Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) atau chronic obstructie airway disease
(COAD) adalah istilah yang saling menggantikan. Gangguan progresit lambat kronis ditandai
oleh obstruksi saluran pernafasan yang menetap atau sedikit reversibel, tidak seperti obstruksi
saluran pernafasan reversibel pada asma (Davey,2002:181). Dimana, penyakit paru
obsrtuktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang
telah menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia, hal ini disebabkan oleh
meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor resiko seperti faktor
pejamu yang di duga berhubungan dengan kejadian PPOK semakin banyaknya jumlah
perokok kususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan
maupun di luar ruangan dan di tempat kerja .
Di masyarakat PPOK merupakan masalah kesehatan utama yang menyebabkan 26.000
kematian/tahun di Inggris. Prevalesinya adalah 600.000. Angka ini lebih tinggi di negara
maju, daerah perkotaan, kelompok masyarakat menengah ke bawah, dan pada manula
(Davey,2002:181). The Asia Pacific CPOD Roundtable Group memperkirakan jumlah
penderita PPOK sedang berat di negara-negara Asia Pasific mencapai 56,6 juta penderita
dengan angka pravalensi 6,3 persen (Kompas,2006).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 600 juta orang menderita PPOK di
seluruh dunia. Dan ini diperkirakan akan terus meningkat. Di Indonesia, diperkirakan
terdapat 4,8 juta (5,6%) penderita PPOK (JRI, 2007). Prevalensi lebih tinggi pada laki-laki
daripada perempuan dan meningkat dengan bertambahnya usia. PPOK lebih sering pada yang
masih aktif merokok dan bekas perokok dan meningkat dengan banyak jumlah rokok yang
dikonsumsi (GOLD, 2006). Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang dilakukan pada
penderita PPOK yang berobat di RSUP H. Adam Malik Medan dan dilakukan pada bulan Juli
hingga November 2011 yang bertujuan untuk mengetahui prevalensi penderita PPOK
berdasarkan faktor risiko yaitu usia, jenis kelamin, riwayat merokok, status perokok, dan
derajat berat merokok. Populasi penelitian adalah seluruh data rekam medik penderita PPOK
selama periode Juli 2010 Juli 2011 yang rawat jalan maupun rawat inap, dengan
menggunakan metode total sampling yang diolah dengan program SPSS dan disajikan dalam
distribusi frekuensi. Hasil yang diperoleh bahwa prevalensi PPOK berdasarkan usia, paling
banyak pada kelompok usia lebih dari 70 tahun yaitu sebanyak 51 penderita (37,5%),
berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih banyak daripada perempuan yaitu 104 penderita
1
(76.5%), berdasarkan riwayat merokok, yang terbanyak dengan riwayat merokok yaitu 105
penderita (77,2%), berdasarkan status perokok, terbanyak pada bekas perokok yaitu 57
penderita (54,3%), sedangkan berdasarkan derajat berat merokok, derajat merokok sedang
yang paling banyak ditemukan yaitu sebanyak 48 penderita (45,7%). Berdasarkan hasil
penelitian ini, diharapkan kepada seluruh masyarakat untuk tidak merokok, karena merokok
adalah salah satu faktor risiko utama yang menyebabkan terjadinya PPOK. Dan kepada para
perokok untuk melakukan kegiatan pemberhentian merokok.
Oleh karena itu penulis menulis makalah yang berjudul Penanganan Fisioterapi pada
PPOK diharapkan dengan makalah ini penulis dan pembaca dapat mengetahui tentang
penyakit PPOK, sehingga dapat memberikan pelayanan yang optimal bagi pasien PPOK dan
meningkatkan partisipasi (kemandirian) masyarakat dalam pencegahan PPOK.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Penyakit paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok
penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan di tandai oleh peningkatan resistensi
terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit
yang membentuk satu kesatuan yang dikenal CPOD adalah asma bronkhial,
bronkhitis kronis dan emfisema paru. Penyakit ini sering di sebut dengan chronic
Air flow Limitation (CAL) dan chronic obstructive Lung Disease ( Somantri,
2008:49).
Penyakit paru obtruktif klinik (COPD) merupakan suatu istilah yang sering
digunakan untuk kelompok penyakit paru yang berlansung lama dan ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran fatofisiologi
utamanya. Bronkitis kronik, empisema paru dan asma bronkial membentuk
kesatuan yang disebut COPD, hubungan etiologi sekuensial antara brongkitis
kronik dan empisema tetapi tampaknya tidak ada hubungan antara k-2 penyakit itu
dengan asma, hubungan ini nyata sekali dengan etiologi, patogenesis dan
pengobatan yang akan diberikan. (Siia dan Wilson, 2003:784)
Penyakit paru-paru obtruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik atau
menahun (PPOM) yang ditandai dengan yang disebabkan oleh pajanan gas
berbahaya yang dapat memberikan gambaran gangguan sistemik.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa penyakit paru
obstruksi menahun atau penyakit paru obstruksi kronis adalah suatu kumpulan
penyakit paru yang menahun yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara
didalam saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, dan
biasanya disebabkan oleh proses inflamasi paru. Tiga macam penyakit paru yaitu
asma bronkial, bronkitis kronik, dan emfisema paru membentuk suatu kesatuan
menjadi penyakit ini.
3
A.1. Definisi Asma Brochiale
Asma Brochiale adalah suatu gangguan pernapasan yang dicetuskan oleh
hipersensitivitas bronchs terhadap berbagai rangsangan,baik dari dalam
ataupun luar tubuh. Mengakibatkan hiperaktivitas bronchus dan penyempitan
saluran napas yang ditandai dengan gejala-gejala yang khas,yaitu batuk dan
sesak napas yang disertai wheezing. Penyakit asma dapat diderita oleh semua
lapisan masyarakat,baik pada usia anak maupun dewasa. Timbulnya serangan
asma juga sangat bervariasi, factor pencetusnya dapat bersifat tunggal maupun
jamak. Dalam tatalaksana penyakit asma perlu dilakukan secara
terpadu,kuratif dan rehabilitative serta secara medika mentosa maupun non
medika mentosa.
B. Etiologi
Ada beberapa faktor risiko utama berkembangnya penyakit ini, yang
dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor
paparan lingkungan antara lain adalah: (1) Merokok. Merokok merupakan
penyebab utama terjadinya PPOK, dengan resiko 30 kali lebih besar pada perokok
dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan penyebab dari 85-90% kasus
PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan mengalami PPOK. Kematian akibat
PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan
4
status merokok yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun demikian, tidak
semua penderita PPOK adalah perokok. 10% orang yang tidak merokok juga
mungkin menderita PPOK. Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap
rokok) juga berisiko menderita PPOK. (2). Pekerjaan. Para pekerja tambang emas
atau batu bara, industri gelas dan keramik yang terpapar debu silika, atau pekerja
yang terpapar debu katun, debu gandum, dan debu asbes, mempunyai risiko yang
lebih besar daripada yang bekerja di tempat selain yang disebutkan di atas. (3)
Polusi udara. Pasien yang mempunyai gangguan paru akan semakin memburuk
gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari asap dapur, asap
pabrik, dll.
Sedangkan risiko yang berasal dari host/pasiennya antara lain adalah: (1) Usia.
Semakin bertambah usia semakin besar risiko menderita PPOK. Pada pasien yang
didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita
gangguan genetik berupa defisiensi 1 antitripsin. Namun kejadian ini hanya
dialami < 1% pasien PPOK. (2). Jenis kelamin. Laki-laki lebih berisiko terkena
PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait dengan kebiasaan merokok pada pria.
Namun ada kecenderungan peningkatan prevalensi PPOK pada wanita karena
meningkatnya jumlah wanita yang merokok. (3). Adanya gangguan fungsi paru.
Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya PPOK,
misalnya defisiensi Immunoglobulin A (IgA/hypogammaglobulin) atau infeksi pada
masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Individu dengan gangguan
fungsi paru-paru mengalami penurunan fungsi paru-parulebih besar sejalan dengan
waktu daripada yang fungsi parunya normal, sehingga lebih berisiko terhadap
berkembangnya PPOK. Termasuk di dalamnya adalah orang yang pertumbuhan
parunya tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko
lebih besar untuk mengalami PPOK.
5
dapat masuk kedalam tubuh melalui beberapa cara seperti melalui makanan,
minuman dan suntikan. Beberapa contoh alergan antara lain : kacang
kacangan, Susu, Telur, Ikan Laut, Obat-obatan tertentu, seperti : Aspirin, obat
anti Rheumatik, dll. (2) Infeksi saluran Napas. (3) Polusi Udara. (4) Aktivitas
Fisik. (5) Faktor Emosi. (6) Cuaca.
C. Patofisiologi
COPD merupakan penyakit yang terjadi pada saluran pernafasan. Secara
umum, sistem respirasiberfungsi untuk menyediakan permukaan yang luas untuk
terjadinya pertukaran gas di antara udara dandarah yang bersirkulasi, menggerakkan
udara ke dan dari permukaan paru-paru sepanjang saluranrespirasi, dan melindungi
permukaan respirasi dari dehidrasi, perubahan temperatur, atau variasilingkungan
lain serta mempertahankan sistem repirasi dan jaringan lainnya dari invasi berbagai
patogen.Respirasi melibatkan empat proses, yaitu sebagai berikut : (1) Ventilasi :
pergerakan udara keluar masuk paru-paru. (2) Respirasi eksternal : pertukaran gas
antara darah dan ruang paru-paru yang terisi udara. (3) Transpor gas respirasi di
6
dalam darah : transpor O2 dan CO2 antara paru-paru dengan sel jaringan. (4)
Respirasi internal : pertukaran gas antara darah sistemik dengan sel jaringan.
Sistem respirasi dan kardiovaskular terlibat dalam respirasi. Organ sistem
respirasi secarafungsional dibagi menjadi struktur-struktur zona penghubung
(hidung sampai bronkhiol) dan struktur-struktur zona respirasi (bronkhiol respirasi
sampai alveoli), tempat berlangsungnya pertukaran gas.
7
Gambar 3. Zona respirasi
8
Proses lain yang menjadi patogenesis COPD adalah stres oksidatif dan
ketidakseimbangan antarasistem pertahanan agresif dan protektif di paru-paru
(protease dan antiprotease). Interaksi yangberubah antara oksidator dan antioksidan
yang terdapat pada jalan udara bertanggung jawab dalampeningkatan stres
oksidatif pada COPD. Peningkatan marker oksidator (seperti hidrogen peroksida
dannitrit oksida) terdeteksi pada cairan lapisan epitel. Peningkatan oksidator ini
dihasilkan oleh asap rokokyang bereaksi dengan berbagai protein dan lipid dan
merusaknya, memicu kerusakan sel dan jaringan.Oksidator juga memudahkan
timbulnya inflamasi secara langsung dan memperburukketidakseimbangan
protease-antiprotease dengan cara menghambat aktivitas antiprotease. Selain
itu,stress oksidatif juga menyebabkan hipersekresi mukus, merusak epitel alveoli,
pemodelan kembalimatriks, dan apoptosis sel.
9
elastase dan defisiensi AAT. Elastase akan menyerang elastin, komponenutama
dinding alveoli, terjadi proteolisis enzimatik, perusakan komponen matriks selular
(elastin),inaktivasi sistem AAT dan perusakan sel yang mensintesis matriks sel.
Pada kasus emfisema yang diturunkan, terjadi defisiensi AAT secara absolut. Pada
emfisema yang disebabkan oleh asap rokok, ketidakseimbangan dikaitkan dengan
peningkatan aktivitas protease atau pengurangan aktivitas antiprotease. Sel
inflamatori yang teraktivasi melepas beberapa proteaselain dibanding AAT,
meliputi katepsin dan metalloproteinase (MMP) yang mampu menginduksi
apoptosis sel epitel alveoli dan limfosit CD4 menginduksi respon autoimun
terhadap jaringan paru. Inflamasi pada COPD menginduksi perubahan yang
mempengaruhi kualitas hidup progresi COPD. Patofisiologi COPD secara umum
adalah sebagai berikut . (1) Pertama, proteolisis elastin menyebabkan reduksi
tekanan recoil elastin di paru-paru. Karenaintegritas dan pergerakan udara di
bronkhiol terutama bergantung pada tekanan coil elastik yang diinduksi oleh
jaringan elastic sekitarnya, kerusakan elastin pada COPD menyebabkan
penyempitan jalan udara secara signifikan dengan mengurangi aliran udara ke
bronkhiol danterjadi penjeratan udara di paru-paru. (2) Kedua, terjadi pembentukan
kembali (remodeling) fibrotic pada jalan udara menghasilkanpenyempitan jalan
udara yang tetap menyebabkan peningkatan resistensi jalan udara yangmanatidak
sepenuhnya dapat pulih kembali walau dengan bronkodilator. (3) Ketiga, terjadi
apoptosis sel epitel alveoli dan bronkiol serta kapiler pulmonar pada fiturhistologic
seperti emfisema dan fitur fisiologik seperti penurunan luas permukaan alveoli
untukpertukaran gas dan ventilasi yang tidak sebanding (V/Q).Sangat berguna
untuk membedakan inflamasi karena COPD atau karena asma karena
responterhadap terapi antiinflamatori juga berbeda. Sel-sel inflamatori yang
menonjol berbeda pada 2 kondisitersebut, dimana neutrofil memainkan peran
utama pada COPD, sementara eosinofil dan sel mast padaasma. Mediator inflamasi
juga berbeda, dimana LTB4, IL-8, da TNF- dominan pada COPD, sementara
LTD4, IL-4, dan IL-5 diantara sejumlah mediator lainnya memodulasi inflamasi
pada asma.
Perubahan patologik COPD bersifat luas, mempengaruhi jalan udara besar dan
kecil, parenkimparu-paru, dan pembuluh pulmonar. Eksudat inflamatori sering
muncul dan memicu peningkatan jumlah dan ukuran sel-sel goblet dan kelenjar
10
mukus. Sekresi mukus meningkat, dan motilitas siliari lemah. Terdapat juga
penebalan otot polos dan jaringan ikat pada jalan udara. Inflamasi terjadi baik pada
jalanudara sentral dan perifer. Jalan udara sentral (trakea dan bronkus dengan
diameter lebih besar dari 2 mm), sel inflamatorimenerobos epitel dan terjadi
hipertrofi kelenjar pensekresi mukus dan peningkatan sejumlah selgoblet yang
berkaitan dengan hipersekresi mukus. Jalan udara perifer (bronkiol dan bronkus
dengan diameter kurang dari 2 mm), inflamasi kronismenyebabkan siklus agregasi
dan perbaikan dinding bronkiol yang berulang. Proses perbaikanmenyebabkan
remodeling dinding jalan udara, dengan peningkatan kandungan kolagen
danpembentukan jaringan ciatriceal, memicu penyempitan lumen dan obstruksi
jalan udaraireversibel.Inflamasi kronis diakibatkan oleh luka berulang dan proses
perbaikan yang memicu luka parutdan fibrosis. Jalan udara menjadi sempit,
dominan terjadi pada jalan udara perifer yang lebih kecil. Pengurangan FEV1
menggambarkan terdapatnya inflamasi pada jalan udara sementara abnormalitas
gaspada darah dihasilkan oleh transfer gas yang tidak tepat karena kerusakan
parenkim paru.
Perubahan parenkimal mempengaruhi unit penukar gas pada paru-paru,
mencakup kapilerpulmonar dan alveoli. Distribusi perubahan destruktif bervariasi
bergantung pada etiologi. Paling umum,penyakit yang disebabkan asap rokok
menyebabkan emfisema centrilobural yang umum mempengaruhibronkiol
respirasi. Emfisema panlobular dijumpai pada defisiensi AAT dan meluas
ke duktus dan kantungalveoli.
Perubahan vaskular pada COPD meliputi penebalan pembuluh pulmonar dan
sering tampakpada awal muncul penyakit. Peningkatan tekanan pulmonar pada
awal penyakit disebabkan olehvasokontriksi hipoksia dari arteri pulmonar
menyebabkan disfungsi endotel arteri pulmonar.Selanjutnya, perubahan struktur
memicu peningkatan tekanan pulmonar, terutama selamalatihan/olahraga. Pada
COPD parah, hipertensi pulmonar sekunder memicu berkembangnya gagal jantung
sisi kanan.Akhir-akhir ini, overinflasi toraks juga dikaitkan dengan patofisiologi
COPD. Obstruksi jalan udarakronis memicu penjeratan udara sehingga
menyebabkan hiperinflasi toraks yang dapat dideteksi padaradiografi dada.
Masalah ini menimbulkan perubahan dinamik di dada, termasuk meratakan
ototdiafragma. Akibatnya, otot diafragma menjadi kurang efisien untuk
11
memungkinkan ventilasi udara,dibutuhkan kerja lebih sehingga otot menjadi lelah.
Selain itu, pasien COPD dengan hiperinflasi toraksmenunjukkan peningkatan
kapasitas residual fungsional sehingga jumlah udara yang tertinggal di paru-paru
setelah ekshalasi meningkat. Oleh sebab itu, pasien bernafas pada volume paru
yang lebih tinggi.Hal ini juga membatasi kapasitas cadangan inspirasi, yaitu jumlah
udara yang dapat pasien hirup untukmengisi paru-paru. Peningkatan kapasitas
residual fungsional juga membatasi durasi inhalasi sehinggamenyebabkan dyspnea.
D. Klasifikasi
Tingkat keparahan COPD sangat penting diketahui karena berorientasi untuk
pengobatan penyakit. Tingkat keparahan COPD berdasarkan pada intensitas gejala,
abnormalitas spirometri, dan keberadaan komplikasi. Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease (GOLD) mengklasifikasikanCOPD sebagai berikut.
Tingkat 1 (Mild COPD) COPD ringan dikarakterisasi dengan pembatasan aliran
udara yang sifatnya ringan (FEV 80%, FEV1/FVC 70%). Gejala yang
12
muncul yaitu batuk kronis dan produksi sputum, tetapi tidak selalu ada. Pada
tingkat ini, pasien biasanya tidak menyadari bahwa fngsi parunya abnormal.
Tingkat 2 (Moderate COPD) COPD sedang di karakterisasi dengan
memburuknya pembatasan aliran udara (50% FEV1 80%, FEV1/FVC
70%), dengan pemendekan nafas sehingga membutuhkan usaha lebih, batuk,
dan produksi sputum. Ini merupakan tahap dimana pasien secara khas mencari
perhatian medik,karena gejala respirasi kronis atau eksaserbasi penyakit.
Tingkat 3 (Severe COPD) COPD parah dikarakterisasi dengan memburuknya
pembatasan aliran udara yang lebih jauh (30% FEV1 50%, FEV1/FVC
70%), pemendekan nafas yang jauh lebih besar, pengurangan kapasitas latihan,
lelah, dan eksaserbasi berulang yang hampir selalu berpengaruh pada
kualitashidup pasien.
Tingkat 4 (Very severe COPD) COPD sangat parah dikarakterisasi dengan
pembatasan aliran udara yang parah (FEV1 30%atau FEV1 50% dengan
keberadaan gagal respirasi kronis dan gagal jantung sebelah kanan;FEV1/FVC
70%). Pasien dapat saja mencapai tingkat 4, COPD sangat parah bahkan bila
FEV1 30%, kapanpun komplikasi ini ada. Pada tingkat ini, kualitas hidup.
sangat dipengaruhi daneksaserbasi dapat mengancam hidup
Untuk kasus pasien dengan eksaserbasi akut COPD terdapat pengelompokkan lain,
yakni sebagai berikut :
Tipe 1 (Mild ). Pada tipe ini, terdapat satu gejala kardinal (gejala kardinal
meliputi kondisi yang memperparah dyspnea, peningkatan volume sputum,
danpeningkatan purulensi sputum.) ditambah sekurang-kurangnya satu dari
berikut : Upper Respiratory Tract Infection (URTI) selama 5 hari, demam
tanpa sebab yang jelas, peningkatan wheezing, batuk, dan laju jantung atau
respirasi 20% di atas baseline.
Tipe 2 (Moderate). Pada tahap ini terdapat dua gejala cardinal (gejala kardinal
meliputi kondisi yang memperparah dyspnea, peningkatan volume sputum,
danpeningkatan purulensi sputum.).
Tipe 3 (Severe). Pada tahap ini terdapat tiga gejala kardinal (gejala kardinal
meliputi kondisi yang memperparah dyspnea, peningkatan volume sputum,
danpeningkatan purulensi sputum).
13
E. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda umum PPOK yaitu : (1) Batuk produktif . Batuk produktif ini
disebabkan oleh inflamasi dan produksi mukusyangberlebihan di saluran nafas. (2)
Dispnea. Terjadi secara bertahap dan biasanya disadari saat beraktivitas fisik.
Berhubungan dengan menurunnya fungsi paru-paru dan tidak selalu berhubungan
dengan rendahnya kadar oksigen di udara. (3) Batuk kronik . Batuk kronis
umumnya diawali dengan batuk yang hanya terjadi pada pagi hari saja kemudian
berkembang menjadi batuk yang terjadi sepanjanghari. Batuk biasanya dengan
pengeluaran sputum dalam jumlah kecil(<60ml/hari) dan sputum biasanya jernih
atau keputihan. Produksi sputum berkurang ketika pasien berhenti
merokok (GOLD,2005). (4) Mengi, Terjadi karena obstruksi saluran nafas. (5)
Berkurangnya berat badan. Pasien dengan PPOM yang parah membutuhkan kalori
yang lebih besar hanya untuk bernapas saja. Selain itu pasien
juga mengalamikesulitan bernafas pada saat makan sehingga nafsu makan
berkurang dan pasien tidak mendapat asupan kalori yang cukup untuk mengganti
kalori yang terpakai. Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya berat
badan pasien. (6) Edema pada tubuh bagian bawah. Pada kasus CPOD yang parah,
tekanan arteri pulmonary meningkatdan ventrikel kanan tidak berkontraksi dengan
baik. Ketika jantung tidak mampu memompa cukup darah ke ginjal dan hati akan
timbul edema padakaki, kaki bagian bawah, dan telapak kaki. Kondisi ini juga
dapatmenyebabkan edema pada hati atau terjadinya penimbunan cairan
pada abdomen (acites).
14
6 Teraba pulsus paradoksus Tidak Ada Ada
7 Puncak Exspiratory Flow Rate (L/menit) > 100 <100
Keterangan: jika terdapat skor empat atau lebih, maka pasien diperkirakan
mengalami astma berat. Selanjutnya pasien harus diobservasi untuk menentukan
ada tidaknya respon dari terapi atau segera dikirim ke rumah sakit.
F. Diagnosa
15
Untuk mendiagnosa COPD, perlu diketahui dulu gejala dengan dilakukan
pemeriksaan. Selainitu, dokter juga akan menanyakan sejarah kesehatan. Jika
dokter berpikir bahwa pasien memiliki COPD,ia akan menanyakan pada pasien
tentang masalah yang dirasakan pada dada dan berapa lama masalahitu terjadi.
Dokter biasanya memeriksa dada pasien dengan stetoskop, mendengarkan suara
seperti wheezing dan crackles.
Berikut adalah cara mendiagnosa COPD umum (tidak dengan eksaserbasi).
(1) Spirometri dengan uji reversibilitas. Uji ini dilakukan dengan cara pasien harus
mengalirkan udara ke dalam alat dimana akan terukur seberapa banyak dan
seberapa cepat pasien dapat menggerakkan udara keluar dari paru-paru.Masalah
paru berbeda akan menghasilkan hasil yang berbeda pula sehingga penting untuk
memisahkan COPD dari penyakit dada lain seperti asma. Tes spirometri dapat
mengkonfirmasi adanya keterbatasan jalan udara Spirometri mewakili penilaian
yang komprehensif volume dan kapasitas paru. Pokok COPD yaitu perbandingan
FEV1/FVC 70% yang mengindikasikan adanya obstruksi jalan udara, dan post
bronkodilator FEV1 80% menunjukkan adanya
keterbatasan jalan udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Reversibilitas
pembatasan jalan udara diukur dengan bronkodilator. (2) Radiografi dada.
Penyinaran dengan sinar X dilakukan untuk melihat bila paru-paru menunjukkan
tanda COPD,dan untuk meniadakan penyakit lain. (3) Arterial blood gas (tidak
rutin) Uji ini dilakukan untuk mendiagnosa adanya anemia atau gejala infeksi. (4)
CT (computed tomography) scan. Dilakukan untuk menggambarkan gambaran
3 dimensi paru-paru. (5) ECG (electrocardiogram)Dilakukan untuk mengukur
impuls elektrik dari jantung untuk mengecek bila pasien memilikipenyakit jantung
atau paru-paru. (6) EchocardiogramDilakukan untuk melihat sebarapa baik jantung
bekerja.(7) Oksimeter pulsa. Dilakukan untuk memonitor jumlah oksigen di darah
untuk melihat bila pasien memerlukanterapi oksigen.
G. Penatalaksanaan
G.1 Asma Brochiale
1. Postural drainage
Merupakan suatu teknik untuk mengalirkan sekresi dari berbagai segmen
menuju saluran nafas yang lebih besar, dengan menggunakan pengaruh
16
gravitasi dan pengaruh posisi pasien yang sesuai dengan letak sputumnya.
Sebelum dilakukan PD memperbanyak minum dahulu, 1 jam sebelum
dilakukan PD.
2. Tapotement
Tapotement adalah teknik cupping yang dilakukan dengan menepuk-nepuk
telapak tangan secara ritmik dan berirama pada dinding thorax, punggung dan
daerah costa samping kanan dan kiri. Tapotement diberikan bersamaan dengan
PD dan dapat juga selama penyinaran IR dengan 10-15 mnt. Tujuannya
untuk memindahkan sputum ke cabang bronkus utama yang kemudian pasien
disuruh untuk batuk.
3. Batuk efektif
Batuk merupakan suatu gerakan reflek untuk mengeluarkan benda asing atau
sputum dari dalam saluran pernafasan. Dalam latihan batuk harus di lakukan
dengan benar yaitu dengan pengembangan daerah perut dan pinggang secara
perlahan-lahan yang bertujuan untuk pengisian udara pada daerah bronkiolus
tanpa menyebabkan sekresi tersebut terbawa masuk lebih dalam pada saluran
bronkiolus. Posisi pasien pada batuk efektif yang benar adalah posisi pasien
duduk dengan badan agak condong ke depan agar memudahkan kontraksi
otot dinding perut dan dada sehingga menghasilkan tekanan abdominal yang
benar. Teknik pelaksanaan batuk efektif yaitu pasien tarik nafas lewat hidung
pelan dan dalam, kemudian menahan nafas beberapa saat (2-3dtk) selanjutnya
pasien disuruh mengontraksikan otot perut sambil mengeluarkan nafas dengan
dibatukan. Batuk dilakukan sebanyak 2 kali dengan mulut terbuka dan
dilakukan setelah respirasi sebanyak 2-3 kali, batuk yang pertama akan
melepaskan sputum dari tempat perlengketannya dan batuk yang kedua akan
membantu mengeluarkan sputum dari saluran pernafasan.
4. Breathing exercise
Latihan ini meliputi latihan pernafasan dada dan perut. Melakukan latihan
yang benar adalah tarik nafas lewat hidung dan hembuskan lewat mulut.
Latihan ini bertujuan untuk memperbaiki ventilasi udara, melatih pernafasan
17
diafragma, memelihara elastisitas jaringan paru-paru dan menjaga expansi
thorax.
6. IR (infra red)
Penyinaran diberikan pada daerah dada dan punggung atas. Lamanya
penyinaran 15 mnt, dibagi 2 = bagian dada 7,5 mnt dan bagian punggung
atas 7,5 mnt. Tujuan penyinaran untuk mendapatkan relaksasi lokal pada
daerah dada dan punggung juga untuk memperbaiki sirkulasi darah
(fasodilatasi pmbuluh darah).
Penatalaksanaan Fisioterapi
19
Tujuan dari fisioterapi adalah : (1) Membantu mengeluarkan sputum dan
meningkatkan efisiensi batuk. (2) Mengatasi gangguan pernapasan pasien. (3)
Memperbaiki gangguan pengembangan thoraks. (4) Meningkatkan kekuatan
otot-otot pernapasan. (5) Mengurangi spasme otot leher.
Penerapan fisioterapi :
1. Postural Drainase
Salah satu tehnik membersihkan jalan napas akibat akumulasi sekresi
dengan cara penderita diatur dalam berbagai posisi untuk mengeluarkan
sputum dengan bantuan gaya gravitasi.
Tujuannya untuk mengeluarkan sputum yang terkumpul dalam lobus paru,
mengatasi gangguan pernapasan dan meningkatkan efisiensi mekanisme
batuk.
2. Breathing Exercises
Dimulai dengan menarik napas melalui hidung dengan mulut tertutup
kemudian menghembuskan napas melalui bibir. Posisi yang dapat
digunakan adalah tidur terlentang dengan kedua lutut menekuk atau kaki
ditinggikan, duduk di kursi atau di tempat tidur dan berdiri. Tujuannya
untuk memperbaiki ventilasi alveoli, menurunkan pekerjaan pernapasan,
meningkatkan efisiensi batuk, mengatur kecepatan pernapasan,
mendapatkan relaksasi otot-otot dada dan bahu dalam sikap normal dan
memelihara pergerakan dada.
3. Latihan Batuk
Merupakan cara yang paling efektif untuk membersihkan laring, trakea,
bronkioli dari sekret dan benda asing.
4. Latihan Relaksasi
Secara individual penderita sering tampak cemas, takut karena sesat napas
dan kemungkinan mati lemas. Dalam keadaan tersebut, maka latihan
relaksasi merupakan usaha yang paling penting dan sekaligus sebagai
langkah pertolongan. Metode yang biasa digunakan adalah Yacobson.
Contohnya : Penderita di tempatkan dalam ruangan yang hangat, segar
dan bersih, kemudian penderita ditidurkan terlentang dengan kepala diberi
bantal, lutut ditekuk dengan memberi bantal sebagai penyangga.
20
H. Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya PPOK dapat dilakukan dengan beberapa cara,
yaitu: (1) Merubah pola hidup : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi dan polusi
udara. (2) Pencegahan Penyakit Paru Pada Usia Lanjut. Proses penuaan pada
seseorang tidak bisa dihindari. Perubahan struktur anatomik maupun fisiologik
alami juga tidak dapat dihindari. Pencegahan terhadap timbulnya penyakit-penyakit
paru pada usia lanjut dilakukan pada prinsipnya dengan meningkatkan daya tahan
tubuhnya dengan memperbaiki keadaan gizi, menghilangkan hal-hal yang dapat
menurunkan daya tahan tubuh, misalnya menghentikan kebiasaan merokok, minum
alkohol dan sebagainya. (3) Pencegahan terhadap timbulnya beberapa macam
penyakit dilakukan dengan cara yang lazim, diantaranya: (a) Usaha pencegahan
infeksi paru / saluran nafas. Usaha untuk mencegahnya dilakukan dengan jalan
menghambat, mengurangi atau meniadakan faktor-faktor yang mempengaruhi
timbulnya infeksi. Hal positif yang dapat dilakukan misalnya dengan melakukan
vaksinasi dengan vaksin pneumokok untuk menghindari timbulnya pneumoni,
tetapi sayangnya pada usia lanjut vaksinasi ini kurang berefek (Mangunegoro,
1992). (b) Usaha pencegahan timbulnya PPOM atau karsinoma paru
Sejak usia muda, bagi orang-orang yang beresiko tinggi terhadap timbulnya
kelainan paru (PPOM dan karsinoma paru), perlu dilakukan pemantauan secara
berkala: Pemeriksaan foto rontgen toraks. Pemeriksaan faal paru, paling tidak
setahun sekali. Sangat dianjurkan bagi mereka yang beresiko tinggi tadi (perokok
berat dan laki-laki) menghindari atau segera berhenti merokok.
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit
paru-paru yang berlangsung lama dan di tandai oleh peningkatan resistensi terhadap
aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Tiga macam penyakit paru yaitu
asma bronkial, bronkitis kronik, dan emfisema paru membentuk suatu kesatuan menjadi
penyakit ini.. Penyebabnya diakibatkan merokok, pekerjaan, polusi udara selain itu
factor usia, jenis kelamin dan adanya gangguan pada fungsi paru merupakan factor host.
Penatalaksanaan fisioterapi harus dilakukan dengan sistematis. Dimulai dari proses
assessment, menentukan problematika fisioterapi, merencanakan program, implementasi
program dan evaluasi.
B. Saran
- Pihak keluarga secara kooperatif membantu proses penyembuhan pasien.
- Penelitian fisioterapi dalam Penyakit paru Obstruksi Kronik (PPOK) harus
diperbanyak untuk memperoleh metode terbaik.
- Kerjasama dari berbagai disiplin ilmu harus berjalan dengan sinergis untuk
mempercepat penyembuhan pasien.
22
DAFTAR PUSTAKA
Brashier, Bill B., Kodgule, Rahul. 2012. Risk Facor and Pathophysiology of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD), volume 60. India : Association of Physicians . Hal.
17-19.
Soenarno, P.2000. Peranan Fisioterapi dan Indonesia Sehat 2010 . Dalam Temu
Ilmiah Tahunan Fisioterapi (TITAFI)XV.Semarang.
23