Anda di halaman 1dari 10

Hujan Semalaman, Tebing

Setinggi 20 Meter Longsor di


Klungkung
Kamis, 22 Juni 2017 11:11

Istimewa
GOTONG ROYONG - Tim TRC Klungkung, TNI/Polri, dan warga sekitar bergotong royong membersihkan longsor
yang menutup badan jalan di Banjarangkan, Rabu (21/6).

TRIBUN-BALI.COM, SEMARAPURA - Sepeda motor yang dikendari I Ketut


Surata melaju pelan saat melintas di ruas Jalan Raya Banjarangkan, Kota
Semarapura, Klungkung, Bali, Rabu (21/6/2017).
lebih dari setengah ruas jalan tersebut ditimbun tanah tebing yang longsor.
Meskipun tidak menyebabkan koban jiwa, kejadian itu membuat arus lalu lintas
terhambat.
Tebing di dekat Sungai Melangit ini memang rawan longsor. Mungkin saja
longsor disebabkan karena terkikis hujan yang semalam sempat
mengguyur Klungkung, Ujar Surata, Rabu (21/6/2017).
Warga Desa Tusan, Banjarangkan yang rumahnya tidak jauh dari lokasi longsor
langsung ikut membersihkan sisa material bersama dengan petugas.
Sementara itu, Kepala BPBD Klungkung I Putu Widiada menjelaskan, longsor
dilaporkan terjadi sekitar pukul 00.50 Wita.
Tebing setinggi sekitar 20 meter longsor dan materialnya nyaris menutup seluruh
badan jalan.
Tengah malam itu juga tim turun ke lokasi,ternyata material longsor yang terdiri
dari tanah dan bebatuan sampai menutupi 70 persen badan jalan.
Hal ini membuat lalu lintas sempat terganggu. kata Kepala Pelaksana (Kalak)
BPBD Klungkung I Putu Widiada.
Empat anggota TRC BPBD Klungkung dibantu lima anggota Polsek
Banjarangkan bergotong royong untuk membuka akses jalan.
Mereka berjibaku diguyur hujan dan dalam keadaan gelap gulita. Petugas
berusaha membuka akses jalan dengan peralatan yang sederhana seperti
canggul dan sekop.
Sekitar sejam lebih berusaha, petugas akhirnya berhasil membuka akses jalan.
Namun, seperempat badan jalan masih tertimbun laongsor.
Penanganan lanjutan dilakukan tim gabungan antara BPBD Klungkung, TNI/Polri,
dan warga.
Prosesnya membutuhkan waktu yang cukup lama, karena material longsor yang
cukup banyak dan pembersihan dilakukan dengan alat seadanya secara gotong
royong. Seluruh material longsor baru bisa dibersihkan pukul 11.30 Wita
Tanah yang longsor tersebut adalah halaman belakang dari Wayan Kayun. Di
sana ada banyak bekar pohon bambu yang baru ditebang, sehingga akar dari
rumpun bambu tersebut tidak lagi kuat untuk menahan tanah.

Waspada! Buleleng Dilanda


2 Bencana Longsor dalam
Sehari
Rabu, 31 Mei 2017 11:43

Istimewa
Longsor menimpa wilayah Banjar Dinas Gitgit, Desa Gitgit, Sukasada, Buleleng, atau lebih tepatnya di Kilometer 9
sekitar pukul 18.00 wita (30/5/2017). Pihak kepolisian Polsek Sukasada bersama dengan tim BPBD tampak sedang
mengatur arus lalu lintas, dan membersihkan material longsor.

TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Hujan lebat yang mengguyur Kabupaten


Buleleng pada Selasa (30/5/2017) kemarin, membuat wilayah Bumi Panji Sakti
ini dilanda dua bencana longsor.
Lokasinya pun berbeda-beda. Beruntung, musibah mengerikan ini tidak sampai
mebelan korban jiwa.
Menurut informasi yang berhasil dihimpun, longsor pertama terjadi di daerah
Bayure, Desa Kedis, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng.
Tebing setinggi 100 meter, tiba-tiba runtuh sekitar pukul 10.30 wita (30/5/2017),
akibat diguyur derasnya hujan.
Longsor ini pun sontak membuat saluran pipa air minum milik warga putus,
hingga sepanjang 200 meter.
Longsor yang terjadi di daerah Bayure, Desa Kedis, Kecamatan Busungbiu,
Kabupaten Buleleng. Tebing setinggi 100 meter, tiba-tiba runtuh sekitar pukul
10.30 wita (30/5/2017), akibat diguyur derasnya hujan. (Istimewa)
Kapolsek Busungbiu, AKP I Nengah Muliadi mengatakan, tebing yang longsor
ttidak menimbulkan korban jiwa, serta tidak menganggu arus lalulintas. Sebab,
lokasi bencana ini terletak jauh dari pemukiman warga.
"Memang saat itu hujan turun dengan lebat. Hujannya itu menguyur wilayah
Busungbiu selama sekitar empat jam. Saat ini kami sedang berkoordinasi
dengan pihak BPBD untuk memperbaiki pipa air minum yang putus itu," ujarnya
saat dikonfirmasi Rabu (31/5/2017) pagi.
Selain di Kecamatan Busungbiu, bencana longsor juga menimpa wilayah Banjar
Dinas Gitgit, Desa Gitgit, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, atau lebih
tepatnya di Kilometer 9.
Longsor menerjang wilayah itu sekitar pukul 18.00 wita (30/5/2017).
ERUPSI GUNUNG AGUNG
JANGAN DIANGGAP
BENCANA, INI BUKTINYA
Selasa, 3 Oktober 2017 | 13:13:28

Gunung Agung. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com Erupsi Gunung Agung tidak tepat jika disebut sebagai bencana.
Sebab, selama 1.300 tahun gunung terbesar di Bali ini aktif, keberadaannya membawa berkah
dan keberlimpahan bagi Pulau Bali.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Indonesia,
Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet, sejak dulu, Gunung Agung merupakan pemberi
berkah bagi kehidupan umat di Bali. Contohnya pada erupsi 1963, meskipun ada banyak
korban jiwa, setelah peristiwa itu Bali memiliki tanah yang sangat subur dan pasir
melimpah. Saya tidak berani menyebut sebagai bencana terkait peningkatan aktivitas
Gunung Agung, karena itu adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Jika kita mengikuti
sejarah sejak 1.300 tahun, setiap Gunung Agung meletus itu adalah berkah, katanya,
Minggu (1/10).

Sejak 1.300 tahun, katanya, Pura Besakih tetap utuh meskipun Gunung Agung sudah
beberapa kali erupsi. Oleh karena itu, pihaknya yakin bahwa Pura Besakih akan tetap
aman, apa pun yang terjadi dengan Gunung Agung.

Ia mengajak masyarakat agar jangan menganggap bahwa peningkatan aktivitas Gunung


Agung itu sebagai bencana, tapi justru sebaliknya adalah berkah. Saya mengajak para
pegiat pariwisata untuk mengkampanyekan bahwa aktivitas Gunung Agung itu justru
menarik sebagai atraksi jika memang erupsi. Sampaikan kepada turis di seluruh dunia
bahwa Gunung Agung bisa menjadi sangat indah, so beautiful. Jika pun memang erupsi,
toh penerbangan tetap aman. Pemberitaan yang menyudutkan Bali soal Gunung Agung
harus cepat-cepat dicounter dengan diplomasi terbalik, bahwa Gunung Agung tetap indah
dan menarik sehingga turis tetap mau datang, ajaknya.

Hal senada juga diungkap Ketua PHRI Bali, Dr. Ir. Tjokorda Artha Ardana Sukawati
(Cok Ace). Ia mengatakan bahwa apa yang terjadi saat ini harus selalu dimaknai dengan
hal positif dan menjadikan Gunung Agung sebagai atraksi pariwisata. Cok Ace juga
mengajak umat Hindu di Bali agar merenungi apa yang terjadi di Bali saat ini.

Sebab, kata dia, kondisi alam ini merupakan suatu peringatan bahwa masyarakat Bali
harus tetap menjaga Ibu Pertiwi dan berhenti memperkosa karena nafsu serakah. Soal
aktivitas Gunung Agung, serahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kita tidak bisa
melawan kehendak alam. Apa pun yang akan terjadi itu adalah kehendak alam. Kita
harus terima dengan lapang dada, tegas Cok Ace.

Sementara itu, Ketua Umum Paiketan Krama Bali, Dr. Ir. Agung Suryawan Wiranatha,
M.Sc., menyarankan agar ada video singkat testimoni tentang Gunung Agung dari para
sesepuh dan tetua yang menyaksikan langsung peristiwa itu. Video itu kemudian dishare
secara luas di media sosial.

Menurut Agung Suryawan, ini penting untuk meng-counter pemberitaan yang sangat
berlebihan tentang Gunung Agung yang merugikan pariwisata Bali.

KEWAJIBAN UMAT, GELAR


PERSEMBAHYANGAN
UNTUK GUNUNG AGUNG
Prosesi upacara di Pura Besakih. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com Umat Hindu khususnya di Bali berkewajiban untuk melakukan


ritual dan persembahyangan terkait status awas Gunung Agung. Itu sebabnya, langkah-langkah

yang sifatnya spiritual terus dilakukan dari sejak aktivitas vulkanik Gunung Agung dinyatakan aktif

kembali. Dimulai dari rangkaian upacara di Pura Besakih.

Kemudian itu menyebar di seluruh desa pakraman di Bali, untuk melaksanakan ritual
atau upacara sekemampuannya dengan diikuti doa yang harapannya adalah untuk
memohon keselamatan kalau toh Gunung Agung itu meletus semoga tidak berdampak
pada malapetaka bagi masyarakat kita, ujar Kakanwil Agama Provinsi Bali, I Nyoman
Lastra.

Rangkaian upacara itu, lanjut Lastra, terus berlangsung sampai puncaknya di purnama
kapat di Pura Besakih. Mengingat, pura di kaki Gunung Agung itu memang menjadi
pusatnya spiritual Hindu. Selain itu, sudah menjadi kewajiban umat untuk tidak pernah
putus melaksanakan ritual dan persembahyangan di situ.
Artinya, kuat keinginan umat memohon pada Ida Sang Hyang Widi Wasa semoga
Gunung Agung tidak membawa bencana bagi kehidupan kita. Imbauan ini kita sudah
lakukan mengikuti apa yang telah diimbau oleh Parisadha, oleh MUDP, dan juga doa
yang dilakukan FKUB di provinsi Bali, jelasnya.

Menurut Lastra, sebagai umat beragama tentu hanya bisa memohon dan berharap. Hanya
inilah jalan yang bisa dilakukan secara niskala. Sejalan dengan itu, pemerintah juga
melakukan langkah antisipasi dari aspek sekala. Tentunya dalam menekan jumlah korban jiwa
bila nanti terjadi erupsi.

Secara ritual atau upacara, ada proses harmonisasi melalui ritual mulang pakelem dan mecaru.

Mecaru yang berasal dari urat kata car berarti keharmonisan atau menjadikan bumi ini harmonis

dan cantik.

Semua intinya ritual itu yang dilaksanakan untuk kepentingan menjaga keharmonisan,
jelasnya.

Terkait Pura Besakih, lanjut Lastra, saat ini memang menjadi salah satu destinasi
pariwisata. Mengingat, indahnya tempat spiritual tertinggi bagi umat Hindu di Bali dan
Indonesia pada umumnya ini. Sepanjang wisatawan tidak sampai masuk ke wilayah-
wilayah sakral, Pura Besakih tidak perlu sampai ditutup sebagai destinasi wisata.

Pura disamping untuk kedamaian spiritual, kan juga untuk kesejahteraan. Sepanjang
dilakukan tidak melampaui batas-batas mana tempat yang sakral, mana yang propan itu
kan tidak ada masalah, terangnya.

Lastra menambahkan, Badan Pengelola yang kini sudah dibentuk di Besakih salah
satunya bertanggungjawab untuk menjaga batas-batas wilayah sakral itu. Dengan
demikian, Pura Besakih tetap terjaga kesuciannya dan masyarakat di sekitarnya bisa
hidup sejahtera.

Sebab, harmonisasi spiritual di hadapan Tuhan dan kesejahteraan umat merupakan dua
hal yang tidak bisa dipisahkan. Walaupun tidak boleh semua itu bebas dieksploitasi. Kalau
semata-mata hedonis, itu yang tidak boleh, pungkasnya. (Rindra Devita/balipost)

Anda mungkin juga menyukai