Anda di halaman 1dari 11

BUBUHAN BANJAR

MENCEGAH KORUPSI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK

WAJIDI

8 tahun yang lalu

Iklan

Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan 12 (dua belas) instruksi kepada para pimpinan
birokrasi. Diantaranya adalah instruksi untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik, baik
dalam bentuk jasa ataupun perizinan melalui transparansi dan standardisasi pelayanan yang meliputi
persayaratan-persyaratan, target waktu penyelesaian, dan tarif biaya yang harus dibayar oleh masyarakat
untuk mendapatkan pelayanan tersebut sesuai peraturan perundang-undangan dan menghapuskan
pungutan-pungutan liar.

Dalam Inpres tersebut, Presiden antara lain secara khusus menginstruksikan kepada Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara untuk menyiapkan rumusan kebijakan dalam upaya peningkatan
kualitas pelayanan publik. Presiden juga menginstruksikan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota agar
meningkatkan pelayanan publik dan meniadakan pungutan liar dalam pelaksanaannya.

Inpres itu sendiri hanyalah instruksi yang bersifat umum dan bukan bersifat teknis. Oleh karena itu,
Inpres Nomor 5 Tahun 2004 perlu diterjemahkan masing-masing pimpinan birokrasi dengan
mengeluarkan rumusan-rumusan kebijakan-kebijakan yang bersifat teknis atau aplikatif dalam pelayanan
publik, sehingga pelayanan yang diberikan aparat birokrasi sesuai dengan harapan inpres tersebut, yakni
pelayanan berkualitas dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Tulisan ini merupakan sebuah sumbang saran kepada para pimpinan birokrasi, bagaimana mencegah
KKN di sektor pelayanan publik, dengan perumusan kebijakan-kebijakan yang bersifat teknis atau
aplikatif.

Korupsi di Sektor Pelayanan Publik

Sektor pelayanan publik yang dikelola pemerintah, baik departemen, lembaga pemerintah non
departemen, maupun pemerintah daerah, seperti pelayanan pajak, perizinan, investasi, pembuatan KTP,
SIM, STNK, IMB, transportasi, akta, sertifikat tanah, listrik, air, telepon, pos, dan sebagainya merupakan
sektor yang rentan terjadinya korupsi, karena berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat. Di
sektor pelayanan publik terjadi hubungan antar domain, yakni pemerintah atau birokrasi sebagai
penyelenggara pemerintahan, sektor usaha, dan masyarakat umum.

Pada hakikatnya korupsi beserta kembarannya yakni kolusi dan nepotisme bukanlah kegiatan sepihak,
melainkan terjadi karena adanya hubungan, misalnya antara aparat pemerintah dengan pengusaha. Oleh
karena adanya interaksi itulah, maka kemungkinan adanya KKN bisa terjadi, seperti tawar menawar
biaya, pungutan liar, kolusi, penjualan pengaruh, nepotisme, kuitansi fiktif, manipulasi laporan
keuangan, katabelece, transfer komisi, mark up, pemerasan, penyuapan (sogok) yang disamarkan
sebagai hibah, hadiah atau uang terimakasih dan cara-cara lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
yang kesemuanya menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy).

Sektor pelayanan pajak, misalnya, merupakan sektor yang dituding rawan korupsi. Di sana tempat
terhimpun uang milyaran sampai triliunan rupiah dari para wajib pajak, sehingga ada saja oknum yang
tergoda untuk menggerogotinya dengan berbagai cara. Perbuatan itu, bukan hanya dilakukan oknum
aparat pajak, melainkan juga oleh para wajib pajak. Modusnya seperti menggangsir setoran pajak, tawar
menawar nilai pajak sehingga pajak yang dibayar lebih kecil, menggelapkan pajak yang dibayarkan,
meminta persenan dari pemohon bebas pajak, memanipulasi laporan keuangan sehingga nilai pajaknya
berkurang, pemalsuan faktur pajak, mengisi SPT dengan data yang tidak sesuai dengan kenyataan, dan
meminta pembenaran isi SPT itu dengan cara menyuap oknum konsultan pajak, maupun petugas pajak.
(Tempo, edisi 13-19 Juni 2005).

Selain berupa korupsi, keluhan yang sering mengemuka terhadap sektor pelayanan umumnya adalah
menyangkut kualitas pelayanan seperti sistem dan prosedur pelayanan yang berbelit-belit atau lamban,
tidak transparan, kurang informatif, kurang simpatik dan akomodatif, diskriminasi pelayanan, tidak
memiliki standar baku pelayanan, atau kurang konsisten sehingga tidak menjamin kepastian hukum,
waktu dan biaya.

Ironisnya, keluhan serupa juga dirasakan sendiri oleh para PNS yang nota bene adalah sejawat atau
sesama aparat birokrasi pada saat menyelesaikan urusan kepegawaian, seperti usul kenaikan pangkat,
kenaikan gaji berkala, usul jabatan struktural dan fungsional, cuti, bantuan kesejahteraan, dan
sejenisnya. Keluhan itu seringkali dikaitkan dengan adanya budaya amplop yang harus disediakan jika
mereka berurusan di BKD, BKN atau instansi terkait lainnya.

Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa di banyak instansi pelayanan publik milik pemerintah seolah
tidak ada lagi meja yang terbebas dari praktik suap, sementara rangkaian meja yang ditelusuri
kadangkala cukup panjang, sehingga dapat dibayangkan berapa banyak uang suap yang dikeluarkan
untuk memperpendek birokrasi pelayanan itu. Atau bagi masyarakat yang enggan dengan birokrasi itu,
kadangkala lebih memilih berurusan lewat perantaraan calo.

Akan tetapi, di kalangan bisnis dan birokrasi pemerintah juga telah lama berlaku prinsip simbisiosis
mutualisme, dimana pengusaha berbagi rezeki dengan oknum birokrat. Karena prinsip itulah di kalangan
dunia usaha dan birokrasi terjadi praktik suap yang maksudnya untuk memperoleh kemudahan
memperoleh fasilitas atau dalam rangka memenangi persaingan bisnis. Dalam praktiknya, suap
disamarkan sebagai hibah, hadiah atau uang terima kasih kepada pejabat sebagai upaya menyamarkan
perbuatan ilegal.

Pada dasarnya, suap menyuap itu tidak harus berupa pemberian dalam bentuk uang atau barang, akan
tetapi juga dapat berupa janji atau penyediaan kesenangan kepada pejabat yang disuap.

Kondisi yang telah berlangsung lama itu tetap berlanjut hingga sekarang ini, praktik KKN tetap merajalela
meski pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dengan segala
perangkatnya pendukungnya, seperti Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Tim
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor), dan Tim Pemburu Koruptor.

Perilaku korupsi identik dengan perilaku curang. Oleh karena itu perilaku korupsi sama hampir sama
usianya dengan keberadaan manusia itu sendiri. Di berbagai negara, baik negara kaya maupun miskin,
negara maju, berkembang, maupun terkebelakang, korupsi jelas pasti ada. Yang membedakannya,
diantara negara itu adalah tingkat intensitas korupsi dan dampaknya terhadap kehidupan bangsa dan
negara.

Indonesia tersohor sebagai salah satu negara yang paling korup di dunia. Hal sil riset Transparency
International yang berpusat di Jerman beberapa tahun terakhir masih menempatkan Indonesia di antara
Negara paling korup di dunia.

Berdasarkan analis data statistik pada CPI 2004 yang dilakukan oleh Prof. Dr. Johann Graft Lambsdorf,
sebagaimana dikutip dari Awang Anwarudin, Strategi Implementasi Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Dalam jurnal Borneo Administrator, Volume 1 Nomor 2 Tahun 2005, hlm. 121. Indonesia berada di
urutan ke 10 dari negara-negara paling korup di dunia. Atau berada di urutan ke-3 negara terkorup di
Asia setelah Bangladesh dan Myanmar.

Pada masa Orde Baru, kasus korupsi di Indonesia mulai marak pada dekade awal tahun 1970-an, ketika
mengalirnya dana jutaan dollar berupa utang dari negara donor (IGGI) ke Indonesia. Utang luar negeri itu
tidak dikelola dengan sistem manajemen distribusi dan kontrol yang baik, sehingga terjadilah kebocoran.
Hingga kini akumulasi total utang luar negeri Indonesia per Maret 2005 mencapai Rp 1.282. triliun. Jika
utang tersebut dibagi rata dengan jumlah penduduk Indonesia yang kini mencapai jumlah 220 juta
orang, maka setiap jiwa di Indonesia akan menanggung hutang sebesar lebih kurang Rp 5,5 juta per
orang. (Banjarmasin Post, Selasa 20 September 2005, hlm.1).

Hutang yang besar, korupsi yang menggurita, dan krisis ekonomi yang belum sepenuhnya pulih
merupakan beban berat bagi bangsa ini. Pendapatan negara yang semestinya diperuntukkan untuk
pembangunan, justru dalam jumlah besar digunakan untuk mencicil atau melunasi hutang. Dalam
kondisi demikian itu, maka tidak mengherankan jika kehidupan masyarakat yang sejahtera dan
berkeadilan sosial masih jauh dari cita-cita.

Kalau dahulu praktik KKN banyak dilakukan pejabat tingkat Pusat (Jakarta), karena di sanalah
kewenangan dan uang negara terkonsentrasi, - maka di era otonomi daerah, selain adanya
desentralisasi kewenangan kepada daerah, malah terjadi pula desentralisasi korupsi yang
memperkaya para elite daerah. Korupsi kini tidak lagi didominasi para pejabat tinggi di Jakarta, tetapi
sudah menjadi bagian kehidupan pejabat daerah dan ironinya dilakukan secara berjamaah seperti yang
dilakukan oleh kalangan DPRD di beberapa daerah.

Di era otonomi daerah, adakalanya dengan dalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD),
maka pemerintah provinsi, kabupaten dan kota mengeluarkan banyak Perda retribusi. Akan tetapi,
banyaknya retribusi yang berlebihan justru bersifat counter productif karena menimbulkan ekonomi
biaya tinggi, menimbulkan ketidaknyamanan publik; mulai dari rasa memberatkan sampai munculnya
kecurigaan bahwa pemerintah daerah telah melakukan pungutan liar dengan cara yang legal. Meski
pemerintah daerah melegalkan, mungkin saja perda retribusi itu bertentangan dengan produk hukum
nasional seperti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden atau Keputusan Menteri.

Posisi publik yang lemah dapat menjadi sasaran empuk bagi praktik curang di sektor pelayanan publik.
Oknum aparat dapat bermain dengan memeras publik yang berurusan dengan birokrat. Atau jika tidak,
publik tidak memperoleh pelayanan yang semestinya, sampai mereka mau memberikan amplop atau
janji tertentu kepada oknum aparat. Memang ada saja di kalangan publik atau dunia usaha yang
menolak dengan tegas praktik suap dan sejenisnya, akan tetapi mereka itu menanggung risiko seperti
tidak mendapat pelayanan yang simpatik, prosedur yang berbelit-belit sehingga terasa dipinpong kesana
kemari, rugi waktu, tenaga dan biaya atau kalah dalam persaingan bisnis.

Sorotan juga dikenakan kepada pelayanan yang bersentuhan dengan aparat penegak hukum, seperti
kepolisian, jaksa dan hakim. Berbagai kasus praktik jual beli hukum dan keadilan mengakibatkan publik
bersikap apriori dan skeptis jika berurusan dengan aparat penegak hukum. Sulit bagi rakyat kecil untuk
memperoleh keadilan, apalagi ketika mempunyai permasalahan hukum dengan pejabat, karena hukum
seolah tidak berdaya ketika berhadapan dengan pejabat tinggi yang korup. Akibat susahnya mencari
keadilan, maka di kalangan rakyat kecil timbul pameo, bahwa melaporkan kehilangan kambing akan
berakibat kehilangan sapi. Sementara itu, KUHP dianggap sebagai kependekan dari Kasih Uang Habis
Perkara. Ironis memang.

Saran Kebijakan Aplikatif

Permasalahan peningkatan pelayanan publik sebenarnya mempunyai akar yang cukup kompleks. Para
investor luar negeri yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia, sering mengeluhkan rendah kualitas
pelayanan yang diberikan. Apakah kualitas yang dikeluhkan itu bisa diperbaiki? Tentu bisa.

Di negeri ini sebenarnya banyak orang pintar dengan segudang wacana. Lihat saja harian nasional seperti
Kompas, sangat sering memuat opini tentang pemberantasan korupsi, yang menunjukkan wacana
tentang korupsi tidak pernah kering.

Bahkan sudah sejak lama telah diupayakan pemberantasan korupsi dan peningkatan kualitas pelayanan
untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Akan tetapi, semuanya belum didukung oleh komitmen
atau tekad yang kuat dari para pengambil kebijakan (pemerintah dan aparat penegak hukum) untuk
melaksanakannya. Oleh karena itu, komitmen atau kemauan keras untuk memberantas korupsi di sektor
pelayanan mutlak untuk dikedepankan. Karena kurangnya komitmen itulah, maka penegakan korupsi di
Indonesia berjalan lambat.

Kita perlu membandingkan dengan RRC. Negeri itu sebenarnya menghadapi permasalahan yang lebih
besar dibanding Indonesia, karena memiliki penduduk lebih dari satu miliar. Namun pemerintah dan
aparat penegak hukum di sana punya komitmen kuat, sehingga banyak sudah koruptor yang dihukum
mati. Di Indonesia, tidak ada satupun. Malah, yang sudah dijadikan tersangka mendapat SP3 (Surat
Perintah Pembebasan Penyidikan) atau dibebaskan.

Sesuai dengan kompleksitas permasalahan, maka seharusnya banyak cara yang dapat dilakukan untuk
mencegah korupsi di sektor pelayanan. Berikut ini dipaparkan beberapa saran konstruktif, dan
diharapkan bukan sekadar retorika atau wacana yang seringkali kita temui, akan tetapi secara teknis
dapat aplikasikan untuk meningkatkan kualitas pelayanan menuju pelayanan, khususnya di banua kita
tercinta, Kalimantan Selatan.

Pertama, pencegahan korupsi di sektor pelayanan dapat dilakukan dengan menciptakan pelayanan yang
berkualitas, yakni Pelayanan Prima. Pelayanan yang demikian itu tentunya menjunjung transparansi dan
akuntabilitas, standardisasi pelayanan, bersikap akomodatif, ramah, senyum dan simpatik, mempunyai
prosedur yang baku namun praktis, konsisten terhadap peraturan yang ditetapkan dan memiliki
kepastian di segi tarif biaya yang dikeluarkan dan waktu penyelesaian, bebas dari praktik pungutan liar,
dan berorientasi kepada kepuasan pelanggan.

Kedua, untuk mewujudkannya, maka pembenahan sektor layanan harus mengacu kepada data akurat,
sehingga bersifat mencerahkan. Sumber pembenahan, dapat diperoleh dari mana saja; dari kotak
pengaduan seperti kotak pos, sms, maupun e-mail, dari hasil riset atau survei kepuasan pelanggan, dan
sebagainya. Berdasarkan masukan-masukan itulah, dapat dilakukan langkah-langkah yang tepat untuk
meningkatkan kualitas pelayanan.

Ketiga, fungsi pengawasan intern di sektor pelayanan perlu ditingkatkan dengan melakukan kerjasama
dengan lembaga lainnya yang disokong pemerintah seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan memperhatikan masukan-masukan yang bersifat
membangun dari kalangan pengamat, dunia usaha, maupun lembaga swadaya masyarakat, seperti
Transparansi Internasional Indonesia dan Indonesian Corruption Watch.

Keempat, melakukan pemangkasan birokrasi atau prosedur pelayanan yang dirasa menghambat dengan
menyediakan pelayanan melalui satu pintu (one stop service). Melalui fasilitas layanan tersebut,
diharapkan biaya dan waktu pelayanan lebih ringan dan singkat, dan terbebas dari pungutan liar.
Kelima, meningkatkan kualitas SDM secara terprogram dan berkelanjutan. Peningkatan kualitas aparatur
dilaksanakan di segala lini dengan asumsi bahwa pelayanan prima tidak hanya tergantung kepada
petugas yang berhadapan langsung dengan publik, akan tetapi juga oleh organisasi keseluruhan.

Keenam, memberikan perhatian khusus kepada petugas yang bersentuhan langsung dengan pelanggan
yakni petugas front liner, dengan memberikan pelatihan tentang pelayanan prima, bagaimana
seharusnya berkomunikasi, bersikap atau berperilaku saat berhadapan dengan pelanggan, bagaimana
menyikapi pengaduan atau komplain, bagaimana pula dengan service delivery. Mereka juga perlu
dibekali buku panduan prosedur pelayanan, panduan penampilan atau kepribadian, sehingga sewaktu-
waktu bisa dipergunakan.

Ketujuh, melaksanakan strategi jemput bola yakni penyampaian informasi pelayanan secara proaktif
kepada publik, seperti melalui media cetak (surat kabar, majalah, booklet, leaflet, atau brosur), media
elektronik (televisi, radio, internet), penyuluhan langsung ke masyarakat, atau dengan cara memasuki
kurikulum dunia pendidikan formal. Strategi itu selain akan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
masyarakat produk layanan, syarat, prosedur, biaya dan waktu yang dibutuhkan di saat berurusan di unit
pelayanan, sekaligus dapat menjadi sarana penangkal terhadap informasi keliru yang diterima publik.

Kedelapan, menciptakan transparansi syarat, prosedur, dan biaya serta kemudahan memperoleh
informasi pelayananan yang dibutuhkan. Oleh karena itu, akan sangat bagus jika di ruang atau loket-loket
pelayanan dipajang stiker atau papan informasi tentang prosedur pelayanan dan persyaratannya,
besarnya biaya yang dikeluarkan dan waktu penyelesaiannya.

Kesembilan, untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada publik yang merasa
dirugikan saat melakukan transaksi dengan petugas di unit pelayanan, maka unit pelayanan harus
membuka kesempatan kepada publik yang merasa dirugikan dengan menyampaikan pengaduannya
melalui kotak pengaduan atau membuka hotline telepon. Dan si pengadu harus mempunyai akses
informasi tentang sejauhmana pengaduannya ditindaklanjuti.

Kesepuluh, adanya kotak pengaduan memang penting untuk menampung keluhan, akan tetapi lebih
penting lagi adalah adanya tindak lanjut sebagai jawaban atas pengaduan yang masuk. Oleh karena itu
perlu adanya komitmen menjawab keluhan itu dengan memperbaiki kualitas pelayanan.
Kesebelas, kadangkala kepercayaan wajib pajak dalam hal ini si pengadu menjadi pudar, karena melihat
adanya ketidakberanian atau sikap kada purunan pimpinan unit pelayanan untuk menindak oknum
aparat yang melakukan praktik curang. Oleh karena itu, untuk membangunan kepercayaan publik, maka
penting bagi pimpinan unit kerja untuk menegakkan aturan dan menindak dengan tegas penyimpangan
yang terjadi.

Keduabelas, untuk mencegah terulangnya kasus pungutan liar, maka secara insidental pimpinan instansi
perlu melakukan inspeksi mendadak ke unit-unit pelayanan, mengamati proses pelayanan, dan
menanyakan langsung kepada warga yang sedang berurusan, misalnya apa keluhannya? Berapa biaya
yang dikenakan petugas? Berapa lama waktu penyelesaian? Jika ternyata biaya yang dikenakan petugas
melebihi ketentuan, maka pimpinan instansi langsung menegur petugas unit pelayanan untuk melayani
sesuai dengan ketentuan yang berlaku, atau memberikan sanksi tegas jika kasus itu terulang lagi.

Ketigabelas, untuk mengurangi ekonomi biaya tinggi karena adanya perda retribusi yang berlebihan,
maka hendaknya pihak berwenang melakukan uji material terhadap perda retribusi yang selama
otonomi daerah banyak dikeluarkan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD, dan adanya
kemungkinan perda-perda itu bertentangan dengan produk-produk hukum nasional.

Keempatbelas, memberlakukan kebijakan pembagian royalti yang adil antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, misalnya royalti tambang batu bara. Jika daerah menerima jumlah royalti yang lebih besar dan
mampu menopang biaya pembangunan di daerah, maka pemberlakukan perda retribusi yang berlebihan
dan praktik curang di bisnis batu bara dapat dikurangi

Kelimabelas, untuk mencegah praktik penyuapan (sogok) yang berdampak kepada buruknya kualitas
pelayanan, maka penting di ruang atau loket pelayanan dipajang stiker atau tulisan yang berbunyi :
Dimohon Tidak Memberikan Amplop Atau Benda Berharga Kepada Petugas Pelayanan, atau tulisan lain
seperti: Jika Anda Menemui Petugas Meminta Amplop atau Benda Berharga Kepada Pelanggan, Harap
Disampaikan Melalui Kotak Pengaduan (Nomor Kotak Pos), Telepon Langsung (Nomor Telepon), atau
SMS (Nomor HP). Stiker itu juga dapat memuat etika pelayanan, tulisan ayat atau hadis, atau dalil-dalil
keagamaan yang melarang praktik suap, korupsi, kolusi dan nepotisme.

Keenambelas, adalah wajar apabila petugas yang bekerja di kantor pelayanan umum mempunyai
insentif atau penghasilan resmi di luar gaji yang besarnya ditentukan oleh pemerintah. Akan tetapi,
untuk mendorong petugas selalu memberikan pelayanan yang terbaik, maka besarnya nominal insentif
yang diterima seyogyanya tidak harus selalu sama per bulan, akan tetapi tergantung kepada prinsif
reward dan punishment. Misalnya jika seorang petugas layanan berhadir dan pulang tepat waktu
serta bekerja dengan baik, maka ia memperoleh ganjaran menerima uang insentif secara penuh.
Kebalikannya, jika seorang petugas tidak hadir, tidak aktif atau melakukan korupsi, maka ia bukan saja
mendapat pengurangan uang insentif, namun juga akan berhadapan dengan aparat penegak hukum.

Ketujuhbelas, seperti halnya perusahaan publik atau produk tertentu mempunyai slogan/motto atau visi
yang tujuannya antara lain untuk menarik simpati publik atau pelanggan dan sekaligus sebagai pemicu
semangat untuk memberikan pelayanan yang terbaik seperti, misalnya slogan Bank BRI : Besar Bersama
Rakyat, dan slogan PT. Telkom: Setia Melayani Anda, maka ada baiknya pula jika lembaga pemerintah
pusat, provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia mempunyai visi, motto/slogan anti korupsi, misalnya
Maju dan Bangga Tanpa Korupsi.

Kedelapanbelas, adalah kenyataan bahwa publik yang berurusan maupun unit pelayanan sama-sama
memerlukan, akan tetapi ada ketimpangan dalam perlakuan. Misalnya, jika warga terlambat
memperbaharui perpanjangan KTP, SIM dan STNK, terlambat membayar rekening listrik, telepon, atau
pajak, maka akan kena sanksi berupa denda. Seyogyanya, warga pun memperoleh kompensasi (ganti
rugi) jika mendapat pelayanan yang tidak sesuai dengan ketentuan. Misalnya, PT. Telkom Tbk, yang
membebaskan satu bulan abonemen kepada pelanggan jika setelah lewat 5 (lima) hari sejak dilaporkan
jaringan telepon tidak mengalami perbaikan, atau jika dalam 1 kali 24 jam kesepakatan pembukaan isolir
telepon tidak terpenuhi. Dan juga PT. PLN, (Persero), yakni jika terjadi gangguan dan atau kesalahan
pembacaan meter melebihi 10 % maka PLN diwajibkan memberikan pengurangan tagihan listrik kepada
pelanggan senilai 10 % dari biaya beban yang akan diperhitungkan pada tagihan listrik bulan berikutnya.

Kesembilanbelas, untuk mengurangi praktik suap atau kongkalingkong antara petugas pelayanan dengan
pengguna layanan, maka pertemuan fisik diantara keduanya sedapat mungkin dikurangi. Misalnya,
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan menerapkan electronic
registration (e-register), electronic filling (e-filing), dan electronic payment (e-payment).

Keduapuluh, selain melakukan tertib pengelolaan keuangan dan pendekatan norma hukum, juga perlu
dilakukan pendekatan norma keagamaan bagi aparatur pelayanan, sehingga mereka betul-betul
memahami dan insyaf bahwa korupsi sangat dilarang oleh agama. Dalam agama Islam, larangan itu
sangat jelas dan tegas bahwa korupsi dan suap (risywah) itu haram hukumnya. Rasulullah bersabda
Rasulullah melaknati orang yang menyuap dan menerima suap, lebih lanjut sabdanya pula Orang yang
menyuap dan menerima suap sama-sama di neraka. Jika seseorang memakan makanan yang diperoleh
dari uang suap maupun korupsi maka sesungguhnya ia telah memakan makanan haram. Karena
keharaman makanan bukan hanya tergantung pada jenisnya, seperti babi, bangkai dan lain-lain, akan
tetapi juga dari cara atau proses mendapatkan makanan itu. Rasulullah bersabda Setiap daging yang
tumbuh dari makanan haram maka neraka adalah lebih utama untuknya.

Keduapuluhsatu, untuk mewujudkan pelayanan prima bebas korupsi, maka ada baiknya dilakukan
sertifikasi dan standardisasi unit-unit pelayanan, khususnya yang dikelola pemerintah. Adanya lembaga
sertifikasi dan standardisasi itu, akan mendorong petugas atau unit-unit pelayanan untuk meningkatkan
kualitas produk dan jasa pelayanan sesuai standar yang ditetapkan.

Keduapuluhdua, disamping adanya Pancasetia KORPRI, Sumpah PNS dan Sumpah Jabatan, sebaiknya PNS
umumnya dan khususnya aparat yang bekerja di unit/kantor pelayanan mempunyai etika yang
rumusannya lebih bersifat pragmatis, katakanlah namanya : ETIKA PELAYANAN.

Etika itu bisa berupa cerminan dari segenap aturan, visi dan misi lembaga yang dituangkan secara garis
besar. Juga berguna sebagai rambu-rambu atau tata krama yang harus dikedepankan petugas jika
memberikan pelayananan kepada publik.

Akan lebih baik pula tulisan Etika Pelayanan itu dipajang di ruang pelayanan dan diketahui publik, agar
ketika petugas memberikan pelayanan yang kurang etis, maka publik bisa langsung komplain.

Penulis mendapat informasi, bahwa di Malaysia, untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, maka di
ruang kantor pemerintah dipajang tulisan berisi etika dimaksud. Maka, alangkah eloknya jika pemerintah
daerah di Provinsi Kalimantan Selatan juga membuat etika dan memajangnya di setiap ruang kantor, agar
dipedomani segenap karyawan.

Berikut ini contoh rumusan konsep Etika Pelayanan.

ETIKA PELAYANAN

1. Senantiasa menjaga nama baik unit kerja, lembaga, dan korps;

2. Senantiasa memberikan pelayanan yang berorientasi kepada kepuasan pelanggan;


3. Senantiasa menjalankan tugas dengan jujur, amanah, transparan, dan bertanggung jawab;

4. Senantiasa menolak segala bentuk diskriminasi dan berupaya memberikan pelayanan yang
simpatik dan segera kepada semua pelanggan;

5. Senantiasa cermat dalam pengelolaan keuangan;

6. Jangan sekali-kali melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;

7. Jangan sekali-kali meminta atau menerima uang suap, hadiah, hibah, uang terima kasih atau janji
sebagai upah menolong mempercepat proses pelayanan;

8. Senantiasa segera menanggapi keluhan atau pengaduan pelanggan, dan menepati waktu dalam
menjalankan tugas pelayanan;

9. Senantiasa memupuk semangat kebersamaan dalam memberikan pelayanan;

10. Senantiasa menunjukkan sikap profesionalisme dalam memberikan pelayanan;

11. Senantiasa meningkatkan pengetahuan, keterampilan, kualitas dan produktivitas kerja, dan
terbuka untuk saran-saran penyempurnaan;

(copyrightwajidi).

Iklan

Kategori: Uncategorized

Tinggalkan sebuah Komentar

BUBUHAN BANJAR

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Kembali ke atas

Anda mungkin juga menyukai