Anda di halaman 1dari 8

32

Nisa, et al. Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Penentuan Tingkat Eko-efisiensi Proses Produksi Biji Kakao Menggunakan


Life Cycle Assessment Pada Unit Produksi di Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia

Determination of Eco-Efficiency Rate of Cocoa Beans Process Using Life Cycle


Assessmenton Production Unit In Indonesian Coffee and Cocoa Research
Institute (ICCRI)

Fachrun Nisa1, A.Tunggul Sutan Haji2*, Bambang Suharto2 dan Sukrisno Widyotomo3
1Mahasiswa Program Studi Teknik Lingkungan, Universitas Brawijaya, Jl. Veteran Malang
2FakultasTeknologi Pertanian, Universitas Brawijaya, Jl. Veteran Malang
3Pembimbing Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia

*Email Korespondensi : alexandersutan.ub.ac.id

ABSTRAK

Saat ini industri dituntut untuk memperbaiki sistem produksinya dengan menerapkan prinsip
pembangunan berkelanjutan, yakni keuntungan ekonomi, keseimbangan ekologi, dan
tanggung jawab bisnis terhadap lingkungan sosial. Industri dari komoditas Kakao (Theobroma
cacao L.) menghasilkan produk sampingan berupa limbah kakao seperti kulit, daun dan daging
buah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk mengolah hasil sampingan dari produksi
kakao ini menjadi sesuatu yang lebih bernilai seperti pupuk kompos sehingga didapatkan
tingkat eko-efisiensi yang lebih tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan eco-
costs dan tingkat eko-efisiensi produk biji kakao kering serta memberikan rekomendasi dalam
upaya meningkatkan nilai eko-efisiensi. Data kebutuhan bahan baku, energi, harga jual produk
dan biaya produksi digunakan untuk menentukan tingkat eko-efisiensi melalui tahapan
diantaranya adalah analisis Life Cycle Assessment (LCA)dengan menggunakan metodeEco-Costs
2012 dalam software SimaPro v 8.0.4 sehingga didapatkan nilai eco-costs yang digunakan untuk
perhitungan Eco-efficiency Index (EEI), dilanjutkan dengan perhitungan Eco cost Value Ratio
(EVR) menggunakan nilai Net value Product untuk menghitung nilai Eco-efficiency Ratio (EER).
Nilai eco-costs dari proses produksi biji kakao setelah dilakukan pengomposan sebesar Rp.
610,133.00 dan sebelum dilakukan proses pengomposan sebesar Rp. 459,841.00. Eko-efisiensi
dari produk biji kakao meningkat dari sebelum dilakukan pengomposan sebesar 75.9% menjadi
76.2%. Peningkatan eko-efisiensi diperoleh dari keuntungan penjualan pupuk kompos.

Kata Kunci: Eco-costs, eko-efisiensi, kakao, Life Cycle Assessment (LCA), pupuk kompos.

Abstract

Recent issues for industrial development is the improving of production system by applying the
principles of sustainable development, such as economical advantages, ecological balance and the
responsibility of business to the social environment. Manufacture of Cocoa (Theobroma cacao L.) resulted
byproducts such as cocoa shell, leaves and pulps. Therefore, byproduct of the production cocoa beans
should be changed into more valuable product such as compost to increase eco-efficiency rate. The aim of
this study is to determine the eco-costs and eco-efficiency rate of cocoa beans productions, as well as
finding alternatives on improving eco-efficiency. Data of raw materials, energy, benefits and production
costs were used to determine eco-efficiency rate by analyzes Life Cycle Assessment (LCA) using Eco-
Costs 2012 method in the SimaPro v 8.0.4 software resulting eco-costs value to be used to calculate Eco-
efficiency Index (EEI), Net value Product and Eco Cost Value Ratio (EVR). Those value were then used
to calculate Eco-efficiency ratio (EER). The ecocosts value of cocoa beans products before composting is
Rp. 459,841.00 and after composting process is Rp. 610,133.00. Eco-efficiency rate of cocoa beans
33
Nisa, et al. Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan

products increase from 75.9% to 76.2%. The benefit from processing byproduct as compost could increase
the eco-efficiency rate.

Keywords: Cocoa, compost, eco-costs, eco-efficiency, life cycle assessment (LCA)

PENDAHULUAN lingkungan dan pemakaian sumber daya


melalui daur hidup (life cycle). Untuk
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah mengetahui tingkat sustainability suatu
satu komoditas perkebunan utama di produk perlu dilakukan pengukuran tingkat
Indonesia. Jumlah kakao yang diproduksi eko-efisiensi dari produk tersebut, dalam
secara nasional pada tahun 2008 mencapai hal ini adalah produk biji kakao kering
792.800 ton dengan tingkat produktivitas dengan pemanfaatan limbah menjadi pupuk
0,54 ton-1ha-1th-1 (Statistik Indonesia, 2009 kompos.
dalam Basri, 2010). Semakin meningkatnya Eko-efisiensi di dalam produksi biji
produksi kakao baik karena pertambahan kakao secara langsung akan sangat
luas areal pertanaman maupun yang menunjang implementasi kebijakan
disebabkan oleh peningkatan pengelolaan komoditas perkebunan di
produksipersatuan luas, akan meningkatkan Indonesia yang berkelanjutan dan akan
jumlah limbah buah kakao. Komponen menunjang citra global Indonesia di dunia
limbah buah kakao yang terbesar berasal internasional. Sehingga perlu dilakukan
dari kulit buahnya atau biasa disebut pod pengukuran tingkat eko-efisiensi produk biji
kakao, yaitu sebesar 75% dari total buah kakao kering.
(Ashadi, 1988 dalam Fauzi, 2012). Oleh
karena itu perlu adanya perhatian untuk BAHAN DAN METODE
mengolah hasil sampingan dari produksi
biji kakao ini menjadi sesuatu yang lebih Proses produksi
bernilai. Limbah produksi dari perkebunan Proses produksi biji kakao kering dilakukan
kakao dapat digunakan untuk pembuatan dengan berbagai tahap (Gambar 1). Adapun
pupuk organik yang dapat dimanfaatkan tahap-tahap yang dilakukan dalam proses
untuk memperbaiki struktur tanah dengan produksi hingga menghasilkan biji kakao
kemampuannya menambah kandungan kering dimulai dari pemecahan buah,
bahan organik tanah serta menambah nilai kemudian fermentasi, pengeringan, pe-
ekonomis bagi petani. nyortiran/pengelompokan, dan pengolahan
Era globalisasi menuntut pihak industri limbah kulit kakao.
untuk memperbaiki sistem produksinya 1. Pemecahan buah
dengan tidak meninggalkan tiga pilar utama Buah kakao dipecah atau dibelah untuk
pembangunan berkelanjutan, yakni mendapatkan biji kakao. Pemecahan buah
keuntungan ekonomi, keseimbangan menggunakan pemukul kayu sehingga buah
ekologi dan tanggung jawab bisnis terhadap terbelah menjadi dua bagian. Biji kakao
lingkungan sosial. Keterbatasan dalam hal dikeluarkan lalu dimasukkan dalam wadah
teknologi, kualitas bahan baku, yang bersih, sedangkan empulur yang
ketersediaanalat dan keterampilan pekerja, melekat pada biji dibuang.
menyebab-kan terjadinya limbah dalam 2. Fermentasi
jumlah tertentu seringkali tidak dapat Tujuan fermentasi adalah untuk mematikan
dielakkan sehingga diperlukan melakukan lembaga biji agar tidak tumbuh sehingga
eko-efisiensi produk agar limbah yang perubahan-perubahan di dalam biji akan
dihasilkan lebih sedikit. Hal-hal seperti mudah terjadi, seperti warna keping biji,
penggunaan kembali limbah dapat menjadi peningkatan aroma dan rasa, perbaikan
salah satu solusi untuk peningkatan eko- konsistensi keping biji dan untuk
efisiensi produk. melepaskan selaput lendir. Selain itu untuk
Konsep eko-efisiensi bertujuan menghasilkan biji yang tahan terhadap
menghasilkan produk dengan harga yang hama dan jamur. Biji kakao difermentasikan
kompetitif serta meningkatkan kualitas di dalam kotak kayu berlubang. Fermentasi
hidup dengan mengurangi dampak memerlukan waktu kurang lebih 4 hari.
34
Nisa, et al. Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dalam proses fermentasi terjadi penurunan dapat melakukan pencacahan sebanyak satu
berat sampai 25%. kali. Dalam satu kali produksi menghasilkan
3. Pengeringan satu bak kompos dengan dimensi 2,99 m3.
Pengeringan bertujuan untuk menurunkan
kadar air dalam biji dari 60% sampai pada Tahapan Life Cycle Assessment (LCA)
kondisi kadar air dalam biji tidak dapat Perhitungan LCA digunakan software
menurunkan kualitas biji dan biji tidak pembantu yaitu SimaPro versi 8.0.4 dengan
ditumbuhi cendawan. Pengeringan
dilakukan dengan dengan menjemur di
bawah sinar matahari. Sinar matahari yang
yang
INPUT PROSES PRODUKSI OUTPUT

Kakao 750 kg
Bijikaka
Air 90 L Pengangkutan Pemecahan buah Sortasi
Fermentasi Penjemuran o kering
Solar 3.8 L
(66.5 kg)
Listrik 1.8 kWh

Limbah (Kulit
buah kakao Kompos
Pencacahan Penimbunan Penyiraman Pembalikan (367.5
525 kg)
kg)

Life Cycle Assessment

Gambar 1. Proses produksi biji kakao

dibutuhkan waktu 2-3 hari, tergantung metode eco-costs 2012 untuk mendapatkan
kondisi cuaca, sampai kadar air biji menjadi nilai eco-costs dari dampak yang dihasilkan
7-8%. Untuk transportasi dari tempat dan memiliki lebih dari 3000 database emisi
pengolahan ke tempat penjemuran dan serta dapat digunakan dalam operasional
sebaliknya menggunakan traktor berbahan dengan database spesial untuk SimaPro.
bakar solar. Software ini berfungsi merasionalkan
4. Penyortiran/Pengelompokan perhitungan sistematik dari konsep
Biji kakao kering dibersihkan dari kotoran pemikiran manusia terhadap pengukuran
dan dikelompokkan berdasarkan mutunya. lingkungan. Suatu langkah yang sistematik
Sortasi dilakukan setelah 1-2 hari dan konsisten, dimana kita dapat
dikeringkan agar kadar air seimbang, menemukan suatu pilihan terbaik dalam
sehingga biji tidak terlalu rapuh dan tidak perbaikan suatu desain dan proses dari
mudah rusak, sortasi dapat dilakukan suatu produk atau jasa.
dengan menggunakan ayakan yang dapat Pada tahapan LCA dilakukan
memisahkan biji kakao dari kotoran. pengukuran mengenai besar dampak yang
5. Pengolahan limbah kulit kakao dihasilkan dari proses produksi biji kakao
Kulit kakao yang telah dipisahkan dari biji kering yang berkaitandengan aspek
kakao basah diangkut menuju tempat ekologi (Gambar 2). Adapun tahapan-
pengolahan limbah padat. Kemudian tahapan dari LCA diatur dalam standar
dilakukan pencacahan dengan ISO, meliputi ISO 14040-14043.
menggunakan mesin pencacah. Mesin 1. GoalandScope.
pencacah berbahan bakar solar dapat Tahap ini bertujuan untuk mem-
bekerja dengan kapasitas 2-3 m3 setiap formulasikan dan mendeskripsikan tujuan,
jamnya. Sehingga dalam satu kali produksi sistem yang akan dievaluasi, batasan-
35
Nisa, et al. Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan

batasan dan asumsi-asumsi yang ber- sumber antara lain Municipal Solid Waste
hubungan dengan dampak di sepanjang Total (MSWT), Municipal Solid Waste Fraction
siklus hidup dari sistem. Tujuannya untuk (MSWF), Methane Correction Factor (MCF),
mengetahui besar dampak dari produksi biji Degradable Organic Carbon (DOC), Fraction
kakao kering dan melingkupi pengangkutan DOC Dissimilated (DOCF), Fraksi dari CH4
hingga sortasi biji kakao kering hingga di gas landfill (F), Recovered CH4 (R), dan
pengolahan limbahnya. Oxidation Factor(OX). Sedangkan emisi

Life Cycle Assessment (LCA)

Life Cycle Inventory (LCI)

INPUT : Life Cycle Impact Assessment (LCIA)


Jenis dan jumlah
Karakterisasi OUTPUT :
bahan baku
Besar dampak
Jenis dan jumlah
Normalisasi (nilai Eco-costs
energi
produk)
Jenis dan banyak
limbah Pembobotan

Single Score

Analisa Data
Eco-Efficiency Index (EEI)
Eco-Efficiency Ratio (EER)

Gambar 2. Analisis eko-efisiensi produk biji kakao kering menggunakan metode LCA

2. Life Cycle Inventory. karbon dioksida dihitung dengan


Tahap Life Cycle Inventory (LCI) produk mempertimbang-kan emisi metan, Fraksi
yang menunjukkan kebutuhan material dari CH4 di gas landfill (F) dan Oxidation
dalam satuan berat dan sumber energi Factor (OX).
listrik serta kegiatan produksinya.
Kemudian dilakukan pula input data emisi
dari timbunan limbah kulit kakao
dikarenakan pada database SimaPro belum 1 (1)
tersedia. 2
!" %%
Kebutuhan data yang digunakan untuk # $ (2)
"
antara lain jenis dan besar bahan baku(buah
kakao dan air), energi (listrik, bahan bakar Municipal Solid Waste Total (MSWT)
dan energi matahari) dan limbah (kulit buah yaitu timbunan sampah yang masuk ke
kakao) serta data emisi yang belum tersedia. pengolahan atau tempat pembuangan akhir.
Adapun persamaan yang digunakan Municipal Solid Waste Fraction (MSWF) yaitu
untuk menentukan besarnya emisi dari gas persentase sampah yang masuk ke
metandan gas karbon dioksida limbah padat pengolahan dibandingkan jumlah sampah
tersebut ditunjukkan pada persamaan 1 dan yang dihasilkan oleh sumber. Methane
2 (IPCC, 2006). Emisi metan dihitung Correction Factor (MCF) merupakan faktor
dengan mempertimbangkan berbagai koreksi metana dikarenakan Indonesia saat
36
Nisa, et al. Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan

ini belum memiliki alat pengolahan gas di mengklasifikasikan nilai kategori impact
lahan pembuangan sampah maka nilai 0.4 berdasarkan aktivitas atau proses. Nilai
dipilih dalam perhitungan. Degradable single score akan terlihat aktivitas mana
Organic Carbon (DOC) yaitu degradasi yang berkontribusi terhadap dampak
organik karbon dengan nilai 0.3 karena lingkungan. Sehingga akan didapatkan nilai
komponennya mendekati kriteria wood and eco-costs dari proses produksi yang dapat
straw. Fraction DOC Dissimilated (DOCF) digunakan untuk tahapan analisa.
sebesar 0.77. sedangkan Fraksi dari CH4 di
gas landfill (F) merupakan fraksi Eco-Efficiency Index
berdasarkan volume gas metana di lahan Menurut Vogtlander (2010), net value
pembuangan sampah sebesar 0.5.Kemudian diperoleh dengan mengurangi harga jual
Recovered CH4 (R) yaitu CH4 yang tersimpan produk dengan biaya produksi yang
di instrumen pengolahan gas dan diperoleh berdasarkan metode harga pokok
dikarenakan Indonesia belum mempunyai proses (Persamaan 3).
instrumen pengolahan gas sehingga tidak Menurut Tak Hur (2003) dalam Sari
dapat diukur gas metana yang tersimpan (2012), perhitunganEco-Efficiency Index (EEI)
dari timbulan sampah maka nilai R berfungsi untuk mengetahui nilai affordable
ditetapkan 0. Selanjutnya Oxidation Factor dan sustainable dari produksi biji kakao
(OX) merupakan faktor oksidasi dan IPCC kering (Persamaan 4).
memberikan nilai standar 0,1.
3. Life Cycle Impact Assessment. Net Value= Harga JualBiaya Produksi (3)
Tahap Life Cycle Impact Assessment &'()*!)+,-
(LCIA)merupakan tahap analisa mengenai EEI = (4)
)+,-./)+ 0+,-
jenis dan besarnya nilai tiap kategori
dampak yang dihasilkan (nilai eco-costs) Produk dikatakan terjangkau dan
menggunakan metode eco-costs 2012, nilai sustain jika nilai EEI >1, sedangkan
dan indikator dari eco-costs berdasarkan dikatakan terjangkau namun tidak sustain
standar dari WBCSD (ProLH, 2007 dalam jika produk tersebut memiliki nilai EEI = 0-1
Sari, 2012). dan yang terakhir produk dikatakan tidak
Pada fase LCIA terbagi lagi menjadi terjangkau dan tidak sustain jika nilai EEI <
beberapa tahapan analisa diantaranya 0. Adapun data yang digunakan untuk
(Vogtlander, 2010): (a) Classification adalah menentukan hasil perhitungan dari EEI
langkah mengidentifikasi dan antara lain biaya bahan baku, energi, upah
mengelompokkan substansi yang berasal pekerja, biaya perawatan alat dan harga jual
dari LCI ke dalam kategori dampak yang produk.
heterogen yang telah ditentukan
sebelumnya sedangkan Characterization Eco-Efficiency Ratio
merupakan penilaian besarnya substansi Eco-Efficiency Ratio(EER rate) merupakan
yang berkontribusi pada kategori dampak. perhitungan akhir dari pengukuran eko-
Nilai kontribusi relatif dari substansi dapat efisiensi tehadap proses produksi biji kakao
diketahui dengan mengalikan substansi (Persamaan 6). Menurut Vogtlander (2010)
yang berkontribusi terhadap kategori hasil perhitungan EEI diperoleh dengan cara
dampak dengan characterization factors. (b) membagi nilai eco-cost yang dihasilkan
Normalization merupakan prosedur yang dengan nilai net value yang diperoleh
diperlukan untuk menunjukkan kontribusi sehingga diketahui rasio eco-costs dengan net
relatif dari semua kategori dampak pada valuekemudian hasilnya dikurangkan
seluruh masalah lingkungan untuk dengan 1 dan dikalikan 100% (Persamaan 5).
menciptakan satuan yang seragam untuk Adapun data yang digunakan untuk
semua kategori impact dengan mengalikan menghitung nilai EEI antara lain biaya dari
nilai characterization dengan nilai normal. (c) hasil representasi nilai atau output eco-costs
Weightingdidapatkan dengan mengalikan dan besar net value produk.
kategori impact dengan weighting factor dan
ditambahkan untuk mendapatkan nilai 1*- 2345* /)+!)+,-,
EER Rate = ( )x100% (5)
1*- 2345*
total. (d) Single score digunakan untuk
37
Nisa, et al. Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan

HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai eco-costs untuk proses produksi


setelah dilakukan pengomposan yaitu
Life Cycle Assessment (LCA) Rp.610,133.00 lebih besar dibandingkan
Berdasarkan hasil wawancara dengan sebelum dilakukan pengomposan sebesar
teknisi di lapang diketahui bahwa dalam Rp.459,841.00. Hal ini dikarenakan adanya
satu kali pemanenan buah kakao di Kebun penggunaan energi tambahan berupa bahan
Milik Pusat Penelitian Kopi dan Kakao bakar solar untuk mendukung operasional
Indonesia didapatkan 750 kg buah kakao, 90 dari alat pencacah kulit kakao. Nilaieco costs
liter air yang digunakan dalam proses yang terbesar adalah pada kategori dampak
pengomposan dan energi yang digunakan perubahan iklim. Hal tersebut menyatakan
berupa solar yangtertera pada Tabel 2. bahwa biaya pencegahan dan kerusakan
Tabel 2. Data bahan baku dan energi yang terkait dengan perubahan iklim lebih
Data Input Jumlah Keterangan tinggi daripada kategori dampak lainnya.
Nilai ini berdasarkan dari emisi yang
Material :
dihasilkan dari proses dekomposisi dari
- Kulit kakao 525 kg Kompos bahan organik yang menghasilkan emisi gas
- Biji kakao basah 225 kg Biji kakao
- Air rumah kaca seperti metan dan karbon
90 L Kompos
dioksida. Selain itu penggunaan bahan
Energi bakar solar untuk mesin diesel juga
- Listrik 1.8 kWh Biji kakao menyumbang dampak gas efek rumah kaca.
- Solar 3.0 L Biji kakao
Seperti yang disampaikan oleh Pakrasi &
0.8 L Kompos
Davis (2000) dalam Wirahadikusumah
(2012), emisi gas rumah kaca adalah hasil
Selain data bahan baku, energi dan
pembakaran bahan bakar yang terdiri dari
proses yang digunakan dalam proses
karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan
produksi yang menjadi proses inventory,
dinitro oksida (N2O). Hampir semua karbon
input data juga menggunakan data emisi
yang terkandung pada minyak (99%)
yang dihasilkan dari perhitungan
dikonversi menjadi CO2 pada proses
menggunakan persamaan 1 dan 2. Hasil
pembakaran bahan bakar minyak.
perhitungan didapatkan nilai emisi gas
metan sebesar 24 kg.th-1 dan emisi gas 50

karbon dioksida sebesar 72.5 kg.th-1. 45

Kemudian pada fase LCIA, tahapan 40


Eco-costs (Euro)

35
yang terakhir adalah penetapan single score
30
dari besarnya dampak lingkungan yang
25
seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Tabel 3
20
merupakan output dari SimaPro setelah
15
dikurskan menjadi rupiah per tanggal 20-03-
10
2015.
5
0
Tabel 3. Output SimaPro single score -5 Sebelum Setelah
Kategori Setelah Sebelum pengomposan pengomposan
Dampak Pengomposan Pengomposan
Perubahan Climate change Human health
Rp. 587,918 Rp. 424,624
iklim Ecosystems Resource depletion
Kesehatan Social injustice
Rp. 26,945 Rp. 31,943 Comparing 1 p Sebelum Pengomposan with 1 p Sesudah Pengomposan;
manusia Method: ecocosts 2012 . V3 V3.02 / eco-costs 2012 V3.0 / Single score
Ekosistem -Rp. 2,917 Rp. 2,894
Penipisan Penelitian lain yang dilakukan oleh
sumberday -Rp. 1,813 Rp. 379 Oktiviarni (2012) menyatakan bahwa proses
a pengomposan di 6 Rumah Kompos Kota
Ketidakadil Surabaya Barat dan Pusat dengan
Rp. 0 Rp. 0
an sosial menggunakan windrow composting me-
Total Rp. 610,133 Rp. 459,841 mungkinkan terjadinya dampak di
38
Nisa, et al. Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan

lingkungan berupa asidifikasi me- berupa kulit kakao dengan cara


nunjukkan bahwa bahan baku dan energi pengomposan lebih baik daripada tidak
yang digunakan sangat mempengaruhi dilakukan pengolahan limbah, hal ini
dampak yang ditimbulkan dari pengolahan ditunjukkan dengan peningkatan nilai eko-
sampah. Menurut Dalemo et al. (1998), efisiensi sebelum pengolahan limbah
asidifikasi disebabkan oleh ammonia yang sebesar 75.9% terhadap biji kakao yang telah
terkandung dalam kompos, merupakan dilakukan proses pengolahan limbahnya
hasil dari penguraian bahan material oleh sebesar 76.2% seperti yang ditunjukkan
mikroorganisme pada proses pengompos- pada Tabel 4.
an. Semakin banyak material yang
dikomposkan, maka semakin besar pula Tabel 4. Hasil perhitungan EEI dan EER
ammonia yang dihasilkan dari proses Produk EEI EER
tersebut.
Setelah pengomposan 3.02 76.2%
Eco-Efficiency Index Sebelum pengomposan 3.04 75.9%
Besarnya nilai darinet value dipengaruhi Ket. : EEI > 1 = Affordable, Sustainable
EEI = 0 1 = Affordable, Not Sustainable
oleh biaya-biaya yang dibutuhkan dalam
EEI < 0 = Not Affordable, Not Sustainable
produksi suatu produk dan nilai penjualan
dari produk tersebut. Nilai net valuesetelah Penelitian yang dilakukan di Ghana
dilakukan pengomposan sebesar oleh Ntiamoah and Afrane (2008)
Rp.2,567,273 lebih besar daripada sebelum menyatakan bahwa siklus hidup proses
dilakukan pengomposan sebesar produksi kakao dengan melakukan
Rp.1,905,429. Hal ini dikarenakan adanya pemupukan dengan kompos akan dapat
benefit dari penjualan pupuk kompos yang menurunkan dampak terhadap lingkungan.
dihasilkan dari pengolahan limbah kakao. Siklus hidup dari proses produksi kakao
Hasil dari perhitungan net value digunakan dalam penelitian tersebut lebih luas antara
untuk menghitung nilai EEI. lain produksi kakao (terdiri dari pemberian
Perhitungan nilai Eco-Efficiency Index pestisida dan pupuk, budidaya kakao,
(EEI). Sebelum dilakukan proses pengolahan lahan dan penyimpanan biji
pengomposan nilai EEI lebih besar kakao sementara), transportasi dan industri
daripada setelah dilakukan proses pengolahan biji kakao (biji terdiri
pengomposan seperti yang ditunjukkan pembersihan biji, memanggang, menampi,
pada Tabel 4, hal ini dikarenakan benefit dan penggilingan menjadi pasta coklat,
dari penjualan pupuk kompos jauh lebih lemak kakao, kue dan bubuk kakao). Proses
rendah daripada penjualan biji kakao pemupukan tanaman kakao menggunakan
kering. pupuk kompos dapat menurunkan dampak
Selain itu nilai Eco-Efficiency Index (EEI) toksisitas terhadap manusia sebesar 45%
pada proses produksi setelah ataupun dan potensi eko-toksisitas terhadap area
sebelum dilakukan pengomposan >1 permukaan tanah sebesar 40% sehingga
sehingga produk biji kakao tergolong ramah dapat dikatakan bahwa memproduksi
lingkungan dan secara ekonomi terjangkau. pupuk kompos dari limbah kakao dapat
Hal ini dikarenakan bahan baku yang meningkatkan eko-efisiensi yakni dengan
digunakan tergolong bahan organik dan memperbaiki kinerja lingkungan dapat
energi yang digunakan tergolong dalam meningkatkan efisiensi.
jumlah yang rendah sehingga toleran Nilai eco-costs dari proses produksi biji
terhadap lingkungan serta kedua produk kakao kering pada setiap satu kali produksi
memiliki keuntungan secara ekonomi yang (1500 tongkol) setelah dilakukan
cukup dari hasil penjualan produk. pengomposansebesar Rp. 610,133.00 dan
sebelum dilakukan proses pengomposan
Eco-Efficiency Ratio
sebesar Rp.459,841.00. Eko-efisiensi dari
Nilai akhir EER menunjukkan tingkat eko-
produk biji kakao kering pada setiap satu
efisiensi dari produk biji kakao kering.
kali produksi (1500 tongkol) meningkat dari
Produk biji kakao kering dengan melakukan
sebelum dilakukan pengomposan sebesar
kegiatan pengolahan limbah padatnya yang
39
Nisa, et al. Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan

75.9% menjadi 76.2% setelah dilakukan Oktiviarni, Thia Zakiyah, Warmadewanthi


proses pengolahan limbah kulit kakao & Ellina S Pandebesie. 2012. Potensi
dengan proses pengomposan. Asidifikasi Dari Proses Pengolahan
Sampah di Rumah Kompos Kota Surabaya
DAFTAR PUSTAKA Barat dan Pusat. Scientific Conference
of Environmental Technology IX
Ashadi, R. W. 1988. Pembuatan Gula Cair dari 2012, Surabaya, 10 Juli 2012.
Pod Coklat dengan Menggunakan Asam Sari, Diana Puspita, Sri Hartini, Dyah Ika
Sulfat, Enzim, serta Kombinasi
Rinawati & Tri Setyo Wicaksono. 2012.
Keduanya. Skripsi. Fakultas Teknologi Pengukuran Tingkat Eko-efisiensi
Pertanian, IPB. Bogor. Menggunakan Life Cycle Assessment
Basri, Zainuddin. 2010. Mutu Biji Kakao Hasil untuk Menciptakan Sustainable
Sambung Samping. Media Litbang Production di Industri Kecil Menengah
Sulteng III, 2(2010), 112. Batik. Jurnal Teknik Industri, 14, 2.
Dalemo, M., Sonesson, U., Jonsson, H., & Vogtlander. 2010. LCA-based Assessment of
Bjorklund, A. 1998. Effect of Including Sustainability: The Eco-costs/Value Ratio
Nitrogen Emissions from Soil in (EVR). Delft University of Technology.
Environmental Systems Analysis of Nederland.
Waste Management Strategies. Wirahadikusumah, Reini D. & Hengki Putra
Resources, Conservation and Sahana. 2012. Estimasi Konsumsi Energi
Recycling, 24, 368. dan Emisi Gas Rumah Kaca pada
IPCC. 2006. IPCC Guidelines for National Pekerjaan Pengaspalan Jalan. Jurnal
Greenhouse Gas Inventories. Volume 5, Teoretis dan Terapan Bidang
420-439. Rekayasa Sipil, 19 (2012), 29.
Ntiamoah, Augustine & George Afrane.
2008. Environmental impacts of cocoa
production and processing in Ghana: life
cycle assessment approach. Cleaner
Production, 16 (2008), 1735-1740.

Anda mungkin juga menyukai