Anda di halaman 1dari 31

DAKWAH SALAFIYAH BUKAN MURJIAH

(Bagian 1: Hakikat Murjiah Menurut Salafiyah)


Oleh :

Al-Ustadz Abdurrahman bin Thoyyib as-Salafy, Lc.

(Alumnus Islamic University of Madinah)

Pada akhir-akhir ini banyak sekali tuduhan-tuduhan miring yang


dilontarkan kepada Dakwah Salafiyah yang mubarokah, terutama oleh
para aktivis gerakan (harokah termasuk adanya gerakan Khowarij
Kontemporer)1 yang merasa telah banyak dibongkar kedok mereka oleh
dakwah ini. Dan yang paling banyak atau sering mendapat tuduhan
tersebut adalah Al-Allaamah Al-Muhaddits Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani2 rahimahullahu beserta murid-murid beliau -
hafizhahumullahu-.

Dan ini merupakan suatu kebiasaan ahli bidah sejak zaman dahulu
sampai sekarang untuk menjauhkan umat dari para ulama Robbaniyyin
yang berdakwah kepada tauhid serta menebarkan sunnah dan membasmi
syirik serta bidah. Hal ini seperti yang telah dialami oleh Dakwah
Salafiyah yang dijalankan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
rahimahullahu yang dituduh dengan berbagai macam celaan, bahkan
sebagian orang awam yangl termakan syubhat-syubhat mereka ketika
mendengar gelar wahabi Iangsung merinding dan lari ketakutan.

Diantara tuduhan yang sekarang lancar disebarkan adalah tuduhan


bahwa Dakwah Salafiyah adalah Dakwah Murjiah. Padahal kalau mereka
mau membuka mata lebar-lebar dan membersihkan hati, sungguh
mereka akan banyak beristighfar dan bertobat dari semua tuduhan ini.

Siapakah Murjiah menurut Ulama Salaf?

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata : Adapun Murjiah


mereka mengatakan iman hanyalah ucapan tanpa amal per buatan,
barangsiapa yang bersyahadat Laa ilaha illa Allohu wa anna
Muhammadan abduhu wa rasuluhu maka dia telah sempuma
keimanannya. Imannya seperti imannya Jibril dan para malaikat
meskipun dia membunuh (orang yang haram darahnya-pent) dia tetap
dikatakan sebagai mukmin, dan meskipun dia meninggalkan mandi
janabat serta tidak sholat. Mereka juga menghalalkan darah kaum
muslimin. 3

Waki bin Jarroh rahimahullahu berkata Ahlu Sunnah mengatakan


bahwa iman itu adalah ucapan dan perbuatan. Adapun Murjiah
mengatakan bahwa iman adalah ucapan belaka tanpa perbuatan.
Sedangkan Jahmiyah mengatakan iman hanyalah marifah
(pengenalan).4

Fadhl bin Ziyad rahimahullahu berkata : Pernah Imam Ahmad


ditanya tentang Murjiah, lalu beliau berkata : Murjiah adalah kelompok
yang menyatakan iman itu hanyalah ucapan.5

Muhammad bin Husein Al-Ajurri rahimahullahu berkata :


Berhati-hatilah kalian -rohimakumullahu- dari ucapan orang yang
mengatakan : Sesungguhnya imanku seperti imannya Jibril dan Mikail.
Dan barangsiapa yang mengatakan : Saya adalah orang mukmin di sisi
Alloh dan saya adalah orang yang sempurna keimanannya, maka ini
adalah ucapan kelompok Murjiah.6

Syuraih bin Numan rahimahullahu berkata : Aku pernah


bertanya kepada Yahya bin Salim Ath-Thoo`i ketika kami berada di
belakang maqom Ibrahim (di masjidil Haram Mekah-pent). Apa yang
dikatakan oleh Murjiah? Beliau menjawab, Mereka mengatakan : Thowaf
di Kabah bukan termasuk keimanan.7

Abdurrohman bin Mahdi rahimahullahu berkata: Telah sampai


kepadaku bahwa Syubah berkata kepada Syariik rahimahullahu :
Mengapa engkau tidak memperbolehkan persaksian Murjiah? Beliau
menjawab : Bagaimana mungkin aku membolehkan persaksian kaum
yang menyatakan bahwa sholat bukan termasuk keimanan?8

Berkata Imam Ibnu Baththoh Al-Akburi rahimahullahu


(meninggal tahun 387 H) : Berhati-hatilah kalian -rahimakumullahu- dari
bermajlis dengan suatu kaum yang keluar dari agama ini, karena mereka
mengingkari Al-Quran dan menyelisihi Rasul Shallallahu alaihi wa Salam
serta keluar dari ijma ulama kaum muslimin. Mereka adalah kelompok
yang mengatakan : Iman adalah ucapan tanpa amal perbuatan.

Mereka juga mengatakan : Sesungguhnya Alloh Azza wa Jalla


menurunkan kepada mereka kewajiban-kewajiban tapi tidak
memerintahkan mereka untuk mengamalkannya dan tidak memadhorot-
kan mereka jika mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban tersebut.
Dan Alloh melarang mereka dari hal-hal yang haram, dan manusia tetap
menjadi orang yang beriman (secara sempurna-pent) meskipun melakukan
hat-hal yang dilarang tersebut.

Sesungguhnya iman menurut mereka adalah mengakui kewajiban-


kewajiban dan tidak perlu untuk dikerjakan dan mengetahui yang haram
meskipun mereka halalkan. Mereka mengatakan : Sesungguhnya
mengenal Alloh itu disebut sebagai iman yang tidak membutuhkan
ketaatan. Sesungguhnya orang yang tahu tentang Alloh dengan hatinya
maka dia adalah seorang mukmin dan orang yang beriman dengan
lisannya serta mengakui dergan hatinya adalah orang yang sempurna ke-
imanannya seperti Jibril. Iman itu tidak bertingkat dan tidak bertambah
serta tidak berkurang. Tidak ada perbedaan antara manusia (dalam
tingkatan keimanan-pent), orang yang rajin (ibadah) dan yang malas, yang
taat dan yang berbuat maksiat semuanya sama9

Beliau juga berkata : Berhati-hatilah katian rahimahumullahu-


dari orang yang mengatakan saya mukmin di sisi Alloh dan saya mukmin
yang sempurna imannya, dan berhati-hatilah dari orang yang
mengatakan imanku seperti imannya Jibril dan Mikail. Sesungguhnya
mereka adalah Murjiah, kelompok sesat dan menyimpang dari agama10

Berkata Imam Abdul Qohir bin Thohir Al-Baghdadi


rahimahullahu (meninggal pada tahun 429 H) : Mereka dinamakan
Murjiah karena mereka mengakhirkan amal perhuatan dari keimanan.11

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata : Murjiah


yang mengatakan iman adalah pembenaran dalam hati serta ucapan
dengan lisan dan bahwasanya amal bukan termasuk iman, diantara
mereka adalah fuqoha Kufah dan para ahli ibadah12

Beliau juga berkata : Adapun masalah istitsna (mengatakan insya


Alloh,-ed) dalam Iman yaitu seseorang mengatakan : Saya mukmin insya
Alloh, maka manusia ada tiga pendapat dalam hal ini : ada yang
mewajibkan, ada pula yang mengharaman dan ada juga yang
membolehkan kedua-duanya. Dan pendapat ketiga inilah yang paling
benar. Yang mengharamkan istitsna adalah orang-orang Murjiah dan
Jahmiyah serta selain mereka dari orang-orang yang menyatakan bahwa
iman itu satu (tidak bercabang,-pent)13

Imam Ibnu Atsir rahimahullahu berkata : Murjiah adalah suatu


kelompok (sempalan) dalam Islam yang meyakini bahwa makiat tidaklah
memadhorotkan keimanan sebagaimana tidak bermanfaat ketaatan
bersama kekufuran. Mereka dinamakan Murjiah karena keyakinan
mereka bahwa Alloh mengakhirkanlmenjauhkan adzab dari mereka
karena perbuatan maksiat14

Dari ucapan-ucapan ulama salaf di atas dan yang lain yang tidak mungkin kami sebutkan semuanya di
sini, telah jelas bagi kita tanda-tanda atau ciri-ciri Murjiah sebenarnya. Inilah tanda-tanda Murjiah menurut
ulama salaf :

1. Ucapan bahwasanya iman adalah ucapan lisan atau pembenaran


hati atau ucapan dan pembenaran.
2. Ucapan bahwasanya iman itu tidak bisa bertambah dan tidak bisa berkurang. Dan bahwasanya iman itu
tidak bercabang serta tidak bertingkat-tingkat keimanan pemiliknya dan keimanan semua orang itu
sama.

3. Mereka mengharamkan istitsna dalam iman.


4. Pernyataan bahwasanya meninggalkan kewajiban dan melakukan
yang dilarang tidak memadhorotkan keimanan dan tidak
merubahnya.
5. Menyempitkan kekufuran hanya dengan takdzib/pendustaan hati
saja.
6. Mensifatkan perbuatan kufur yang tidak bisa diganggu gugat
kekufurannya seperti menghina/mengolok-olok (Alloh dan Rasul-
Nya serta agama-Nya) dengan ucapan :Itu bukan kufur
sebenarnya, namun hanya menunjukkan pendustaan dalam
hatinya.

Inilah ciri-ciri Murjiah menurut Ahlu Sunnah, maka barangsiapa yang


memiliki salah satu perangai darinya maka diaah Murjiah khabits (yang
busuk). Dan barangsiapa yang tidak memiliki sedikitpun tanda-tanda
tersebut maka diharamkan untuk dia dituduh dengan Murjiah selamanya,
karena daging/kehormatan para ulama dan penuntut ilmu itu beracun.15

Dan Dakwah Salafiyah Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah manusia


yang paling tahu tentang kebenaran serta paling kasih sayang kepada
manusia. Mereka tidak menuduh siapapun juga dengan tuduhan
batil/dusta, karena kehormatan adalah tanah larangan yang tidak boleh
didekati kecuali dengan bukti yang jelas sejelas matahari di siang bolong.
Mereka Ahlu Sunnah bukan sepertl kebanyakan (aktivis gerakan-pent)
sekarang yang menuduh orang-orang yang tak bersalah dengan tuduhan-
tuduhan batil karena dorongan hizbiyah (fanatik golongan) atau karena
latar belakang dunia.16

Siapakah yang Tidak Bisa Dikatakan Murjiah Menurut Salaf?

Para ulama salaf telah menyebutkan kepada kita tentang ciri-ciri orang-orang yang terlepas dan keluar
dari Murjiah, diantaranya

1- Ucapan bahwasanya iman itu ucapan dan perbuatan.

Abdullah bin Mubarok rahimahullahu pernah ditanya : Apakah


anda Murjiah? Beliau menjawab : Saya mengatakan iman adalah
ucapan dan perbuatan, bagaimana mungkin saya menjadi Murjiah?!17

2- Ucapan bahwasanya iman itu bertambah dan berkurang.

Imam Ahmad rahimahullahu, pernah ditanya tentang orang yang


mengatakan bahwasanya iman itu bertambah dan berkurang ?
Beliaupun menjawab: Orang ini telah terlepas dari Murjiah.18

Imam Al-Barbahari rahimahullahu. mengatakan Barangsiapa


yang mengatakan iman itu ucapan dan perbuatan, bertambah dan
berkurang maka dia telah keluar dari Murjiah mulai dari awal sampai
akhlrnya.19
3- Ucapan bahwasanya maksiat bisa mengurangi keimanan dan dapat memadhorotkannya.

4- Bolehnya mengatakan saya mukmin insya Alloh.

Abdurrohman bin Mahdi rahimahullahu berkata: Apabila dia


meninggalkan istitsna maka ini termasuk prinsip Murjiah.20

5- Ucapan bahwasanya kekufuran bisa dengan perbuatan sebagai-


mana kekufuran juga bisa disebabkan oleh keyakinan dan ucapan.
Dan bahwasanya amal perbuatan terkadang bisa dianggap kafir
tanpa melihat keyakinan.21

Murjiah Menurut Ahli Bidah Terdahulu

Dahulu ahli bidah dari kalangan khowarij dan selainnya menuduh


Ahlu Sunnah wal Jamaah dengan Murjiah, karena Ahlu Sunnah
berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar tidak kafir kecuali dengan adanya
istihlal (penghalalan akan dosa tersebut) dan bahwasanya orang yang
meninggalkan sholat karena malas tidak menyebabkannya kafir yang
mengeluarkan dari Islam. Semua ini menjelaskan kepada kita bahwa
tuduhan terhadap Ahlu Sunnah ini sudah ada sejak dahulu dan yang
menuduh tersebut lebih dekat kepada bidah dari pada kepada sunnah.

Disini kita cukupkan dengan menyebutkan dua atsar dari salaf

1. Ishaq bin Rohawaih rahimahullahu menceritakan dari Syaiban


bin Farukh bahwasanya dia pernah berkata : Aku bertanya
kepada Abdullah bin Mubarok : Apa pendapatmu mengenai
orang yang berzina, meminum khomer dan selainnya, apakah dia
mukmin? Abdullah bin Mubarok menjawab : Aku tidak
mengeluarkannya dari keimanan. Syaiban berkata : Dengan
usiamu yang tua engkau menjadi Murjiah?! Abdullah bin
Mubarok menjawab : Wahai Abu Abdulah, sesungguhnya
Murjiah tidak mernerimaku. Aku mengatakan iman itu bertambah
sedangkan Murjiah tidak mengatakan seperti itu.22
2. Syaikh Al-Allamah Abul Fadhl As-Saksaki Al-Hambali
rahimahullahu berkata: Sesungguhnya sekelompok ahli bidah
yang bernama Al-Manshuriyah menuduh Ahlu Sunnah sebagai
Murjiah karena mereka (Ahlu Sunnah) mengatakan bahwa orang
yang meninggalkan sholat jika tidak diiringi dengan pengingkaran
akan kewajibannya maka dia masih muslim menurut pendapat yang
kuat dari madzhab Imam Ahmad. Mereka (ahli bidah)
mengatakan : Pendapat ini menjadikan iman menurut mereka
hanyalah ucapan tanpa amal perbuatan.23

Padahal sangat jelas perbedaan antara hukum orang yang


meninggalkan sholat karena malas menurut Ahlu Sunnah dan menurut
Murjiah. Imam Ibnu Abdil Bar rahimahullahu berkata : Ucapan
(tentang tidak kafirnya orang yang meninggalkan sholat karena malas)
telah dikatakan oleh sekelompok dari para imam yang mengatakan iman
adalah ucapan dan perbuatan. Dan Murjiah juga mengatakan seperti itu,
akan tetapi Murjiah mengatakan orang tersebut sempurna
keimanannya.24 Dan kami telah menyebutkan perbedaan ulama Ahli
Sunnah wal Jamaah tentang orang yang meninggalkan sholat (Karena
malas tapi masih mengakui hukum kewajibannya,-pent). Adapun ahli bidah
seperti Murjiah mereka mengatakan Orang yang meninggalkan sholat
imannya sempurna jika dia masih meyakini kewajibannya.25

Bahkan mereka mengatakan Imannya seperti iman Jibril dan


Mikail!! Adapun Salaf Ahli Hadits mereka mengatakan : Sesungguhnya
dia kurang imannya, dan berada di bawah kehendak Alloh, jika Dia
berkehendak Dia akan mengadzabnya di neraka (meski tidak kekal
didalamnya,-pent) dan jika Dia mau, Dia ampuni serta Dia masukkan
kedalam surga-Nya.26

Imam Ash-Shobuni juga berkata : Ahli hadits berselisih pendapat


tentang seorang muslim yang meninggalkan sholat fardhu dengan
sengaja. orang tersebut dikatakan kafir oleh Imam Ahmad bin Hambal
dan sekelompok ulama salaf yang lain dan mereka mengeluarkannya dari
agama Islam seperti yang tercantum dalam hadits shohih yang
diriwayatkan dari Nabi Shallallahu alaihi wa Salam : Antara seorang
hamba dengan kesyirikan adalah meninggalkan sholat, maka barangsiapa
yang meninggalkan sholat ia kafir.27

Imam Syafii rahimahullahu beserta para sahabat-sahabat beliau


dari ulama salaf -semoga rohmat Alloh atas mereka semua- berpendapat
bahwa orang tersebut tidak kafir selama meyakini kewajibannya. Akan
tetapi orang tersebut berhak untuk dibunuh, seperti orang murtad dari
Islam yang juga berhak dibunuh. Mereka menafsirkan hadits diatas
dengan : Barangsiapa yang meninggalkan sholat dengan mengingkari
kewajibannya (maka dia kafir)28

Definisi Murjiah Menurut Ahli Bidah Sekarang

Orang-orang yang menyelisihi Ahlu Sunnah dan menuduh mereka


dengan Murjiah telah melakukan suatu kedustaan dan kebohongan. Tapi
Alloh enggan melainkan menjatuhkan mereka kedalam lingkaran ahli
bidah terdahulu yang juga sama-sama menuduh Ahlu Sunnah sebagai
Murjiah yang ekstrim.

Jika ahli bidah terdahulu menuduh orang yang tidak mengkafirkan


pelaku dosa besar seperti zina, minum khomer dan semisalnya dengan
Murjiah, maka orang-orang yang menyelisihi (Dakwah Salafiyah,-pent)
sekarang menuduh orang yang tidak mengkafirkan orang yang
berhukum dengan selain hukum Alloh tanpa adanya istihlal/penghalalan
dengan tuduhan sebagai Murjiah.29
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh pembuat makalah
Aqidah Jamaah Salafiyah di Majalah An-Najah dalam penutup hal. 5 :
Jika anda telah memahami bahwa aqidah JS (Jamaah Salafiyah) dalam
bab iman adalah aqidah Murjiah Fuqaha dan aqidah mereka dalam bab
kekafiran adalah aqidah Jahmiyah (Murjiah Ekstrim), maka anda bisa
memahami dengan baik :

(Kenapa ???) mereka sangat gigih memperjuangkan aqidah; kekafiran itu hanya karena istihlal
semata, terlebih dalam kaitannya dengan realita para pemerintah yang mengganti syariat Alloh Taala
dengan undang-undang positif.

(Kenapa ???) mereka menganut aqidah sekte sesat Jahmiyah (yang


telah dikafirkan oleh para ulama Ahlu Sunnah) supaya bisa
menutup-nutupi kemurtadan dan kekafiran para pemerintah murtad
hari ini dengan selimut syari (selesai penukilan sampai di sini)

Maka kita katakan kepada pembuat makalah ini : Inikah yang


melatar belakangi kalian untuk menuduh Dakwah Salafiyah sebagai
Murjiah? Tidakkah kalian membuka mata Iebar-lebar untuk membaca
ucapan para ulama salaf tentang ketidakkafiran orang yang berhukum
dengan selain hukum Alloh jika tidak diiringi oleh istihlal?!

Ibnu Abbas radhiyallahu anhu mengatakan tentang firman Alloh :


Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Alloh,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS.Al-Maidah : 44)
sebagai kekufuran yang tidak mengeluarkan dari Islam.30

Imam Abu Ubeid Al-Qosim bin Sallam rahimahullahu berkata :


Adapun pemutus dan saksi atas semua ini adalah firman Alloh,
Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Alloh,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Dan Abdullah bin
Abbas radhiyallahu anhu berkata : Bukanlah kekufuran yang
mengeluarkan dari agama. Dan Atha bin Abi Robah berkata, Kufrun
Duna Kufrin (Kekufuran yang tidak mengkafirkan/kufur kecil). Sungguh
jelas bagi kita bahwa hal tersebut tidak mengeluarkan dari Islam dan
bahwasanya agamanya tetap berdiri meskipun dilumuri dosa31

Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata : Yang benar bahwa


berhukum dengan selain hukum Alloh mencakup dua bentuk kekufuran,
kufur kecil dan besar sesuai dengan keadaan orang tersebut. Apabila dia
masih meyakini wajibnya berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh
pada suatu kejadian dan dia menyimpang dari hukum Alloh dalam
keadaan maksiat beserta keyakinannya bahwa dia berhak mendapat
sanksi maka ini kufur kecil. Tapi jika dia meyakini tidak wajibnya
berhukum dengan hukum Alloh, dan bahwasanya dia diberi pilihan
sedang dia meyakini itu hukum Alloh maka ini termasuk kufur besar,
tapi jika dia tidak tahu (hukum Alloh) dan dia keliru maka hukumnya
seperti hukum orang yang khilaf. Kesimpulannya : Semua maksiat ter-
masuk kufur kecil32

Apakah mereka para ulama seperti Ibnu Abbas radhiyallahu


anhu, Atho bin Abi Robah rahimahullahu, Abu Ubeid Al-Qosim bin
Sallam rahimahullahu, Ibnul Qoyyim rahimahullahu dan selain mereka
yang menyelisihi kalian itu adalah Murjiah karena tidak mengkafirkan
orang yang berhukum dengan selain hukum Alloh jika tidak ada
istihlal???!!!

Mengapa kalian hanya mengkhususkan pengkafiran ini hanya kepada pemerintah kaum muslimin
saja? Bukankah ayat dalam surat Al-Maidah 44 tersebut umum mencakup siapa saja yang tidak berhukum
dengan hukum Alloh?! Bukankah orang yang berbuat bidah dan yang berbuat maksiat itu juga berhukum
dengan selain hukum Alloh ?! Alloh berfirman :



Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Alloh yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Alloh? (QS.
Asy-Syuura : 21)

Bukankah kalian sendiri telah berhukum dengan selain hukum Alloh


dengan mengkafirkan pemerintah kaum muslimin seenaknya saja?!



Mengapa kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil
keputusan? (QS. Al-Qolam : 36)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata :


Pewajiban dan pengharaman, dosa dan pahala serta takfir (pengkafiran)
dan tafsiq (penfasikan) adalah hak Alloh dan Rasul-Nya saja. Tidak ada
seorang pun yang memiliki hak untuk menghukumi di dalamnya33.

Ibnu al-Qoyyim rahimahullahu berkata dalam Qosidah Nuniyah-


nya:



(Penetapan sesuatu) kufur adalah hak Alloh kemudian Rasul-Nya

Dengan penetapan nash bukan dengan ucapan si fulan

Barangsiapa yang oleh Robb semesta Alam dan Rasul-Nya


Dikafirkan maka dialah orang kafir

Kalau kalian mengkafirkan pemerintah kaum muslimin karena tidak


berhukum dengan hukum Alloh meskipun tidak diiringi oleh istihlal, maka
mengapa kalian tidak mengkafirkan orang yang berbuat bidah atau
maksiat?! Dan mengapa kalian tidak mengkafirkan orang tua dan
saudara-saudara kalian sendiri yang masih berbuat bidah dan maksiat?!
Dan mengapa kalian tidak mengkafirkan diri kalian sendiri yang juga
masih berbuat bidah dan maksiat?! Tapi memang kalian ingin menelusuri
jejak Khowarij yang membunuh Ali bin Abi Tholib radhiyallahu anhu,
dengan alasan beliau tidak berhukum dengan hukum Alloh.

Imam Al-Hafizh Abu Bakr Muhammad bin Al-Husein Al-Ajurri


rahimahullahu berkata dalam kitabnya Asy-Syariah : Diantara syubhat
khowarij adalah (berpegangnya mereka dengan-pent) firman Alloh Barang
siapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Alloh maka
mereka itu adalah orang-orang kafir. Mereka membacanya bersama
firman Alloh : Namun orang-orang kafir itu mempersekutukan (sesuatu)
dengan Tuhan mereka (Surat Al-Anam : 1). Apabila mereka melihat
seorang hakim yang tidak berhukum dengan kebenaran mereka berkata :
Orang ini telah kafir dan barangsiapa yang kafir maka dia telah
mempersekutukan Tuhannya. Maka mereka para pemimpin-pemimpin itu
adalah orang-orang musyrik.34

Al-Imam Al-Qodhi Abu Yala rahimahullahu berkata dalam


masalah iman : Khowarij berhujjah dengan firman Alloh Taala Dan
barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Alloh maka mereka itu
adalah orang-orang kafir. Zhohirnya dalil mereka ini mengharuskan
pengkafiran para pemimpin-pemimpin yang zholim dan ini adalah
perkataan khowarij padahal yang dimaksudkan dengan ayat ini adalah
orang-orang yahudi.35

Abu Hayyan rahimahullahu berkata dalam tafsirnya: Khowarij berdalil


dengan ayat ini untuk menyatakan bahwa orang yang berbuat maksiat
kepada Alloh itu kafir, mereka mengatakan : Ayat ini adalah nash pada
setiap orang yang tidak berhukum dengan hukum Alloh bahwa dia itu
kafir.36

Abu Abdillah Al-Qurthubi rahimahullahu menukil perkataan dari


Al-Qusyairi rahimahullahu : Madzhabnya khowarij adalah barangsiapa
yang mengambil uang suap dan berhukum dengan selain hukum Alloh
maka dia kafir.37

Dan siapakah yang kalian maksud dengan pemerintah kaum


muslimin yang telah kafir dan murtad itu?! SBY kah atau Raja Fahd atau
Raja Abdullah??? Jelaskan kepada umat dan umumkan bahwa aqidah
kalian adalah aqidah Khowarij yang gemar lagi hobi mengkafirkan
pemimpin kaum muslimin!!! Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullahu. Mengatakan : Kelompok Khowarij adalah kelompok
pertama yang mengkafirkan kaum muslimin dan mengatakan kafir bagi
setiap pelaku dosa. Mereka mengkafirkan orang yang menyelisihi bidah
mereka serta menghalalkan darah serta hartanya.38

Para salaf menyebutkan bahwa diantara ciri ahli bidah adalah


mencaci maki atau melaknat pemimpin kaum muslimin, sebagaimana
yang disebutkan oleh Imam Ahlu Sunnah lmam Al-Barbahari
rahimahullahu di dalam kitabnya Syarhus Sunnah : Apabila engkau
melihat seseorang melaknat pemimpin kaum muslimin maka ketahuilah
bahwa dia itu pengekor hawa nafsu (ahlu bidah)

Ketahuilah wahai kaum Muslimin, bahwa pemikiran takfir seperti infah yang mendasari adanya
peledakan dan pengeboman di beberapa negeri Islam. Maka berhati-hatilah dari pemikiran Khowarij ini dan dari
orang-orangnya!!!

Kemudian tanda kedua Murjiah menurut ahli bidah sekarang


adalah tidak adanya pengkafiran terhadap orang yang meninggalkan
sholat karena malas, meski dia masih meyakini akan kewajibannya dan
ini adalah jalan/metode pendahulu mereka seperti yang telah disebutkan
di atas.

Hal ini seperti yang dilakukan oleh Safar Hawali penulis kitab
Zhohiratul Irja yang menuduh Syaikh Al-Albani sebagai Murjiah. Dia
mengatakan : Dan tidaklah yang mengatakan bahwa orang yang
meninggalkan sholat (karena malas,-pent) tidak kafir melainkan yang telah
kemasukan pemikiran Murjiah, baik dia merasa atau tidak.39

(bersambung insya Alloh-)

(Sumber : Majalah adz-Dzakhiirah; Edisi 21; Rajab 1427-Agustus 2006; Dinukil dengan sedikit perubahan dan
pembenahan)

-OOO-OOO-

1 Telah sampai ke meja redaksi sebuah makalah yang berjudul Aqidah Jamaah Salafiyah dalam
Tinjauan Syari. Di dalamnya tertulis Aqidah Jamaah Salafiyah dalam masalan iman adalah Aqidah
Murjiah Fuqoha dan dalam masalah pengkafiran adalah Aqidah Murjiah Ekstrim (Jahmiyah).

2 Seperti yang dilakukan oleh DR. Safar Hawali hadaahullahu- dalam kitabnya Zhohiratul Irja yang
telah dibantah sendiri oleh Syaikh al-Albani rahimahullahu beserta murid beliau, Syaikh Ali Hasan al-
Halabi hafizhahullahu dalam kitab beliau yang berjudul ad-Duror al-Mutalalia. Alhamdulillah
pemerintah Saudi akhirnya mengetahui akan bahaya buku ini hingga tidak boleh disebarluaskan. (Lihat
footnote ar-Raddul Burhani hal. 46 karya Syaikh Ali Hasan).
3 Syarhu Ushul Itiqod Ahli as-Sunnah wal Jamaah (III/1071) karya al-Lalika`i.

4 Ibid, (III/1072 no. 1873).

5 Kitabus Syariah (II/683 no. 302) karya Al-Ajurri.

6 Ibid, (II/687 no. 305).

7 Al-Ibanah an Syariatil Firqotin Naajiyah (II/899 no. 1255 : Kitabul Iman) karya Imam Ibnu Baththoh.

8 Kitabus Sunnah (I/334 n o. 692) karya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal.

9 Al-Ibanah an Syariatil Firqotin Naajiyah (II/893 : Kitabul Iman) karya Imam Ibnu Baththoh.

10 Ibid, (II/899).

11 Al-Farqu baynal Firoq (hal. 202) karya Al-Baghdadi.

12 Majmu Fatawa (VII/194).

13 Ibid, (VII/429)

14 An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar (hal. 351) karya Ibnu Atsir.

15 Murjiatul Ashr (hal. 54-55) karya DR. Khalid al-Anbari.

16 Ibid, (hal. 54).

17 As-Sunnah (III/566) karya Al-Khollal.

18 Al-Mukhtar fi Ushulis Sunnah (hal. 89) karya Ibnu al-Banna.

19 Syarhus Sunnah (hal. 122) karya Imam al-Barbahari.

20 Asy-Syariah (II/283).

21 Murjiatul Ashr (hal. 60-61).

22 Musnad Ishaq (III/670).

23 Al-Burhan (hal. 96).

24 Apakah Dakwah Salafiyah yang dituduh dengan tuduhan Murjiah berpendapat seperti ini?!! Tolong
buktikan!!!

25 At-Tamhid (IV/242).

26 Murjiatul Ashr (hal. 56-58).

27 Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits (hal. 88-89) oleh Imam Ash-Shobuni.


28 Ibid.

29 Murjiatul Ashr (hal. 59).

30 Lihat pembahasan riwayat ini secara riwayatan dan dirayatan di dalam Qurrotul Uyun karya Syaikh
Salim bin Ied al-Hilaly.

31 Kitabul Iman (hal. 54) karya Abu Ubaid.

32 Madarijus Salikin (I/336-337) karya Imam Ibnu al-Qoyyim.

33 Majmu Fatawa (V/545).

34 Asy-Syariah (I/342).

35 Masa`il al-Iman (hal. 340-341).

36 Al-Bahrul Muhith (III/493).

37 Al-Jami li Ahkamil Quran (VI/191).

38 Majmu Fatawa (VII/279).

39 Zhohirotul Irja (II/651).


Ciri-Ciri Murjiah Yang Paling Menonjol,
Ciri-Ciri Seorang Terlepas Dari Murjiah
Sabtu, 9 Februari 2008 02:53:25 WIB

HAKIKAT MURJIAH MENURUT AHLUS-SUNNAH, HIZBIYYUN DAN


HARAKIYYUN (2)

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

CIRI-CIRI MURJI`AH YANG PALING MENONJOL


Murji`ah memiliki sekian banyak ciri, dan ada beberapa ciri yang paling menonjol, di
antaranya sebagai berikut.

1. Mereka berpendapat, iman hanya sebatas penetapan dengan lisan, atau sebatas pembenaran
dengan hati, atau hanya penetapan dan pembenaran.
2. Mereka berpendapat, iman tidak bertambah dan tidak berkurang, tidak terbagi-bagi, orang
yang beriman tidak bertingkat-tingkat, dan iman semua orang adalah sama.
3. Mereka mengharamkan istitsn` (mengucapkan saya beriman insya Allah) di dalam iman.
4. Mereka berpendapat, orang yang meninggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan
haram (dosa dan maksiat) tidak berkurang imannya dan tidak merubahnya.
5. Mereka membatasi kekufuran hanya pada pendustaan dengan hati.
6. Mereka mensifati amal-amal kekufuran yang tidak membawa melainkan kepada
kekufuran, seperti menghina dan mencela (Allah, Rasul-Nya, maupun syariat Islam); bahwa
hal itu bukanlah suatu kekufuran, tetapi hal itu menunjukkan pendustaan yang ada dalam
hati.[19]

CIRI-CIRI MURJIAH MENURUT AHLI BIDAH TERDAHULU


Dahulu para ahli bidah dari kalangan Khawarij dan selainnya- menuduh Ahlus-Sunnah
wal- Jamaah dengan irja`, dikarenakan perkataan mereka (Ahlus-Sunnah) bahwa pelaku
dosa besar tidak dikafirkan, kecuali jika dia menghalalkan perbuatan tersebut. Dan mereka
berpendapat, orang yang meninggalkan shalat karena malas atau meremehkannya tidaklah
kafir yang dapat mengeluarkannya dari agama.[20]

Di antara dali-dalil yang menunjukkan hal itu ialah sebagai berikut.

Pertama : Atsar yang dikeluarkan Ishaq bin Rahawaih dari Syaibn bin Farrkh, ia berkata:
"Aku bertanya kepada Abdullah Ibnul-Mubrak: 'Apa pendapatmu tentang orang yang
berzina dan meminum khamr atau selain itu. Apakah ia dikatakan mukmin?. Abdullah Ibnul
Mubrak menjawab,Aku tidak mengeluarkannya dari iman, maka Syaibn berkata,Apakah
pada saat tua nanti engkau menjadi Murji`ah?, lalu Abdullah Ibnul-Mubrak
menjawab,Wahai, Aba Abdillah! Sesungguhnya Murji`ah tidak menerimaku, karena aku
mengatakan iman itu bertambah, sedangkan Murji`ah tidak mengatakan demikian'.[21]
Kedua : Apa yang disebutkan oleh al-Qdhi Abul-Fadhl as-Saksaki al-Hanbali (wafat 683 H)
dalam kitabnya, al-Burhn: Bahwa ada sekelompok ahlul bidah yang dinamakan dengan al-
Mansuriyyah -mereka adalah sahabat dari Abdullah bin Zaid-, mereka menuduh Ahlus-
Sunnah sebagai Murji`ah, karena Ahlus-Sunnah mengatakan, orang yang meninggalkan
shalat, apabila ia tidak mengingkari kewajibannya maka ia tetap seorang muslim; demikian
menurut pendapat yang shahh dari madzhab Imam Ahmad.

Mereka (ahlu bidah) mengatakan: Ini menunjukkan bahwa iman menurut mereka (Ahlus
Sunnah) adalah perkataan tanpa amal.[22]

CIRI-CIRI SESEORANG TERLEPAS DARI MURJIAH, MENURUT AHLUS-SUNNAH


Para ulama Ahlus-Sunnah telah menyebutkan sejumlah ciri yang dapat diketahui bahwa
seseorang terlepas dari bidah Irja`, di antaranya ialah:

1. mengatakan bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan.


Imam Ibnul-Mubarak t pernah ditanya: Engkau berpendapat Irja`?," maka ia
menjawab,Aku mengatakan bahwa iman itu perkataan dan perbuatan. Bagaimana mungkin
aku menjadi Murji`ah?![23]
2. mengatakan bahwa iman itu bertambah dan berkurang.
Imam Ahmad ditanya tentang orang yang mengatakan: Iman itu bertambah dan berkurang,
maka ia menjawab,Orang ini telah berlepas diri dari Irja`.
3. mengatakan bahwa maksiat mengurangi iman dan membahayakannya.
4. mengatakan bahwa kekufuran dapat terjadi dengan perbuatan sebagaimana dapat terjadi
dengan keyakinan dan perkataan. Dan ada di antara amal yang menjadi kufur karena
melakukan amal tersebut tanpa keyakinan, dan menganggap halal perbuatan tersebut.[24]

CIRI-CIRI SESEORANG TERLEPAS DARI MURJI`AH MENURUT HIZBIYYUN DAN


HARAKIYYUN
Di antara ciri seseorang terlepas dari Murji`ah menurut kaum Hizbiyyun dan Harakiyyun
ialah:

1. mengkafirkan orang yang berhukum dengan selain hukum Allah dengan mutlak tanpa
perincian yang telah disepakati oleh para salaf, Ahlus-Sunnah sejak dahulu sampai hari ini.
2. mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan. Dalam
masalah ini terjadi khilf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama Ahlus-Sunnah sejak
dahulu hingga hari ini.

Menurut mereka, apabila seorang muslim berpendapat dengan dua pendapat tersebut, maka ia
telah terlepas dari Murji`ah.[25]

TUDUHAN DUSTA TERHADAP AHLI HADITS ABAD INI, YAITU SYAIKH


MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAH
Ada sebagian orang dari kalangan hizbiyyun dan harakiyyun yang menuduh Syaikh al-Albani
sebagai Murji`ah. Tuduhan ini merupakan tuduhan yang kejam, dusta, bohong, dan mengada-
ada.
Syaikh al-Albani rahimahullah telah menjelaskan dalam kitab-kitabnya dan tahqqnya tentang
masalah iman, sebagaimana dipegangi para ulama salaf. Kalau kita mau membahas satu per
satu dari kitab beliau, maka akan panjang pembahasannya. Tetapi saya cukupkan dengan
penjelasan para ulama yang memuji beliau.

Syaikh Abdul-'Azz bin Abdullah bin Bz rahimahullah berkata,"Aku tidak melihat di bawah
kolong langit seorang yang 'alim tentang hadits pada zaman ini, seperti al-Allamah
Muhammad Nshiruddin al-Albni.

Beliau rahimahullah juga pernah ditanya: Siapa mujaddid (pembaharu) pada zaman ini?

Lalu beliau menjawab, Menurutku, Syaikh Muhammad Nshiruddin al-Albni. Beliaulah


mujaddid (pembaharu) pada zaman ini. Wallahu alam.

Syaikh bin Bz juga pernah berkata,Aku tidak mengetahui seorang di alam semesta yang
lebih alim daripada Syaikh Nshir (al-Albani) pada zaman ini.

Syaikh Muhammad bin Shlih al-Utsaimn rahimahullah pernah ditanya, tentang orang yang
menuduh Syaikh al-Albni dengan irja` (Murjiah), maka beliau menjawab: Barangsiapa
yang menuduh Syaikh al-Albni dengan tuduhan irja`, maka ia telah salah, - orang itu - satu
di antara dua kemungkinan, (yaitu): ia tidak mengenal al-Albani atau tidak mengetahui apa
itu Irja`. Al-Albni rahimahullah seorang dari Ahlus-Sunnah dan pembela Sunnah. Dia juga
seorang imam dalam bidang hadits. Aku tidak mengetahui ada seorang yang menandinginya
pada zaman sekarang. Akan tetapi, sebagian orang kami mohon kepada Allah al-Afiyah-
timbul perasaan dengki pada hatinya. Apabila ia melihat penerimaan seseorang, mereka
mulai mencela seperti perbuatan orang-orang munafik yang mencela orang-orang mukmin
yang bershadaqah dan tidak mendapatkan kecuali usaha mereka. Mereka (munfiqn)
mencela orang yang bershadaqah dengan harta yang banyak dan orang miskin yang
bershadaqah. Kami mengetahui beliau (al-Albni) rahimahullah dari buku-bukunya, dan aku
mengetahuinya sebagai seorang yang memiliki 'aqidah Salaf dan selamat manhajnya. Akan
tetapi, sebagian orang ingin mengafirkan hamba Allah dengan apa-apa yang Allah tidak
mengafirkan mereka dengannya, kemudian menuduh bahwa orang yang menyelisihinya
dalam masalah takfir maka ia adalah Murji`ah; ini merupakan suatu kebohongan, kedustaan,
dan kezhaliman. Oleh karena itu, janganlah kalian mendengar perkataan-perkataan ini dari
siapa pun.

Beliau (Syaikh Utsaimin) juga berkata: Syaikh al-Albni seorang yang panjang langkahnya
(luas ilmunya), luas pengetahuannya, dan kuat pemikirannya. [26]

Begitu pula tuduhan hizbiyyun kepada Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi hafizhahullh.
Mereka menuduh bahwa beliau adalah Murji`ah?! Mereka menuduh demikian karena ada
fatwa dari Lajnah Da-imah yang memperingatkan dua buku karya Syaikh Ali bin Hasan,
yaitu at-Tahdzr min Fitnatit-Takfr dan Shaihatun-Nadzr bi Khatharit-Takfr. Padahal fatwa
ini tidak memvonis Syaikh Ali sebagai Murjiah.
Dalam masalah ini, Syaikh Ali telah menjawab serta menjelaskan dalam bukunya. Beliau
mengajak polemik kepada anggota Lajnah Da-imah dengan buku beliau yang berjudul al-
Ajwibah al-Mutal-imah al Fatwa al-Lajnah ad-D-imah.

Kemudian beliau membantah orang-orang yang memanfaatkan fatwa itu untuk kepentingan
hawa nafsu dan membela kelompok mereka. Beliau membantah dalam bukunya yang
berjudul at-Tanbhtul Mutaw-imah f Nushrati Haqqi Ajwibah al-Mutal-imah al Fatwa
al-Lajnah ad-D-imah setebal 610 halaman, diterbitkan oleh Maktabah Drul-Hadts-Daulah
Imrt, Cet. I, Th. 1424 H. Beliau membantah dengan bantahan ilmiah dan menjawab
tuduhan itu dengan dalil-dalil dari al-Qur`an dan as-Sunnah, perkataan ulama Salaf, dan
disertai bukti-bukti akurat dan marji (referensi) yang banyak. Beliau jawab satu per satu
dengan rinci, ilmiah dan nukilan yang sempurna, tidak sepotong-sepotong.

Tentang fatwa Lajnah Da-imah dijelaskan dengan gamblang oleh Syaikh Dr. Husain bin
Abdul-'Azz lu Syaikh dan Syaikh Muhammad bin Shlih al-Utsaimn rahimahullah .

Dr. Hushain bin Abdul Azz Alu Syaikh imam Masjid Nabawi dan Qadhi (hakim) di
Pengadilan Tinggi Madinah Nabawiyyah- pernah ditanya berkaitan dengan fatwa Lajnah Da-
imah:

Fadhilatusy-Syaikh, bagaimana pendapat Syaikh tentang fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah
Da-imah tentang kedua kitab Syaikh Ali al-Halabi: at-Tahdzr dan Shaihatun Nadzr,
bahwasanya kedua kitab ini mengajak kepada pemikiran Irja`, bahwa amalan bukanlah syarat
sahnya iman. Padahal kedua kitab ini tidak membahas masalah syarat sahnya iman atau
syarat kesempurnaan iman?

Menghadapi pertanyaan ini, maka Syaikh Dr. Husain bin Abdul Azz lu Syaikh menjawab:

Yang pertama, wahai saudara-saudaraku! Syaikh 'Ali dan masyayikh lainnya satu jalan.
Syaikh Ali adalah saudara tua sebagaimana para masyayikh yang mengeluarkan fatwa ini.
Syaikh Ali mengenal mereka, dan mereka pun mengenal Syaikh Ali. Mereka memiliki
hubungan baik dengan Syaikh Ali.
Syaikh Ali telah diberi Allah ilmu dan bashirah untuk mengatasi masalah ilmiah antara dia
dan masyayikh, dan masalah ilmiah ini untuk menjelaskan al-haq (kebenaran).

Adapun Syaikh Ali dan gurunya Syaikh al-Albni- barangsiapa yang berada di atas jalan
Sunnah, maka tidak ada satu pun yang meragukan bahwasanya mereka di atas manhaj yang
diridhai walillahil hamdu. Syaikh Ali walillahil hamdu- termasuk pembela manhaj Ahlus-
Sunnah wal-Jamaah.

Fatwa tersebut tidak me-nash-kan bahwa Syaikh Ali sebagai Murji`ah tidak akan beliau
mengucapkan ini!- khilaf antara fatwa ini dengan Syaikh Ali pada masalah kitab dan diskusi
bersamanya pada perkara ini. Keberadaan orang lain yang hendak memaksakan kandungan
fatwa ini, bahwasanya fatwa ini mewajibkan hukum atas Syaikh Ali bahwa beliau Murji`,
maka ini tidak saya pahami, dan aku menyangka bahwa saudara-saudara disini juga tidak
memahami ini. Fatwa ini walillahil hamdu- tidak menyelisihi hubungan antara Syaikh Ali
dan masyayikh, mereka menghormati dan menghargai Syaikh Ali.

Syaikh 'Ali telah menerangkan dengan penjelasan ilmiah (dalam kitab beliau -Ajwibah
Mutalimah ala Fatwa Lajnah D-imah) sebagaimana dilakukan oleh Salaful-Ummah-;
tidak ada seorang pun dari kita melainkan mengambil dan memberi, setiap orang diambil
perkataannya dan juga dibantah, kecuali penghuni kubur ini, yaitu Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam sebagaimana dikatakan oleh Imam Mlik rahimahullah : Setiap ucapan
diterima dan ditolak, kecuali perkataan Rasul.

Demikianlah umat ini, berselisih pada awalnya antara yang mengambil dan yang menolak.
Tetapi manusia dari segi asalnya- kadang-kadang di tengah-tengah ucapannya ada ucapan-
ucapan lain yaitu yang dinamakan dengan perkataan-perkataan spontan disebabkan adanya
perdebatan, dan sebab tabiat asli manusia- yang terdapat di dalamnya sedikit keras; bahkan
juga di antara para sahabat Radhiyallahu anhum sebagaimana terjadi antara Abu Bakar dan
'Umar, dan antara yang lainnya dari kalangan sahabat seperti antara Aisyah dan Ali
Radhiyallahu anhuma .

Kesimpulannya, fatwa ini dalam pandanganku- tidak menghukumi, dan tidak menashkan
dengan nash yang jelas bahwa Syaikh Ali di atas manhaj Irja`. Sesungguhnya fatwa ini
adalah pembicaraan tentang sebuah kitab yang ditulis oleh Syaikh. Syaikh Ali telah menulis
kitab (Ajwibah Mutalimah) sesudah keluarnya fatwa, bukan dalam rangka membantah,
tetapi menjelaskan manhajnya dan manhaj gurunya, yaitu Syaikh al-Albni.

Yang kami yakini dan kami pertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala,
bahwasanya Syaikh Ali dan gurunya Syaikh al-Albni- sangat jauh di antara manusia dari
madzhab Murji`ah sebagaimana telah kami katakan sebelumnya-. Syaikh Ali demikian
juga Syaikh al-Albni- jika ditanyakan kepadanya: Apakah definisi iman? Tidak akan kita
dapati dalam ucapannya perkataan Murjiah yang mengatakan bahwa amalan tidak masuk
dalam keimanan. Bahkan nash-nash Syaikh al-Albni menashkan bahwa definisi iman,
adalah keyakinan dengan hati, perkataan dengan lisan, dan amalan dengan anggota tubuh,
bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.[27]

Syaikh Muhammad bin Shlih al-Utsaimn ketika ditanya oleh Syaikh Ali tentang fatwa
Lajnah Da-imah, beliau menjawab: Ini adalah suatu kesalahan dari Lajnah, dan aku merasa
terganggu dengan adanya fatwa ini. Fatwa ini telah memecah-belah kaum Muslimin di
seluruh negeri, sampai-sampai mereka menghubungiku baik dari Amerika maupun Eropa.
Tidak ada yang mengambil manfaat dari fatwa ini melainkan takfiriyyun (tukang
mengafirkan) dan tsauriyyun (para pemberontak).

Beliau juga berkata: Saya tidak suka keluarnya fatwa ini, karena membuat bingung manusia.
Dan nasihatku kepada para penuntut ilmu agar tidak terlalu berpegang teguh dengan fatwa
fulan atau fulan.[28]

Saya ingatkan kepada orang-orang yang menuduh para ulama dan kaum Muslimin dengan
tuduhan yang tidak benar akan sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :






.

Barangsiapa syafaat (pertolongan)nya menghalangi had (sanksi hukum) dari hukum-hukum


Allah, maka ia telah melawan Allah. Dan barangsiapa yang bertikai (bermusuhan) dalam
kebathilan padahal dia mengetahuinya, maka ia berada dalam kemurkaan Allah sampai ia
melepasnya. Dan barangsiapa yang menuduh seorang mukmin dengan tuduhan yang tidak
ada padanya, maka Allah akan menempatkannya dalam radghatul khabal sampai ia keluar
dari perkataannya (bertaubat). [29]

Makna radghatul-khabal ialah cairan (keringat) penghuni neraka, sebagaimana dijelaskan


dalam hadits yang terdapat dalam Shahh Muslim. [30]

MARAAJI
1. Al-Quran dan terjemahannya, terbitan DEPAG.
2. Shahh al-Bukhri.
3. Shahh Muslim.
4. Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.
5. Sunn Abi Dawud.
6. Sunn at-Tirmidzi.
7. Sunn an-Nas-i.
8. Al-Mustadrak alash Shahhain, karya Imam al-Hakim.
9. Kitbus Syarah, karya Imam al-Ajurri.
10. Syarhus Sunnah, karya Imam al-Baghawi.
11. Syarhus Sunnah, karya Imam al-Barbahari.
12. As-Sunnah, karya Imam Abu Bakar al-Khallal.
13. Silsilah al-Ahdts ash-Shahhah, karya Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani.
14. Al-mn, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, takhrij Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani.
15. Al-Milal wan Nihal, karya asy-Syahrastani.
16. Al-Farqu bainal Firaq, karya Abdul Qahir al-Baghdadi.
17. Maqalt Islamiyyn wakhtilful Mushalln, karya Imam Abul Hasan al-Asyari.
18. Majm Fatwa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
19. Syarh Ushl Itiqd Ahlis Sunnah wal Jamah, karya Imam al-Lalik-i.
20. Syarah Aqdah ath-Thahwiyyah, karya Imam Ibnu Abil Izz al-Hanafi tahqiq para ulama
dan takhrij Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
21. At-Takfr wa Dhawbithuhu, karya Syaikh Dr. Ibrhim ar-Ruhaili.
22. Dirst fil Ahw, karya Syaikh Dr. Nshir bin Abdul Karm al-Aql.
23. Wasathiyyah Ahlis Sunnah, karya Syaikh Muhammad Bakarim bin Muhammad
Baabdullah.
24. Firaq Muhirah, karya Ghlib bin Ali Awji.
25. Mujmal Mas-ilil mn wal Kufr al-Ilmiyyah fi Ushl al-Aqdah as-Salafiyah, Syaikh
Musa lu Nashr, Syaikh Ali Hasan al-Halaby al-Atsary, Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly,
Masyhur Hasan Alu Salman, Husain bin Audah al-Awaisyah, Baasim bin Faishal al-
Jawabirah, cet. II-Markaz Imam al-Albany.
26. Murji`atul 'Ashr, karya Syaikh Dr.Khlid bin Ali al-Anbari.
27. Fatw Ulam al-Akbir fm Uhdira min Dim-in fil Jaz-iri, karya Abdul Malik
Ramadhan al-Jaz-iri.
28. At-Tanbihtul Mutaw-imah fii Nushrati Haqqi al-Ajwibatil Mutal-imah alaa Fatwaa
al-Lajnah ad-D-imah, karya Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid.
29. Ar-Raddul Burhni fintishri lil Allmah al-Imam asy-Syaikh al-Muhaddits Muhammad
Nshiruddin al-Albni. Karya Syaikh Ali Hasan al-Halabi.
30. At-Tarf wat Tanbi-`ah bi Ta-shlt al-Allmah asy-Syaikh Muhammad Nshiruddin al-
Albni rahimahullaah f Mas-ilil Imn war Raddi alal Murji-`ah, karya Ali Hasan Ali
Abdul Hamid.
31. Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaaah, oleh Yzid bin Abdul Qadir Jawas, cet. IV-
Pustaka Imam Asy-Syafii, Jakarta.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[19]. Lihat Murji`atul 'Ashr (hal. 54)
[20]. Tentang masalah seseorang bisa menjadi kafir, lihat makalah penulis di majalah As-
Sunnah, edisi 03/Tahun XI/1428 H/2007 M. (hal. 34-42).
[21]. Musnad Ishaq (III/670), dinukil dari Murji`atul 'Ashr (hal. 56).
[22]. Lihat Murji`atul 'Ashr (hal. 56-57).
[23]. As-Sunnah (III/566) oleh Imam Abu Bakar Al-Khalll.
[24]. Lihat Murji`atul 'Ashr (hal. 60). Lihat poin I (Ciri-ciri Murji`ah Menurut Ahlul Bidah
Terdahulu)
[25]. Lihat Murji`atul Ashr (hal. 62).
[26]. Lihat Fatwa Ulama al-Akbir (hal. 6-7)
[27]. Lihat at-Tanbiht al-Mutawimah (hal. 553-557)
[28]. At-Tarf wat Tanbi-ah (hal. 15)
[29]. HR. Abu Dawud (no. 3597), al-Hkim (II/27), dan Ahmad (II/70), dari Sahabat
'Abdullah bin 'Umar c. Hadits ini shahih, lihat Silsilah al-Ahdits ash-Shahhah (no. 437).
[30]. Lihat Shahh Muslim (no. 2002 (72)) dan Shahh at-Targhb wat Tarhb (II/545-546).
Musuh Dakwah Asy Syaikh Al-Bani
Kategori Majalah AsySyariah Edisi 077
Indexz
April 26, 2012

(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc)

Para musuh dakwah beliau tak lepas dari salah satu dari sifat-sifat berikut ini,
1. Al-hadatsah (kemudaan)
2. Kedangkalan ilmu
3. Bidah
4. Suka untuk tampil
5. Merasa sebagai syaikh
Berbagai tuduhan tak berdasar dilontarkan kepada beliau dari beraneka ragam musuh
dakwahnya. Tetapi, itu adalah sebuah risiko yang mesti terjadi di saat seseorang menjalankan
sunnah Nabi n. Itulah yang terjadi pada asy-Syaikh al-Albani. Kami akan buktikan, insya
Allah, bahwa berbagai tuduhan dan tudingan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Namun,
saya di sini akan memfokuskan pada beberapa hal saja dan terkhusus yang tersebar di negeri
kita, karena keterbatasan waktu dan ruang.
Di antara tuduhan tersebut adalah sebagai berikut.

Tuduhan Berpemahaman Murjiah


Tak diragukan bahwa tuduhan tentulah berasal dari orang-orang yang berpemahaman takfir
atau terpengaruh oleh pemahaman mereka. Akan tetapi, yang lebih menyakitkan adalah
ketika tuduhan itu juga dilontarkan oleh orang yang dianggap sebagai salafi juga. Asal
tuduhan ini, karena asy-Syaikh al-Albani adalah tokoh yang sangat keras menentang
pemikiran takfir (mengafirkan kaum muslimin) dan gerakan kelompok takfir, sehingga beliau
tentu menjadi sasaran tudingan mereka. Safar al-Hawali, seorang yang berpemahaman
Ikhwanul Muslimin atau takfir, menjadi salah satu pelopor tuduhan ini dalam bukunya,
Zhahiratul Irja. Tuduhan itu pun semakin tenar sehingga tak sedkit yang membeo mengikuti
jejak Safar al-Hawali.
Benarkah tuduhan itu?
Siapakah yang disebut Murjiah? Mereka adalah yang meyakini bahwa amal bukan termasuk
iman, iman tidak bertambah serta berkurang, serta perbuatan dosa tidak menurunkan iman.
Dari keterangan siapakah yang disebut Murjiah, sama sekali syaikh al-Albani tidak masuk
dalam kategori mereka. Lihatlah keyakinan beliau dalam hal iman. Amal adalah bagian
penting dalam iman dan dengan hanya pelanggaran anggota badan, seseorang bisa lepas sama
sekali dari iman. Dua hal ini termasuk yang sangat membedakan antara Ahlus Sunnah dengan
Murjiah dalam hal iman. Sebagai bukti dalam al-Aqidah ath-Thahawiyah pada poin no. 58
dan 62.
Ketika ath-Thahawi mengatakan, Dan kami tidak mengatakan Tidak bermudarat dengan
adanya iman dosa apa pun bagi orang yang melakukannya.
Beliau memberikan komentar, saya katakan, Hal itu karena ucapan tersebut merupakan
pendapat orang-orang Murjiah yang mengarah kepada pendustaan terhadap ayat-ayat
ancaman dan hadits-haditsnya yang datang (menerangkan) tentang para ahli maksiat dari
umat ini, dan bahwa kelompok-kelompok dari mereka yang maksiat itu akan masuk ke
neraka lalu keluar darinya dengan syafaat atau yang lainnya.
Juga ketika ath-Thahawi t menjelaskan tentang iman dan beliau keliru padanya yaitu, Iman
adalah ikrar dengan lisan dan pembenaran dengan kalbu.
Beliau memberikan komentar, Ini adalah mazhab Hanafiyyah dan Maturidiyyah. Berbeda
dengan mazhab salaf dan mayoritas para imam seperti al-Imam Malik, Syafii, Ahmad, al-
Auzai, dan yang lain, karena mereka menambahkan pada ikrar dengan (lisan) dan
pembenaran itu dengan tambahan pengamalan dengan anggota badan.
Kiranya dua kutipan ini saja sudah cukup sebagai bukti lepasnya beliau dari tuduhan berdosa
tersebut bagi orang yang adil dan berakal.
Alhamdulillah para ulama telah bersaksi atas lurusnya akidah dan keyakinan beliau, di
antaranya asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, beliau t berkata, Barang siapa menuduh asy-Syaikh al-
Albani sebagi Murjiah maka dia telah salah, mungkin dia tidak tahu apa itu Murjiah atau
siapa itu al-Albani.

Tuduhan Penulis Blog Jamaah Tabligh


Dalam blog Jamaah Tabligh, dengan bahasa yang sangat merendahkan, penulis meremehkan
ilmu haditsnya, dengan mengatakan, Sebetulnya, kapasitas ilmu tukang reparasi jam ini
sangat meragukan (kalau tak mau dibilang ngawur).
Rasanya tak perlu saya jawab panjang lebar, karena terlalu rendah omongannya. Maklum,
omongan orang yang tidak tahu ilmu hadits, tentu saja tidak menghargai ahli hadits.
Begitulah seseorang apabila bicara bukan pada bidangnya. Adapun orang-orang yang paham
ilmu hadits tidak akan meragukan keilmuannya. Bias jadi, penulis tersebut tidak pernah
membaca Silsilah ash-Shahihah dan kitab beliau yang lain. Bisa jadi pula, dia tidak bisa
membaca kitab gundul, atau tidak paham pembahasan mushthalah. Maklumlah, kesibukan
Jamaah Tabligh (JT) dalam urusan lain.

Celaannya Terhadap Profesi Reparasi Jam


Sebetulnya, kapasitas ilmu tukang reparasi jam ini sangat meragukan (kalau tak mau dibilang
ngawur).
Demikian tertulis dalam blog JT tersebut. Aneh bila kerjaan yang halal itu dicela, padahal
Nabi n telah menganjurkan makan dari hasil kerja sendiri dan untuk berkerja yang halal
walupun tampak sepele,
.

Seseorang mengikat seikat kayu bakar lalu menggendongnya di atas punggungnya lebih
baik daripada meminta-minta kepada seseorang, yang mungkin memberinya atau tidak
memberinya. (Sahih, HR. an-Nasai dan yang lain, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-
Albani)



Tidaklah seseorang memperoleh suatu penghasilan yang lebih bagus dari kerjaan tangannya
sendiri. (Sahih. HR. an-Nasai dan yang lain, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)
Bagaimana dengan dua hadits di atas? Apakah kamu tidak akan menerima lantaran saya
sebutkan bahwa yang menyatakan sahih adalah asy-Syaikh al-Muhaddits al-Albani?
Sungguh, pekerjaan tersebut lebih baik dari pada seseorang menjadi direktur bank atau kantor
pajak. Nabi Zakariya dahulu adalah seorang tukang kayu, (Sahih, HR. Muslim)

Tidak Berguru kepada Ahli Hadits


Tentu itu hanya sebatas tuduhan. Selintas, pada biografi singkat telah dijelaskan bahwa beliau
tumbuh dalam keluarga yang agamis dan sejak berusia dini telah belajar dasar-dasar ilmu
agama. Bahkan, ayahnya tidak memasukkannya ke sekolah lanjutan demi untuk diajari
khusus ilmu agama oleh ayahnya dan teman-teman ayahnya, yang mereka bukan guru biasa,
bahkan terhitung ulama di kalangan mereka.
Beliau pun ikut serta dalam seminar-seminar seorang ulama besar semacam Muhammad
Bahjat al-Baithar. Dengan demikian, ketika menginjak dewasa dan mengarungi lautan ilmu,
beliau bukan seperti orang buta yang berenang di lautan. Bahkan, ia melihat dan telah
memiliki berbagai macam alat dan dasar-dasar teknik mengarunginya. Ilmu alat dan kunci-
kunci ilmu telah beliau miliki.
Dalam ilmu hadits, lihat saja pengakuan ahli hadits dan al-musnid (ahli sanad) di negeri itu,
asy-Syaikh Muhammad Raghib at-Thabbakh, yang kagum kepada beliau dalam bidang hadits
sehingga memberikan ijazah sanad-sanad hadits kepada beliau, yaitu al-Anwar al-Jaliyyah fi
Mukhtashar al-Atsbat al-Hanbaliyyah. Jadi, telaah dan ketekunan beliau dalam mengarungi
lautan ilmu adalah pengembangan dan aplikasi dari dasar-dasar ilmu yang selama ini telah
tertanam dalam diri beliau.

Menyerupakan Allah l dengan Makhluk


Penulis pada blog Jamaah Tabligh menuliskan, Menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya
sebagaimana dia sebutkan dalam kitabnya berjudul Almukhtasar al Uluww hal. 7, 156, 285.
Dengan merujuk kepada halaman yang disebutkan, tampaknya si penuduh tidak paham sama
sekali atau mungkin tidak membaca dan hanya taklid kepada pencela al-Albani yang lain,
atau mungkin tidak bisa membaca Arab gundul.
Pada halaman tersebut sama sekali tidak ada pernyataan beliau yang menyerupakan Allah l
dengan makhluk. Bisa jadi, yang dia maksud adalah ketika asy-Syaikh al-Albani
menceritakan mazhab ahlul hadits dan Hanabilah dalam hal mengimani kalamullah. Mereka
mengimani al-Quran itu kalamullah, dan kalam Allah l itu terdengar karena itu suara dan
huruf. Bisa jadi, dipahami bahwa ini berarti beliau menyerupakan Allah l dengan makhluk.
Dianggap olehnya bahwa suara adalah seperti suara makhluk dan huruf seperti huruf
makhluk.
Ya, maaf, itu salah paham yang cukup berat. Pertama, justru pikiran Anda yang
menyerupakan Allah l dengan makhluk. Saat Anda membaca ungkapan itu, langsung Anda
hukumi menyerupakan Allah l dengan makhluk. Tidak ada dalam pikiran Anda saat orang
menyatakan kalam Allah l dengan suara selain gambaran seperti suara manusia atau
makhluk lain. Jadi pikiran Andalah yang sudah terkotori oleh tasybih (penyerupaan Allah l
dengan makhluk).
Sungguh benar pernyataan ulama dahulu Setiap orang yang menolak sifat Allah l, pastilah
dia juga musyabbih (menyerupakan Allah dengan mahluk). karena sebelum dia tolak sifat
Allah l tersebut, penyerupaan tersebut telah tergambar dahulu dalam pikirannya. Setelahnya,
dia menolak hal itu. Apa yang kita bahas menjadi bukti kebenaran pernyataan itu.
Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah, tidak tergambar hal itu karena pikiran mereka tidak kotor
dengan tasybih (penyerupaan Allah l dengan makhluk). Oleh karena itu, ketika mereka
menyatakan bahwa kalam Allah l dengan suara dan huruf, artinya suara Allah l yang sama
sekali tidak serupa dengan suara makhluk dan huruf makhluk. Begitu pula saat menetapkan
sifat-sifat Allah yang lain yang ada dalam al-Quran atau al-Hadits, seperti cinta, benci,
melihat, tangan, dan lain-lain.
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat. (asy-Syura: 11)
Adapun landasan Ahlus Sunnah bahwa kalam Allah l dengan suara dan huruf, sangat banyak.
Saya akan cukupkan dengan dua saja di sini.
Dari Jabir dari Abdullah bin Unais z, ia berkata bahwasanya ia mendengar Rasulullah n
bersabda,
:


Allah mengumpulkan hamba-hamba-Nya, lalu Allah l memanggil mereka dengan suara
yang didengar oleh yang jauh seperti yang didengar oleh yang dekat, Akulah Sang Raja.
Akulah Yang Maha Membalasi. (Sahih, HR. al-Bukhari secara muallaq dan Ahmad)
Dari Abdullah bin Masud ia berkata bahwa Rasulullah n bersabda,




.
Barang siapa yang membaca satu huruf dari kitabullah maka dengannya dia akan mendapat
satu kebaikan. Satu kebaikan dilipatkan menjadi sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan
bahwa alif lam mim satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu
huruf. (Sahih, HR. at-Tirmidzi)
Itu adalah pernyataan Ahlus Sunnah, dan itulah ijma mereka.
Asy-Syaikh al-Albani termasuk ulama yang sangat menentang tasybih (menyerupakan Allah
dengan makhluk). Ini terbukti ketika ath-Thahawi menyatakan dalam kitab Aqidah-nya pada
poin no. 9, Dan para makhluk tidaklah menyerupai-Nya. Asy-Syaikh al-Albani
berkomentar, Pada ucapannya terdapat bantahan terhadap pendapat musyabbihah (orang-
orang yang menyerupakan al-Khaliq dengan makhluk). Mahasuci Allah dan Mahatinggi.
Allah berfirman,

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat. (asy-Syura: 11)
Beliau kemudian menukil ucapan Abu Hanifah, Allah tidak menyerupai sedikit pun dari
makhluk-Nya, dan tidak pula sesuatu pun dari makhluk-Nya menyerupai-Nya.
Abu Hanifah melanjutkan, Dan semua sifat-Nya berbeda dengqn sifat-sifat makhluk. Allah
Maha berilmu, namun tidak seperti ilmu kita. Allah Mahamampu, namun tidak seperti
kemampuan kita. Allah Maha Melihat, namun tidak seperti penglihatan kita. (Syarh wa
Taliq ala al-Aqidah ath-Thahawiyah)

Mengafirkan Orang-Orang yang Tawassul


Penulis blog mengatakan, Mengafirkan orang-orang yang bertawassul dan beristighatsah
dengan para Nabi n dan orang-orang soleh seperti dalam kitabnya at-Tawassul.
Demikian dengan ringkasnya tuduhan itu dilontarkan untuk membuat momok pada asy-
Syaikh al-Albani. Sebetulnya, tuduhan itu adalah tanggung jawab penuduh, karena Allah l
bakal menanyainya. Apalagi tuduhan mengafirkan, jangan dianggap sepele! Maka dari itu,
semestinya dia tunjukkan dengan jelas pada halaman mana dari kitab tersebut.
Saya dengan segala keterbatasan, mencoba melihat-lihat kembali kitab tersebut (at-Tawassul
Anwauhu wa Ahkamuhu), namun saya belum dapatkan apa yang mereka sebutkan. Yang
saya dapatkan, beliau menuliskan, Muncullah dari qiyas yang rusak dan pendapat yang tak
laku ini kesesatan terbesar tersebut dan musibah terbesar, yang banyak kaum muslimin yang
awam, bahkan sebagian orang khususnya, terjatuh padanya. Ketahuilah, itu adalah
istighatsah, memohon pertolongan kepada para Nabi n dan orang-orang saleh selain Allah l di
saat kesulitan dan musibah. (hlm. 137)
Lalu beliau menukilkan ucapan sebagian ulama yang mencap bahwa ini perbuatan kekafiran
dan kesyirikan.
Jadi, penjelasan beliau ini adalah dalam masalah istighatsah, mohon pertolongan kepada
selain Allah l. Kalau tawassul ini sampai pada tingkatan tersebut, yaitu meminta dan berdoa
kepada selain Allah l, tentu kafir.
Bagaimana menurut kalian? Apakah kalian sepakat dengan mereka dalam masalah ini?
Apabila kalian sepakat, mengapa kalian mencela al-Albani?
Kalau menurut kalian boleh, berarti kalian membolehkan berdoa kepada selain Allah l, yang
itu adalah syirik. Sayangilah agama kalian!
Adapun tawassul dengan para nabi yang tidak sampai kepada tingkatan ini, tetapi bertawassul
dengan kedudukannya, misalnya mengucapkan, Aku mohon kepadamu, ya Allah, dengan
kedudukan Nabi n Muhammad, saya tidak mendapati beliau mengafirkannya, tetapi kata
beliau, Tidak boleh. Tidak disyariatkan karena tidak ada dalil yang pantas jadi
landasannya. (hlm. 46)
Beliau juga menyebutkan bahwa ini adalah bidah karena tidak ada satu pun dalam doa al-
Quran dan hadits yang sahih! Jadi, ini bukan ajaran Nabi n dan amalan para sahabat. Apabila
kalian menganggap sunnah sehingga senantiasa mendendangkannya, tunjukkan dalilnya yang
sahih! Kami tunggu.
Adapun tawassul dengan Nabi n dan orang saleh saat masih hidup dengan doanya, asy-
Syaikh al-Albani membolehkannya. Beliau mengatakan, Tawassul yang disyariatkan dan
ditunjukkan oleh nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah, dan diamalkan oleh as-salafush shalih
serta disepakati oleh muslimin yaitu:
1. Tawassul dengan salah satu nama Allah l atau salah satu sifat-Nya,
2. Tawasssul dengan amal saleh yang dilakukan orang yang berdoa,
3. Tawassul doa orang saleh. (hlm. 46)
Inilah ucapan beliau, lantas dari mana celanya, wahai penuduh?
Tawassul itu sesuatu yang Allah l syariatkan sebagaimana dalam salah satu ayat, bagaimana
kalian mengamalkan ayat itu? Dengan sesuatu yang Nabi n contohkan atau dengan karangan
kalian sendiri?

Melarang Ziarah Kubur


Kata penulis blog JT, Mengharamkan umat Islam mengunjungi sesamanya dan berziarah
kepada orang yang telah meninggal di makamnya.
Tuduhan ini pun tidak jauh dari yang sebelumnya, murahan dan tidak ilmiah. Mestinya, dia
menukilkan sumber sekaligus kutipan yang lengkap. Ingat, kalian akan ditanya oleh Allah l
nanti.
Mari kita menyimak penjelasan asy-Syaikh al-Muhaddits al-Albani tentang ziarah dalam
kitabnya Ahkamul Janaiz, Disyariatkan berziarah kubur untuk mengambil pelajaran dan
untuk mengingatkan akhirat, dengan syarat dalam ziarahnya tidak mengucapkan kata-kata
yang dimurkai oleh Allah l, seperti berdoa kepada orang yang dikubur tersebut, atau
memohon pertolongan kepadanya selain Allah l, atau mentazkiyah serta memastikannya
masuk surga. (hlm. 227)
Kontradiksi dalam Menghukumi Hadits
Sebagian orang mengungkapkannya dengan bahasa rendahan, seperti ucapan Abu Salafy,
Syeikh agung mereka yang sering linglung dalam mentashih atau mentadhif hadis!
Bahkan, sebagian orang menganggap beliau tidak berhak menghukumi suatu hadits dengan
mengatakan, Sebetulnya, kapasitas ilmu tukang reparasi jam ini sangat meragukan (kalau
tak mau dibilang ngawur).
Dia sendiri mengakui bahwa sebenarnya dia tidak hafal sepuluh hadits dengan sanad
muttashil (bersambung) sampai ke Rasulullah. Meskipun demikian, dia berani mentashih dan
mentadhifkan hadits sesuai dengan kesimpulannya sendiri dan bertentangan dengan kaidah
para ulama hadits yang menegaskan bahwa sesungguhnya mentashih dan mentadhifkan
hadits adalah tugas para hafizh (ulama ahli hadits yg menghapal sekurang-kurangnya seratus
ribu hadits).
Inilah tuduhan penulis blog JT. Tuduhan ini berasal dari orang yang tidak tahu kapasitas
dirinya. Mestinya, apabila menuduh hendaknya yang ilmiah sehingga tidak memalukan, tidak
hanya asal bicara. Semestinya, mereka mempelajari ribuan hadits yang beliau hukumi, baru
setelahnya mereka mengeluarkan kesimpulannya. Atau sebelum itu, mereka sudah bisa
membaca Arab gundul atau belum? Ataukah mereka hanya membeo kepada orang Timur
Tengah yang mengkritik beliau?
Alhamdulillah, tuduhan ini telah disanggah oleh para ulama. Di antaranya asy-Syaikh
Muhammad Umar Bazmul dalam kitabnya al-Intishar li Ahlil Hadits. Kesimpulan beliau, ini
adalah tuduhan kebodohan atau pura-pura bodoh. Ketahuilah, yang disepakati Ahlus
Sunnahmungkin Abu Salafy tidak ikut kesepakatan ini, -red.bahwa kemaksuman tidak
tetap bagi seorang pun dari umat ini, selain Rasulullah n.
Oleh karena itu, kekeliruan adalah sesuatu yang mungkin terjadi pada siapa saja. Jangankan
beliau, ulama dan para hafizh pun tidak lepas darinya. Tetapi, apakah kekeliruan yang
sifatnya manusiawi dalam hal yang ijtihadi dan dalam jumlah yang lumrah, menjatuhkan
kapasitas ilmiahnya? Tidak seorang pun yang beranggapan demikian selain orang yang
bodoh.
Perbedaan penilaian atau hukum dalam beberapa hadits yang terjadi pada beliau tidak keluar
dari beberapa hal berikut ini.
1. Perubahan hukum beliau terhadap beberapa hadits disebabkan perkembangan ilmu beliau.
Misalnya, ditemukannya kitab yang baru tercetak, atau sanad lain, mutabaah, dan syawahid,
atau tersingkapnya kelemahan hadits yang sebelumnya tidak diketahui. Hal ini cukup banyak,
seperti yang beliau ungkapkan sendiri dalam mukadimah kitab Shahih Jami ash-Shaghir.
Alhamdulillah, sekarang telah terbit buku Tarajuat al-Albani, yang menerangkan hadits-
hadits yang asy-Syaikh al-Albani mengubah penghukuman beliau terhadap hadits tersebut
dari sahih menjadi dhaif atau menjadi hukum yang lain.
2. Hadits yang dalam derajat hasan lighairihi.
Pembahasan hadits hasan lighairihi termasuk maslaah yang paling sulit dalam ilmu hadits.
Oleh karena itu, kalau ijtihad ulama suatu saat berubah, itu adalah hal yang sangat wajar, baik
pada al-Albani atau yang lain.
Simak penegasan adz-Dzahabi yang tak diragukan keilmuannya dalam ilmu hadits dan para
rawi, Jangan engkau harap bahwa hadits hasan memiliki kaidah yang semua hadits hasan
dapat masuk ke dalamnya. Saya putus asa untuk itu. Betapa banyak hadits yang para hafizh
ragu dalam hal ini, apakah itu hasan, dhaif, ataukah sahih. Bahkan, seorang hafizh terkadang
berubah ijtihadnya dalam menghukumi satu hadits. Suatu hari ia menyatakan sahih, hari yang
lain menyatakan hasan, atau justru menyatakannya dhaif. Dan ini benar. (al-Muqizhah,
hlm. 2829)
3. Hadits-hadits yang beliau dianggap kontradiksi dalam menghukuminya, padahal justru si
penuduhnya yang tidak bisa menilai.
4. Hadits-hadits yang asy-Syaikh al-Albani berbeda dalam menghukuminya karena
keterbatasan yang sifatnya manusiawi yang tidak ada seorang pun lepas darinya. Yang seperti
itu jumlahnya sedikit sekali apabila dibanding ribuan hadits yang beliau hukumi.
Kesimpulan akhir asy-Syaikh Muhammad Bazmul, Vonis bahwa asy-Syaikh al-Albani
kontradiksi dalam menghukumi hadits, dan upaya menghilangkan kepercayaan terhadap ilmu
dan buku-bukunya adalah omong kosong belaka, dari orang yang dengki. Tidak ada bobotnya
dalam timbangan kebenaran sedikit pun. (lihat hlm. 211216 dengan sedikit penambahan
dan ringkasan)







Siapakah yang seluruh tabiatnya diridhai
Cukuplah sebagai kemuliaan seseorang itu dapat dihitung cacatnya.
Adapun ucapan penulis dalam blog JT di atas, saya anggap itu ucapan anak ingusan yang
tidak tahu ilmu musthalah sama sekali. Siapa yang mensyaratkan orang harus hafal sepuluh
hadits dengan sanadnya sampai kepada Rasulullah n, apalagi sanad dari zaman sekarang
sampai kepada Rasulullah n?
Siapa yang mensyaratkan untuk menghafal ratusan ribu hadits, baru boleh menghukumi suatu
sanad hadits sahih dan dhaifnya?!
Datangkan satu saja pensyaratan dari ulama mutaqaddimin (terdahulu)dalam hal ini, saya
tunggu.
Tuduhan Abu Salafy
Ya, Abu Salafy sebutannya, tetapi jangan Anda mengira dia salafi. Mungkin anaknya yang
salafi, semoga saja.
Dia katakan, Syeikh Albani menukil pendapat sebagin kaum Musyabbihah (yang
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) seraya membenarkan bahwa:
1. Barang siapa berkata tentang Allah, Dia dilihat tidak di sebuah jihah/sudut/sisi
tertentu, hendaknya ia mengoreksi akalnya. Albani berkata, Jika yang dimaksud dengan
jihah adalah perkara ketiadaan dan dia adalah di atas alam semesta ini, di sana tidak ada
selain Allah sendirian.
Abu Salafy berkata, Demikianlah akidah Salafi yang dibanggakan kaum Salafiyyun
Wahhabiyyun yang diyakini Syeikh agung mereka yang sering linglung dalam mentashih
atau mentadhif hadis!
Coba bandingkan dengan akidah ulama Islam seperti yang dirangkum oleh al-Imam ath-
Thahawi dalam Aqidah-nya, Allah tidak dimuat oleh enam sisi seperti halnya makhluk.
Maksudnya, Mahasuci Allah dari berada di sisi tertentu, sebab yang demikian itu
meniscayakan bertempat dan dibatasi oleh batas dan segala konsekuensinya, seperti gerak,
diam dll dari sifat makhluk.
Dengan omongannya itu, Syeikh Albani telah menuduh para ulama Islam tidak berakal. Dan
pada waktu yang sama ia telah membuktikan bahwa ia telah menyimpang dari akidah Islam
yang diyakini para imam Ahlusunnah.

Bantahan
Saya merujuk pada tiga halaman yang dia tunjuk sebagai sumber tuduhannya (Mukhtashar al-
Uluw, hlm. 7, 156, 285) dalam kitab Mukhtashar al-Uluw yang saya miliki. Kitab yang saya
miliki adalah cetakan kedua, terbitan al-Maktabul Islami. Akan tetapi, di semua halaman
yang disebutkan di atas, tidak ada kata-kata tersebut.
Anehnya, dalam blog JT pada bahasan yang berbeda, yaitu asy-Syaikh al-Albani
menyerupakan Allah l dengan makhluk, juga persis menunjuk buku dan halaman itu. Ada
kesepakatan apa antara Abu Salafy dengan penulis di blog JT tersebut? Siapa mereka?
Juga pada referensi kedua, kitab (al-Aqidah ath-Thahawiyah Syarah wa Taliq al-Albani,
hlm. 25) juga tidak saya dapati pada buku saya, cetakan kedua terbitan al-Maktabul Islami.
Entah dia merujuk ke cetakan mana? Atau ini kritik ilmiah yang bagaimana?
Yang jelastanpa saya tunjukkan, biar mereka cari sendiri dan itu mudah, nukilan itu
memang ada dalam buku asy-Syaikh al-Muhaddits al-Albanisemoga Allah l senantiasa
membelanya dari rongrongan para musuh sunnah. Yang pertama adalah ucapan Ibnu Abil
Izzi al-Hanafi yang dianggap musyabbih oleh Abu Salafy, bukan ucapan al-Albani.
Menjawab kritikan Abu Salafy, saya katakan, maksud dari perkataan yang pertama adalah
membantah mazhab Asyariyah. Menurut Asyariyah, Allah nanti dilihat, tetapi tidak pada
arah tertentu. Memang membingungkan, dilihat tapi tidak pada arah tertentu.
Maka dari itu, beliau katakan, Coba koreksi akalnya.
Mengapa mereka mengatakan demikian? Mereka mengatakan dapat dilihat karena
haditsnya banyak, tidak dapat dimungkiri. Di sisi lain, mereka mengatakan tidak dari arah
tertentu karena mereka tidak meyakini ketinggian Allah l di atas makhluk-Nya. Padahal,
dalil bahwa Allah l di atas makhluk-Nya jauh lebih banyak daripada dalil bahwa Allah l
dilihat dalam surga, tetapi mengapa yang ini justru diingkari? Alhasil, paduan dari dua
keyakinan tadi, Allah nanti dilihat, tetapi tidak pada arah tertentu.
Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah (aswaja) meyakini bahwa Allah l di atas makhluk-Nya
sehingga Allah l akan dilihat oleh hamba-Nya di atas mereka seperti hamba melihat bulan,
sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits yang mutawatir.
Adapun ucapan kedua, tampaknya sengaja dia potong untuk membuat bingung pembacanya.
Padahal ucapan selengkapnya tidak demikian. Sebelum saya nukil, sedikit akan saya
terangkan duduk masalahnya.
Tentang masalah jihah yang artinya arah atau sisi, apakah boleh dikatakan Allah pada jihah
tertentu? Sebagian kelompok menolak untuk mengatakan bahwa Allah l berada pada jihah
tertentu. Tetapi, di balik penolakan itu mereka ingin mengingkari ketinggian Allah l di atas
makhluk-Nya. Sebagian lagi mengatakan bahwa Allah pada jihah, apabila yang mengatakan
demikian adalah ulama salaf, yang mereka maksud adalah jihah fauqiyah, yakni Allah l di
atas makhluk-Nya.
Yang paling tepat adalah mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mengatakan, Allah di atas
makhluk-Nya sebagaimana tersebut dalam ayat dan hadits. Adapun kata jihah, karena lafadz
ini tidak terdapat dalam al-Quran dan hadits terkait dengan sifat Allah l, kita menjauhinya.
Karena semua ini, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, Ringkas kata dalam hal jihah, apabila
yang dimaksud adalah sesuatu yang ada selain Allah l maka itu makhluk, padahal Allah l
adalah di atas makhluk-Nya, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang meliputi-Nya dan
membatasi-Nya, karena Dia terpisah dari makhluk sebagaimana akan disebutkan
keterangannya dari sejumlah imam. Akan tetapi, apabila yang dimaksud dengan jihah itu
adalah sesuatu yang tidak ada dan itu di atas alam ini, maka tidak ada di atas alam ini selain
Allah l.
Dari kutipan di atas, jelas bahwa beliau sedang mendudukkan sikap yang benar terhadap
jihah.
Kembali menanggapi Abu Salafy, dari keterangan di atas, rasanya tidak tepat apabila
penjelasan al-Albani diadu dengan ucapan ath-Thahawi karena beliau tidak sedang
menetapkan jihah secara mutlak. Bagaimana bisa kemudian diadukan dengan pernyataan ath-
Thahawi yang tidak menetapkan jihah? Paham, Abu Salafy?
Asy-Syaikh al-Albani meyakini ketinggian Allah l, Allah l di atas hamba-Nya. Ini pun
diyakini oleh ath-Thahawi, seperti dalam ucapannya, Muhiithun bi kulli syaiin wa fauqahu
(Mencakup segala sesuatu dan berada di atasnya).
Adapun ucapan beliau tidak diliputi oleh enam arah, maksud beliau adalah Allah l tidak
diliputi oleh makhluk-makhluk-Nya. Beliau tidak meniadakan ketinggian Allah l di atas
makhluk-Nya. Dengan demikian, tidak ada kontradiksi antara ucapan al-Albani dengan ath-
Thahawi. Hanya saja penggunaan ath-Thahawi terhadap kata-kata tersebut yang tidak ada
dalam ayat dan hadits lebih baik dihindari.
Hal ini karena bisa saja orang lain akan mengklaim beliau sebagai orang yang kontradiktif: di
satu sisi mengatakan Allah l di atas segala sesuatu, di sisi lain mengatakan tidak diliputi oleh
enam arah. Padahal maksud beliau dari kata yang terakhir seperti yang telah dijelaskan,
bukan menafikan ketinggian Allah l di atas makhluk-Nya. Maka dari itu, semestinya ath-
Thahawi mencukupkan dengan lafadz-lafadz yang terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah.
Abu Salafy berkata, Dengan omongannya itu Syeikh Albani telah menuduh para ulama
Islam tidak berakal. Dan pada waktu yang sama ia telah membuktikan bahwa ia telah
menyimpang dari akidah Islam yang diyakini para imam Ahlusunnah.
Alhamdulillah, al-Albani tidak menuduh para ulama tidak berakal. Beliau hanya meminta
mereka yang mengingkari ketinggian Allah lbukan para ulama sunnahuntuk mengecek
akal mereka. Beliau tidak menyimpang dari akidah para imam Ahlus Sunnah, bahkan sejalan
dengan mereka. Justru Anda, wahai Abu Salafy, yang menyimpang dari para imam Ahlus
Sunnah.
Nah, sebagai bukti saya akan bertanya. Apakah Abu Salafy mengimani akan ketinggian Allah
l atau tidak?
Abu Salafy mengatakan, Maksudnya Mahasuci Allah dari berada di sisi tertentu.
Menurut Anda, apakah Allah l tidak di atas makhluk-Nya?
Saya tunggu jawabannya.
(disusun dari berbagai sumber, di antaranya Muhadditsul Ashr al-Albani, kaset-kaset
rekaman ceramah beliau, Majalah al-Ashalah, dan buku-buku beliau yang lain)
Ahlussunnah Bukan Sekuler ? (Syubhat Khawarij Ke-4)

Penulis Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed

Di antara tuduhan-tuduhan keji khawarij gaya baru (KGB) terhadap ahlus sunnah dan
salafiyyun adalah ucapan mereka: Ahlus sunnah sekuler yakni memisahkan agama dari
negara dan Ahlus sunnah adalah murjiah terhadap penguasa.

Sebelum kita membantah tuduhan khawarij ini, perlu kita dudukkan makna sekulerisme dan
apa yang dimaksud oleh KGB bahwa ahlus sunnah memisahkan agama dari negara.

Pemikiran sekulerisme didasari oleh paham Yunani yang mengatakan apa yang untuk
tuhan berikan untuk tuhan, dan apa yang untuk kaisar berikan untuk kaisar. Jadi
bagi kaum sekuler, agama tidak boleh menjadi dasar dari terbentuknya sebuah negara.
Bahkan ia merupakan bagian yang terpisahkan dari Negara.

Kemudian tujuan KGB mengatakan terhadap ahlus sunnah sebagai kaum sekuler, perlu kita
tanyakan kepada mereka: Apa maksudnya? Agar kita bisa membantah dengan tepat sesuai
dengan apa yang mereka maksudkan. Karena ada dua kemungkinan makna dari tuduhan
mereka:

Pertama: Jika mereka memaksudkan ahlus sunnah tidak pernah ikut campur dengan urusan
tata negara, penempatan tentara, pembangunan-pembangunan atau karena tidak mau ikut-
ikutan dalam hura-hura bidah demokrasi dan lain-lain; maka kita katakan: Ya. Ahlus
sunnah wal jamaah tidak akan masuk dalam kebidahan mereka dan tidak ikut
campur terhadap haknya penguasa, karena itu termasuk munazaah, yaitu merebut dan
mencampuri urusan penguasa yang dilarang oleh Rasulullah Shallallaahu alahi
wasallam berdasarkan hadits yang shahih:

(




) ( .
: .

Rasulullah Shallallaahu alahi wasallam memanggil kami kemudian membaiat kami dan
diantara baiatnya adalah agar kami bersumpah setia untuk dengar dan taat ketika kami
semangat ataupun tidak suka, ketika dalam kemudahan ataupun dalam kesusahan,
ataupun ketika kami diperbuat secara tidak adil,dan hendaklah kami tidak merebut
urusan dari orang yang berhak beliau berkatakecuali jika kalian melihat kekufuran yang
nyata, yang kalian memiliki bukti di sisi Allah (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits ini Rasulullah Shallallaahu alahi wasallam melarang kita untuk mencampuri
urusan dari orang-orang yang berhak, yaitu para penguasa kecuali jika tampak pada
mereka kekufuran yang nyata.

Kedua: Namun jika mereka memaksudkan dengan kalimat tersebut bahwa ahlus sunnah tidak
membicarakan tentang hukum-hukum dan tata cara yang syari yang berkaitan dengan
kekuasaan dan tata negara, atau ahlus sunnah tidak menasehati dan beramar maruf nahi
mungkar kepada penguasa dan pemerintah, maka ini adalah kedustaan yang nyata.

Para ulama ahlus sunnah sejak dahulu sampai hari ini dan para pengikut mereka dari para
pencari ilmu salafiyyun selalu membahas ilmu-ilmu yang berkaitan dengan jamaah
(negara Islam), imamah (Kepemimpinan) dan baiat (sumpah setia kepada penguasa). Kitab-
kitab yang ditulis oleh mereka tentang masalah politik dan tata negara sangat banyak.
Seperti Al-Ahkamus Sulthaniyyah (hukum-hukum penguasa) karya al-Mawardi dan
Abu Yala, Asy-Siyasah Syariyyah (Politik Syariat) oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dan As-Sadi, hakekatus Syura fil Islam (Hakekat musyawarah dalam Islam)
dan Lil Jaziiratil Arabiyyah Khususiyyah Falaa Tanbutu Demokratiah (Jazirah Arab
memiliki keistimewaan yang khusus, tidak akan tumbuh demokratisme padanya) oleh
Syaikh muhammad Aman Al-Jamii dan lain-lain.

Dan masih banyak lagi para ulama yang menulis perkara-perkara yang berkaitan dengan
politik, tata negara, kekuasaan dan sekitarnya, bahkan hampir setiap kitab yang menulis
tentang manhaj salaf ahlus sunnah wal jamaah selalu menulis satu bab yang khusus untuk
menerangkan sikap rakyat yang syari terhadap para penguasa dan tata cara menasehati
penguasa.

Dengan ini jelaslah kebatilan tuduhan khawarij terhadap ahlus sunnah dengan sekulerisme.

Adapun tuduhan mereka bahwa ahlus sunnah murjiah terhadap penguasaadalah karena
tidak mau mengikuti mereka untuk mengkafirkan para penguasa, menghalalkan darah
mereka kemudian memerangi mereka. Ini merupakan kebodohan mereka yang berikutnya.
Mereka menuduh ahlus sunnah sebagai murjiah dalam keadaan tidak mengerti bagaimana
pendapat murjiah.

Sesungguhnya murjiah adalah aliran sesat yang menyatakan bahwa amalan dosa sebesar
apapun tidak akan mempengaruhi keimanan. Keimanan tidak bertambah dan tidak
berkurang. Sehingga para ulama menganggap mereka sebagai aliran sesat yang
menyamakan imannya munafik dengan imannya Abu Bakar dan Umar radhiallahu
anhu, bahkan sama dengan imannya malaikat Jibril dan Mikail.

Berkata Syariik rahimahullah :sejelek-jelek kaum adalah Rafidhah tetapi murjiah berdusta
atas nama Allah.(As-Sunnah oleh Imam Al-Khallal 4/41, lihat Irsyadul Bariyyah hal.125).

Berkata Mansyur Ibnul Mutamar :musuh-musuh Allah adalah murjiah dan


rafidhah.(Ushulul Itiqad ahlus sunnah oleh Al-Lalikai juz 5 hal. 992).

Berkata Abdullah bin Thahir :demi Allah aku tidak berani mengatakan bahwa imanku
seperti Yahya bin Yahya atau Imam Ahmad tetapi mereka mengatakan imannya seperti
imannya malaikat Jibril dan Mikail.(Aqidatus Salaf wa Ashabul Hadits hal. 84).

Adapun ahlus sunnah menyatakan bahwa mereka-mereka yang berdosa, bermaksiat,


berbuat dzalim adalah orang-orang fasik atau mukmin yang lemah imannya. Mereka
tidak keluar dari islam selama tidak ada amalan-amalan kufur yaitu kesyirikan yang
besar atau penentangan kepada allah subhanahu wataala dan rasulnya (kufrul
juhud).(lihat edisi.) Mereka tidak kafir seperti anggapan khawarij, tidak pula
mukmin yang sempurna imannya seperti anggapan murjiah. Disinilah letak
keistimewaan ahlus sunnah wal jamaah, mereka berada di tengah-tengah antara dua titik
ekstrim, Murjiah dan Khawarij.







Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu
(sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan
siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi
orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan
imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Al-
Baqarah : 143)

Tuduhan KGB ini persis seperti tuduhan para pendahulunya dari kalangan khawarij.
Sebagaimana diucapkan oleh para ulama.

Khawarij menuduh ahlus sunnah sebagai murjiah, sebaliknya murjiah menuduh ahlus
sunnah sebagai khawarij. Rafidlah yang ghuluw kepada Ali menuduh ahlus sunnah adalah
musuh ahlul bait, qadariyah (para penolak takdir) menuduh ahlus sunnah dengan jabriyah
(menolak adanya ikhtiar) dan sebaliknya jabriyah menuduh ahlus sunnah sebagai qadariyah.
Begitulah seterusnya, sejak dulu ahlul bidah selalu menuduh ahlus sunnahd engan tuduhan-
tuduhan keji karena tidak mau mengikuti kebidahan-kebidahan dan kesesatan-kesesatan
mereka.

Anda mungkin juga menyukai