Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


HIV/AIDS telah menimbulkan kekhawatiran di berbagai belahan bumi.
HIV/AIDS adalah salah satu penyakit yang harus diwaspadai karena Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) sangat berakibat pada penderitanya. Acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan sekumpulan gejala penyakit yang
menyerang tubuh manusia setelah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus). Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh evina
yang membahas pemodelan matematika pada penularan
Human Immunodeficiency Virus (HIV) transmisi vertikal berkaitan dengan
pembuatan model SEIA. Cara penularan HIV dapat melalui hubungan seksual,
penggunaan obat suntik, ibu ke anak-anak dan lain-lain. Mengenai penyakit
HIV/AIDS, penyakit ini telah menjadi pandemi yang mengkhawatirkan masyarakat
dunia, karena disamping belum ditemukan obat dan vaksin pencegahan penyakit ini
juga memiliki window periode dan fase asimtomatik (tanpa gejala) yang relatif
panjang dalam perjalanan penyakitnya. Hal tersebut menyebabkan pola
perkembangannya seperti fenomena gunung es (iceberg phenomena).
Jumlah kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun di seluruh bagian dunia terus
meningkat meskipun berbagai upaya preventif terus dilaksanakan. Dari beberapa cara
penularan tersebut, masing-masing penularan memiliki resiko penularan cukup besar.
Oleh karena itu, penularan HIV harus diberi pengobatan agar penyebaran mengalami
perlambatan.
Pengobatan dan perawatan yang ada terdiri dari sejumlah unsur yang berbeda,
yang meliputi konseling dan test mandiri (VCT), dukungan bagi pencegahan
penularan HIV, konseling tidak lanjut, saran-saran mengenai makanan dan gizi,
pengobatan IMS, pengelolaan efek nutrisi, pencegahan dan perawatan infeksi
oportunistik (IOS), dan pemberian obat-obat antiretroviral. Obat antiretroviral
digunakan dalam pengobatan infeksi HIV. Obat-obatan ini bekerja melawan infeksi
itu sendiri dengan cara memperlambat reproduksi HIV dalam tubuh . Dalam makalah
ini akan dijelaskan mengenai farmakoterapi dari HIV/AIDS tersebut dan bagaimana
pencegahannya.

1.1 Rumusan masalah


1.1.1 apa yang dimasud dengan HIV dan AIDS?
1.1.2 Apa penyebab terjadinya HIV AIDS?
1.1.3 Apa gejala dan manifestasi dari HIV AIDS?
1.1.4 Bagaimana patofisologi dari timbulnya HIV AIDS?
1.1.5 Diagnosis apa yang dilakukan dari gejala yang timbul?
1.1.6 Bagaimana penatalaksanaan dari HIV AIDS tersebut?
1.1.7 Bagaimana penerapan dalam bidang kesehatan?

1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui definisi dari HIV AIDS
1.2.2 Mengetahui penyebab dari HIV AIDS
1.2.3 Mengetetahui gejala dan manifestasi klinik dari HIV AIDS
1.2.4 Mengetahui patofisiologi dari HIV AIDS
1.2.5 Mengetahui diagnosis yang dilakukan terhadap penyakit
1.2.6 Mengetahui tatalaksana dari HIV AIDS
1.2.7 Mampu menerapkan dalam bidang kesehatan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi HIVAIDS


HIV adalah singkatan Human Immunodefisiency Virus yaitu virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga membuat tubuh rentan terhadap
berbagai penyakit. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu
penyakit retrovirus yang disebabkan oleh HIV dan ditandai dengan imunosupresi
berat yang menimbulkan infeksi oportunistik, neoplasma sekunder dan manifestasi
neurologis. (Vinay Kumar, 2007).

HIV telah ditetapkan sebagai agens penyebab acquired Immune Deficiency


Syndrom (AIDS). AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang
merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV. (Sylvia Anderson Price, 2006). Definisi
AIDS yang ditetapkan oleh pusat pengendalian penyakit, telah berubah beberapa
waktu sejak gejala pertama ditemukan pada tahun 1981. Secara umum definisi ini
menyusun suatu titik dalam kontinum penyimpangan HIV dimana penjamu telah
menunjukan secara klinis disfungsi imun. Jumlah besar infeksi oportunistik dan
neoplasma merupakan tanda supresi imun berat sejak tahun 1993. Definisi AIDS
telah meliputi jumlah CD4 kurang dari 200 sebagai criteria ambang batas. Sel CD4
adalah bagian dari limposit dan satu target sel dari infeksi HIV

2.2 Etiologi

Penyebab penyakit HIV/AIDS adalah Human Immunodeficiency Virus, yaitu


virus yang menyebabkan penurunan daya kekebalan tubuh.HIV termasuk genus
retrovirus dan tergolong ke dalam family lentivirus. Infeksi dari family lentivirus ini
khas ditandai dengan sifat latennya yang lama, masa inkubasi yang lama, replikasi
virus yang persisten dan keterlibatan dari susunan saraf pusat (SSP). Sedangkan ciri
khas untuk jenis retrovirus yaitu : dikelilingi oleh membran lipid, mempunyai
kemampuan variasi genetik yang tinggi, mempunyai cara yang unik untuk replikasi
serta dapat menginfeksi seluruh jenis vertebra.

2.2.1 Struktur HIV

Gambar 1 : Struktur HIV


Envelope berisi:
a. lipid yang berasal dari membran sel host.
b. mempunyai 72 semacam paku yang dibuat dari gp 120 dan gp 41, setiap paku
disebut trimer dimana terdiri dari 3 copy dari gp 120, gp 41.
c. Protein yang sebelumnya terdapat pada membran sel yang terinfeksi.
d. gp 120 : glikoprotein yang merupakan bagian dari envelope (sampul) yang
tertutup oleh molekul gula untuk melindungi dari pengenalan antibodi, yang
berfungsi mengenali secara spesifik reseptor dari permukaan target sel dan
secara tidak langsung berhubungan dengan membran virus lewat membran
glikoprotein.
e. gp 41 : transmembran glikoprotein yang berfungsi melakukan trans membran
virus, mempercepat fusion (peleburan) dari host dan membran virus dan
membawa HIV masuk ke sel host.
f. RNA dimer dibentuk dari 2 single strand dari RNA.
g. Matrix protein : garis dari bagian dalam membran virus dan bisa
memfasilitasi perjalanan dari HIV DNA masuk ke inti host.
h. Nukleocapsid : mengikat RNA genome.
i. Capsid protein : inti dari virus HIV yang berisikan 2 kopi dari RNA genom
dan 3 macam enzim (reverse transcriptase, protease dan integrase).
2.2.2. Siklus Replikasi Virus

Virus hanya dapat bereplikasi dengan menggunakan atau memanfaatkan sel


hostnya. Siklus replikasi dari awal virus masuk ke sel tubuh sampai menyebar ke
organ tubuh yang lain melalui 7 tahapan, yaitu:
1. Sel - sel target mengenali dan mengikat HIV. HIV berfusi (melebur) dan
memasuki sel target gp 41 membran HIV merupakan mediator proses fusi RNA
virus masuk kedalam sitoplasma. Proses dimulai saat gp 120 HIV berinteraksi
dengan CD4 dan ko-reseptor
2. RNA HIV mengalami transkripsi terbalik menjadi DNA dengan bantuan enzim
reverse transcriptase
3. Penetrasi HIV DNA ke dalam membran inti sel target
4. Integrasi DNA virus ke dalam genom sel target dengan bantuan enzim integrase
5. Ekspresi gen-gen virus
6. Pembentukan partikel-partikel virus pada membran plasma dengan bantuan
enzim protease
7. Virus-virus yang infeksius dilepas dari sel, yang disebut virion

Gambar 2 : Siklus Replikasi HIV


2.2.3 Transmisi HIV
HIV terdapat dalam cairan tubuh ODHA, dan dapat dikeluarkan melalui
cairan tubuh tersebut. Seseorang dapat terinfeksi HIV bila kontak dengan cairan
tersebut. Meskipun berdasarkan penelitian,virus terdapat dalam saliva, air mata,
cairan serebrospinal dan urin, tetapi cairan tersebut tidak terbukti berisiko menularkan
infeksi karena kadarnya sangat rendah dan tidak ada mekanisme yang memfasilitasi
untuk masuk ke dalam darah orang lain, kecuali kalau ada luka.

Cara penularan yang lazim adalah melalui hubungan seks yang tidak aman
(tidak menggunakan kondom) dengan mitra seksual terinfeksi HIV, kontak dengan
darah yang terinfeksi (tusukan jarum suntik, pemakaian jarum suntik secara bersama,
dan produk darah yang terkontaminasi) dan penularan dari ibu ke bayi (selama
kehamilan, persalinan dan sewaktu menyusui). Cara lain yang lebih jarang seperti,
tato, transplantasi organ dan jaringan, inseminasi buatan, tindakan medis semi invasif.
Cara penularan yang tersering di dunia adalah secara seksual melalui mukosa genital
dengan angka kejadian sampai 85%. Risiko penularan tersebut dipengaruhi oleh
banyak faktor, misalnya adanya ulkus genital atau infeksi menular seksual (IMS) dan
faktor genetik. Tidak ada risiko penularan pada hubungan sosial, kontak non-seksual
seperti, berciuman, pemakaian bersama alat makan (misalnya gelas), tubuh yang
bersentuhan, atau penggunaan toilet umum. HIV tidak disebarkan oleh nyamuk atau
serangga lainnya.

2.3 Patogenesis

Perjalanan infeksi HIV ditandai dalam tiga tahap: penyakit primer akut,
penyakit kronis asimtomatis dan penyakit kronis simtomatis.
2.3.1 Infeksi Primer (sindrom retroviral akut)
Setelah terjadi infeksi HIV mula-mula bereplikasi dalam kelenjar limfe
regional. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah virus secara
cepat di dalam plasma, biasanya lebih dari 1 juta copy/l. Tahap ini disertai dengan
penyebaran HIV ke organ limfoid, saluran cerna dan saluran genital. Setelah
mencapai puncak viremia, jumlah virus atau viral load menurun bersamaan dengan
berkembangnya respon imunitas seluler. Puncak viral load dan perkembangan respon
imunitas seluler berhubungan dengan kondisi penyakit yang simptomatik pada 60
hingga 90% pasien. Penyakit ini muncul dalam kurun waktu 3 bulan setelah infeksi.
Penyakit ini menyerupai glandular fever like illness dengan ruam, demam, nyeri
kepala, malaise dan limfadenopati luas. Sementara itu tingginya puncak viral load
selama infeksi primer tidak menggambarkan perkembangan penyakit tapi terkait
dengan beratnya keluhan yang menandakan prognosis yang jelek. Fase ini mereda
secara spontan dalam 14 hari.

2.3.2 Infeksi HIV Asimptomatis/ dini


Dengan menurunnya penyakit primer, pada kebanyakan pasien diikuti dengan
masa asimtomatis yang lama, namun selama masa tersebut replikasi HIV terus
berlanjut, dan terjadi kerusakan sistem imun. Beberapa pasien mengalami
limfadenopati generalisata persisten sejak terjadinya serokonversi (perubahan tes
antibodi HIV yang semula negatif menjadi positif) perubahan akut (dikenal dengan
limfadenopati pada dua lokasi non-contiguous dengan sering melibatkan rangkaian
kelenjar ketiak, servikal, dan inguinal). Komplikasi kelainan kulit dapat terjadi seperti
dermatitis seboroik terutama pada garis rambut atau lipatan nasolabial, dan
munculnya atau memburuknya psoriasis. Kondisi yang berhubungan dengan aktivasi
imunitas, seperti purpura trombositopeni idiopatik, polimiositis, sindrom Guillain-
Barre dan Bells palsy dapat juga muncul pada stadium ini.

2.3.3 Infeksi Simptomatik/ antara


Komplikasi kelainan kulit, selaput lendir mulut dan gejala konstitusional lebih
sering terjadi pada tahap ini. Meskipun dalam perjalanannya jarang berat atau serius,
komplikasi ini dapat menyulitkan pasien. Penyakit kulit seperti herpes zoster,
folikulitis bakterial, folikulitis eosinofilik, moluskum kontagiosum, dermatitis
seboroik, psoriasis dan ruam yang tidak diketahui sebabnya, sering dan mungkin
resisten terhadap pengobatan standar. Kutil sering muncul baik pada kulit maupun
pada daerah anogenital dan mungkin resisten terhadap terapi.

Sariawan sering juga muncul pada stadium ini. Seperti juga halnya
kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, dan eritema ginggivalis (gusi) linier.
Gingivitis ulesartif nekrotik akut, merupakan komplikasi oral yang sulit diobati.
Gejala konstitusional yang mungkin berkembang seperti demam, berkurangnya berat
badan, kelelahan, nyeri otot, nyeri sendi dan nyeri kepala. Diare berulang dapat
terjadi dan dapat menjadi masalah. Sinusitis bakterial merupakan manifestasi yang
sering terjadi. Nefropati (kelainan ginjal) HIV dapat juga terjadi pada stadium ini.

2.4 Cara penularan

HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial
mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu (KPA,
2007c).

Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual,
kontak dengan darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak selama masa kehamilan,
persalinan dan pemberian ASI (Air Susu Ibu). (Zein, 2006)

a. Seksual
Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari
semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama
senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Senggama
berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara
dua individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak
terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.
b. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus
HIV.
c. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke
dalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada
pengguna narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika melakukan
prosedur tindakan medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja)
bagi petugas kesehatan.
d. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya
dihindarkan karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda tersebut
disterilkan sepenuhnya sebelum digunakan.
e. Melalui transplantasi organ pengidap HIV
f. Penularan dari ibu ke anak
Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung,
dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI.
g. Penularan HIV melalui pekerjaan: Pekerja kesehatan dan petugas laboratorium.

Terdapat resiko penularan melalui pekerjaaan yang kecil namun defenitif,


yaitu pekerja kesehatan, petugas laboratorium, dan orang lain yang bekerja dengan
spesimen/bahan terinfeksi HIV, terutama bila menggunakan benda tajam (Fauci,
2000). Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi
baik melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada pekerja
kesehatan. Selain itu air liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV (Fauci,2000).

Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat
ditularkan antara lain:

a. Kontak fisik
Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas
dengan udara yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan
pasien tidak akan tertular. Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi, tangan
dan kening penderita HIV/AIDS tidak akan menyebabkan seseorang tertular.
b. Memakai milik penderita
Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun peralatan
kerja penderita HIV/AIDS tidak akan menular.
c. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.
d. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.

2.5. Gejala Klinis

Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor
(umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):

a. Gejala mayor:

Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan


Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
Demensia/ HIV ensefalopati
b. Gejala minor:

Batuk menetap lebih dari 1 bulan


Dermatitis generalisata
Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
Kandidias orofaringeal
Herpes simpleks kronis progresif
Limfadenopati generalisata
Retinitis virus Sitomegalo

Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research


(MFMER) (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.

a. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi.
Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala,
sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun
tidak mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus
kepada orang lain.

b. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih.
Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh,
penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti
pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare,
berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.

c. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir
pada penyakit yang disebut AIDS.

2.6 Klasifikasi klinis infeksi HIV pada orang dewasa menurut WHO
2.6 Penatalaksanaan terapi HIV/AIDS

2.6.1 Prinsip ARV


Prinsip pengobatan antiretroviral atau ART secara umum adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Pengobatan ARV :
a. Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat
b. Memulihkan dan/atau memelihara fungsi imunologis (stabilisasi/
peningkatan sel CD4)
c. Menurunkan komplikasi akibat HIV
d. Memperbaiki kualitas hidup ODHA
e. Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus
f. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan
HIV
2. Manfaat ARV
Antiretroviral merupakan suatu revolusi dalam perawatan ODHA. Terapi
dengan antiretroviral atau disingkat ARV telah menyebabkan penurunan angka
kematian dan kesakitan bagi ODHA. Manfaat terapi antiretroviral adalah sebagai
berikut :
1) Menurunkan morbiditas dan mortalitas
2) Pasien dengan ARV tetap produktif
3) Memulihkan sistem kekebalan tubuh sehingga kebutuhan profilaksis
infeksi oportunistik berkurang atau tidak perlu lagi
4) Mengurangi penularan karena viral load menjadi rendah atau tidak
terdeteksi, namun ODHA dengan viral load tidak terdeteksi, namun harus
dipandang tetap menular
5) Mengurangi biaya rawat inap dan terjadinya yatim piatu
6) Mendorong ODHA untuk meminta tes HIV atau mengungkapkan status
HIV-nya secara sukarela

2.6.2 Farmakologi ARV

2.6.2.1 Pengertian ARV


Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat replikasi Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Terapi dengan ARV adalah strategi yang secara
klinis paling berhasil hingga saat ini. Tujuan terapi dengan ARV adalah menekan
replikasi HIV secara maksimum, meningkatkan limfosit CD4 dan memperbaiki
kualitas hidup penderita yang pada gilirannya akan dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas. Seperti obat-obat antimikroba lainnya maka kompleksitas antara pasien,
patogen dan obat akan mempengaruhi seleksi obat dan dosis. Karakteristik pasien
akan mempengaruhi farmakokinetik obat. Karakteristik mikroba meliputi mekanisme
kerja, pola kepekaan, dan resistensi. Farmakodinamik obat merupakan integrasi
hubungan antara kepekaan mikroba dengan farmakokinetik pasien. Untuk menjamin
tercapainya target terapi, interaksi farmakodinamik antara antimikroba dan target
mikroba harus tercapai.

2.6.2.2. Penggolongan ARV

Ada tiga golongan utama ARV yaitu


a. Penghambat masuknya virus; enfuvirtid
b. Penghambat reverse transcriptase enzyme
a) Analog nukleosida/nukleotida (NRTI/NtRTI)
Analog nukleosida
Analog thymin:zidovudin (ZDV/AZT)dan stavudin (d4T)
Analog cytosin : lamivudin (3TC) dan zalcitabin (ddC)
Analog adenin : didanosine (ddI)
Analog guanin : abacavir(ABC)
Analog nukleotida analog adenosin monofosfat: tenofovir
b) Nonnukleosida (NNRTI)
Nevirapin (NVP)
Efavirenz (EFV)
c) Penghambat enzim protease (PI) ritonavir (RTV)
Saquinavir (SQV)
Indinavir (IDV) dan nelfinavir (NFV)

2.6.2.3.Mekanisme kerja ARV


a. Penghambat masuknya virus kedalam sel
Bekerja dengan cara berikatan dengan subunit GP41 selubung glikoprotein virus
sehingga fusi virus ke target sel dihambat. Satu-satunya obat penghambat fusi ini
adalah enfuvirtid.

b. Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI)

Analog nukleosida ( NRTI)


NRTI diubah secara intraseluler dalam 3 tahap penambahan 3 gugus fosfat)
dan selanjutnya berkompetisi dengan natural nukleotida menghambat RT
sehingga perubahan RNA menjadi DNA terhambat. Selain itu NRTI juga
menghentikan pemanjangan DNA.
Analog nukleotida (NtRTI)
Mekanisme kerja NtRTI pada penghambatan replikasi HIV sama dengan
NRTI tetapi hanya memerlukan 2 tahapan proses fosforilasi.

Non nukleosida (NNRTI)


Bekerjanya tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler tetapi berikatan
langsung dengan reseptor pada RT dan tidak berkompetisi dengan nukleotida
natural. Aktivitas antiviral terhadap HIV-2 tidak kuat.

c. Protease inhibitor (PI)


Protease Inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim protease yang
mengkatalisa pembentukan protein yang dibutuhkan untuk proses akhir pematangan
virus. Akibatnya virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak mampu menginfeksi sel
lain. PI adalah ARV yang potensial.

2.6.2.4. Efek samping umum


Efek samping obat adalah salah satu penyebab morbiditas, dirawatnya pasien
dan mortalitas. Hal tersebut juga berpengaruh pada kepatuhan pasien terhadap
rencana terapi. Karena itu pendeteksian dini efek samping adalah hal kritis dan dalam
hal ini apoteker dapat ikut berperan.

GOLONGAN EFEK SAMPING


NRTI Laktat asidosis dan hepatotoksik
NtRTI Toksisitas ginjal
NNRTI Hepatotoksisitas dan rash
Gangguan metabolik ganda (insulin
resistensi, hiperlipidemia,

PI lipodistropi), hepatotoksisitas, gangguan


tulang, peningkatan

perdarahan pada penderita hemofilia.

Tabel 4 : Efek Samping Umum Antiretroviral

NO EFEK SAMPING OBAT TANDA KLINIS MANAJEMEN


- Bila mungkin monitor
NVP,EFV
transaminase serum,
Jaundice, pembesaran hati, bilirubin,
(jarang),dll
1 Hepatitis akut gejala GIT (mual, muntah,
diare, nyeri perut, lemah, - Stop ARV
ZDV,
anoreksia)
d4T, RTV Sampai gejala hilang.
NVP harus distop

Monitor amylase
pankreatik
2 Pankreatitis akut ddl, d4T Mual, muntah dan nyeri perut
Stop ARV tukar dengan
obat baru

Lelah dan lemah Stop ARV


3
Laktat asidosis Semua NRTI
menyeluruh,gejala GIT, Beri terapi
hepatomegali, anoreksia, turun penunjang
berat badan, gejala pernafasan
Tukar obat baru
ABC : demam, lelah, mialgia,
Stop ARV
gejala GIT, faringitis, batuk
sampai gejala
ABC dispnea (dengan atau tanpa
hilang, jangan
Reaksi ruam)
4 beri ABC atau
hipersensitivitas NVP
NVP:gejala sistemik, demam,
NVP eosinofilia dengan atau tanpa Bila gejala hilang
ruam segera mulai
ARV baru
Stop NRTI yang
dicurigai ganti
dengan NRTI
lain yang tidak
Nyeri, kesemutan, tangan dan menyebabkan
Neuropati perifer kaki kebal, bagian ujung tubuh nefrotoksisitas
5 ddl, d4T, 3TC
berat hilang rasa, lemah otot, tidak misalnya
ada refleks ZDV,ABC
Gejala umumnya
hilang dalam
waktu 2 minggu
setelah
pemberian obat
Tabel 1. Efek samping umum yang memerlukan pemutusan obat

2.6.2.5. Interaksi ARV

Interaksi obat obat yang signifikan menyebabkan penggunaan klinis ARV


menjadi rumit. Beberapa interaksi menguntungkan tetapi beberapa mungkin
berbahaya. Karena itu pengetahuan mengenai interaksi obat ARV penting untuk
tenaga kesehatan yang bersangkutan.
Secara umum, efavirenz, nevirapin, amprenavir dan tipranavir adalah
induktor metabolisme obat, sedangkan delavirdin dan protease inhibitor adalah
penghambat metabolisme obat. Ritonavir adalah penghambat sitokrom P450 3A yang
potensial dan sekarang terutama digunakan untuk meningkatkan secara
farmakokinetik PI lainnya. Karena itu maka kombinasi ritonavir dengan lopinavir
(Kaletra) diformulasikan.
Interaksi juga terjadi diantara sesama NRTI dan dengan obat lain. Sebagai
contoh, zidovudin dan stavudin difosforilasi oleh enzim kinase yang sama, sehingga
terjadi antagonisme baik secara in vitro maupun in vivo sehingga kombinasi kedua
ART tersebut dihindari. Konsentrasi Zidovudin ditingkatkan oleh flukonazol,
interferon-B, metadon, valproat, simetidin, imipramin dan trimetoprim. Zidovudin
karena berinteraksi secara farmakokinetik, pemberian bersama zidovudin dengan
gansiklovir sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan interaksi farmakodinamik
yang menyebabkan terjadinya neutropenia pada beberapa pasien. Didanosin dapat
berinteraksi secara farmakodinamik dengan beberapa obat; cisplatin, isoniazid,
metronidazol, nitrofurantoin, ribavirin, stavudin, vinkristin, dan zalcitabin
menyebabkan neuropati perifer. Sedangan dengan etanol, lamivudin dan pentamidin
didanosin dapat menimbulkan pankreatitis. Didanosin menyebabkan penurunan
absorbsi dapson, indinavir, itrakonazol, ketokonazol, pirimetamin, rifampin dan
trimetoprim.
Interaksi yang potensial terjadi antara obat antituberkulosis terutama
Rifampisin dengan PI. Interaksi ini menyebabkan penurunan konsentrasi PI secara
nyata, sehingga rifampisin tidak diberikan bersama dengan PI. Saquinafir, ritonavir
atau efavirenz dapat dianjurkan untuk pengobatan HIV pada pasien dengan
tuberkulosis.
Pengguna kontrasepsi oral yang mengandung etinil estradiol sebaiknya tidak
diberikan ritonavir karena ritonavir mempercepat metabolisme dan eliminasi etinil
estradiol sehingga dapat menurunkan efek kontrasepsi.
Obat herbal , Hypericum perforatum (Saint Johns wort) adalah inhibitor
yang potensial, sehingga dikontraindikasikan pada pemberian PI dan NNRTI.

2.6.3 Penggunaan Rasional Antiretroviral


Penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat yang sesuai
dengan kebutuhannya untuk periode waktu yang adekuat dengan harga yang paling
murah untuknya dan masyarakat. (WHO, 1985). Secara praktis, penggunaan obat
dikatakan rasional bila memenuhi kriteria:
a. Tepat diagnosa
b. Tepat indikasi penyakit
c. Tepat pemilihan obat
d. Tepat dosis
e. Tepat cara pemberian obat
f. Tepat interval waktu pemberian
g. Tepat lama pemberian
h. Waspada terhadap efek samping
i. Tepat penilaian kondisi pasien
j. Tepat informasi
k. Tepat dalam melakukan upaya tindak lanjut
l. Tepat penyerahan obat (dispensing) Kepatuhan pasien

2.6.3.1 Rejimen ARV Lini Pertama bagi ODHA dewasa


Rejimen ARV Lini-Pertama bagi ODHA dewasa sebagai berikut :
ZDV + 3TC + NVP
Toksisitas utama yang dapat terjadi pada pemberian rejimen ARV lini-
pertama ini adalah: intoleransi gastrointestinal dari ZDV, anemia,netropenia;
hepatotoksisitas NVP, dan ruam kulit berat
2.6.3.2 Rejimen ARV Lini-Kedua
Rejimen ARV lini-kedua bagi ODHA dewasa/remaja diberikan pada
kegagalan terapi pada rejimen lini-pertama, sebagai berikut :
TDF atau ABC + ddl + LPV/r atau SQV/r
Catatan :
a. Dosis ddl harus dikurangi menjadi 250 mg bila diberikan bersama TDF.
b. LPV/r dan SQV/r memerlukan cold chain (Cold chain adalah semacam
container untuk membawa obat/vaksin yang harus dalam keadaan suhu
sekitar 50 C)

2.6.3.3 Alasan Mengganti ARV


Ada kemungkinan perlu mengganti ARV baik yang disebabkan karena
toksisitas atau kegagalan terapi.
a. Toksisitas
Toksisitas terkait dengan ketidakmampuan untuk menahan efek samping dari
obat, sehingga terjadi disfungsi organ yang cukup berat. Hal tersebut dapat
dipantau secara klinis, baik dari keluhan atau dari hasil pemeriksaan fisik
pasien, atau dari hasil pemeriksaan laboratorium, tergantung dari macam
kombinasi obat yang dipakai dan sarana pelayanan kesehatan yang ada.
b. Kegagalan Terapi
Kegagalan terapi dapat didefinisikan secara klinis dengan menilai
perkembangan penyakit secara imunologis dengan penghitungan CD4,
dan/atau secara virologist dengan mengukur viral-load.
Penilaian klinis perkembangan penyakit harus dibedakan dengan sindrom
pemulihan kekebalan (immuno reconstitution inflammatory syndrome / IRIS),
yaitu keadaan yang dapat muncul pada awal pengobatan ARV. Sindrom ini
ditandai oleh timbulnya infeksi oportunistik beberapa minggu setelah ART
dimulai sebagai suatu respon inflamasi terhadap infeksi oportunistik yang
semula subklinik.Keadaan tersebut terjadi terutama pada pasien dengan
gangguan kebalan tubuh yang telah lanjut. Kembalinya fungsi imunologi dapat
pula menimbulkan gejala atipik dari infeksi oportunistik.

2.6.3.4 Monografi ARV


Zidovudin (ZDV, AZT, Retrovir)
- Sediaan dalam bentuk tablet 300 mg dan kapsul 100 mg, sirup 10 mg/ml,
suntikan IV 10 mg/ml
- Dosis 300 mg lewat oral tiap 12 jam dengan atau tanpa makan. Sediaan
kombinasi Duviral mengandung ZDV 300 mg/3TC 150 mg/tab. Dosis Duviral
1 tablet peroral tiap 12 jam
- Efek samping: mual/muntah, sakit kepala, kembung, anemia, neutropenia,
mialgia, miopati, artralgia, peningkatan transaminase. Pemberian bersama
makanan mengurangi mual.
- Perhatian : monitor hematokrit, leukosit, tes fungsi hati.

Didanosin (ddI, Videx)


- Bentuk sediaan tablet salut enterik yang dapat diberikan sebagai dosis tunggal
Dosis: >60kg, 400 mg per oral sekali sehari
- Dosis: <60kg, 250 mg per oral sekali sehari
- Efek samping : diare, neuropati perifer, pankreatitis, enzim transaminase dan
neuropati perifer.
- Perhatian : Obat diberikan tidak bersama makanan.
- Monitor fungsi hati, amilase/lipase,
- Hati-hati pemberian bersama dengan obat yang menyebabkan pankreatitis.

Stavudin (d4T, Zerit)


- Bentuk sediaan kapsul: 15, 20, 30, 40mg, larutan 1mg/ml
- Dosis: >60kg, 40 mg per oral tiap 12 jam dengan / tanpa makanan. Dosis:
<60kg, 30 mg per oral tiap 12 jam
- Efek samping : neuropati perifer, peningkatan enzim transaminase, laktat
asidosis, gejala saluran cerna, dan lipoatrophy.
- Perhatian : Tidak aman digunakan dengan didanosin.

Lamivudin (3TC, Hiviral)


- Bentuk sediaan tablet: 150mg /300mg(HIV), 100mg (hepatitis B)
- Dosis: 150 mg peroral tiap 12 jam atau 300 mg peroral sekali sehari <50kg:
2mg/kg peroral tiap 12 jam dengan/ tanpa makanan
- Obat ini merupakan obat yang sangat dapat ditoleransi, tapi mudah terjadi
resistensi. Obat ini dapat digunakan untuk hepatitis B.
Abacavir (ABC, Ziagen)
- Sediaan tablet: 300 mg
- Dosis: 300 mg tiap 12 jam dengan / tanpa makanan, atau 600 mg sekali sehari.
Efek samping: mual, muntah, diare, nyeri perut, dan reaksi hipersensitivitas
(5%)
- Perhatikan tanda-tanda alergi: demam, mual atau lelah, dengan atau tanpa
ruam. Jangan pernah diulangi jika terjadi alergi karena bisa timbul shok
anafilaksis. Informasikan secara rinci mengenai kemungkinan dan tanda
alergi dan lakukan monitoring ketat terhadap reaksi hipersensitivitas.

Nelfinavir
- Sediaan tablet 250 mg.
- Dosis tiap 12 jam 1250 mg (5 tablet) dimakan bersama makanan atau sesudah
makan.
- Metabolisme melalui jalur P 450 3A4.
- Efek samping : diare sering timbul setelah dosis awal, dalam bentuk
intermiten dan biasanya tidak disertai dengan keluhan yang lain. Diare
tersebut memberikan respon yang baik terhadap loperamide, bisa dicoba
dengan kalsium karbonate.
Tenofovir DF (Viread)
- Sediaan tablet 245 mg
- Dosis: 245 mg lewat oral sekali sehari dengan atau tanpa makanan. Efek
samping: Fanconis syndrome dengan disertai renal toksisitas.
- Obat ini dapat digunakan untuk hepatitis B. Kurangi dosis ketika digunakan
dengan tenofovir.

Efavirenz (EFV, Sustiva, Stocrin)


- Bentuk sediaan kapsul: 50, 100, 200, 600 mg
- Dosis: 600 mg peroral sekali sehari dengan/tanpa makanan
- Efek samping: susunan saraf pusat (SSP): mimpi buruk , susah konsentrasi,
pusing, insomnia, ruam. Gejala SSP biasanya terjadi,tapi akan membaik
dalam 7-14 hari; T1/2 40-55 jam; CYP 3A inducer.
- Perhatian :Jangan diberikan pada wanita hamil karena menimbulkan
teratogenik.

Nevirapine (NVP, Viramune)


- Bentuk sediaan tablets: 200 mg
- Dosis : 200 mg peroral sekali sehari 14 hari, lalu 200 mg dengan/tanpa
makanan Efek samping: ruam yang berat, demam, gangguan saluran cerna,
peningkatan transaminase
- Perhatian : Pemberian 200 mg dosis tunggal untuk 2 minggu pertama
mengurangi kemungkinan alergi; periksa fungsi hati tiap 2 minggu untuk 2
bulan pertama, selanjutnya tiap bulan untuk 3 bulan berikutnya.

Saquinavir (SQV-HGC, Invirase; SQV-SGC, Fortovase FTV)


- Bentuk sediaan soft-gel kapsul (Fortovase) 200 mg Hard-gel kapsul
(Invirase) 200 mg.
- Dosis: FTV 1200 mg peroral tiap 8 jam dengan makanan atau FTV 1000 mg /
RTV 100 tiap 12 jam. Efek samping: pada saluran pencernaan, nyeri
abdominal, ruam.

Enfuvirtide (T-20)
- Amino-acid synthetic peptide inhibits HIV-1 gp41 Dosis: 90 mg 2 kali sehari
(subkutan).
- Efek samping: Reaksi pada tempat suntikan, diare, nausea, sakit kepala, reaksi
hypersensitivitas (jangan diberikan lagi bila ada gejala hipersensitivitas.)

Kaletra (lopinavir + ritonavir)


- Sediaan tablet yang mengandung lopinavir 200 mg dan ritonavir 50 mg,
sedangkan kapsul mengandung lopinavir 133 mg dan ritonavir 33 mg.
- Dosis satu kali sehari untuk pasien yang baru pertama kali menerima terapi
ARV atau dua kali sehari untuk penderita yang telah menggunakan ARV
sebelumnya. Kaletra dapat diminum dengan atau tanpa makanan. Anak-anak
berusia 6 bulan sampai 12 tahun dapat diberi Kaletra dengan dosis sesuai
dengan berat badan.
- Efek samping yang paling umum adalah defekasi abnormal, lelah-lemah,
diare, mual dan muntah. Anak-anak sering mengalami ruam.
- Efek samping lain hepatitis, pancreatitis, hyperlipidemia, diabetes,
lipodistropi.
- Obat yang perlu dihindari diberikan bersama kaletra karena dapat
menimbulkan interaksi adalah cisaprid, rifampin, ergotamine, astemizol,
terfenadin, bepridil, vorikonazol.

2.7 Terapi antiretroviral pada populasi khusus


Terdapat beberapa kelompok dan keadaan khusus yang memerlukan suatu
perhatian khusus ketika akan memulai terapi antiretroviral. Kelompok khusus
tersebut antara lain kelompok perempuan hamil; kelompok pecandu NAPZA suntik
dan yang menggunakan Metadon. Sementara keadaan khusus yang perlu
diperhatikan adalah keadaan Koinfeksi HIV dengan TB dan Koinfeksi HIV dengan
Hepatitis B dan C.

2.7.1 Terapi ARV untuk ibu hamil


Terapi antiretroviral/ARV/HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy)
dalam program PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission PPIA =
Pencegahan Penularan Ibu ke Anak) adalah penggunaan obat antiretroviral jangka
panjang (seumur hidup) untuk mengobati perempuan hamil HIV positif dan
mencegah penularan HIV dari ibu ke anak.
Pemberian obat antiretroviral dalam program PMTCT/PPIA ditujukan pada
keadaan seperti terpapar berikut ini.
Tabel. Pemberian Antiretroviral pada ibu hamil dengan berbagai Situasi Klinis
Rekomendasi Pengobatan
No. Situasi Klinis
(Paduan untuk Ibu)

1 ODHA dengan indikasi Terapi ARV dan AZT + 3TC + NVP atau
kemungkinan hamil atau sedang hamil
TDF + 3TC(atau FTC) + NVP
Hindari EFV pada trimester pertama

AZT + 3TC + EVF* atau

TDF + 3TC (atau FTC) + EVF*

2 ODHA sedang menggunakan Terapi ARV Lanjutkan paduan (ganti dengan
dan kemudian hamil NVP atau golongan PI jika sedang
menggunakan EFV pada trimester
I)

Lanjutkan dengan ARV yang
sama selama dan sesudah
persalinan
3 ODHA hamil dengan jumlah CD4 ARV mulai pada minggu ke 14
>350/mm3 atau dalam stadium klinis 1. kehamilan
Paduan sesuai dengan butir 1
4 ODHA hamil dengan jumlah CD4 < Segera Mulai Terapi ARV
350/mm3 atau dalam stadium klinis 2, 3
atau 4

Rekomendasi Pengobatan
No. Situasi Klinis
(Paduan untuk Ibu)
5 ODHA hamil dengan Tuberkulosis aktif OAT yang sesuai tetap diberikan
Paduan untuk ibu, bila pengobatan
mulai trimester II dan III:

AZT (TDF) + 3TC + EFV

6 Ibu hamil dalam masa persalinan dan Tawarkan tes dalam masa
tidak diketahui status HIV persalinan; atau tes setelah
persalinan.

Jika hasil tes reaktif maka dapat
diberikan paduan pada butir 1

7 ODHA datang pada masa persalinan dan Paduan pada butir 1
belum mendapat Terapi ARV
Keterangan:
*: Efavirenz tidak boleh diberikan pada ODHA hamil trimester pertama
2.7.2 Terapi ARV untuk Ko-infeksi HIV/Hepatitis B (HBV) dan Hepatitis C
(HCV)
Hepatitis merupakan salah satu penyakit yang ditularkan melalui darah
(blood borne disease) dan merupakan salah satu penyakit ko-infeksi pada HIV
khususnya hepatitis B & C. Infeksi hepatitis C sering dijumpai sebagai ko-infeksi
pada ODHA pengguna NAPZA suntik. Infeksi hepatitis B dan hepatitis C tidak
mempengaruhi progresivitas penyakit HIV, namun infeksi HIV akan mempercepat
progresivitas penyakit hepatitis B dan C dan mempercepat terjadinya end stage
liver disease (ESLD)

2.7.2.1. Terapi ARV untuk koinfeksi hepatitis B


Hepatitis B dan HIV mempunyai beberapa kemiripan karakter, di antaranya
adalah merupakan blood-borne disease, membutuhkan pengobatan seumur hidup,
mudah terjadi resisten terutama jika digunakan monoterapi dan menggunakan obat
yang sama yaitu Tenofovir, lamivudine dan emtricitabine. Entecavir, obat anti
hepatits B mempunyai efek anti retroviral pada HIV juga akan tetapi tidak digunakan
dalam pengobatan HIV. Perlu diwaspadai timbulnya flare pada pasien ko-infeksi
HIV/Hep B jika pengobatan HIV yang menggunakan TDF/3TC dihentikan karena
alasan apapun.
Mulai ART pada semua individu dengan ko-infeksi HIV/HBV yang
memerlukan terapi untuk infeksi HBV-nya (hepatitis kronik aktif), tanpa memandang
jumlah CD4 atau stadium klinisnya.
Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) merekomendasikan memulai
terapi hepatitis B pada infeksi hepatitis B kronik aktif jika terdapat: peningkatan
SGOT/SGPT lebih dari 2 kali selama 6 bulan dengan HBeAg positif atau HBV DNA
positif.
Gunakan paduan antiretroviral yang mengandung aktivitas terhadap HBV dan
HIV, yaitu TDF + 3TC atau FTC untuk peningkatan respon VL HBV dan
penurunan perkembangan HBV yang resistensi obat
Pada pengobatan ARV untuk koinfeksi hepatitis B perlu diwaspadai
munculnya hepatic flare dari hepatitis B. Penampilan flare khas sebagai kenaikan
tidak terduga dari SGPT/SGOT dan munculnya gejala klinis hepatitis (lemah, mual,
nyeri abdomen, dan ikterus) dalam 6-12 minggu pemberian ART. Flares sulit
dibedakan dari reaksi toksik pada hati yang dipicu oleh ARV atau obat hepatotoksik
lainnya seperti kotrimoksasol, OAT, atau sindrom pulih imun hepatitis B. Obat anti
Hepatitis B harus diteruskan selama gejala klinis yang diduga flares terjadi. Bila
tidak dapat membedakan antara kekambuhan hepatitis B yang berat dengan gejala
toksisitas ARV derajat 4, maka terapi ARV perlu dihentikan hingga pasien dapat
distabilkan. Penghentian TDF, 3TC, atau FTC juga dapat menyebabkan hepatic
flare.

2.7.2.2. Terapi ARV untuk koinfeksi hepatitis C


Zidovudine dan Stavudine mempunyai efek samping tumpang tindih dalam
hal hematologi dan hepatotoksisitas dengan pengobatan yang digunakan dalam
hepatitis C khususnya ribavirin seperti pada tabel 12. Oleh karena itu, pada saat
pemberian bersama terapi hepatitis C perlu dilakukan substitusi sementara dengan
TDF.
Terapi hepatitis C dianjurkan dimulai pada saat CD4 > 350 sel/mm3 dan
setelah terapi ARV stabil untuk mencapai tingkat SVR yang lebih tinggi. Paduan
terapi ARV pada keadaan ko-infeksi HIV/HCV adalah mengikuti infeksi HIV pada
orang dewasa. Hanya saja perlu memantau ketat karena risiko hepatotoksisitas yang
berhubungan dengan obat dan interaksi antar obat. Beberapa interaksi yang perlu
perhatian antara lain:

Tabel . Risiko dari kombinasi obat untuk HIV/HCV


Kombinasi Obat Risiko Anjuran

Ribavirin + ddI Pankreatitis / asidosis tidak boleh diberikan secara


laktat bersamaan
Ribavirin + AZT Anemia Perlu pengawasan ketat
Interferon + EFV Depresi berat Perlu pengawasan ketat

Tabel. Pengobatan Hepatitis C

Indikasi Kriteria Pemberian Keterangan


Pasien Hepatitis C kronik Anti HCV + dan HCV
Pegylated interferon dan
dengan compensated liver RNA +
ribavirin bersifat teratogenik,
disease dengan riwayat Peningkatan SGPT pemeriksaan kehamilan dan
belum pernah
Tidak dalam keadaan penggunaan alat KB perlu
mendapatkan interferon
menyusui atau hamil dilakukan.
Sebelumnya

Pengobatan yang diberikan adalah Pegylated Interferon Alfa 2A/2B +


Ribavirin. Perlu dilakukan pemeriksaan genotyping HCV sebelum pengobatan.
Lama pemberian tergantung dari genotype dari Hepatitis C. Pada genotype 2 & 3
diberikan selama 24 minggu dan genotype 1 & 4 diberikan selama 48 minggu.
Dosis pegylated interferon Alfa 2A+ Ribavirin adalah 180g/minggu + Ribavirin
1000( BB < 75kg) 1200 mg ( BB > 75kg). Dosis Pegylated interferon Alfa 2 B
+ribavirin adalah 1,5g/kg/minggu + Ribavirin 800 ( < 65kg) 1200 mg ( > 65kg).

a. Pemantauan pengobatan hepatitis C


Untuk memantau pengobatan hepatitis C perlu dilakukan pemeriksaan:
Serum transaminase, yang dilakukan setiap minggu selama 4 minggu dan
selanjutnya setiap bulan atau jika diperlukan
Jumlah HCV RNA, yang dilakukan setelah pengobatan 4 minggu (pilihan), 12
minggu, 24 minggu dan 48 minggu untuk melihat respon pengobatan ditinjau
dari segi virologi seperti terpapar pada Tabel 14 berikut ini.

Tabel. Respon Virologis Pengobatan Hepatitis C


Respon Virologi Definisi
Rapid virological response HCV RNA tidak terdeteksi pada pengobatan minggu
(RVR) ke 4
Early virological response Penurunan HCV RNA > 2 log dibandingkan dengan
(EVR) data dasar atau HCV RNA menjadi tidak terdeteksi
pada pengobatan minggu ke 12.(Complete EVR)
End-of-treatment response HCV RNA menjadi tidak terdeteksi pada minggu ke 24
(ETR) atau 48
Sustained virological response HCV RNA tetap tidak terdeteksi 24 minggu setelah
(SVR) penghentian pengobatan
Breakthrough HCV RNA timbul kembali sementara dalam
pengobatan
Relapse HCV RNA timbul kembali setelah pengobatan
dihentikan

Respon Virologi Definisi


Non Responder Gagal untuk clearance HCV RNA setelah 24 minggu
pengobatan
Null responder Penurunan < 2 log HCV RNA setelah 24 minggu
pengobatan
Partial responder Penurunan > 2 log HCV RNA dan HCV RNA masih
terdeteksi setelah 24 minggu pengobatan
Sumber : Ghanny et all. Diagnosis, Management, and Treatment of Hepatitis C: An
Update. HEPATOLOGY, Vol. 49, No. 4, 2009

2.7.3 Terapi ARV untuk Ko-infeksi Tuberkulosis


Terapi ARV diketahui dapat menurunkan laju TB sampai sebesar 90% pada
tingkat individu dan sampai sekitar 60% pada tingkat populasi, dan menurunkan
rekurensi TB sebesar 50%.
Rekomendasi terapi ARV pada Ko-Infeksi Tuberkulosis
Mulai terapi ARV pada semua individu HIV dengan TB aktif, berapapun
jumlah CD4.
Gunakan EFV sebagai pilihan NNRTI pada pasien yang memulai terapi ARV
selama dalam terapi TB.
Mulai terapi ARV sesegera mungkin setelah terapi TB dapat ditoleransi.
Secepatnya 2 minggu dan tidak lebih dari 8 minggu.
Rekomendasi tersebut diharapkan dapat menurunkan angka kematian ko-infeksi
TB-HIV, potensi menurunkan transmisi bila semua pasien HIV memulai terapi
ARV lebih cepat, dan meningkatkan kualitas hidup, menurunkan kekambuhan
TB dan meningkatkan manajemen TB pada pasien ko-infeksi TB-HIV.

Tabel. Terapi ARV untuk Pasien Ko-infeksi TB-HIV

Paduan ARV
Paduan ARV pada Saat TB Pilihan Terapi ARV
Muncul
Lini pertama 2 NRTI + EFV Teruskan dengan 2 NRTI + EFV
2 NRTI + NVP Ganti dengan EFV atau
Teruskan dengan 2 NRTI + NVP. Triple
NRTI dapat dipertimbangkan digunakan
selama 3 bulan jika NVP dan EFV tidak
dapat digunakan.
Lini kedua 2 NRTI + PI/r Mengingat rifampisin tidak dapat digunakan
bersamaan dengan LPV/r,
dianjurkanmenggunakan paduan OAT
tanpa rifampisin. Jika rifampisin perlu
diberikan maka pilihan lain adalah
menggunakan gi LPV/r dengan dosis 800
mg/200 mg dua kali sehari). Perlu evaluasi
fungsi hati ketat jika menggunakan
Rifampisin dan dosis ganda LPV/r

Bila terapi TB sudah lengkap dapat dipertimbangkan kembali untuk


mengganti paduan ARV ke NVP kembali

2.7.4 Terapi ARV pada Pengguna NAPZA suntik


Kriteria klinis dan imunologis untuk pemberian terapi ARV pada pasien
dengan ketergantungan NAPZA tidak berbeda dengan rekomendasi umum. Pengguna
NAPZA suntik yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan terapi ARV harus
pula dijamin dapat menjangkau obat. Perhatian khusus untuk populasi tersebut adalah
berhubungan dengan gaya hidup yang tidak menentu sepanjang hidupnya sehingga
dapat mempengaruhi kepatuhan terapinya. Selain itu perlu diperhatikan kemungkinan
terjadi interaksi antara terapi ARV dengan zat-zat yang mereka gunakan seperti
misalnya Metadon. Dianjurkan pengembangan suatu program yang memadukan
perawatan ketergantungan obat (termasuk terapi substitusi) dengan HIV sehingga
pasien terpantau dengan lebih baik. Penggunaan paduan ARV dengan dosis sekali
sehari masih dalam penelitian untuk diterapkan sehingga bisa untuk mempermudah
terapi.

2.7.5 Terapi ARV untuk individu dengan penggunaan Metadon


Pemberian metadon bersamaan dengan EFV, NVP atau RTV untuk ODHA
dengan riwayat NAPZA suntik berakibat menurunnya kadar metadon dalam darah
dan tanda-tanda ketagihan opiat. Pemantauan tanda ketagihan harus dilakukan dan
dosis metadon perlu dinaikkan ke tingkat yang sesuai untuk mengurangi gejala
ketagihan tersebut.
Sangat direkomendasi untuk memulai terapi ARV tanpa harus menghentikan
metadon dan sebaliknya
Paduan yang direkomendasi adalah AZT atau TDF + 3TC + EFV atau NVP
ARV bukan merupakan kontraindikasi pada penasun (pengguna napza suntik)
yang masih menggunakan NAPZA atau sedang dalam terapi rumatan Metadon
Keputusan memberikan terapi ARV pada penasun yang masih aktif
menggunakan NAPZA ditentukan oleh tim medis dengan mempertimbangkan
kepatuhan
Perlunya memperhatikan (kemungkinan) interaksi obat antara ARV, Metadon
dan obat lain yang digunakan, sehingga dosis metadon kadang perlu dinaikkan.

2.7.6 Terapi ARV pada keadaan Nefropati yang berhubungan dengan HIV
(HIV-associated nephropathy = HIVAN)
HIVAN biasanya ditemukan pada stadium lanjut infeksi HIV dan bisa
ditemukan pada berapapun jumlah CD4. Semua pasien HIV dengan proteinuria perlu
dicurigai sebagai HIVAN. HIVAN hanya dapat didiagnosis berdasarkan biopsi ginjal
Paduan yang dianjurkan adalah AZT + 3TC + EFV atau NVP
Tenofovir (TDF) mempunyai efek samping pada fungsi ginjal, maka tidak
digunakan bila pasien dalam keadaan gangguan fungsi ginjal. Sangat direkomendasi
untuk memulai terapi ARV pada kasus HIVAN tanpa memandang CD4.

2.7.7 Terapi ARV untuk Profilaksis Pasca Pajanan (PPP atau Post Exposure
Prophylaxis = PEP)
Terapi antiretroviral (ARV) dapat pula digunakan untuk Pencegahan Pasca
Pajanan (PPP atau PEP = post exposure prophylaxis), terutama untuk kasus pajanan
di tempat kerja (Occupational exposure). Risiko penularan HIV melalu tusukan
jarum suntik adalah kurang dari 1%. PPP dapat juga dipergunakan dalam beberapa
kasus seksual yang khusus misal perkosaan atau keadaan pecah kondom pada
pasangan suami istri.
Beberapa hal tentang PPP:
Waktu yang terbaik adalah diberikan sebelum 4 jam dan maksimal dalam 48-72
jam setelah kejadian
Paduan yang dianjurkan adalah AZT + 3TC + EFV atau AZT + 3TC + LPV/r
(Lopinavir/Ritonavir)
Nevirapine (NVP) TIDAK digunakan untuk PPP
ARV untuk PEP diberikan selama 1 bulan
Perlu dilakukan tes HIV sebelum memulai PPP
ARV TIDAK diberikan untuk tujuan PPP jika tes HIV menunjukkan hasil reaktif
(karena berarti yang terpajan sudah HIV positif sebelum kejadian)
Perlu dilakukan pemantauan efek samping dari obat ARV yang diminum
Perlu dilakukan Tes HIV pada bulan ke 3 dan 6 setelah pemberian PPP
Pada kasus kecelakaan kerja pada petugas yang menderita Hepatitis B maka PPP
yang digunakan sebaiknya mengandung TDF/3TC untuk mencegah terjadinya
hepatic flare.

2.8 kegagalan terapi ARV

Apabila setelah memulai terapi minimal 6 bulan dengan kepatuhan yang


tinggi tetapi tidak terjadi respon terapi yang kita harapkan, maka perlu dicurigai
kemungkinan terjadinya Gagal Terapi. Kriteria gagal terapi adalah menggunakan 3
kriteria, yaitu kriteria klinis, imunologis dan virologis. Jumlah virus (VL) yang
menetap di atas 5000 copies/ml mengkonfirmasi gagal terapi. Bila pemeriksaan VL
tidak tersedia, untuk menentukan gagal terapi menggunakan kriteria imunologis
untuk memastikan gagal terapi secara klinis.
Kegagalan terapi menurut kriteria WHO
1. Kegagalan klinis:
Munculnya IO dari kelompok stadium 4 setelah minimal 6 bulan dalam terapi
ARV. Beberapa penyakit yang termasuk dalam stadium klinis 3 (TB paru,
infeksi bakteri berat) dapat merupakan petunjuk kegagalan terapi.
2. Kegagalan Imunologis
Definisi dari kegagalan imunologis adalah gagal mencapai dan
mempertahankan jumlah CD4 yang adekuat, walaupun telah terjadi
penurunan/ penekanan jumlah virus
3. Kegagalan Virologis:
4. Disebut gagal virologis jika:
viral load tetap > 5.000 copies/ml (lihat gambar.4), atau
viral load menjadi terdeteksi lagi setelah sebelumnya tidak terdeteksi.
Kriteria klinis untuk gagal terapi yang timbul dalam 6 bulan pertama
pengobatan tidak dapat dijadikan dasar untuk mengatakan gagal terapi. Perlu dilihat
kemungkinan penyebab lain timbulnya keadaan klinis tersebut, misal IRIS.

Alur Tatalaksana Gagal Terapi ARV kriteria WHO

Gambar 2. Alur Tatalaksana Gagal Terapi Menurut Kriteria Klinis


Pada kasus gagal terapi tindakan yang direkomendasikan adalah mengganti
(switch) paduan lini-pertama menjadi paduan lini-kedua

2. 9 tatalaksana infeksi oportunistik dengan pendekatan sindrom

2.9.1 Disfagia
Gambar 3 tatalaksana disfagia

Keterangan:
a. Kandidiasis esofageal
Kandidiasis dapat menyerang esofagus pasien dengan imunokompromis,
menyebabkan kesulitan dan sakit menelan. Diagnosis dibuat berdasarkan respons
terhadap terapi sistemik antifungal. Tidak perlu dilakukan Endoskopi , kecuali
bila ada kegagalan terapi.
Terapi:
Flukonasol 200 mg setiap hari selama 14 hari atau
Itrakonasol 400 mg setiap hari selama 14 hari atau
Ketokonasol 200 mg setiap hari selama 14 hari
b. Asiklovir 5 X 200 mg atau 3 x 400mg selama 14 hari
c. Penyebab lain dari esofagitis adalah infeksi CMV, sarkoma Kaposi dan limfoma.
Penyebab lain yang tidak terkait dengan HIV seperti refluks esofagitis. Dalam
hal ini perlu endoskopi untuk menegakkan diagnosis.

2.9.2 Limfadenopati
Gambar 4 tatalaksana limfadenopati
Keterangan
[a] Limfadenopati generalisata Persisten (PGL) merupakan kondisi yang biasa
terjadi pada ODHA. Pada pasien yang asimtomatis maka tidak diperlukan
pemeriksaan atau pengobatan lebih lanjut. Namun, pada pasien dengan limfasenopati
yang simtomatis, pembesaran KGB yang cepat, KGB, asimetris dan gejala sistemik,
maka perlu evaluasi dan pengobatan lebih lanjut. Penyebab limfadenopati selain
infeksi HIV adalah TB, kriptokokosis, histoplasmosis, limfoma dan sarkoma Kaposi.
[b] TB ekstra paru sering terjadi pada ODHA. Kecurigaan akan adanya infeksi TB
berdasarkan atas gejala-gejala seperti demam, kehilangan berat badan, pembesaran
KGB berfluktuasi dan tidak nyeri. Terapi sesuai pedoman nasional.

2.9.3 Diare kronik

Gambar 5 tatalaksana diare kronik


Keterangan:
[a] Definisi Diare Kronik: buang air besar dengan tinja cair tiga kali atau lebih
sehari secara terus menerus selama lebih dari satu bulan
[b] Penilaian dehidrasi dehidrasi berat dehidrasi ringan/sedang tanpa dehidrasi
dehidrasi terjadi karena pasien kekurangan cairan dan elektrolit. Dehidrasi berat
ditandai dengan keadaan umum: gelisah, rewel, nadi cepat, nafas dalam dan cepat,
pada turgor kulit kembali lambat, mata cekung, mukosa mulut kering, jumlah urin
berkurang dan warna lebih gelap. Penanganan dehidrasi lihat tabel di bawah ini.

[c] Penanganan dehidrasi lihat tabel di bawah


[d] Tanda peritonitis adalah adanya keluhan nyeri abdomen, pada pemeriksaan fisik
ditemukan nyeri tekan, nyeri lepas pada semua abdomen, adanya chess board
phenomen.
[e] Pada USG, bila peritonitis disebabkan oleh TB maka dijumpai gambaran
pembesaran kelenjar para aorta, asites, penebalan mukosa usus besar.
[f] Pengobatan TB: menggunakan OAT kategori 1 dengan paduan 2HREZ/4HR
[g] Pemeriksaan lab untuk kasus diare, selain dilakukan untuk mendapatkan parasit,
perlu dilakukan pemeriksaan BTA dengan menggunakan sample tinja.
[h] Quinolon diberikan bila pasien belum pernah mendapat antibiotik sebelumnya.
Jika pasien pernah mendapat antibiotik berulang untuk episode diare maka pilihan
pertama adalah eritromisin, dengan pertimbangan bahwa penyebabnya adalah
kampilobakter atau metronidasol untuk klostridium*.
- Kalsium laktat 1500mg/hari, serat halus (agar-agar) dapat digunakan untuk
menurunkan volume cairan diare dan menrubah konsistensi tinja lebih padat
- Loperamid dapat diberikan pula jika terjadi diare massif dengan syarat harus diikuti
dengan pengobatan terhadap penyebab diare.
Tabel 24. Pengobatan diare spesifik berdasarkan kuman patogen yang umum

[i] Pemberian ARV mengikuti panduan pemberian ARV bersamaan infeksi


oportunistik.
Kriptosporidiosis: Saat ini tidak ada pengobatan yang efektif kecuali terapi ARV.
Yang terpenting adalah menjaga cairan dan elektrolit, dan obat antidiare seperti
Loperamid dapat bermanfaat. Pada ODHA, salmonellosis, shigellosis, infeksi
Campylobacter dan isosporiasis sering kambuh. Jika terjadi kambuh setelah
pemberian terapi awal antimikroba, harus diberi terapi selama 6-12 minggu.
Bila ada perbaikan kondisi pasien setelah terapi metronidasol selama 7 hari, obat
perlu dilanjutkan hingga total 14 hari. Bila tidak ada perbaikan, pertimbangkan
penyakit diare kronis lain yang terkait infeksi HIV termasuk mempertimbangkan
terapi ARV (lihat Tabel 25. Diagnosis Klinis dan Tatalaksana Infeksi Oportunistik).

Terapi empiris untuk diare kronis tanpa darah


2.9.4 gangguan pernafasan

Gambar 6. Tatalaksana gangguan pernafasan


Keterangan:
[a] Gangguan pernapasan sering ditemukan pada pasien dengan infeksi HIV dan
kekebalan tubuh yang menurun adalah demam, batuk kering (khas PCP), batuk
produktif dengan dahak dan/atau hemoptisis (khas pneumonia dan TB), sesak napas
dan gangguan pernapasan yang berat.
Penyebab gejala pernafasan
Infeksi
Mycobacterium tuberculosis (batuk >23 minggu)
Pneumonia pnemocystis jiroveci (batuk, seringkali selama 12 bulan)
Pneumonia bakterial
Infeksi jamur (kriptokokosis, histoplasmosis)
Mikobakteria atipik (MAC)
Pneumoniatis CMV
Keganasan: limfoma, sarkoma Kaposi
Lain-lain
Efusi pleural/empiema (TB, infeksi bacterial atau keganasan)
Pnemotorak (TB atau PCP)
Emboli paru (biasa pada penasun)
Efusi perikardial (biasa disertai TB)

[b] PCP: Biasanya terjadi secara perlahan-lahan selama minggu sampai bulan dengan
batuk kering, demam dan sesak napas. Untuk diagnosis PCP sebaiknya diagnosis
klinis yang diperkuat dengan temuan pada ronsen dada (lihat Tabel 25).
[c] Pemeriksaan sputum BTA diindikasikan pada pasien dengan batuk selama> 2-3
minggu. Setidaknya dua pemeriksaan dahak BTA yang terpisah.
[d] TB: Tidak ada gambaran ronsen dada yang benar-benar khas TB paru. Pola klasik
lebih umum terlihat pada ODHA-negatif; pola atipikal lebih umum pada ODHA-
positif. Efusi pleura merupakan gambaran yang menonjol. Pengeluaran cairan pleura
dan pemeriksaan mikroskopik dari cairan pleura dapat membantu untuk diagnosis.
Terapi sesuai dengan pedoman nasional TB.
Pola Klasik Pola Atipik
Infiltrat di lobus atas Infiltrat intersisial (terutama di
Kavitas zona lebih rendah)
Jaringan fibrosis paru Infiltrat bilateral
Tidak ada kavitas

Anda mungkin juga menyukai