Anda di halaman 1dari 31

ANALISIS JURNAL DETEKSI DINI FAT EMBOLISM

SYNDROM (FES) DAN PENATALAKSANAAN FES DIRUANG


POLI ORTHOPEDI. dr. SOEBANDI JEMBER

SEMINAR KASUS

oleh
Kelompok 7

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
ANALISIS JURNAL DETEKSI DINI FAT EMBOLISM
SYNDROM (FES) DAN PENATALAKSANAAN FES DIRUANG
POLI ORTHOPEDI. dr. SOEBANDI JEMBER

SEMINAR KASUS
disusun guna memenuhi tugas Program Profesi Ners (P2N)
Stase Keperawatan Bedah

Oleh:
Agil Bagus T. S.Kep. NIM 102311101094
Jamilatul Komari, S.Kep NIM 132311101004
Tri Astutik, S.Kep. NIM 132311101017
Tri Buana Ratnasari, S.Kep. NIM 132311101053

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
PENDAHULUAN

I.1 LatarBelakang
Sindrom emboli lemak (Fat EmbolismSyndrome) adalah manifestasi klinis
yang serius ditandai oleh tiga gejala gangguan pernapasan, penurunan tingkat
kesadaran dan petechiae. Istilah fat emboli menunjukkan adanya gelembung-
gelembung lemak dalam sirkulasi perifer setelah trauma utama yang terkait
dengan fraktur tulang panjang, pelvis dan dalam pengaturan prosedur ortopedi
elektif atau darurat.(S. Jain, et al, 2008)
Sindrom emboli lemak terjadi ketika makroglobulin emboli lemak masuk
ke dalam pembuluh darah kecil paru-paru dan organ lainnya, sehingga
menghasilkan kerusakan endotel dan mengakibatkan kegagalan pernapasan,
disfungsi otak, dan ruam ptekie. Penyebab tersering terjadinya sindrom emboli
lemak yaitu fraktur tertutup dari tulang panjang (Shaikh, 2009).
Fakto risiko yang dapat menyebabkan sindrom emboli lemak yaitu usia
muda, fraktur tertutup, fraktur multiple,terapi konservatif untuk fraktur tulang
panjang (Shaikh, 2009). Sindrom emboli lemak sering terjadi pada pria dari pada
wanita. Pada anak- anak usia 0 sampai 9 tahun jarang terjadi. Rentang usia yang
paling sering terkena asindrom emboli lemak yaitu usia 10 sampai 39 tahun
(Stein, 2008).
Berdasarkan latar belakang diatas penulis melakukan analisis jurnal
sebagai referensi terkait deteksi dini pada pasien dengan faktor resiko sindrom
emboli lemak.

1.2 Tujuan
a Mengetahui definisi serta etiologi dari sindrom emboli lemak;
b Mengenali pasien dengan faktor resiko sindrom emboli lemak;
c Mengetahui penatalaksanaan pada pasien dengan sindrom emboli lemak.
1.3 Manfaat
a Konsep dasar keilmuan dapat diaplikasikan sebagai deteksi dini pada
pasien dengan faktor resiko sindrom emboli lemak;
b Meningkatkan kualitas hidup pada pasien dengan faktor resiko sindrom
emboli lemak.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
.

A. Fat Embolism Syndrome (FES)


1. Pengertian
Sindrom emboli lemak adalah sebuah proses dimana jaringan
lemak masuk ke dalam aliran darah, yang ditandai dengan gejala klinis
berupa sesak napas, demam, ruam ptekie, gangguan neurologis, gangguan
pada ginjal (Kirkland, 2009).
Sindrom emboli lemak terjadi ketika makroglobulin emboli lemak
masuk ke dalam pembuluh darah kecil paru-paru dan organ lainnya,
sehingga menghasilkan kerusakan endotel dan mengakibatkan kegagalan
pernapasan, disfungsi otak, dan ruam ptekie. Penyebab tersering
terjadinya sindrom emboli lemak yaitu fraktur tertutup dari tulang
panjang (Shaikh, 2009).
Gambar 3. Histologi Emboli Lemak
Gambar 4. Fat Embolism Syndrome (FES)

2. Epidemiologi
Fat Embolism Syndrome (FES) paling sering dikaitkan dengan
tulang panjang dan fraktur panggul, dan lebih sering pada tertutup,
daripada fraktur terbuka. Pasien dengan fraktur tulang panjang tunggal
memiliki kesempatan 1 sampai 3 persen terkena sindrom ini, hal ini
meningkatkan dalam korelasi dengan jumlah patah tulang. FES telah
dicatat dalam hingga 33 persen pasien dengan patah tulang femur bilateral.
(S. Jain, et al, 2008).
Insiden juga lebih tinggi pada pria muda karena mereka lebih
rentan terhadap kecepatan tinggi kecelakaan lalu lintas jalan. Sindrom ini
terjadi terutama pada orang dewasa dan jarang pada anak-anak, seperti
pada anak-anak, sumsum tulang mengandung lebih banyak jaringan
hematopoietik dan kurang lemak. (S. Jain, et al, 2008).

3. Etiologi
Sindrom emboli lemak paling sering terjadi pada fraktur tertutup
dari tulang panjang. Tetapi ada banyak penyebab lain, yaitu:
a. Fraktur tertutup menyebabkan lebih banyak emboli dibandinngkan
dengan fraktur terbuka. Tulang panjang, pelvis dan tulang rusuk
lebih menyebabkan emboli dibandingkan sternum dan klavikula.
Fraktur multiple menyebabkan lebih banyak terjadinya emboli.
b. Prosedur ortopedi (Kirkland, 2009).
c. Cedera jaringan lunak yang besar.
d. Luka bakar yang parah.
e. Biopsi sumsum tulang.
f. Sedot lemak (Taviloglu dan Yanar, 2007).
g. Terapi kortikosteroid berkepanjangan.
h. Pankreatitis akut.
i. Osteomyelitis.
j. Kondisi menyebabkan infark tulang, terutama penyakit sel sabit.

4. Faktor Risiko
a. Pria dengan usia 20-30 tahun
b. Fraktur tertutup
c. Fraktur multiple
d. Terapi konservatif untuk tulang panjang

5. Patofisiologi
Terdapat dua teori yang dipercaya saat ini mengenai patofisiologi fat
embolism syndrome yaitu (Smeltzer dan Bare, 2001):
a. Teori Mekanik
Adanya trauma berat mengakibatkan kerusakan yang luas pada
jaringan lemak dan vaskuler. Kenaikan tekanan pada area trauma
(>200 mmHg) yaitu tekanan pada sumsum tulang memaksa lemak
yang terlepas masuk ke pembuluh darah yang memiliki tekanan lebih
rendah (28-32 mmHg). Droplet lemak yang terlepas masuk ke
peredaran darah vena yang akan mengumpul di capillary bed paru dan
menuju ke shunt arteriovenosa ke otak. Daerah mikrovaskuler yang
dilekati embolus tersebut akan mengakibatkan iskemia lokal dan
inflamasi yang berakibat pada pelepasan mediator inflamasi, agregasi
platelet, dan amin vasoaktif.
b. Teori Biokimia
Perubahan hormonal dan reaksi stres akibat trauma dan/atau sepsis
dapat melepaskan katekolamin yang memicu lemak bebas seperti
khilomikron dan memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran
darah. Reaktan fase akut seperti C-reactive protein mengakibatkan
kilomikron menyatu dan akan menimbulkan reaksi seperti yang
ditemui pada sindroma fat emboli umumnya, seperti petechiae. Teori
ini menerangkan terjadinya fat emboli pada kasus non trauma.
Emboli berasal dari lemak sumsum tulang dan jaringan lemak,
kemudian melalui robekan vena masuk ke sirkulasi dan paru-paru,
bersama gelembung-gelembung lemak melewati kapiler paru masuk ke
sirkulasi sistemik dan menuju ke otak, ginjal, jantung dan kulit.
Menurut penelitian menyatakan bahwa lemak netral merupakan
sumber emboli kecil, yang merupakan penyebab utama gangguan
metabolisme lemak. Pada trauma yang luas terjadi penurunan karbohidrat
dan lemak secara cepat, berupa lipolisis pada jaringan lemak dan sejumlah
besar asam lemak bebas. Akibatnya sejumlah besar asam lemak bebas
ditranspor ke sirkulasi hati dimana terjadi sintesis dan sekresi lipoprotein
dengan densitas rendah.
Lipoprotein hati mengalami agregasi/ konjugasi dengan kalsium
dan kolesterol, menarik trombosit dan menyebabkan perlambatan aliran
darah dan terbentuk emboli. Proses ini menunjukkan asidosis dan respirasi
metabolik. Emboli pada arteri paru tidak hanya menyebabkan obstruksi
aliran darah, tetapi juga merusak dinding pembuluh darah, yang
menyebabkan hemoragik multiple dengan fokus kecil yang menimbulkan
hemoptisis, edema paru dan dispnea. Emboli lemak kemudian masuk ke
sirkulasi sistemik.
Patogenesis sindrom emboli lemak melibatkan obstruksi mekanik
pada pulmo dan vaskular sistemik. Pada obstruksi mekanik pada paru
terjadi diakibatkan oleh peningkatan tekanan intramedular setelah trauma
sehingga sumsum lemak keluar melalui sinusoid menuju pulmo dan
membentuk sumbatan pada kapiler pulmo. Teori biokimia menyatakan
bahwa asam lemak bebas yang ada di sirkulasi akibat fraktur mengandung
toksin dan menyerang pneumosit dan sel endotel pulmo yang
mengakibatkan perdarahan interstisial, edema, dan pneumonitis kimiawi
yang dapat disertai dengan syok, hipovolemi dan sepsis yang
mengakibatkan pengurangan lairan darah ke hepar, hal ini memperburuk
efek toksik asam lemak bebas (Shaikh, 2009).

Gambar 5. Fat Embolism Syndrome (FES)

6. Tanda dan Gejala


Terdapat periode laten `dari 24 sampai 72 jam antara cedera dan
onset gejala. Kemudian akan timbul beberapa kondisi dibawah ini
(Kirkland, 2009):
a. Sistem respirasi
Sesak napas dan nyeri dada. Tergantung pada tingkat keparahan dan
dapat berkembang menjadi kegagalan pernapasan dengan takipnea,
peningkatan sesak napas dan hipoksia.
b. Sistem kardiovaskuler
Takikardi dan nyeri dada. Ditemukan peningkatan kecepatan aliran
darah disebabkan kompensasi tubuh yang kekurangan oksigen
sehingga nadi dan tekanan darah meningkat.
c. Sistem integumen
Ruam ptekie biasanya di bagian anterior lengan, leher, mukosa mulut
dan konjungtiva. Ruam bersifat sementara dan menghilang setelah
24 jam. Demam ( suhu lebih dari 38,3C) dengan denyut nadi
irregular

Gambar 5. Ruam ptekie pada tubuh bagian atas anterior, karakteristik sindrom
emboli lemak.

Gambar 6. Ruam ptekie pada konjungtiva


d. Sistem saraf pusat
Gejala sistem saraf pusat ( mulai dari sakit kepala ringan sampai dengan
disfungsi serebral yang signifikan seperti gelisah, disorientasi, kejang,
pingsan atau koma)
e. Sistem urinaria (perkemihan)
oliguria, hematuria atau anuria

7. Diagnosis
Terdapat kriteria diagnostik untuk sindrom emboli lemak, yaitu:
a. Kriteria diagnosis Gurds dan Wilson membagi menjadi kriteria mayor
dan kriteria minor (Gurd dan Wilson, 1974):
Kriteria mayor:
1) insufisiensi pernapasan
2) gangguan fungsi cerebral
3) ruam ptekie
Kriteria minor:
1) Takikardi
2) Demam (suhu >39C)
3) Kebingungan
4) PO2 <8 kPa
5) Pernapasan > 35x/menit, terlepas dari sedasi
6) Retina : terdapat exudat cotton wall dan perdarahan kecil,
terkadang globul lemak terlihat pada pembuluh darah retina
7) Penyakit kuning
8) Renal: oliguria, hematuria, anuria
9) Trombositopenia
10) Anemia
11) tinggi ESR
12) Makroglobulinemia lemak
13) Infiltrat alveolar difus pada foto thorak
Kriteria diagnosis menurut Schonfold, yaitu (Shaikh, 2009):
b.
Skor
Ptekie 5
Rontgen dada terdapat infiltrate
4
difus di lapang paru
Hipoksemia 3
Demam 1
Takikardi 1
Takipnea 1
Kebingungan 1

Sindrom emboli paru juga dapat di diagnosis berdasarkan kelainan sistem


pernapasan (Shaikh, 2009):
PO2 < 8 kPa
PCO2 > 7.3 kPa
Tingkat respirasi > 35x/menit, terlepas dari sedasi
Peningkatan kerja pernapasan, dyspnea, takikardi, ansietas
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan sitologi urin, darah dan dahak dapat mendeteksi
gelembung-gelembung lemak yang bebas atau yang di dalam
makrofag. Tes ini memiliki sensitivitas rendah dan hasilnya dapat
negative (Shaikh, 2009).
b. Rontgen dada terdapat infiltrat atau konsolidasi pada paru dan adanya
dilatasi sisi kanan jantung (Shaikh, 2009).

Gambar 7. Hasil rontgen dada FES


c. CT scan: temuan mungkin normal atau terdapat difus putih
dikarenakan perdarahan ptekie dengan cedera mikrovaskuler. CT scan
juga akan menunjukkan penyebab lain dari penurunan tingkat
kesadaran (Shaikh, 2009).
Gambar 8. CT scan menunjukkan perubahan hipodens minimal di
wilayah periventricular
d. Analisis gas darah akan menunjukkan hipoksia, PO2 biasanya kurang
dari 8 kPa (60 mmHg) dan hipokapnia (Shaikh, 2009)
e. Trombositopenia, penurunan hematokrit terjadi 24 sampai 48 jam dan
dihubungkan dengan perdarahan intraalveolar. Kadar kalsium
berkurang.
f. Pemeriksaan MRI otak dapat membantu dalam diagnosis serebral
emboli lemak (Buskens et al, 2008).

9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sindrom emboli lemak untuk memastikan oksigenasi
arteri yang baik. Laju aliran tinggi oksigen diberikan untuk
mempertahankan tekanan oksigen arteri dalam batas normal. Pembatasan
asupan cairan dan penggunaan diuretik dapat meminimalkan akumulasi
cairan di paru-paru selama sirkulasi dipertahankan.
Di sisi lain, pemeliharaan volume intravaskular sangat penting karena
syok dapat memperburuk cedera paru yang disebabkan oleh sindrom
emboli lemak. Albumin telah direkomendasikan untuk resusitasi volume di
smping larutan elektrolit, karena tidak hanya mengembalikan volume
darah, tetapi juga mengikat asam lemak dan dapat menurunkan tingkat
cedera paru. Ventilasi mekanis dan tekanan ekspirasi akhir positif (PEEP)
mungkin diperlukan untuk mempertahankan oksigenasi arteri (Jaweed dan
Naseem, 2005).
Terapi medikasi :
Kortikosteroid dosis tinggi efektif dalam mencegah perkembangan
sindrom emboli lemak. Dosis yang lebih rendah mungkin juga efektif.11
Terapi bedah :
Stabilisasi bedah Prompt patah tulang panjang mengurangi risiko
sindrom emboli lemak (Babalis et al, 2004).

10. Pencegahan
Fat embolism syndrome yang berat diduga dapat dihindari dengan
pemberian oksigen dosis tinggi segera setelah trauma dan segera
stabilisasi fraktur tulang panjang. Intramedullary nailing diperkirakan
tidak meningkatkan resiko terjadinya fat embolism syndrome. Fiksasi
fraktur secepatnya juga memungkinkan untuk asuhan keperawatan pasien
dalam posisi duduk, yang akan mengoptimalkan ventilation-perfusion
match paru (Solomon, 2001). Penatalaksanaan sindroma emboli lemak
bersifat suportif saja, meliputi :
a. Cegah dan atasi ARDS, kalau perlu pemasangan Endotracheal Tube
dan alat bantu nafas, monitoring PaO2, PCO2, dan pH darah
b. Balance cairan dan elektrolit
c. Analgetik untuk mengurangi nyeri pasca trauma
d. Kortikosteroid (kontroversi) dengan dosis 10 mg/kgBB diulang tiap 8
jam diberikan selama 24 jam atau 7,5 mg/kgBB diulang tiap 6 jam
diberikan selama 12 jam.

B. Clinical Pathway

Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

Fraktur

Risiko Kompensasi
Diskontinuitas Ruptur pembuluh Suplai oksigen tidak
Penekanan Ketidakefektifan
Suplai oksigen tulang tubuh Penyumbatan
darah ke Ketidakefektifan
adekuat ke seluruh
Pelebaran Suplai darah
Perubahan
Penurunan
syaraf-syaraf Sirkulasi
perfusi darah
ke otakjaringan
tidak Ketidakefektifan
paru Gangguan
mempercepat
Penyumbatan
Kerjaoksigen
Kadar Jaringan aliran darah
lemak masuk Penyumbatan
perfusi
tubuh dan
Intoleransi
Sirkulasi
Pembatasan jaringan
jaringan
darah tidak
pembuluh Penyumbatan jantung
volume
curah tidak
sekuncup
jantung
Nyeri
NyeriKepala
Akut
sekitar otak adekuat
Otak tidak
otak lancar pola Paru-paru
napas
Fat
kapiler
pernapasan
terganggu Pertukaran
Embolism
pulmo
menurun Gas
Syndrome
kedalam pembuluh darah Jantung
(FES)
jantung aktivitasaliran
aktivitas darah
perifer
lancar
darahpembuluh darah otak adekuat
Bab 3. ISI JURNAL
Pada jurnal yang berjudul Fat Embolism Syndrome yang di tulis oleh

Michael E. Kwiatt and Mark J. Seamon pada tahun 2013 membahas mengenai Fat

Embolisme Syndrom (FES). Sindrom emboli lemak adalah sebuah proses dimana

jaringan lemak masuk ke dalam aliran darah terjadi ketika makroglobulin emboli

lemak masuk ke dalam pembuluh darah kecil paru-paru dan organ lainnya,

sehingga menghasilkan kerusakan endotel dan mengakibatkan kegagalan

pernapasan, disfungsi otak, dan ruam ptekie.

FES paling sering dikaitkan dengan trauma orthopedi misalnya yaitu fraktur

tertutup dari tulang panjang. Penjelasan tersebut juga sama dengan jurnal

pendukung yang berjudul Emergency Management of Fat Embolism Syndrome

yaitu penyebab FES pada umumnya berkaitan dengan fraktur traumatik pada

tulang panjang misalnya femur, panggul, dan tibia dan pasca operasi dan bisa

terjadi pada trauma luka jaringan lunak yang masif, luka bakar parah,biopsi

sumsum tulang belakang, resusitasi kardiopulmoner. Pada jurnal pendukung

dijelaskan faktor risiko terjadinya FES adalah terjadi pada usia muda, patah tulang

tertutup, beberapa patah tulang.


Terjadinya FES ditandai adanya takipnea, takikardi, dan demam Pasien akan

mengalami ruam petekia gejala khusu pada FES tegantung pada sistem organ

yang terlibat. Sekitar 75% pasien akan mengalami depresi pernafasan sehingga

dapat menyebabkan hipoksia yang membutuhkan oksigen tambahan sampai

ARDS yang membutuhkan ventilasi mekanik yang berkepanjangan. Fes dapat

menyebabkan gejala neurologis non spesifik yakni seperti timbul edema serebral

gejalanya bersifat non lateralizing yang dapat mengakibatkan pasien terlihat lesu

atau gelisah dan terdapat perubahan pada skla koma Glasgow (GCS) sehingga

pasien menjadi tidak responsif. Pada jurnal pendukung juga dijelaskan tanda lain

dari FES yaitu perubahan ginjal seperti lipuria, oliguria atau anuria dan kerusakan

hati yang menunjukkan edema, pendarahan, atau globular lemak intravaskuler.


Pengobatan farmakologis pada FES yaitu pemberian terapi corticosteroid yang

berfungsi untuk membatasi asam lemak bebas, menstabilkan membran, dan

menghambat agregasi leukosit yang dimediasi yang di ujicoba pada fraktur tulang

panjang sebesar 77% menunjukkan bahwa kortikosteroid mengurangi risiko FES.

Pada pasien dengan fraktur tulang methylprednisolone merupakan steroid dan

dosis yang paling umum digunakan berkisar antara 6 sampai 90 mg/kg. Pada

pengobatan suportif pada pasien FES perawatan yang dibutuhkan yaitu

pemberian oksigen tambahan untuk memperbaiki oksigenasi pada penderita FES.

Dan juga pasien mungkin memerlukan ventilasi mekanik saat pulih dari cedera

paru-paru dan juga pasien memerlukan cairan intravena untuk resusitasi. Hal

tersebut sependapat dengan jurnal pendukung bahawa pngobatan FES memastikan

oksigenasi arteri yang baik karena untuk mempertahankan tegangan oksigen arteri

pada kisaran normal dan juga pemeliharan cairan intravaskuler itu penting karena

syok bisa memperparah luka paru yang disebabkan oleh FES. Albumin telah

direkomendasikan untuk resusitasi volume karena fungsi dari albumin itu tidak

hanya untuk mengembalikan volume darah tetapi juga mengikat asam lemak dan

dapat menurunkan tingkat cedera paru-paru. Pemantauan oksimetri pada pasien

yang berisiko tinggi dapat mengurangi adanya hipoksia dan komplikasi sistemik

FES.
Penggunaan fiksasi internal untuk pengobatan fraktur tulang panjang

dianjurkan karena untuk mengurangi kejadian FES. Beberapa penelitian juga

menunjukkan penurunan kejadian FES dengan menggunakan fiksasi internal

fiksasi ini harus dilakukan selama fiksasi operasi untuk membatasi tekanan

intramedulla karena akan meningkatkan jumlah emboli lemak yang memasuki

sirkulasi. Pada jurnal pendukung juga menjelasakna untuk mendeteksi adanya

FES melakukan pemeriksaan MRI yang akan memungkinkan diagnosis FES dini

dan akurat.
BAB 4. PEMBAHASAN

4.1 Analisis Isi Jurnal


Sindrom emboli lemak adalah sebuah proses dimana jaringan lemak
masuk ke dalam aliran darah. Sindrom emboli lemak terjadi ketika makroglobulin
emboli lemak masuk ke dalam pembuluh darah kecil paru-paru dan organ lainnya,
sehingga menghasilkan kerusakan endotel dan mengakibatkan kegagalan
pernapasan, disfungsi otak, dan ruam ptekie. Penyebab tersering terjadinya
sindrom emboli lemak yaitu fraktur tertutup dari tulang panjang (Shaikh, 2009).
Sindrom emboli lemak adalah penyebab paling tidak umum, tetapi
merupakan penyebab dipsnea yang paling terlewatkan mempengaruhi beragam
organ dan sistem organ, emboli lemak merupakan gambaran yang selalu terlihat
dan menjadi hal yang kontroversi dalam penemuan otopsi. Sindroma emboli
lemak (FES) adalah manifestasi klinis emboli lemak. Ini terkait dengan perubahan
kompleks hemostasis, biasanya dipresentasikan sebagai tiga hal yaitu insufisiensi
pernafasan, sensorium yang berubah, dan petechiae.
FES diperkirakan terjadi pada 3-4% pasien dengan fraktur tulang panjang.
Kejadian pasti FES tidak diketahui. Emboli lemak dan bentuk FES yang lebih
ringan mungkin tidak terdeteksi secara klinis, dan dalam situasi klinis yang jelas,
diagnosisnya diabaikan. Hal ini disorot oleh fakta kejadian embolisme lemak yang
terdeteksi secara klinis hanya <1% di mana karena insiden meningkat hingga 20%
dengan bantuan pasca pemeriksaan mortem.
Sindrom emboli lemak dapat hadir dalam berbagai macam keparahan dan
gejala. Biasanya terlihat selama 12-72 jam, triad klasik terdiri dari distres
pernapasan, tanda serebral dan petachiae. Sindrom emboli lemak bisa terjadi tidak
diketahui secara klinis atau mungkin hadir secara akut dalam beberapa jam setelah
cedera. Kejadian kematian akibat FES bervariasi mungkin karena under diagnosis
nya. FES dapat menyebabkan kematian karena gagal jantung kanan, sementara
sebagian besar kematian biasanya karena kegagalan pernafasan. Meskipun untuk
cacat neurologis prognosisnya itu baik, kematian juga telah dilaporkan kejadian
sindrom koroner akut, mungkin karena beredarnya lemak juga telah dilaporkan.
Secara keseluruhan, angka kematian diperkirakan menjadi 5-15%.
Tidak ada metode diagnostik khusus untuk FES. Tingkat tinggi
kecurigaan, dikombinasikan dengan pemantauan terus menerus dari vital
termasuk oksimetri, nadi dan penyelidikan laboratorium yang mendukung
seperti penurunan jumlah platelet dan hematokrit yang tidak dapat dijelaskan,
MRI otak dan lain-lain akan memungkinkan diagnosis dini FES. Inisiasi
manajemen tepat waktu akan membantu mengurangi morbiditas dan mortalitas di
antara pasien yang mengalami fraktur tulang panjang. Sebagai tenaga kesehatan
kita harus mengetahui deteksi dini, manajemen dan upaya preventif dari FES.
Kita sebagai tenga kesehatan harus mengetahui kejadian FES lebih tinggi di antara
pasien trauma dan dengan patah tulang panjang. Usia muda, fraktur tertutup,
beberapa patah tulang, dan terapi konservatif untuk fraktur tulang panjang
memiliki hubungan yang lebih tinggi dengan FES. Sebuah studi tentang profil
metabolik dari pasien yang menderita FES, menemukan pasien FES memiliki
status glikemik meningkat, rasio alfa yang lebih rendah dan beta lipoprotein,
kapiler abnormal uji kerapuhan, jumlah platelet yang lebih tinggi, dan tingkat
kortisol rendah. Tidak ada pengobatan khusus untuk FES. Jalur utamanya
Penanganan suportif.
Pencegahan FES dan diagnosis yang lebih awal dengan penanganan
komplikasi yang cepat adalah landasan dalam mengelola kondisi FES.Tindakan
pencegahan sindrom emboli lemak dikaitkan dengan banyaknya
patah tulang panjang dan fraktur yang tidak stabil. Oleh karena itu, fiksasi dini
patah tulang panjang dalam 24 jam adalah langkah kunci. Fiksasi perlu segera
dilakukan karena pada penelitian retropestive yang dilakukan pinney ditemukan
bahwa terdapat insiden yang tinggi FES pada pasien yang mengalami
keterlambatan fiksasi setelah 10 jam jam khususnya pada pasien yang mengalami
fraktur tertutup. Penatalaksanaan fiksasi pada fraktur bermacam-macam dan
tergantung jenis dari fraktur tersebut. Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan
fiksasi luar dilakukan untuk fiksasi fragmen patahan tulang, dimana digunakan
pin baja yang ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja tadi disatukan
secara kokoh dengan batangan logam di kulit luar. Beberapa indikasi pemasangan
fiksasi luar antara lain fraktur dengan rusaknya jaringan lunak yang berat
(termasuk fraktur terbuka), dimana pemasangan internal fiksasi terlalu berisiko
untuk terjadi infeksi, atau diperlukannya akses berulang terhadap luka fraktur di
sekitar sendi yang cocok untuk internal fiksasi namun jaringan lunak terlalu
bengkak untuk operasi yang aman, dengan cedera multiple yang berat, fraktur
tulang panggul dengan perdarahan hebat, atau yang terkait dengan cedera kepala
fraktur dengan infeksi.
Pemasangan fiksasi interna dilakukan, misalnya pada fraktur femur, tibia,
humerus, atau lengan bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di
dalam sumsum tulang panjang, bisa juga plat dengan skrup di permukaan tulang.
Keuntungan reposisi secara operatif adalah dapat dicapai reposisi sempurna, dan
bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak diperlukan
pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan imobilisasi. Indikasi pemasangan
fiksasi interna adalah fraktur tidak bisa di reduksi kecuali dengan operasi, fraktur
yang tidak stabil dan cenderung terjadi displacement kembali setelah reduksi
fraktur dengan penyatuan yang buruk dan perlahan (fraktur femoral neck), fraktur
patologis, fraktur multiple dimana dengan reduksi dini bisa meminimkan
komplikasi, fraktur pada pasien dengan perawatan yang sulit paraplegia, pasien
geriatric ( Maharta,et.al, 2013).
Berbagai teknik bedah disarankan untuk mengurangi embolisasi
intraoperatif dari gumpalan lemak. Kortikosteroid profilaksis telah dianjurkan
oleh banyak peneliti, meski tidak ada konsensus tentang dosisnya. Pemantauan
yang cermat dari tanda-tanda vital dan suhu juga wajib diobservasi. Inisiasi awal
oksigen (dan steroid) pada pasien dengan masalah saturasi bisa membantu
mengurangi hipoksia dan sesak nafas. Memonitor oksimetri dapat membantu
pasien mendeteksi lebih dini desaturasi. Pemberian terapi oksigen adalah cara
untu menurunkan resiko hipoksia dan timbulnya komplikasi sistemik dari FES.
Memantau volume intravascular juga sangat penting karena syok dapat
memperburuk cedera pada paru-paru akibat FES. Albumin menjadi solusi
rekomendasi untuk resusitasi dalam keseimbangan elektrolit.
4.2 Analisis Jurnal dengan Metode PICO
Problem
Sindrom emboli lemak mempengaruhi beragam organ dan sistem organ.
FES diperkirakan terjadi pada 3-4% pasien dengan fraktur tulang panjang.
Kejadian pasti FES tidak diketahui. Emboli lemak dan bentuk FES yang lebih
ringan mungkin tidak terdeteksi secara klinis, dan dalam situasi klinis yang jelas,
diagnosisnya diabaikan. Hal ini disorot oleh fakta kejadian embolisme lemak yang
terdeteksi secara klinis hanya <1% di mana karena insiden meningkat hingga 20%
dengan bantuan pasca pemeriksaan mortem.FES dapat menyebabkan kematian
karena gagal jantung, sementara sebagian besar kematian biasanya karena
kegagalan pernafasan. Meskipun untuk cacat neurologis prognosisnya itu baik,
kematian juga telah dilaporkan kejadian sindrom koroner akut, mungkin karena
beredarnya lemak juga telah dilaporkan. Secara keseluruhan, angka kematian
diperkirakan menjadi 5-15%.
Dalam jurnal ini penulis ingin memberikan gambaran umum bahwa
penetuan diagnosa FES biasanya sering dikesampingkan padahal sebenarnya
insiden FES sering terjadi pada klien dengan fraktur tulang panjang yang akhirnya
langsung berakibat fatal bagi nyawa. Peneliti menjabarkan dari penelitian-
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terkait FES. Peneliti menyampaikan
yaitu ada beberapa kriteria diagnostik yang sangat membantu dalam membuat
diagnosis sindrom emboli lemak. Selain itu penatalaksanaan terutama pencegahan
sindrom emboli lemak, dan perawatan suportif dapat dilakukan, sehingga klien
memiliki prognosis yang biasanya baik.

Intervention
Dalam jurnal ini dituliskan bahwa kita sebagai tenga kesehatan harus
mengetahui kejadian FES lebih tinggi di antara pasien trauma dan dengan patah
tulang panjang. Usia muda, fraktur tertutup, beberapa patah tulang, dan terapi
konservatif untuk fraktur tulang panjang memiliki hubungan yang lebih tinggi
dengan FES.Sebuah studi tentang profil metabolik dari pasien yang menderita
FES, menemukan pasien FES memiliki status glikemik meningkat, rasio alfa yang
lebih rendah dan beta lipoprotein, kapiler abnormal uji kerapuhan, jumlah platelet
yang lebih tinggi, dan tingkat kortisol rendah.
Tidak ada pengobatan khusus untuk FES. Jalur utamanya
Penanganan suportif. Pencegahan FES dan diagnosis yang lebih awal dengan
penanganan komplikasi yang cepat adalah landasan dalam mengelola kondisi
FES.Tindakan pencegahan sindrom emboli lemak dikaitkan dengan banyaknya
patah tulang panjang dan fraktur yang tidak stabil. Oleh karena itu, fiksasi dini
patah tulang panjang dalam 24 jam adalah langkah kunci. Berbagai teknik bedah
disarankan untuk mengurangi embolisasi intraoperatif dari gumpalan lemak.
Kortikosteroid profilaksis telah dianjurkan oleh banyak peneliti, meski tidak ada
konsensus tentang dosisnya. Pemantauan yang cermat dari tanda-tanda vital dan
suhu juga wajib diobservasi. Inisiasi awal oksigen (dan steroid) pada pasien
dengan masalah saturasi bisa membantu mengurangi hipoksia dan sesak nafas.
Memonitor oksimetri dapat membantu pasien mendeteksi lebih dini desaturasi.
Pemberian terapi oksigen adalah cara untu menurunkan resiko hipoksia dan
timbulnya komplikasi sistemik dari FES. Memantau volume intravascular juga
sangat penting karena syok dapat memperburuk cedera pada paru-paru akibat
FES. Albumin menjadi solusi rekomendasi untuk resusitasi dalam keseimbangan
elektrolit.

Compare
Dalam jurnal yang berjudul Fat Embolism Syndrome disebutkan bahwa
tidak ada pengobatan khusus untuk FES. Jalur utamanya. Penanganan suportif.
Pencegahan FES dan diagnosis yang lebih awal dengan penanganan komplikasi
yang cepat adalah landasan dalam mengelola kondisi FES.Tindakan pencegahan
sindrom emboli lemak dikaitkan dengan banyaknya patah tulang panjang dan
fraktur yang tidak stabil. Oleh karena itu, fiksasi dini patah tulang panjang dalam
24 jam adalah langkah kunci. Berbagai teknik bedah disarankan untuk
mengurangi embolisasi intraoperatif dari gumpalan lemak. Kortikosteroid
profilaksis telah dianjurkan oleh banyak peneliti, meski tidak ada konsensus
tentang dosisnya. Pemantauan yang cermat dari tanda-tanda vital dan suhu juga
wajib diobservasi. Inisiasi awal oksigen (dan steroid) pada pasien dengan masalah
saturasi bisa membantu mengurangi hipoksia dan sesak nafas. Memonitor
oksimetri dapat membantu pasien mendeteksi lebih dini desaturasi. Pemberian
terapi oksigen adalah cara untuk menurunkan resiko hipoksia dan timbulnya
komplikasi sistemik dari FES. Memantau volume intravascular juga sangat
penting karena syok dapat memperburuk cedera pada paru-paru akibat FES.
Albumin menjadi solusi rekomendasi untuk resusitasi dalam keseimbangan
elektrolit.
Dalam jurnal yang berjudul Inhalational Ciclesonide found beneficial in
prevention of fat embolism syndrome and improvement of hypoxiamengatakan
bahwa CIC inhalasi adalah terapi yang aman dan efektif untuk pencegahan FES
dan juga obat yang efektif untuk pengobatan hipoksemia pada korban trauma
ortopedi. Dalam jurnal ini hanya membahas tentang CIC sebagai terapi suportif
FES. Kortikosteroid inhalasi (yaitu, Budesonide, Fluticasone Propionate, CIC)
telah direvolusikan pada pengobatan asma dan sekarang menjadi andalan terapi
bagi pasien dengan penyakit kronis. Telah terbukti bahwa steroid inhalasi
memiliki komplikasi sistemik minimal dengan khasiat yang lebih baik. Telah
terjadi perbaikan yang luar biasa dalam sistem pemberian obat untuk steroid
inhalasi. Terapi aerosol adalah modalitas pemberian obat dimana keuntungan
utamanya adalah untuk respon terapeutik tertentu, dosis obat beberapa kali lipat
lebih rendah, dan penyerapan sistemik dapat diabaikan.
Dalam jurnal tersebut dijelaskan bahwa percobaan kontrol prospektif tidak
acak dirancang di mana semua pasien berusia antara 18 dan 40 tahun dengan
cedera kerangka terisolasi yang dipresentasikan dalam 8 jam cedera dialokasikan
ke kelompok percobaan. Pasien kelompok percobaan menerima 640 mcg CIC
inhalasi dengan penghirup dosis terukur pada saat masuk, dan dalam 24 jam.
Pasien kelompok kontrol tidak menerima terapi profilaksis. Kedua kelompok
dievaluasi untuk pengembangan FES (kriteria Gurd) dan hipoksemia (PaO2 <70
mmHg) selama 72 jam. Komplikasi yang terkait dengan pemberian CIC
dievaluasi pada pasien kelompok percobaan selama tinggal di rumah sakit.
Hasil dalam jurnal dikatakan bahwa dari 35 pasien di masing-masing
kelompok, dua pasien pada kelompok percobaan dan sembilan pasien pada
kelompok kontrol mengembangkan FES (P = 0,022). Delapan pasien pada
kelompok percobaan mengalami hipoksemia pada saat masuk, enam di antaranya
membaik dan satu pasien tambahan mengembangkan hipoksemia setelah
pemberian CIC inhalasi. Pada kelompok kontrol, sepuluh pasien mengalami
hipoksia pada saat masuk, hanya satu di antaranya yang membaik dan sembilan
pasien lainnya memiliki hipoksemia yang persisten bahkan setelah 72 jam. Selain
itu, tiga pasien mengalami hipoksemia. Peningkatan signifikan pada hipoksemia
dan penurunan kejadian FES yang signifikan diamati pada kelompok percobaan (P
<0,05) dibandingkan kelompok kontrol. Tidak ada pasien yang mengalami
komplikasi atau efek samping steroid pada kelompok percobaan.

Outcome
Dalam jurnal tersebut dikatakan tidak ada metode diagnostik khusus untuk
FES. Deteksi dini dikombinasikan dengan pemantauan terus menerus dari tanda-
tanda vitaltermasuk oksimetri dan penyelidikan laboratorium yang mendukung
seperti penurunan jumlah platelet dan hematokrit yang tidak dapat dijelaskan,
MRI otak dan lain-lain akan memungkinkan diagnosis dini FES. Selain itu
inisiasimanajemen tepat waktu penanganan FES oleh tenaga kesehatan akan
membantu mengurangi morbiditas dan mortalitas kejadian FES.

4.3 Implikasi Keperawatan


Jurnal ini dapat diterapkan oleh perawat untuk mengantisipasi adanya FES
pada klien dengan fraktur tulang panjang,fraktur tertutup, beberapa patah tulang,
dan terapi konservatif untuk fraktur tulang panjang. Perawat juga harus
mengatahui tindakan preventif FES seperti memonitor oksimetri, pemberian terapi
oksigen, pemantauan tanda-tanda vital, dan memantau ciran intramuskular untuk
pencegahan syok. Perawat juga harus mengatahui manajemen FES seperti fiksasi
dini, pemberian kortikoteroid dan prosedur bedah walaupun hal tersebut
merupakan tindakan medis. Penerapan jurnal ini diharapkan mampu
meningkatkan kualitas hidup kliendengan fraktur tulang panjang dan menambah
pengetahuan perawat sehingga dapat diterapkan dalam pemberian asuhan
keperawatan kepada klien.

4.4 Kelemahan dan Kelebihan Jurnal


Kelebihan jurnal penelitian ini adalah mereview beberapa penelitian
sebelumnya terkait FES dan penatalaksanaannyasehingga memperkuat isi jurnal
dalam menyampaikan informasi terkait FES dan penatalaksanaan, upaya prefentif
yang bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan dala penanganan FES dan deteksi dini
untuk menentukan diagnosis serta pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
memastikan penentuan diagnosis FES.
Kekurangan jurnal ini adalah kurang adanya komparasi secara medalam
antara beberapa jurnal atau penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
Kekurangan selanjutnya terletak pada metode penelitian. Peneliti kurang
menjelaskan secara detail bagaimana proses penelitian seperti kriteria pemilihan
penelitian sebelumnya yang dimasukan dalam literatur review dalam jurnal
tersebut. Selain itu, tidak ada penjelasan secara terperinci dari jurnal antara
penelitian dengan tinjauan teori yang sudah ada.
BAB 5. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
Sindrom emboli lemak (FES) adalah sebuah proses dimana jaringan lemak

masuk ke dalam aliran darah terjadi ketika makroglobulin emboli lemak masuk ke

dalam pembuluh darah kecil paru-paru dan organ lainnya, sehingga menghasilkan

kerusakan endotel dan mengakibatkan kegagalan pernapasan, disfungsi otak, dan

ruam ptekie. FES pada umumnya berkaitan dengan fraktur traumatik pada tulang

panjang misalnya femur, panggul, dan tibia dan pasca operasi dan bisa terjadi

pada trauma luka jaringan lunak yang masif, luka bakar parah,biopsi sumsum

tulang belakang, resusitasi kardiopulmoner. Faktor risiko terjadinya FES adalah

terjadi pada usia muda, patah tulang tertutup, beberapa patah tulang.

Pengobatan farmakologis pada FES yaitu pemberian terapi corticosteroid yang

berfungsi untuk membatasi asam lemak bebas, menstabilkan membran, dan

menghambat agregasi leukosit yang dimediasi yang di ujicoba pada fraktur tulang

Pada pasien dengan fraktur tulang methylprednisolone merupakan steroid dan

dosis yang paling umum digunakan berkisar antara 6 sampai 90 mg/kg.

Pemberian oksigen tambahan untuk memperbaiki oksigenasi pada penderita FES

dan juga pasien mungkin memerlukan ventilasi mekanik saat pulih dari cedera

paru-paru dan juga pasien memerlukan cairan intravena untuk resusitasi.

Pemantauan oksimetri pada pasien yang berisiko tinggi dapat mengurangi adanya

hipoksia dan komplikasi sistemik FES. Penggunaan fiksasi internal untuk

pengobatan fraktur tulang panjang dianjurkan karena untuk mengurangi kejadian

FES. Beberapa penelitian juga menunjukkan penurunan kejadian FES dengan

menggunakan fiksasi internal untuk membatasi tekanan intramedulla karena akan

meningkatkan jumlah emboli lemak yang memasuki sirkulasi.


5.2 Saran

Dengan adanya literatur pada jurnal diharapkan tenaga kesehatan terutama

pada perawat mengetahui gejala klnis mengenai FES dan selalu memonitor

kondisi klien dengan mengetahui tanda-tanda vital, pemberian oksigenasi,

melakukan fiksasi dan juga kolaborasi dengan tim medis lainnya dalam pemberian

methylprednisolone akan mengurangi risiko kejadian FES.

DAFTAR PUSTAKA
Babalis GA, Yiannakopoulos CK, Karliaftis K, et al. 2004. Prevention of
posttraumatic hypoxaemia in isolated lower limb long bone fractures with a
minimal prophylactic dose of corticosteroids.; Injury. Vol 3: 17-309.

Buskens CJ, Gratama JW, Hogervorst M, et al. 2008. Encephalopathy and MRI
abnormalities in fat embolism syndrome: a case report. Med Sci Monit. Vol
11: 9-125.

Gurd, AR dan Wilson, RI. 1974. The fat embolism syndrome. J Bone Joint Surg
Br. Vol 3:16-408.

Jawed M, Naseem M. An update on fat embolism syndrome. Pak J Med Sci.


2005;21:26.

Kirkland, L. 2009. Fat embolism. Emedicine

Shaikh, Nissar. 2009. Emergency management of fat embolism syndrome. Journal


Emergency Trauma Shock. Vol 2: 29-33.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2700578/ (diakses pada 22
Oktober 2016)

Smeltzer dan Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Taviloglu K, Yanar H. 2007. Fat embolism syndrome. Surg Today.Vol 1:5-8.


Epub.

Anda mungkin juga menyukai