Anda di halaman 1dari 13

Makalah 5 PBL Blok 30

Pelanggaran Bioetik Kedokteran

Rosalina Nike Sairlela (102009170)

Kelompok B2

Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA)
Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11470
Nike_ukrida@yahoo.com

Pendahuluan

Sejak terwjudnya sejarah kedokteran, seluruh umat manusia mengakui serta mengetahui ada
beberapa sifat ada beberapa sifat mendasar yang melekat secara mutlak pada diri seorang dokter
yang baik dan bijaksana , yaitu sifat ketuhanan, kemurnian niat, keluhuran budi, kerendahan hati,
kesungguhan kerja, integritas ilmiah dan dan social serta kesejawatan yang tidak diragukan lagi.
Para ahli pelopor kedokteran kuno, beserta semua tokoh organisasi kedokteran ke forum
internasional dengan maksud mendasari tradisi dan disiplin kedokteran tersebut alas suatu etik
professional. Etik tersebut sepanjang masa mengutamakan penderita yang berobat serta demi
keslamatan dan kepentingan penderita. Etik ini memuat prinsip-prinsip yaitu beneficence, non
maleficence, autonomy dan justice. Etika kedokteran sudah sewajarnya dilandaskan atas norma-
norma etik yang mengatur hubungan manusia umumnya dan dimiliki asas-asas dalam filsafah
masyarakat.
Pembahasan

Kasus 5

Seorang pasien bayi dibawa orang tuanya datang ke tempet prakter dokter A, seorang
dokter anak. Ibu pasien bercerita bahwa ia adalah pasien seorang dokter obgyn B sewaktu
melehirkan, dan anaknya dirawat oleh dokter C. Baik dokter B maupun C tidak pernah
mengatakan bahwa anaknya menderita penyakit atau cidera sewaktu lahir dan dirawat
disana. Sepuluh hari pasca lahir orang tua bayi menemukan benjolan dipundak kanan
bayi.

Setelah diperiksa oleh dokter anak A dan pemeriksaan radologi sebagai penunjangnya,
pasien dinyatakan menderita fraktur klavikula kanan yang sudah berbentuk kalus. Kepda
dokter A mereka meminta kepastian apakah benar terjadi patah tulang klavikula, dan
kapan kira-kira terjadinya. Bila benar pbahwa patah tulang terjadi sewaktu kelahiran,
mereka akan menuntut dokter B karena telah mengakibatkan patah tulang dan C karena
lalai tidak mendiagnosisnya. Mereka juga menduga bahwa dokter C kurang kompeten
sehingga sebaiknya ia merawat anaknya ke dokter A saja. Dokter A berfikir apa yang
sebaiknya ia katakan.

A. Etika profesi kedokteran

Sesuai dengan kasus yang sedang dibahas, maka kali ini akan dibahas mengenai 4 prinsip
etika dimana akan dijelaskan secara mendalam terhadap prinsip yang terkait dengn kasus
yang sedang dibahas. Dalam etika kedokteran ada 4 prinsip yang harus dimiliki oleh
dokter dalam melaksanakan profesinya sehari-hari, yaitu prinsip beneficence, prinsip
non-maleficence, prinsip otonomi dan prinsip justice.

1. Prinsip beneficence

Merupakan prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke kebaikan


pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan
juga perbuatan yang manfaatnya lebih besar dari pada sisi buruknya. Dalam kasus ini
dilihat bahwa dokter B dan dokter C punya masalah yang cukup serius dimana terjadi
fraktur klavikula yang sudah berbentuk kalus pada anak yang tangani pada saat proses
kelahirannya. Yang menjadi masalah yaitu apakah benar dokter-dokter tersebut telah
berbuat kesalahan dalam menjalankan tugasnya dalam kasus ini. Tentu harus dilihat dari
berbagai sudut pandang dan tidak menyalahkan begitu saja, tetapi harus ada informasi
yang tepat yang harus diminta dari kedua dokter tersebut dimana apakah pada saat proses
persalinan terjadi suatu kendala yang akhirnya menyebabkan anak tersebut mengalami
fraktur, apakah ada komplikasi-komplikasi baik itu pada ibu maupun pada anaknya yang
terjadi pada proses persalinan, apakah setelah proses persalinan anak tersebut ditangani
secara baik atau tidak, apakah informasi mengenai persalinan dan kemungkinan-
kemungkinan yang bisa terjadi sudah dijelaskan dengan baik kepada ibu atau pihak
keluarga terdekat dan apakah pada waktu persalinan ada keadaan yang memaksakan
dokter malakukan tindakan yang tidak seharusnya dilakukan tidak dilakukan dan apakah
dari tindakan tersebut justru menyelamatkan nyawa dari anak tersebut atau seperti apa?
tentu hal ini semua akan menjadi dasar yang menentukan apakah dokter telah melakukan
kesalahan atau sebaliknya.1

2. Prinsip non-maleficence

Dalam prinsip ini mengatakan hal mengenai prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Hampir sama seperti hal yang sudah dijelaskan diatas,
namun pada prinsip ini sangat ditekankan mengenai tindakan diambil namun tidak
memperburuk keadaan pasien. Berdasarkan kasus diatas, setelah diteliti bahwa ada
kemungkinan kesalahan yang dibuat oleh dokter-dokter tersebut dimana kemungkinan
pada saat persalinan dokter tersebut melakukan tindakan yang justru mencederai anak
tersebut dan mungkin saja hal ini tidak diberitahukan kepada ibu mengenai kejelasan
pasti tentang anaknya apakah benar-benar lahir sehat atau ada suatu kelainan yang terjadi
ketika proses persalinan dimana jika tidak ditangani dengan segera, tentu hal ini makin
memperburuk keadaan anak tersebut dimana hal yang sudah bisa terdeteksi secara awal
tapi tidak ditinjau sama sekali. Tetapi bisa saja bahwa fraktur yang dialami oleh anak
tersebut bukan terjadi pada saat persalinan tetapi terjadi ketika bayi tersebut sudah dalam
perawatan si ibu dan keluarga. Tentu banyak kemungkinan-kemungkinan yang harus
dibuktikan sehingga tidak serta merta menyalahkan pihak medis, jadi banyak hal yang
harus dibuktikan dan dijelaskan untuk menyatakan asal mulanya keadaan yang sudah
terjadi. Oleh karena itu, balik lagi pada prinsip ini harus benar-benar dimengerti dan
harus dilakukan dengan sebaik-baiknya oleh dokter supaya tidak terjadi kesalahan yang
merugikan pihak pasien atau justru merugikan pihak dokter sendiri.1

3. Prinsip otonomi

Prinsip ini berbicara tentang prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama
hak otonomi pasien. Prinsip inilah yang melahirkan doktrin informed consent. Prinsip
otonomi dalam praktik kedokteran dapat kita lihat pada informed consent, dimana telah
diterima sebagai bentuk otonomi dalam praktik kedokteran secara internasional.
Barangsiapa tidak memberikan informed consent dan akhirnya terjadi cedera medis amak
ia dianggap lalai dan dapat diminta pertanggungjawabannya secara hukum. Secara
kualitas, otonomi memberikan dampak positif dalam pelayanan kesehatan dan pasien
akan dilibatkan dalam keputusan medis. Untuk itu dokter harus menjelaskan sejelas-
jelasnya sehingga pasien dapat memutuskan apakah ia menolak atau menerima tindakan
medis yang akan dilakukan kepada dirinya. Melalui hubungan yang partnership, maka
resiko terjadinya medical eror atau cedera medis berkurang karena pasien menjadi lebih
kritis dan dapat menjadi barier terhadap kesalahan yang akan menimpa dirinya sendiri.1

4. Prinsip justice

Merupakan prinsip yang mementingkan keadilan dalan bersikap maupun dalam


mendistribusikan sumber daya. Pada prinsip ini mengharuskan sikap dimana setiap orang
harus diperlakukan sama dalam memperoleh haknya. Prinsip etik keadilan terutama
menyangkut keadilan yang mempersyaratkan pembagian yang seimbang. Hal ini
dilakukan dengan memperhatikan distribusi usia, status ekonomi, budaya dan etnik. Salah
satu perbedaan yang dapat dipertanggungjawabkan adalah kerentanan yaitu kelompok
yang tidak berkemampuan melindungi kepentingan sendiri.1,2

B. Hubungan antara dokter dan pasien

Hubungan dokter dengan pasien pada prinsipnya merupakan hubungan yang berdasarkan
atas kepercayaan antara keduanya. Keberhasilan suatu pengobatan tergantung di
antaranya pada seberapa besar kepercayaan pasien kepada dokternya. Hal inilah yang
menyebabkan hubungan seorang pasien dengan dokternya kadang sulit tergantikan oleh
dokter lain.Akan tetapi, hubungan ini dalam beberapa tahun terakhir ini telah berubah
akibat makin menipisnya keharmonisan antara keduanya. Berubahnya pola hubungan
dokter-pasien yang bersifat paternalistik menjadi hubungan kolegial atau kemitraan,
membuat pasien makin kritis terhadap dokternya. Ketika terjadi suatu hasil pengobatan
yang tidak diinginkan seperti penyakit makin parah, kecacatan atau kematian, maka
pasien serta merta menganggap dokter dan rumah sakitnya lalai. Sebagian dokter merasa
tidak mempunyai waktu yang cukup untuk berbincang-bincang dengan pasiennya,
sehingga hanya bertanya seperlunya. Akibatnya, dokter bisa saja tidak mendapatkan
keterangan yang cukup untuk menegakkan diagnosis dan menentukan perencanaan dan
tindakan lebih lanjut. Dari sisi pasien, umumnya pasien merasa dalam posisi lebih rendah
di hadapan dokter (superior-inferior), sehingga takut bertanya dan bercerita atau hanya
menjawab pertanyaan dokter saja. Tidak mudah bagi dokter untuk menggali keterangan
dari pasien karena memang tidak bisa diperoleh begitu saja. Perlu dibangun hubungan
saling percaya yang dilandasi keterbukaan, kejujuran dan pengertian akan kebutuhan,
harapan, maupun kepentingan masing-masing. Dengan terbangunnya hubungan saling
percaya, pasien akan memberikan keterangan yang benar dan lengkap sehingga dapat
membantu dokter dalam mendiagnosis penyakit pasien secara baik dan memberi obat
Komunikasi yang baik dan berlangsung dalam kedudukan setara (tidak superior-inferior)
sangat diperlukan agar pasien mau/dapat menceritakan sakit/keluhan yang dialaminya
secara jujur dan jelas. Komunikasi efektif mampu mempengaruhi emosi pasien dalam
pengambilan keputusan tentang rencana tindakan selanjutnya, sedangkan komunikasi
tidak efektif akan mengundang masalah.3
Dibawah ini adalah beberapa pasal yang menyebutkan hubungan dokter dengan pasien
yang dituang dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) antara lain:
Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk
pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakittersebut.

Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah
lainnya.

Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampumemberikannya.5

Teori hubungan dokter dengan pasien dapat dilukiskan dari aspek sifat antara lain:

1. Bersifat religius
Pada awal profesi kedokteran, dipercaya bahwa timbulnya penyakit berasal dari
kemarahan dewa. Seorang yang sedang sakit melapor kepada sang pemimpin agama lalu
dibuat upaya keagamaan utuk penyembuhan
2. Bersifat paternalistis

Pada perkembangan selanjutnya, muncul pembagian pekerjaan dimana orang-orang


pandai pada masanya memiliki pemikiran tersendiri. Salah satunya adalah ada orang-
orang yang mau menolong orang sakit. Orang tersebut boleh dikatakan dokter generasi
pertama dan tidak lagi berhubungan dengan upacara keagamaan. Dokter zaman dahulu
mempunyai murid dan menurunkan keahliannya kepada muridnya itu. Profesi kedokteran
seperti ini dimulai pada abad ke -5 SM oleh Hipokrates di Yunani.

3. bersifat penyedia jasa dan konsumen

Hubungan jenis ini disebut juga provider dan consumer relationship. Perubahan dari
paternalistis ke hubnugan ini bertepatan dengan perkembangan teknologi informasi
dimana masyarakat makin sadar akan hak haknya serta mampu menilai pekerjaan
dokter. Berikut ini merupakan faktor faktor yang dapat mengidentifikasi berakhirnya
era paternalistis :
1. Pelayanan kesehatan mulai bergeser dari pelayanana prorangan ( praktik pribadi )
menuju praktik pelayanan di rumah sakit.
2. Perkembangan ilmu teknologi kesehatan memberikan kesempatan tindakan yang makin
canggih. Namun, tidak semua tindakan berhasil dengan baik sesuai harapan.
3. kekecewaan sering menimbulkan tuntutan hukum.
pengacara terlibat. 4

C. Hubungan dengan rekan sejawat

Pertumbuhan pengetahuan ilmiah yang berkembang pesat disertai aplikasi klinisnya


membuat pengobatan menjadi kompleks. Dokter secara individu tidak bisa menjadi ahli
untuk semua penyakit yang diderita oleh pasiennya, sedangkan perawatan tetap harus
diberikan sehingga membutuhkan bantuan dokter spesialis lain dan profesi kesehatan
yang memiliki keterampilan khusus seperti perawat, ahli farmasi, fisioterapis, teknisi
laboratorium, pekerja social dan lainnya. Seorang dokter sebagai anggota profesi
kesehatan, diharapkan memperlakukan profesi kesehatan lain lebih sebagai anggota
keluarga dibandingkan sebagai orang lain, bahkan sebagai teman. Deklarasi Geneva dari
WMA juga memuat janji: teman sejawat saya akan menjadi saudara saya. Interpretasi
janji ini bervariasi dari satu negara dan negara lain sepanjang waktu. Dalam tradisi etika
kedokteran Hippocrates, dokter memiliki hutang penghargaan khusus terhadap guru
mereka. Kewajiban untuk melaporkan teman sejawat yang melakukan tindakan yang
tidak kompeten, mencelakakan, perbuatan tidak senonoh ditekankan dalam Kode Etik
Kedokteran Internasional yang dikeluarkan oleh WMA menyatakan: Dokter harus
berusaha keras untuk menyatakan kekurangan karakter dan kompetensi dokter ataupun
yang terlibat dalam penipuan atau kecurangan. Penerapan prinsip ini tidaklah mudah, di
satu sisi seorang dokter mungkin menyerang reputasi koleganya karena motif yang tidak
benar seperti karena rasa iri atau terhina oleh teman sejawatnya. Dokter juga merasa
sungkan atau ragu untuk melaporkan tindakan koleganya yang tidak benar karena simpati
atau persahabatan. Konsekuensi pelaporan tersebut dapat berakibat kurang baik bagi yang
melapor, yang tertuduh atau bahkan dari teman sejawat yang lain.
Seperti tertuang dalam kode etik kedokteran Indonesia yang berbunyi :

Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.

Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.5

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam hubungan dengan sejawat yaitu:

Memperlakukan sejawat dengan adil

1. Dokter harus bertindak adil dengan sejawat. Sesuai hukum berlaku, tidak boleh ada
diskriminasi terhadap sejawat dan segi apapun seperti jenis kelamin, suku bangsa dan
kekurangannya. Dokter juga tidak boleh membiarkan perbedaan ini mempengaruhi
hubungan profesionalnya.
2. Dokter tidak boleh merusak kepercayaan pasien akan penanganan atau
penatalaksanaan yang diterima atau dengan menyalahkan dokter lain yang
memberikan terapi karena rasa dengki atau dengan memberikan kritik yang tidak
mendasar.

Berbagi Informasi dengan Sejawat

1. Sesuai harapan pasien akan dokter, seorang dokter, biasanya dokter umum harus
dapat memberikan informasi sepenuhnya dan bertanggung jawab untuk menjaga
kelanjutan penanganan medis pasien.
2. Dokter harus memastikan bahwa pasien mengetahui bagaimana informasi disebarkan
dalam tim dan kepada siapa saja yang akan melakukan penanganan. Jika pasien
berkeberatan maka dokter harus menjelaskan manfaat informasi itu disebarkan dalam
tim, tetapi dokter tidak boleh memaksa jika pasien bersikeras.
3. Saat akan merujuk pasien, dokter harus memberikan semua informasi yang relevan
mengenai riwayat perjalanan penyakit pasien dan kondisi terkini
4. Jika anda memberikan penatalaksanaan atau nasehat kepada pasien tetapi bukan
dokter pribadi pasien, seharusnya anda memberitahu dokter yang menangani pasien
mengenai basil pemeriksaan dan terapi yang diberikan serta informasi penting untuk
kelanjutan penanganan pasien kecuali pasien merasa keberatan. Jika pasien tidak
dirujuk kepada anda oleh dokter umum, maka anda harus menginformasikan dokter
umum sebelum memulai penatalaksanaan kecuali dalam keadaan gawat darurat.
Jika anda tidak memberitahu dokter yang menangani pasien sebelum atau sesudah
memberikan terapi maka anda harus bertanggungjawab untuk memberikan dan
merencanakan seluruh tindak lanjut pasien hingga ada dokter yang mengambil alih
perawatan pasien.
Delegasi dan Rujukan

1. Delegasi meliputi permintaan kepada perawat, dokter, dokter muda atau praktisi
kesehatan lainnya untuk memberikan penatalaksanaan. Saat mendelegasikan
penanganan/ penatalaksanaan, dokter harus memastikan bahwa orang yang
menerima delegasi tersebut memiliki kompetensi untuk menjalankan prosedur /
memberikan terapi. Dokter harus selalu memantau informasi terbaru mengenai
pasien dan penatalaksanaan yang diberikan. Apapun yang terjadi, dokter tersebut
harus bertanggung jawab akan keseluruhan penatalaksanaan yang diberikan.
2. Rujukan meliputi transfer sebagian atau seluruh tanggung jawab penanganan
pasien, biasanya bersifat sementara atau untuk tujuan tertentu misalnya
pemeriksaan tambahan, penanganan atau penatalaksanaan yang berada diluar
kompetensinya. Biasanya seorang dokter akan merujuk pada dokter lainnya yang
lebih berkompetensi.

D. Aspek hukum yang terkait


Berdasarkan kasus yang sudah dibahas diatas, maka bisa dikatakan bahwa jika dokter A
tidak segera mendapat kepastian dari teman sejawatnya mengenai kejadian sebenarnya
yang terjadi pada anak tersebut maka kemungkinan besar timbul ketidakpuasan dari ibu
tersebut dan sangat mungkin untuk melakukan suatu pengaduan atau tuntutan atas
kelalaian dokter dalam menangani anaknya. Penuntutan tersebut bisa mengakibatkan
tekanan psikologik bagi para dokter yang diduga melakukan kelalaian medik yang bisa
mengakibatkan litigation stress syndrome. Professional misconduct dapat diartikan
sebagai kesengajaan yang dapat dilakukan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik,
ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata, seperti
melakukan tindakan yang merugikan pasien dan sebagainya. Dari pengertian ini, dapat
disimpulkan bahwa malpraktek tidak dilihat dari hasil tindakan medik semata tapi
prosedurnya juga harus ditinjau. Semua kegagalan medik bukanlah akibat malpraktek
semata menurut WMA (world medical association). Suatu tindakan yang tidak dapat
diduga sebelumnya yang terjadi saat dilakukan tindakan medik yang sesuai standar tetapi
mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk malpraktek. Kelalaian dapat terjadi
dalam 3 bentuk yaitu malfeasance; melakukan tindakan yang melanggar hukum atau
tidak tepat. Misfeasance; pilihan medik yang tidak tepat pada waktu yang tidak tepat.
Nonfeasance; tidak melakukan tindakan medik yang merupakan kewajiban baginya.
Suatu tindakan dianggap lalai apabila terdapat 4 unsur di bawah ini :

1. Duty

Kewajiban tenaga kesehatan melakukan tindakan medik atau tidak melakukan sesuatu
tindakan pada pasien dalam situasi tertentu.

2. Dereliction of duty

Penyimpangan kewajiban tersebut.

3. Damage

Segala sesuatu yang dirasakan pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan
yang diberikan oleh tenaga kesehatan.

4. Direct causal relationship

Dalam hal ini, perlu ada hubungan antara sebab-akibat antar penyimpangan kewajiban.5

Penuntutan bisa juga dalam bentuk gugatan ganti rugi dimana harus ada keempat unsur
tersebut. Jika salah satu tidak ada, gugatan tersebut dinilai tidak cukup bukti.

Seorang dokter bisa dikenakan tuntutan dengan pasal di bawah ini :

Pasal 55 Undang-undang no. 23 tahun 1992 tentang kesehatan : (1) setiap orang
berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan.
Pasal 1365 KUH Perdata : tiap perbuatan melanggar hukum, yang membwa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian itu.
Pasal 1366 KUH Perdata : seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian
yang disebabkan perbuatan sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
kelalaian atau kurang hati-hatiannya.
Pasal 1371 KUH Perdata : Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan
dengan sengaja atau kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk
selain menggantikan biaya-biaya penyembuhan, menuntut penggantian kerugian
yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut. Juga penggantian kerugian ini
dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut
keadaaan.
Pasal 360 KUHP : (1) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya)
menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana paling
lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. (2) Barangsiapa
karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan
jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau
pidana denda paling ringgi empat ribu lima ratus rupiah.5

Penutup
Kesimpulan
Dari kasus yang telah dibahas dan beberapa pembahasan yang terkait bisa disimpulkan bahwa
dalam hal pelanggaran kode etik oleh seorang dokter, tidak hanya dilihat dari satu aspek tapi
berbagai aspek yang bisa menyatakn benar-benar hal tersebut adalah pelanggaran atau tidak.
Namun sebagai seorang dokter yang menyadari betul profesinya yang mementingkan pasien
diatas segalanya tentu harus memberikan yang terbaik sesuai dengan 4 kaidah dasar dari bioetik
yang sudah dibahas secara rinci diatas. Oleh karena itu dibutuhkan pengertian bukan saja
keahlian secara medis tapi juga keahlian dalam membangun relasi sehingga bisa memberikan
yang terbaik dari yang dimiliki seorang dokter.
Daftar pustaka

1. Cahyono. B Suharjo. Membangun Budaya Keselamatan Pasien dalam Praktik


Kedokteran. Jakarta: Penerbit Kanikus 2008, hal 302
2. Amir Amri, Hanafiah Jusuf. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. 4ed. Jakarta:
EGC, 2008. hal 186

3. Diunduh dari http://prematuredoctor.com. Juni 2010. Hubungan dokter pasien.


Tanggal 14 januari 2013
4. Sampurna Budi, Syamsu zulhasmaZ, Siswaja Dwijdja Tjetjep. Bioetik dan Hukum
Kedokteran. Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum. Penerbit Pustaka
Dwipar, 2005 hal 29-30, 93-95

5. Dunduh dari http://www.dikti.go.id. Kode-Etik-Kedokteran. Pada tanggal 14 januari


2013

Anda mungkin juga menyukai