Anda di halaman 1dari 7

28

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Analisis Univariat

Penelitian analitik observasional ini ditujukan untuk mengetahui

hubungan antara status gizi dengan konversi sputum pada responden

TB paru BTA positif kasus baru di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto. Sebanyak 40 sampel memenuhi kriteria inklusi dan

ekslusi dan dijadikan sampel dalam penelitian. Data responden ini

diambil dengan teknik consecutive sampling. Penelitian ini dilakukan

dengan cara mengambil data sekunder berupa nama, usia, jenis

kelamin, alamat, dan berat badan responden dari pojok DOTS Poli

Paru RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto dan data primer

berupa tinggi badan yang diperoleh dari pengukuran dengan

responden. Responden terlebih dahulu mengisi lembar informed

consent dan mengisi kuesioner untuk memastikan responden tersebut

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Responden dibagi menjadi 2

kelompok. Kelompok responden yang mengalami konversi sebanyak

20 responden dan kelompok yang gagal mengalami konversi sebanyak

20 orang. Data karakteristik responden pada kelompok konversi dapat

dilihat pada tabel 4.1


29

Tabel 4.1. Karakteristik Responden


Konversi Tidak
konversi
Jenis Laki-laki 6 30% 13 65%
Kelamin Perempuan 14 70% 7 35%
Total 20 100% 20 100%

Usia 12-25 3 15% 6 30%


26-45 8 40% 8 40%
46-65 7 35% 6 30%
>65 2 10% 0 0%
Total 20 100% 20 100%

Pendidikan SD 9 45% 6 30%


terakhir SMP 3 15% 9 45%
SMA 4 20% 5 25%
Perguruan Tinggi 4 20% 0 0%
Total 20 100% 20 100%

Pekerjaan Tidak Bekerja 3 15% 3 15%


Buruh 2 10% 5 25%
Swasta 4 20% 4 20%
Ibu Rumah Tangga 9 45% 6 30%
Pensiunan 1 5% 1 5%
Pedagang 0 0% 1 5%
Guru 1 5% 0 0%
Total 20 100% 20 100%
(Sumber: Data primer dan sekunder yang diolah)

Jenis kelamin responden pada kelompok konversi mayoritas

adalah perempuan dengan jumlah 14 orang (70%) sedangkan untuk

kelompok tidak konversi mayoritas adalah laki-laki dengan jumlah 13

orang (65%). Usia responden mayoritas untuk kedua kelompok adalah

rentang usia 26-45 dengan jumlah masing-masing 8 orang (40%)

untuk kelompok konversi dan 8 orang (40%) untuk kelompok tidak

konversi. Pendidikan terakhir responden pada kelompok konversi

mayoritas adalah SD dengan jumlah 9 orang (45%) sedangkan pada


30

kelompok tidak konversi mayoritas adalah SMP dengan jumlah 9

orang (45%). Pekerjaan responden pada kedua kelompok mayoritas

adalah ibu rumah tangga dengan jumlah 9 orang (45%) pada

kelompok konversi dan 6 orang (30%) pada kelompok tidak konversi.

2. Analisis Bivariabel

Analisis bivariabel digunakan untuk mengetahui hubungan

antara status gizi yang berskala nominal dengan konversi sputum yang

berskala nominal. Uji yang digunakan untuk mengetahui hubungan

tersebut adalah dengan menggunakan uji Chi-Square karena

memenuhi syarat yaitu nilai expected kurang dari 5 tidak lebih dari

20% dari total sel. Hasil yang didapatkan adalah terdapat hubungan

yang bermakna antara dua variabel yang diuji (p = 0,027) dengan

resiko relatif (RR) sebesar 2,06 yang berarti pasien dengan gizi buruk

memiliki resiko 2,06 kali lebih besar untuk terjadi gagal konversi

dibandingkan pasien dengan status gizi baik. RR dihitung dengan


+
rumus .
+

Tabel 4.2. Analisis bivariabel dengan uji Chi-Square


Konversi sputum p RR
Tidak konversi Konversi
Status gizi Buruk 13 68,4% 6 31,6% 0,027 2,06
Baik 7 33,3% 14 66,7%
Total 20 50% 20 50%
Keterangan. RR: Resiko Relatif
31

Stratifikasi digunakan untuk mengendalikan variabel perancu

yaitu perilaku merokok. Teknik stratifikasi yang sering digunakan

adalah dengan statistika Mantel-Haenszel (Sastroasmoro & Ismael,

2011). RR setelah stratifikasi adalah 2,40 untuk perokok dan 1,67

untuk bukan perokok, sedangkan RR Mantel-Haenszel adalah 3,31.

Stratifikasi Mantel-Haenszel dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3. Stratifikasi Mantel-Haenszel untuk mengendalikan variabel


perancu
Riwayat Status Tidak Konversi Total RR
merokok gizi konversi
Ya Buruk 8 2 10 2,40
Baik 1 2 3
Total 9 4 13
Tidak Buruk 5 4 9 1,67
Baik 6 12 18
Total 11 16 27
Total Buruk 13 6 19 2,06
Baik 7 14 21
Total 20 20 40

B. Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara status gizi dengan konversi sputum pada pasien TB paru

BTA positif kasus baru yang artinya pasien dengan status gizi yang buruk

lebih beresiko terjadi gagal konversi dibandingkan pasien dengan gizi baik.

Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Amaliah (2010) dan Nainggolan

(2013) yang menganalisis tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

terjadinya konversi sputum pada akhir pengobatan fase intensif. Amaliah

(2010) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan

konversi sputum dengan nilai p=0,001 dan OR=3,500 yang berarti pasien
32

dengan gizi kurang mempunyai resiko 3,5 kali lebih besar untuk terjadi

gagal konversi dibandingkan dengan pasien dengan gizi baik.

Stratifikasi Mantel-Haenszel digunakan untuk mengendalikan variabel

perancu yaitu perilaku merokok. Resiko relatif Mantel-Haenszel adalah 3,31

yang berarti pasien dengan status gizi yang buruk mempunyai resiko 3,31

kali lebih besar untuk terjadi gagal konversi dibandingkan pasien gizi baik

dengan memasukkan faktor perancu perilaku merokok. Resiko relatif

menjadi lebih besar setelah memasukkan faktor perancu sehingga perilaku

merokok merupakan faktor perancu yang berpengaruh. Zainul (2009)

mengatakan bahwa terdapat hubungan antara perilaku merokok dengan

konversi sputum pada pasien TB paru dengan nilai p=0,0001.

Salah satu manifestasi klinis dari TB paru adalah penurunan berat

badan yang signifikan. Terdapat hubungan dua arah antara gizi buruk

dengan TB paru. Pasien TB paru merupakan wasting disease yang

diakibatkan oleh penurunan nafsu makan yang mengakibatkan penurunan

asupan nutrisi dan malabsorpsi nutrien dan mikronutrien. Pasien TB paru

menggunakan lebih banyak protein yang berasal dari makanan untuk proses

oksidasi dibandingkan dengan orang yang sehat. Kegagalan penyaluran

protein makanan untuk sintesis protein endogen yang disebut anabolic

block inilah yang menyebabkan wasting dari penyakit TB paru (Gupta, et

al., 2009).

Kekurangan protein yang terus menerus akan menyebabkan

penurunan produksi interleukin (IL)-2 dan interferon (IFN) dari sel T dan
33

penurunan produksi tumor necrosis factor (TNF)- dari makrofag.

Kekurangan protein juga menyebabkan berkurangnya jumlah limfosit T dan

berbagai subsetnya seperti CD2+, CD4+, CD8+ di dalam sirkulasi dan

organ limfoid yang dibutuhkan dalam pembentukan granuloma, sehingga

menyebabkan kegagalan pembentukan granuloma pada jaringan paru.

Makrofag pada pasien TB paru memproduksi transforming growth factor

(TGF)- yang merupakan supresor sel T. TGF- diproduksi 10 kali lebih

banyak pada pasien dengan kekurangan protein dibandingkan dengan pasien

dengan gizi normal. Kegagalan proses pengaktifan imunitas seluler diatas

menyebabkan pertumbuhan bakteri yang meningkat sehingga infeksi yang

ditimbulkan akan semakin berat (Cegielski & McMurray, 2004).

Status gizi yang baik dapat mempengaruhi outcome pengobatan pasien

TB. Peningkatan berat badan <5% dalam waktu 2 bulan pengobatan akan

meningkatkan resiko terjadinya relaps, dan penurunan berat badan akan

menyebabkan gagal pengobatan (Khan, et al., 2006). Pemberian suplemen

nutrisi dan konseling perlu diberikan seiring dengan pemberian obat anti

tuberkulosis. Paton, et al. (2004) mengatakan bahwa suplementasi yang

dilakukan pada awal pengobatan dapat meningkatkan berat badan dan

pemulihan fungsi tubuh dalam waktu 6 minggu. Sebanyak 46% dari total

peningkatan berat badan merupakan jaringan tak berlemak. Pemulihan awal

juga dapat meningkatkan fungsi imunologis pasien sehingga proses

eliminasi bakteri menjadi lebih cepat.


34

C. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan pada penelitian ini yaitu terdapat bias yang terjadi

karena data berat badan pada penelitian ini menggunakan data sekunder

yang diperoleh dari RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo sehingga

memungkinkan pengukuran tidak terstandar dan tidak konsisten.

Anda mungkin juga menyukai