Anda di halaman 1dari 12

MATA KULIAH

PSIKOLOGI KESEHATAN
MAKALAH
"KEPEKAAN MASYARAKAT TERHADAP KRITIK"

OLEH:
NAMA : NUR ANNISA
NIM. : J1A116086
KELAS : KESLING

FAKULTASKESEHATANMASYARAKAT
UNIVERSITASHALUOLEO
KENDARI
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan
rahmat serta karunia-Nya, maka penulisan makalah ini yang bertema KEPEKAAN
MASYARAKAT TERHADAP KRITIK dapat terselesaikan dengan baik.
Terimakasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan
makalah ini.
Selain itu, kami berharap makalah ini dapat berguna bagi saya dan teman-
teman pada umumnya, dalam perkuliahan kita nantinya.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini belum dapat di katakan
baik, masih banyak kesalahan yang terdapat di dalam makalah yang kami buat ini.
Untuk itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari rekan-rekan sekalian
demi perbaikan makalah-makalah kami selanjutnya. Terima kasih.

Kendari, 27 NOVEMBER 2017

Penulis
Kepekaan Masyarakat terhadap Kritik

1.1 Kepekaan Masyarakat dalam Mengeritik

Untuk melontarkan suatu kritik secara langsung pada target kritik seseorang harus
memiliki cukup keberanian. Dalam masyarakat Indonesia munculnya keberanian
untuk mengeritik dihambat oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain
adalah :
Pertama, akar budaya masyarakat Indonesia yang umumnya masih bersifat
nonasertif. Orang Indonesia pada umumnya tergolong tipe orang yang menghindari
konflik dengan orang lain, kurang berani berterus terang, rikuh (ewuh pakewuh).
Kritik pada dasarnya memang merupakan salah satu bentuk konflik. Jadi kritik
sedapat mungkin harus dihindarkan. Kritik baru dilontarkan dengan suatu keberanian
apabila hal tersebut menyangkut kepentingan diri dan orang banyak yang sifatnya
mendasar.
Kedua, adanya rasa tergantungan yang terlalu besar pada super ordinate.
Ketergantungan yang dimaksudkan adalah terjaminnya kelangsungan kebutuhan
hidup. Rasa ketergantungan ini timbul karena kuat dan luasnya pengaruh kekuasaan
tertanam dalam seluk-beluk kehidupan masyarakat. cendekiawan adalah orang yang
tergolong mempunyai penalaran yang luas terhadap suatu hal. secara toritis,
cendekiawan diharapkan banyak memberikan pendapat yang tampil berwujud kritik
terhadap program dan kebijakan super ordinate. Namun kecenderungan yang tampak,
banyak orang dari kalangan kampus yang tidak menyuarakan suatu lontaran kritik
secara jelas. Ada pula mahasiswa yang lebih banyak memilih diam daripada
menyuarakan pendapat. Kekuatiran akan mendapatkan sanksi akademik dari super
ordinate masih amat terasa. Para tenaga pengajar yang penalarannya luas pun, ada
yang lebih banyak memilih diam daripada mengeritik. Kondisi demikian tentu
memiliki sebab. Status sebagai pegawai negeri menurut beberapa kalangan memang
merupakan faktor yang menghalang-halangi munculnya kritik terhadap kebijakan
pejabat pemerintahan. Sebagai pegawai negeri, tampaknya kurang wajar untuk
mengkritik kebijakan-kebijakan yang ditelorkan oleh sejawat yang sama-sama
pegawai negeri. Faktor lain ialah masih besarnya ketakutan akan terhambat kemajuan
karir kerja, atau bahkan kehilangan status sebagai pegawai negeri, bila mengeritik
kebijakan pemerintah. Hal yang sama terjadi pula dengan para pihak swasta. Oleh
karena amat besar ketergantungan swasta terhadap pemerintah, maka dampaknya
keberanian mengeritik ini akan berkurang. Semakin besar ketakutan terhadap super
ordinate, kepekaan melakukan kritik akan semakin melemah. Tentu saja
kekhawatiran terhadap konsekuensi-konsekuensi akibat menjalankan fungsi kritik ini
tidak selalu beralasan. Dengan adanya kebijakan keterbukaan, terbukanya
kemungkinan melakukan kritik yang agak tajam, khususnya kritik yang tidak
diesbarluaskan oleh media massa. Namun masih cukup ada tanda-tanda bahwa
anggota masyarakat lebih suka cara memilih cara kritik yang tidak mengancam
dirinya. Banyaknya surat-surat melalui kotak pos pengaduan khusus seperti Kotak
Pos 5000 adalah indikasi dari keengganan untuk berhadapan langsung dengan target
kritik. Bentuk kritik lain yang lebih aman juga banyak dimanfaatkan. Misalnya
dilampiaskan melalui gossip dan jokes. Menurut Merry (1984), gosip (gossip) dan
lelucon (jokes) yang berkembang di masyarakat dan tertuju kepada super ordinate
adalah bentuk lain dari pengawasan social (lihat Merry, 1984). Secara psikologis
gossip dan jokes digunakan sebagai salah satu cara untuk mengurangi ketegangan
jiwa karena tidak adanya keberanian untuk mengeritik secara langsung. Semakin
tertutup dan otoriter suatu sistem pemerintahan maka akan semakin berkembang
gosip dan lelucon yang berisi kritikan terhadap super ordinate. Contoh kritik terhadap
super ordinate yang mengambil bentuk jokes adalah lelucon-lelucon yang ditulis
dalam buku humor populer Mati Ketawa Cara Rusia. Contohnya tertulis sebagai
berikut: Berapa dua kali dua? Terserah jawaban partai. Bagaimana anda berhubungan
dengan Pemerintah Soviet? Seperti dengan istri: sebagian karena kegemaran,
sebagian karena takut, disertai doa, semoga segera mendapatkan yang lain.
Ketiga, rendahnya kejelasan hukum tentang kritik yang bebas hukuman.
Peranan hukum akan sangat menentukan keberanian orang dalam mengajukan kritik.
Orang akan takut mengajukan kritik apabila tidak jelas apakah kritik tersebut bebas
atau tidak dari ancaman atau tuntutan hukum. Khususnya dalam memberikan kritik
yang ditujukan kepada pihak yang memiliki kekuasaan, orang akan memikirkan
kemungkinan apakah kritik tersebut nantinya digolongkan ke dalam perbuatan
subversif. Ketakutan tuduhan subversif ini semakin kuat bila di suatu negara ada
undang-undang anti subversi, dan dalam undang-undang itu tidak jelas kriteria pelaku
subversif dan yang bukan subversif. Ketakutan itu dapat didorong pula oleh
kekuatiran lain bahwa hukum akan selalu berpihak pada pihak yang memiliki
kekuasaan. Baumbartner (1984) menulis: Law, for instance, ini the form of police,
judges, jailers, and executioners, often stand ready to service of those high status
when they have grievances againts people with less wealth, authority, atau other
attributes of social standing. (hal 303).
Keempat, budaya bapakisme. Budaya bapakisme yang berkembang dalam
masyarakat yang berorientasi vertikal akan menghambat masyarakat mengajukan
kritik kepada atasannya. Budaya yang demikian ini akan menumbuhkan komunikasi
yang satu arah, dari atasan ke bawahan saja (top-down), tanpa arus balik dari bawah
ke atas (bottom-up). Kalupun ada arus balik, biasanya arus balik ini selalu yang baik
dan menyenangkan. Dalam bahasa populer, arus balik yang terfilter dengan sistematis
dan terencana ini disebut ABS (Asal Bapak Senang). Adalah tidak pantas untuk
mempertanyakan apa yang dikerjakan bapak. Bila ada kasus yang membingungkan
masyarakat yang sumbernya dari pihak yang memiliki kekuasaan, masyarakat tidak
berani bertanya. Hal yang demikian inilah yang justru membuat masyarakat bertanya
dalam hati, dan seringkali memicu timbulnya gosip yang bermacammacam. Berbeda
dengan keadaan di negara Barat yang menganut demokrasi leberal, di Indonesia
adalah tidak mungkin bagi media massa mengundang pemilik kekuasaaan guna
menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi pada masyarakat. Kalau di Amerika Serikat
ada acara Meet the Press yang digunakan untuk mewawancara sang pejabat yang
membuat masalah kontroversial. Di Indonesia pertanyaan terhadap anggota DPR
yang merupakan wakil rakyat terhadap pemerintah biasanya tidak semuanya &
langsung dijawab secara verbal, tetapi ada yang dijawab secara tertulis.
Kelima, masih kuatnya budaya dalam tata-cara kritik. Orang memiliki
kecenderungan tidak suka dikritik secara langsung dan tegas. Kritik yang demikian
dianggap tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Kritik harus dibuat sehalus mungkin
supaya tidak menyakitkan. Dalam bahasa Jawa ada tata-cara kritik yang dituangkan
dalam ungkapan ngono yo ngono,ning ojo ngono. Hal demikian dapat mempersulit
efektivitas penyampaian kritik. Hal ini dikarenakan keterbatasan dan ketidakpekaan
banyak orang yang tidak bisa menangkap isi kritikan bila kritik diberikan secara
halus, atau melalui kiasan. Memberikan kritikan yang caranya sesuai dengan
Pancasila juga tidaklah mudah. Secara operasional patokannya belum diperjelas,
mana kritikan yang sesuai dengan Pancasila dan mana yang tidak sesuai. Keadaan
yang demikian itu merupakan beberapa faktor yang membuat banyak orang merasa
sungkan menyampaikan kritikan. Kritik melalui media massa juga dapat mengalami
hal yang serupa. Banyak pejabat yang tidak menyukai kritik secara terbuka (lihat
Dahlan, 1977; Parera, 1977). Kritik terbuka melalui media massa akan lebih kecil
kemungkinannya untuk dilakukan bila ada kekuasaan dan keleluasaan pemerintah
membrendel media massa yang dianggap tidak mengikuti aturan Pers Pancasila.
Menurut pendapat beberapa ahli, kritik yang diajukan secara terbuka melalui media
massa akan lebih efektif dari pada kritik yang diajukan secara tertutup. Kritik yang
terbuka memang lebih menyakitkan, namun sangat efektif untuk membuat orang
lebih hatihati di dalam tindakannya di masa yang akan datang.

1.2 Kritik
Kritik berfungsi sebagai cara untuk membantu orang lain agar mengambil
jalan yang lebih baik (menurut visi pengeritik). Namun demikian seakan-akan banyak
orang tidak memilik kepekaan untuk mlontarkan kritik. Banyak orang memilih
bersikap diam ketimbang melakukan kritik yang sesungguhnya banyak faedahnya.
Bagaimanapun wujudnya kritik merupakan salah satu bentuk pengawasan sosial yang
sangat diperlukan dalam kegiatan pembangunan. Mengapa hal demikian terjadi,
adalah hal yang akan ditulis dalam tulisan ini. Kritik merupakan salah satu diantara
banyak bentuk gugatan terhadap fihak lain. Gugatan yang dimaksud muncul dalam
konotasi ketidaksamaan pendapat atau perilaku (nonconformity) antara penggugat
terhadap pendapat perilaku pihak yang digugat. Pihak yang digugat adalah siapa saja
yang mengajukan pendapat atau berperilaku. Pada pembahasan ini, pihak yang
digugat akan dibatasi pada kelompok yang memiliki peranan super ordonante.
Contoh pihak yang memiliki fungsi super ordonante adalah atasan, pimpinan,
direktur, atau siapa saja yang berperan sebagai penguasa, yang memiliki kekuasaan
untuk mengatur perilaku orang lain. Dari sudut pandang hubungan inter personal,
kritik merupakan salah satu bentuk perilaku non-konfornitas terhadap orang lain.
Seseorang cenderung akan menyukai orang lain yang berpendapat sama, dan
sebaliknya, seseorang tidak akan menyukai orang yang mempunyai pendapat yang
berbeda (lihat Byrene, 1971). Oleh karena itu, kritik pada galibnya sulit untuk disukai
oleh setiap orang. Tetapi meskipun tidak disukai, ia harus hadir setiap saat bilamana
muncul penyimpangan, baik disadari atau tidak, serta di sengaja atau tidak. Tanpa
kritik orang dapat menjadi sesat oleh karena keyakinan sendiri. Belum penyimpangan
tersebut menyangkut kepentingan orang banyak, pertanda kerugian yang besar akan
segera dihadapi.

1.3 Sumber Kritik

Kritik dapat ditimbulkan oleh beberapa hal. secara garis besar, kritik tumbuh
karena beberapa faktor atau situasi antara lain:
Pertama, adanya perasaan bahwa orang yang dikritik-- selanjutnya disebut
target kritik-- telah melakukan suatu tindakan yang mencerminkan
ketidakadilan (in justice). Ketidak adilan ini misalnya, terlihat dalam hal
perbedaan akses untuk meperoleh sumber daya (resources). Sumber daya
dapat berupa kesempatan kerja, kesempatan berusaha, perbedaan perlakuan
hukum dan lain-lain.
Kedua, adanya perbedaan sikap dan pandangan mengenai suatu persoalan
penting antara pengeritik dan target kritik.
Ketiga, evaluasi yang kurang memuaskan terhadap performace target kritik.
Misalnya, banyak janji yang tidak terpenuhi, hasil pekerjaan yang kurang
memuaskan, ada ketidak sesuaian antara kebijakan dan tindakan, dan lain-lain. Ketiga
hal diatas timbul karena adanya perbedaan persepsi antara pengeritik dan target
kritik. Terjadinya perbedaan persepsi tentang suatu hal yang sama disebabkan karena
adanya perbedaan struktural-funksional antara pengeritik dan target kritik. Bila
dirinci lagi, perbedaan tersebut dapat meliputi perbedaan peran, perbedaan anggota
kelompok, perbedaan harapan tentang peran, dan perbedaan kepentingan.

Kritik dapat berkembang dari kehendak untuk menyuarakan kepentingan diri


sendiri, orang lain atau kepentingan kelompok. Sebaliknya, tidak mempannya target
kritik terhadap kritik yang dilontarkan, dapat dikarenakan oleh karena menurut
pendapat target kritik kepentingan pribadi dan atau kepentingan kelompoknya
terancam. Situasi yang demikian ini merupakan salah satu kondisi yang paling sulit
untuk diatasi.

1.4 Hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kepekaan masyarakat


terhadap kritik
Dengan adanya ajakan pemerintah untuk menggalakkna peranan sektor swasta
dalam pembangunan, maka saat sekarang ini adalah saat terbaik untuk merintis dan
mengembangkan jalur-jalur kritik dari masyarakat. Tekad pemerintah untuk
megurangi kontrolnya terhadap kehidupan masyarakat dengan debirokratisasi
dereguralasi semoga akan menular ke dalam hal memberikan masukan kritik terhadap
program pemerintah. Kesan pribadi penulis, saat ini pemerintah jauh lebih terbuka
terhadap kritik. Khususnya dalam kegiatan seminar atau diskusi tertutup yang pernah
penulis hadiri, cukup sering kritikan yang sensitif dilontarkan. Tentu saja yang berani
memberikan kritik yang demikian hanyalah sejumlah kecil cendikiawan. Kelonggaran
kepada masyarakat untuk mengeritik pelaksanaan pemerintah telah pula dilakukan
dengan jalur kotak pos. Kesempatan mengeritik secara langsung melalui kotak pos
khusus hendaknya lebih diperluas sampai ke unit pemerintahan yang lebih rendah,
dan betul-betul diinformasikan kepada masyarakat tindak lanjut yang telah dilakukan
terhadap kritik tersebut. Selain itu, kini sudah saatnya untuk memasukkan kualitas
pelayanan terhadap masyarakat sebagai bagian dari penilaian prestasi kerja pejabat
pemerintah, khususnya bagi pejabat yang langsung berhadapan dengan pelayanan
masyarakat. Penilaian tersebut hendaknya diberikan oleh masyarakat melalui
pembukaan kesempatan untuk mengeritik. Semakin banyak kritikan berarti semakin
semakin tidak baik kualitas pelayanan. Saat ini keterlibatan masyarakat dalam
penilaian terhadap kondite pelaksana pemerintas belum optimal. Harus pula diakui
bahwa tidak semua kritik bisa dilontarkan secara terbuka ke dalam masyarakat.
Menurut penulis, banyak hal-hal sensitif yang mungkin belum waktunya untuk
dibicarakan secara terbuka.
Dalam kasus demikian, hendaknya ada jalur khusus forum dialog antara
pemerintah dan masyarakat. Anggota masyarakat yang tampaknya perlu
diprioritaskan untuk terlibat dalam dialog tersebut adalah kaum cendikiawan. Dialog
ini sifatnya tertutup. Tujuannya adalah memberikan masukan alternatif terhadap
program-program pemerintah. Dalam suasana optimalisasi peranan dan kemampuan
anggota DPR yang seperti sekarang, tampaknya kelompok ini sangat diperlukan. Hal
lain yang tidak kalah pentingnya adalah menciptakan generasi pemimpin yang
terbuka terhadap kritik. Mekanisme penciptaan kader kepemimpinan yang memiliki
keterbukaan terhadap kritik patut diperluas. Salah satu bentuknya dapat berwujud
pemberian kesempatan untuk berorganisasi tanpa terlalu banyak diatur oleh
pemerintah. Organisasi kemahasiswaan semacam Dewan Mahasiswa yang ada di
Perguruan Tinggi, sebelum ada program NKK/BKK tampaknya sangat efektif di
dalam menciptakan pimpinan yang tahan dengan kritik. Tampaknya perlu dipikirkan
untuk menumbuhkan mekanisme demikian dengan cara lain bila cara yang lama tidak
memungkinkan.
PENUTUP

2.1 Kesimpulan
Dalam melontarkan suatu kritik secara langsung pada target kritik seseorang
harus memiliki cukup keberanian. Dalam masyarakat Indonesia munculnya
keberanian untuk mengeritik dihambat oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut
antara lain adalah :
akar budaya masyarakat Indonesia yang umumnya masih bersifat nonasertif
adanya rasa tergantungan yang terlalu besar pada super ordinate.
Ketergantungan yang dimaksudkan adalah terjaminnya kelangsungan
kebutuhan hidup
rendahnya kejelasan hukum tentang kritik yang bebas hukuman. Peranan
hukum akan sangat menentukan keberanian orang dalam mengajukan kritik
budaya bapakisme. Budaya bapakisme yang berkembang dalam masyarakat
yang berorientasi vertikal akan menghambat masyarakat mengajukan kritik
kepada atasannya
masih kuatnya budaya dalam tata-cara kritik. Orang memiliki kecenderungan
tidak suka dikritik secara langsung dan tegas

2.2 Saran

Penulis mengakui tidak memiliki data empirik tentang kepekaan masyarakat


Indonesia terhadap kritik. Sepengetahuan penulis, belum ada penelitian sistematik
mengenai masalah ini. Pembahasan pada bagian ini lebih bersifat renungan
teoritik yang Perlu dipertanyakan keabsahannya. Namun demikian penulis
berusaha untuk mencari dukungan data sdejauh hal tersebut mungkin dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

Djamaludin Ancok, Psikologi Terapan, Yogyakarta, Darussalam, 2004

Maarif, A.S. 2014. Kepekaan masyarakat terhadap pilpres. Koran, Selasa , 1 juli
2014 . Jakarta

Abdurrahman, M. 2003. Islam sebagai kritik social. Jakarta

Yudiono, K. S. 2009. Pengkajian kritik di Indonesia. http ://books.google.co.id.


Malang

Anda mungkin juga menyukai