Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN CEDERA


OTAK BERAT (COB) DI RUANG GARDENA
RSD dr. SOEBANDI JEMBER

Oleh
Yudha Wahyu Jatmika, S. Kep.
NIM 102311101076

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2017
a. Pengertian
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau
permanent (PERDOSSI, 2007).
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik (Snell, 2006).
Cedera otak adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak (Hudak & Gallo, 2010).

b. Etiologi
1. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam : menyebabkan cedera setempat & menimbulkan
cedera local. Kerusakan local meliputi Contusio serebral, hematom
serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi,
pergeseran otak atau hernia.
2. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul & menyebabkan cedera menyeluruh (difusi) :
kerusakannya menyebar secara luas & terjadi dalam 4 bentuk: cedera
akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi
kecil, multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada
hemisfer, cerebral., batang otak atau kedua-duanya (Wijaya, 2013)
c. Klasifikasi
Cedera kepala menurut Dewantoro, dkk (2007) di klasifikasikan
menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu:
a. CKR (Cedera Kepala Ringan)
1) GCS > 13
2) Tidak ada fraktur tengkorak
3) Tidak ada kontusio serebri, hematom
4) Dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi <30 menit
5) Tidak terdapat kelainan pada CT scan otak
6) Tidak memerlukan tindakan operasi
b. CKS (Cedera Kepala Sedang)
1) GCS 9-13
2) Kehilangan kesadaran (amnesia) >30 menit tapi < 24 jam
3) Muntah
4) Dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung)
5) Ditemukan kelainan pada CT scan otak
6) Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial
7) Dirawat di RS setidaknya 48 jam
c. CKB (Cedera Kepala Berat)
1) GCS 3-8
2) Hilang kesadaran > 24 jam
3) Adanya kontusio serebri, laserasi/ hematoma intracranial

d. Patofisiologi
Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung
terhadap jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang
membentur sisi luar tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri dalam
rongga tengkorak. Pada cedera deselerasi, kepala biasanya membentur suatu objek
seperti kaca depan mobil, sehingga terjadi deselerasi tengkorak yang berlangsung
tiba-tiba. Otak tetap bergerak ke arah depan, membentur bagian dalam tengorak
tepat di bawah titik bentur kemudian berbalik arah membentur sisi yang
berlawanan dengan titik bentur awal. Oleh sebab itu, cedera dapat terjadi pada
daerah benturan (coup) atau pada sisi sebaliknya (contra coup).

Sisi dalam tengkorak merupakan permukaan yang tidak rata. Gesekan


jaringan otak tehadap daerah ini dapat menyebabkan berbagai kerusakan terhadap
jaringan otak dan pembuluh darah. Respon awal otak yang mengalami cedra
adalah swelling. Memar pada otak menyebabkan vasoliditasi dengan
peningkatan aliran darah ke daerah tersebut, menyebabkan penumpukan darah dan
menimbulkan penekanan terhadap jaringan otak sekitarnya. Karena tidak terdapat
ruang lebih dalam tengkorak kepala maka swelling dan daerah otak yang cedera
akan meningkatkan tekanan intraserebral dan menurunkan aliran darah ke otak.
Peningkatan kandungan cairan otak (edema) tidak segera terjadi tetapi mulai
berkembang setelah 24 jam hingga 48 jam. Usaha dini untuk mempertahankan
perfusi otak merupakan tindakan penyelamatan hidup.

Kadar CO2 dalam darah mempengaruhi aliran darah serebral. Level


normal CO2 adalah 35-40 mmHg. Peningkatan kadar CO2 (Hipoventilasi)
menyebabkan vasodilatasi dan bengkak otak, sedangkan penurunan kadar CO2
(Hiperventilasi) menyebabkan vasokontruksi dan serebral iskemia. Pada saat
lampau, diperkirakan bahwa dengan menurunkan kadar CO2 (hiperventilasi) pada
penderita cedera kepala akan mengurangi bengkak otak dan memperbaiki aliran
darah otak. Akhir-akhir ini dibuktikan bahwa hiperventilasi hanya memberikan
peranan kecil terhadap bengkak otak, tetapi berpengaruh besar dalam menurunkan
aliran darah otak karena vasokonstriksi. Hal ini menyebabkan hipoksia serebral.
Otak yang mengalami cedera tidak mampu mentoleransi hipoksia.

Hipoventilasi atau hipoksia meningkatkan angka kematian dengan


mempertahankan ventilasi yang baik pada frekuensi nafas berkisar 15 kali
permenit dan aliran oksigen yang memadai merupakan hal yang sangat penting.
Hiperventilasi profilaksis pada cedera kepala sudah tidak direkomendasikan.

e. Komplikasi
Menurut Hudak dan Gallo (2010), komplikasi cedera kepala antara lain:
1. Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera
kepala adalah edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari
gangguana neurologis atau akibat dari sindrom distres pernapasan
dewasa. Edema paru dapat akibat dari cedera pada otak yang
menyebabkan adanya refleks cushing. Peningkatan pada tekanan darah
sistemik terjadi sebagai respons dari sistem saraf simpatis pada
peningkatan TIK. Peningkatan vasokonstriksi tubuh umum ini
menyebabkan lebih bnyak darah dialirkan ke paru-paru. Perubahan
permeabilitas pembuluh darah peru-peru berperan dalam proses
dengan memungkinkan cairn berpindah ke dalam alveolus. Kerusakan
difusi oksigen dan karbon dioksida dari darah dapat menimbulkan
peningkatan TIK lebih lanjut.
2. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala selama
fase akut. Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan
kejang dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantakan atau
jalan napas oral di samping tempat tidur dan peralatan penghisap dekat
dalam jangkauan. Pagar tempat todur harus tetap dipasang, diberi
bantalan pada pagar dengan bantal atau busa untuk meminimalkan
resiko sekunder terhadap cedera karena kejang. Selama kejang,
perawat harus memfokuskan perhatian pada upaya mempertahankan
jalan napas paten ketika mengamati perkembangan kejang dan
mencegah cedera lanjut pada pasien. Jika terdapat waktu yang cukup
sebelum spasitisitas otot terjado, dan rahang terkunci, spatel lidah yang
diberi bantalan, jalan napas oral, atau tongkat gigit plastik harus
dipasang diantara gigi pasien.
Satu-satunya tindakan medis terhadap kejang adalah terapi
obat. Diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan
diberikan secara perlahan melalui intravena. Karena obat ini menekan
pernapan, maka frekuensi dan irama pernapasan pasien harus dipantau
dengan cermat. Jika kejang tiak bisa lagi diatasi dengan obat ini,
dokter mungkin akan memberikan fenobarbital atau fenitoin untuk
mempertahankan konrol terhadap kejang.
3. Kebocoran Cairan Serebrospinal
Buka hal yang tidak umum pada beberapa pasien cedera kepala
dengan fraktur tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dar telinga
atau hidung. Ini dapat akibat dari fraktur pada fossa anteroir dekat
sinus frontal atau dari fraktur tengkorak basiliar bagian petrous dari
tulang temporal.

f. Pemeriksaan penunjang
1. CT scan
Pemeriksaan awal yang paling umum dilakukan karena pemeriksaan ini
dapat dengan cepat dilakukan dan sensitive terhadap perdarahan. Satu
kelemahan CT scan adalah bahwa pemeriksaan tersebut tidak dapat secara
adekuat menangkap struktur fosa posterior.
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Bermanfaat karena artifak tulang diminimalkan sehingga struktur pada
dasar tengkorak dan medulla spinalis dapat divisualisasikan lebih baik dan
perubahan neuronal dapat diamati. Selain itu MRI dapat digunakan untuk
mengevaluasi cedera vascular serebral dengan cara noninvasive.
3. Angiografi serebral
Alat yang berguna dalam mengkaji diseksi dalam pembuluh darah dan
tidak adanya aliran darah serebral pada pasien yang dicurigai mengalami
kematian batang otak. Risiko prosedur tersebut meliputi rupture pembuluh
darah, stroke akibat debris emboli, reaksi alergi akibat terpajan pewarna
radiopak, gagal ginjal akut akibat pewarna IV, dan perdarahan
retroperitoneal dari area pemasangan selubung setelah infus dilepaskan.

4. Ultrasonografi Doppler Transkranial


Secara tidak langsung mengevaluasi aliran darah serebral dan mekanisme
autoregulasi dengan mengukur kecepatan darah yang melewati pembuluh
darah. Kemampuan pemeriksaan ini dalam meberikan informasi mengenai
autoregulasi serebral dapat mempengaruhi penatalaksanaan dinamik
intracranial pada pasien cedera kepala dimasa yang akan datang.
5. EEG (elektro ensefalogram)
Mengukur aktivitas gelombang otak disemua regio korteks dan berguna
dalam mendiagnosis kejang serta mengaitkan pemeriksaan neurologis
abnormal dengan fungsi kortikal abnormal. Pemeriksaan yang penting
dalam mengeliminasi kejang subklinis atau non konvulsif. Temuan yang
paling umum pada pasien cedera kepala adalah perlambatan aktivitas
gelombang listrik pada area cedera.
6. BAER (brainsteam auditory evoked responses) dan SSEP (somatosensory
evoked potential)
Pemeriksaan prognostik yang bermanfaat pada pasien cedera kepala. Hasil
abnormal dari salah satu pemeriksaan tersebut dapat membantu
menegakkan diagnosis disfungsi batang otak yang tidak akan
menghasilkan pemulihan fungsional yang bermakna.

g. Penatalaksanaan
Pengkajian dan penanganan awal pada pasien cedera kepala
dimulai segera setelah cedera, yang seringkali dilakukan oleh tenaga
kesehatan pra-rumahsakit. Penanganan pra-rumahsakit pada pasien cedera
kepala berfokus pada pengkajian system secara cepat dan penatalaksanaan
jalan napas definitive, intervensi yang dapat berdampak positif terhadap
hasil akhir pasien karena koreksi dini hipoksia dan hiperkapnia, yang telah
terbukti menyebabkan dan memperburuk cedera otak sekunder.
Pendekatan perawatan yang benar dan kecepatan dalam
memberikan pertolongan menekan angka kematian hingga 36% (National
Traumatic Coma Data Bank). Prinsip dasarnya sel saraf diberikan
kondisi/suasana yang optimal maka pemulihan akan berfungsi kembali :
1. Penatalaksanaan jalan napas
Langkah awal yang sangat penting dalam merawat pasien cedera
kepala karena hipoventilasi biasa terjadi pada kondisi penurunan
kesadaran, dan hipoksia serta hiperkpnia sangat memperburuk kondisi
pasien pada tahap awal cedera. Evaluasi lanjut terhadap status neurologis
dapat memperlihatkan perlunya terapi hiperventilasi jika terdapat tanda
herniasi serebral dan tidak dapat dikontrol dengan terapi farmakologis
awal, pemantauan lebih lanjut aliran darah serebral.
2. Hiperventilasi
Harus dilakukan hati-hati, dibuat dengan cara menurunkan PCO2 dan
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak, penurunan volume
intracranial ini akan menurunkan TIK. Hiperventilasi yang lama dan
agresif akan menurunkan perfusi otak, terutama bila PCO2 <25mmHg.
PCO2 harus dipertahankan pada 30 mmHg, sehingga bila PCO2
<25mmHg hiperventilasi harus dicegah.
Penatalaksanaan sirkulasi pada pasien cedera kepala bertujuan
meningkatkan perfusi serebral yang adekuat melalui resusitasi cairan dan
penggunaan vasopresor, jika perlu. Penatalaksanaan TIK untuk
menurunkan tahanan intracranial terhadap aliran darah.
3. Cairan
Cairan intravena : jumlah cairan dalam cedera kepala dipertahankan
agar nomovolemia, kelebihan jumlah cairan akan membahayakan jiwa
penderita. Jangan memberikan cairan hipotonik, penggunaan cairan yang
mengandung glukosa dapat menyebabkan penderita hyperglikemia yang
berakibat buruk pada penderita cedera kepala. Karena itu cairan yang
digunakan untuk resusitasi sebaiknya larutan garam fisiologis atau ringer
laktat. Kadar Natrium perlu diperhatikan karena hiponatremia akan dapat
menyebabkan odema otak yang harus dihindari.

4. Obat
a. Manitol : digunakan untuk menurunkan tekanan intra kranial,
umumnya dengan konsentrasi 20%, dosis 1gr/kg bb, diberikan
bolus intra vena dengan cepat. Untuk penderita hipotensi tidak
boleh karena akan memperberat hipovolemi.
b. Furosemide : diberikan bersama manitol untuk untuk menurunkan
TIK, kombinasi keduanya akan meningkatkan diuresis, dosis lazim
0,3-0,5 mg/kg bb IV
c. Steroid : tidak bermanfaat dalam mengendalikan kenaikan TIK dan
tidak memperbaiki hasil terapi, sehingga steroid tidak dianjurkan
d. Barbiturate : bermanfaat menurunkan TIK, karena punya efek
hipotensi tak diberikan pada penderita dengan kondisi tersebut.
Tidak dianjurkan pada resusitasi akut
e. Anti konvulsan : epilepsy pasca trauma terjadi 5% pada penderita
trauma kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Anti
konvulsan hanya berguna untuk minggu pertama terjadinya kejang,
tidak minggu yang berikut, jadi hanya dianjurkan pada minggu
pertama saja.
h. Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1) Primary Survey
Adalah suatu kegiatan untuk menilai kondisi penderita
(diagnostic) sekaligus tindakan (resusitasi) untuk menolong nyawa.
Kunci utama untuk penanganan pada pasien trauma adalah penanganan
pada keadaan yang mengancam nyawa (Jakarta Medical Service 119
Training Division, 2012).
a. Airway
Kerusakan otak yang irreversible dapat terjadi 6-8 menit
setelah anoxia otak. Oleh karena itu, prioritas pertama dalam
penanganan trauma yaitu pastikan kelancaran jalan nafas, ventilasi
yang adekuat dan oksigenasi. Ini meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur
tulang wajah, fraktur mandibular atau maksila., fraktur laring atau
trakea. Penanganan airway juga harus dipikirkan adanya dugaan
trauma pada vertebra servikal. Usaha untuk membebaskan airway
harus melindungi vertebra servikal. Vertebra servikal harus sangat
hati-hati dijaga setiap saat dan jangan terlalu hiperekstensi,
hiperfleksi atau rotasi yang dapat menggangu jalan nafas. Dalam
hal ini dapat dilakukan dengan posisi kepala dalam keadaan netral,
chin lift atau jaw thrust diperlukan juga pada penanganan airway.
Mekanisme pembersihan oada oropharing sering dilakukan
didalam pembukaan jalan nafas. Dalam hal ini kelancaran jalan
nafas yang dibutuhkan dalam berbagai posisi dapat terjadi dengan
dilakukan nasal atau oropharingeal airway. Jika tindakan
pembersihan jalan nafas ini juga tidak berhasil, maka dapat
dilakukan tindakan intubasi endotrakeal. Tindakan ini dinamakan
airway definitive. Pada airway devinitif maka ada pipa didalam
trahea dengan balon (cuff) yang dikembangkan, pipa tersebut
dihubungkan dengan suatu alat bantu pernafasan yang diperkaya
oksigen, dan airway tersebut dipertahankan ditempatnya dengan
plester. Penentuan pemasangan airway definitive didasarkan pada
penemuan-penemuan klinis antara lain :
Adanya apnea
Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan
cara-cara yang lain
Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari
aspirasi darah atau vomitus
Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway.
Seperti multiple fraktur pada tulang wajah, kejang-kejang yang
berkepanjangan
Cedera kepala tertutup yang memrlukan bantuan nafas
(GCS=8)
Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat
dengan pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah
Intubasi nasotrakeal adalah teknik yang bermanfaaat
apabila urgensi pengelolaan airway tidak stabil. Intubasi
nasotrakeal secara membuta (blind nasotrakeal intubation) hanya
dilakukan padapenderita yang masih bernafas spontan. Prosedur
ini merupakan kontraindikasi untuk penderita ya ng apnoe.
Fraktur wajah, frajtur frontalis, fraktur basis cranii, dan fraktur
lamina chiriformis merupakan kontrainidikasi relative untuk
intubasi nasotrakeal.
Bila kesemua tindakan diatas juga tidak mampu untuk
mengatasi didalam control airway, tindakan krikotiroidotomi
dapat dilakukan. Tindakan ini dinamakan airway surgical.
b. Breathing
Tindakan kedua setelah airway tertangani adalah ventialsi.
Penururnan oksigen yang tajam (10L/min) harus dilakukan suatu
tindakan ventilasi. Analisa Gas darah dan pulse oximeter dapat
membantu untuk mengetahui kualitas ventilasi dari penderita.
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Pertikaran gas yang terjadi ada saat bernafas mutlak untuk
pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh.
Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding
dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus di evaluasi secara
cepat.
Tanda hipoksia dan hi[ercarbia bias terjadi pada penderita
dengan kegagalan ventilasi. Kegagalan oksigenasi harus dinilai
dengan dilakukan observasi dan auskultasi pada leher dan dada
melalui distensi vena, devasi trakeal,gerakan paradoksal pada dada,
dan suara nafas yang hanya pada satu sisi (unilateral).
Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang
berat dalah tension pneumothorax, flail chest dengan kontusio
paru, open pneumothorax, massive hemothorax. Keadaan-keadaan
ini harus dikenali pada saat dilakukan primary survey.
Hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga dan
kontusio paru menggangu ventilasi dalam derajat yang lebih ringan
dan harus dikenali pada saat melakukan secondary survey.
c. Circulation
Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca bedah
yang mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepatdab tepat di
rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan
oleh hipovolemia, sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian
maka diperlukan penilaian yang cepat dari status henodinamika
penderita. Kerusakan pada jaringan lunak dapat mengenai
pembuluh darah besar dan menimbulkan kahilangan darah yang
banyak. Menghebtikan perdarahan yang terbaik adalah dengan
tekanan langsung.
Hipotensi dengan pasien pada multiple trauma selalu
disebabkan oleh kehilangan darah yang banyak. Penanganan segera
dengan pemberian larutan Ringer Laktat secara intravena harus
memberikan respons yang baik (2-L pada dewasa, ana 30ml/kgbb).
Peradarahan oleh karena luka yang terbuka dapat di control dengan
penekanan luka secara langsung. Perfusi jaringan dapat di evaluasi
dengan produksi urine dan pengisian kapiler pada ujung-ujung jari
lebih dari 2 menit ini menandakan perfusi jaringan lemah.
Jika hipotensi memberikan respon yang baik pada
penanganan pertama, maka pemberian larutan kristaloid dapat
diberikan bahkan sampai dengan pemberian transfuse darah.
Namun jika respon tersebut sedikit atau sama sekali tidak
memberikan respontidak, maka pemberian cairan dengan larutan
ringer laktat (2L) dapat diulang kembali. Kemudian dapat
dilakuakn transfuse darah baik tipe spesifik atau noncross matched
universal donor O negative. Vasopressor tidak boleh diberikan
pada pasien dengan syok hipovolemik.
Klasifikasi perdarahan ini berguna untuk memastikan
tanda-tanda dini dan patofisiologi keadaan syok. Terdapat 4
klasifikasi perdarahan antara lain :
- Perdarah kelas 1 (kehilngan volume darah sampai 15%) ;
gejala klinis dari kehilangan volume ini adalah minimal. Bila
tidak ada komplikasi, akan terjadi takikardi minimal. Tidak ada
perubahan yang berarti dari tekanan darah, tekanan nadi, atau
frekuensi pernafasan. Pengisisan transkapiler dan mekanisme
kompensasi lain akan memulihkan volume darah dalam 24
jam.
- Perdarahan kelas II (kehilangan darah 15% sampai 30%);
gejala-gejala klinis termasuk takikardi (denyut jantung lebih
dari 100 pada orang dewasa) takipnea, dan penurunan tekanan
nadi. Perubahan saraf sentral yang tidak jelas sperti cemas,
ketakutan atau sikap permusuhan, produksi urine hanya sedikit
terpengaruh. Ada penderita yang kadang-kadang memrlukan
transfusi darah, tetapi dapat distabilkan dengan larutan
kristaloid pada mulanya.
- Perdarahan kelas III ( 30% samapi 40% kehilangan volume
darah); Akibat kehilangan darah sebanyak ini (sekitar 2000ml
untuk orang dewasa) dapat sangat parah. Penderitanya hampir
selalu menunjukan tanda klasik perfusi yang tidak adekuat,
termasuk takikardi dan takipnea yang jelas, perubahan penting
oada status mental, dan perubahan tekanan darah sistolik.
Dalam keadaaan yang tidak berkomplikasi, inilah jumlah
kehilangan darah paling kecil yang selalu menyebabkan
tekanan sistolik menurun. Penderita dengan kehilangan darah
tingkat ini hamper selalu memerlukan transfuse darah.
Keputusan untuk memberi transfuse darah didasarkan atas
respon penderita terhadap resusitasi cairan semula dan peruse
dan oksigenasi organ yang adekuat.
- Perdarahan kelas IV (lebih dari 40% kehilangan volume
darah); Dengan kehilangan darah sebnayak ini, jiwa penderita
terancam. Gejala-gejalanya meliputi takikardia yang jelas,
penurunan tekanan darah sistolik yang cukuo besar, dan
tekanan nadi yang sangat sempit (atau tekanan diastolic yang
tidak teraba). Produksi urine hampir tidak ada, kesadaran jelas
menurun. Kulit teraba dingin dan tampak pucat. Penderita ini
sering kali memerlukan transfuse cepat dan intervensi
pembedahan segera. Keputusan tersebut didasarkan atas respon
resusitasi cairan yang diberikan. Kehilangan lebih dari 50%
volume darah penderita mengaibatkan ketidaksadaran,
kehilangan denyut nadi, dan tekanan darah.
Patah tulang panjang dapat menimbulkan perdarahan yang
berat. Fraktur kedua femur dapat menimbulkan kehilangan
darah did alam tungkai sampai 3-4 liter. Menimbulkan syok
kelas III. Pemasangan bidai yang baik akan dapat menurunkan
perdarahan secara nyata dengan mengurangi pergerakan dan
meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar fraktur. Pada
patah tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya
dapat menghentikan oerdarahan. Resusitasi cairan yang agresif
merupakan hal yang penting disamping usaha menghentikan
perdarahan.
d. Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi
terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai disini
adalah tingkat kesadaran, serta ukuran dan reaksi pupil. Suatu cara
sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah metode AVPU :
A : Alert (sadar)
V : Respon terhadap rangsangan vokal (suara)
P : Respon terhadap rangsangan nyeri (pain)
U : Unresponsive (tidak ada respon)
GCS (Glasgow Coma Scale) adalah system skoring yang
sederhana dan dapat meramal kesudahan (outcome) penderita.
GCS ini dapat dilakukan sebagau pengganti AVPU. Bila belum
dilakukannya reeavaluasi pada primary survey, harus dilakukan
pada secondary survey pada saat pemeriksaan neurologis
Penurunan keasadaran dapat disebabkan penurunan
oksigenasi atau penurun an perfusi ke otak, atau disebabkan trauma
langsung padaotak. Penurunan kesadraan menun tut dilakukannya
reevaluasi terhadap oksigenasi, ventilasi, dan perfusi.
e. Exposure
Keadaan dengan laserasi, kontusio, abrasi, swelling, dan
deformitas sering terjadi pada pasien trauma. Cara yang paling
aman dengan membuka paaian penderita secara keseluruhan. Ini
dilakukan dengan tujuan untuk memudahkan dalam memeriksa dan
mengevaluasi keadaan penderitra, mencegah terjadinya
displacement pada fraktur meminimalkan resiko terjadiny
komplikasi lebih lanjut. Hypothermia harus dapat dicegah, fungsi
jantung harus baik, terutama bila volume darah turun. Kain yang
steril dapat digunakan untuk menutupi luka yang terbuka dengan
tujuan untuk mencegah kontaminasi lebih lanjut.

2) Secondary Survey
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Adanya penurunan kesadaran, letargi, mual dan muntah,
sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralysis, perdarahan,
fraktur, hilang keseimbangan, sulit menggenggam, amnesia seputar
kejadian, tidak bisa beristirahat, kesulitan mendengar, mengecap
dan mencium bau, sulit mencerna/menelan makanan.
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami penyakit system persyarafan,
riwayat trauma masa lalu, riwayat penyakit darah, riwayat penyakit
sistemik/pernafasan, kardiovaskuler dan metabolik.
c. Riwayat Penyakit Keluarga
d. Kebutuhan Dasar
Eliminasi : Perubahan pada BAK/BAB, inkontinensia, obstipasi,
hematuria
Nutrisi: Mual, muntah, gangguan mencerna/menelan makanan,
kaji bising usus.
Istirahat: Kelemahan, mobilisasi, tidur kurang.
e. Psikososial
Gangguan emosi/apatis, delirium, perubahan tingkah laku
atau kepribadian.
f.Pengkajian social
Hubungan dengan orang terdekat, kemampuan komunikasi,
afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, disartria, anomia.
g. Nyeri/kenyamanan
Skala kepala dengan intensitas dan lokasi berbeda, respons
menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah.
h. Pengkajian Fisik
Fungsi kognitif
Fungsi kognitif biasanya dikaji dengan mengajukan tiga
pertanyaan orientasi mengenai orang, waktu, tempat. Akan tetapi
penting untuk mendapatkan riwayat mendetail dari pasien guna
memfasilitasi pendeteksian perubahan yang tersembunyi sepanjang
waktu.
Pengkajian tingkat keterjagaan
Dalam mengkaji tingkat keterjagaan pada pasien cedera
kepala, stimulus maksimum harus diberikan secara sistematik dan
meningkat untuk mendapatkan secara efektif respon terbaik/
maksimum pasien. Langkah pertama upaya membangunkan pasien
hanya dengan berbicara, kemudian berteriak, lalu dengan
menggoyangkan, dan selanjutnya dengan memberikan rangsang
nyeri. Pendekatan bertahap seperti ini member pasien kesempatan
untuk mendemonstrasikan peningkatan keterjagaan atau respon
sebaliknya.
Pengkajian mata
Pengkajian mata meliputi evaluasi pupil dan pergerakan
ekstraokuler, yang membantu dalam melokalisasi area disfungsi
otak. Pengujian saraf cranial II (optikus) pada tempat perawatan
akut mencakup pendeteksian defek lapang pandang dan ketajaman
penglihatan yang besar. Lapang pandang dapat secara adekuat
dikaji melalui kemampuan pasien untuk mendeteksi gerakan jari
pemeriksa pada setiap lapang pandang. Ketajaman penglihatan
dapat secara kasar dikaji dengan meminta pasien membaca kalimat
yang dicetak pada satu halaman atau menggunakan grafik mata
snellen. Jika terdapat kekhawatiran berkenaan dengan gangguan
saraf optic, evaluasi lengkap yang dilakukan oleh dokter spesialis
mata direkomendasikan.
Evaluasi saraf cranial III (okulomotorius) meliputi inspeksi
pupil, termasuk ukuran, bentuk, kesamaan, dan reaksinya terhadap
cahaya. Peningkatan TIK dapat menyebabkn ketidakteraturan
bentuk, anisokor, dan tidak adanya atau sangat sedikitnya reaksi
terhadap cahaya.
Saraf cranial III, IV dan VI (okulomotorius, troklearis,
abdusens) seringkali dikelompokkan bersama untuk tujuan
pengkajian karena saraf-saraf tersebut menggerakkan mata.
Pengkajian saraf-saraf tersebut dilakukan dengan meminta pasien
mengikuti jari pemeriksa ketika jari tersebut digerakkan menurut
pola huruf H. pengihatan ganda adalah tanda kelemahan otot mata
dengan gangguan saraf cranial.
Pengkajian respon batang otak
Batang otak dapat dikaji lebih lanjut pada pasien yang tidak
sadar dengan menguji refeks corneal, batuk, dan gag. Reflex
corneal merefleksikan saraf cranial V dan VII (trigeminus dan
fasialis). Reflex ini diuji dengan mengusapkan gumpalan kapas
pada konjungtiva bawah setiap mata. Kedipan kelopak mata bawah
mengindikasikan adanya reflex. Sensasi stimulus yang mengiritasi
menunjukkan fungsi utama satu cabang saraf trigeminus, dan
gerakan kelopak mata bawah menujukkan fungsi motorik saraf
fasialis.
Saraf cranial IX dan X (glosofaringeus dan vagus) keluar
pada ketinggian medulla dan bertanggung jawab atas reflex batuk
dan gag serta melindungi jalan napas dari aspirasi. Reflex batuk
dan gag harus dievaluasi pada apsien yang terjaga dan tidak sadar.
Pengkajian fungsi motorik
Pengkajian motorik dilakukan pada pasien terjaga dan
kooperatif dengan meminta pasien menggerakkan ekstremitasnya
melawan gravitasi dan dengan resistansi pasif, pergerakkan
terssebut digolongkan menggunakan skala 1-5.
Pasien yang tidak responsive tersebut dapat menampilkan
sikap tubuh lokalisasi, menarik diri, atau fleksor/ ekstensor ebagai
respon terhadap stimulus yang berbahaya. Lokalisasi stimulus
nyeri diamati sebagai suatu respon yang bertujuan karena pasien
mampu menunjukkan sumber nyeri dan bergerak kearah sumber
nyeri tersebut dengan satu atau kedua ekstremitas melewati garis
tengah tubuh.

Pengkajian fungsi pernapasan


Pengkajian fungsi dan pola pernapasan penting dalam
mendeteksi perburukan cedera neurologis dan kebutuhan dukungan
mekanik. Banyak bagian dari kedua hemisfer serebral yang mengatur
kendali volunteer terhadap otot yang dignakan dalam bernapas,
dengan serebelum menyesuaikan dan mengkoordinasikan usaha otot.
Serebrum juga sedikit mengendalikan frekuensi dan irama
pernapasan.
Pusat kritis inspirasi dan ekspirasi terdapat dalam medulla
oblongata. Setiap lesi intracranial yang berekpansi secara cepat,
seperti perdarahan serebelar, dapat mengompresi medulla, dan
menghasilkan pernapasan ataksik. Pernapasan tidak teratur tersebut
terdiri dari napsa dalam dan dangkal disertai jeda tidak teratur. Pola
pernapasan tersebut menandakan perlunya control jalan nafas
definitive melalui intubasi endotrakeal.
Pengkajian system tubuh lain
Selain pengkajian system saraf pusat yang menyeluruh,
pegkajian komprehensif dari seluruh system tubuh lain sangat
penting dalam mengindenifikasi secara dini komplikasi dan sekuela
pada pasien cedera otak.

B. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d PTIK
b. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat
pernapasan otak).
c. Nyeri akut b.d agen cedera fisik trauma kepala
d. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d trauma jaringan, kulit rusak, prosedur
invasif.
c. Perencanaan keperawatan

Diagnosa
No. Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
keperawatan
1 Ketidakefektifan NOC : Intrakranial Pressure (ICP) Monitoring (Monitor tekanan intrakranial)
perfusi jaringan 1. Circulation status 1. Berikan informasi kepada keluarga
serebral b.d PTIK 2. Tissue Prefusion : cerebral 2. Set alarm
Kriteria Hasil : 3. Monitor tekanan perfusi serebral
1. Tekanan systole dan diastole dalam 4. Catat respon pasien terhadap stimuli
rentang yang diharapkan 5. Monitor tekanan intrakranial pasien dan respon neurology
2. Tidak ada ortostatikhipertensi terhadap aktivitas
3. Tidak ada tanda tanda peningkatan 6. Monitor jumlah drainage cairan serebrospinal
tekanan intrakranial (tidak lebih dari 7. Monitor intake dan output cairan
15 mmHg) 8. Restrain pasien jika perlu
4. Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai 9. Monitor suhu dan angka WBC
dengan kemampuan 10. Kolaborasi pemberian antibiotik
5. Menunjukkan perhatian, konsentrasi 11. Posisikan pasien pada posisi semifowler
dan orientasi 12. Minimalkan stimuli dari lingkungan
6. Memproses informasi Peripheral Sensation Management (Manajemen sensasi perifer)
7. Membuat keputusan dengan benar 1. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap
8. Menunjukkan fungsi sensori motori panas/dingin/tajam/tumpul
cranial yang utuh : tingkat kesadaran 2. Monitor adanya paretese
mambaik, tidak ada gerakan gerakan 3. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada lsi
involunter atau laserasi
4. Gunakan sarun tangan untuk proteksi
5. Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
6. Monitor kemampuan BAB
7. Kolaborasi pemberian analgetik
8. Monitor adanya tromboplebitis
9. Diskusikan mengenai penyebab perubahan sensasi
2 Pola napas tidak NOC : Airway Management
efektif b.d 1. Respiratory status : Ventilation 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila
kerusakan 2. Respiratory status : Airway patency perlu
neurovaskuler 3. Vital sign Status 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
(cedera pada Kriteria Hasil : 3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
pusat pernapasan 1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan 4. Pasang mayo bila perlu
otak). suara nafas yang bersih, tidak ada 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
sianosis dan dyspneu (mampu 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
mengeluarkan sputum, mampu bernafas 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
dengan mudah, tidak ada pursed lips) 8. Lakukan suction pada mayo
2. Menunjukkan jalan nafas yang paten 9. Berikan bronkodilator bila perlu
(klien tidak merasa tercekik, irama 10. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
nafas, frekuensi pernafasan dalam 11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
rentang normal, tidak ada suara nafas 12. Monitor respirasi dan status O2
abnormal Terapi Oksigen
3. Tanda Tanda vital dalam rentang normal 1. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
(tekanan darah, nadi, pernafasan) 2. Pertahankan jalan nafas yang paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor aliran oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Onservasi adanya tanda tanda hipoventilasi
7. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
Vital sign Monitoring
1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
3. Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri
4. Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
5. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas
6. Monitor kualitas dari nadi
7. Monitor frekuensi dan irama pernapasan
8. Monitor suara paru
9. Monitor pola pernapasan abnormal
10. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
11. Monitor sianosis perifer
12. Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar,
bradikardi, peningkatan sistolik)

3 Nyeri akut b.d NOC NIC


agen cedera fisik 1. Tingkat nyeri Manajemen Nyeri
trauma kepala 2. Kontrol nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
3. Tingkat kenyamanan karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
Kriteria Hasil: 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab 3. Kurangi faktor presipitasi nyeri
nyeri, mampu menggunakan tehnik 4. Ajarkan tentang teknik non farmakologi
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, 5. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
mencari bantuan) 6. Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang tidak berhasil
dengan menggunakan manajemen nyeri
3. Mampu mengenali nyeri (skala,
intensitas, frekuensi dan tpasien nyeri)
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri
berkurang
5. Tpasien vital dalam rentang normal
4 Resiko tinggi NOC NIC
terhadap infeksi 1. Tingkat nyeri Manajemen Nyeri
b.d trauma 2. Kontrol nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
jaringan, kulit 3. Tingkat kenyamanan karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
rusak, prosedur Kriteria Hasil: 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
invasif. 1. Mampu mengontrol nyeri (tahu 3. Kurangi faktor presipitasi nyeri
penyebab nyeri, mampu menggunakan 4. Ajarkan tentang teknik non farmakologi
tehnik nonfarmakologi untuk 5. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
mengurangi nyeri, mencari bantuan) 6. Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang tidak berhasil
dengan menggunakan manajemen nyeri
3. Mampu mengenali nyeri (skala,
intensitas, frekuensi dan tpasien nyeri)
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri
berkurang
5. Tanda vital pasein dalam rentang normal
DAFTAR PUSTAKA

Dewantoro, G., Suwono, W. J., Riyanto, B., Turana, Y. (2007). Panduan Praktis
Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.
Dewi, Ni Made Ayu A. 2013. Autoregulasi Serebral Pada Cedera Kepala.
Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Bedah Fakultas Kedokteran Udayana.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82587&val=970
Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. 2005. Cedera Kepala. Jakarta:
Deltacitra Grafind.
Ganong, William F. (2005). Review of Medical Physiology. California: McGraw
Hill Professional.
Hudak, Carolyn M. 2010. Keperawatan Kritis Pedekatan Holistik Edisi 6 Volume
2. Jakarta: EGC
Jakarta Medical Service 119 Training Division, 2012
Kidd, Pamela s. (2011). Pedoman Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC
Morton, Patricia G, et al. (2011). Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan
Holistik. Jakarta: EGC
NANDA Internasional. (2012). Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi
2012-2014. Jakarta: EGC.
Oman, K. S., McLain. J. K., & Scheetz, L. J. (2002). Panduan Belajar
Keperawatan Emergensi. Jakarta: EGC.
PERDOSSI cabang Pekanbaru. 2007. Simposium trauma kranio-serebral tanggal
3November 2007. Pekanbaru : PERDOSI.
Potter, Patricia A. & Anne G. Perry. (2006). Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A. & Lorraine Wilson. (1995). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Snell RS. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.Sugiharto
L, Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk,
penerjemah. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai