Karya Tulis Ilmiah Ghian
Karya Tulis Ilmiah Ghian
Karya Tulis Ilmiah Ghian
BLOK 3.3
GANGGUAN NEUROPSIKIATRI
HARI 1 MINGGU 1
SKENARIO 1
RUANG EMERGENSI
GHIANA RIZKYTA
1510312040
KELOMPOK 15 C
TAHUN 2017
Kata Pengantar
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah atas karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya tulis yang berjudul Penyakit Jantung Bawaan Sianotik dan Non
Sianotik Terkait Dengan Perkembangan Anak.
Penulisan karya tulis ilmiah ini berhasil diselesaikan berkat bimbingan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dosen pembimbing mata kuliah Bahasa Indonesia Ibu Syamsiarni, SS, M.Hum
2. Orang tua yang telah memberikan bantuan moril dan material.
3. Semua pihak yang turut membantu.
Dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini, penulis telah mengerahkan seluruh
kemampuan untuk mencapai hasil terbaik. Namun kita tahu bahwa tidak ada yang
sesempurna Sang Pencipta, karena itu kami mengharapkan kemakluman dan kritik yang
bersifat membangun dari para pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Berdasarkan profil Kesehatan Indonesia 2008, angka kejadian Penyakit Jantung
dan Pembuluh Darah di Indonesia cenderung meningkat dan dapat menyebabkan
kecacatan dan kematian. Salah satu penyakit Jantung yang cukup banyak adalah Penyakit
Jantung Bawaan. Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit dengan kelainan pada
struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang terjadi akibat
adanya gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal
perkembangan janin. Studi di Negara maju dan di Negara berkembang menunjukkan
bahwa insidensi PJB berkisar 6-10 per 1000 kelahiran hidup dengan rata-rata 8 per 1000
kelahiran hidup. Dalam The 2nd Internasional Pediatric Cardiology Meeting di
Cairo,Egypt, 2008 dr.Sukman Tulus Putra mengungkapkan bahwa 45.000 bayi di
Indonesia terlahir dengan PJB tiap tahun.
Sejak lebih dari setengah abad yang lalu, terjadi peningkatan jumlah pasien PJB
yang dapat bertahan hidup setelah operasi reparatif untuk PJB ditemukan. Pada tahun
1970, dianggarkan 85% pasien PJB dapat bertahan sampai periode kehidupan dewasa.
Laporan Bethesda Conference yang ke-32 pada tahun 2000, menyebutkan bahwa
terdapat 800 000 orang pasien dengan PJB di Amerika Serikat masih bertahan hidup
sampai usia dewasa.Sebelum era operasi jantung, hanya 20% dari PJB yang dapat hidup
sampai dewasa. Kebanyakan penderita meninggal karena gagal jantung dalam usia
kurang dari 1 tahun. Hal ini turut memberi kontribusi terhadap estimasi 15 juta kematian
anak tiap tahun didunia.
Penyakit jantung bawaan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu penyakit
jantung bawaan non-sianotik dan sianotik. Jumlah pasien PJB non-sianotik lebih besar
daripada yang sianotik, yakni sekitar 3 sampai 4 kali. Anak yang mengidap PJB biasanya
mengalami sesak napas saat pemberian ASI dan selalu berkeringat pada dahi terutama
dalam keadaan setelah melakukan aktifitas fisik. Selain itu, anak-anak dengan PJB
seringkali terganggu asupan makanannya sehingga berdampak pula pada tumbuh-
kembang anak. Pertumbuhan dan perkembangan adalah ciri khas anak-anak.
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan suatu proses yang kontinu dan
berkelanjutan.. Pertumbuhan terjadi secara simultan dengan perkembangan, sedangkan
perkembangan merupakan hasil interaksi kematangan sususan saraf pusat dengan organ
yang dipengaruhinya. Gangguan perkembangan anak dapat dideteksi dengan
menggunakan tes Denver II. Di dalam tes denver ini terdapat 4 aspek yang dinilai yakni
gerak kasar atau motorik kasar, gerak halus atau motorik halus, kemampuan bicara dan
bahasa, serta personal sosial. Keempat aspek tersebut sangat berperan dalam kehidupan
manusia yang utuh, karena itu deteksi dini terhadap gangguan perkembangan sangat
penting agar intervensi lebih mudah dilakukan.
Sejauh mana perbedaan perkembangan personal sosial, bahasa, motorik kasar, dan
motorik halus pada anak dengan PJB sianotik dan non-sianotik saat ini belum ada data
yang tersedia di Indonesia. Oleh sebab itu penulis bertujuan memberikan informasi
1
kepada pembaca agar dapat mengetahui kemampuan bicara dan bahasa, personal
sosial, serta kemampuan motorik kasar dan halus pada anak penderita PJB sianotik dan
non-sianotik.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
mempermudah dalam memepelajari dan memahaminya, pembahasan aspek demi
aspek bisa dilakukan
Perkembangan dari setiap aspek kepribadian tidak selalu bersama- sama atau
sejajar, perkembangan sesuatu aspek mungkin mendahului atau mungkin juga
mengikuti aspek lainnya, tergantung dari faktor lingkungan tumbuh anak. Demikian
uraian singkat dari aspek-aspek perkembangan:
1. Aspek Fisik dan Motorik
Aspek ini mengalami perkembangan yang sangat menonjol adalah pada awal
kehidupan anak, yaitu pada saat dalam kandungan dan tahun- tahun pertama
kehidupannya. Selama sembilan bulan dalam kandungan, ukuran fisik bayi
tumbuh dan berkembangan dari seperduaratus mili meter menjadi 50 cm
panjangnya. Selama dua tahun pertama, bayi yang tidak berdaya pada awal
kelahirannya, telah menjadi anak kecil yang bisa duduk, merangkak, berdiri,
bahkan pandai berjalan dan berlari, bisa memegang dan mempermainkan berbagai
benda atau alat pada akhir tahun kedua.
2. Aspek Intelektual
Aspek kognitif atau intelektual perkembangannya diawali dengan
perkembangan kemampuan mengamati, melihat hubungan dan memecahkan
masalah sederhana, kemudian berkembang ke arah pemahaman dan memecahkan
masalah yang lebih rumit. Aspek ini berkembang pesat pada masa mulai masuk
sekolah dasar (6-7 tahun). Berkembang konstan selama masa belajar dan
mencapai puncaknya pada masa sekolah menengah atas (usia 16-17 tahun).
Walaupun individu semakin pandai setelah belajar di perguruan tinggi, namun
para ahli berpendapat bahwa setelah usia 17 tahun atau 18 tahun peningkatan
kemampuan terjadi sangat lamban, yang ada hanyalah pengayaan, pendalaman
dan perluasan wawasan.
3. Aspek Sosial
Aspek sosial anak berkaitan dengan hubungan anak dengan orang- orang di
sekitarnya. Lama, sebelum matanya dapat melihat dengan jelas, bayi yang baru
dilahirkan akan merespon bunyi atau suara dan menuju ke asal suara sebagaimana
layaknya orang dewasa. Bayi harus diberikan perawatan dengan penuh
kelembutan, kasih sayang dan perhatian yang konsisten, sebab pada masa itu bayi
sedang belajar tentang kasih sayang dan mempercayai orang lain. Anak yang
merasa diberikan kasih sayang dan keamanan pada masa awal perkembangannya,
maka ia kelak mudah mengembangkan persahabatan dan kedekatan dengan orang
lain. Ketrampilan sosial cukup kompleks, dan anak perlu waktu untuk
memahaminya. Anak perlu belajar tentang bagaimana merasakannya, bagaimana
mendengar, berbagi, bekerjasama, mengambil atau memberi, dan mengatasi
konflik
4. Aspek Bahasa
Aspek bahasa berkembang dimulai dengan menirukan bunyi dan perabaan.
Perkembangan selanjutnya berhubungan erat dengan perkembangan kemampuan
intelektual dan sosial. Bahasa merupakan alat untuk berfikir. Berfikir merupakan
suatu proses memahami dan melihat hubungan. Proses ini tidak mungkin dapat
4
berlangsung dengan baik tanpa alat bantu, yaitu bahasa. Perkembangan kedua
aspek ini saling menunjang. Bahasa juga merupakan suatu alat untuk
berkomunikasi dengan orang lain, dan komunikasi berlangsung dalam suatu
interaksi sosial. Dengan demikian perkembangan kemampuan berbahasa juga
berhubungan erat dan saling menunjang dengan perkembangan kemampuan sosial.
5. Aspek Emosi
Perkembangan aspek afektif atau perasaan (emosi) berjalan konstan, kecuali
pada masa remaja awal (usia 13-14 tahun) dan remaja tengah (usia 15-16 tahun).
Pada masa remaja awal ditandai oleh rasa optimisme dan keceriaan dalam
hidupnya, diselingi dengan rasa bingung menghadapi perubahan-perubahan yang
terjadi pada dirinya. Pada masa remaja tengah rasa senang datang silih berganti
dengan rasa duka. Gejolak ini berakhir pada masa remaja akhir (usia 18-21 tahun).
Kalau pada masa remaja tengah anak terombang-ambing dalam sikap mendua,
ambivalensi, maka pada masa remaja akhir anak telah memiliki pendirian sikap
yang relatif mempunyai kepercayaan diri.28
6. Aspek Moral dan Keagamaan
Aspek moral dan keagamaan juga berkembang sejak kecil. Peranan
lingkungan terutama keluarga sangat dominan bagi perkembangan aspek ini. Pada
mulanya anak melakukan perbuatan bermoral atau keagamaan karena meniru,
kemudian menjadi perbuatan atas prakarsa sendiri.
5
2.2 Penyakit jantung bawaan
2.2.1 Pengertian penyakit jantung bawaan
Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan jantung yang sudah
didapat sejak lahir. Manifestasinya klinis bergantung dari berat ringan penyakit, mulai
dari asimtomatis sampai dengan adanya gejala gagal jantung pada neonatus.
Secara umum, insiden PJB adalah 8 sampai 10 dari 1000 kelahiran hidup.
Namun, frekuensi ini hanya estimasi dan kurang akurat. Banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa terdapat variasi secara geografik pada insiden PJB.1,2 Sebagian
besar PJB ini terjadi akibat kesalahan embriogenesis antara minggu ke-3 sampai
minggu ke- 8 gestasi, ketika struktur utama jantung sudah terbentuk dan mulai untuk
berfungsi.Penyakit jantung bawaan pada anak cukup banyak ditemukan di Indonesia,
dimana sekitar 6 sampai 10 dari 1000 bayi lahir, mengidap PJB. Sekitar 2-5 persen
kelainan ini erat kaitannya dengan abnormalitas kromosom. Misalnya pada penderita
sindrom Down, sekitar 60 persen selalu disertai kelainan jantung kongenital seperti
defek septum ventrikel, tetralogi fallot, duktus arteriosus persisten, dan defek septum
atrium.
6
Pada anak yang lebih besar ditanyakan kemampuannya berjalan, berlari atau naik
tangga. Pada pasien tertentu seperti pada tetralogi Fallot anak sering jongkok
setelah lelah berjalan.
d. Infeksi saluran napas berulang. Gejala ini timbul akibat meningkatnya aliran darah
ke paru sehingga mengganggu sistem pertahanan paru. Sering pasien dirujuk ke
ahli jantung anak karena anak sering menderita demam, batuk dan pilek.
Sebaliknya tidak sedikit pasien PJB yang sebelum- nya sudah diobati sebagai
tuberkulosis sebelum di rujuk ke ahli jantung anak.
e. Bising jantung. Terdengarnya bising jantung merupakan tanda penting dalam
menentukan penyakit jantung bawaan. Bahkan kadang-kadang tanda ini yang
merupakan alasan anak dirujuk untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Lokasi
bising, derajat serta penjalarannya dapat menentu- kan jenis kelainan jantung.
Namun tidak terdengarnya bising jantung pada pemeriksaan fisis, tidak
menyingkirkan adanya kelainan jantung bawaan. Jika pasien diduga menderita
kelainan jantung, sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan
diagnosis.
7
penambahan aliran darah pulmonal untuk mencegah sekuele hipoksia berat.Pemberian
PGE1 dapat menyebabkan dilatasi duktus arteriousus dan memberi aliran darah
pulmonal yang cukup sampai prosedur bedah dapat dilakukan.
b) Atresia Pulmonal
Transposisi arteri besar merupakan kelainan jantung yang paling banyak pada
neonatus. Insiden kelainan ini sekitar 25% dari seluruh kelainan jantung bawaan
sianotik atau 5-10% dari kselutuhan penyakit jantung bawaan dan kelainan ini
ditemukan lebih banyak paada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Pada
kelainan ini terjadi perubahan posisi aorta dan a. pulmonalis, yakni aorta keluar dari
ventrikel kanan, sedangkan a. pulmonalis keluar dari ventrikel kiri. Dengan demikian
maka kedua sirkulasi sistemik dan paru tersebut terpisah, dan kehidupan hanya dapat
berlangsung apabila ada komunikasi antara dua sirkulasi ini. Manifestasi klinis
bergantung pada adanya percampuran yang adekuat antara sirkulasi sistemik dan paru
dan adanya stenosis pulmonal. Stenosis pulmonal
terdapat pada 10% kasus.1 Pengobatan dilakukan untuk mempertahankan duktus
arteriosus agar darah dapat tercampur sampai tindakan bedah dilakukan. Operasi
paling baik dilakukan pada saat anak berusia 1-2 tahun dengan prosedur Mustard.
8
2.2.3.2 Penyakit jantung bawaan non sianotik
PJB non-sianotik merupakan bagian terbesar dari seluruh PJB. Pada PJB non-
sianotik ini,tidak ditemukan adanya tanda sianosis. Kelompok penyakit jantung ini
dapat dibagi menjadi:
(1) PJB non-sianotik dengan pirau kiri ke kanan
(2) PJB non-sianotik tanpa pirau.
a) Stenosis Pulmonal
9
Pada stenosis pulmonalis (SP) terjadi obstruksi aliran keluar ventrikel kanan
atau arteri pulmonalis dan cabang-cabangnya. Status gizi penderita dengan stenosis
pulmonal umumnya baik dengan pertambahan berat badan yang memuaskan. Bayi
dan anak dengan stenosis ringan umumnya asimptomatik dan tidak sianosis
sedangkan neonatus dengan stenosis berat atau kritis akan terlihat takipneu dan
sianosis.
b) Stenosis Aorta
Stenosis Aorta (SA) merupakan penyempitan aorta yang dapat terjadi pada
tingkat subvalvular, valvular, atau supravalvular.Stenosis aorta derajat ringan
biasanya tidak bergejala dan menampakkan pertumbuhan dan pola perkembangan
normal. Sedangkan pada stenosis aorta derajat berat akan timbul gagal jantung
kongestif pada usia minggu-minggu pertama kehidupannya.
c) Koarktasio Aorta
Koarktasio Aorta (KA) adalah penyempitan terlokalisasi pada aorta yang
umumnya terjadi pada daerah duktus arteriosus. Tanda yang klasik pada kelainan ini
adalah tidak terabanya nadi femoralis serta dorsalis pedis sedangkan nadi brakialis
teraba normal. Koarktasio aorta pada anak besar seringkali asimtomatik. Sebagian
besar dari pasien mengeluh sakit kepala, nyeri di tungkai dan kaki, atau terjadi
epistaksis.
Gangguan sistem saraf pusat, gangguan perkembangan fungsional, dan kognitif telah
banyak dilaporkan pada anak-anak dengan PJB. Masalah dalam pemberian makan
menyebabkan gagal tumbuh, yang umum terjadi pada bayi dan anak-anak muda dengan
penyakit jantung kongenital, dan dapat mengakibatkan gangguan perkembangan dan
intelektual. Keterlambatan perkembangan pada anak dengan penyakit kronis disebabkan
multifaktorial. Beberapa faktor yang penting dalam menjelaskan keterlambatan
perkembangan diantaranya:
Pertama, anak-anak dengan penyakit jantung sering kemampuan fisiknya kurang
mampu untuk berinteraksi dengan lingkungan mereka, sehingga mereka membatasi
aktivitasnya. Gangguan kemampuan fisik juga menghambat perkembangan
keterampilan lain, seperti perilaku eksplorasi.
Kedua, kecemasan dan kekhawatiran pada anak yang sakit sering menyebabkan
orang tua overprotektif. Sejumlah ibu-ibu mengaku menjaga anak-anak mereka jauh
dari orang lain (misalnya, karena takut infeksi), sehingga membatasi interaksi sosial
dan membatasi gerakan anak mereka. Hal ini mempengaruhi perkembangan bicara
dan keterampilan sosialisasi khususnya, konsisten dengan penelitian bahwa anak-anak
dengan PJB dilakukan secara signifikan kurang baik dari rekan-rekan sehat mereka
pada skala pribadi / sosial dan berbicara dan mendengar.Sejumlah penelitian telah
menyelidiki toleransi latihan pada anak dengan berbagai bentuk penyakit jantung
bawaan. Tergantung pada keparahan malformasi, keberhasilan prosedur korektif dan
10
keberadaan gejala-gejala sisa, menyebabkan kinerja fisik menjadi terbatas. Bahkan
anak-anak dengan lesi yang tidak dikoreksi / masih ringan, atau mereka yang tidak
ada gejala sisa setelah operasi sebelumnya, dapat terlihat pengurangan dalam kinerja
fisik mereka. Dampak dari kelainan jantung bawaan pada perkembangan anak,
tergantung pada jenis dan beratnya kelainan serta waktu dan keberhasilan terapi.
Untuk beberapa malformasi yang komplek, solusi yang tersedia hanya paliatif. Lesi
seperti TF, DSA, dan TAB dapat diperbaiki pada masa bayi dengan waktu jangka
panjang. Setelah koreksi berhasil baik pada masa bayi, kebanyakan anak yang lahir
dengan malformasi kongenital sianotik dapat melakukan kegiatan fisik yang normal.
Sementara pembatasan aktivitas fisik dapat direkomendasikan pada anak dengan
temuan klinis yang signifikan pasca-operasi, sementara kelompok anak tanpa gejala
klinik setelah operasi tidak memerlukan pembatasan dan harus melakukan aktifitas
fisik normal. Hal ini tidak menjelaskan defisit perkembangan motorik yang diamati
pada anak-anak dengan PJB. Orang tua dan pengasuh lainnya memainkan peran
penting dalam perkembangan anak. Status kesehatan anak merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi gaya asuh orang tua. Sikap orang tua secara signifikan
dapat mempengaruhi seluruh perkembangan anak. Orang tua dari anak-anak dengan
PJB dapat mengubah dan membesarkan mereka untuk mengasimilasi kebutuhan anak.
Sebuah penelitian baru mengungkapkan bahwa ibu yang anak-anaknya dengan PJB
dilaporkan mempunyai tingkat kewaspadaan yang tinggi daripada ibu dari anak yang
sehat. Bahkan ada penelitian yang melaporkan peningkatan kadar stress pada orang
tua dengan anak yang terkena PJB. Stres orang tua cenderung lebih tinggi dengan
bertambahnya usia anak, hal ini disebabkan dengan bertambahnya usia membuat
orang tua sulit untuk menentukan batas-batas dan menjaga kontrol terhadap anak
mereka.
Ketiga, efek dari sakit yang berkepanjangan dan rawat inap yang mungkin penting.
Beberapa anak dalam kelompok jantung telah menghabiskan jangka waktu yang lama
di rumah sakit, mengakibatkan inkonsistensi dari lingkungan fisik dan jumlah orang
yang terlibat dengan anak, yang selanjutnya bisa dikompromikan perkembangan
mereka.
Keempat, status gizi anak yang baik diperlukan untuk mempertahankan derajat
kebugaran dan kesehatan, serta membantu pertumbuhan bagi anak. Status gizi
merupakan ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi, yang dapat diukur dengan
mengukur berat badan dan panjang badan. Berdasarkan WHO 2005, salah satu
penentuan status gizi adalah menurut Indeks Masa Tubuh menurut umur, dengan
ambang batas sebagai berikut:
11
Usia 5- 18 tahun:
- Jika > +2 SD dikatakan obesitas
- Jika > +1 sampai + 2 SD dikatakan gemuk
- Jika -2 sampai 1 SD dikatakan normal
- Jika -3 sampai < -2 SD dikatakan kurus
- Jika < -3 SD dikatakan sangat kurus
12
Oksigen sering diberikan pada neonatus yang dicurigai menderita PJB tanpa
mempertimbangkan tujuan dan dampak negatifnya. Pemberian oksigen pada neonatus
mengakibatkan vasokonstriksi arteria sistemik dan vasodilatasi arteria pulmonalis, hal
ini memperburuk PJB dengan pirau kiri ke kanan. Pemberian oksigen pada neonatus
ductus dependent sistemic circulation atau ductus dependent pulmonary circulation
malah mempercepat penutupan duktus dan memperburuk keadaan. Pada kedua
kondisi tersebut lebih baik mempertahankan saturasi oksigen tidal lebih dari 85%
dengan udara kamar (0,21% O2). Saturasi oksigen neonatus dengan PJB sianotik
selalu rendah dan tidak akan meningkat secara nyata dengan pemberian oksigen.
Namun demikian, pada neonatus yang mengalami distres, akan mengganggu
ventilasinya dan gangguan ini dapat akan berkurang dengan pemberian oksigen yang
dilembabkan dengan kecepatan 2-4 liter per menit dengan masker atau kateter
nasofaringeal. Pada neonatus dengan distres nafas yang berat maka bantuan ventilasi
mekanik sangat diperlukan.
3. Pemberian cairan dan nutrisi Harus dipertahankan dalam status normovolemik sesuai
umur dan berat badan. Pada neonatus yang dengan distres ringan dengan
pertimbangan masih dapat diberikan masukan oral susu formula dengan porsi kecil
tapi sering. Perlu perhatian khusus pada PJB kritis terhadap gangguan reflex
menghisap dan pengosongan lambung serta risiko aspirasi. Pemberian melalui sonde
akan menambah distres nafas dan merangsang reflex vagal. Pada kondisi shock,
pemberian cairan 10 15 ml/kgBB dalam 1-2 jam, kemudian dilihat respons terhadap
peningkatan tekanan darah, peingkatan produksi urine dan tanda vital yang lain.
Disfungsi miokard akibat asfiksia berat memerlukan pemberian dopamin dan
dobutamin.
13
mekanik dengan O2 rendah, dipertahankan minimal saturasi oksigen mencapai 65 %.
Bila keadaan sudah stabil kembali maka dapat dimulai lagi dosis awal, bila tidak
terjadi efek samping pada pemberian dosis 0,05 mikrogram/kgBB/menit tersebut,
maka dosis dapat diturunkan sampai 0,01 mikrogram/kgBB/menit atau lebih rendah
sehingga tercapai dosis minimal yang efektif dan aman. Selama pemberian
prostaglandin E1 perlu disiapkan ventilator dan pada sistem infusion pump tidak
boleh dilakukan flushed. Harus dipantau ketat terhadap efek samping lainnya yaitu :
disritmia, diare, apnea, hipoglikemia, NEC, hiperbilirubinemia, trombositopenia dan
koagulasi intravaskular diseminata, perlu juga diingat kontraindikasi bila ada
sindroma distres nafas dan sirkulasi fetal yang persisten. Bila ternyata hasil
konfirmasi diagnosis tidak menunjukkan PJB maka pemberian prostaglandin E1
segera dihentikan. Telah dicoba pemakaian prostaglandin E2 per oral,
mempunyai efek yang hampir sama dengan prostaglandin E1, lebih praktis dan
harganya lebih murah. Pada awalnya diberikan setiap jam, namun bila efek terapinya
sudah tercapai, maka obat ini dapat diberikan tiap 3-4 jam sampai 6 jam. Dapat
mempertahankan terbukanya duktus dalam beberapa bulan, namun duktus akan
menutup bila pemberiannya dihentikan. Untuk neonatus usia 2-4 minggu,
walaupun angka kesuksesan rendah , masih dianjurkan pemberian prostaglandin E1 .
Bila dalam 1-2 jam setelah pemberian dosis maksimum (0,10
mikrogram/kgBB/menit) ternyata tidak terjadi reopen duktus, maka pemberiannya
harus segera distop dan direncanakan untuk urgent surrgical intervention.
14
c) regurgitasi katup,
c) hipertensi sistemik,
d) hipertensi pulmonal. Dengan meningkatkan kontraktilitas miokard, menurunkan
sinoatrial node rate, dilatasi renal vascular bed, dan menurunkan tahanan sistemik,
maka penampilan jantung dapat ditingkatkan sehingga dapat meningkatkan sirkulasi
perifer dan mengurangi hipoksia jaringan. Disritmia jantung sering menyertai
hipoksemia berat, bila hipoksemia berat telah dikurangi dan kelainan metabolik
lainnya dikoreksi, maka disritmianya biasanya akan menghilang dengan sendirinya.
Tidak dianjurkan memberikan obat anti disritmia tanpa memperbaiki hipoksemia dan
kelainan metabolik lainnya yang menyertai, selain tidak bermanfaat juga malah
menimbulkan disritmia jenis lain yang lebih membahayakan.
16
ada respon, program bisa dulang sampai 2 -3 hari, kalau tetap tidak ada respons
maka segera dilakukan operasi ligasi duktus. Bila yang dihadapi adalah PJB
kritis yang bergantung kepada terbukanya duktus (ductus dependent systemic
circulation atau ductus dependent pulmonary circulation), maka meneruskan
pemberian prostaglandin E1 dengan dosis minimal yang optimal.
Intervensi non bedah Septostomi septum inter atrial dengan balon dapat
memperbaiki hipoksemia secara dramatis terutama pada transposisi pembuluh
darah besar dengan percampuran darah sistemik dan pulmonal yang tidak adekuat.
Dilatasi katup pada critical pulmonal/aortic stenosis dengan balloon valvuloplasty
memberikan hasil yang cukup dramatis. Pemasangan stent didalam duktus telah
dicoba di beberapa pusat pelayanan jantung di luar negeri, tapi masih
dipertimbangkan keuntungan dan kekurangannya serta masih perlu studi jangka
panjang. c. Tindakan bedah Di negara yang sudah maju, telah dilakukan operasi
koreksi jantung pada masa neonatus, sehingga tindakan bedah ini merupakan
tindakan rutin dari penatalaksanaan awal PJB sianotik. Di Indonesia hal ii belum
dapat dilaksanakan, seingga tindakan bedah biasanya merupakan langkah lanjutan
dari penatalaksanaan PJB sianotik. Tindakan bedah tersebut berupa (a) bedah
paliatif untuk meningkatkan aliran darah ke paru dengan pintasan Blalock-Taussig
atau modifikasinya, atau tindakan mengikat arteri pulmonalis untuk mengurang
aliran darah ke paru, dan (b) bedah definitif untuk menjamin fisiologi yang normal
dengan melakukan koreksi anatomik.
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan jantung yang
sudah didapat sejak lahir. Manifestasinya klinis bergantung dari berat ringan
penyakit, mulai dari asimtomatis sampai dengan adanya gejala gagal jantung
pada neonatus.
Penyakit jantung bawaan sianotik merupakan kelainan struktur dan
fungsi jantung sehingga mengakibatkan seluruh darah balik vena sistemik
yang mengandung darah rendah oksigen kembali beredar ke sirkulasi sistemik
dan menimbulkan gejala sianosis.PJB non-sianotik merupakan bagian terbesar
dari seluruh PJB. Pada PJB non-sianotik ini,tidak ditemukan adanya tanda
sianosis.
Terdapat perbedaan yang bermakna pada perkembangan personal
sosial anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik dan non-sianotik. Namun
tidak dterdapat perbedaan bermakna pada perkembangan bahasa anak,
perkembangan motorik kasar, perkembangan motorik halus, dam status gizi
anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik dan non sianotik.
3.2 Saran
3.2.1 Bagi pembaca
Diharapkan kepada masyarakat terutama orang tua agar waspada dan
cepat tanggap dalam merangsang perkembangan anak dengan penyakit
jantung bawaan sianotik dan non sianotik
3.2.2 Bagi peneliti
Diharapkan di masa yang akan datang dapat digunakan sebagai salah
satu sumber data untuk penelitian selanjutnya dan dilakukan penelitian
lebih lanjut
18
DAFTAR PUSTAKA
Ain, Nur, Didik Hariyanto, dan Sofina Rusdan.2012. Karakteristik Penderita Penyakit
Jantung Bawaan pada Anak di RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode Januari 2010 Mei
2012. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(3):928-935. http://jurnal.fk.unand.ac.id. (Diakses pada
tanggal 29 Mei 2016 pukul 11.00 WIB).
Direktorat Bina Kesehatan Anak. 2006 Pedoman pelaksanaan stimulasi, deteksi dan
intervensi dini tumbuh kembang anak di tingkat pelayanan kesehatan dasar. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
Djer, Mulyadi M., dan Bambang Madiyono. 2012.Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan.
Sari Pediatri, 2(3):155 162.
https://www.google.com/url?q=http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/2-3-
5.pdf&sa=U&ved=0ahUKEwjH0Yqty57NAhVELY8KHYe_AckQFggOMAA&usg=AFQjCNGizwhb
RuF7Mv_vsxY3QuCqfswJdQ . (Diakses pada tanggal 29 Mei 2016 pukul 11.00 WIB)
Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2011. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta: EGC
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Deteksi Dini dan Intervensi Dini Penyimpangan
Perkembangan. Surabaya: IDAI cabang Jawa Timur; 2005.
Roebiono Ps. Diagnosis dan tatalaksana penyakit jantung bawaan. [internet]. No date [cited
2011 Sept 8] http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/68321669235fd5a14595241e85
893e6bbb8907f2.pdf
19