Istimewa
GOTONG ROYONG - Tim TRC Klungkung, TNI/Polri, dan warga sekitar bergotong royong membersihkan longsor
yang menutup badan jalan di Banjarangkan, Rabu (21/6).
Istimewa
Longsor menimpa wilayah Banjar Dinas Gitgit, Desa Gitgit, Sukasada, Buleleng, atau lebih tepatnya di Kilometer 9
sekitar pukul 18.00 wita (30/5/2017). Pihak kepolisian Polsek Sukasada bersama dengan tim BPBD tampak sedang
mengatur arus lalu lintas, dan membersihkan material longsor.
DENPASAR, BALIPOST.com Erupsi Gunung Agung tidak tepat jika disebut sebagai bencana.
Sebab, selama 1.300 tahun gunung terbesar di Bali ini aktif, keberadaannya membawa berkah
dan keberlimpahan bagi Pulau Bali.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Indonesia,
Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet, sejak dulu, Gunung Agung merupakan pemberi
berkah bagi kehidupan umat di Bali. Contohnya pada erupsi 1963, meskipun ada banyak
korban jiwa, setelah peristiwa itu Bali memiliki tanah yang sangat subur dan pasir
melimpah. Saya tidak berani menyebut sebagai bencana terkait peningkatan aktivitas
Gunung Agung, karena itu adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Jika kita mengikuti
sejarah sejak 1.300 tahun, setiap Gunung Agung meletus itu adalah berkah, katanya,
Minggu (1/10).
Sejak 1.300 tahun, katanya, Pura Besakih tetap utuh meskipun Gunung Agung sudah
beberapa kali erupsi. Oleh karena itu, pihaknya yakin bahwa Pura Besakih akan tetap
aman, apa pun yang terjadi dengan Gunung Agung.
Hal senada juga diungkap Ketua PHRI Bali, Dr. Ir. Tjokorda Artha Ardana Sukawati
(Cok Ace). Ia mengatakan bahwa apa yang terjadi saat ini harus selalu dimaknai dengan
hal positif dan menjadikan Gunung Agung sebagai atraksi pariwisata. Cok Ace juga
mengajak umat Hindu di Bali agar merenungi apa yang terjadi di Bali saat ini.
Sebab, kata dia, kondisi alam ini merupakan suatu peringatan bahwa masyarakat Bali
harus tetap menjaga Ibu Pertiwi dan berhenti memperkosa karena nafsu serakah. Soal
aktivitas Gunung Agung, serahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kita tidak bisa
melawan kehendak alam. Apa pun yang akan terjadi itu adalah kehendak alam. Kita
harus terima dengan lapang dada, tegas Cok Ace.
Sementara itu, Ketua Umum Paiketan Krama Bali, Dr. Ir. Agung Suryawan Wiranatha,
M.Sc., menyarankan agar ada video singkat testimoni tentang Gunung Agung dari para
sesepuh dan tetua yang menyaksikan langsung peristiwa itu. Video itu kemudian dishare
secara luas di media sosial.
Menurut Agung Suryawan, ini penting untuk meng-counter pemberitaan yang sangat
berlebihan tentang Gunung Agung yang merugikan pariwisata Bali.
yang sifatnya spiritual terus dilakukan dari sejak aktivitas vulkanik Gunung Agung dinyatakan aktif
Kemudian itu menyebar di seluruh desa pakraman di Bali, untuk melaksanakan ritual
atau upacara sekemampuannya dengan diikuti doa yang harapannya adalah untuk
memohon keselamatan kalau toh Gunung Agung itu meletus semoga tidak berdampak
pada malapetaka bagi masyarakat kita, ujar Kakanwil Agama Provinsi Bali, I Nyoman
Lastra.
Rangkaian upacara itu, lanjut Lastra, terus berlangsung sampai puncaknya di purnama
kapat di Pura Besakih. Mengingat, pura di kaki Gunung Agung itu memang menjadi
pusatnya spiritual Hindu. Selain itu, sudah menjadi kewajiban umat untuk tidak pernah
putus melaksanakan ritual dan persembahyangan di situ.
Artinya, kuat keinginan umat memohon pada Ida Sang Hyang Widi Wasa semoga
Gunung Agung tidak membawa bencana bagi kehidupan kita. Imbauan ini kita sudah
lakukan mengikuti apa yang telah diimbau oleh Parisadha, oleh MUDP, dan juga doa
yang dilakukan FKUB di provinsi Bali, jelasnya.
Menurut Lastra, sebagai umat beragama tentu hanya bisa memohon dan berharap. Hanya
inilah jalan yang bisa dilakukan secara niskala. Sejalan dengan itu, pemerintah juga
melakukan langkah antisipasi dari aspek sekala. Tentunya dalam menekan jumlah korban jiwa
bila nanti terjadi erupsi.
Secara ritual atau upacara, ada proses harmonisasi melalui ritual mulang pakelem dan mecaru.
Mecaru yang berasal dari urat kata car berarti keharmonisan atau menjadikan bumi ini harmonis
dan cantik.
Semua intinya ritual itu yang dilaksanakan untuk kepentingan menjaga keharmonisan,
jelasnya.
Terkait Pura Besakih, lanjut Lastra, saat ini memang menjadi salah satu destinasi
pariwisata. Mengingat, indahnya tempat spiritual tertinggi bagi umat Hindu di Bali dan
Indonesia pada umumnya ini. Sepanjang wisatawan tidak sampai masuk ke wilayah-
wilayah sakral, Pura Besakih tidak perlu sampai ditutup sebagai destinasi wisata.
Pura disamping untuk kedamaian spiritual, kan juga untuk kesejahteraan. Sepanjang
dilakukan tidak melampaui batas-batas mana tempat yang sakral, mana yang propan itu
kan tidak ada masalah, terangnya.
Lastra menambahkan, Badan Pengelola yang kini sudah dibentuk di Besakih salah
satunya bertanggungjawab untuk menjaga batas-batas wilayah sakral itu. Dengan
demikian, Pura Besakih tetap terjaga kesuciannya dan masyarakat di sekitarnya bisa
hidup sejahtera.
Sebab, harmonisasi spiritual di hadapan Tuhan dan kesejahteraan umat merupakan dua
hal yang tidak bisa dipisahkan. Walaupun tidak boleh semua itu bebas dieksploitasi. Kalau
semata-mata hedonis, itu yang tidak boleh, pungkasnya. (Rindra Devita/balipost)