan mempermasalahkan struktur dan ukuran pasar.
Peningkatan konsentrasi industri akibat merger tidak selalu berarti buruk
bagi persaingan. Demikian pula, tidak semua monopoli selalu berarti tidak
efisien. Dalam beberapa kasus seperti monopoli natural ataupun merger
dan akuisisi, justru dibutuhkan peraturan. Contohnya pada kasus-kasus di
bawah ini:
Terjadinya Kegagalan Pasar
Kegagalan pasar biasanya didefinisikan sebagai ketidakmampuan
pasar untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa
kepada konsumen secara efisien. Dalam situasi seperti ini, pemerintah

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 17


berperan mengeluarkan aturan untuk mengembalikan efisiensi.
=> Contoh klasik kegagalan pasar terjadi dalam penyediaan barang
publik seperti jalan raya, penerangan jalan, taman, sekolah publik
dan lainnya. Kesulitan menentukan harga yang harusnya dibayar
oleh pengguna barang publik terutama disebabkan karena biaya
untuk menambah satu orang pengguna pada dasarnya nol.
=> Selain itu, kegagalan pasar juga terjadi dalam kasus monopoli
alamiah. Kasus monopoli alamiah muncul apabila satu perusahaan
dapat memproduksi seluruh output dalam industri/pasar yang
bersangkutan dengan biaya lebih murah (biasanya disebabkan
adanya skala ekonomis) dibandingkan jika diproduksi oleh dua
atau lebih perusahaan. Apabila persaingan usaha diperbolehkan
dalam industri/pasar seperti ini, justru muncul ketidakefisienan
dalam produksi. Namun apabila tidak ada persaingan usaha,
perusahaan memiliki insentif mengeksploitasi posisi monopolinya
dengan membatasi output dan menetapkan harga jauh lebih mahal
daripada biaya yang dikeluarkannya.
=> Kegagalan pasar juga bisa terjadi akibat adanya eksternalitas (positif
ataupun negatif ) dimana sinyal harga pasar tidak mencerminkan
nilai sesungguhnya dari suatu kegiatan. Contohnya adalah polusi
yang menyebabkan eksternalitas negatif ataupun imunisasi yang
mengakibatkan eksternalitas positif.
=> Informasi yang asimetris juga mengakibatkan kegagalan pasar
karena menyebabkan tingkat konsumsi berlebihan atau kurang
dari yang seharusnya. Contoh yang paling sering terjadi dalam
kasus ini adalah informasi asimetrik dalam hubungan dokter-
pasien. Pasien biasanya tidak mengetahui apakah pelayanan dokter
sudah memenuhi standar yang seharusnya karena ketidaktahuan
pasien mengenai kondisi kesehatannya. Peraturan yang biasanya
dikeluarkan untuk mengatasi asimetri informasi adalah peraturan
perlindungan konsumen termasuk product labelling, standar
kompetensi profesi dan lain-lain
Adanya kepentingan publik lain yang dianggap lebih penting seperti
misalnya pemerataan sosial. Selain itu, ada pula beberapa tujuan
lain berdasarkan kebutuhan masyarakat seperti misalnya menjaga

18 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 2: Latar Belakang Kondisi

kepercayaan konsumen dalam industri perbankan (prudential goals)


dan menjaga keselamatan konsumen dalam industri transportasi
(udara, darat ataupun laut).
Reformasi regulasi perlu difasilitasi untuk memastikan manfaat
deregulasi diperoleh dalam waktu singkat, tanpa gangguan berarti
terhadap konsumen. Saat deregulasi dilakukan, otoritas perlu
menjaga keseimbangan antara pelaku yang baru masuk dalam
industri dan pelaku inkumben yang sebelumnya memiliki kekuatan
pasar besar.

Mengingat masifnya pengaruh regulasi terhadap kondisi persaingan usaha


dalam perekonomian, strategi menumbuhkan budaya persaingan untuk
memperoleh manfaat riil dari persaingan usaha hanya bisa dilakukan apabila
prinsip-prinsip persaingan usaha menjadi bagian dari keseluruhan proses
pengambilan keputusan publik. Dimensi persaingan usaha dalam reformasi
kebijakan harus menjadi pertimbangan dalam mempengaruhi efisiensi
fungsi pasar. Hal ini yang disebut pengarusutamaan prinsip persaingan
usaha dalam kebijakan ekonomi publik dimana prinsip persaingan usaha
dibawa ke seluruh tingkatan dan proses pengambilan keputusan. Prinsip
umum yang dijalankan adalah bahwa persaingan usaha harus dikedepankan/
dimaksimumkan, kecuali dalam kasus-kasus kegagalan pasar31 atau kasus-
kasus dimana terdapat kepentingan umum lain yang memang memerlukan
pengaturan. Patut pula diingat bahwa pengarusutamaan prinsip persaingan
usaha tidak selalu berarti memberlakukan UU atau peraturan persaingan
usaha. Banyak negara belum memiliki UU Persaingan Usaha tetapi kondisi
persaingan usaha dalam perekonomian jauh lebih baik dibandingkan negara
yang sudah memberlakukan UU tersebut.

2.1. Hukum Persaingan dan KPPU di Indonesia

Indonesia telah memiliki UU no. 5 tahun 1999 yang memuat pelarangan


kegiatan monopoli serta unfair business competition. Lebih lanjut dalam
UU tersebut dijelaskan bagaimana dominasi pasar dan anggapan kontrol

1 Dalam kasus pengecualian seperti itu, peraturan yang dikeluarkan harus didesain secara efisien untuk tetap
mempertahankan keseimbangan antara persaingan usaha dan peraturan tersebut.

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 19


pasar yang dilakukan dua firm atau lebih yang menguasai 75% pangsa pasar
dianggap contoh dari oligopoli (pasal 4), serta satu firm yang menguasai
pangsa pasar 50% dianggap monopoli (pasal 17).
Berdasarkan UU No 5/1999 juga disebutkan kegiatan penetapan harga
seperti, pengaturan harga oleh beberapa pemain, diskriminasi harga, serta
jual rugi (predatory pricing) dilarang dilakukan karena dianggap tindakan anti
kompetitif. Kegiatan lain yang dianggap bersifat anti kompetitif menurut
UU ini adalah perjanjian pembagian wilayah, kartel, integrasi vertikal untuk
menguasai industri hulu, serta pemboikotan untuk mencegah pemain
lain masuk dalam pasar. Dalam UU No 5/1999 juga dinyatakan jenis-jenis
perjanjian yang dimaksud adalah perbuatan satu pelaku usaha atau lebih
untuk mengikatkan diri terhadap pelaku usaha lain melalui perjanjian yang
tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini karena cukup banyak penetapan
kerja sama dilakukan secara diam-diam (pengusaha tidak mau ceroboh
membocorkan rahasianya) atau yang disebut tacit collusion.
UU no. 5 tahun 1999 memiliki sembilan butir pengecualian yang tertera
dalam pasal 50 UU no. 5 tahun 1999. Satu pasal lagi yakni pasal 51 memuat
ketentuan terkait penguasaan hajat hidup orang banyak dan cabang produksi
yang penting bagi negara sehingga tidak memungkinkan dibuka untuk
pasar persaingan bebas. Beberapa pengecualian yang ada dalam pasal 50
di antaranya adalah pengecualian terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual
seperti lisensi, paten, merk dagang, hak cipta, desain produk industri,
rangkaian elektronik terpadu, rahasia dagang serta perjanjian waralaba.
Selain itu, UU no 5 tahun 1999 juga mengecualikan perjanjian keagenan,
kerjasama penelitian, perjanjian internasional yang telah diratifikasi dan
perjanjian ekspor yang tidak menganggu kebutuhan domestik. Satu
pengecualian lagi yang dibuat adalah terkait perlindungan terhadap usaha
kecil dan menengah (UKM).
KPPU merupakan institusi yang dibentuk untuk mengawal persaingan
usaha. Dalam prakteknya, KPPU terlibat dalam peninjauan draft peraturan
yang akan dikeluarkan di tingkat nasional maupun di tingkat daerah
(termasuk peraturan pelaksanaannya). Peran KPPU adalah mengidentifikasi
aspek-aspek dalam draft peraturan yang sedang diajukan yang berpotensi
membatasi persaingan. Selanjutnya, KPPU memberikan pendapatnya
untuk mengubah ataupun menghapus aspek tersebut sehingga dampak

20 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 2: Latar Belakang Kondisi

peraturan terhadap persaingan dapat diminimalkan. Keterlibatan KPPU


dalam memberikan adokasi persaingan usaha ini dapat dilakukan melalui
inisiatif sendiri (Pasal 35 UU no. 5/1999 mengharuskan KPPU memberikan
pendapat/advokasi yang dilakukan secara aktif oleh Biro Kebijakan
Pesaingan KPPU), atau melalui permintaan Kementerian teknis langsung
maupun melalui Kementerian Koordinator bidang Ekonomi. Sayangnya,
keterlibatan KPPU dalam memberikan tinjauan/advokasi terkait persaingan
masih bersifat ad hoc. Belum adanya mekanisme yang sistematis untuk
mengintegrasikan prinsip persaingan dalam setiap proposal/draft peraturan
yang diajukan oleh pemerintah, baik nasional maupun di tingkat daerah
membuat keterlibatan KPPU seringkali terlambat sehingga tidak menjadi
pertimbangan.

2.2. Potret Terkini Persaingan Usaha di Indonesia

2.2.1. Persaingan Usaha dalam Sektor Industri Pengolahan


Secara umum, tidak terlihat adanya perubahan signifikan dalam rasio
konsentrasi industri manufaktur dalam 15 tahun terakhir. Titik balik utama
dalam tren konsentrasi industri manufaktur Indonesia terjadi pada krisis
finansial Asia 1997, di mana banyak industri yang tidak dapat bertahan
(terutama industri kecil dan menengah). Akibatnya, industri besar, yang
cenderung lebih memiliki kemampuan untuk bertahan dan melakukan
konsolidasi, menjadi lebih kuat dan memimpin pangsa pasar setelah krisis.
Hal tersebut adalah salah satu alasan meningkatnya tren konsentrasi industri
manufaktur setelah krisis finansial Asia, yang berlanjut hingga saat ini.
Meskipun demikian, perlu diingat bahwa rasio konsentrasi CR4 bukanlah
satu-satunya indikator persaingan usaha di Indonesia. Bahkan, Bird (1999)
menemukan bahwa rasio konsentrasi bukan merupakan ukuran yang akurat
untuk persaingan usaha di Indonesia, karena keterkaitan dengan pasar
internasional serta tergantung pada persaingan dengan produk impor. Salah
satu indikator lain yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja industri
adalah price-cost margin, yang dapat mencerminkan baik kekuatan pasar
maupun efisiensi industri tersebut.

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 21


Tabel 2.1 Gambaran Pangsa Pasar Industri Manufaktur Indonesia, 1997-2012

1997 2002 2007 2012

Jumlah industri dengan 1 pemain menguasai >50% pangsa pasar 106 70 76 76

Jumlah industri dengan 2 pemain menguasai >75% pangsa pasar 7 9 11 11

Jumlah industri dengan 3 pemain menguasai >75% pangsa pasar 25 22 28 28

Jumlah industri dengan perusahaan berposisi dominan 138 101 115 115

Jumlah perusahaan berposisi dominan (dominant firms) 195 154 182 182

Sumber: BPS, Statistik Industri

Tren meningkatnya rasio konsentrasi industri manufaktur yang


diperlihatkan oleh indikator CR4 dan HHI ternyata juga dikonfirmasi melalui
analisis pangsa pasar serta posisi dominan. Tabel 3 memperlihatkan jumlah
industri (dalam klasifikasi ISIC 5 digit) dengan setidaknya satu perusahaan
berposisi dominan (dominant firm). Sebuah industri dapat dikatakan
memiliki perusahaan berposisi dominan jika memenuhi setidaknya satu
dari tiga kriteria, yaitu: (1) pemain terbesar menguasai >50% pangsa pasar,
(2) dua pemain terbesar menguasai >75% pangsa pasar, atau (3) tiga pemain
terbesar menguasai >75% pangsa pasar.
Salah satu akibat dari krisis finansial Asia 1997 dan jatuhnya perusahaan-
perusahaan kecil dan menengah adalah peningkatan drastis jumlah industri
yang memiliki pemain dominan menjadi 138 industri. Dalam 106 dari
138 industri tersebut, pemain terbesar menguasai lebih dari setengah
pangsa pasar. Dalam periode lima tahun setelah krisis, Indonesia sempat
mengalami iklim persaingan usaha yang membaik, seiring dengan dua
inisiatif besar pada periode tersebut. Kedua inisiatif tersebut adalah: (1)
program restrukturisasi ekonomi Indonesia oleh IMF, yang memangkas
berbagai hambatan perdagangan dan investasi (termasuk hambatan non-
tarif), serta (2) lahirnya Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta pembentukan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada tahun yang sama. Jumlah
dominant firms sempat menurun dari 195 menjadi 154 perusahaan pada
tahun 2002.
Akan tetapi, semenjak tahun 2002, industri manufaktur menjadi
semakin terkonsentrasi pada pemain-pemain besar, yang ditunjukkan

22 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 2: Latar Belakang Kondisi

dengan terus meningkatnya seluruh indikator perusahaan berposisi


dominan yang ditunjukkan dalam Tabel 3. Pada periode ini banyak sekali
terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang No 5 Tahun 1999, salah
satunya dengan keberadaan kartel di berbagai sektor. Dalam 14 tahun
berdirinya, KPPU tercatat telah menyelesaikan lebih dari 240 perkara,
dan masih melakukan investigasi terhadap puluhan lainnya. Selain itu,
meskipun secara umum telah terjadi kemajuan dalam proses liberalisasi dan
keterbukaan terhadap investasi asing, masih terdapat beberapa kebijakan
di sektor tertentu yang cenderung proteksionis dan kurang bersahabat
pada kompetisi, yang menyebabkan tidak ada perubahan signifikan dalam
struktur monopolis atau oligopolis di pasar tersebut.
Dalam hasil analisis sebelumnya, tingkat konsentrasi dihitung hanya
berdasarkan nilai produksi domestik dan belum memperhitungkan adanya
perdagangan internasional. Untuk studi kasus Indonesia yang tergolong
negara dengan small open economy, sangat penting untuk menyesuaikan
perhitungan dengan perdagangan internasional untuk mendapat hasil
konsentrasi yang lebih akurat. Bird (1999) menjelaskan penyesuaian
tingkat konsentrasi dengan perdagangan internasional memerlukan
asumsi industri didominasi oleh pemain domestik, dan keempat pemain
dominan tidak ada yang melakukan impor untuk dijual kembali, sehingga
terkadang mengandung nilai eror. Nilai konsentrasi setelah penyesuaian
bisa didapatkan dengan cara mengalikan CR4 dengan output domestik yang
sudah disesuaikan dengan ekspor-impor.

Tabel 2.2. Perbandingan Unadjusted & Adjusted CR4, 1985-2012

Tahun Unadjusted CR4 Adjusted CR4

1985 53.6 42.9


1990 53 41.5
1993 53.3 41.1
1997 35.2 20.1
2002 68.4 44.5
2007 66.7 44.7
% perubahan 1985-2007 13.1 1.8

Sumber: Diolah dari Statistik Industri, Bird (1999)

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 23


Tabel 4 memperlihatkan bagaimana tingkat konsentrasi secara rata-
rata mengalami penurunan yang signifikan setelah dilakukan penyesuaian
terhadap perdagangan luar negeri. Hal ini mengindikasikan bagaimana
perdagangan internasional masih berperan sangat penting dalam pasar
domestik Indonesia sehingga tingkat konsentrasi di Indonesia lebih rendah
dari pada tingkat konsentrasi domestik. Jika melihat dari trend pergerakan
konsentrasi, CR4 setelah dilakukan penyesuaian jauh lebih kecil/stabil
dibandingkan dengan CR4 domestik. Hasil tersebut memperlihatkan
volatilitas tingkat kompetisi dalam pasar Indonesia secara relatif lebih
ditentukan oleh pemain domestik, sementara penetrasi impor cenderung
stabil sepanjang waktu.

2.2.2. Persaingan Usaha di Sektor Jasa


Sektor jasa merupakan salah satu satu sektor penting dalam
perekonomian yang sering kali tidak mendapat perhatian lebih dari banyak
kalangan. Memiliki kontribusi hingga 65% GDP dunia di tahun 2011, sektor
jasa juga memiliki kontribusi yang signifikan terhadap input dari sektor
lainnya untuk berproduksi lebih efisien. Dalam era globalisasi saat ini, peran
dari sektor jasa seperti telekomunikasi dan transportasi semakin dibutuhkan
sebagai penyambung dalam proses produksi di berbagai regional bahkan
beberapa sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses
produksi itu sendiri seperti listrik dan perbankan. Hingga tahun 2012
sendiri, ekspor jasa Indonesia telah mencapai USD 23 milyar dan nilai
impor jasa mencapai USD 1,8 milyar, di mana jasa transportasi merupakan
sektor jasa dengan ekspor terbesar, dan jasa pariwisata merupakan sektor
jasa dengan impor terbesar. Peran sektor jasa di Indonesia krusial, karena
sektor jasa menyumbangkan 11% dari total ekspor bruto, dan 19% dari total
ekspor dalam nilai tambah (OECD, 2014).
Namun dalam sektor jasa di Indonesia, kegiatan yang mengarah pada
anti-kompetitif masih sangat sering ditemukan yang tentunya akan berakibat
pada lebih tingginya biaya secara relatif yang akan ditanggung untuk
produksi di sektor lainnya maupun yang langsung diterima konsumen.
Pertama-tama, bagian ini akan menjelaskan kondisi persaingan usaha di
sektor jasa Indonesia secara umum. Sementara itu, bagian selanjutnya akan

24 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 2: Latar Belakang Kondisi

memberikan beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan iklim kompetisi


dalam sektor jasa.
OECD mencatat bahwa kontribusi sektor jasa Indonesia terhadap
ekspor berada di bawah rata-rata dunia. Salah satu alasan terciptanya
kondisi demikian adalah kurang kondusifnya iklim regulasi sektor jasa di
Indonesia. Berdasarkan indeks Pembatasan Perdagangan Jasa (Services
Trade Restrictiveness Index / STRI) yang diterbitkan OECD, hingga tahun
2014 Indonesia memiliki nilai STRI yang berada di atas rata-rata dunia
pada masing-masing dari sektor jasa yang diamati (terdapat 18 sektor jasa
dalam observasi). Indeks ini menentukan STRI dalam skala 0-1, di mana
nilai 0 berarti tanpa restriksi, dan 1 berarti restriksi penuh. Termasuk dalam
sektor-sektor jasa dengan tingkat pembatasan tertinggi di Indonesia (lebih
dari 0,5), antara lain adalah sektor jasa legal, telekomunikasi, transportasi
udara, dan bank komersial, dan asuransi. Hal ini menunjukkan bahwa secara
umum iklim regulasi pada sektor jasa di Indonesia masih cukup restriktif
dan kurang bersahabat bagi persaingan usaha, terutama untuk investasi dari
pelaku usaha asing.
Indeks STRI OECD tersebut melakukan penelusuran lebih lanjut
mengenai sumber dari restriksi tersebut (Gambar 1). Meskipun sebagian
besar restriksi berasal dari persyaratan pembatasan kepemilikan asing,
namun beberapa aspek regulasi lain seperti pembatasan tenaga kerja
serta hambatan terhadap persaingan usaha kerap kali menjadi faktor
penghambat bagi investasi di sektor jasa. Regulasi yang menghalangi
kompetisi menjadi faktor restriksi utama dalam sektor telekomunikasi.
Sementara itu, pada sektor jasa perbankan komersial, asuransi, dan
beberapa jasa transportasi, regulasi yang anti-kompetitif (barriers to
competition) menjadi faktor restriksi terbesar kedua setelah restriksi
kepemilikan modal dari investor asing (restrictions on foreign entry), yang
secara natur sebenarnya juga merupakan salah satu bentuk pembatasan
kompetisi dengan pelaku usaha asing.

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 25


Gambar 2.1. Indeks Restriksi Perdagangan Jasa Indonesia Menurut OECD (2014)

0.9

0.8

0.7 Regulatory tranparency

0.6
Barrier to competition

0.5
Other discriminary measures

0.4
Restrictions to movement of people

0.3
Restrictions on foreign entry

0.2
Average

0.1
Minimum

0
r l e ng e ng ng ce t t t t r
te ion ga ing ur i om io
n ng
i ur i i n or or or or rie
pu ct Le unt ect eer lec ibut ast ict ord ank ura nsp nsp nsp nsp ou
om stru co hit in Te str dc
n
p
ec l b ns tra tra tra tra C
g a r I
C on
C Ac Arc En Di ro otio nd rcia r e
Ai tim oad Ra
il
B M u e i
So mm R
ar
o M
C

Sumber: OECD, 2014.

26 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 3: Syarat Perlu Pengarusutamaan PPU

BAB 3
Syarat Perlu
Pengarusutamaan PPU:
Mekanisme Peninjauan
Regulasi

P
roses pengarusutamaan prinsip persaingan
usaha (PPU) membutuhkan berbagai prinsip yang mendasari
persaingan usaha menjadi bagian dalam perumusan kebijakan
dan regulasi. Salah satu cara yang untuk mendukung proses
tersebut adalah dengan memasukan prinsip-prinsip persaingan usaha
dalam kerangka reformasi regulasi. Penerapan kebijakan persaingan
usaha dan reformasi regulasi merupakan dua proses yang saling berkaitan
untuk menghasilkan kebijakan dan regulasi ekonomi yang berkualitas
dan mendukung kinerja perekonomian. Upaya untuk memperbaiki
iklim regulasi di Indonesia merupakan suatu syarat perlu untuk dapat
memastikan agar PPU menjadi bagian penting dalam setiap regulasi dan
kebijakan ekonomi.
Untuk dapat menjadikan PPU sebagai bagian terintegrasi dari
kebijakan dan regulasi ekonomi, prinsip-prinsip tersebut harus menjadi
elemen penting dalam proses peninjauan regulasi (regulatory review).
Proses peninjauan tersebut menjadi penyeimbang antara berbagai prinsip
lainnya yang perlu diperhatikan pula, seperti prinsip kemanfaatan, legalitas,
serta keadilan.

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 27


Peta jalan yang dibangun dalam dokumen ini didasarkan atas
pembentukan mekanisme peninjuan regulasi oleh pihak pembuat regulasi
(executive review) di Indonesia. Oleh karena itu penting kiranya untuk
melihat lebih jauh proses peninjauan regulasi dan berbagai inisiatif yang
telah ada di Indonesia di dalam Bab ini. Selain itu juga dijabarkan peran dari
reformasi regulasi dan bagaimana prinsip persaingan usaha perlu menjadi
bagian dari mekanisme peninjauan regulasi.

3.1. Kebijakan, Regulasi dan Persaingan Usaha


dalam Ekonomi

Dalam sistem ekonomi pasar, terdapat berbagai pandangan mengenai


peran dari kebijakan dan regulasi di dalam aktivitas ekonomi. Pandangan
yang sering mengemuka adalah melihat kebijakan dan regulasi ekonomi
sebagai cara dari pemerintah untuk memperbaiki adanya kegagalan
pasar. Menurut pandangan ini, kebijakan dan regulasi merupakan
hal yang diperlukan karena mekanisme pasar dalam perekonomian
dipandang sebagai proses yang rentan terhadap berbagai penyalahgunaan
sehingga dapat menyebabkan ineffisiensi dan kesenjangan (Posner 1974).
Mekanisme pasar juga dianggap tidak mampu memberikan berbagai barang
dan jasa yang dianggap diperlukan. Ini bisa disebabkan karena barang dan
jasa tersebut tidak dapat diperjualbelikan dalam pasar, membutuhkan modal
awal yang terlalu besar, atau memerlukan waktu yang panjang untuk dapat
mencapai keuntungan yang menarik bagi pelaku ekonomi.
Dengan berbagai alasan tersebut pemerintah melakukan intervensi akftif
di dalam aktivitas ekonomi. Regulasi sendiri dapat dianggap sebagai wahana
dalam melaksanakan kebijakan ekonomi yang telah ditetapkan. Secara garis
besar regulasi dalam bidang ekonomi dapat dibagi dalam dua kelompok besar.
Kelompok pertama adalah regulasi yang mengatur persyaratan pelaku
usaha dapat beraktivitas dalam suatu bidang usaha, seperti persyaratan
dalam pembangunan pabrik, atau persyaratan terkait lingkungan hidup,
maupun regulasi yang lebih eksplisit, seperti pembatasan jumlah pelaku
usaha. Kelompok kedua adalah regulasi yang mengatur perilaku dan aktivitas
pelaku usaha dalam menjalankan kegiatannya. Ini termasuk berbagai regulasi
yang mengatur standar produk dan jasa, ataupun mengatur perdagangan

28 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 3: Syarat Perlu Pengarusutamaan PPU

baik produk maupun infput yang dibutuhkan.


Meskipun berbagai regulasi ekonomi sering dimaksudkan untuk
mendukung aktivitas ekonomi dan memperbaiki kegagalan pasar,
sering sekali regulasi memberikan beban yang berlebihan pada aktivitas
ekonomi, dan membuat konsumen harus membayar lebih dari seharusnya.
Ini terjadi karena regulasi sering menyebabkan tambahan beban dan
biaya yang berlebihan pada pelaku usaha dan mengurangi efisiensi.
Regulasi juga sering menciptakan berbagai perilaku yang mendistorsi
beroperasinya mekanisme pasar serta memberikan insentif yang tidak
sesuai dengan karakteristik ekonomi. Selain itu regulasi juga menimbulkan
ketidakpastian akibat perumusan yang kurang jelas dan dapat ditafsirkan
dengan berbagai makna. Lebih penting lagi dalam konteks persaingan
usaha, regulasi sering menjadi sumber dari perilaku dunia usaha yang tidak
sesuai dengan prinsip persaingan yang akan menimbulkan inefisiensi dan
menghambat perkembangan industri dan perekonomian.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, persaingan usaha yang baik bukan
hanya mendukung efisiensi ekonomi serta produktifitas dan inovasi.
Persaingan usaha yang berjalan secara baik juga akan membuka peluang
untuk penciptaan lapangan pekerjaan, mengurangi biaya distribusi dan
menurunkan harga barang dan jasa, yang pada akhirnya akan mengurangi
kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Regulasi yang berlebihan akan menyebabkan sulitnya memulai usaha.
Ini secara tidak langsung akan mengurangi persaingan dengan meningkatkan
hambatan bagi pelaku usaha baru untuk memulai usahanya. Ketidakpastian
dalam penerapan regulasi juga akan menyebabkan beban yang tidak perlu
dalam aktivitas ekonomi dan biaya dalam menjalankan bisnis menjadi tinggi.
Hal ini juga akan mempengaruhi persaingan usaha dalam perekonomian
Secara lebih langsung, banyak regulasi yang juga mempengaruhi situasi
persaingan usaha. Secara umum ada beberapa kelompok regulasi yang
mengurangi persaingan usaha.
1. Regulasi yang secara langsung memberikan hambatan bagi pemain
baru untuk masuk ke dalam suatu industri. Bentuk yang paling ketat
adalah dengan menerapkan batasan jumlah pelaku usaha dalam
suatu industri, yang biasanya diikuti pemberian monopoli kepada
suatu badan usaha yang dianggap mampu menyediakan produk yang

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 29


dimaksud. Ada banyak alasan yang digunakan sebagai dasar dari
pembatasan tersebut, dari alasan ekonomi seperti skala ekonomis
dan network effect, hingga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,
ataupun keamanan.
Regulasi jenis ini juga dapat mengambil bentuk dengan menerapkan
batasan untuk akses pada infrastruktur ataupun fasilitas produksi
lainnya, seperti lahan dan geografis, maupun spektrum gelombang.
Variasi yang lainnya adalah penetapan batasan minimum bagi pelaku
usaha; misalnya untuk modal minimum, maupun jumlah unit
produksi terkait.
2. Regulasi yang lainnya adalah regulasi yang membatasi penetapan
harga. Disini biasanya ditetapkan batas bawah ataupun batas atas
dari harga produk yang dihasilkan. Alasan dari penerapan regulasi
ini biasanya adalah untuk menjamin standar kualitas tertentu yang
diharapkan dapat tercapai jika pelaku usaha menerapkan harga yang
dianggap memenuhi biaya produksi minimum.
3. Regulasi yang membatasi produksi hingga batas tertentu juga
mempengaruhi persaingan usaha. Regulasi seperti ini biasanya akan
disertai dengan pemberian kuota untuk masing-masing pelaku usaha
yang dapat menimbulkan perilaku anti-persaingan seperti kartel
maupun penetapan harga. Dampak terhadap persaingan usaha juga
dapat timbul karena pemerintah juga cenderung untuk membatasi
jumlah pelaku usaha agar pemberian kuota dapat berjalan dengan baik.
4. Yang terakhir adalah regulasi yang memberikan hak ekslusif atas
suatu pasar kepada pelaku usaha tertentu. Contohnya adalah regulasi
yang memberikan hak distribusi suatu produk hanya kepada pihak
badan usaha milik negara (BUMN). Contoh lainnya adalah keharusan
bagi proyek pengadaan pemerintah untuk diberikan kepada pihak
tertentu yang mendapatkan keistimewaan. Ini memberikan dampak
yang signifikan untuk penyediaan barang dan jasa tersebut.

Ini memperlihatkan pentingnya proses pengarusutamaan PPU.


Kebijakan dan regulasi ekonomi harus memasukkan berbagai prinsip dasar
persaingan usaha sebagai basis pertimbangan dan evaluasi dampaknya. Lebih
jauh lagi, regulasi harus dapat mempromosikan persaingan usaha secara aktif

30 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 3: Syarat Perlu Pengarusutamaan PPU

dan menjadi elemen pengganti bagi kebijakan persaingan usaha dengan prinsip
perlindungan konsumen dan kesejahteraan ekonomi sebagai landasannya.
Tetapi prinsip persaingan usaha tidak akan dapat menjadi elemen penting jika
tidak ada mekanisme untuk peninjauan dan reformasi regulasi.

3.2. Sekilas Mengenai Proses Perbaikan


Kualitas Regulasi

Karena regulasi sering memberikan dampak negatif terhadap berbagai


hal yang terkait dengan aktivitas ekonomi dan usaha, berbagai inisiatif
terus dijalankan untuk memperbaiki kualitas regulasi. Pandangan modern
mengenai regulasi ekonomi telah berubah dari memperbaiki kegagalan
pasar menjadi faktor penunjang (enabler) bagi aktivitas ekonomi.
Kebijakan dan regulasi dianggap sebagai suatu cara untuk meningkatkan
efisiensi dan membentuk insentif yang tepat bagi pelaku ekonomi,
yang pada akhirnya akan menentukan kinerja perekonomian.
Untuk itu diperlukan mekanisme untuk melakukan peninjauan atas
berbagai regulasi yang ada maupun regulasi yang akan dikeluarkan. Di banyak
negara, mekanisme tersebut mengalami perubahan selama beberapa puluh
tahun belakangan, dari inisiatif deregulasi pada tahun 1980an, reformasi
regulasi pada awal 2000-an hingga perbaikan sistem manajemen regulasi
(OECD 2002). Tujuan utama dari proses ini adalah memberikan informasi
yang diperlukan mengenai kebutuhan akan suatu regulasi dan bagaimana dia
dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Ketika regulasi tidak sesuai dengan
tujuannya ataupun menimbulkan beban yang berlebihan, serta mendistorsi
pasar dan menimbulkan biaya tinggi, maka regulasi tersebut harus dicabut
atau tidak diluncurkan.
Mekanisme peninjauan dan perbaikan kualitas regulasi biasanya
terbagi dalam dua proses. Yang pertama adalah pelaksanaan berbagai
instrumen untuk menyaring dan memperbaiki kulaitas regulasi yang
baru dikeluarkan oleh pemerintah. Ini akan memastikan bahwa regulasi
yang diluncurkan akan mengikuti berbagai prinsip yang telah diterapkan.
Yang kedua adalah proses evaluasi dan pemeriksaan regulasi yang
telah berjalan. Dengan adanya proses ini, regulasi yang ada diharapkan
untuk lebih sesuai dengan perkembangan lingkungan serta dapat

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 31


dijalankan dengan baik.
Untuk memastikan proses dan mekanisme peninjauan regulasi dapat
dijalankan dengan efektif, OECD (2012) memberikan 12 rekomendasi yang
dapat ditempuh oleh pemerintah. Diantaranya adalah adanya kebijakan
yang eksplisit mengenai perbaikan regulasi, disertai dengan organisasi yang
jelas atas lembaga yang bertanggung jawab, komunikasi dan partisipasi
pemangku kepentingan, sistem penilaian dampak regulasi (regulatory
impact assessment, RIA) yang jelas dan terintegrasi, serta koherensi pada
semua tingkatan pemerintahan, bukan hanya pada tingkat nasional.
Beberapa mekanisme peninjauan regulasi telah dikembangkan.
OECD (1995) memberikan daftar 10 aspek yang perlu ditinjau dalam melihat
suatu regulasi. Aspek tersebut melingkupi tujuan dari regulasi, basis legalnya,
dan penentuan manfaat serta biaya dari regulasi tersebut. Secara umum
elemen-elemen dibawah ini dapat menjadi dasar pertimbangan dalam
meninjau regulasi.
Tujuan dari regulasi dan fokus kebijakannya
Konsistensi dengan regulasi lainnya
Manfaat dan biaya langsung maupun tidak langsung akibat dari
penerapan regulasi
Alternatif yang tersedia selain dari regulasi tersebut
Aspek pelaksanaan dan pengawasan
Transparansi dan partisipasi dari pemangku kepentingan dalam
perumusan dan pelaksanaan
Berbagai negara maju maupun berkembang sudah, atau mulai,
menerapkan mekanisme untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas
regulasi. Investment Climate Advisory Group World Bank (IC-WB, 2010)
mencatat ada sekitar 70 negara pada akhir 2000-an yang memulai proses
tersebut. Berbagai metode telah dikembangkan, baik untuk melakukan
evaluasi terhadap regulasi yang ada (metode guillotine, sunsetting,
penarikan secara bertahap), maupun untuk meninjau regulasi baru
(RIA, perencanaan regulasi).
Indonesia saat ini juga telah mempersiapkan mekanisme yang lebih
sistematis dalam penerapan proses peninjauan regulasi. Seperti telah
disebutkan sebelumnya, ini bisa menjadi pintu masuk untuk lebih
memastikan bahwa prinsip-prinsip persaingan usaha menjadi bagian penting

32 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 3: Syarat Perlu Pengarusutamaan PPU

dalam perumusan kebijakan dan regulasi ekonomi. Masuknya persaingan


usaha sebagai salah satu elemen penting dalam proses peninjauan regulasi
akan memperkuat proses tersebut dalam mendorong terciptanya kualitas
regulasi yang mendukung kesejahteraan ekonomi.

3.3. Kondisi Regulasi di Indonesia dan Persaingan Usaha

3.3.1 Kondisi Umum Regulasi di Indonesia


Regulasi di Indonesia dapat dibagi dalam dua kelompok besar menurut
kekuatan perundangannya. Kelompok yang pertama adalah regulasi yang
ditetapkan dalam proses perundangan, baik pada tingkatan nasional
maupun daerah. Jenis regulasi ini diatur dalam Undang-undang No. 12
tahun 2011. Tabel 3.1 menjelaskan berbagai regulasi yang masuk dalam
aturan perundangan. Kelompok kedua adalah regulasi yang sifatnya lebih
teknis dan tidak dijabarkan sebagai bagian dari peraturan perundangan.
Ini termasuk peraturan yang dibuat oleh kementerian, baik pada tingkatan
menteri maupun kelengkapan di bawahnya. Termasuk juga di dalam
kelompok ini adalah Instruksi Presiden yang biasanya mengarah pada aturan
teknis mengenai penanganan suatu masalah dan memerlukan koordinasi
pada tingkatan kementerian.

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 33


Tabel 3.1. Regulasi Perundangan di Indonesia

Jenis Regulasi Keterangan

Konstitusi (Undang- Bentuk tertinggi aturan perundangan


Undang Dasar 1945)
Ketetapan MPR Bentuk putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
berisi hal-hal yang bersifat penetapan untuk hal-hal
yang mendasar
Undang-Undang Untuk menjelaskan berbagai aspek fundamental
untuk permasalahan tertentu, seperti penanaman
modal, perbankan dan kehutanan. Diformulasikan
oleh pemerintah, ataupun diusulkan oleh DPR, dengan
persetujuan DPR.
Peraturan Pemerintah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Pengganti Undang- Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
Undang (Perpu) Materi muatan Perpu sama dengan materi muatan
Undang-Undang. Perpu ditandatangani oleh Presiden,
dan harus diajukan ke DPR setelah diundangkan.
Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah adalah peraturan yang ditetapkan
(PP) oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang.
Peraturan Presiden Peraturan yang dibuat oleh Presiden yang berisi materi
yang diperintahkan oleh Undang-Undang, atau untuk
melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau untuk
melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
Peraturan Daerah Peraturan yang dibentuk di tingkatan provinsi untuk
Provinsi penyelenggaraan otonomi daerah, atau penjabaran
lebih lanjut peraturan yang lebih tinggi sesuai dengan
kondisi daerah. Ditetapkan oleh DPRD Propvinsi dengan
persetujuan bersama Gubernur.
Peraturan Daerah Peraturan yang ditetapkan oleh DPRD Kabupaten/
Kabupaten/Kota Kota bersama Kepala Daerah untuk penyelenggaraan
otonomi daerah dan penjabaran peraturan yang lebih
tinggi sesuai dengan kondisi daerah.

Sumber: Undang-Undang No. 12/2011

Dua faktor telah mewarnai proses formulasi kebijakan dan regulasi di


Indonesia selama lima belas tahun belakangan. Pertama adalah proses
demokratisasi sebagai hasil dari reformasi politik, yang meningkatkan
pluralitas dalam pengambilan keputusan dan pembentukan kebijakan serta
regulasi. DPR mengambil peran yang lebih aktif dalam proses tersebut melalui
dua mekanisme: pembuatan Undang Undang (UU) dan proses penganggaran.
Parlemen secara aktif mendiskusikan dan merubah Rancangan Undang
Undang (RUU) yang diajukan oleh pemerintah. Dalam berbagai kesempatan,
DPR juga mengajukan RUU untuk didiskusikan bersama pemerintah.

34 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 3: Syarat Perlu Pengarusutamaan PPU

Proses ini memberikan kesempatan untuk partisipasi yang lebih tinggi.


Tetapi ini juga membuka kesempatan bagi masuknya kepentingan politik dan
kelompok yang terkadang bertentangan dengan tujuan utama dari regulasi
yang diundangkan, ataupun terhadap kinerja ekonomi.
Demokratisasi juga membuka kesempatan untuk melakukan perubahan
perundangan. Dalam proses ini, masyarakat umum dapat mengajukan uji
materi terhadap regulasi (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi
(MK) yang melihat kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip yang dijabarkan
dalam konstitusi. Beberapa UU telah dicabut melalui keputusan MK
dengan anggapan bahwa peraturan perundangan tersebut bertentangan
dengan konstitusi. Sebagai contoh, pada tahun 2004, MK membatalkan
UU Kelistrikan yang diluncurkan dua tahun sebelumnya, atas dasar
pandangan bahwa UU tersebut menyalahi UUD 1945 yang mengharuskan
negara menguasai cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang
banyak. Alasan yang sama juga dipergunakan untuk membatalkan regulasi
yang sebelumnya ditujukan untuk mengurangi monopoli pemerintah dan
menarik lebih banyak partisipasi pihak swasta (Butt dan Lindsey 2008)
Kedua adalah desentralisasi sejak tahun 2001, yang telah mengalihkan
sekitar 75% aktivitas dan otoritas pemerintahan ke pemerintah daerah.
Ini menyebabkan pemerintah daerah mempunyai otoritas untuk membentuk
peraturan di tingkatan daerah. Apalagi Peraturan Daerah di tingkat Provinsi
dan Kabupaten/Kota merupakan peraturan yang masuk dalam perundangan.
Salah satu isu utama yang mengemuka dalam proses desentralisasi
adalah kurangnya akuntabilitas dan kemampuan pemerintah daerah dalam
mengelola otoritas dan tugas yang baru dialihkan (World Bank 2005).
Akibatnya pemerintah daerah sering sekali mengeluarkan regulasi yang
kurang bermutu dan tidak memperhatikan prinsip-prinsip perekonomian.
Perubahan peraturan daerah sering sekali terjadi yang meningkatkan
ketidakpastian. Peraturan daerah juga sering tidak sesuai dengan regulasi
yang diformulasikan oleh pemerintah pusat. Apalagi menurut struktur
perundangan, regulasi di tingkatan menteri tidak lagi masuk sebagai
peraturan perundangan yang mempunyai basis legal untuk diteruskan
dalam regulasi dibawahnya.
Ini terutama terlihat pada regulasi dalam bidang perpajakan dan
penerimaan daerah yang sering digunakan untuk meningkatkan kemampuan

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 35


finansial daerah tersebut. Hingga tahun 2012, ada 4800 regulasi di tingkat
daerah telah diidentifikasi oleh Kementerian Keuangan yang tidak sesuai
dengan peraturan di tingkat nasional, maupun memberatkan perekonomian
dan dunia usaha (KPPOD 2012).
Secara umum kualitas regulasi di Indonesia telah mengalami perbaikan
selama beberapa tahun belakangan, setelah kualitasnya memburuk pada
periode tahun 2000an sebagai akibat dari transformasi yang dijelaskan
sebelumnya. Tabel 3.2 memberikan gambaran mengenai dua indikator
terkait regulasi, yaitu kualitas regulasi dan efektiftas pemerintahan dari
World Governance Indicators (WGI) dari World Bank. Nilai kedua indikator
terlihat menurun pada awal tahun 2000 sebelum kembali memperlihatkan
pebaikan. Begitu pula dengan percentile rank yang memperlihatkan
persentase negara lain yang mempunyai nilai dibawahnya yang terlihat
menurun hingga hanya 25% negara yang disurvey memiliki kualitas
regulasi yang lebih buruk. Tetapi pada beberapa tahun terakhir ranking
tersebut mengalami kenaikan. Dari sini dapat dilihat bahwa kualitas regulasi
Indonesia masih perlu dibenahi untuk dapat memberikan lingkungan yang
lebih baik untuk kinerja perekonomian.

Tabel 3.2. Indikator Kualitas Regulasi Indonesia


1996 2004 2009 2014

Kualitas Regulasi

Nilai (-2.5 to +2.5) 0.19 -0.67 -0.34 -0.10


Percentile Rank (%) 57.35 25.00 39.71 49.04
Efektifitas Pemerintahan

Nilai (-2.5 to +2.5) -0.42 -0.38 -0.28 -0.01


Percentile Rank (%) 37.07 44.39 46.89 54.81

Sumber: World Governance Indicators World Bank

3.3.2. Pengaruh Regulasi Terhadap Persaingan Usaha di Indonesia:


Contoh-contoh Kasus
Kurang kondusifnya persaingan usaha dapat disebabkan oleh perilaku
antikompetitif yang dilakukan oleh pelaku usaha. Akan tetapi, situasi
yang demikian dapat juga disebabkan oleh kebijakan publik, yaitu melalui

36 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 3: Syarat Perlu Pengarusutamaan PPU

keberadaan sejumlah regulasi pemerintah yang secara langsung maupun


tidak langsung menghambat persaingan usaha yang sehat pada sektor
tertentu. Secara umum regulasi-regulasi yang kurang pro-persaingan ini
dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori berikut:
a. Regulasi yang menghambat untuk pelaku usaha baru masuk (barrier
to entry)
b. Regulasi yang membatasi atau mengintervensi penetapan harga pasar.
c. Regulasi yang membatasi produksi atau impor hingga batas tertentu,
sehingga membuka potensi terjadinya kartel
d. Regulasi yang memberi hak eksklusif untuk penyediaan barang dan
jasa tertentu.

Bagian di bawah ini memberikan penjelasan singkat tentang beberapa


contoh regulasi yang masuk ke dalam kategori-kategori di atas.

a. Barriers to entry
Terdapat beberapa regulasi yang secara spesifik memberikan hambatan
bagi pelaku usaha lain untuk masuk dan beroperasi di sektor tertentu.
Salah satunya adalah regulasi di sektor kelistrikan. Undang-Undang Nomor 15
Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan menyatakan bahwa PLN merupakan
pemilik tunggal dari aset transmisi serta distribusi listrik nasional. UU ini
juga menutup kesempatan bagi sektor swasta untuk melakukan distribusi
serta penjualan energi. Peran pelaku usaha swasta dalam jasa pembangkitan
listrik sangat terbatas, dan dibutuhkan izin khusus yang memperbolehkan
perusahaan swasta untuk membangkitkan tenaga listrik dan menjualnya ke
jenis konsumen tertentu dengan jumlah terbatas, seperti kawasan industri.
Dengan regulasi tersebut, PLN menjadi pemain tunggal dalam sektor listrik
dan tidak dihadapkan pada persaingan usaha dari perusahaan swasta.
Usaha untuk melakukan reformasi di sektor listrik Indonesia yang
monopolis dengan memperkenalkan kompetisi dengan perusahaan swasta
pada setiap subsektor listrik (pembangkitan, transmisi, dan distribusi)
yang sempat dilakukan pemerintah melalui penerbitan Undang-Undang
No 20 Tahun 2002 mengalami kegagalan setelah dibatalkan Mahkamah
Konstitusi (MK) pada Desember 2004. Akibatnya, regulasi yang berlaku
kembali ke UU No 15 Tahun 1985 yang kembali mengokohkan dominasi

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 37


PLN di sektor listrik. Regulasi semacam ini masih menjadi entry barrier bagi
perusahaan swasta yang ingin menyediakan jasa kelistrikan. Bahkan regulasi
terbaru di dalam UU No 30/2009 dan PP No 42/2012 belum mampu
mengubah dominasi penyediaan jasa kelistrikan oleh PLN.
Kategori regulasi ini juga kerap kali ditemukan pada tingkatan
Peraturan Daerah. Salah satu contohnya adalah Surat Keputusan (SK)
Gubernur NTT No 274/KEP/HK/2014 mengenai pengaturan pembatasan
perusahaan pemasok bibit ayam/DOC ke Provinsi NTT hanya kepada dua
perusahaan yang ditunjuk. Akibatnya, beberapa peternak mengeluh sulitnya
mendapatkan bibit ayam, karena pasokan sangat terbatas dan harga yang
mahal. Regulasi ini menciptakan entry barrier bagi perusahaan pemasok lain
yang sebenarnya memiliki kemampuan yang sama dengan dua perusahaan
yang ditunjuk tersebut melalui SK tersebut.

b. Penetapan atau Intervensi Harga


Persaingan usaha yang tidak sehat juga dapat disebabkan oleh beberapa
regulasi yang mengatur atau menetapkan harga atau tarif. Dalam sektor
asuransi, Surat Edaran OJK Nomor 6 tahun 2013 mengenai penetapan tarif
premi pada asuransi kendaraan bermotor, harta benda, serta jenis risiko khusus
juga menjadi salah satu kebijakan yang dianggap berlawanan dengan iklim
kompetisi. Tujuan dari kebijakan tersebut dilakukan adalah untuk melindungi
perusahaan asuransi kecil dari perang harga atau tarif premi sehingga dapat
berkompetisi secara lebih sehat. Namun, dengan adanya penetapan batas
bawah premi asuransi ini menjadi suatu penghalang (entry barrier) tersendiri
bagi perusahaan yang dapat berproduksi dengan lebih efisien.
Penetapan batas bawah ini dikuatirkan juga dapat menciptakan peluang
kartel baru untuk beberapa pemain asuransi besar. Kartel karena regulasi dapat
tercipta karena perusahaan-perusahaan asuransi yang dapat memberikan
tarif yang lebih efisien (di bawah batas bawah premi) menaikan tarifnya pada
batasan yang ditetapkan pemerintah.
Salah satu regulasi di sektor transportasi juga menimbulkan konsekuensi
negatif bagi persaingan usaha, yaitu melalui Peraturan Menteri Perhubungan
No 14 Tahun 2016 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan dan Penetapan
Tarif Batas Atas dan Batas Bawah Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi

38 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 3: Syarat Perlu Pengarusutamaan PPU

Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri. Regulasi ini mewajibkan


badan usaha angkutan udara untuk menetapkan tarif 100% dari tarif batas
maksimum untuk badan usaha angkutan udara yang memberikan pelayanan
maksimum (full services). Penerapan tarif juga dikenakan setinggi-tingginya
90% dan 85% dari tarif batas maksimum untuk badan usaha angkutan
udara yang memberikan pelayanan standar menengah (medium services) dan
pelayanan minimum (no frills services). Sementara untuk tarif batas bawah
yang dikenakan serendah-rendahnya 30% dari tarif batas atas sesuai dengan
kelompok pelayanan yang diberikan. Alasan yang diberikan Kemenhub adalah
terkait faktor keselamatan dan perlindungan terhadap konsumen.
Namun demikian, regulasi tersebut tidak mempromosikan prinsip
persaingan usaha yang sehat karena secara esensi merupakan pengaturan
pemerintah terhadap harga yang ditentukan pasar untuk jasa transportasi
udara. Artinya, regulasi semacam ini membatasi ruang gerak bagi pelaku
usaha untuk menetapkan harga yang paling sesuai dengan struktur biaya
mereka, meskipun dalam perhitungan formula tarif kementrian perhubungan
mencoba melihat juga struktur biaya badan usaha perhubungan. Namun
perlu diingat bahwa hanya badan usaha sendirilah yang benar-benar
mengetahui struktur biaya perusahaannya. Regulasi semacam ini dapat
menjadi disinsentif bagi maskapai untuk melakukan inovasi yang dapat
membuat struktur biaya mereka lebih efisien lagi, khususnya bagi Low-Cost
Carriers (LCC). Regulasi batas bawah ini juga akan merugikan bagi maskapai
LCC domestik dengan diberlakukannya ASEAN Open Sky 2015. Hal ini
disebabkan karena maskapai LCC asing tidak bisa diatur di bawah regulasi
tersebut. Akibatnya, maskapai domestik dapat menjadi kalah bersaing
dengan maskapai asing dengan adanya regulasi ini.

c. Pembatasan Jumlah Produksi, Kuota, atau Layanan


Regulasi yang kurang mendukung persaingan usaha sehat dapat juga
berbentuk pengaturan yang membatasi jumlah produksi atau memberikan
diskriminasi dalam jangkauan layanan/produk yang menguntungkan
pihak tertentu.
Salah satu contohnya adalah Surat Edaran Dirjen Peternakan dan Keswan
No 15043/FK010/F/10/2015 tanggal 15 Oktober 2015 tentang Penyesuaian
Populasi Parent Stock. Dalam surat edaran ini, salah satu poin utama yang

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 39


diinstruksikan oleh Dirjen Peternakan dan Keswan kepada para pelaku
usaha pembibitan adalah untuk melakukan pengafkiran/pemusnahan dini
bibit parent stock (PS) broiler sebanyak 2 juta ekor secara proporsional di
seluruh lokasi breeding farm untuk tahap pertama.
Tujuan dari diberlakukannya regulasi ini adalah untuk mengatur harga
ayam di pasaran yang sempat turun. Regulasi seperti ini bersifat anti-
kompetitif karena tujuan dari pengurangan supply melalui pengafkiran dini
bibit PS adalah untuk menaikan harga ayam di pasaran. Banyaknya jumlah
pengafkiran dini yang diinstruksikan membuat harga ayam di pasaran
melonjak tinggi karena kekurangan pasokan. Jika pengurangan produksi
dilakukan oleh pelaku usaha maka dapat diindikasikan terdapat kartel antar
pengusaha. Namun, dalam kasus ini, pengurangan supply ayam karena
pemusnahan bibit PS diakibatkan oleh regulasi yang mengaturnya, sehingga
secara esensi menjadi kartel yang diinisiasi regulasi (cartel by regulation).
Contoh regulasi lain dalam kategori ini adalah kebijakan pelarangan
penjualan Bahan Bakar Minyak Bersubsidi (Premium) di SPBU yang berlokasi
di jalan tol, yang tertuang dalam Surat Edaran BPH Migas No 937/07/
Ka.BPH/20143. Tujuan dari regulasi tersebut adalah untuk mengurangi
2
konsumsi BBM bersubsidi. Namun demikian, cara yang ditempuh untuk
mencapai tujuan tersebut tidak sesuai dengan prinsip persaingan usaha
yang sehat, karena bersifat diskriminatif terhadap pengelola SPBU yang
beroperasi di area jalan tol, karena pelaku usaha SPBU di luar jalan tol tetap
diperbolehkan mendistribusikan BBM bersubsidi. Kebijakan ini juga dapat
menyebabkan pendapatan dari rest area di jalan tol menjadi turun.
Pembatasan jumlah juga dapat terjadi melalui regulasi yang mengatur
kuota, misalnya pengaturan kuota impor komoditas tertentu, yang pada
akhirnya menyebabkan harga komoditas tersebut menjadi tinggi di pasaran,
sehingga merugikan bagi konsumen. Beberapa contoh dari regulasi yang
demikian, adalah kuota impor untuk bawang putih dan daging sapi. Regulasi
kuota impor bawang putih perlu dicermati kembali agar tidak membuka
peluang bagi sejumlah kecil importir yang ditunjuk untuk membentuk kartel
dan mengendalikan harga. Regulasi pengaturan impor perlu mengekspos
importir yang ditunjuk dengan persaingan usaha yang memadai dengan
2 Selain pelarangan penjualan BBM bersubsidi di jalur tol, peraturan ini juga melarang penjualan solar
bersubsidi di SPBU yang berlokasi di Jakarta Pusat. Hal ini juga diskriminatif bagi pengelola SPBU di Jakarta
Pusat.

40 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 3: Syarat Perlu Pengarusutamaan PPU

calon importir lainnya, serta memberikan mekanisme pengawasan yang


baik pada perilaku usaha importir yang ditunjuk. Jika tidak, maka regulasi
pengaturan impor dapat memfasilitasi terjadinya kartel oleh segelintir
importir yang ditunjuk untuk melakukan impor, sehingga harga komoditas
berpotensi naik secara signifikan di pasar.

d. Pemberian Hak Eksklusif


Pemberian beberapa hak ekslusif untuk pengadaan barang dan jasa
tertentu yang diatur dalam suatu regulasi juga dapat memiliki konsekuensi
negatif bagi persaingan usaha. Hak eksklusif yang diberikan pada pemain
tertentu melalui regulasi, pada gilirannya juga akan menjadi hambatan
masuk (entry barrier) bagi perusahaan yang tidak ditunjuk, yang mungkin
memiliki kapasitas yang sama atau bahkan lebih baik dari perusahaan
yang ditunjuk.
Salah satu regulasi yang demikian misalnya adalah Peraturan Menteri
BUMN No 15/2012. Regulasi tersebut memfasilitasi penunjukkan langsung
untuk pengadaan barang dan jasa di BUMN apabila terdapat BUMN, anak
perusahaan BUMN, atau perusahaan terafiliasi dengan BUMN yang dapat
menyediakan barang dan jasa dengan kualitas dan harga yang mencukupi.
Juga disebutkan bahwa anak perusahaan dan atau perusahaan terafiliasi
langsung akan mendapatkan prioritas apabila BUMN yang menjadi induk
melakukan pengadaan barang dan jasa.
Meskipun tujuan regulasi ini adalah memperkuat kinerja dan sinergi
BUMN, namun regulasi ini tidak mempromosikan persaingan usaha yang
sehat. Regulasi ini memfasilitasi penunjukkan langsung kepada BUMN,
yang menjadi hambatan (entry barrier) bagi pelaku usaha swasta dalam
negeri yang efisien (yang seharusnya menjadi kompetitor BUMN) untuk
melakukan pengadaan barang dan jasa di BUMN.
Salah satu hak ekslusif lain yang didapatkan BUMN berupa kewajiban
bagi pegawai negeri sipil (PNS) untuk memiliki asuransi sosial (pensiun dan
jaminan hari tua) yang dikelola oleh PT Taspen. Tujuan dari didirikannya
PT Taspen adalah untuk menyelenggarakan dana pensiun dan jaminan hari
tua sehingga dapat dibinanya kesejahteraan pegawai negeri sipil agar dapat
dipelihara dan dikembangkan daya cipta, daya guna, dan hasil gunanya.
Namun untuk mencapai tujuan tersebut bukan berarti mengharuskan hanya

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 41


PT Taspen menjadi pemain tunggal dalam pasar tersebut. Restriksi yang
diberikan untuk masuk ke dalam pasar tersebut membuat tidak adanya
persaingan usaha dalam industri asuransi spesifik untuk dana pensiun dan
jaminan hari tua PNS.
Sejumlah regulasi di tingkat daerah juga sering kali memberikan
hak eksklusif yang tidak mempromosikan persaingan usaha yang sehat.
Salah satu contohnya adalah rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
pada tahun 2014 untuk melakukan penunjukkan bank dalam penyaluran
Dana Bergulir kepada koperasi-koperasi di DKI Jakarta. Rencana
tersebut jelas tidak sesuai dengan prinsip persaingan usaha yang sehat.
Dalam hal ini, seharusnya persaingan usaha diterapkan dengan melakukan
mekanisme seperti lelang atau beauty contest dengan kriteria yang jelas,
sehingga membuka kesempatan yang sama bagi semua bank untuk menjadi
mitra Pemprov DKI Jakarta dalam penyaluran dana ini.

3.4. Inisiatif Dalam Perbaikan Kualitas Regulasi


di Indonesia

Menyadari perlunya perbaikan dalam sistem regulasi dan meningkatkan


kualitasnya, pemerintah Indonesia telah menjalankan beberapa inisiatif
untuk mengurangi berbagai beban regulasi, terutama yang terkait dengan
pembangunan ekonomi. Khusus dalam bidang ekonomi, saat ini pemerintah
Indonesia telah menjalankan beberapa paket deregulasi yang ditujukan
untuk memangkas sistem regulasi yang ada dan untuk mempermudah
aktifitas usaha.

3.4.1 Inisiatif Deregulasi Sebagai Upaya Perbaikan


Hingga Februari 2016, tercatat 10 paket kebijakan ekonomi telah
dikeluarkan. Seluruh paket tersebut melibatkan perubahan regulasi
yang berlaku. Dalam beberapa paket kebijakan, berbagai regulasi yang
memberikan beban tambahan kepada dunia usaha dan aktifitas ekonomi
direncanakan untuk dihapus. Berbagai regulasi lain juga disederhanakan
dengan paket kebijakan tersebut.
Ini bukanlah pertama kali pemerintah Indonesia tercatat berusaha
melakukan deregulasi. Pada tahun 1980-an, pemerintah juga melakukan

42 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 3: Syarat Perlu Pengarusutamaan PPU

serangkaian deregulasi yang ditujukan untuk meningkatkan peran


dari dunia usaha di dalam aktifitas perekonomian. Pada tahun 1990-
an, deregulasi dilanjutkan dalam rangka meningkatkan daya saing
perekonomian untuk menghadapai keterbukaan ekonomi. Satu hal yang
sering terlihat dalam proses deregulasi tersebut adalah adanya pemicu
yang biasanya berbentuk ancaman krisis ekonomi. Deregulasi selama
tahun 1980an dipicu oleh turunnya harga minyak dunia yang pada saat
itu menjadi sumber pertumbuhan ekonomi terpenting bagi Indonesia.
Perlambatan pertumbuahn ekonomi yang berlangsung sejak tahun 2013
juga menjadi penyebab dikeluarkan paket kebijakan yang dijalankan saat ini.
Ini menjadikan berbagai inisiatif yang ditempuh untuk mengurangi
beban regulasi sering terlihat besifat reaktif, ad-hoc, temporer dan kurang
sistematis. Salah satu kelemahan dalam berbagai proses deregulasi tersebut
adalah kurangnya aspek pengawasan dan evaluasi. Berbagai tindakan dalam
paket kebijakan ekonomi tersebut, misalnya, memerlukan penyelarasan
antara bermacam regulasi dari berbagai macam kementerian dan lembaga
pemerintah. Pelaksanaannya perlu mendapatkan pengawasan agar dapat
berjalan dengan efektif. Selain itu diperlukan evaluasi atas yang dapat melihat
proses deregulasi tersebut dalam konteks yang komprehensif.
Deregulasi yang dijalankan sebagai reaksi dari buruknya situasi ekonomi
tersebut membuat usaha perbaikan lingkungan regulasi tidak berjalan secara
berkesinambungan Proses perbaikan regulasi harus merupakan proses yang
sistematis, terarah dan berkelanjutan. Untuk itu diperlukan suatu sistem dan
mekanisme yang dapat mengelola perbaikan regulasi secara menyeluruh.

3.4.2 Usaha Menuju Pembentukan Sistem Manajemen Regulasi


Ada beberapa inisiatif untuk mempersiapkan sistem manajemen
regulasi di Indonesia dan menjalankan reformasi yang diperlukan.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merupakan salah
satu badan pemerintahan yang telah menyiapkan skema sistem manajemen
regulasi yang dituangkan sebagai inisiatif reformasi regulasi. Salah satu
aspek utama dari reformasi regulasi yang dilakukan oleh badan ini adalah
penyelarasan antara pembentukan kebijakan (policy making) dengan
proses pembuatan regulasi (law making) (Bappenas 2015). Dengan adanya
penyelarasan yang lebih baik antara kedua proses tersebut, diharapkan

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 43


kerangka dan lingkungan regulasi yang berkembang akan mendukung
dan memberi arah kepada aktifitas pembangunan, bukan semata
memberikan pembatasan.
Bappenas (2013) mencatat adanya enam permasalahan utama dalam
kerangka sistem regulasi di Indonesia, yaitu
rendahnya pemahaman terhadap kebijakan dan regulasi, termasuk
terhadap proses pemilihan dan perumusan kebijakan serta proses
pembentukan regulasi,
kuantitas regulasi yang terlalu banyak dan tidak terkontrol,
kualitas regulasi yang buruk,
tidak adanya otoritas tunggal pengelola regulasi,
belum tersedianya suatu sistem database regulasi yang komprehensif
dan terintegrasi, dan
rendahnya sinergi antara kebijakan dan regulasi
Dalam menjalankan reformasi regulasi, Bappenas (2013) mengusulkan
dua strategi utama perbaikan sistem regulasi. Strategi pertama adalah
pembenahan regulasi yang berlaku, yang mencakup inventarisasi regulasi,
identifikasi regulasi bermasalah, analisis regulasi bermasalah serta tindakan
perbaikan. Tindakan perbaikan dapat dilakukan dengan cara mencabut
regulasi yang bermasalah, memperbaiki regulasi yang berkualitas buruk
tetapi diperlukan dan mempertahankan yang sudah baik.
Strategi kedua adalah pengembangan konsep whole government
approach dalam perumusan kebijakan dan pembentukan regulasi baru. Ini
mencakup penataan kembali tata cara pembentukan regulasi menjadi lebih
tertib dengan mempertimbangkan berbagai proses peninjauan regulasi. Ini
dilakukan dengan memberikan kewenangan kepada suatu lembaga sebagai
otoritas pengelola regulasi. Dalam menjalankan kedua strategi tersebut,
Bappenas juga menyiapkan berbagai kelengkapan dan instrument yang
dapat digunakan untuk melakukan peninjauan regulasi.
Selain inisiatif yang diusung oleh Bappenas, ada beberapa inisiatif lain
dalam rangka perbaikan kondisi regulasi Indonesia. Pada tingkatan nasional,
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga telah memulai upaya
pengkajian regulasi yang berlaku dan membangun beberapa kelengkapan
yang diperlukan bagi upaya peninjauan regulasi.

44 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 3: Syarat Perlu Pengarusutamaan PPU

Pada
tingkatan regulasi daerah, pemerintah pusat telah menjalankan
mekanisme peninjauan untuk regulasi daerah sejak awal program
desentralisasi.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberi
kewenangan kepada pemerintah, terutama Kementerian Dalam Negeri,
untuk mengawasi peraturan daerah (perda) provinsi maupun kabupaten/
kota. Selain itu, Kementerian Keuangan juga melakukan pemeriksaan perda
mengenai pajak dan retribusi daerah. Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah juga berusaha mencapai beberapa
aspek lainnya seperti kepastian berusaha dan perbaikan kemampuan
perpajakan daerah.

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 45


BAB 4
Gambaran Umum
Peta Jalan
4.1. Tujuan dari Peta Jalan

Tujuan dari keseluruhan Peta Jalan ini adalah bahwa prinsip persaingan
usaha (PPU) dapat dimasukkan sebagai salah satu elemen pertimbangan
dalam penyusunan kebijakan ekonomi serta seluruh regulasi yang terkait
dengan sektor ekonomi. Pengintegrasian prinsip persaingan usaha dalam
kerangka kebijakan dan regulasi ekonomi di Indonesia mengandung
beberapa dimensi, serta perlu untuk dilakukan secara bertahap. Strategi dan
penekanan untuk masing-masing tahapan dalam pengarusutamaan prinsip
persaingan usaha tentunya berbeda-beda, sebagaimana akan dijelaskan pada
bagian-bagian berikutnya.

4.2. Sistematika Pemikiran Peta Jalan

Peta Jalan Pengarusutamaan PPU sangat diperlukan, mengingat


konteks kondisi persaingan usaha di Indonesia saat ini. Secara umum,
sejumlah indikator kunci persaingan usaha, seperti rasio konsentrasi di
industri manufaktur, menunjukkan tren yang kurang baik selama 15 tahun
terakhir, sebagaimana dijelaskan lebih lanjut di Bab 2. Iklim persaingan
usaha yang kurang baik ini dapat berasal dari dua sumber utama.
Pertama adalah perilaku dunia usaha yang anti-kompetitif, misalnya dengan
banyak ditemukannya kasus kartel dan penyalahgunaan posisi dominan
di berbagai sektor. Kedua, dapat juga berasal dari regulasi atau kebijakan
ekonomi yang tidak memperhitungkan prinsip persaingan usaha yang sehat

46 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


dalam penyusunannya, sehingga berkontribusi pada kurangnya persaingan
usaha yang memadai di sektor tersebut.
KPPU sendiri sebagai institusi yang diberi mandat untuk menegakkan
persaingan usaha sehat di Indonesia memiliki kapasitas yang sangat
terbatas untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang kondusif,
jika tidak didukung oleh pihak pemerintah lainnya, terutama regulator di
sektor ekonomi. KPPU memang sering memberikan saran dan pertimbangan
bagi kebijakan/regulasi di berbagai sektor, demi terpeliharanya kesempatan
bersaing yang sehat. Akan tetapi, saran dan pertimbangan ini sering kali
kurang diakomodasi pemerintah, sehingga banyak regulasi yang tetap
memberikan konsekuensi negatif bagi persaingan usaha di sektor tersebut.
Nilai-nilai persaingan usaha yang secara penuh terintegrasi dalam
penyusunan kebijakan dan regulasi ekonomi akan memberikan manfaat
yang besar terhadap perekonomian. Selain mendorong efisiensi, daya saing,
serta meningkatkan insentif untuk inovasi dan investasi, persaingan usaha
yang sehat juga dapat membuat tingkat harga menjadi lebih kompetitif,
sehingga berpengaruh positif pada upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan pengurangan tingkat kemiskinan. Namun demikian, hingga
kini masih terdapat perbedaan (gap) antara kondisi persaingan usaha aktual saat
ini dengan kondisi ideal, di mana prinsip persaingan usaha telah terintegrasi
dalam seluruh regulasi dan kebijakan, terutama di sektor ekonomi.
Merespon kondisi yang demikian, Peta Jalan akan berusaha untuk
memasukkan nilai-nilai persaingan usaha yang sehat ke dalam kerangka
penyusunan kebijakan/regulasi di sektor ekonomi melalui sejumlah metode
dan instrumen yang akan dijabarkan pada bagian-bagian selanjutnya.
Peta Jalan ini akan sangat terkait dengan inisiatif peninjauan regulasi
yang sudah dimulai pemerintah saat ini. Tujuan akhir dari Peta Jalan
Pengarusutamaan PPU dalam Regulasi dan Kebijakan Ekonomi ini adalah
bahwa PPU yang sehat telah secara sistematis terintegrasi ke dalam seluruh
regulasi baru maupun eksisting di sektor ekonomi. Namun demikian,
mencermati perkembangan terkini di Indonesia, pelaksanaan Peta Jalan ini
memiliki peluang maupun kendala fundamental.
Peta Jalan Pengarusutamaan PPU ini sangat sesuai untuk dilakukan saat
ini, karena bertepatan dengan inisiatif pemerintah di tingkatan yang tinggi,
dengan instruksi langsung dari Presiden untuk mengadakan reformasi

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 47


regulasi. Sudah ada sejumlah aktivitas untuk meninjau ulang regulasi-
regulasi di sektor ekonomi, serta beberapa perangkat instrumen peninjauan
regulasi yang telah disiapkan. Tujuan dari reformasi regulasi ini sendiri
salah satunya adalah untuk mempermudah investasi, sehingga mendorong
efisiensi dan pertumbuhan ekonomi. Penegakkan persaingan usaha yang
sehat sejalan dengan tujuan tersebut, oleh karena itu pengarusutamaan PPU
sangat berpeluang mendapatkan peran yang cukup sentral dalam inisiatif
reformasi regulasi di Indonesia saat ini.
Sementara itu, belum adanya otoritas tunggal yang melakukan
pengelolaan atau peninjauan regulasi di tingkat nasional berpotensi
menjadi salah satu hambatan utama dalam pelaksanaan Peta Jalan ini.
Pengintegrasian Prinsip Persaingan Usaha (PPU) dalam regulasi baru
maupun eksisting di sektor ekonomi sangat mungkin dilakukan melalui
proses peninjauan regulasi (regulatory review) komprehensif di tingkat
nasional, yang seharusnya dilakukan oleh otoritas tunggal regulasi tersebut.
Belum adanya otoritas tunggal tersebut menyebabkan integrasi PPU dalam
regulasi sektor ekonomi akan menjadi lebih sulit karena tersebar di sejumlah
besar Kementerian maupun Pemerintah Daerah. Berbagai aktivitas yang
dirancang dalam Peta Jalan sangat bergantung pada berdiri/ditunjuknya
sebuah Lembaga Peninjauan Regulasi (LPR).

Gambar 4.1. Sistematika Pemikiran Peta Jalan Pengarusutamaan PPU

Kesempatan
Bertepatan dengan inisiatif
Reformasi Regulasi dari Presiden

Peninjauan
Regulasi
Pokok Persoalan Baru
dan
- Kesadaran PPU yang Eksisting PPU
Terintegrasi
masih rendah Strategi & Upaya dalam Regulasi
Kondisi - Regulasi/kebijakan melalu Peta Jalan Sektor
Persaingan ekonomi yang tidak P3U Ekonomi
Instrumen
Usaha pada berpihak pada Integrasi PPU
Saat Ini persaingan usaha yang ke dalam
sehat Regulasi
- Saran/pertimbangan Ekonomi
KPPU kurang diakomodasi
- Terbatasnya kapasitas
dalam penerapan PPU
Manfaat
Tantangan
Persaingan
Usaha bagi Belum adanya otoritas tunggal
Ekonomi regulasi

48 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 4: Gambaran Umum Peta Jalan

4.3. Tahapan-Tahapan dalam Peta Jalan

Secara umum, Peta Jalan Pengarusutamaan Prinsip Persaingan Usaha


(PPU) dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama adalah pencapaian
sebuah konsensus di tingkat nasional, yang melibatkan seluruh pengambil
kebijakan maupun pelaku usaha, mengenai definisi prinsip persaingan
usaha serta pentingnya prinsip-prinsip tersebut untuk dipertimbangkan
dalam penyusunan kebijakan dan regulasi ekonomi. Tahap kedua adalah
pengintegrasian prinsip persaingan usaha dalam penyusunan regulasi-
regulasi baru yang terkait dengan sektor ekonomi. Selanjutnya, tahap
ketiga adalah melakukan tinjauan ulang dan/atau revisi pada regulasi yang
telah ada (eksisting) dengan memperhitungkan prinsip persaingan usaha.
Gambar 4.2. dan Gambar 4.3. menjelaskan rangkuman serta output yang
ditargetkan pada masing-masing tahap.

Gambar 4.2. Rangkuman Tahapan dalam Peta Jalan Pengarusutamaan PPU

Mengintegrasikan Prinsip Persaingan Usaha dalam Kebijakan Ekonomi

Tujuan Utama di Masing-masing Tahap

1 2 3
Mencapai konsensus Prinsip persaingan Tinjauan ulang dan
mengenai prinsip usaha digunakan dalam revisi pada regulasi
persaingan usaha serta menyusun regulasi baru eksisting, berdasarkan
kerangka insitusinya prinsip kompetisi

Tantangan Utama di Masing-masing Tahap

Kurangnya kesadaran akan Tidak adanya database


masalah persaingan usaha Prinsip persaingan usaha komprehensif dan regulasi,
tidak masuk dalam berdasarkan aspek
Banyak interpretasi dari RPJMN
prinsip persaingan usaha kompetisi
Adanya kepentingan yang Prinsip persaingan usaha Sumber daya untuk
berbeda-beda/conflicting belum diperhitungkan menganalisis regulasi
dalam mekanisme/proses eksisting dari sudut
Penolakan dari interest tinjauan regulasi.
group pandang kompetisi

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 49


Gambar 4.3. Output Masing-Masing Tahap dalam Peta Jalan Pengarusutamaan PPU

TAHAP 1 Konsensus Prinsip Persaingan Usaha (PPU)


Definisi Prinsip Persaingan Usaha (PPU)

Pengarusutamaan PPU dalam RPJMN 2020-2024


TAHAP 1
Seluruh regulasi baru sektor ekonomi memperhitungkan PPU

Database Regulasi Eksisting Sektor Ekonomi


TAHAP 1 Sistem Analisis Persaingan Usaha pada Regulasi Eksisting

4.4. Sekilas tentang Prinsip Persaingan Usaha (PPU)

Sebagaimana dijelaskan di atas, salah satu aktivitas penting dalam Peta


Jalan adalah perumusan definisi Prinsip Persaingan Usaha (PPU) di dalam
konsensus, yang selanjutnya akan diaplikasikan dalam penyusunan kebijakan
maupun regulasi ekonomi. Beberapa negara yang lebih maju telah memiliki
sejumlah prinsip-prinsip dasar, yang dapat dijadikan salah satu bahan
pertimbangan dalam penyusunan definisi PPU di Indonesia (meskipun
diperlukan modifikasi sesuai konteks Indonesia). Salah satu contohnya adalah
PPU yang dirumuskan oleh Pacific Economic Cooperation Council (PECC).
Secara umum, prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat harus
didasarkan pada nilai-nilai non-diskriminatif, komprehensif, transparan,
serta akuntabel. PPU menurut PECC sendiri dijabarkan dalam 15 poin
pembahasan. Beberapa prinsip kunci yang dijelaskan mencakup hal-hal
seperti: (1) memberikan penekanan pada mekanisme pasar yang berfungsi
dengan baik, (2) menerapkan pendekatan berbasis persaingan dalam
pengambilan kebijakan, (3) secara progresif mengeliminasi regulasi yang
menjadi hambatan masuk (entry barriers) atau mengurangi kemampuan
pelaku usaha untuk bersaing, (4) mengurangi ketidakpastian bagi dunia
usaha, serta (5) mengurangi jumlah pengecualian dalam penerapan penuh
nilai-nilai persaingan usaha di berbagai sektor. Penjabaran sejumlah poin
tersebut secara lebih lengkap dapat dilihat di dalam Box 4.1. di bawah.

50 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 4: Gambaran Umum Peta Jalan

Box 4.1. Sejumlah Prinsip Persaingan Usaha (PPU) Menurut PECC

Foster greater reliance upon well-functioning markets and to that end


upon the role of competition.
Adopt, maintain, and apply a competition-driven approach to a broad
range of policy areas, including trade policies and remedies, that impact
on markets.
Minimize exceptions from reliance upon well-functioning market
mechanisms and the role of competition; and apply any government
intervention in markets that is deemed necessary, only with the
conditions that: (a) there is minimum distortion to the competitive
process, (b) net welfare gains are clearly and explicitly identifiable.
Ensure competitive neutrality and hence a competitive environment
through uniform (non-discriminatory) application of the same
competition principles to the different modes of domestic and
international supply (goods, services, direct investment)
Generally to foster an efficiency-based approach to competition
recognizing that competition on the basis of economic merit is the
relevant competition standard for promoting an efficient and welfare
enhancing competitive process.
Minimize uncertainty for business and foster confidence in system
fairness and predictability by adhering to the following procedures:
Facilitate the competitive process by progressively eliminating within a
reasonable time frame government regulations that create or maintain
barriers to market entry that are efficiency-reducing.
Progressively eliminate within a reasonable time frame government
regulations, practices, and costs that have the effect of impeding the
ability of market players, including SMEs, to compete through innovation
and efficiency.

4.5. Tantangan Kunci

Pelaksanaan Peta Jalan PPU akan menghadapi beberapa tantangan kunci


yang akan menentukan dinamika implementasi. Untuk tahap pertama,
pencapaian konsensus mengenai pentingnya prinsip persaingan usaha di
tingkat nasional sangat diperlukan mengingat masih kurangnya kesadaran
dari pelaku usaha maupun pengambil kebijakan maupun regulator mengenai
definisi serta pentingnya PPU. Selain itu, proses perundingan untuk
mencapai konsensus PPU di tingkat nasional tidak akan mudah, mengingat
banyaknya kelompok kepentingan dengan tujuan yang berbeda-beda.
Sementara itu, untuk melakukan peninjauan ulang regulasi baru
maupun eksisting, tantangan dalam Peta Jalan ini adalah belum masuknya

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 51


strategi pengintegrasian PPU dalam agenda pembangunan nasional
yang tertuang pada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN). Selain itu, hingga kini belum terdapat mekanisme
peninjauan regulasi yang komprehensif yang benar-benar siap digunakan
untuk mendukung inisiatif ini. Belum tersedianya suatu basis data regulasi
di tingkat nasional juga berpotensi menyebabkan sulitnya proses peninjauan
kembali regulasi eksisting.
Meskipun demikian, upaya peninjauan regulasi dalam Peta Jalan ini tidak
harus dimulai dari titik nol, karena saat ini beberapa lembaga pemerintah
seperti Bappenas dan BPHN telah memiliki alat atau kerangka untuk
melakukan peninjauan ulang regulasi, sebagaimana telah dijelaskan pada
Bab 3.4. tentang Inisiatif Peninjauan Regulasi. Menggabungkan instrumen
integrasi PPU ke dalam alat atau kerangka proses peninjauan regulasi yang
sudah ada akan menjadi tantangan tersendiri dalam implementasi Peta Jalan.

4.6. Aspek Penting dalam Peta Jalan

Pembahasan aktivitas serta komponen yang dibutuhkan dalam Peta Jalan ini
secara umum dikelompokkan ke dalam tiga aspek, yaitu (1) aspek kelembagaan,
(2) aspek konsultasi & koordinasi, dan (3) aspek hukum dan perundangan.

4.6.1. Aspek Kelembagaan


Dalam Aspek Kelembagaan, akan dijelaskan mengenai institusi-institusi
kunci yang terlibat dalam upaya pengarusutamaan PPU, serta mekanisme
kerjanya satu sama lain. Aspek kelembagaan terutama akan menekankan
peran serta aktivitas yang dilakukan oleh dua instansi yang menjadi titik
fokus (focal point) inisatif ini, yaitu Lembaga Peninjauan Regulasi (LPR)3
dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Mengingat eratnya
keterkaitan pengarusutamaan PPU dengan reformasi regulasi,
maka pembahasan Aspek Kelembagaan akan menjelaskan bagaimana
kerangka institusional yang diperlukan untuk melakukan proses peninjauan
regulasi, serta khususnya mengintegrasikan PPU yang sehat di dalam
3 Saat ini, belum ada sebuah institusi yang dibentuk/ditunjuk sebagai Lembaga Peninjauan Regulasi (LPR),
meskipun telah terdapat beberapa inisiatif ke arah tersebut. Perlu ditekankan bahwa LPR ini tidak harus
merupakan lembaga baru, melainkan dapat juga memanfaatkan lembaga/institusi eksisting yang diberikan
penunjukkan oleh Presiden. Penggunaan sebutan LPR dalam Peta Jalan ini dilakukan untuk menekankan
adanya otoritas tunggal dalam proses peninjauan regulasi.

52 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 4: Gambaran Umum Peta Jalan

regulasi ekonomi yang baru maupun eksisting.


Secara umum, perlu didirikan Forum Diskusi Persaingan Usaha yang
melibatkan berbagai kepentingan, yang mengarah kepada pencapaian
konsensus mengenai PPU di tingkat nasional. Kemudian, PPU baru dapat
diintegrasikan ke dalam proses peninjauan regulasi baru maupun eksisting
dengan menggunakan instrumen persaingan usaha yang akan dijelaskan
lanjut pada bagian berikutnya, dengan mekanisme kerja yang juga akan
dijelaskan lebih lanjut.

4.6.2. Aspek Konsultasi & Koordinasi


Aspek Konsultasi & Koordinasi akan menjabarkan daftar serta peran
dari sejumlah pemangku kepentingan relevan yang terkait dengan upaya
pengarusutamaan PPU ini. Karena tinjauan regulasi di sektor ekonomi
akan menjadi konteks bagi integrasi PPU, maka pengarusutamaan PPU
perlu mendapatkan dukungan penuh dari sejumlah pemangku kepentingan
utama. Tanpa adanya dukungan dari sejumlah pemangku kepentingan
utama tersebut (yang juga menjadi champions bagi pengarusutamaan PPU),
Peta Jalan ini akan sulit diimplementasikan. Pemangku kepentingan utama
melingkupi Kementerian Perdagangan, Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian, Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Hukum dan HAM, dan Kantor
Staf Kepresidenan. Pemangku kepentingan lainnya mencakup K/L teknis,
pemerintah daerah, serta pelaku usaha dan akademisi.
Dalam aspek Konsultasi & Koordinasi akan dijelaskan mengenai
pentingnya perumusan tanggung jawab masing-masing pihak dalam inisiatif
pengarusutamaan PPU, serta mekanisme konsultasi dan koordinasi mereka
dengan dua focal point dalam proses ini, yaitu LPR dan KPPU, terutama
mengenai hal-hal yang terkait dengan peninjauan regulasi baru maupun
eksisting yang melibatkan instansi masing-masing.

4.6.3. Aspek Hukum & Perundangan


Aspek Hukum & Perundangan akan menjabarkan beberapa dokumen
legal (termasuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden) yang dibutuhkan untuk mendukung aktivitas pengarusutamaan
PPU dalam penyusunan kebijakan dan regulasi ekonomi di Indonesia.

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 53


Antara lain, aspek ini akan membahas mengenai legitimasi yang
diperlukan untuk menunjuk Lembaga Peninjauan Regulasi (LPR) sebagai
pelaku utama proses peninjauan regulasi di Indonesia, dasar hukum yang
diperlukan untuk melakukan proses peninjauan regulasi, serta rencana
untuk memasukkan Pengarusutamaan PPU ke dalam RPJMN 2020-2024.

54 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 5: Aspek Kelembagaan

BAB 5
Aspek Kelembagaan

D
alam Aspek Kelembagaan dan Organisasi, terdapat
delapan aktivitas kunci untuk mendukung pengarusutamaan
prinsip persaingan usaha (PPU) dalam penyusunan regulasi
dan kebijakan ekonomi, yaitu: (a) pembentukan dan
pelaksanaan Forum Diskusi Persaingan Usaha, (b) pembentukan atau
penunjukkan Lembaga Peninjauan Regulasi (LPR) serta mekanisme
koordinasinya dengan KPPU, (c) penyusunan Daftar Periksa Persaingan
Usaha (competition checklist) yang akan digunakan dalam proses peninjauan
regulasi, (d) penyusunan guideline integrasi PPU di dalam pembuatan
atau peninjauan regulasi, (e) pembentukan basis data regulasi ekonomi,
serta kaitannya dengan persaingan usaha, (f ) pembangunan kapasitas dan
sosialisasi proses peninjauan regulasi kepada Kementerian/Lembaga/
Pemerintah Daerah (K/L/P) (f ) penentuan indikator kinerja, dan (g)
monitoring dan evaluasi.

5.1. Forum Diskusi Persaingan Usaha

Prinsip persaingan usaha yang sehat perlu diterapkan dalam setiap


regulasi yang dikeluarkan pengambil kebijakan di berbagai sektor dan
tingkatan. Namun demikian, hingga kini secara umum pemahaman
pengambil kebijakan mengenai prinsip persaingan usaha yang sehat serta
pentingnya prinsip-prinsip tersebut bagi perekonomian yang efisien masih
sangat terbatas.
Oleh karena itu, sebelum prinsip persaingan usaha bisa diintegrasikan

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 55


ke dalam setiap regulasi, diperlukan sebuah konsensus di tingkat nasional,
di mana pengambil kebijakan dari berbagai Kementerian/Lembaga serta
Pemerintah Daerah (K/L/P) bersama-sama menyepakati mengenai batasan
prinsip persaingan usaha yang sehat, serta pentingnya untuk mengintegrasikan
prinsip-prinsip tersebut dalam regulasi yang mereka hasilkan.
Pencapaian konsensus akan sulit jika berbagai K/L/P memiliki
pengetahuan serta pandangan yang berbeda-beda mengenai PPU.
Oleh karena itu, sebagai upaya untuk mulai meningkatkan kesadaran
K/L/P mengenai pentingnya prinsip persaingan usaha yang sehat serta
memfasilitasi diskusi yang rutin mengenai isu-isu persaingan usaha,
perlu dibentuk sebuah Forum Diskusi Persaingan Usaha.

Gambar 5.1. Alur Pemikiran Pembentukan Forum Diskusi Persaingan Usaha

Integrasi PPU
Tercapai
Kesadaran PPU Adakan Forum dalam seluruh
konsensus PPU
yang masih Diskusi regulasi ekonomi
di tingkat
rendah Persaingan Usaha (baru dan
nasional
eksisting)

Pemangku kepentingan yang dimediasi dalam Forum ini berasal dari


tiga elemen utama (tripartite), yang mencakup: (1) pemerintah, sebagai
pengambil kebijakan dan penyusun regulasi, (2) dunia usaha, sebagai pihak
yang terkena dampak regulasi, dan (3) akademisi.
Terdapat tiga tujuan dari penyelenggaraan Forum Diskusi Persaingan
Usaha ini. Pertama, adalah untuk memfasilitasi diskusi yang rutin antara
berbagai pemangku kepentingan mengenai beberapa isu penting yang
terkait dengan persaingan usaha di Indonesia, sehingga melaluinya masing-
masing peserta bisa mendapatkan pemahaman yang lebih utuh mengenai
isu persaingan usaha penting yang dibahas dari berbagai perspektif.
Kedua, adalah sebagai sarana untuk mencapai konsensus di tingkat nasional
mengenai prinsip persaingan usaha. Ketiga, untuk membahas masalah-
masalah krusial yang terkait persaingan usaha serta mengembangkan
alternatif solusi untuk masalah-masalah tersebut.
Forum ini diharapkan dapat mulai berjalan pada tahun 2016.
Oleh karena itu, mulai saat ini diperlukan usaha untuk mensosialisasikan

56 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 5: Aspek Kelembagaan

rencana pembentukan Forum kepada beberapa pemangku kepentingan


relevan yang telah disebut sebelumnya. Salah satu output kunci yang
diharapkan dari pembentukan Forum Diskusi Persaingan Usaha ini
adalah konsensus nasional mengenai definisi serta pentingnya integrasi
prinsip persaingan usaha dalam penyusunan regulasi sektor ekonomi,
yang ditargetkan dapat dicapai pada akhir tahun 2017. Namun demikian,
forum ini diharapkan dapat terus berlanjut setelah tercapai konsensus.
Dalam implementasinya, Forum Diskusi Persaingan Usaha ini dapat
memanfaatkan pengalaman beberapa forum sejenis yang telah berjalan di
sektor lain, seperti dijabarkan dalam Box 5.1. di bawah.

Box 5.1. Contoh Forum Diskusi Sejenis di Sektor Lain

Pembentukan sebuah Forum Diskusi yang memediasi berbagai


pemangku kepentingan sebenarnya telah beberapa kali dilakukan
di Indonesia. Saat ini dalam sektor ekonomi terdapat setidaknya dua
forum yang diinisiasi oleh CSIS, yaitu Indonesia Services Dialogue (ISD)
dan Forum Kebijakan Ketenagakerjaan (FKK), yang masing-masing
berfokus pada pengembangan sektor jasa dan ketenagakerjaan.

ISD mulai berjalan sejak 2010, yang saat ini memiliki keanggotaan
tripartite, yaitu APINDO dan KADIN dari dunia usaha, Kementerian
Perdagangan dari Pemerintah, serta CSIS sebagai perwakilan akademisi.
Tujuan dari ISD adalah untuk memfasilitasi berbagai pemangku
kepentingan di sektor jasa dalam mempromosikan pertumbuhan
dan efisiensi sektor jasa di Indonesia melalui koordinasi yang bersifat
tripartite tersebut. Selain memfasilitasi dialog antar pemangku
kepentingan, pendekatan strategis dan holistik dari ISD yang didasarkan
pada penelitian evidence-based juga menghasilkan input konkrit bagi
Pemerintah yang berguna untuk pengembangan sektor jasa Indonesia,
terutama dalam area perdagangan dan investasi di sektor jasa.

Sejumlah aktivitas yang secara rutin dilakukan ISD mencakup ISD Annual
Services Summit, ISD Public Forum and Roundtable Dialogue yang
melibatkan pelaku usaha dan pejabat kunci pemerintahan, ISD Dialogue
Series, ISD Policy Research, Executive Luncheons antara pelaku usaha
utama di sektor jasa dengan pemerintah, serta Konsultasi Sektor Swasta.

Sementara itu, Forum Kebijakan Ketenagakerjaan (FKK) bertujuan untuk


menyediakan sarana yang dapat memfasilitasi pemangku kepentingan
untuk berdiskusi mengenai isu-isu krusial mengenai kebijakan
ketenagakerjaan di Indonesia. Keanggotaan FKK juga tripartite,
yaitu melibatkan pengambil kebijakan/pemerintah, perwakilan buruh,

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 57


serta perwakilan pengusaha dan asosiasi). Diskusi dalam FKK lebih
difokuskan untuk mencari alternatif solusi permasalahan ketenagakerjaan
di Indonesia, serta memberi saran kebijakan yang dapat meningkatkan
penyerapan serta kualitas tenaga kerja di Indonesia.

FKK secara rutin melakukan pertemuan dengan melibatkan ketiga


pihak di atas. Dalam setiap pertemuan, FKK mengangkat subtopik
ketenagakerjaan yang berbeda-beda, misalnya mengenai kebijakan Upah
Minimum, peningkatan keahlian tenaga kerja Indonesia, peningkatan
partisipasi tenaga kerja wanita, atau Kebijakan Uang Pesangon. FKK
selalu berusaha untuk memberikan rekomendasi bagi Pemerintah agar
dapat terus meningkatkan kinerja tenaga kerja serta kualitas kebijakan
ketenagakerjaan di Indonesia.

5.2. Pembentukan/Penunjukkan Lembaga Peninjauan


Regulasi (LPR)

Pengarusutamaan PPU dalam Peta Jalan ini diletakkan di dalam


konteks reformasi regulasi yang saat ini sedang dilakukan pemerintah,
atau lebih tepatnya dalam proses peninjauan regulasi (regulatory review
process). Ini merupakan proses executive review, sebagai pelengkap dari
judicial review yang selama ini telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
PPU perlu terintegrasi baik di dalam penyusunan regulasi baru, maupun
di dalam regulasi yang sudah ada (eksisting). Oleh karena itu, setelah
tercapai konsensus PPU di tingkat nasional, diperlukan pembentukan atau
penunjukkan suatu institusi yang ditugaskan untuk melakukan peninjauan
regulasi. Institusi tersebut dalam Peta Jalan ini disebut dengan Lembaga
Peninjauan Regulasi (LPR).
LPR dapat merupakan lembaga baru yang khusus dibentuk untuk
reformasi regulasi, maupun lembaga pemerintahan yang sudah ada
(contohnya Bappenas atau Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi).
Pembentukan atau penunjukkan LPR ini harus memiliki legitimasi hukum
yang kuat, misalnya melalui Undang-Undang atau Peraturan Presiden.
Diharapkan bahwa jangkauan regulasi yang ditinjau LPR dapat mencakup UU,
Perpres, PP, dan terutama hingga tingkatan Peraturan Menteri (mengingat
67% regulasi baru dalam 15 tahun terakhir adalah dalam bentuk Permen),
meskipun hal demikian memerlukan sumber daya yang sangat masif.

58 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 5: Aspek Kelembagaan

Tugas utama LPR adalah melakukan peninjauan baik pada regulasi yang
akan disusun (regulasi baru) dan melakukan peninjauan serta memberikan
rekomendasi revisi jika diperlukan pada regulasi eksisting, agar seluruh
regulasi di tingkat nasional dapat sesuai dengan prinsip good regulatory
practices. Fungsi dan peranan LPR juga dijelaskan lebih lanjut pada Bab 3.
Dalam Peta Jalan ini, PPU akan diintegrasikan sebagai salah satu elemen
penting dalam pertimbangan/analisis peninjauan regulasi. Oleh karena
itu, untuk menganalisis aspek persaingan usaha dalam proses peninjauan
regulasi, LPR harus berkoordinasi dengan KPPU.
Untuk memberikan kepastian hubungan kerja antara LPR dan KPPU,
maka dokumen legal penunjukkan LPR (atau regulasi turunannya) harus
dilengkapi dengan mekanisme koordinasi LPR dengan KPPU dalam
analisis persaingan usaha pada proses peninjauan regulasi baru maupun
regulasi eksisting.
Peta Jalan ini memberi masukan mengenai mekanisme koordinasi antara
LPR dengan KPPU. Dalam hal ini, LPR tetaplah merupakan otoritas tunggal
yang memiliki wewenang untuk meninjau serta memberikan rekomendasi
revisi terhadap regulasi yang bersifat mengikat. Sementara itu, KPPU akan
menjalankan fungsinya untuk peninjauan terhadap kebijakan pemerintah
(seperti tercantum dalam Pasal 35 di UU No 5 Tahun 199934) melalui LPR45.
Sebagai contoh, jika ada rancangan regulasi baru yang dinilai KPPU
menyalahi PPU yang telah dikonsensuskan sebelumnya, maka KPPU
berhak meminta revisi rancangan regulasi tersebut, yang nantinya akan
disampaikan LPR kepada kementerian pengusul regulasi tersebut melalui
mekanisme peninjauan regulasi LPR. Mekanisme kelembagaan LPR serta
koordinasinya dengan KPPU dapat dilihat dalam Gambar 5.2 di bawah
ini. Pembentukan atau penunjukkan LPR serta mekanisme konsultasinya
dengan KPPU ditargetkan dapat selesai pada akhir tahun 2018.

4 Pasal 35 UU No 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa salah satu tugas KPPU adalah untuk memberikan saran
dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli atau persaingan
usaha tidak sehat. Dalam Peta Jalan ini. KPPU akan berperan melakukan analisis/tinjauan persaingan usaha
terhadap kebijakan pemerintah (yang dituangkan dalam regulasi eksisting atau rancangan regulasi) terutama
di sektor ekonomi.
5 Perlu diingat bahwa meskipun penting, persaingan usaha hanya merupakan salah satu elemen dalam analisis
substansi regulasi. Oleh karena itu, LPR mungkin saja menunjuk institusi lain di luar KPPU untuk melakukan
analisis/tinjauan pada aspek lain (selain persaingan usaha) yang juga terdapat dalam good regulatory practices.

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 59


Gambar 5.2. Mekanisme Hubungan Kelembagaan Kunci dalam Proses
Peninjauan Regulasi

PRESIDEN
Memberikan Arahan Prioritas Kebijakan dan Langkah-langkah
Reformasi Regulasi

KPPU Lembaga Peninjauan Regulasi (LPR)

Asosiasi, Dunia Usaha,


Lembaga Riset,
Akademisi, Masyarakat

Pelaksanaan
Kementrian/Lembaga/Pemda Rencana Tindakan
FOD
(K/L/P) Tindak (Cabut/Revisi/
Pertahankan)

Garis instruksi Garis koordinasi

5.3. Daftar Periksa Persaingan Usaha dalam Proses


Peninjauan Regulasi

Setelah berjalannya LPR yang diberikan wewenang untuk melakukan


peninjauan regulasi, langkah berikutnya agar PPU dapat terintegrasi dalam
proses peninjauan regulasi adalah menyusun instrumen Daftar Periksa
Persaingan Usaha (competition checklist) yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi apakah regulasi yang ditinjau tersebut sejalan dengan PPU
yang sehat yang telah dikonsensuskan.
Berangkat dari praktik penyusunan regulasi yang baik (best regulatory
practices) di tingkat internasional, serta dengan mempertimbangkan
kepentingan nasional sebagaimana diamanatkan dalam UU No 5 Tahun
1999, KPPU telah berhasil menyusun sebuah Daftar Periksa Persaingan
Usaha. Box 5.2. di bawah menunjukkan empat kelompok dalam Daftar
Periksa, yaitu regulasi umum yang tidak masuk pengecualian UU No 5
Tahun 1999, serta tiga kategori regulasi lainnya berupa peraturan
pelaksanaan, regulasi yang memberikan hak monopoli ataupun perlakuan
khusus pada pelaku usaha tertentu.
Adapun Daftar Periksa Persaingan Usaha tersebut dapat digunakan untuk
memeriksa baik rancangan peraturan ataupun peraturan perundangan

60 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 5: Aspek Kelembagaan

yang sudah ada/eksisting. Daftar Periksa ini sendiri sejak awalnya memang
dirancang oleh KPPU untuk digunakan oleh Kementerian/Lembaga/
Pemerintah Daerah (K/L/P) yang mengeluarkan rancangan regulasi
sebagai suatu self-assessment sebelum keluar dengan sebuah rancangan
regulasi baru.
Dengan menggunakan Daftar Periksa ini sebagai instrumen analisis
rancangan regulasi baru, diharapkan bahwa regulasi yang dihasilkan nantinya
boleh selaras dengan PPU yang sehat, sebagaimana dijelaskan dalam UU No
5 Tahun 1999. Namun demikian, selama ini pemberlakuan self-assessment
tersebut sifatnya adalah sukarela (voluntary), dan belum banyak dilakukan
pada praktiknya.
Daftar Periksa Persaingan Usaha yang disusun KPPU ini sendiri terdiri
dari sejumlah pertanyaan tertutup (Ya/Tidak). Pertama-tama, seluruh
regulasi akan diperiksa menggunakan Daftar Periksa I. Jika seluruh
pertanyaan pada Daftar Periksa I dijawab Tidak, maka rancangan peraturan
tersebut dinilai sejalan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat. Namun
demikian, jika terdapat setidaknya satu jawaban Ya pada Daftar Periksa I,
pemeriksaan akan dilanjutkan dengan empat kemungkinan tindak lanjut:
a. Apabila penyebabnya adalah pengaturan kegiatan atau perjanjian
yang dikecualikan oleh peraturan perundangan, sebagaimana
diatur dalam pasal 50 huruf a UU No 5/1999, maka pemeriksaan
dihentikan. Peraturan perundangan yang diperiksa tetap berlaku
sebagaimana mestinya.
b. Apabila penyebabnya adalah adanya penunjukan monopoli oleh
pelaku usaha tertentu sebagaimana diatur dalam pasal 51 UU No
5/1999, maka pemeriksaan dilanjutkan dengan menggunakan daftar
periksa III.
c. Apabila penyebabnya adalah karena rumusan pengaturannya salah
sehingga bertentangan dengan UU No 5/1999 maka dilakukan
harmonisasi dengan tujuan merevisi atau mencabut klausul
pengaturan yang bertentangan dengan UU No 5/1999.
d. Apabila penyebabnya adalah rumusan pengaturan untuk tujuan
perlindungan pelaku usaha tertentu, maka Pemerintah Pusat/Daerah
harus melakukan Kajian Analisa Dampak untuk mengetahui dampak
dari peraturan tersebut.

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 61


Box 5.2. Instrumen Daftar Periksa Persaingan Usaha dari KPPU

Daftar Periksa I:
Untuk Seluruh Peraturan Sektor Ekonomi yang tidak dikecualikan UU No. 5
Tahun 1999

Pembatasan Jumlah/Jangkauan Pelaku Usaha


Pembatasan Kemampuan Pelaku Usaha
Pengurangan Insentif untuk Bersaing
Pembatasan Pilihan Barang atau Jasa bagi Konsumen

Daftar Periksa II:


Untuk Peraturan Pelaksana Peraturan Perundangan

Memastikan Peraturan ybs. merupakan pelaksanaan pengecualian pada UU


No. 5 Tahun 1999

Daftar Periksa III:


Untuk Peraturan yang Memberikan Hak Monopoli

Netralitas Persaingan Usaha


Netralitas Perlakuan Khusus
Transparansi Tata Kelola
Pengendalian Praktik Monopoli

Daftar Periksa IV:


Untuk Peraturan yang Memberikan Perlindungan bagi Pelaku Usaha Tertentu di
Sektor Tertentu
Apakah pemerintah daerah telah memiliki kajian analisa dampak
peraturan ybs.?
Apakah peraturan ybs. merupakan peraturan yang memberi perlindungan bagi
pelaku usaha di sektor tertentu?

Sumber: KPPU

Tentu saja tidak menutup kemungkinan bahwa Daftar Periksa Persaingan


Usaha yang telah ditampilkan pada Box 5.2. di atas masih akan mengalami
modifikasi lebih lanjut, yang disesuaikan dengan isi dokumen konsensus
nasional yang terjadi pada akhir 2017. Definisi yang spesifik mengenai PPU
yang sehat perlu diterjemahkan menjadi pertanyaan spesifik dalam Daftar
Periksa Persaingan yang nantinya akan benar-benar digunakan dalam proses
peninjauan regulasi.
Oleh karena itu, segera setelah tercapai konsensus PPU di tingkat
nasional, KPPU perlu untuk segera mengembangkan serta melakukan
finalisasi pada instrumen Daftar Periksa Persaingan Usaha berdasarkan
PPU yang disepakati bersama. Ditargetkan bahwa Daftar Periksa ini dapat
dikembangkan sepanjang tahun 2018, sehingga dapat siap digunakan dalam
proses peninjauan regulasi sejak awal atau pertengahan tahun 2019.

62 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 5: Aspek Kelembagaan

5.4. Penyusunan Petunjuk Pelaksanaan Integrasi PPU


dalam Penyusunan atau Peninjauan Regulasi

Pada sejumlah bagian lain dalam Peta Jalan ini, telah dijelaskan
bagaimana terdapat legitimasi65 untuk mengintegrasikan PPU ke dalam
proses peninjauan regulasi baru maupun eksisting. Namun demikian, pada
tingkat operasional integrasi tersebut, diperlukan suatu dokumen yang berisi
petunjuk pelaksanaan (guideline) integrasi PPU di dalam proses penyusunan
atau peninjauan regulasi, sebagai turunan dari UU atau PP yang lebih tinggi
mengenai amanat peninjauan regulasi.
Di dalam Petunjuk Pelaksanaan Integrasi PPU, terdapat beberapa aspek
penting yang perlu dijelaskan. Pertama, perlu dijelaskan tata cara pelaksanaan
integrasi PPU dalam proses peninjauan regulasi secara lebih terperinci,
misalnya terkait dengan tata cara pengisian Daftar Periksa Persaingan
Usaha dengan self-assessment oleh K/L/P, mekanisme rekomendasi rencana
tindak dari KPPU terhadap hasil tinjauan persaingan usaha dari regulasi
tertentu, serta hal-hal lainnya. Kedua, perlu dijelaskan secara lebih terperinci
mengenai mekanisme evaluasi self-assessment K/L/P yang dilakukan
oleh KPPU. Hal ini penting agar seluruh pihak dapat mengetahui dengan jelas
mengenai berbagai aspek persaingan usaha yang ditinjau, serta membantu
KPPU agar dapat melakukan evaluasi tersebut dengan obyektif. Ketiga, perlu
dijelaskan mengenai mekanisme ketika terjadi perbedaan pendapat antara
KPPU dengan K/L/P dalam aspek persaingan usaha pada proses peninjauan
regulasi. Hal ini bisa saja diakomodasi dalam bentuk Focus Group Discussion
(FGD) yang melibatkan K/L/P terkait dan pemangku kepentingan lainnya.
Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada Bab 6 mengenai Koordinasi &
Konsultasi.
Petunjuk Pelaksanaan Integrasi PPU dalam Proses Peninjauan Regulasi
ini diharapkan mulai disusun segera setelah tercapai konsensus PPU pada
akhir tahun 2017. Ditargetkan bahwa pada awal tahun 2019, guideline telah
selesai dan dapat mulai disosialisasikan ke pemangku kepentingan relevan,
terutama K/L/P, sehingga siap dioperasikan sejak pertengahan tahun 2019.

6 Dua bentuk legitimasi utama sebagaimana dijelaskan pada Aspek Perundangan adalah melalui Rancangan
Pembangunan Jangka Menengah Nasional/RPJMN 2020-2024 dan dasar hukum yang mengatur mengenai
proses peninjauan regulasi.

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 63


5.5. Pembentukan Basis Data Regulasi Ekonomi dan
Kaitannya dengan Persaingan Usaha

Terkait dengan integrasi PPU dalam proses peninjauan regulasi, Peta


Jalan ini menyarankan agar analisis persaingan usaha dapat mulai dilakukan
terlebih dahulu pada rancangan regulasi baru. Ditargetkan bahwa sejak
pertengahan 2019, regulasi baru yang terkait dengan sektor ekonomi
sudah mulai memperhitungkan aspek persaingan usaha melalui berbagai
instrumen yang disebutkan pada bagian sebelumnya. Namun demikian,
pada tahap berikutnya Peta Jalan ini juga menargetkan bahwa sejak tahun
2021 akan mulai dilakukan proses peninjauan pada regulasi eksisting yang
terkait dengan sektor ekonomi.
Regulasi eksisting sektor ekonomi jumlahnya sangat banyak, dalam
berbagai bentuk, dan tersebar di berbagai K/L, serta di tingkat Pemerintah
Daerah. Oleh karena itu, perlu direncanakan usaha yang sistematis agar
proses peninjauan regulasi eksisting dapat berlangsung dengan efisien. Oleh
karena itu, untuk mempermudah proses analisis regulasi eksisting, perlu
mulai dikembangkan sebuah basis data (database) seluruh regulasi eksisting
di bidang ekonomi.
Regulasi-regulasi yang dikumpulkan dalam basis data ini mencakup
UU, PP, Perpres, Peraturan Menteri, serta berbagai peraturan di tingkat
pemerintah daerah. Untuk mempermudah analisis (mengingat banyaknya
jumlah regulasi eksisting), basis data perlu memuat sebuah sistem yang
dapat melakukan diagnosis awal secara cepat (quick preliminary review) pada
aspek persaingan usaha, misalnya dengan memberikan beberapa pertanyaan
atau checklist sederhana yang didasarkan pada beberapa PPU kunci yang
telah dikonsensuskan sebelumnya.
Mengingat besarnya sumber daya yang diperlukan untuk melakukan
aktivitas ini, Peta Jalan ini menyarankan bahwa penyusunan Basis Data
Regulasi Eksisting Sektor Ekonomi dapat mulai dilakukan sejak awal 2017,
dan diharapkan dapat selesai pada akhir tahun 2020, sehingga proses
peninjauan regulasi eksisting dapat dimulai tahun 2021.

64 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 5: Aspek Kelembagaan

5.6. Pembangunan Kapasitas dan Sosialisasi Proses


Peninjauan Regulasi kepada K/L/P

Meskipun dikoordinasikan oleh LPR, proses peninjauan regulasi


baru maupun eksisting akan sangat melibatkan Kementerian/Lembaga/
Pemerintah Daerah (K/L/P) sebagai agensi yang mengeluarkan regulasi-
regulasi tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha pembangunan
kapasitas serta sosialisasi mengenai proses peninjauan regulasi agar K/L/P
dapat berpartisipasi lebih aktif.
Pembangunan kapasitas dan sosialisasi seharusnya dilakukan oleh
LPR dengan mengundang KPPU untuk aspek persaingan usaha. Melalui
pembangunan kapasitas dan sosialisasi, KPPU akan memberikan penjelasan
kepada K/L/P misalnya mengenai tata cara pelaksanaan self-assessment
pada Daftar Periksa Persaingan Usaha, menjelaskan berbagai kemungkinan
putusan/tindak lanjut dari LPR, serta melakukan sosialisasi mengenai
Petunjuk Pelaksanaan Integrasi PPU dalam Proses Peninjauan Regulasi.
Aktivitas-aktivitas ini ditargetkan untuk dilakukan selama tahun 2019-2020.

5.7. Penentuan Indikator Kinerja

Untuk memantau keberhasilan inisiatif ini, perlu dikembangkan sejumlah


indikator kinerja. Beberapa indikator ini akan mencerminkan kualitas dari
regulasi-regulasi yang dihasilkan sejak pelaksanaan Pengarusutamaan PPU ini,
terutama sehubungan dengan aspek persaingan usaha. Indikator-indikator ini
akan mengukur sampai sejauh mana regulasi-regulasi yang dihasilkan sudah
sesuai dengan PPU yang disepakati bersama dalam konsensus.
Indikator-indikator ini dapat dikembangkan oleh KPPU, yang juga bisa
mendapat masukan dari pemangku kepentingan lainnya melalui aktivitas
seperti Forum Diskusi Persaingan Usaha. Indikator Kinerja ini ditargetkan
mulai disusun sejak 2019 hingga selesai di tahun 2021.

5.8. Monitoring dan Evaluasi

Segala aktivitas integrasi PPU dalam regulasi sektor ekonomi ini terpusat
di LPR dan KPPU sebagai focal point. Peran kedua lembaga tersebut sangat

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 65


penting dalam menjamin kelangsungan seluruh inisiatif ini. Oleh karena
itu, diperlukan mekanisme monitoring dan evaluasi yang memantau kinerja
LPR maupun KPPU, yaitu apakah proses peninjauan regulasi serta integrasi
PPU di dalamnya, sebagaimana diamanatkan oleh UU berjalan dengan
sebagaimana mestinya.
Monitoring dan evaluasi ini dapat dilakukan langsung oleh Presiden.
Hal ini cukup memungkinkan karena kedua lembaga tersebut diatur oleh
UU untuk melapor langsung kepada Presiden.
Rangkuman mengenai seluruh aktivitas yang perlu dilakukan serta
kerangka waktu (timeline) pada Aspek Kelembagaan dapat dilihat pada
Gambar 5.3. di bawah ini.

66 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


Gambar 5.3 Kerangka Waktu Pengarusutamaan PPU Pada Aspek Kelembagaan

TAHAP 1 TAHAP 2 TAHAP 3

Konsensus
Pembentukan/ Checklist &
Nasional tentang
Penunjukkan LPR Guideline
PPU

2016 2017 2018 2019 2020 2021

Forum Diskusi Persaingan Usaha

Penunjukkan LPR & Mekanisme Koordinasi

Daftar Periksa Persaingan Usaha

Guideline Integrasi Prinsip Persaingan Usaha

Pembentukan Basis Data Regulasi Eksisting Sektor Ekonomi

Pembangunan Kapasitas & Sosialisasi ke K/L/P

Indikator Kualitas Regulasi

Monitoring dan Evaluasi

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan


BAB 5: Aspek Kelembagaan

67
BAB 6
Aspek Konsultasi &
Koordinasi

D
alam Aspek Konsultasi dan Koordinasi, terdapat
empat aktivitas kunci untuk mendukung pengarusutamaan
prinsip persaingan usaha (PPU) dalam penyusunan kebijakan
dan regulasi ekonomi, yaitu: (a) penyusunan Daftar Pemangku
Kepentingan untuk Pengarusutamaan PPU serta posisi dan peran masing-
masing, (b) penyusunan mekanisme konsultasi dan koordinasi penerapan
PPU dalam proses peninjauan regulasi, (c) mekanisme konsultasi dan
koordinasi dengan legislatif/DPR, (d) mekanisme pelaporan kegiatan
kepada Presiden.

6.1. Daftar Pemangku Kepentingan untuk


Pengarusutamaan PPU serta Posisi dan Peran Masing-
Masing (Stakeholders Mapping)

Pengarusutamaan Prinsip Persaingan Usaha dalam penyusunan kebijakan


dan regulasi sektor ekonomi adalah sebuah inisiatif besar yang melibatkan
banyak pemangku kepentingan di berbagai sektor dengan perspektif, fungsi,
dan kapasitas yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pada tahap awal dalam
inisiatif ini diperlukan suatu daftar yang menyebutkan secara eksplisit
nama-nama pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pengarusutamaan
PPU. Selain itu, pemetaan pemangku kepentingan ini juga perlu dilengkapi
dengan peran masing-masing lembaga di dalam proses pengarusutamaan

68 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


PPU ini, agar masing-masing pemangku kepentingan dapat mengetahui
kontribusi apa yang diharapkan dari mereka dalam seluruh inisiatif ini.
Seluruh pemangku kepentingan yang ada dalam daftar ini perlu dilibatkan
dalam proses menuju konsensus PPU di tingkat nasional. Akan lebih baik
jika seluruh pemangku kepentingan ini bisa ikut terlibat dalam Forum
Diskusi Persaingan Usaha. Secara umum, Peta Jalan ini mengidentifikasi
empat kategori utama pemangku kepentingan untuk Pengarusutamaan
PPU yang ditunjukkan Gambar 6.1. di bawah ini.

Gambar 6.1. Pemetaan Pemangku Kepentingan dalam Pengarusutamaan PPU

Titik Fokus (Focal Point)

Lembaga Peninjauan Regulasi (LPR) KPPU

Pemangku Kepentingan Pemangku Dunia Usaha Akademisi


Utama Kepentingan Sektoral

Kementrian PPN/Bappenas Kementrian/Lembaga Pelaku Usaha


(K/L) Teknis
Kementrian Koordinator Bidang Ekonomi Pemerintah Daerah Asosiasi

Kementrian Dalam Negri

Kantor Staf Kepresidenan (KSP)

Badan Koordinasi Penanaman Modal

Kementrian Perdagangan

Kementrian Hukum & HAM

Titik fokus (focal point) dalam pengarusutamaan PPU terdapat di


Lembaga Peninjauan Regulasi (LPR) dan KPPU. Peran dan koordinasi antar
keduanya telah dijelaskan pada Bab 5 mengenai Kelembagaan.
Akan tetapi, agar kedua focal point tersebut dapat menjalankan
pengarusutamaan dengan baik, diperlukan dukungan dari beberapa
pemangku kepentingan utama, yang memiliki peran strategis dalam
sektor ekonomi serta memiliki jangkauan kerja lintas sektor. Bappenas,
Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, BKPM, Kementerian
Perdagangan, Kementerian Dalam Negeri, Lembaga Kepresidenan,
serta Kementerian Hukum & HAM termasuk dalam kategori Pemangku
Kepentingan Utama tersebut.
Selanjutnya, terdapat juga sejumlah pemangku kepentingan sektoral,
yaitu pemerintahan di berbagai tingkat dan sektor yang menerbitkan regulasi-

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 69


regulasi yang terkait dengan sektor ekonomi. Termasuk dalam kategori ini
adalah masing-masing Kementerian/Lembaga (K/L) teknis (contohnya
Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian
Perhubungan, dll) dan juga seluruh pemerintah daerah di berbagai
tingkatan yang menerbitkan regulasi yang terkait dengan pengaturan atau
penyelenggaraan aktivitas ekonomi di daerah tersebut.
Pemangku kepentingan ketiga adalah dunia usaha. Pelaku usaha
merupakan pemangku kepentingan yang sangat penting karena mereka
yang secara langsung melaksanakan dan terkena dampak oleh regulasi yang
dibuat. Perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan PPU juga seringkali
berasal dari pelaku usaha. Selain itu, peran dunia usaha dan asosiasi
diperlukan untuk memberikan informasi kepada regulator mengenai situasi
persaingan usaha secara aktual di lapangan. Termasuk dalam kategori ini
adalah pelaku usaha dan asosiasi di berbagai sektor perekonomian.
Akademisi melengkapi daftar pemangku kepentingan dalam
pengarusutamaan PPU. Peran akademisi dalam inisiatif ini adalah untuk
melakukan sejumlah kajian/penelitian, serta mencetuskan gagasan baru yang
dapat memperbaiki kondisi persaingan usaha. Selain itu, akademisi juga
dapat memberikan pertimbangan yang bersifat netral dan obyektif ketika
terjadi perbedaan pendapat antar berbagai pemangku kepentingan lainnya.
Edukasi serta sosialisasi tentang PPU yang sehat di dunia pendidikan juga
penting untuk dilakukan oleh akademisi, mengingat dunia pendidikan akan
melahirkan calon regulator dan pelaku usaha di masa depan.

6.2. Mekanisme Konsultasi dan Koordinasi Penerapan


PPU dalam Peninjauan Regulasi

PPU yang sehat perlu diterapkan dalam setiap regulasi dari setiap
K/L/P, terutama yang terkait sektor ekonomi. Untuk itu, PPU perlu
dimasukkan sebagai salah satu elemen dalam proses analisis penyusunan
maupun peninjauan regulasi, baik yang baru maupun eksisting. Diperlukan
sebuah mekanisme yang secara sistematis dapat menjamin setiap K/L/P
pengusul regulasi dapat memasukkan PPU dalam analisis regulasi tersebut.
Perlu disusun dokumen yang secara jelas mengelaborasi mekanisme
konsultasi serta koordinasi antara K/L/P dengan LPR dan KPPU dalam

70 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 6: Aspek Konsultasi & Koordinasi

usaha penerapan PPU dalam proses peninjauan regulasi baru maupun


eksisting. Mekanisme ini dapat merupakan salah satu bagian tersendiri
dalam guideline integrasi PPU yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Untuk penyusunan regulasi baru, Peta Jalan ini mengusulkan agar
penerapan PPU dalam peninjauan regulasi baru maupun eksisting dapat
dilakukan dari dua sisi, yaitu oleh K/L/P yang menerbitkan rancangan
regulasi, yang hasilnya diverifikasi ulang oleh LPR dengan dibantu oleh
KPPU. Penjelasan lebih lanjut mengenai mekanisme tersebut ditunjukkan
dalam Gambar 6.2, yang menjelaskan mengenai proses penyusunan regulasi
baru, serta posisi analisis aspek persaingan usaha di dalamnya.

Gambar 6.2. Proses Penyusunan Regulasi Baru & Penerapan PPU di Dalamnya

Dilakukan oleh K/L/P Dilakukan LPR bersama KPPU

Pemeriksaan
Analisa Evaluasi Pengkajian Competition
Pengkajian Penelitian Dampak (AD) (AD) Checklist
(AD) oleh KPPU

Cost Benefit Self-


Analysis Assessment
(CBA) dan
elemen lain dengan
dalam analisis Competition
regulasi Checklist

Pelaksanaan
Rencana
Rencana FGD
Tindak
Tindak

Cabut
Revisi

Pertahankan Pengesahan
Regulasi

Secara umum, proses integrasi PPU ke dalam proses penyusunan


regulasi baru akan dilakukan dengan instrumen Daftar Periksa Persaingan
Usaha (competition checklist). Pelaksanaan penggunaan Daftar Periksa
tersebut mengikuti langkah-langkah berikut:

LANGKAH 1: Self-Assessment oleh Kementerian/Lembaga/Pemerintah


Daerah (K/L/P)
Masing-masing K/L/P diwajibkan melakukan self-assessment
pada rancangan regulasi baru yang dibuat, dengan menggunakan
instrumen Daftar Periksa Persaingan Usaha yang diberikan KPPU.

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 71


Selain itu, diperlukan juga sebuah legitimasi (melalui UU atau Perpres)
yang mewajibkan K/L/P untuk melakukan self-assessment aspek
persaingan usaha dari setiap rancangan regulasi baru di sektor ekonomi.
Diperlukan pembangunan kapasitas dari KPPU kepada K/L/P,
misalnya dalam bentuk seminar/workshop ataupun bantuan teknis
secara langsung agar K/L/P dapat melakukan self-assessment ini.
Selanjutnya hasil self-assessment yang diisi oleh K/L/P akan
dikumpulkan kepada LPR untuk kemudian diperiksa kembali oleh
KPPU di Langkah 2.

LANGKAH 2: Evaluasi Hasil Self-Assessment oleh KPPU serta Tindak


Lanjut dari LPR
Hasil self-assessment masing-masing K/L/P yang telah diterima oleh
LPR akan kembali diverifikasi oleh KPPU menggunakan Daftar
Periksa yang sama.
Di sinilah KPPU menjalankan perannya sebagai pengawas aspek
persaingan usaha dalam analisis regulasi.
Jika KPPU menilai bahwa masih terdapat pelanggaran terhadap
PPU yang sehat, maka self-assessment tersebut akan didiskusikan
dalam FGD bersama K/L/P yang bersangkutan dengan LPR, KPPU,
dan pemangku kepentingan yang terkait. FGD ini membahas
rancangan regulasi ini dari berbagai aspek, kepentingan,
dan perspektif, yang salah satunya persaingan usaha.
Hasil FGD tersebut akan berupa Rencana Tindak Lanjut. Jika Tindak
Lanjut berupa revisi, maka rancangan regulasi ini dikembalikan kepada
K/L/P pengusul untuk dikaji kembali, terutama mengenai klausul
pengaturan yang bertentangan dengan PPU, jika aspek konsekuensi
persaingan usaha dinilai merupakan hal yang bermasalah pada
rancangan regulasi tersebut.
Jika rancangan regulasi sudah sesuai dengan seluruh PPU dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, serta tidak mengalami
kecacatan pada beberapa aspek lainnya, maka tindak lanjut yang
diberikan dari FGD adalah Pertahankan, dan rancangan regulasi
tersebut akan dilanjutkan pada tahap pengesahan regulasi.

72 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


BAB 6: Aspek Konsultasi & Koordinasi

6.3. Mekanisme Konsultasi dan Koordinasi dengan


Legislatif/DPR

Sejumlah kebutuhan regulasi di sektor ekonomi juga berasal dari


legislatif, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selain itu, pembahasan
beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) tentu saja sangat melibatkan
DPR. Oleh karena itu, dalam inisiatif pengarusutamaan PPU ini perlu
dirumuskan mekanisme konsultasi dan koordinasi antara LPR dan KPPU
dengan DPR. Mekanisme koordinasi ini perlu mulai dirumuskan sejak
tercapainya konsensus di akhir tahun 2017, dan diharapkan dapat selesai
pada pertengahan 2018.
Selain koordinasi yang bersifat umum, mekanisme ini juga diperlukan
untuk beberapa kasus spesial, misalnya ketika regulasi yang sedang
ditinjau tidak sesuai dengan PPU yang sehat, namun sangat dibutuhkan
untuk mencapai kepentingan nasional tertentu. Dalam kondisi demikian,
mekanisme ini perlu menjelaskan bagaimana tindak lanjut peninjauan
regulasi tersebut, serta siapa yang berhak mengambil keputusan terakhir
tentang regulasi tersebut.37

6.4. Mekanisme Pelaporan Kegiatan kepada Presiden

Perlu dipahami bahwa inisiatif pengarusutamaan PPU berada dalam


konteks yang lebih besar yaitu reformasi regulasi yang diamanatkan oleh
Presiden. Oleh karena itu, seluruh K/L/P yang terkait dengan regulasi
ekonomi, dan terutama LPR dan KPPU sebagai focal point memiliki
tanggung jawab secara langsung kepada Presiden. Untuk memfasilitasi
ini, perlu dipikirkan mekanisme pelaporan seluruh aktivitas integrasi PPU
kepada Presiden, yang melaluinya Presiden dapat memonitor langsung
apakah K/L/P betul-betul memasukkan PPU yang sehat dalam penyusunan
regulasi, sehingga menghasilkan regulasi yang berkualitas dan kondusif bagi
investasi dan pertumbuhan ekonomi.

7 Perlu diperhatikan juga bahwa dalam praktiknya, mekanisme konsultasi dengan legislatif baru dapat benar-
benar dipersiapkan setelah terbit dasar hukum yang mengatur mengenai proses peninjauan regulasi. Hal ini
akan dijelaskan lebih lanjut pada Bab 7 tentang Aspek Hukum & Perundangan. Tanpa adanya dasar hukum
tersebut, mekanisme konsultasi belum bisa dibicarakan dengan legislatif, meskipun telah tercipta konsensus
PPU di tingkat nasional.

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 73


Rangkuman mengenai seluruh aktivitas yang perlu dilakukan serta
kerangka waktu (timeline) pada Aspek Kelembagaan dapat dilihat pada
Gambar 6.3. di bawah ini.

74 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


Gambar 6.3. Kerangka Waktu Pengarusutamaan PPU pada Aspek Konsultasi dan Koordinasi

TAHAP 1 TAHAP 2 TAHAP 3

Mekanisme Mekanisme
Konsultasi Konsultasi ke
Penerapan PPU DPR &
dalam PPK Presiden

2016 2017 2018 2019 2020 2021

Stakeholders Mapping

Mekanisme Konsultasi &


Koordinasi Penerapan PPU
dalam Peninjauan Regulasi

Mekanisme Konsultasi dengan Legislatif

Mekanisme Pelaporan kepada Presiden

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan


BAB 6: Aspek Konsultasi & Koordinasi

75
BAB 7
Aspek Hukum &
Perundangan

R
ancangan Peta Jalan yang dibuat tidak akan berjalan
tanpa ada dasar hukum yang mengaturnya. Pengarusutamaan
prinsip persaingan usaha harus didasarkan oleh Undang-
Undang dan peraturan pelaksananya. Dasar hukum diperlukan
agar setiap regulasi maupun kebijakan ekonomi yang ada, baik yang akan
dibuat maupun yang sudah ada, dapat memasukkan prinsip persaingan
usaha di dalamnya. Berikut adalah beberapa syarat perlu dan syarat cukup
dalam aspek peraturan perundangan untuk mengarusutamakan prinsip
persaingan usaha ke dalam regulasi maupun kebijakan ekonomi.

7.1 Revisi UU No 5 tahun 1999

Konsep persaingan usaha yang tidak sehat sebenarnya sudah dijabarkan


melalui UU No 5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat. Undang-Undang No 5/1999 tersebut
rencananya akan direvisi dan sudah masuk ke dalam daftar prioritas
prolegnas 2016. Revisi UU Nomor 5 tahun 1999 merupakan syarat cukup
pengarusutamaan prinsip persaingan usaha ke dalam setiap kebijakan
ekonomi. Beberapa poin yang akan dibahas lebih lanjut dalam revisi tersebut
seperti memperluas definisi pelaku usaha dengan memasukkan asas ekstra
teritorialitas, perubahan notifikasi merger atau akuisisi menjadi notifikasi
pre-merger, serta mengenai kewenangan lembaga menjalankan fungsi,

76 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


penyelidikan, penuntutan, dan pengadilan.
Perluasan definisi pelaku usaha menjadi badan hukum atau bukan badan
hukum yang didirikan, berkedudukan, dan melakukan kegiatan baik di
dalam maupun luar wilayah Indonesia dilakukan mengingat banyak peserta
tender yang tidak berasal maupun berafiliasi di wilayah hukum Indonesia.
Sebelumnya definisi pelaku usaha hanya yang berkedudukan dan melakukan
kegiatan di dalam wilayah Indonesia. Pasal mengenai notifikasi merger juga
diubah menjadi notifikasi pre-merger untuk memudahkan komisi sebagai
langkah pencegahan kegiatan merger yang berpotensi anti-kompetisi.
Berikutnya, mengenai penambahan kewenangan komisi untuk melakukan
fungsi penyelidikan, penuntutan, dan pengadilan sehingga memberikan
hukum acara yang jelas sekaligus membuat keputusan yang dibuat komisi
menjadi mengikat.
Dalam salah satu poin revisi UU No 5/1999 terkait penambahan wewenang
komisi, bahwa terdapat kemungkinan evaluasi saran yang diberikan KPPU
mengenai regulasi yang anti persaingan usaha menjadi mengikat. Tentu saja
hal ini sangat baik mengingat akan terdapat legitimasi yang jelas sebagai
dasar hukum pengawasan persaingan usaha. Tentu saja pengintegrasian
PPU ke dalam setiap kebijakan maupun regulasi terkait sektor ekonomi
dapat dijalankan sendiri oleh KPPU, namun implementasinya akan dapat
memberikan hasil yang lebih efektif dan komprehensif jika diletakkan pada
kerangka peninjauan regulasi yang lebih luas dan mempertimbangkan
berbagai aspek dalam tujuan regulasi dan kepentingan nasional.
Oleh karena itu Peta Jalan ini menawarkan mekanisme alternatif untuk
melakukan evaluasi prinsip persaingan terhadap kebijakan dan regulasi
terkait ekonomi. Peta Jalan ini memperlihatkan alur koordinasi antara
KPPU dan Lembaga Peninjau Regulasi (LPR) sebagai upaya PPU menjadi
bagian dalam proses peninjauan regulasi. Dengan demikian, pengintegrasian
prinsip persaingan usaha ke dalam setiap kebijakan dan regulasi sektor
ekonomi lebih mudah diimplementasikan.

7.2 Dokumen Persetujuan Prinsip Persaingan Usaha

Prinsip persaingan usaha akan masuk ke dalam salah satu dari sekian
banyak aspek yang ada dalam proses peninjauan regulasi. Prinsip tersebut

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 77


nantinya akan dirumuskan melalui konsensus yang dibentuk berdasarkan
forum diskusi persaingan usaha yang bersifat kontinu antara KPPU dengan
seluruh pemangku kepentingan terkait. Paling tidak terdapat dua dokumen
yang diperlukan untuk keberhasilan Peta Jalan pengarusutamaan prinsip
persainga usaha yang ditawarkan ini, yaitu dokumen persetujuan prinsip
persaingan usaha dan dokumen panduan prinsip persaingan usaha dalam
peninjauan regulasi.
Dokumen persetujuan prinsip persaingan usaha merupakan hasil
dari konsesus forum diskusi PPU yang nantinya harus dipatuhi oleh
regulator terkait terutama dalam perumusan regulasi maupun kebijakan di
sektor ekonomi. Dokumen persetujuan prinsip persaingan usaha yang
direncanakan ini seperti deklarasi universal Hak Asasi Manusia hasil dari
konvensi PBB, yang berbentuk poin-poin dari apa yang dimaksud dengan
prinsip persaingan usaha yang sehat. Dokumen prinsip persaingan usaha ini
tidak memiliki dasar hukum, sehingga perlu dimasukkan ke dalam peraturan
perundangan. Salah satu opsi yang dimungkinkan adalah isi dari dokumen
persetujuan prinsip persaingan usaha yang sehat nantinya dapat dimasukkan
ke dalam bab pengarusutamaan PPU pada RPJMN yang diusulkan.
Setelah dokumen persetujuan prinsip persaingan usaha berhasil
dirumuskan, diperlukan dokumen panduan (guideline) atau petunjuk
pelaksanaan peninjauan regulasi untuk aspek persaingan usaha.
Dokumen ini akan menjadi salah satu dari banyak dokumen panduan
mengenai petunjuk pelaksanaan peninjauan regulasi untuk berbagai aspek.
Baik dokumen persetujuan persaingan usaha maupun dokumen panduan
untuk melakukan peninjauan regulasi dari aspek persaingan usaha paling
tidak diharapkan dapat selesai pada tahun 2017.

7.3 Dasar Hukum Proses Peninjauan Regulasi

Salah satu alat atau mekanisme yang dapat digunakan untuk memasukan
prinsip persaingan usaha ke dalam kebijakan ataupun regulasi pada sektor
ekonomi adalah melalui peninjauan regulasi. Peninjauan regulasi yang
nantinya diatur oleh peraturan perundangan, baik melalui revisi Undang-
Undang No 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-
undangan maupun dalam satu perundangan tersendiri (dapat berbentuk PP

78 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


Bab 7: Aspek Hukum & Perundangan

ataupun UU), akan menjadi mekanisme penyaring untuk membuat kualitas


regulasi menjadi lebih baik. Selain itu, dalam peraturan perundangan
tersebut diberikan kewenangan atau legitimasi secara jelas kepada
Lembaga Peninjau Regulasi untuk melakukan evaluasi peninjauan regulasi.
Peraturan perundangan akan peninjauan regulasi ini diharapkan dapat selesai
di tahun 2018.
Namun dalam UU No 12/2011 belum ada proses evaluasi dalam
pembuatan peraturan perundangan. Disebutkan dalam peraturan
perundangan tersebut proses penyaringan hanya dilakukan dalam
penyelarasan Naskah Akademik sebelum RUU masuk ke dalam prolegnas.
Sehingga perlu dimasukkan proses peninjauan regulasi dalam suatu bab
tersendiri pada revisi UU No 12 tahun 2011 yang nantinya aspek persaingan
usaha akan masuk ke dalam salah satu dari berbagai aspek peninjauan
regualasi. Dari sisi jangka waktu, tentu revisi UU ini memerlukan waktu yang
cukup panjang karena perlu koordinasi antara KPPU dengan Kementrian
Hukum dan Ham terkait aspek peninjauan regulasi, serta perlunya
pembahasan RUU oleh badan legislatif. Keuntungan dari pengintegrasian
evaluasi peninjauan regulasi pada revisi UU No 12 tahun 2011 adalah sudah
masuknya rencana revisi RUU dalam daftar prolegnas 2015-2019, meskipun
belum masuk ke dalam daftar prioritas tahunan 2015-2016.
Alternatif lainnya adalah membentuk dasar hukum untuk peninjauan
ulang regulasi sebagai Undang-Undang tersendiri. Ada manfaat dalam
penyusunan Undang-Undang mengenai peninjauan regulasi secara terpisah,
apalagi mengingat kompleksitas dari proses yang akan dikembangkan.
Nantinya, prinsip persaingan usaha yang sehat dapat masuk ke dalam
salah satu aspek peninjauan ulang regulasi. Namun untuk jangka waktu,
pembuatan UU yang baru ini membutuhkan waktu yang paling lama dari
pada opsi lainnya mengingat tidak mudahnya untuk mengeluarkan suatu
UU yang baru. Apalagi, UU mengenai peninjauan regulasi tidak terdapat
dalam daftar prolegnas pemerintah tahun 2015-2019.
Dasar hukum untuk peninjauan regulasi juga dapat berupa penerbitan
Peraturan Pemerintah (PP) yang baru. Peraturan Pemerintah mengenai
peninjauan ulang regulasi ini nantinya mengacu pada UU No 12 tahun
2011 dalam rangka penyelarasan Naskah Akademik. Opsi pembentukan PP
ini tentunya yang paling mungkin dilakukan terutama dalam waktu dekat

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 79


mengingat sifat pembetukannya yang secara relatif tidak membutuhkan
waktu yang lama seperti UU. PP ini juga dapat bersifat sementara sampai
nanti akhirnya proses peninjauan regulasi dijadikan sebagai Undang-Undang
agar memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi.

7.4 Perpres Rencana Pembangunan Jangka Menengah


Nasional

Untuk memastikan kontinuitas dari Peta Jalan yang dibuat, sangat


penting pengarusutamaan prinsip persaingan usaha masuk dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Penting untuk
melakukan institusionalisasi agar meskipun jenjang pemerintahan sudah
berganti, prinsip persaingan tetap dapat diintegrasikan dalam kebijakan
maupun regulasi ekonomi. Seperti dalam contoh institusionalisasi fiskal di
mana pengendalian jumlah defisit anggaran diatur dalam UU No 17 tahun 2003
dan dijabarkan lebih lanjut melalui PP No 23 tahun 2003. Institusionalisasi
fiskal merupakan salah satu contoh keberhasilan pengintegrasian sistem fiskal
ke dalam perundangan yang berkelanjutan, terlihat dari penggunaan prinsip
tersebut meskipun pemerintahan terus berganti.
Konsep persaingan usaha sendiri sebenarnya sudah masuk dalam RPJM
Nasional di dalam sub-bagian revolusi mental dalam pembangunan lintas
bidang. Salah satu arah ataupun strategi kebijakan untuk hal ini adalah dengan
meningkatkan advokasi serta sosialisasi guna meningkatkan kesadaran dan
pemahaman masyarakat secara luas akan pentingnya kebijakan dan hukum
persaingan usaha yang sehat. Hal ini tentu saja dapat ditempuh melalui
penyempurnaan kurikulum dan pengajaran mata kuliah terkait persaingan
usaha di perguruan tinggi. Strategi kebijakan lainnya adalah implementasi
dari daftar periksa kebijakan persaingan untuk pembenahan mekanisme
perumusan kebijakan yang dilakukan secara mandiri maupun bekerja sama
dengan KPPU.
Masuknya konsep persaingan usaha sebagai bagian dalam revolusi mental
tentu saja sangat baik terutama untuk memberikan sosialisasi pentingnya
persaingan usaha kepada akademisi dan masyarakat secara luas serta
memastikan keberlanjutan PPU. Namun, implementasi dari daftar periksa
kebijakan persaingan untuk perumusan kebijakan dalam RPJM Nasional

80 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


Bab 7: Aspek Hukum & Perundangan

saat ini, yang tentunya sangat diperlukan, masih bersifat sukarela (voluntary).
Prinsip persaingan usaha tetap perlu untuk diarusutamakan ke dalam setiap
regulasi maupun kebijakan ekonomi, untuk menyaring regulasi-regulasi
ataupun kebijakan yang mempengaruhi kondisi persaingan usaha yang
sehat. Maka dari itu penting pengarusutamaan prinsip persaingan usaha
masuk ke dalam rencana awal RPJM Nasional di tahun 2019 yang nantinya
akan di legitimasi pada Peraturan Presiden tentang RPJM Nasional 2020.

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 81


82
Gambar 7.1. Kerangka Waktu Pengarusutamaan PPU pada Aspek Hukum dan Perundangan

TAHAP 1 TAHAP 2 TAHAP 3

Dokumen Dasar Hukum PPU masuk


Persetujuan Peninjauan RJPMN
PPU Regulasi 2020-2024

2016 2017 2018 2019 2020 2021

PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


Revisi UU No 5/1999

Dokumen Persetujuan PPU


dalam penyusunan Regulasi
Kebijakan Ekonomi

Dasar Hukum Proses Peninjauan Regulasi

Rancangan Awal
RPJMN 2020-2024

Perpres RPJMN
2020-2024
Bab 8: Penutup

BAB 8
Penutup

P
eta Jalan Prinsip Persaingan Usaha ini disusun untuk
dapat memberikan arahan mengenai rencana strategis dalam
menjadikan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat
sebagai elemen penting dalam setiap pembentukan kebijakan
dan peraturan ekonomi. Integrasi berbagai prinsip tersebut dalam
pembuatan kebijakan akan menjamin terciptanya lingkungan usaha
berbasis kompetisi yang adil, yang diperlukan perekonomian untuk
meningkatkan produktivitas dan efisiensi, baik untuk kepentingan alokasi
sumber daya maupun distribusi hasil aktifitas perekonomian. Iklim usaha
yang kompetitif juga akan mendorong terciptanya inovasi dan perbaikan
aktifitas ekonomi, yang merupakan syarat penting dalam era integrasi
perekonomian global.
Penyusunan peta jalan ini didasarkan atas berbagai inisiatif yang telah
dilakukan dan direncanakan oleh pemerintah Indonesia terutama dalam hal
perbaikan iklim regulasi. Upaya perbaikan regulasi dan kebijakan tersebut
akan menjadi pintu masuk bagi terciptanya kebijakan ekonomi yang
memperhatikan prinsip-prinsip penting bagi persaingan usaha yang sehat.
Dalam upaya pengarusutamaan tersebut, Peta Jalan ini memperhatikan tiga
aspek utama yang harus dipersiapkan.
Aspek pertama adalah aspek kelembagaan yang perlu ada untuk
mendukung proses pengarusutamaan PPU ini. Pembahasan dalam aspek
kelembagaan tersebut ditekankan pada peran dari lembaga kunci yang
terkait, terutama bagi dua lembaga yang menjadi titik fokus (focal point)

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 83


inisatif ini: Lembaga Peninjauan Regulasi (LPR) dan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU). Diperlukan pula adanya kelembagaan informal
yang menjadi ajang diskusi dan sosialisasi bagi tercapainya pemahaman
yang baik mengenai persaingan usaha bagi seluruh pemangku kepentingan,
serta untuk menciptakan konsensus nasional bagi prinsip-prinsip utama
persaingan usaha. Perlu dicermati pula, bahwa berbagai lembaga yang
dijelaskan dalam Peta Jalan ini, dapat dibentuk dengan pemberian otoritas
baru ataupun yang diperluas, tanpa perlu membentuk lembaga baru.
Aspek kedua adalah aspek mekanisme koordinasi dalam proses
pengarusutamaan prinsip persaingan usaha. Berbagai mekanisme yang
dibahas dalam Peta Jalan ini akan meningkatkan koordinasi antara pemangku
kepentingan, terutama bagi para pengambil kebijakan dan lembaga yang
menjadi titik fokus ini proses ini. Dengan mekanisme koordinasi yang
berjalan dengan baik, prinsip persaingan usaha diharapkan dapat menjadi
bagian tidak terpisahkan dalam perumusan kebijakan dan regulasi ekonomi.
Elemen penting dalam aspek koordinasi ini adalah fungsi dan otoritas yang
jelas bagi seluruh pemangku kepentingan yang terlibat serta kesiapan dalam
pengintegrasian prinsip persaingan usaha.
Aspek ketiga adalah aspek basis hukum dari berbagai kegiatan yang
dijelaskan dalam Peta Jalan ini. Aspek ini menjabarkan beberapa dokumen
legal (termasuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden) yang memberikan basis hukum bagi aktivitas pengarusutamaan
prinsip persaingan usaha dalam penyusunan kebijakan dan regulasi
ekonomi di Indonesia. Salah satu target yang diperlukan dalam usaha ini
adalah menempatkan proses pengarusutamaan persaingan usaha di dalam
dokumen rencana utama pemerintah seperti Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yang akan menjadikan persaingan
usaha sebagai bagian penting dalam penyusunan kebijakan ekonomi.
Untuk menjalankan berbagai aspek tersebut, Peta Jalan ini dibagi dalam
tiga tahapan utama berdasarkan tujuan dan pembentukan kelengkapan yang
diperlukan. Pada tahap pertama, proses pengarusutamaan ini ditujukan untuk
mencapai sebuah konsensus nasional dan pemahaman yang menyeluruh
mengenai prinsip persaingan usaha serta pentingnya prinsip tersebut
menjadi bagian utama dalam perumusan kebijakan dan regulasi ekonomi.
Tahap kedua ditujukan untuk mengintegrasikan prinsip persaingan usaha

84 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


Bab 8: Penutup

dalam berbagai regulasi ekonomi yang baru saja dibentuk, sejalan dengan
proses peninjauan regulasi. Pada tahap ketiga, proses pengarusutamaan ini
juga akan ditujukan untuk berbagai regulasi yang telah ada, berikut dengan
evaluasi regulasi yang berlaku secara komprehensif.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam implementasi berbagai aspek
yang dibicarakan dalam Peta Jalan ini adalah peran dari masing-masing
pemangku kepentingan terutama bagi pembuat kebijakan dan regulasi.
Tabel 8.1 memberikan pemetaan peran dari berbagai lembaga dan pemangku
kepentingan yang terlibat dalam proses ini. Koordinasi dan pembagian peran
serta keterlibatan penuh dari seluruh lembaga yang terlibat merupakan
kunci dari keberhasilan pelaksanaan Peta Jalan ini.

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 85


86
Tabel 8.1. Pemetaan Peran Serta Pemangku Kepentingan Dalam Pengarusutamaan Persaingan Usaha

No. Nama Aktivitas / Output Institusi Pelaksana Institusi Terkait Tantangan

Aspek Kelembagaan

1 Pembentukan dan pelaksanaan KPPU & Seluruh pemangku Menjaga keberlanjutan Forum
Forum Diskusi Persaingan Usaha Sekretariat Forum kepentingan Menjamin partisipasi pengambil keputusan utama

2 Pembentukan/Penunjukkan Lembaga Bappenas, Ketersediaan komitmen politik untuk mewujudkan


Lembaga Peninjauan Regulasi (LPR) Kepresidenan Kemkumham, single regulatory authority
serta mekanisme koordinasinya Kemenko Ekonomi, Penentuan pilihan antara pembentukan lembaga
dengan KPPU KPPU baru atau pemanfaatan lembaga yang sudah ada
Kapasitas SDM, teknologi, dan finansial untuk LPR

3 Penyusunan Daftar Periksa KPPU LPR Penyesuaian Daftar Periksa yang ada sejalan
Persaingan Usaha dalam proses dengan konsensus PPU
peninjauan regulasi

PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


4 Penyusunan Petunjuk Pelaksanaan Penyederhanaan masalah yang kompleks agar
(Guideline) Integrasi PPU di dalam KPPU LPR mudah dipahami oleh pengambil keputusan
Penyusunan/Peninjauan Regulasi Kurangnya pengalaman dalam menyusun
guideline untuk peninjauan regulasi

5 Pembentukan basis data regulasi LPR Kemenko Ekon, Banyaknya jumlah regulasi
ekonomi, serta kaitannya dengan Kemendagri, Kesulitan dalam sistematisasi basis data karena
persaingan usaha Kemendag, kompleksnya regulasi
BKPM, Bappenas,
Kemkumham

6 Pembangunan Kapasitas dan KPPU Kemendagri


Sosialisasi Proses Peninjauan
Regulasi kepada K/L/P

7 Penentuan indikator kualitas regulasi KPPU LPR Memilih metodologi yang tepat

8 Monitoring dan evaluasi Lembaga


Kepresidenan
No. Nama Aktivitas / Output Institusi Pelaksana Institusi Terkait Tantangan

Aspek Konsultasi & Koordinasi

1 Daftar Pemangku Kepentingan untuk KPPU & LPR Sekretariat Forum Kesulitan dalam pemetaan pemangku kepentingan
Pengarusutamaan PPU serta Peran Kurangnya pengetahuan mengenai PPU,
Masing-masing Penerimaan pemangku kepentingan tentang PPU
Kesediaan pemangku kepentingan untuk menjadikan PPU
sebagai elemen utama dalam pengambilan kebijakan

2 Mekanisme Konsultasi dan Koordinasi KPPU & LPR K/L/P Mengatasi perbedaan kepentingan antar pemangku
Penerapan PPU dalam Peninjauan Regulasi kepentingan dalam kaitannya dengan PPU
antara K/L/P dengan LPR & KPPU

3 Mekanisme Konsultasi dan Koordinasi LPR & DPR K/L/P


dengan Legislatif/DPR

4 Mekanisme Pelaporan Aktivitas LPR & Lembaga K/L/P Memastikan agar laporan pengarusutamaan PPU menjadi
Pengarusutamaan PPU kepada Presiden Kepresidenan prioritas Presiden

Aspek hukum & perundangan

1 Revisi Undang-Undang No 5 Tahun 1999 KPPU & DPR

2 Dasar Hukum Proses Peninjauan Regulasi Bappenas, Kemenko Ekonomi Integrasi pada revisi UU No 12 tahun 2011: Memasukan bab
Kemkumham, DPR baru mengenai evaluasi peninjauan regulasi
UU tersendiri: Lama waktu yang diperlukan untuk membuat
UU yang baru
PP tersendiri: secara relatif tidak memiliki tingkatan kekuatan
hukum yang tinggi (dibandingkan dengan UU)

3 Dokumen Persetujuan PPU dalam KPPU Kemenko Ekonomi,


Penyusunan Regulasi dan Kebijakan Bappenas, BKPM,
Ekonomi Kemendag, Forum

4 Rancangan Awal Rencana Pembangunan Bappenas KPPU Menjadikan PPU sebagai salah satu arus utama dalam RPJMN
Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2020-2024 yang memasukkan
Pengarusutamaan PPU

5 Perpres RPJMN 2020-2024 Bappenas KPPU

Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan


Bab 8: Penutup

87
Daftar Referensi

Philippa Dee (ed.), Institutions for Economic Reform in Asia, Routledge


Studies in the Growth Economies of Asia, 2010
Takako Ishihara, Industrial Policy and Competition Policy http://www.jftc.
go.jp/eacpf/05/jicatext/aug27.pdf
Hassan Qawaya and George Lipimile, The Effects of Anti Competitive
Business Practice on Developing Countries and Their Development
Prospects, UNCTAD 2008 http://unctad.org/en/docs/ditcclp20082_
en.pdf
M. Iqbal, Competition Policy and Structural Reform, Indonesias Experiences
in Developing Competition Regime
Latin American Competition Forum, Mainstreaming Competition Policy into
the Overall Economic Policy and Government Actions in Latin American
and the Caribbean, Section III Background Paper by the IDB Secretariat,
2015 http://www.oecd.org/officialdocuments/publicdisplaydocument
pdf/?cote=DAF/COMP/LACF%282014%297&docLanguage=En
Regulatory Reform in Japan, The Role of Competition Policy in Regulatory
Reform, OECD Report 1999 www.oecd.org /japan/2506690.doc
OECD (2007), Implementing Competition Policy in Developing
Countries, in Promoting Pro-Poor Growth: Policy Guidance for
Donors, OECD Publishing. http://dx.doi.org/10.1787/9789264024
786-9-en
Sekretariat KPPU, 2013. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah Tahun 2013
KPPU, 2014. Laporan Kinerja KPPU tahun 2014

88 PETA JALAN PENGARUSUTAMAAN PERSAINGAN USAHA


Menuju Kebijakan Ekonomi yang Mengintegrasikan Prinsip Persaingan 89

Anda mungkin juga menyukai