Anda di halaman 1dari 26

CASE REPORT III

CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)


Diajukan untuk memenuhi persyaratan Pendidikan Dokter Umum
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta Stase Ilmu Penyakit Dalam

Pembimbing :
dr. Rosa Priyambodo, Sp.PD

Diajukan Oleh :
Sandy Murtiningtyas
J510165090

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
CASE REPORT III
CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)
Oleh :
Sandy Murtiningtyas
J510165090

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari..................tanggal..........................2016

Pembimbing :
dr. Rosa Priyambodo, Sp.PD (.............................................)

Dipresentasikan dihadapan :
dr. Rosa Priyambodo, Sp.PD (.............................................)

Disahkan Ka Program Profesi :


dr. Dona Dewi Nilawati (.............................................)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
2016
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada saat ini di Asia terjadi perkembangan ekonomi secara cepat,
kemajuan industri, urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti peningkatan
konsumsi kalori, lemak dan garam, peningkatan konsumsi rokok dan penurunan
aktivitas. Keadaan ini disertai dengan peningkatan insiden obesitas, hipertensi,
diabetes melitus, dan penyakit vaskular yang berujung pada peningkatan insiden
gagal jantung (Imaligy, 2014).
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan masalah kesehatan dunia. Gagal jantung merupakan salah satu
penyakit kardiovaskuler yang menjadi masalah serius di Amerika. American
Heart Association (AHA) tahun 2004 melaporkan 5,2 juta penduduk Amerika
Serikat menderita gagal jantung. Asuransi kesehatan Medicare USA paling banyak
mengeluarkan biaya untuk diagnosis dan pengobatan gagal jantung (ACC/AHA
2005) (Imaligy, 2014).
Di Indonesia, berdasarkan diagnosis dokter prevalensi penyakit gagal
jantung di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,13% atau diperkirakan sekitar 229.696
orang (Depkes RI, 2014).
Gagal jantung erat kaitannya dengan penurunan kualitas hidup dan
mortalitas tinggi, serta dapat mengakibatkan ketidakmampuan fisik secara kronik
sehingga menjadi beban ekonomi yang tinggi (Imaligy, 2014).
B. TUJUAN
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut
bagaimana mekanisme Congestive Heart Failure (CHF).
BAB II
FOLLOW UP
A. IDENTITAS
1. Nama : Ny. T
2. Umur : 83 tahun
3. Alamat : Kleco 1/3, Polokarto, Sukoharjo
4. Agama : Islam
5. Status : Menikah
6. No. RM : 313xxx
7. Penerimaan : IGD
8. Tanggal masuk : 2 November 2016 jam 21:20 WIB
9. Tanggal pemeriksaan : 4 November 2016

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama
Sesak napas.
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien perempuan 83 tahun datang ke IGD RSUD Sukoharjo dengan
keluhan sesak napas sudah sejak siang sebelum masuk rumah sakit. Saat
pasien dibawa ke IGD, keadaan pasien lemas dengan kesadaran penuh atau
compos mentis.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a) Riwayat Hipertensi : diakui
b) Riwayat sakit jantung : disangkal
c) Riwayat penyakit asma : disangkal
d) Riwayat penyakit TB paru : disangkal
e) Riwayat gastritis : disangkal
f)Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
g) Riwayat Penyakit Ginjal : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a) Riwayat Sakit Serupa : disangkal
b) Riwayat Hipertensi : disangkal
c) Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
d) Riwayat Sakit Jantung : disangkal
5. Anamnesis Sistem
a) Sistem cerebrospinal : lemas (+),
pusing (-), gelisah (-)
b) Sistem cardiovascular : Sianosis (-) anemis (-)
c) Sistem respiratorius : Sesak (-), SDV (+/+)
d) Sistem genitourinarius : BAB dan BAK
lancar
e) Sistem gastrointestinal : Nyeri perut (-), mual
(-) muntah (-)
f)Sistem musculoskeletal : Badan lemas (+), atrofi otot
(-), kaku (-), nyeri (+)
g) Sistem integumentum : Pucat (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign
a. Tekanan darah : 210/90 mmHg
b. Suhu : 36,7C
c. Nadi : 104x/menit
d. RR : 24x/menit
2. Status Generalis
a. Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
nafas cuping hidung (-), edema palpebra (-)
b. Leher : Retraksi supra sterna (-/-), deviasi trachea (-), peningkatan
Jugular Venous Pressure (-), pembesaran kelenjar limfe (-).

c. Thorax
Paru
1) Inspeksi : simetris, tidak terdapat ketinggalan gerak.
2) Palpasi : tidak terdapat ketinggalan gerak, fremitus
normal.
3) Perkusi : sonor
4) Auskultasi : suara dasar vesikuler normal, terdapat ronki dan
juga terdapat wheezing.
Jantung
1) Inspeksi : iktus cordis tak tampak
2) Palpasi : iktus cordis kuat angkat
3) Perkusi : dalam batas normal
4) Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, bising jantung (-),
gallop (+)
d. Abdomen
1) Inspeksi : Lebih tinggi dari dada, simetris
2) Auskultasi : Peristaltik (+), bising usus (-)
3) Perkusi : Timpani (+)
4) Palpasi : Massa abnormal(-) berbenjol-benjol (-),
keras (+), ascites (-), nyeri tekan epigastrium (-)
a) Hati : Tidak teraba membesar
b) Limpa : Tidak teraba membesar
e. Ekstremitas : Akral hangat, oedem (+/+)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Nilai Satuan Nilai
normal
03/11/2016 pagi
HEMATOLOGI
Paket Darah Lengkap
Lekosit
9.0 103/uI 3.6 11.0
Eritrosit 3.00 () 106/uL 3.80
5.20
Hemoglobin 6.5 () g/dL 11.7
15.5
Hematokrit 21.3 () % 35 47
Index Eritrosit
MCV 71.0 () fL 80 100
MCH 21.7 () pg 26 34
MCHC 30.5 () g/dL RNF
Trombosit 593 () 103/uI 150 450
RDW-CV 16.7 () % 11.5
PDW 8.0 fL
14.5
MPV 8.8 %
P-LCR 14.5 %
PCT 0.25 %

DIFF COUNT
NRBC 0.00 % 01
Neutrofil 92.0 () % 53 75
Limfosit 7.6 () % 25 40
Monosit 0.30 () % 28
Eosinofil 0.00 () % 2.00
Basofil 0.10 %
4.00
IG 1.30 %
01
KIMIA KLINIK
GDS 236 () mg/gL 70 120
Ureum 48.3 () mg/gL 0 31
Creatinin 1.39 () mg/gL 0.50
SGOT 20.38 U/L
0.90
SGPT 14.4 U/L
0 30
0 50
HBs Ag Non reaktif Non
reaktif

2. Hasil EKG

E. DIAGNOSA KERJA
Congestive Heart Failure (CHF)

F. TERAPI
NaCl 20 tpm
Injeksi Furosemid/12 jam
Injeksi Ranitidin/12 jam
Sucralfat sirup 3x1
Nebu ventolin
Captopril 3x12,5 mg

G. FOLLOW UP
1. 3 November 2016
Subject : Pasien mengeluh sesak napas. Object: Vital sign TD 160/80
mmhg, S 37oC, HR 102x/menit, RR 20x/menit, keadaan umum : compos
mentis, sklera ikterik (-/-) conjungtiva anemis (-/-), thorax suara dasar
vesikuler (SDV) +/+, bunyi jantung (BJ) I/II reguler, gallop (+), abdomen
tidak teraba keras, limpa dan hepar tidak teraba membesar, nyeri tekan (-),
ekstremitas akral hangat dan udem (+). Assesment: CHF, hipertensi.
Planning: setengah duduk, O2 4lpm, infuse Rl, injeksi Furosemid/8 jam,
injeksi Ranitidin/12 jam, KSR 1x1, ISDN 3x5 mg, Clopidogrel 1x75 mg,
Irbesartan 1x150 mg, Laxadin sirup 2xCI.
2. 4 November 2016
Subject: Pasien mengatakan sesak napas sudah berkurang, mual (-)
muntah (-). Object: Vital sign TD 140/80 mmhg, HR 90x/menit, RR
20x/menit, S 360C, keadaan umum compos mentis, sklera ikterik (-/-)
conjungtiva anemis (-/-), thorax suara dasar vesikuler (SDV) +/+, bunyi
jantung (BJ) I/II reguler, abdomen tidak teraba keras, limpa dan hepar tidak
teraba membesar, nyeri tekan (-), ekstremitas akral hangat dan udem (+).
Assesment: CHF, hipertensi. Planning: infuse Rl, injeksi Furoseid/8 jam,
injeksi Ranitidin/12 jam, KSR 1x1, ISDN 3x5 mg, Clopidogrel 1x75 mg,
Irbesartan 1x150 mg, Laxadin sirup 2xCI, Spironolakton 2x25 mg.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Congestive Heart Failure (CHF)
1. Definisi
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk
memompakan darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan
oksigen dan nutrisi. Istilah gagal jantung kongestif sering digunakan jika terjadi
gagal jantung sisi kiri dan kanan (Kasron, 2012).
CHF mempunyai spektrum patofisiologi yang luas, mulai dari fungsi
pompa yang cepat menurun seperti pada infark miokard luas, takiaritmia atau
bradiaritmia yang timbul mendadak sampai kepada penurunan fungsi yang sangat
gradual tetapi progresif timbul dimana jantung sudah lama dalam keadaan volume
dan tekanan yang berlebihan (Ridzuan, 2015).

2. Etiologi
Penyebab umum gagal jantung adalah rusaknya atau berkurangnya massa
otot jantung karena iskemi akut atau kronik, peningkatan resistensi vaskuler
karena hipertensi, atau karena takiaritmia (misalnya fibrilasi atrial). Pada dasarnya
semua kondisi yang menyebabkan perubahan struktur ataupun fungsi ventrikel
kiri merupakan predisposisi untuk gagal jantung. Penyakit jantung koroner
merupakan penyebab terbanyak (60-75%), diikuti penyakit katup (10%) dan
kardiomiopati (10%) (Imaligy, 2014).
Dewasa ini studi epidemiologi menunjukkan bahwa sekitar setengah
pasien gagal jantung memiliki fraksi ejeksi (ejectionfraction) ventrikel kiri yang
baik (EF 40-50%), sehingga tidak lagi dipikirkan bahwa gagal jantung secara
primer terjadi akibat penurunan fraksi ejeksiventikel kiri (Imaligy, 2014).

3. Patofisiologi
Gagal jantung bermula apabila terjadi penurunan awal kapasitas pemompaan
jantung. Mekanisme kompensasi akan diaktifkan oleh sistem saraf adrenergik,
sistem renin- angiotensin- aldosteron dan sistem sitokin. Dalamjangka waktu
pendek, sistem ini dapat mengembalikan fungsi kardiovaskular kepada kisaran
homeostatik yang normal sehingga tidak menimbulkan gejala. Dengan
berjalannya waktu, aktivasi sistem ini akan menyebabkan kerusakan
secondaryend-organ pada ventrikel dengan memburuknya remodeling ventrikel
kiri dan selanjutnya dekompensasi jantung (Mann dan Chakinala, 2012).
Beban kerja yang berlebihan pada jantung yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan darah sistolik (pressureoverload), peningkatan volume
diastolik (volume overload) atau kehilangan miokardium, menyebabkan hipertrofi
sel miokard sebagai usaha meningkatkan kekuatan kontraktil. Perubahan pada
biokimia, elektrofisiologi dan fungsi kontraktil mengakibatkan perubahan
mekanikal pada fungsi miokard. Tingkat kontraksi menjadi lambat, masa
peaktension bertambah dan relaksasi miokard menjadi lambat. Penebalan dinding
ventrikel akan membatasi tingkat pengisian ventrikel (diastolicdysfunction).
Kekuatan kontraksi miokard berkurang bila terjadi kehilangan sel dan hipertrofi
(cardiacremodelling). Pada fase kompensasi awal, peningkatan volume
intrakaviter menyebabkan pengurangan ejeksifreksi
(progressivesystolicdysfunction) dan pengurangan sirkulasi perifer. Gagal jantung
kongestif ditandai dengan pengurangan respon kontraksi terhadap pertambahan
volume dan pengurangan ejeksifreksi ventrikel kiri (Mann dan Chakinala, 2012).

4. Klasifikasi Gagal Jantung


Klasifikasi gagal jantung kongestif berdasarkan tampilan klinis / kapasitas
fungsional dari New York Heart Association (NYHA) tahun 1994 yaitu :
a. Kelas I: tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas
fisik. Aktifitas sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi
atau sesak nafas.
b. Kelas II : terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak
terdapat keluhan saat istirahat, namun aktifitas fisik sehari-hari
menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
c. Kelas III : terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak
terdapat keluhan saat istirahat, tetapi aktifitas fisik ringan
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak.
d. Kelas IV : tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa
keluhan. Terdapat gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat
melakukan aktifitas (Dicksteinetal, 2008).
Klasifikasi terbaru yang dikeluarkan American Collage of Cardiology/
American Hear tAssociation (ACC/AHA) pada tahun 2005 yang menekankan
pembagian gagal jantung berdasarkan progressivitas kelainan struktural dari
jantung dan perkembangan status fungsional. Klasifikasi dari ACC/AHA ini,
perkembangan gagal jantung dibagi menjadi 4 stage, A,B,C dan D (Manurung,
2009) :
a. Stage A : memiliki risiko tinggi untuk berkembang
menjadi gagal jantung. Tidak terdapat gangguan struktural atau
fungsional jantung, tidak terdapat tanda atau gejala
b. Stage B : telah terbentuk penyakit struktur jantung
yang berhubungan dengan perkembangan gagal jantung, tidak
terdapat tanda atau gejala
c. Stage C : gagal jantung yang simptomatik
berhubungan dengan penyakit struktural jantung yang mendasari
d. Stage D : penyakit jantung struktural lanjut serta
gejala jantung yang sangat bermakna saat istirahat walaupun
sudah mendapat terapi medis maksimal (refrakter)
(McMurrayetal, 2012).

5. Manifestasi Klinik
Gagal jantung susah sekali dikenali secara klinis, karena beragamnya
keadaan klinis dan tidak spesifik serta hanya sedikit tanda-tanda klinis pada tahap
awal penyakit. Gejala yang lebih spesifik misalnya orthopnoea dan paroxysmal
nocturnal dyspnoea atau adanya peningkatan tekanan vena jugularis biasanya
tidak muncul pada pasien dengan gejala ringan.
(PERKI, 2015)

6. Algoritma Diagnois Gagal Jantung

Penilaian klinis yang teliti diperlukan untuk mengetahui penyebab gagal


jantung, karena meskipun terapi gagal jantung umumnya sama bagi sebagain
besar pasien, namun keadaan tertentu memerlukan terapi spesifik dan mungkin
penyebab dapat dikoreksi.
a. Teknik Diagnostik
Uji diagnostik biasanya paling sensitif pada pasien gagal jantung dengan
fraksi ejeksirendah.Uji diagnostik sering kurang sensitf pada pasien gagal jantung
dengan fraksi ejeksi normal. Ekokardiografi merupakan metode yang paling
berguna dalam melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik.
b. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien
diduga gagal jantung. Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil
dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal jantung
khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (< 10%) (Sumber : Dicksteinetal,
2008).

c. Foto Thorak
Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen
toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat
mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak
nafas (Tabel ). Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan
kronik.

(Sumber : PERKI, 2015)


d. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah
darah perifer lengkap (hemoglobin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju
filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan
tambahan lain dipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis
atau elektrolit yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan
sampai sedang yang belum diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia,
hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada pasien
dengan terapi menggunakan diuretik dan/atau ACEI (Angiotensin Converting
Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), atau antagonis
aldosterone (PERKI, 2015).
e. Peptida Natriuretik
Terdapat bukti-bukti yang mendukung penggunaan kadar plasma peptida
natriuretik untuk diagnosis, membuat keputusan merawat atau memulangkan
pasien, dan mengidentifikasi pasien pasien yang berisiko mengalami
dekompensasi. Konsentrasi peptida natriuretik yang normal sebelum pasien
diobati mempnyai nilai prediktif negatif yang tinggi dan membuat kemungkinan
gagal jantung sebagai penyebab gejala-gejala yang dikeluhkan pasien menjadi
sangat kecil (McMurrayetal, 2012).
Kadar peptida natriuretik yang tetap tinggi walaupun terapi optimal
mengindikasikan prognosis buruk. Kadar peptida natriuretik meningkat sebagai
respon peningkatan tekanan dinding ventrikel. Peptida natriuretik mempunyai
waktu paruh yang panjang, penurunan tiba-tiba tekanan dinding ventrikel tidak
langsung menurunkan kadar peptida natriuretik (McMurrayetal, 2012).
f. Troponin I
Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika
gambaran klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan ringan
kadar troponin kardiak sering pada gagal jantung berat atau selama episode
dekompensasi gagal jantung pada penderita tanpa iskemia miokard (Dicksteinetal,
2008).

g. Ekokardiografi
Istilah ekokardiograf digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasound
jantung termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour Doppler dan tissue
Doppler imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi
jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan
secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi
ventrikel untuk membedakan antara pasien disfungsi sistolik dengan pasien
dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45
-50%) (PERKI, 2015).
h. Kriteria Framingham
Selain itu kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal
jantung:
a. Kriteria Mayor
1) Paroxysmal nocturnal dyspnea
2) Distensi vena leher
3) Ronki paru (Rales)
4) Radiographic cardiomegaly
5) Edema paru akut
6) Penurunan berat badan 4,5 kg dalam 5 hari (sesudah diberi terapi
gagal jantung).
7) Gallop S3
8) Central venous pressure lebih dari 16 cm H2O (menggunakan
catheter vena)
9) Refluks hepatojugular
b. Kriteria Minor
1) Edema pada kedua pergelangan kaki (ankle edema)
2) Batuk malam hari
3) Dispneadeffort
4) Hepatomegali
5) Efusi pleura
6) Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7) Takikardi (>120/menit)
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ditemukan 2 kriteria mayor
atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor (Panggabean, 2006).
8. Tatalaksana
Penatalaksanaan pasien gagal jantung terdiri atas :
a. Penatalaksanaan Non-Farmakologis
1) Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam
keberhasilan pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak
bermakna perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas
hidup, morbiditas dan prognosis. Manajemen perawatan mandiri dapat
didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk
menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal
jantung
2) Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan
kualitas hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien
yang taat pada terapi farmakologi maupun non-farmakologi
3) Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat
kenaikan berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis
diuretik atas pertimbangan dokter
4) Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada
pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan
rutin pada semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak
memberikan keuntungan klinis
5) Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2)
dengan gagal jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan
gagal jantung, mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup
6) Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung
kronik stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik
dikerjakan di rumah sakit atau di rumah (PERKI, 2015)
b. Penatalaksanaan Farmakologis
Pengobatan pada CHF tergantung pada klasifikasi fungsional NYHA.
Retensi cairan harus diatasi terlebih dahulu sebelum diberikan ACE
inhibitor. -blocker diberikan setelah retensi cairan di atasi. Bila simptom
masih menetap ARB, antagonis aldosteron atau digoxin dapat ditambah
sebagai tripletherapy (Mann&Chakinala, 2012).
(Dicksteinetal, 2008)

1) Angiotensin-
ConvertingEnzymeInhibitors (ACEI)
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien
gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %. ACEI
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi
perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan
meningkatkan angka kelangsungan hidup. ACEI kadang-kadang
menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi
simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI hanya
diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium
normal. mulai dari dosis terkecil dan titrasi dosis sampai tercapai dosis
yang efektif dalam beberapa minggu (PERKI, 2015).
2) AngiotensinReceptorBlockers (ARB)
Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal
jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 % yang tetap
simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan penyekat dosis
optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan
ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi
angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB
direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI. Pada
pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab
kardiovaskular (PERKI, 2015).
3) -Blocker (Obat Penyekat Beta)
Direkomendasikan pada semua gagal jantung ringan, sedang, dan
berat yang stabil baik karena iskemik atau kardiomiopatinoniskemi
dalam pengobatan standar seperti diuretik atau penyekat enzim konversi
angiotensin.dengan syarat tidak ditemukan adanya kontra indikasi
terhadap penyekat beta (Ghanie, 2009).
4) Antagonis Aldosteron
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron
dosis kecil harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi
ejeksi 35 % dan gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional III -
IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat
(PERKI, 2015).
5) Hydralazine dan IsosorbideDinitrate (H-
ISDN)
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40
%, kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien
intoleran terhadap ACEI dan ARB (PERKI, 2015).
6) Diuretik
Penting untuk pengobatan simptomatik bila ditemukan beban
cairan berlebihan, kongesti paru dan edema perifer. Diutamakan
loopdiuretic(Furosemid) bila perlu dapat dikombinasikan Thiazid (IDI,
2014).
7) Glikosida Jantung (Digitalis)
Digoksin diberikan bila ditemukan takikardi untuk menjaga denyut nadi tidak
terlalu cepat (IDI, 2014). Dosis awal pemberian digoksin adalah 0,25 mg, 1 x/hari
pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Pada pasien usia lanjut dan gangguan
fungsi ginjal dosis diturunkan menjadi 0,125 atau 0,0625 mg, 1 x/hari (PERKI,
2015).
(PERKI, 2015)
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien perempuan usia 83 tahun datang ke IGD RSUD Sukoharjo dengan


keluhan sesak napas sejak siang hari sebelum pasien dibawa ke rumah sakit, keluhan
tidak disertai mual dan muntah. Pada saat di lakukan pemeriksaan fisik didapatkan
udem pada kedua kaki pasien.
Pada saat dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah rutin
didapatkan hasil hemoglobin, hematokrit, limfosit, monosit, dan eosinofil rendah.
Sedangkan gula darah sewaktu, ureum dan kreatinin tinggi.
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini adalah NaCl 20 tpm,Injeksi
Furosemid/12 jam, Injeksi Ranitidin/12 jam, Sucralfat sirup 3x1, Nebu ventolin,
Captopril 3x12,5 mg.
BAB V
KESIMPULAN
Gagal jantung merupakan tahap akhir dariseluruh penyakit jantung dan
merupakanmasalah kesehatan dunia. Gagal jantungmerupakan salah satu penyakit
kardiovaskuler yang menjadi masalah serius di Amerika. American HeartAssociation
(AHA) tahun 2004 melaporkan 5,2 juta penduduk Amerika Serikat menderita gagal
jantung. Asuransi kesehatan Medicare USA paling banyak mengeluarkan biaya untuk
diagnosis dan pengobatan gagal jantung (ACC/AHA 2005) (Imaligy, 2014).
Penyebab umum gagal jantung adalah rusaknya atau berkurangnya massa otot
jantung karena iskemi akut atau kronik, peningkatan resistensi vaskuler karena
hipertensi, atau karena takiaritmia (misalnya fibrilasi atrial). Pada dasarnya semua
kondisi yang menyebabkan perubahan struktur ataupun fungsi ventrikel kiri
merupakan predisposisi untuk gagal jantung. Penyakit jantung koroner merupakan
penyebab terbanyak (60-75%), diikuti penyakit katup (10%) dan kardiomiopati (10%)
(Imaligy, 2014).
Dewasa ini studi epidemiologi menunjukkan bahwa sekitar setengah pasien
gagal jantung memiliki fraksi ejeksi (ejectionfraction) ventrikel kiri yang baik (EF
40-50%), sehingga tidak lagi dipikirkan bahwa gagal jantung secara primer terjadi
akibat penurunan fraksi ejeksiventikel kiri (Imaligy, 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Dickstein K., Alain C.S., Gerasimos F., John J.V.M., Piotr P., Philip A.P.W., et al.
2008. ESC Guidelines For The Diagnosis and Treatment of Acute And
Chronic Heart Failure 2008. The Task Force forthe Diagnosis and Treatment
of Acute and Chronic Heart Failure 2008 of the European Society of
Cardiology. Developed in collaboration with the Heart Failure Association of
the ESC (HFA) and endorsed by the European Society of Intensive Care
Medicine (ESICM). European Heart Journal vol 29 pp 23882442

Ikatan Dokter Indonesia (IDI). 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dikter Di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. Edisi Revisi tahun 2014. Jakarta.

Imaligy E.U. 2014. Gagal Jantung pada Geriatri. CDK-212. Vol 41 (1) : 19-24

Kasron. 2012. Kelainan dan Penyakit Jantung. Yogyakarta : Nusa Medika

Mann D.L & Chakinala M, 2012. Heart Failure and Cor Pulmonale. Harrisons
Principle of Internal Medecine. 18th Edition, Volume 2. pp 1901-1913.

Manurung D. 2006. Gagal jantung akut. Dalam: Sudoyo A.R., Setiyohadi B., Alwi
I., Simadibrata M. dan Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi
4. Jakarta: Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam, p: 1505

Masengi K.G.D., Jeffrey O., Frans E.W. 2016. Hubungan hiperurisemia dengan
kardiomegali pada pasien gagal jantung kongestif. Jurnal e-Clinic (eCl),vol
4(1) : pp 296-301

McMurray J.J.V., Stamatis A., Stefan D.Ar., Angelo A., Michael B., et al. 2012. ESC
Guidelines For The Diagnosis and Treatment of Acute And Chronic Heart
Failure 2012 ; The Task Force forthe Diagnosis and Treatment of Acute and
Chronic Heart Failure 2012 of the European Society of Cardiology.
Developed in collaboration with the Heart Failure Association (HFA) of the
ESC. European Heart Journal vol 33 pp : 17871847
Menteri Kesehatan Republik Indonesia (MENKES). 2015. Panduan Praktik Klinis
Bagi Dokter di Fasilitas PelayananKesehatan Tingkat Pertama. Jakarta

Panggabean M.M. 2006. Gagal jantung. Dalam: Sudoyo A.R., Setiyohadi B., Alwi
I., Simadibrata M. dan Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi
4. Jakarta: Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam, pp: 1503-1504

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2015. Pedoman


Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta

Ridzuan N. I. B. M. 2005. The Characteristics Of Congestive Heart Failure Patients


With Hypertension And Without Hypertension In Cardiovascular Care Unit
(Cvcu) Cardiac Center Rsup Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar January-
Disember 2014. Skripsi

Anda mungkin juga menyukai