Anda di halaman 1dari 22

Rafika Novianti

04011381419166
Gamma 2014

Bab 35 Pelvis

Cedera pada pelvis sering terjadi, terutama setelah trauma tumpul (9% pasien dengan trauma
tumpul), dan berkisar dari fraktur pelvis minor yang tidak signifikan secara klinis sampai cedera
yang mengancam nyawa yang menghasilkan eksanguinasi (0,5% pasien dengan trauma tumpul).
Angka mortalitas pasien dengan fraktur cincin pelvis secara keseluruhan kira-kira 6%.
Perdarahan pelvis yang tidak terkontrol menyebabkan 39% kematian sedangkan cedera kepala
menyebabkan 31% kematian. Kompresi AP dan luka geser vertikal dikaitkan dengan angka
insiden cedera vaskular pelvis dan perdarahan yang lebih tinggi. Kesepakatan mengenai
managemen cedera pelvis sangat sedikit sehingga guideline tidak jelas atau tidak diikuti. Namun,
evolusi stabilisasi pelvis yang pesat oleh fiksasi eksternal atau pelvic binder dan pengendalian
perdarahan oleh emboliasi angiografis atau preperitoneal pelvic packing telah menurunkan
angka mortalitas cedera pelvis secara signifikan. Pendekatan multidisiplin sangatlah penting
karena tidak ada satupun bidang khusus yang mempunyai keahlian maupun kontrol atas segala
sumber daya yang dapat digunakan untuk menghasilkan hasil akhir. Dokter kedaruratan, ahli
bedah trauma dan perawatan kritis, ahli bedah ortopedi, dan ahli radiologi intervensional harus
berperan sebagai protagonis dalam tim trauma dengan kerjasama yang baik dalam menangani
pasien kompleks.

Anatomi pelvis

Cincin pelvis terdiri dari sakrum and 2 tulang inominata yang terikat oleh ligamen-ligamen kuat.
Kedua tulang inominata terhubung dengan sakrum di sendi sakroiliaka dan dengan satu sama
lain secara anterior di simfisis pubis. Ligamen sakroiliaka anterior dan posterior mencakup unsur
yang lebih pendek dan lebih panjang yang memanjang melewati sakrum menuju puncak iliaka,
dan menyediakan keseimbangan vertikal sepanjang sendi sakroiliaka. Dasar pelvis dijembatani
ligament sakrospinosus dan sakrotuberosus yang menghubungkan sakrum dengan spina
ischiadica dan tuber ischiadicum secara berurutan. Unsur anterior, termasuk rami pubis dan
simfisis pubis, berkontribusi sebanyak kurang lebih 40% dari stabilitas pelvis, tetapi unsur
posterior lebih penting, seperti yang ditunjukkan di studi biomekanik.
Arteri iliaka interna (hipogastrik) menyuplai darah ke organ, tulang, dan jaringan lunak pelvis.
Bagian interior mencakup gluteus inferior, obturator, vesikular inferior, rektum tengah, dan arteri
pudendus interna. Bagian posterior mencakup iliolumbar, sakral lateral, dan arteri gluteal
superior, yang merupakan cabang arteria mayor yang paling sering cedera setelah fraktur pelvis.
Vena pelvis berjalan sejajar dengan arteri dan membentuk pleksus yang mengalir ke vena iliaka
interna. Pleksus vena sakralis terlekat kepada permukaan anterior sakrum dan sobek setelah
fraktur pelvis mayor. Perdarahan vena lebih sering terjadi daripada perdarahan arteri setelah
cedera pelvis.

Nervus ischiadicus terbentuk dari akar nervus L4-S3 dan meninggalkan pelvis dibawah M.
piriformis. Akar nervus anterior L4 dan L5 melewati sendi sakroiliaka dan dapat mengalami
cedera karena fraktur sakral atau dislokasi sendi sakroiliaka.

Seluruh organ pelvis berisiko cedera setelah cedera pelvis berat, dengan vesika urinaria dan
urethra yang paling sering cedera. Rektum ekstraperitoneal juga berisiko pada fraktur pelvis
terbuka.

Klasifikasi fraktur pelvis

Meskipun ada beberapa sistem klasifikasi, dua klasifikasi yang paling sering dipakai adalah
klasifikasi Tile dan Young-Burgess. Klasifikasi Tile mengkategorikan fraktur pelvis menjadi 3
kelompok berdasarkan stabilitas, yang dievaluasi dengan pemeriksaan klinis dan radiografi
(Tabel 35-1):

Tabel 35- 1 Klasifikasi fraktur pelvis menurut Tile

Tipe Karakteristik Pemindahan Stabilitas


hemipelvis
Tipe A, A1, A1.1 Avulsi spina iliaka anterior Tidak ada Stabil
arkus fraktur A 1.2 Avulsi krista iliaka
potsterior cincin A 1.3 Avulsi ischia tuberosum
intak pelvis
(avulsi)
A2, A 2.1 Fraktur ala ossis ilium Tidak ada Stabil
fraktur A2.2 Fraktur rami pubis unilateral
cincin A2.3 Fraktur rami pubis bilateral
pelvis
(direct
blow)
A3, A 3.1 Dislokasi sakrococcygeal Tidak ada Stabil
fraktur A 3.2 Fraktur sakral nondisplaced
sacral A 3.3 Fraktur sacral displaced
transversal
Tipe B, B1, B 1.1 Diastasis pubis, gangguan Rotasi eksternal Rotasi
gangguan kompresi sendi SI anterior tidak stabil,
arkus AP B 1.2 Diastasis pubis, fraktur vertikal
posterior sakral stabil
tidak
lengkap
B2, B 2.1 Fraktur buckle sacral Rotasi internal Rotasi
kompresi B 2.2 anterior tidak stabil,
lateral B 2.3 Fraktur sendi S1 parsial vertikal
Fraktur iliaka posterior tidak stabil
lengkap
B 3.1, B 3.1 Diastasis pubis bilateral, Rotasi eksternal Rotasi
kompresi gangguan sendi SI posterior tidak stabil,
AP bilateral vertikal
stabil
B 3.2, B 3.2 Cedera B2 ipsilateral, Rotasi internal Rotasi
kompresi cedera B1 kontralateral ipsilateral, rotasi tidak stabil,
AP dan eksternal vertikal
lateral kontralateral stabil
B 3.3, B 3.3 Cedera B2 bilateral Rotasi internal Rotasi
kompresi bilateral tidak stabil,
lateral vertikal
bilateral stabil
Tipe C, C1, C 1.1 Fraktur iliaka tergeser Vertikal (kranial) Rotasi
gangguan vertical C1.2 Dislokasi/fraktur sendi SI tidak stabil,
arkus shear C 1.3 Fraktur sakrum tergeser vertikal
posterior tidak stabil
lengkap
C2, C2 Cedera C1 ipsilateral, Vertikal Rotasi
vertical cedera B1/B2 kontralateral ipsilateral tidak stabil,
shear dan (kranial), rotasi vertikal
kompresi internal/eksternal tidak stabil
AP/lateral kontralateral
C3, C3 Cedera C1 bilateral Vertikal bilateral Rotasi
vertical (kranial) tidak stabil,
shear vertikal
bilateral tidak stabil

Fraktur tipe A stabil karena ligamen posterior intak. Fraktur ini meliputi sakral
transversal, ala ossis ilium, rami pubis, acetabulum murni, dan fraktur avulsi.
Fraktur tipe B disebabkan oleh gaya rotasi internal dan eksternal dan termasuk
setengah stabil (stabil secara vertikal tetapi tidak stabil secara rotasional). Fraktur ini
meliputi fraktur open-book dan bucket-handle. (Gambar 35-1 sampai 35-3)
Fraktur tipe C tidak stabil secara vertikal dan rotasional karena gangguan penuh dari
kompleks sakroiliaka. (Gambar 35 - 4)
Gambar 35-1 Tipe B1 cedera open-book. Diastasis simfisis pubis dan fraktur rami pubis
superior atau inferior bisa terjadi.

Gambar 35-2 Tipe B2 cedera kompresi lateral (ipsilateral). Mengesampingkan hemipelvis kiri
dan cedera pada sakrum ipsilateral dan fraktur iliaki ipsilateral.

Gambar 35-3 Tipe B3 cedera kompresi lateral (kontralateral) atau cedera bucket-handle. Fraktur
rami anterior dengan cedera sakroiliaka posterior kontralateral.

Gambar 35-4 Tipe C1 cedera unilateral dengan ketidakstabilan vertikal. Melibatkan gangguan
simfisis atau fraktur rami dengan cedera sendi sakroiliaka ipsilateral atau cedera sakral.

Klasifikasi Young-Burgess membagi fraktur pelvis sesuai dengan gaya vektor yang diterapkan
ke kompresi anteroposterior (APC), kompresi lateral (LC) dan fraktur geser vertikal (Tabel 35-
2):
Cedera APC terjadi karena kekuatan yang diterapkan di axis sagital, seperti pada
kecelakaan motor. Cedera APC-I bisa menyebabkan pelebaran simfisis pubis (<2,5 cm)
tetapi ligamen posterior intak. Cedera APC-II mencakup robekan pada ligamen
sakroiliaka anterior, ligamen sakrospinosus dan sakrotuberosus, tetapi ligamen
sakroiliaka posterior tetap intak. Diastasis simfisis pubis bisa lebih dari 2,5 cm.
Ketidakstabilan rotasional dan perdarahan biasanya terjadi. Cedera APC-III disebabkan
oleh transfer energi tinggi dan gangguan pada ligamen sakroiliaka posterior,
menyebabkan ketidakstabilan hemipelvis dengan kemungkinan perdarahan, kerusakan
saraf dan kerusakan organ yang tinggi.

Tabel 35 - 2 Klasifikasi fraktur pelvis menurut The Young-Burgess

Tipe dan Mekanisme Karakteristik Pemindahan Stabilitas


hemipelvis
Kompresi AP, tipe I Diastasis Pubis <2.5cm Rotasi eksternal Stabil
Kompresi AP, tipe II Diastasis Pubis >2.5cm, Rotasi eksternal Rotasi tidak
Gangguan sendi SI anterior stabil, vertikal
stabil
Kompresi AP, tipe III Tipe II ditambah gangguan Rotasi eksternal Rotasi tidak
sendi SI posterior stabil, vertikal
tidak stabil
Kompresi Lateral, tipe I Fraktur sacral ipsilateral Rotasi internal stabil
buckle, Fraktur rami pubis
horizontal ipsilateral ( atau
terganggunya simfisis
dengan tulang pubis yang
tumpang tindih)
Kompresi Lateral, tipe II Tipe 1 ditambah dengan Rotasi internal Rotasi tidak
fraktur ala ossis ilium stabil, vertikal
ipsilateral atau gangguan stabil
sendi SI posterior
vertical shear Fraktur rami pubis vertikal, Vertikal (kranial) Rotasi tidak
gangguan sendi SI stabil, vertikal
fraktur berdekatan tidak stabil

Cedera LC terjadi karena benturan dari bidang lateral yang melewati bidang horizontal,
biasanya terjadi pada saat kecelakaan kendaraan bermotor. Cedera LCI termasuk fraktur
transversal cincin anterior atau fraktur sakral yang terkena dan biasanya stabil. Cedera
LC-II disebabkan oleh kekuatan energi yang lebih tinggi yang menghasilkan robekan
ligamentum sakroiliaka posterior dan perpindahan sendi sakroiliaka atau fraktur oblique
pada ilium, bagian superior yang tetap melekat pada sakrum, sementara yang inferior
bergerak (fraktur crescent). Tergantung dari kekuatan yang dihasilkan, fraktur ini dapat
stabil maupun tidak stabil. Cedera LC-3 adalah fraktur yang plaing tidak stabil, karena
kekuatan dari dari bidang lateral yang terus menekan dan memutar hemipelvis sampai
kepada kerusakan total dari sendi sakroiliaka, serta ligamen sakrospinos dan
sakrotuberous. Cedera persyarafan dan organ sering terjadi.
Vertical shear biasanya terjadi karena jatuh dari ketinggian dan menyebabkan fraktur
anterior (rami pubis, simfisis pubis) dan posterior (kompleks sakroiliaka). Biasanya,
fraktur tidak stabil.
Kombinasi dari cedera dapat menghasilkan berbagai pola fraktur, yang paling sering
menyebabkan fraktur adalah cedera vertical shear dan cedera LC. Hamper sepertiga
pasien PI mempunyai cedera campuran.

DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisik dapat menetahui pasien PI dan dapat menilai ketidakstabilan pelvis.
Dengan pemeriksaan pada spina iliaka anterior pasien, kompresi ke arah garis tengah, dan juga
gerakan anteroposterior, akan memberi bukti adanya ketidakstabilan pelvis. Ini harus dilakukan
oleh dokter berpengalaman yang akan segera menghambat gerak jika ditemukan ketidakstabilan.
Penanganan pelvis yang agresif, seperti "Rocking", tidak dianjurkan karena menghasilkan rasa
sakit, pendarahan, dan cedera yang lebih parah. Pemeriksaan perineum sangat penting untuk
mendiagnosis laserasi atau hematoma, yang merupakan indikasi lebih lanjut PI. Dalam sebuah
penelitian terhadap 66 pasien dengan GCS di atas 12, sebuah protokol pemeriksaan fisik
terfokus, termasuk palpasi posterior sendi sakrum dan sakroiliaka, kombinasi ala ossis ilium
anteroposterior dan lateral, rentang gerakan pelvis aktif, dan pemeriksaan rektal digital,
menghasilkan Sensitivitas 98% dan spesifisitas 94% untuk mendeteksi fraktur pelvis posterior.
Foto rontgen pelvis anteroposterior polos adalah bagian dari rutinitas radiografi untuk
trauma tumpul. Namun, banyak penelitian menunjukkan bahwa pada pasien dengan pemeriksaan
klinis negatif untuk PI, foto rontgen pelvis tidak diperlukan. Dalam sebuah ulasan terhadap 743
pasien trauma tumpul tanpa rasa sakit atau temuan klinis PI lainnya, hanya 3 pasien (0,4%) yang
memiliki fraktur pelvis. Dalam semua kasus, itu adalah fraktur ramus tunggal nondisplaced pubis
yang tidak memerlukan pengobatan. Dalam studi lain terhadap 686 pasien trauma tumpul, 311
menerima foto rontgen pelvis, yang menghasilkan tingkat false-negatif 32%. 7 Dari 375 pasien
yang tidak menerima foto rontgen pelvis, 3% pasien ditemukan memiliki patahan kecil tulang
pelvis, tidak ada yang memerlukan pengobatan. Jadi, nampaknya foto rontgen pelvis rutin pada
pasien asimtomatik tidak berguna. Demikian pula, foto rontgen pelvis pada pasien yang memiliki
gejala mungkin tidak sensitif secara memadai dan oleh karena itu mungkin diabaikan karena
telah menggunakan CT scan. Dalam sebuah penelitian terhadap 397 pasien luka-luka yang
memiliki foto rontgen pelvis dan CT scan, 43 pasien memiliki 109 patah tulang pelvis. foto
rontgen polos tidak mendiagnosis 51 (47%) fraktur pada 9 (21%) pasien. Fraktur Iliaka dan
sakral paling sering terlewatkan. Penulis menyimpulkan bahwa pemeriksaan foto rontgen pelvis
tidak perlu dilakukan setelah multitrauma tumpul.

Gambar 35-5 Bentuk tiga dimensi dari CT menunjukkan penilaian yang realistis terhadap
fraktur anterior dan posterior.
Film inlet dan outlet pelvis memberikan informasi tentang perpindahan anteroposterior
dari cedera (film inlet) dan perpindahan vertikal (film outlet). CT scan dengan rekonstruksi (dan
rekonstruksi tiga dimensi baru-baru ini) pada dasarnya menggantikan semua modalitas
diagnostik lainnya dan secara rutin dilakukan untuk secara akurat mengkarakteristik fraktur
pelvis, serta mengidentifikasi cedera organ pelvis dan hematoma yang terkait (Gambar 35-5).
Kontras intravena secara rutin diberikan, kecuali ada kontraindikasi. Kontras oral dan rektal tidak
diperlukan untuk trauma tumpul. Pencitraan resonansi magnetik tidak menawarkan keuntungan
yang berbeda dari CT scan dan hanya dipertimbangkan jika paparan radiasi menjadi masalah,
seperti pada pasien anak-anak, ibu hamil, atau pencitraan berulang. Pada kesempatan, ligamen
perlu dievaluasi secara lebih rinci dan hal ini dapat dilakukan dengan akurasi yang lebih tinggi
dengan resonansi magnetik.
Diagnostik pembesaran peritoneum hampir hilang sama sekali dari algoritma diagnosis
perdarahan abdomen di pusat trauma modern. Kadang-kadang, kita menggunakan bagian aspirasi
saja (aspirasi peritoneal diagnostik) untuk mendeteksi adanya perdarahan intraperitoneal dalam
jumlah besar. Kami melakukan itu secara perkutan dan, ketika PI dicurigai, suprautil. The
focused abdominal sonography for trauma (FAST) telah menjadi bagian rutin dari evaluasi awal
dan skrining untuk cairan intra abdomen. Di PI sejumlah temuan dapat bermanfaat: (1) tidak
adanya cairan intraperitoneal pada pasien hemodinamik yang tidak stabil mengindikasikan
adanya perdarahan retroperitoneal mayor dari PI; (2) kontur kandung kemih terdistorsi
menunjukkan adanya hematoma pelvis yang menekan; (3) adanya cairan intraperitoneal
menunjukkan bahwa cedera organ intraperitoneal harus dikeluarkan dengan metode diagnostik
tambahan atau laparotomi.

PENATALAKSANAAN PERDARAHAN PELVIS


Segera setelah pendarahan pelvis yang signifikan dicurigai, pasien harus diresusitasi rutin
dan keputusan untuk dilakukan untuk tes diagnostik tambahan atau intervensi segera. Konsep
resusitasi hipotensi (yaitu, yang memungkinkan tekanan darah lebih rendah dari normal selama
fase awal resusitasi untuk mencegah hemodilusi dan pendarahan yang berkelanjutan) telah cukup
untuk menembus trauma. Namun, ini tidak diterima secara universal karena trauma tumpul ada
laporan yang menggembirakan. Koeksistensi cedera neurologis, yang telah terbukti
menghasilkan hasil yang lebih buruk dengan adanya hipotensi, merupakan pencegahan utama
untuk membiarkan tekanan darah rendah pada pasien trauma tumpul hemodinamik yang tidak
stabil. Kami mendukung prinsip-prinsip resusitasi hipotensi bahkan dalam trauma tumpul dan
sangat berhati-hati dengan usaha resusitasi awal kami, jarang menggunakan infus kristaloid yang
sangat besar. Jika kita mencurigai adanya situs pendarahan yang benar, kami berusaha
mengendalikan perdarahan sedini mungkin dan kemudian mengasumsikan resusitasi penuh.
Kami memberikan perhatian khusus untuk mengganti darah yang hilang dengan transfusi darah
dan produk darah daripada cairan aselular, dan kami menurunkan rasio sel darah merah yang
dikemas ke plasma beku segar sampai mendekati 1: 1 sebanyak mungkin. Kami tidak yakin
tentang keefektifan rekombinan Faktor VIIa, mengingat tidak ada bukti Level 1, yang
mendukung penggunaan obat yang sangat mahal ini. Satu-satunya penelitian acak prospektif
cacat dengan mengecualikan kematian dini. Manfaat pasien yang menerima rekombinan Faktor
VIIa dibandingkan dengan plasebo adalah pengurangan transfusi darah sebesar 2,6 U di antara
pasien trauma tumpul. Tidak ada manfaat di antara pasien trauma yang parah. Oleh karena itu,
kami menggunakan Rekombinan Factor VIIa hanya sebagai terapi penyelamatan dalam kasus
yang sangat khusus.

PELVIC BINDER (BIDAI PELVIS)


Fraktur pelvis yang tidak stabil menyebabkan pendarahan karena cedera pembuluh darah
yang terus-menerus, karena unsur-unsur yang fraktur terus bergerak, dan karena peningkatan
volume pelvis, seperti yang terjadi pada fraktur open-book. Pendarahan yang signifikan terus
berlanjut tanpa diperiksa secara prehospitally dan di gawat darurat, karena pilihan terapeutik
untuk mengatasi kedua mekanisme ini terbatas. Pelvis binder (bidai pelvis) menangani sementara
dua masalah ini dengan menstabilkan pelvis untuk menghentikan pergerakan elemen fraktur dan
dengan menurunkan volume retroperitoneal (Gambar 35-6).
Gambar 35-6 Pelvic Binder (Bidai pelvis)

Gambar 35-7 Fraktur akan terjadi lebih parah apabila binder yang ketat. Perpindahan dengan
kompresi lateral kuat oleh binder bisa diperburuk dan mengakibatkan cedera vaskular.

Efek sebelumnya dapat diterapkan binder dengan LC ringan sampai sedang. Efek
terakhir hanya mungkin jika perangkat menerapkan kompresi yang signifikan untuk mengurangi
open-book pelvis dan mengurangi volume yang tersedia untuk tumpahan darah. Namun, LC yang
signifikan dapat menciptakan efek sebaliknya, jika diterapkan pada jenis patah yang salah.
Misalnya, fraktur LC yang agak parah dapat menjadi lebih buruk, jika kompresi berlebihan
diterapkan oleh pelvic binder (Gambar 35-7). Dengan prinsip-prinsip ini, stabilisasi sederhana
oleh perangkat pelvis pada semua fraktur yang tidak stabil namun kompresi yang signifikan
hanya boleh digunakan pada fraktur tertentu, yang paling umum adalah varietas open-book.

The military antishock trousers (MAST) menjadi populer di tahun 1980an setelah laporan
awal tentang kelangsungan hidup yang lebih baik pada pasien dengan banyak cedera. Namun,
pada tahun 1989 sebuah penelitian prospektif prospektif acak menemukan hal itu terkait dengan
peningkatan angka kematian. MAST sebagian besar ditinggalkan, walaupun beberapa sistem
medis darurat masih menggunakannya pada pasien dengan fraktur pelvis atau ekstremitas bawah.
Pelvic binder telah dikomersialisasikan oleh perusahaan yang berbeda dengan prinsip
yang sama dengan hanya sedikit perbedaan di antara keduanya. Biasanya, binder terdiri dari
sabuk lebar dengan velcro yang menempel pada kedua ujung binder (yang dapat dipotong untuk
menyesuaikan panjangnya sesuai dengan habitus tubuh pasien). Di sabuk ada mekanisme
"buckle pulley". Dengan menarik senar binder mengencang dan kompresi meningkat. Perangkat
ini bersifat radiolusen, yang memungkinkan pencitraan radiografi tanpa artefak. Bukti tentang
efektivitas pelvic binder kurang baik. Ada tiga perangkap utama yang terkait dengan
penggunaannya. Pertama, penempatan binder yang terlalu tinggi dari posisi seharusnya dapat
menyebabkan tekanan abdomen berlebihan dan stabilisasi pelvis minimal. Menempatkan binder
terlalu tinggi tidak boleh dilakukan. Seharusya, binder harus dipusatkan di sekitar trokanter
mayor yang lebih besar dan tidak melebihi spina iliaka. Biasanya, perlu dilepaskan dengan
lembut di bawah punggung pasien dan kemudian ditarik sedikit lebih rendah dan di atas bokong
untuk penempatan yang tepat.

Kedua, Pengambilan senar sembarangan dapat menyebabkan kompresi lebih besar dari
yang diperlukan Binder sering ditempatkan sebelum fraktur pelvis sepenuhnya ditandai dengan
CT scan atau bahkan dengan radiografi biasa. Oleh karena itu, langkah awal harus hanya
melibatkan pengetatan sedang sampai jenis fraktur yang tepat didiagnosis. Mekanisme katrol
yang menempel pada binder membuat pengetatan sangat mudah, dan dengan kekuatan minimal,
operator yang antusias dapat meremas binder dengan kencang, dapat berakibat berbahaya.
Ketiga, binder dapat membahayakan viabilitas kulit, jaringan subkutan, atau bahkan otot jika
tertinggal terlalu lama. Petunjuk umum penempatan maksimum 24 jam ada tapi jelas ini
mungkin terlalu lama setelah penerapan binder yang ketat. Penyedia layanan kesehatan harus
mengerti bahwa binder hanya alat yang tidak sempurna dan sementara untuk pengendalian
pendarahan. Pengurangan pelvis definitif dan penghentian pendarahan harus segera direncanakan
untuk meminimalkan kebutuhan binder.

Seprei sering digunakan sebagai cara yang segera tersedia dan murah untuk
membungkus pelvis.Tepi-tepi lembaran diikat dan disekitar tongkat, yang bisa diputar untuk
mengencangkan lembaran dan menerapkan tingkat kompresi yang diinginkan (Gambar 35-8).

Fiksasi Eksternal
Fiksasi eksternal telah dipopulerkan sebagai cara cepat mengendalikan perdarahan. Di
beberapa institusi ini bisa dilakukan di ruang gawat darurat namun di sebagian besar pasien
dipindahkan ke ruang operasi. Sejumlah klem dan perangkat telah digunakan untuk memberikan
fiksasi eksternal. C-clamp dirancang untuk penempatan yang mudah di ruang gawat darurat
dengan adanya fraktur pelvis posterior. Berbeda dengan fixator lain, mudah untuk dirakit dan
diterapkan. Palangnya berputar di sekitar pin fiksasi, yang mengikat di tulang cancellous di
kedua acetabula. Rotasi penjepit memungkinkan prosedur lain di perut atau pelvis ditawarkan
tanpa kesulitan. Pin dapat ditempatkan lebih anterior atau posterior sesuai dengan lokasi fraktur
pelvis dan kebutuhan untuk menguranginya. Ini jelas merupakan metode sementara, yang perlu
diganti kemudian dengan kerangka pelvis atau fiksasi internal yang tepat. C-Clamp lebih sering
digunakan di Eropa daripada Amerika, yang biasanya lebih memilih bingkai yang ditempatkan di
ruang operasi.

Fiksasi awal eksternal menstabilkan elemen fraktur, menurunkan volume pelvis, dan
memungkinkan penggumpalan membeku. Ada berbagai fixator eksternal. Sistem awal
menggunakan pin kecil dan batang yang berat, sedangkan sistem yang lebih baru lebih baik,
mudah disesuaikan, dan dengan pin lebih besar. Penempatan pin standar berada di puncak iliaka
superior di atas tulang belakang iliaka anterior superior. Penempatan pin yang lebih rendah juga
bisa diterima dan bisa memperbaiki akses rongga perut. Pada desain tertentu lebih dari satu pin
diletakkan di setiap sisinya. Pin dapat ditempatkan dengan teknik terbuka atau perkutan. Semua
sistem bar tunggal memerlukan dua pin di setiap hemipelvis, sedangkan frame membutuhkan
tiga pin di setiap sisi, kecuali sistem Pittsburgh yang membutuhkan dua kelompok dari dua pin
di masing-masing hemipelvis. Dalam kebanyakan kasus pelvis tidak stabil yang sebenarnya,
fixator eksternal tetap merupakan perangkat sementara, yang menjembatani periode ke fiksasi
internal definitif. Pada posisi telentang, fiksasi eksternal cukup memadai untuk stabil.

EMBOLI ANGIOGRAFI

Fraktur cincin panggul yang menghasilkan ketidakstabilan hemodinamik adalah salah satu
indikasi paling umum untuk embolisasi angiografi. Kemampuan untuk mengendalikan
pendarahan dengan teknik invasif minimal dan tanpa memerlukan operasi, yang secara rutin
tidak memuaskan, sangat menarik. Namun, daya tariknya terhambat oleh tidak tersedianya tim
radiologi interventional sepanjang waktu, pemantauan yang buruk tersedia dalam rangkaian
angiografi, dan waktu yang lama dihabiskan di meja angiografi. Ketiga alasan tersebut tidak lagi
ada di pusat trauma modern.

Tim radiologi intervensi sekarang segera tersedia dengan pemberitahuan singkat di sebagian
besar pusat trauma Level 1. Di rumah sakit kami tim di rumah sampai larut malam dan
diperkirakan akan berkumpul dalam waktu 40 menit setelah itu. Pemantauan dan resusitasi di
rangkaian angiografi tidak berbeda di pusat trauma tingkat 1 dan di ruang operasi. Perangkat
infus dengan kecepatan tinggi, pemantauan hemodinamika noninvasif, dukungan ventilasi
mekanis, penilaian gas darah arteri, transfusi darah, dan upaya resusitasi agresif harus dilakukan
selama angiografi. Tim bedah harus hadir sepanjang prosedur, persis seperti yang akan terjadi
berada di seluruh operasi. Seorang ahli anestesi dan / atau intensivis harus dipanggil sesuai
keadaan. Perawat perawatan kritis harus berpartisipasi dalam tugas yang tidak diketahui perawat
radiologi. Angiografi darurat untuk pengendalian perdarahan tidak jauh berbeda dengan keadaan
laparotomi darurat karena alasan yang sama. Pergeseran perawatan pasien dari tim trauma ke ahli
radiologi intervensi selama angiografi tidak tepat. Di rumah sakit kami, tim trauma, termasuk
anestesiologi dan perawatan kritis saat dibutuhkan, tetap bertanggung jawab atas pemantauan
dan resusitasi pasien trauma di suite angiografi selama intervensi darurat untuk pengendalian
perdarahan. Konsep waktu yang dihabiskan untuk embolisasi juga penting dan akan dibahas
nanti. Tantangan pertama bagi klinisi adalah mengidentifikasi indikasi angiografi yang benar.
Kira-kira, seperempat dari angiografi yang dilakukan tidak menemukan bukti pendarahan secara
langsung atau tidak langsung dan risiko transfer yang tidak perlu ke suite radiologi dapat
dihindari untuk mendapat transfer langsung ke unit perawatan intensif. Namun, tidak ada studi
terkontrol dalam literatur ini dan indikasi yang tepat tidak diketahui.

Pada 97 pasien dengan fraktur panggul secara retrospektif ditinjau tidak ada faktor yang
memperkirakan adanya angiogram positif dengan kemungkinan yang cukup. Mekanisme trauma,
keparahan cedera, presentasi hemodinamik, cedera terkait, dan presentasi hemodinamik serupa
antara pasien dengan dan tanpa bukti radiografi perdarahan panggul. Dalam studi prospektif
berikutnya oleh kelompok yang sama, 65 pasien dengan fraktur panggul dimasukkan dalam
penelitian total 100 pasien berturut-turut yang dievaluasi dengan angiografi untuk pendarahan.
Tiga prediktor perdarahan independen diidentifikasi: usia lebih tua dari 55 tahun, tidak adanya
patah tulang panjang (menunjukkan bahwa panggul adalah sumber utama perdarahan), dan
angiografi yang muncul (menunjukkan bahwa intervensi semiakut memiliki kemungkinan lebih
rendah untuk mengidentifikasi perdarahan) . Efek prediktif usia dikonfirmasi oleh penelitian
observasional prospektif lainnya. 26 persen sembilan puluh persen pasien yang berusia lebih dari
60 tahun memiliki angiogram positif dibandingkan dengan 52% pasien yang lebih muda. Para
penulis merekomendasikan bahwa embolisasi angiografi ditawarkan secara bebas pada pasien
fraktur panggul berusia di atas 60 tahun.

Pola patah tulang panggul dianggap sebagai prediktor utama pendarahan. Secara tradisional, tiga
jenis PI dianggap terkait dengan perdarahan: diastasis pubis simfisis lebih dari 2,5 cm, fraktur
rami pubis bilateral superior / inferior (kupu-kupu), dan fraktur posterior (terutama pada variasi
geser vertikal). Namun, ada bukti bahwa bahkan patah tulang anterior dapat menyebabkan
pendarahan, terutama pada pasien yang lebih tua atau mereka yang menerima antikoagulan.
Adanya ekstravasasi kontras pada CT scan panggul juga telah banyak digunakan sebagai
prediktor dari suatu angiogram positif. Disarankan agar sensitivitas dan spesifisitas "blush
kontras" pada CT untuk mengidentifikasi perdarahan yang memerlukan embolisasi masing-
masing adalah 84% dan 85%, dengan akurasi keseluruhan 90%. Namun, pengalaman kami
adalah bahwa pemindai CT generasi baru sangat sensitif dan-dalam kombinasi dengan protokol
infus kontras IV yang tepat - dapat mengambil pendarahan kecil yang berpotensi terbatas sendiri
tanpa intervensi lebih lanjut. Oleh karena itu, kehadiran ekstravasasi kontras pada CT bukanlah
indikasi langsung adanya angiografi di institusi kami. Kami menganggap ekstravasasi kontras
merupakan elemen penting dari konstelasi gejala, tanda, dan temuan PI dan
mempertimbangkannya dalam konteks keseluruhan gambaran klinis. Seorang pasien yang secara
hemodinamik labil dan memiliki blush kontras kemudian dipindahkan ke suite angiografi.
Seorang pasien dengan blush kontras, yang stabil secara hemodinamik, biasanya tidak menerima
angiogram preemptive namun agak ditempatkan dalam pengamatan dekat. Demikian pula,
ukuran hematoma pelvis tidak dapat digunakan sebagai indikasi terisolasi untuk angiografi.

Ahli radiologi intervensional biasanya berusaha untuk mengidentifikasi lokasi pendarahan yang
tepat dan mengendalikannya dengan kumparan. Ini memerlukan intubasi subselektif pada cabang
arteri iliaka internal, waktu, dan dosis kontras intravena yang lebih besar. Untuk keadaan darurat
trauma sejati, ahli radiologi intervensi harus berada dalam pola pikir yang berbeda. Sejalan
dengan prinsip pengendalian kerusakan bedah, pengendalian kerusakan angiografi harus
ditawarkan. Prosedurnya harus cepat, efektif, dan sementara. Arteriembolisasi iliaka bilateral
mencakup prinsip-prinsip ini. Ahli radiologi intervensi tidak mengkonsumsi manuver waktu
kateter kecil ke cabang arteri kecil. Perdarahan dikontrol dengan memotong semua cabang arteri
iliaka internal dengan agen sementara, seperti partikel spons gelatin (Gambar 35-9). Setidaknya
ada tiga alasan untuk melakukan embolisasi arteri iliaka bilateral internal:

(1) pada saat emboliasi, pasien sering mengalami syok dan sangat vasokonstriksi. Ini mencegah
ekstravasasi kontras intravena selama angiografi dan menawarkan kesan menyesatkan tentang
pengendalian perdarahan. Begitu pasien diresusitasi dan vasokonstriksi dibalik, perdarahan bisa
terjadi. Penyumbatan semua cabang arteri iliaka internal mencegah masalah ini.

(2) Jaringan vaskular panggul sangat luas sehingga pemutih dapat diberi makan secara terbalik
dari sisi kontrol. Hanya memusnahkan arteri iliaka unilateral internal mungkin tidak menawarkan
kontrol pendarahan yang efektif (Gambar 35-10).

(3) Beberapa bleeders berada tepat di tengah dan sangat sulit untuk membedakan apakah mereka
dipasok oleh sistem arteri kanan atau kiri. Memalsukan keduanya adalah satu-satunya cara untuk
mengendalikan pendarahan (Gambar 35-11).

Keselamatan embolisasi arteri iliaka bilateral telah ditunjukkan dalam sebuah penelitian terhadap
30 pasien berturut-turut yang menerima prosedur tanpa komplikasi utama. Tampaknya
persediaan vaskular pelvis yang ekstensif menjamin kelangsungan hidup jaringan panggul dan
organ selama beberapa hari emboliisasi gelfoam dan sampai arteri menyatukan kembali (Gambar
35-12). Gasokan Gelfoam biasanya dipotong berukuran tidak lebih kecil dari 2 mm untuk
mencegah migrasi ke kapal yang lebih kecil dan memungkinkan sirkulasi agunan dasar.
Meskipun ada laporan terisolasi mengenai komplikasi serius dengan embolisasi bilateral untuk
kanker, seperti nekrosis kolon, sepsis luka perineum, atau nekrosis avaskular kepala femoral,
pengalaman kami selama 15 tahun terakhir sangat menggembirakan dan tanpa komplikasi yang
signifikan. Dalam studi kasus yang sesuai dengan pasien fraktur panggul laki-laki yang serupa
dengan dan tanpa embolisasi arteri iliaka bilateral, kejadian disfungsi seksual 1-2 tahun setelah
cedera tinggi tapi tidak berbeda antara kedua kelompok. Meskipun patah tulang panggul utama
mempengaruhi fungsi seksual, penambahan embolisasi sementara pada arteri iliaka internal tidak
memperburuk hasilnya. Para penulis berasumsi bahwa, jika fungsi halus ini tidak terpengaruh
oleh embolisasi, tidak mungkin organ pelvis lain menderita konsekuensi jangka panjang yang
besar.

Kegagalan embolisasi terjadi pada kira-kira 15% pasien dan biasanya terkait dengan koagulopati.
Pada pasien tersebut, potensi trombogenik bahan gelatin yang disuntikkan mungkin tidak
sepenuhnya terwujud dan pembuluh darah tidak dapat diblokir secara efektif, menunjukkan
rekanalisasi hampir penuh hanya dalam beberapa jam setelah embolisasi awal yang efektif.
Embolisasi superselektif dikaitkan dengan risiko perdarahan ulang yang lebih tinggi. Pasien yang
terus memerlukan transfusi darah dalam 72 jam setelah embolisasi harus dibawa kembali ke
rangkaian angiografi, karena embolisasi berulang biasanya berhasil.

PREPERITONEAL PELVIC PACKING

Packing telah menjadi bagian penting dari operasi pengendalian kerusakan untuk luka perut yang
parah. Untuk panggul, pengepakan telah menjadi metode pengendalian pendarahan yang tidak
efektif karena sayatan peritoneum untuk menempatkan bungkus melepaskan tamponade.
Selanjutnya, corong terbuka yang diberikan pelvis tidak memungkinkan kemasan tetap berada di
tempat dan menggunakan efek hemostatik dengan kompresi; Mereka agak melayang kembali ke
perut.

Bahkan jika pengepakan panggul belum populer di Amerika Serikat, ahli bedah trauma Eropa
telah menggunakannya dengan lebih bebas. Ertel dkk. 37 dari Swiss menunjukkan kontrol
perdarahan yang sangat baik setelah fraktur panggul mayor menggunakan kombinasi pengepakan
dan fiksasi eksternal oleh penjepit C. Tidak jelas mana dari dua teknik yang terutama
bertanggung jawab atas hasilnya. Baru-baru ini, kemasan panggul diperkenalkan kembali di
Amerika Serikat oleh kelompok trauma Denver. Teknik pengemasan pelepasan preperitoneal
mereka membahas masalah perpindahan pak dan gangguan tamponade sebelumnya. Dengan
menempatkan bungkus di belakang peritoneum melalui insisi vertikal midline atau suprapubic
yang terpisah, tamponade peritoneal tidak terganggu dan bungkusnya tidak bisa melayang
kembali ke rongga perut. Penulis telah menggambarkan tekniknya, yang melibatkan pembukaan
fasia, pencabutan otot recti secara lateral, dan penempatan sekitar tiga bungkus pada setiap sisi
kandung kemih jauh ke panggul. Perhatian dibayar setiap saat agar tidak membuka peritoneum.
Untuk alasan ini, jika dilakukan laparotomi, sayatan harus dibatasi pada batas atas hematoma
pelvis dan tidak di bawahnya. Pengemasan panggul preperitoneal kemudian dilakukan melalui
sayatan terpisah (Gambar 35-13). Dalam praktik kami, kami telah menemukan teknik untuk
menyelamatkan nyawa pasien yang terus terang tidak stabil dan tidak dapat mentolerir
transportasi ke jalur angiografi. Pada pasien ini, hematoma pelvis biasanya sangat besar dan
lebih dari enam bungkus mungkin diperlukan untuk memampatkan semua situs pendarahan.

Dalam sebuah penelitian terhadap 28 pasien yang menerima pengemasan panggul preperitoneal
oleh kelompok trauma Denver, 21 (75%) bertahan. Hanya 14% pasien mengalami embolisasi
angiografi postoperatif. Dalam studi serupa oleh sebuah kelompok Norwegia yang terdiri dari 13
dari 18 pasien (72%) dengan pembungkus bertahan namun embolisasi angiografi postoperatif
digunakan pada 80% pasien. Kita harus mempertimbangkan kedua prosedur ini lebih
komplementer daripada berkompetisi. Keduanya bisa ditawarkan pada pasien yang sama. Kami
mempertimbangkan embolisasi angiografi sebagai metode yang disukai untuk mengendalikan
pendarahan panggul pada sebagian besar pasien. Namun, kemasan pelvis preperitoneal
memberikan alternatif yang berguna dalam keadaan berikut jika:

(1) tidak ada dukungan angiografi, seperti yang terjadi di pusat trauma non-Level 1;

(2) ada dukungan angiografi namun tim tidak dapat berkumpul dengan cepat;

(3) ada ketidakstabilan hemodinamik yang mendalam, yang membuat penundaan ringan bahkan
tidak dapat diterima dan meminta pengemasan cepat di ruang operasi yang siap. Setelah
pengemasan, embolisasi angiografi masih harus dipertimbangkan dengan kuat.

DEFINITIVE FIXATION

Fraktur panggul yang tidak stabil dan berdarah biasanya dikelola dengan perbaikan bertahap,
yang mencakup pengikat pelvis pada awalnya, fiksasi eksternal tidak lama setelah itu, dan fiksasi
internal sebagai langkah terakhir untuk rekonstruksi. Rincian pendekatan bedah untuk fiksasi
internal definitif panggul berada di luar cakupan bab ini dan tidak akan dibahas. Fiksasi eksternal
dapat berfungsi sebagai terapi definitif, terutama pada fraktur panggul anterior. Ini tidak
menawarkan stabilitas yang memadai pada fraktur posterior, terutama pada sumbu vertikal.
Fiksasi eksternal sangat menarik sebagai solusi jangka panjang karena menghindari risiko
operasi terbuka namun pengurangannya harus tepat. Jika pengurangan kurang dari 1 cm
perpindahan awal tidak dipertahankan selama masa penyembuhan, maka 80% pasien
memerlukan analgesik kronis dibandingkan dengan hampir tidak ada yang memiliki
pengurangan yang tepat. 41 Namun, komplikasi meningkat seiring berjalannya waktu, dan
infeksi pin berkembang pada 50% pemeriksa definitif, berlawanan dengan 13% pemeriksa
sementara. Penyebab paling umum untuk mengganti fixator eksternal adalah pelepasan pin
aseptik. Sekitar 10% pasien memerlukan penggantian eksternal dengan fiksasi internal sebagai
pengobatan definitif. Untuk luka APC-II, sebuah piring di simfisis pubis mungkin cukup, karena
stabilitas pelvis posterior dipertahankan oleh ligamen sakroiliaka posterior yang tidak
terpengaruh.

APC-III dan kebanyakan fraktur geser LC-II dan vertikal biasanya memerlukan stabilisasi
posterior dengan fiksasi internal. Menurut jenis fraktur spesifik, sekrup sacroiliac (ditempatkan
secara terbuka atau perkutan), sekrup LC khusus, atau piring harus digunakan. Komplikasi
fiksasi internal banyak dan berkisar dari perdarahan hingga luka saraf, devaskularisasi otot,
infeksi, pengurangan suboptimal, dan nyeri kronis.

Yang sama pentingnya dengan teknik bedah adalah timing fiksasi internal. Istilah "pengendalian
kerusakan ortopedi" diperkenalkan untuk menunjukkan bahwa pada tahap awal fiksasi fraktur
harus diminimalkan sampai yang paling tidak diperlukan, diikuti dengan perbaikan definitif bila
status fisiologis pasien memungkinkannya dilakukan. 43,44 Stabilisasi dini dengan fiksasi
selanjutnya dikaitkan dengan tingkat sitokin inflamasi yang lebih rendah dan hasil yang lebih
baik dibandingkan dengan fiksasi langsung. Waktu optimal untuk intervensi definitif tidak jelas
dan mungkin berbeda dari pasien ke pasien. Telah disarankan bahwa penanda klinis (seperti Skor
Respons Inflamasi Sistemik) atau nilai laboratorium (seperti interleukin-6) dapat dipantau untuk
menentukan waktu. Jika penanda meningkat, respon inflamasi masih merajalela dan pukulan
kedua mungkin merugikan. Jika penanda menurun atau normal, fiksasi pasti dianjurkan.

ASSOCIATED INJURIES

Fraktur panggul mayor umumnya terkait dengan cedera intra dan ekstra-abdomen. Cedera kepala
tertutup terjadi pada 51%, patah tulang panjang pada 48%, dan cedera toraks pada 20% pasien.
Di antara cedera ekstra-abdomen, hubungan dengan cedera aorta toraks sangat penting dan
berkisar antara 1,4% dan 5,9% di antara semua pasien dengan fraktur panggul. 46,47 Insiden
cedera organ intraabdominal padat dan berongga telah dilaporkan masing-masing 11% dan 4,5%,
dan cedera diafragma terjadi pada 2% fraktur panggul. Semua asosiasi ini menunjukkan
kompleksitas diagnosis semua luka dan memilih terapi yang benar. Seorang pasien dengan
fraktur panggul mayor biasanya memiliki sedikit kelembutan perut dan fluktuasi hemodinamik.
Keputusan untuk mengeksplorasi atau menghindari rongga perut seringkali sulit dilakukan
seperti pemeriksaan klinis, FAST, aspirasi peritoneal diagnostik, atau bahkan CT scan dapat
memberikan informasi yang tidak jelas. Kehadiran cedera neurologis sentral hanya akan
membingungkan gambaran lebih jauh. Algoritma yang disarankan pada Gambar 35-15 dapat
berfungsi sebagai pedoman untuk pengelolaan fraktur panggul mayor, walaupun masing-masing
pasien unik dan memerlukan keputusan individual. hematoma perineum, darah pada meatus
uretra, atau prostat highriding harus mengingatkan klinisi tentang cedera uretra. Sebuah
uretrogram retrograde harus dilakukan sebelum memasukkan kateter Foley. Pada kesempatan
yang dipilih, di mana saat ini adalah esensi, memajukan kateter Foley tanpa terlebih dahulu
melakukan program uret retrograde adalah alternatif yang dapat diterima. Ini harus dilakukan
oleh orang senior dan dengan sangat hati-hati untuk berhenti dan menarik diri dengan adanya
perlawanan. Jika kateter Foley tidak dapat dimasukkan karena adanya cedera uretra, diperlukan
kateter suprapubik. Cedera uretra biasanya diperbaiki pada tahap selanjutnya setelah peradangan
mereda namun ada laporan tentang keberhasilan manajemen dini yang agresif. Jelas, keputusan
ini akan dibuat bersama oleh seorang ahli urologi dan ahli bedah trauma.

OPEN PELVIC FRACTURES

Kombinasi luka terbuka dengan cedera cincin panggul menghasilkan situasi yang sangat
menantang, karena perdarahan dan kontaminasi yang sedang berlangsung biasanya sangat dalam
dan tingkat kematian biasanya lebih dari 20% dan sampai 50%. Lacerasi perineum jauh lebih
sulit ditangani daripada laserasi anterior. Kedua tipe fraktur panggul terbuka ini tidak boleh
digambarkan sebagai entitas yang sama karena manajemen harus berbeda sesuai dengan lokasi
dan tingkat laserasi kulit. Prioritas dalam pengelolaan fraktur panggul terbuka utama tidak jauh
berbeda dengan penanganan cedera yang menghancurkan lainnya dan termasuk - dalam urutan
prioritas - pengendalian perdarahan, pengendalian kontaminasi, dan fiksasi definitif.

Pengendalian perdarahan pada fraktur panggul terbuka melibatkan pengepakan melalui laserasi,
penerapan pengikat pelvis, embolisasi angiografi, dan fiksasi eksternal. Kemasan pelvis
preperitoneal, seperti yang dijelaskan di atas, mungkin tidak efektif karena tamponade dari ruang
pelvis retroperitoneal sudah dilepaskan ke lingkungan luar. Ada perdebatan tentang perlunya
kolostomi mengendalikan kontaminasi. Banyak penulis percaya bahwa colostomy pengalihan
harus dilakukan secara rutin sebagai bagian integral dari manajemen bedah fraktur pelvis terbuka
(Gambar 35-14). Dalam sebuah penelitian terhadap 39 pasien dengan fraktur panggul terbuka,
mortalitasnya adalah 26% dan diprediksi oleh ketidakstabilan fraktur dan cedera rektum. Penulis
menyarankan agar kolostomi awal penting untuk bertahan hidup. 49 Dalam penelitian lain
terhadap 44 pasien, 23 dikelola dengan kolostomi pengalihan dan 21 tanpa itu. Bahkan jika
pasien dengan kolostomi lebih terluka parah, mereka memiliki mortalitas 30 hari yang lebih
rendah. Sepsis pelvis dan komplikasi anastomik berkontribusi terhadap mortalitas pada
kelompok tanpa kolostomi, dan para penulis merekomendasikan penggunaan kolostomi secara
liberal. Namun, analisis sistematis terhadap literatur menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
hasil antara pasien dengan dan mereka yang tidak memiliki kolostomi. Namun demikian, penulis
menyadari bahwa bukti tersebut berkualitas buruk dan kesimpulan yang solid tidak dapat
dilakukan, dan meminta penelitian acak prospektif, tujuan yang agak tidak mungkin, mengingat
rendahnya insiden cedera ini. Solusi midway dijelaskan pada 18 pasien, di antaranya 5 memiliki
kolostomi karena luka perineum, sedangkan 13 dengan luka anterior tidak mengalami prosedur
ini. 52 Tidak ada pasien tanpa kolostomi yang mengembangkan sepsis pelvis, dan penulis
merekomendasikan pendekatan selektif. Ini sebenarnya juga pendekatan kami. Pasien dengan
luka rektum atau dengan luka yang dekat dengan anus biasanya menerima colostomy pengalihan.
Pasien dengan luka distal lebih banyak biasanya ditangani tanpa pengalihan tinja. Debridement
jaringan iskemik merupakan bagian penting dari manajemen. Terlepas dari semua strategi,
mortalitas fraktur panggul terbuka tetap sangat tinggi, bahkan di era modern sekalipun di tangan
ahli. Kelompok Grady Memorial Hospital menggambarkan 44 pasien tersebut dengan mortalitas
45%. Kejadian pendarahan dan kebutuhan untuk embolisasi angiografi dikaitkan dengan
prognosis suram. Sepsis pelvis lambat berkembang pada lima pasien dan tiga di antaranya
meninggal. Oleh karena itu, tampaknya bahwa terutama pendarahan dan sepsis sekunder terus
mengklaim korban berat pada kehidupan pasien dengan luka yang menghancurkan ini.

LONG-TERM OUTCOMES
Cedera neurologis adalah kelainan karakteristik setelah trauma pelvis dengan implikasi jangka
panjang yang serius. Dalam sebuah studi elektrodiagnostik terhadap 78 pasien dengan trauma
panggul dan gejala neurologis lowerextremity, insidensi ketidakstabilan gaya berjalan dan nyeri
neuropatik tinggi. Seperti telah dibahas, disfungsi seksual tetap menjadi masalah utama pada
kira-kira dua pertiga pasien laki-laki dengan fraktur panggul mayor. Kelainan sensori dicatat
pada 91% pasien dengan fraktur sakral yang tidak stabil 1 tahun setelah cedera. Gaya kait yang
terganggu dicatat pada 63% dan kandung kemih, usus, atau gangguan seksual pada 59%. Dalam
sebuah penelitian kuesioner terhadap 24 wanita dengan fraktur panggul Tile B atau C dan usia
rata-rata 24 tahun, 16 melaporkan disfungsi panggul de novo.56 Gejala kandung kemih hadir
pada 12, masalah usus dalam usia 11, dan disfungsi seksual pada 7. Malunion patah tulang dapat
menyebabkan perbedaan panjang kaki, menciptakan ketidakstabilan dan ketidakstabilan gaya
berjalan. Oleh karena itu, jelas bahwa bahkan dengan manajemen optimal, patah tulang panggul
yang parah dikaitkan dengan sekuele jangka panjang. Rasa sakit dan gangguan neurologis adalah
masalah paling umum yang dapat membahayakan kualitas hidup.

CONCLUSION

Fraktur panggul mayor berhubungan dengan perdarahan, komplikasi, dan mortalitas yang
signifikan. Pendekatan multidisiplin adalah penting. Diagnosis perdarahan panggul mayor harus
dilakukan di teluk trauma berdasarkan petunjuk dari luka di luar panggul, pemeriksaan fisik yang
menunjukkan ketidakstabilan cincin panggul, dan pengecualian sumber potensial lainnya. CT
scan saat ini adalah tes yang paling berguna untuk menandai fraktur, mendeteksi hematoma dan
ekstravasasi kontras aktif, dan merencanakan perawatan lebih lanjut. Dengan adanya perdarahan,
embolisasi angiografi diindikasikan dan harus dilakukan dalam banyak kasus di sepanjang
prinsip-prinsip pengendalian kerusakan angiografi. Pengikatan pelvis di ruang gawat darurat dan
fiksasi eksternal merupakan intervensi penting untuk mengurangi perdarahan, nyeri, dan cedera
yang terus berlanjut. Fiksasi internal paling baik ditinggalkan untuk tahap selanjutnya.
Pengemasan panggul preperitoneal bisa menjadi manuver hemat untuk pasien yang terlalu tidak
stabil untuk bepergian ke suite angiografi atau di rumah sakit ini yang tidak memiliki akses
mudah ke angiografi. Algoritma umum diberikan (Gambar 35-15) namun urutan intervensi yang
tepat harus disesuaikan dengan kompleksitas khusus dari pasien yang menantang ini.

Anda mungkin juga menyukai