Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bagi umat Islam mengkonsumsi makanan yang halal dan thoyib
merupakan bagian dari perintah agama. Demikian juga meninggalkan makanan
yang haram adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kesadaran
masyarakat muslim terhadap perkara yang wajib tidak perlu dipertanyakan lagi,
karena sudah menjadi suatu pedoman hidup.
Sebagai konsumen produk pangan, sudah seharusnya umat Islam
mendapatkan jaminan dari para produsen atas kehalalan produk-produk pangan
yang beredar di komunitas muslim. Faktanya, Konsumen sulit untuk
mengetahui apakah suatu produk mengandung bahan haram ataukah tidak,
kecuali bila produk tersebut mendapatkan sertifikat halal dari lembaga
berwenang di dalam atau di luar negeri. Meski begitu, tidaklah berarti produk
tidak bersertifikat halal semuanya mengandung bahan haram. Selain produk
pangan, ada produk lainnya yang status kehalalannya belum menjadi perhatian
masyarakat yaitu produk obat-obatan, khususnya obat yang digunakan dengan
cara ditelan atau diminum.
Hingga saat ini penulis belum pernah melihat obat resep dokter yang
berlabel halal. Bagaimanapun juga obat yang ditelan pada hakekatnya adalah
makanan. Sebagaimana yang juga dikatakan oleh para perintis ilmu kedokteran
seperti Hipokrates ataupun Ibnu Sina (Avisena) bahwa obat adalah makanan
dan makanan pun adalah obat. Jelas sekali obat dan makanan adalah dua hal
yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Maka status kehalalan obat-obatan terutama
yang ditelan adalah wajib adanya bagi kaum muslim.
Sekarang ini untuk produk minuman dan makanan olahan, sertifikasi
kehalalannya sudah diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan tahun 1996.
Sertifikat halal ini diberikan setelah suatu produk pangan diperiksa oleh
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia
(LPPOM-MUI), melalui proses audit yang ketat dalam hal asal-usul bahannya,
komponen campurannya maupun proses produksinya. Namun, sayang sekali
pada prakteknya sertifikasi halal produk pangan ini tidak diwajibkan kepada
tiap produsen, tetapi hanya bersifat sukarela bergantung kepada kemauan
produsen apakah mau ataukah tidak untuk mendapatkan sertifikat halal. Dan
yang lebih disayangkan lagi adalah karena sertifikasi halal ini belum
menyentuh kepada produk obat-obatan resep dokter.
Sepertinya masyarakat sampai saat ini masih sangat-sangat permisif
terhadap status halalnya obat-obatan, meskipun di dalamnya mungkin terdapat
bahan-bahan yang berasal dari barang yang haram, misalnya babi. Sikap
permisif ini barangkali karena adanya pemahaman tentang Hukum Darurat
yang kurang terkontrol. Padahal dalam ajaran Islam, darurat itu ada
batasannya. Barang yang haram itu bisa menjadi halal bila dalam keadaan yang
sangat darurat, sebagaimana halnya bangkai hewan, darah ataupun daging babi
yang bisa halal dimakan bila dalam keadaan darurat (Alquran Surat Al-Baqarah
: 173). Namun dalam kasus obat-obatan sepertinya hukum darurat ini kesannya
terlalu diperlebar dan berlebihan, sehingga bahan obat apapun akan dianggap
halal tanpa kecuali, karena berlindung di balik tameng darurat. Adapun dalam
hal obat-obatan resep dokter, dengan semakin majunya bidang farmasi, maka
banyak sekali variasi dan jenis obat-obatan yang umumnya berasal dari bahan
yang tidak haram. Dengan demikian masyarakat ataupun para dokter
mempunyai banyak pilihan atau alternatif dalam menentukan jenis obat yang
tepat dan rasional untuk diresepkan bagi pasiennya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pengobatan?
2. Bagaimana Pandapat islam tentang pengobatan menggunakan zat yang
haram?
3. Apa saja Macam-macam pengobatan dengan barang haram?
4. Bagaimana hukum berobat yang di larang Allah?
5. Apa saja Macam-macam pengobatan dengan barang haram?
6. Bagaiman Keadaan darurat dan pengecualiannya dalam pengobatan yang
dilarang Allah?
7. Daruratnya pengobatan yang dilarang allah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa pengertian pengobatan?
2. Untuk mengetahui Pandapat islam tentang pengobatan menggunakan zat
yang haram?
3. Untuk mengetahui macam-macam pengobatan dengan barang haram?
4. Untuk mengetahui hukum berobat yang di larang Allah?
5. Untuk mengetahui macam-macam pengobatan dengan barang haram?
6. Untuk mengetahui keadaan darurat dan pengecualiannya dalam pengobatan
yang dilarang Allah?
7. Daruratnya pengobatan yang dilarang allah?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian pengobatan
Pengobatan adalah ilmu dan seni penyembuhan. Bidang keilmuan ini
mencakup berbagai praktek perawatan kesehatan yang secara kontinu terus
berubah untuk mempertahankan dan memulihkan kesehatan dengan cara
pencegahan dan pengobatan penyakit
B. Pandapat islam tentang pengobatan menggunakan zat yang haram
Dalil Di Syariatkanya Berobat



)80 : (
Artinya:
Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku, )As syuara :80(
Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra dari nabi saw bahwa ia besabda : "
Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit melainkan Dia menurunkan obat
bagiya. " (HR : Bukhari )
Dan dalam riwyat Usamah bin Syarik : " Berobatlah wahai hamba Allah,
karna Allah tidak menimpakan suatu penyakit kecuali Dia pula menjadikan
obat baginya, kecuali satu peyakit, yaitu kematian. ( HR : Bukhari dan
Ahmad )
C. Hukum berobat yang di larang allah
Syaikh Aiman bin Abdul Fatah menyebutkan dalam kitabnya As syifa min
wahyi khatimil Anbiya bahwa Para ulama berberda pendapat mengenai
hukum berobat :
1. Berobat hukumnya haram, hal ini adalah bathil karana Rasulullah saw
telah memerintahkan untuk berobat sebagaimana di jelaskan dalam
sabdanya diatas.
2. berobat tidak wajib, pendapat ini tidak dapat di jadikan alasan.
Berdasarkan riwayat Ibnu Abas.
Telah menceritakan kepadaku Atha' bin Abi Rabah ia berkata :
ibnu Abas berkata kepadaku apakah engkau suka aku lihatkan seorang
wanita penghuni surga ? aku menjawab: ya. Ia berkata: perempuan berkulit
hitam ini datang kepada Rasul ullah saw dan berkata: aku memiliki
penyakit ayan dan terkadang auratku terbuka, maka do'akanlah kepada
Allah untuku. Rasul bersabda :
jika engkau suka maka bersabarlah maka kelak bagimu surga
dan jika engkau suka akan aku aku akan berdo'a semoga Allah
menyembuhkanmu .
Maka wanita itu berkata : aku lebih memilih untuk bersabar, ia juga
berkata akan tetapi aku masih tak sadar membuka auratku maka bedo'alah
kepada Allah agar aku tidak menyibak auratku. Maka Rasulullahpun
mendo'akannya.
3. Imam Syafi'I berpendapat bahwa berobat adalah mustahab . berdasarkan
hadist Ibnu Abas ra. Akan tetapi pendapat ini di bantah karena nabi
menjelaskan akan adanya pahala dan balasan bagi seorang yang
meninggalkan berobat, dan tidak tidak menetapkan adanya pahala bagi
siapa yang meniggalkan sesuatu yang di sunahkan. Maka seandainya
berobat adalah sunah maka meninggalkanya adalah makruh.
4. Boleh. Pendapat ini lebih kuat, inilah pendapat Abu Hanifah, Malik dan
Hanabilah. Mubah, barangsiapa yang pergi untuk berobat demi ketaatan
dan berangkat dari motifasi memenuhi hak yang telah di wajibkan atas
dirinya maka baginya pahala. Demikian pula bagi orang yang meniggalkan
berobat dengan penuh kesabaran, ridha atas apa yang di takdirkan demi
untuk mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Allah maka baginya
pahala.Pendapat yang paling rajah
Pada asalnya hukum berobat adalah Boleh atau sunah bukan wajib.
Akan tetapi dapat berubuah setatus hukumnya menjadi wajib manakala
tidak ada obat lain selain daripadanya atau berobat adalah satu-satunya
jalan keluar dari sakit menurut predisksi yang paling kuat.
D. Macam-macam pengobatan dengan barang haram
1. Berobat dengan babi
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang
terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali
yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang
disembelih untuk berhala. (Al Maidah : 3)
Ayat ini menunjukan bahwa babi secara dzatnya adalah najis dan seluruh
badanya adalah najis, sedangkan setiap yang najis adalah haram serta
harus di jauhi. Adapun babi lebih hina daripada anjing. Akan tetapi anjing
dan babi keduanya adalah hewan yang statusnya najis mughaladhah
sehingga wajib untuk mencucinya tujuh kali, salah satunya dengan tanah.
Bila anjing di perboelhkan untuk keperluan berburu atau menjaga ladang
maka babi tidak dipebolehkan memeliharanya sama sekali karena seluruh
badanya adalah najis, oleh kerena itu Allah mengharamkan untuk
memakan babi. Dalam Qaidah ushul fiqih dikatakan : setiap yang haram
untuk mengambilnya maka haram pula untuk memberikanya. Dan setiap
yang haram untuk memakainya maka haram pula untuk mengambilnya. "
2. Berobat dengan bangkai
Bangkai adalah setiap yang hilang nyawanya tanpa di semelih secara syar'i
baik ia mati karena mati dengan sendirinya tanpa sebab anak adam atau
karena perbuatan manusia, jika hal itu disebabkan karna di sembelih
dengan cara yang tidak di perbolehkan maka semua itu adalah bangkai.
Allah berfiman.
"Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali
kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -
Karena Sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas
nama selain Allah. barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha penyayang".(Al
An'am : 145)
Imam Syafii mengatakan, ayat ini mengandung dua makna ; salah
satunya bahwa tidak ada makanan yang diharamkan kecuali apa yang di
kecualikan Allah dalam ayat di atas. Termasuk yang di kecualikan adalah
sesuatu yang di tanyakan kepada Rasulullah tentangnya dan ini adalah
makna yang lebih utama berdasarkan hadist-hadist Rasulullah saw.
Hikmah di haramkanya bangkai
Bangkai memberikan bahaya karena setiap yang mati karena sakit
atau karen lemah maka dalam tubuhnya terdapat bakteri yang berikutnya ia
menjadi racun, babii hewan hewan yang najis. Babi terdapat darah
membeku yang tidak dapat hilang kecuali di hilangkan kecuali dengan cara
menyembelihnya secara syar'i. Maka haramnya bangkai adalah hukum
Allah yang sudah pasti berdasarkan ilmu dan hikmah, dan yang
memperbolehkanya adalah hukum jahiliyah yang berdasarkan hawa nafsu.
Mentaati Allah dalam keharaman bangkai adalah tauhid sedangkan
mentaati orang jahiliyah yang memperbolehkanya adalah syirik.
3. Berobat Dengan Khamr
Khamr adalah nama untuk setiap air dari anggur apabila telah
mendidih dan mengental serta buihnya mulai menghilang, demikinlah
yang dikatakan oleh Abu Hanifah. Sedangkan menurut Abu Yusuf dan
Muhamad, ia adalah air anggur yang telah mendidih dan mengental,
terkadang ia berubah menjadi merah.
Madzhab Hanifiyah, Malikiyah dan Hanabilah berpendapat tidak
diperbolehkanya meminum khamr untuk di jadikan sebagai obat. Baik
kahmr itu masih murni atau sudah di campur. Sedangkan madzhab syafi'I
yang juga mejadi pegangan imam At thabari bahwa diperbolehkanya
berobat dengan khamr apabila memenuhi tiga syarat :
a. berdasarkan riset dokter.
b. kadar khamr tersebut lebih sedikit dengan ukuran tidak sampai
memabukan dan tidak menghilangkan akal. Sehingga tidak di
perbolehkan berobat dengan sesuatu yang lebih besar dari pada itu.
c. berdasarkan keterangan dokter muslim karena selai muslim tidak di
terima kesaksianya dalam hal kedokteran.
4. Berobat Dengan Sihir
Sihir secara bahasa adalah setiap yang lembut caranya tapi
mengena. Sedangkan secara istilah Imam As sangkiti mengtakan bahwa ia
tidak bisa di batasi karna banyaknya cara yang di lakukan secara
sembunya-sembuyi. Allah berfirman mengenai haramnya berobat dengan
sihir :
Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat
kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah
meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir
itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan
mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (Al
Baqarah : 102)
Rasulullah juga bersabda :
Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal atau tukang sihir atau
dukun kemudian ia menanyakan tentang sesuatu, lalu ia membenarkan apa
yang ia katakan maka ia telah kafir dengan apa yang di turunkan kepada
muhamad . )HR : Al Baihaqi dan Al Bazzar dengan sanad jayyid(.
Maka barangsiapa yang melakukan sihir dalam berobat maka hal
ini menunjukan bahwa ia meminta bantuan kepada jin, dan mempraktekan
ilmu-ilmu ghaib. Padahal hal itu telah di haramkan Allah swt.
5. Berobat dengan sutra
Diriwayatkan dari Qatadah bahwa orang-orang membicarakan
bahwa nabi saw memberikan keringanan kepada Abdurrahman bi Auf dan
Zubair dalam memakai gamis yang terbuat dari sutra karena di sebabkan
gatal yang keduanya derita.
Pada hadist di atas terdapat dua pelajaran; pertama hukum fiqih kedua
tentang berobat denganya.
a. Hukum fiqih, yaitu bahwa nabi memperbolehkan sutra bagi laki-laki
secara mutlaq dan mengharamkan kepada laki-laki kecuali untuk
kemasalahatan atau kebutuhan yang sangat mendesak. Seperti karena
sangat dingin, sutra yang di pakai orang yang sedang sakit gatal atau
kutu.
b. dari sisi pengobatan, sutra adalah salah satu obat yang bahan bakunya
dari hewan. Oleh karena itu ia memiliki banyak manfaat dalam
mengobati berbagai macam penyakit. Selain itu bila pakain dari kapas
ia bersifat dingin dan lembab dan pakaian dari wol bersifat panas,
maka pakain yang terbuat dari sutra memiliki sifat lebih lembut dan
hangat daripada kapas.
6. Berobat dengan sesuatu yang berbahaya
Dalam hal ini sering kita dapatkan macam obat-obatan yang
menggunakan sesuatu yang berbahaya seperti Alkohol, angin panas,
barang najis atau yang lainya dari hal-hal yang di haramkan oleh syari'at
baik yang bentuknya cair atau tablet, padalah itu semua sangat di butuhkan
dalam pengobatan.
a. Apabila tidak di dapatkan ganti (obat lain yang halal).
Apabila tidak di dapatkan obat yang lain kecuali obat tersebut maka
boleh untuk menggunakanya, dengan melih pada bahaya sakit tersebut.
b. Apabila di dapatkan pengganti dari obat tersebut atau belum sampai
derajat darurat.
Maka dalam keadaan seperti ini perlu di deteksi kembali, apabila
bahan yang haram tersebut sudah larut atau hencur bersama bahan yang
lain dan tidak ada bekas yang di timbulkanya baik rasa maupun baunya
maka obat ini dapat di gunakan/ dikonsumsi.
Menurut para ulama bahwa apabila najis atau sesuatu yang
menjijikan serta seluruh barang haram seprti Al kohol atau lainya apabila
bercampur dengan obat-obat yang diperbolehkan atau dimasak bersam
obat yang halal kemudian bahan yang haram atau najis ini hancur dengan
tidak meninggalkan bekas, rasa maupun baunya, maka dalam keadaan ini
ia sama seperti obat yang diperbolehkan lainya. Namun jika tidak dapat
hancur atau masih ia lebih dominan daripada obat yang diperboehkan
maka ia menjadi obat yang haram, ia hanya dapat di gunakan apabila
sudah dalam keadaan darurat.
7. Berobat Menggunakan Bius Dalam Pengobatan Bedah.
Menggunakan obat yang dapat menghilangkan kesadaran untuk
sementara waktu dalam pengobatan luka atau bedah di perbolehkan, karna
hilangnya kesadaran dalam keadaan ini tidak sama dengan seorang yang
hilang akal karena mabuk. Tapi ia masuk dalam keadaan darurat dan
darurat bertingkat dengan kadar daruratnya.
E. Keadaan darurat dan pengecualiannya pengobatan yang di larang Allah
Semua binatang yang diharamkan sebagaimana tersebut di atas, adalah
berlaku ketika dalam keadaan normal. Adapun ketika dalam keadaan darurat,
maka hukumnya tersendiri, yaitu Halal.
Firman Allah:
"Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia telah haramkan
atas kamu, kecuali kamu dalam keadaan terpaksa." (al-An'am: 119)
Dan di ayat lain, setelah Allah menyebut tentang haramnya bangkai, darah
dan sebagainya kemudian diikutinya dengan mengatakan:
"Barangsiapa terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas,
maka tidak ada dosa atasnya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun
dan Maha Belas-kasih." (al-Baqarah: 173)
Darurat yang sudah disepakati oleh semua ulama, yaitu darurat dalam
masalah makanan, karena ditahan oleh kelaparan. Sementara ulama
memberikan batas darurat itu berjalan sehari-semalam, sedang dia tidak
mendapatkan makanan kecuali barang-barang yang diharamkan itu. Waktu itu
dia boleh makan sekedarnya sesuai dengan dorongan darurat itu dan njaga
dari bahaya. Imam Malik memberikan suatu pembatas, yaitu sekedar
kenyang, dan boleh menyimpannya sehingga mendapat makanan yang lain.
Ahli fiqih yang lain berpendapat: dia tidak boleh makan, melainkan sekedar
dapat mempertahankan sisa hidupnya.
F. Daruratnya pengobatan yang dilarang allah
Daruratnya berobat, yaitu ketergantungan sembuhnya suatu penyakit pada
memakan sesuatu dari barang-barang yang diharamkan itu. Dalam hal ini para
ulama fiqih berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat,
berobat itu tidak dianggap sebagai darurat yang sangat memaksa seperti
halnya makan. Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadis Nabi yang
mengatakan:
"Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhanmu dengan
sesuatu yang Ia haramkan atas kamu." (Riwayat Bukhari)
Perkenan (rukhsah) dalam menggunakan obat yang haram itu harus
dipenuhinya syarat-syarat sebagai berikut:
1. Terdapat bahaya yang mengancam kehidupan manusia jika tidak berobat.
2. Tidak ada obat lain yang halal sebagai ganti Obat yang haram itu.
3. Adanya suatu pernyataan dari seorang dokter muslim yang dapat
dipercaya, baik pemeriksaannya maupun agamanya (i'tikad baiknya).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengobatan adalah ilmu dan seni penyembuhan. Bidang keilmuan
ini mencakup berbagai praktek perawatan kesehatan yang secara kontinu
terus berubah untuk mempertahankan dan memulihkan kesehatan dengan
cara pencegahan dan pengobatan penyakit. Pada asalnya hukum berobat
adalah Boleh atau sunah bukan wajib. Akan tetapi dapat berubuah setatus
hukumnya menjadi wajib manakala tidak ada obat lain selain daripadanya
atau berobat adalah satu-satunya jalan keluar dari sakit menurut predisksi
yang paling kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz bin Abdul latif, Nawaqidhul Iman Al Qauliyah wal Amaliyah, Darul
Wathan, cet. II, 1415 H.
Dr. Abdul Karim Zaidan, Al Mufashal fie Ahkamil Mar'ah, Muasasah Ar risalah cet I, th
1993 M Bairut.
Dr. Muhamad Shadiqi bin Ahmad bin Muhamad Al Burnau Abil Harist Al Ghazi, Al
wajiz fie Iedzahi Qawaid Al fiqhiyah, muasasah Ar risalah, cet IV th.1996 M.
birut libanon.
Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, cet.I 1989 M. Darul Kutub Al
Ilmiyah, Bairut. Aiman bin Abdul fatah, Pegobatan dan penyembuhan menurut wahyu
nabi, cet I. Jakarta.
Ibnu, Al Muhalla, Darul Jael.
Syaikh Abdul Aziz Bin Baz, Hukmu Sihr Wal Kihanah , cet II
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/info-halal/08/12/01/17587-menggugat-
bahan-haram-dalam-obat

http://imutokthajohansyah.blogspot.co.id/p/blog-page.html

Anda mungkin juga menyukai