SEMINAR KASUS
oleh
Kelompok 7
SEMINAR KASUS
disusun guna memenuhi tugas Program Profesi Ners (P2N)
Stase Keperawatan Bedah
Oleh:
Agil Bagus T. S.Kep. NIM 102311101094
Jamilatul Komari, S.Kep NIM 132311101004
Tri Astutik, S.Kep. NIM 132311101017
Tri Buana Ratnasari, S.Kep. NIM 132311101053
I.1 LatarBelakang
Sindrom emboli lemak (Fat EmbolismSyndrome) adalah manifestasi klinis
yang serius ditandai oleh tiga gejala gangguan pernapasan, penurunan tingkat
kesadaran dan petechiae. Istilah fat emboli menunjukkan adanya gelembung-
gelembung lemak dalam sirkulasi perifer setelah trauma utama yang terkait
dengan fraktur tulang panjang, pelvis dan dalam pengaturan prosedur ortopedi
elektif atau darurat.(S. Jain, et al, 2008)
Sindrom emboli lemak terjadi ketika makroglobulin emboli lemak masuk
ke dalam pembuluh darah kecil paru-paru dan organ lainnya, sehingga
menghasilkan kerusakan endotel dan mengakibatkan kegagalan pernapasan,
disfungsi otak, dan ruam ptekie. Penyebab tersering terjadinya sindrom emboli
lemak yaitu fraktur tertutup dari tulang panjang (Shaikh, 2009).
Fakto risiko yang dapat menyebabkan sindrom emboli lemak yaitu usia
muda, fraktur tertutup, fraktur multiple,terapi konservatif untuk fraktur tulang
panjang (Shaikh, 2009). Sindrom emboli lemak sering terjadi pada pria dari pada
wanita. Pada anak- anak usia 0 sampai 9 tahun jarang terjadi. Rentang usia yang
paling sering terkena asindrom emboli lemak yaitu usia 10 sampai 39 tahun
(Stein, 2008).
Berdasarkan latar belakang diatas penulis melakukan analisis jurnal
sebagai referensi terkait deteksi dini pada pasien dengan faktor resiko sindrom
emboli lemak.
1.2 Tujuan
a Mengetahui definisi serta etiologi dari sindrom emboli lemak;
b Mengenali pasien dengan faktor resiko sindrom emboli lemak;
c Mengetahui penatalaksanaan pada pasien dengan sindrom emboli lemak.
1.3 Manfaat
a Konsep dasar keilmuan dapat diaplikasikan sebagai deteksi dini pada
pasien dengan faktor resiko sindrom emboli lemak;
b Meningkatkan kualitas hidup pada pasien dengan faktor resiko sindrom
emboli lemak.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
.
2. Epidemiologi
Fat Embolism Syndrome (FES) paling sering dikaitkan dengan
tulang panjang dan fraktur panggul, dan lebih sering pada tertutup,
daripada fraktur terbuka. Pasien dengan fraktur tulang panjang tunggal
memiliki kesempatan 1 sampai 3 persen terkena sindrom ini, hal ini
meningkatkan dalam korelasi dengan jumlah patah tulang. FES telah
dicatat dalam hingga 33 persen pasien dengan patah tulang femur bilateral.
(S. Jain, et al, 2008).
Insiden juga lebih tinggi pada pria muda karena mereka lebih
rentan terhadap kecepatan tinggi kecelakaan lalu lintas jalan. Sindrom ini
terjadi terutama pada orang dewasa dan jarang pada anak-anak, seperti
pada anak-anak, sumsum tulang mengandung lebih banyak jaringan
hematopoietik dan kurang lemak. (S. Jain, et al, 2008).
3. Etiologi
Sindrom emboli lemak paling sering terjadi pada fraktur tertutup
dari tulang panjang. Tetapi ada banyak penyebab lain, yaitu:
a. Fraktur tertutup menyebabkan lebih banyak emboli dibandinngkan
dengan fraktur terbuka. Tulang panjang, pelvis dan tulang rusuk
lebih menyebabkan emboli dibandingkan sternum dan klavikula.
Fraktur multiple menyebabkan lebih banyak terjadinya emboli.
b. Prosedur ortopedi (Kirkland, 2009).
c. Cedera jaringan lunak yang besar.
d. Luka bakar yang parah.
e. Biopsi sumsum tulang.
f. Sedot lemak (Taviloglu dan Yanar, 2007).
g. Terapi kortikosteroid berkepanjangan.
h. Pankreatitis akut.
i. Osteomyelitis.
j. Kondisi menyebabkan infark tulang, terutama penyakit sel sabit.
4. Faktor Risiko
a. Pria dengan usia 20-30 tahun
b. Fraktur tertutup
c. Fraktur multiple
d. Terapi konservatif untuk tulang panjang
5. Patofisiologi
Terdapat dua teori yang dipercaya saat ini mengenai patofisiologi fat
embolism syndrome yaitu (Smeltzer dan Bare, 2001):
a. Teori Mekanik
Adanya trauma berat mengakibatkan kerusakan yang luas pada
jaringan lemak dan vaskuler. Kenaikan tekanan pada area trauma
(>200 mmHg) yaitu tekanan pada sumsum tulang memaksa lemak
yang terlepas masuk ke pembuluh darah yang memiliki tekanan lebih
rendah (28-32 mmHg). Droplet lemak yang terlepas masuk ke
peredaran darah vena yang akan mengumpul di capillary bed paru dan
menuju ke shunt arteriovenosa ke otak. Daerah mikrovaskuler yang
dilekati embolus tersebut akan mengakibatkan iskemia lokal dan
inflamasi yang berakibat pada pelepasan mediator inflamasi, agregasi
platelet, dan amin vasoaktif.
b. Teori Biokimia
Perubahan hormonal dan reaksi stres akibat trauma dan/atau sepsis
dapat melepaskan katekolamin yang memicu lemak bebas seperti
khilomikron dan memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran
darah. Reaktan fase akut seperti C-reactive protein mengakibatkan
kilomikron menyatu dan akan menimbulkan reaksi seperti yang
ditemui pada sindroma fat emboli umumnya, seperti petechiae. Teori
ini menerangkan terjadinya fat emboli pada kasus non trauma.
Emboli berasal dari lemak sumsum tulang dan jaringan lemak,
kemudian melalui robekan vena masuk ke sirkulasi dan paru-paru,
bersama gelembung-gelembung lemak melewati kapiler paru masuk ke
sirkulasi sistemik dan menuju ke otak, ginjal, jantung dan kulit.
Menurut penelitian menyatakan bahwa lemak netral merupakan
sumber emboli kecil, yang merupakan penyebab utama gangguan
metabolisme lemak. Pada trauma yang luas terjadi penurunan karbohidrat
dan lemak secara cepat, berupa lipolisis pada jaringan lemak dan sejumlah
besar asam lemak bebas. Akibatnya sejumlah besar asam lemak bebas
ditranspor ke sirkulasi hati dimana terjadi sintesis dan sekresi lipoprotein
dengan densitas rendah.
Lipoprotein hati mengalami agregasi/ konjugasi dengan kalsium
dan kolesterol, menarik trombosit dan menyebabkan perlambatan aliran
darah dan terbentuk emboli. Proses ini menunjukkan asidosis dan respirasi
metabolik. Emboli pada arteri paru tidak hanya menyebabkan obstruksi
aliran darah, tetapi juga merusak dinding pembuluh darah, yang
menyebabkan hemoragik multiple dengan fokus kecil yang menimbulkan
hemoptisis, edema paru dan dispnea. Emboli lemak kemudian masuk ke
sirkulasi sistemik.
Patogenesis sindrom emboli lemak melibatkan obstruksi mekanik
pada pulmo dan vaskular sistemik. Pada obstruksi mekanik pada paru
terjadi diakibatkan oleh peningkatan tekanan intramedular setelah trauma
sehingga sumsum lemak keluar melalui sinusoid menuju pulmo dan
membentuk sumbatan pada kapiler pulmo. Teori biokimia menyatakan
bahwa asam lemak bebas yang ada di sirkulasi akibat fraktur mengandung
toksin dan menyerang pneumosit dan sel endotel pulmo yang
mengakibatkan perdarahan interstisial, edema, dan pneumonitis kimiawi
yang dapat disertai dengan syok, hipovolemi dan sepsis yang
mengakibatkan pengurangan lairan darah ke hepar, hal ini memperburuk
efek toksik asam lemak bebas (Shaikh, 2009).
Gambar 5. Ruam ptekie pada tubuh bagian atas anterior, karakteristik sindrom
emboli lemak.
7. Diagnosis
Terdapat kriteria diagnostik untuk sindrom emboli lemak, yaitu:
a. Kriteria diagnosis Gurds dan Wilson membagi menjadi kriteria mayor
dan kriteria minor (Gurd dan Wilson, 1974):
Kriteria mayor:
1) insufisiensi pernapasan
2) gangguan fungsi cerebral
3) ruam ptekie
Kriteria minor:
1) Takikardi
2) Demam (suhu >39C)
3) Kebingungan
4) PO2 <8 kPa
5) Pernapasan > 35x/menit, terlepas dari sedasi
6) Retina : terdapat exudat cotton wall dan perdarahan kecil,
terkadang globul lemak terlihat pada pembuluh darah retina
7) Penyakit kuning
8) Renal: oliguria, hematuria, anuria
9) Trombositopenia
10) Anemia
11) tinggi ESR
12) Makroglobulinemia lemak
13) Infiltrat alveolar difus pada foto thorak
Kriteria diagnosis menurut Schonfold, yaitu (Shaikh, 2009):
b.
Skor
Ptekie 5
Rontgen dada terdapat infiltrate
4
difus di lapang paru
Hipoksemia 3
Demam 1
Takikardi 1
Takipnea 1
Kebingungan 1
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sindrom emboli lemak untuk memastikan oksigenasi
arteri yang baik. Laju aliran tinggi oksigen diberikan untuk
mempertahankan tekanan oksigen arteri dalam batas normal. Pembatasan
asupan cairan dan penggunaan diuretik dapat meminimalkan akumulasi
cairan di paru-paru selama sirkulasi dipertahankan.
Di sisi lain, pemeliharaan volume intravaskular sangat penting karena
syok dapat memperburuk cedera paru yang disebabkan oleh sindrom
emboli lemak. Albumin telah direkomendasikan untuk resusitasi volume di
smping larutan elektrolit, karena tidak hanya mengembalikan volume
darah, tetapi juga mengikat asam lemak dan dapat menurunkan tingkat
cedera paru. Ventilasi mekanis dan tekanan ekspirasi akhir positif (PEEP)
mungkin diperlukan untuk mempertahankan oksigenasi arteri (Jaweed dan
Naseem, 2005).
Terapi medikasi :
Kortikosteroid dosis tinggi efektif dalam mencegah perkembangan
sindrom emboli lemak. Dosis yang lebih rendah mungkin juga efektif.11
Terapi bedah :
Stabilisasi bedah Prompt patah tulang panjang mengurangi risiko
sindrom emboli lemak (Babalis et al, 2004).
10. Pencegahan
Fat embolism syndrome yang berat diduga dapat dihindari dengan
pemberian oksigen dosis tinggi segera setelah trauma dan segera
stabilisasi fraktur tulang panjang. Intramedullary nailing diperkirakan
tidak meningkatkan resiko terjadinya fat embolism syndrome. Fiksasi
fraktur secepatnya juga memungkinkan untuk asuhan keperawatan pasien
dalam posisi duduk, yang akan mengoptimalkan ventilation-perfusion
match paru (Solomon, 2001). Penatalaksanaan sindroma emboli lemak
bersifat suportif saja, meliputi :
a. Cegah dan atasi ARDS, kalau perlu pemasangan Endotracheal Tube
dan alat bantu nafas, monitoring PaO2, PCO2, dan pH darah
b. Balance cairan dan elektrolit
c. Analgetik untuk mengurangi nyeri pasca trauma
d. Kortikosteroid (kontroversi) dengan dosis 10 mg/kgBB diulang tiap 8
jam diberikan selama 24 jam atau 7,5 mg/kgBB diulang tiap 6 jam
diberikan selama 12 jam.
B. Clinical Pathway
Fraktur
Risiko Kompensasi
Diskontinuitas Ruptur pembuluh Suplai oksigen tidak
Penekanan Ketidakefektifan
Suplai oksigen tulang tubuh Penyumbatan
darah ke Ketidakefektifan
adekuat ke seluruh
Pelebaran Suplai darah
Perubahan
Penurunan
syaraf-syaraf Sirkulasi
perfusi darah
ke otakjaringan
tidak Ketidakefektifan
paru Gangguan
mempercepat
Penyumbatan
Kerjaoksigen
Kadar Jaringan aliran darah
lemak masuk Penyumbatan
perfusi
tubuh dan
Intoleransi
Sirkulasi
Pembatasan jaringan
jaringan
darah tidak
pembuluh Penyumbatan jantung
volume
curah tidak
sekuncup
jantung
Nyeri
NyeriKepala
Akut
sekitar otak adekuat
Otak tidak
otak lancar pola Paru-paru
napas
Fat
kapiler
pernapasan
terganggu Pertukaran
Embolism
pulmo
menurun Gas
Syndrome
kedalam pembuluh darah Jantung
(FES)
jantung aktivitasaliran
aktivitas darah
perifer
lancar
darahpembuluh darah otak adekuat
Bab 3. ISI JURNAL
Pada jurnal yang berjudul Fat Embolism Syndrome yang di tulis oleh
Michael E. Kwiatt and Mark J. Seamon pada tahun 2013 membahas mengenai Fat
Embolisme Syndrom (FES). Sindrom emboli lemak adalah sebuah proses dimana
jaringan lemak masuk ke dalam aliran darah terjadi ketika makroglobulin emboli
lemak masuk ke dalam pembuluh darah kecil paru-paru dan organ lainnya,
FES paling sering dikaitkan dengan trauma orthopedi misalnya yaitu fraktur
tertutup dari tulang panjang. Penjelasan tersebut juga sama dengan jurnal
yaitu penyebab FES pada umumnya berkaitan dengan fraktur traumatik pada
tulang panjang misalnya femur, panggul, dan tibia dan pasca operasi dan bisa
terjadi pada trauma luka jaringan lunak yang masif, luka bakar parah,biopsi
dijelaskan faktor risiko terjadinya FES adalah terjadi pada usia muda, patah tulang
mengalami ruam petekia gejala khusu pada FES tegantung pada sistem organ
yang terlibat. Sekitar 75% pasien akan mengalami depresi pernafasan sehingga
menyebabkan gejala neurologis non spesifik yakni seperti timbul edema serebral
gejalanya bersifat non lateralizing yang dapat mengakibatkan pasien terlihat lesu
atau gelisah dan terdapat perubahan pada skla koma Glasgow (GCS) sehingga
pasien menjadi tidak responsif. Pada jurnal pendukung juga dijelaskan tanda lain
dari FES yaitu perubahan ginjal seperti lipuria, oliguria atau anuria dan kerusakan
menghambat agregasi leukosit yang dimediasi yang di ujicoba pada fraktur tulang
dosis yang paling umum digunakan berkisar antara 6 sampai 90 mg/kg. Pada
Dan juga pasien mungkin memerlukan ventilasi mekanik saat pulih dari cedera
paru-paru dan juga pasien memerlukan cairan intravena untuk resusitasi. Hal
oksigenasi arteri yang baik karena untuk mempertahankan tegangan oksigen arteri
pada kisaran normal dan juga pemeliharan cairan intravaskuler itu penting karena
syok bisa memperparah luka paru yang disebabkan oleh FES. Albumin telah
direkomendasikan untuk resusitasi volume karena fungsi dari albumin itu tidak
hanya untuk mengembalikan volume darah tetapi juga mengikat asam lemak dan
yang berisiko tinggi dapat mengurangi adanya hipoksia dan komplikasi sistemik
FES.
Penggunaan fiksasi internal untuk pengobatan fraktur tulang panjang
fiksasi ini harus dilakukan selama fiksasi operasi untuk membatasi tekanan
FES melakukan pemeriksaan MRI yang akan memungkinkan diagnosis FES dini
dan akurat.
BAB 4. PEMBAHASAN
Intervention
Dalam jurnal ini dituliskan bahwa kita sebagai tenga kesehatan harus
mengetahui kejadian FES lebih tinggi di antara pasien trauma dan dengan patah
tulang panjang. Usia muda, fraktur tertutup, beberapa patah tulang, dan terapi
konservatif untuk fraktur tulang panjang memiliki hubungan yang lebih tinggi
dengan FES.Sebuah studi tentang profil metabolik dari pasien yang menderita
FES, menemukan pasien FES memiliki status glikemik meningkat, rasio alfa yang
lebih rendah dan beta lipoprotein, kapiler abnormal uji kerapuhan, jumlah platelet
yang lebih tinggi, dan tingkat kortisol rendah.
Tidak ada pengobatan khusus untuk FES. Jalur utamanya
Penanganan suportif. Pencegahan FES dan diagnosis yang lebih awal dengan
penanganan komplikasi yang cepat adalah landasan dalam mengelola kondisi
FES.Tindakan pencegahan sindrom emboli lemak dikaitkan dengan banyaknya
patah tulang panjang dan fraktur yang tidak stabil. Oleh karena itu, fiksasi dini
patah tulang panjang dalam 24 jam adalah langkah kunci. Berbagai teknik bedah
disarankan untuk mengurangi embolisasi intraoperatif dari gumpalan lemak.
Kortikosteroid profilaksis telah dianjurkan oleh banyak peneliti, meski tidak ada
konsensus tentang dosisnya. Pemantauan yang cermat dari tanda-tanda vital dan
suhu juga wajib diobservasi. Inisiasi awal oksigen (dan steroid) pada pasien
dengan masalah saturasi bisa membantu mengurangi hipoksia dan sesak nafas.
Memonitor oksimetri dapat membantu pasien mendeteksi lebih dini desaturasi.
Pemberian terapi oksigen adalah cara untu menurunkan resiko hipoksia dan
timbulnya komplikasi sistemik dari FES. Memantau volume intravascular juga
sangat penting karena syok dapat memperburuk cedera pada paru-paru akibat
FES. Albumin menjadi solusi rekomendasi untuk resusitasi dalam keseimbangan
elektrolit.
Compare
Dalam jurnal yang berjudul Fat Embolism Syndrome disebutkan bahwa
tidak ada pengobatan khusus untuk FES. Jalur utamanya. Penanganan suportif.
Pencegahan FES dan diagnosis yang lebih awal dengan penanganan komplikasi
yang cepat adalah landasan dalam mengelola kondisi FES.Tindakan pencegahan
sindrom emboli lemak dikaitkan dengan banyaknya patah tulang panjang dan
fraktur yang tidak stabil. Oleh karena itu, fiksasi dini patah tulang panjang dalam
24 jam adalah langkah kunci. Berbagai teknik bedah disarankan untuk
mengurangi embolisasi intraoperatif dari gumpalan lemak. Kortikosteroid
profilaksis telah dianjurkan oleh banyak peneliti, meski tidak ada konsensus
tentang dosisnya. Pemantauan yang cermat dari tanda-tanda vital dan suhu juga
wajib diobservasi. Inisiasi awal oksigen (dan steroid) pada pasien dengan masalah
saturasi bisa membantu mengurangi hipoksia dan sesak nafas. Memonitor
oksimetri dapat membantu pasien mendeteksi lebih dini desaturasi. Pemberian
terapi oksigen adalah cara untuk menurunkan resiko hipoksia dan timbulnya
komplikasi sistemik dari FES. Memantau volume intravascular juga sangat
penting karena syok dapat memperburuk cedera pada paru-paru akibat FES.
Albumin menjadi solusi rekomendasi untuk resusitasi dalam keseimbangan
elektrolit.
Dalam jurnal yang berjudul Inhalational Ciclesonide found beneficial in
prevention of fat embolism syndrome and improvement of hypoxiamengatakan
bahwa CIC inhalasi adalah terapi yang aman dan efektif untuk pencegahan FES
dan juga obat yang efektif untuk pengobatan hipoksemia pada korban trauma
ortopedi. Dalam jurnal ini hanya membahas tentang CIC sebagai terapi suportif
FES. Kortikosteroid inhalasi (yaitu, Budesonide, Fluticasone Propionate, CIC)
telah direvolusikan pada pengobatan asma dan sekarang menjadi andalan terapi
bagi pasien dengan penyakit kronis. Telah terbukti bahwa steroid inhalasi
memiliki komplikasi sistemik minimal dengan khasiat yang lebih baik. Telah
terjadi perbaikan yang luar biasa dalam sistem pemberian obat untuk steroid
inhalasi. Terapi aerosol adalah modalitas pemberian obat dimana keuntungan
utamanya adalah untuk respon terapeutik tertentu, dosis obat beberapa kali lipat
lebih rendah, dan penyerapan sistemik dapat diabaikan.
Dalam jurnal tersebut dijelaskan bahwa percobaan kontrol prospektif tidak
acak dirancang di mana semua pasien berusia antara 18 dan 40 tahun dengan
cedera kerangka terisolasi yang dipresentasikan dalam 8 jam cedera dialokasikan
ke kelompok percobaan. Pasien kelompok percobaan menerima 640 mcg CIC
inhalasi dengan penghirup dosis terukur pada saat masuk, dan dalam 24 jam.
Pasien kelompok kontrol tidak menerima terapi profilaksis. Kedua kelompok
dievaluasi untuk pengembangan FES (kriteria Gurd) dan hipoksemia (PaO2 <70
mmHg) selama 72 jam. Komplikasi yang terkait dengan pemberian CIC
dievaluasi pada pasien kelompok percobaan selama tinggal di rumah sakit.
Hasil dalam jurnal dikatakan bahwa dari 35 pasien di masing-masing
kelompok, dua pasien pada kelompok percobaan dan sembilan pasien pada
kelompok kontrol mengembangkan FES (P = 0,022). Delapan pasien pada
kelompok percobaan mengalami hipoksemia pada saat masuk, enam di antaranya
membaik dan satu pasien tambahan mengembangkan hipoksemia setelah
pemberian CIC inhalasi. Pada kelompok kontrol, sepuluh pasien mengalami
hipoksia pada saat masuk, hanya satu di antaranya yang membaik dan sembilan
pasien lainnya memiliki hipoksemia yang persisten bahkan setelah 72 jam. Selain
itu, tiga pasien mengalami hipoksemia. Peningkatan signifikan pada hipoksemia
dan penurunan kejadian FES yang signifikan diamati pada kelompok percobaan (P
<0,05) dibandingkan kelompok kontrol. Tidak ada pasien yang mengalami
komplikasi atau efek samping steroid pada kelompok percobaan.
Outcome
Dalam jurnal tersebut dikatakan tidak ada metode diagnostik khusus untuk
FES. Deteksi dini dikombinasikan dengan pemantauan terus menerus dari tanda-
tanda vitaltermasuk oksimetri dan penyelidikan laboratorium yang mendukung
seperti penurunan jumlah platelet dan hematokrit yang tidak dapat dijelaskan,
MRI otak dan lain-lain akan memungkinkan diagnosis dini FES. Selain itu
inisiasimanajemen tepat waktu penanganan FES oleh tenaga kesehatan akan
membantu mengurangi morbiditas dan mortalitas kejadian FES.
5.1 Kesimpulan
Sindrom emboli lemak (FES) adalah sebuah proses dimana jaringan lemak
masuk ke dalam aliran darah terjadi ketika makroglobulin emboli lemak masuk ke
dalam pembuluh darah kecil paru-paru dan organ lainnya, sehingga menghasilkan
ruam ptekie. FES pada umumnya berkaitan dengan fraktur traumatik pada tulang
panjang misalnya femur, panggul, dan tibia dan pasca operasi dan bisa terjadi
pada trauma luka jaringan lunak yang masif, luka bakar parah,biopsi sumsum
terjadi pada usia muda, patah tulang tertutup, beberapa patah tulang.
menghambat agregasi leukosit yang dimediasi yang di ujicoba pada fraktur tulang
dan juga pasien mungkin memerlukan ventilasi mekanik saat pulih dari cedera
Pemantauan oksimetri pada pasien yang berisiko tinggi dapat mengurangi adanya
pada perawat mengetahui gejala klnis mengenai FES dan selalu memonitor
melakukan fiksasi dan juga kolaborasi dengan tim medis lainnya dalam pemberian
DAFTAR PUSTAKA
Babalis GA, Yiannakopoulos CK, Karliaftis K, et al. 2004. Prevention of
posttraumatic hypoxaemia in isolated lower limb long bone fractures with a
minimal prophylactic dose of corticosteroids.; Injury. Vol 3: 17-309.
Buskens CJ, Gratama JW, Hogervorst M, et al. 2008. Encephalopathy and MRI
abnormalities in fat embolism syndrome: a case report. Med Sci Monit. Vol
11: 9-125.
Gurd, AR dan Wilson, RI. 1974. The fat embolism syndrome. J Bone Joint Surg
Br. Vol 3:16-408.
Smeltzer dan Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC