Anda di halaman 1dari 6

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi bakteri yang mengenai bagian dari

saluran kemih. Ketika mengenai saluran kemih bawah dinamai sistitis (infeksi
kandung kemih) sederhana, dan ketika mengenai saluran kemih atas dinamai
pielonefritis (infeksi ginjal). Gejala dari saluran kemih bawah meliputi buang air kecil
terasa sakit dan sering buang air kecil atau desakan untuk buang air kecil (atau
keduanya), sementara gejala pielonefritis meliputi demam dan nyeri panggul di
samping gejala ISK bawah. Pada orang lanjut usia dan anak kecil, gejalanya bisa
jadi samar atau tidak spesifik. Kuman tersering penyebab kedua tipe tersebut adalah
Escherichia coli, tetapi bakteri lain, virus, maupun jamur dapat menjadi penyebab
meskipun jarang.

Gejala

Berdasarkan bagian sistem saluran kemih yang terinfeksi, infeksi saluran kemih (ISK) terbagi
menjadi dua, yaitu ISK bagian bawah dan ISK bagian atas. ISK bagian bawah merupakan
infeksi yang terjadi di uretra dan kandung kemih (sistitis) dengan gejala berupa:

Nyeri atau perih saat buang air kecil


Rasa ingin selalu buang air kecil dan tidak bisa ditahan
Rasa tidak nyaman dan nyeri pada perut bagian bawah
Seperti ada tekanan pada panggul
Bau urine yang sangat menyengat
Warna urine yang keruh, bahkan kadang-kadang bercampur darah
Badan terasa lelah, tidak enak, dan nyeri
Perasaan bahwa urine tidak sepenuhnya keluar setelah selesai kencing

Sedangkan ISK bagian atas merupakan infeksi yang terjadi di ureter dan ginjal dengan gejala-
gejala berupa:

Demam
Tubuh terasa dingin dan kadang menggigil
Mual dan muntah
Nyeri pada bagian pinggang dan punggung
Gelisah
Disorientasi

Penyebab

Bakteri gram negatif tersebut adalah: Escherichia coli (yang terbanyak), Klebsiella
atau Proteus mirabilis, dan kadang-kadang Pseudomonas aeruginosa. Sedangkan
Enterobacter and Serratia dijumpai juga pada pasien di rumah sakit.
Bakteri gram positif adalah: Staphylococcus saprophyticus pada 5 sampai 10 persen
pasien. Dan yang lebih jarang adalah Enterococcus faecalis (group D streptococci)
and Streptococcus agalactiae (group B streptococci). Sedangkan di rumah sakit
dijumpai pasien dengan bakteri coccus, E. faecalis, and Staphylococcus aureus.[9]

Faktor Pencetus ISK


litiasis
obstruksi saluran kemih
penyakit ginjal polikistik
nekrosis papilar
DM pasca transplantasi ginjal
nefropati analgesik
penyakit Sikle cell
senggama
kehamilan dan peserta KB dengan tablet progesteron
kateterisasi

Manajemen ISK / terapi


ISK bawah
cairan yang banyak
antibiotik adekuat
terapi simtometik untuk alkalinisasi urin:
hampir 80% pasien memberikan respon stl 48jam dengan
antibiotik tunggal : ampisilin 3gr, trimetropin 200mg.
antibiotik tunggal : ampisilin 3gr, trimetropin 200mg.
bila infeksi menetap disertai kelainan urinalisis diperlukan
terapi konvensional selama 510 hari.
px mikroskopik urin dan biakan urin tidak diperlukan bila
semua gejala hilang dan tanpa lekosiuria
Reinfeksi berulang
disertai faktor predisposisi: terapi antimikroba
tanpa faktor predisposisi: asupan cairan banyak, cuci setelah senggama
diikuti terapi antimikroba takaran tunggal (trimetropin 200mg)
terapi antimikroba jangka lama sampai 6 bulan.

ISK Atas
PNA memerlukan rawat inap untuk memelihara status hidrasi dan terapi antibiotika
parenteral plg sedikit 48 jam indikasi rawat dan terapi antibiotika parenteral plg sedikit 48
jam. indikasi rawat inap:
kegagalan mempertahankan hidrasi normal atau toleransi
pasien sakit berat atau debilitasi
terapi antibiotik oral selama rawat jalan mengalami kegagalan
diperlukan investigasi lanjutan
faktor predisposisi untuk ISK tipe berkomplikasi
-komordibitas seperti kehamilan, diabetes mellitus, usia lanjut.

The Infectious Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga alternatif terapi
antibiotik IV sebagai terapi awal selama 4872 jam sebelum diketahui MO sebagai
penyebabnya :
f luorokuinolon
amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin
sefalosporin dengan spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida
Infeksi daerah operasi (IDO)
Infeksi yang terjadi pada luka yang ditimbulkan oleh prosedur operasi invasif secara
umum dikenal sebagai infeksi daerah operasi atau Surgical Site Infection (SSI).
Infeksi daerah operasi (IDO) masih menjadi penyebab mortalitas dan morbiditas
yang berarti pada pasien di rumah sakit.
Risiko terjadinya IDO dapat dikonsepkan dalam hubungan sebagai berikut.

Jumlah kontaminasi bakteri x virulensi =infeksi daerah operasi


Sistem pertahanan tubuh pasien

Faktor risiko IDO


.
Faktor yang berhubungan dengan pasien diantaranya adalah infeksi yang telah ada,
usia tua, obesitas, merokok, diabetes mellitus, malnutrisi, kolonisasi
bakteri pada kulit, transfusi darah sebelum operasi. Faktor yang berhubungan
dengan operasi termasuk didalamnya adalah lama prosedur operasi, preparasi kulit
preoperasi yang tidak adekuat, antimikroba profilaksis, pencukuran sebelum
operasi, ventilasi ruang preoperasi, sterilisasi instrumen, ventilasi ruang operasi.
Salah satu faktor risiko terjadinya IDO postoperatif yaitu adanya kolonisasi S. aureus
praoperatif. Risiko relatif terjadinya IDO 2-9 kali lebih besar pada karier S. Aureus
dibanding non karier

Patogen potensial penyebab IDO adalah E.coli (28%), Enterococcus sp. (15%),
Streptococcus sp. (8%), P. seudomonas aeruginosa (7%), dan
S.taphylococcus.aureus (5%).Enterobacter sp.

Phlebitis

Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi kimia maupun mekanik
yang sering disebabkan oleh komplikasi dari terapi intravena, Plebitis dikarateristikkan
dengan adanya dua atau lebih tanda nyeri, kemerahan, kemerahan, bengkak, indurasi dan
terba mengeras di bagian vena yang terpasang kateter intra vena (La Rocca, 1998 ).

Plebitis dapat menyebabkan trombus yang selanjutnya menjadi thromboplebitis, perjalanan


penyakit ini biasanya jinak, tapi walaupun demikian jika thrombus terlepas dan kemudian
diangkut kealiran darah dan masuk jantung maka dapat menimbulkan seperti katup bola yang
menyumbat atrioventikular secara mendadak dan menimbulkan kematian (Slyvia, 1995). Hal
ini menjadiakan phlebitis sebagai salah satu pemasalahan yang penting untuk dibahas di
samping plebitis juga sering ditemukan dalam proses keperawatan ( Jarumi Yati, 2009 ).

2. Penyebab Plebitis
a. Plebitis Kimia
1) pH dan osmolaritas cairan infus yang ekstrem selalu diikuti risiko flebitis tinggi. pH
larutan dekstrosa berkisar antara 3 5, di mana keasaman diperlukan untuk mencegah
karamelisasi dekstrosa selama proses sterilisasi autoklaf, jadi larutan yang mengandung
glukosa, asam amino dan lipid yang digunakan dalam nutrisi parenteral bersifat lebih
flebitogenik dibandingkan normal saline.
Obat suntik yang bisa menyebabkan peradangan vena yang hebat, antara lain kalium klorida,
vancomycin, amphotrecin B, cephalosporins, diazepam, midazolam dan banyak obat
khemoterapi. Larutan infus dengan osmolaritas > 900 mOsm/L harus diberikan melalui vena
sentral.

2) Mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna selama pencampuran
juga merupakan faktor kontribusi terhadap flebitis. Jadi , kalau diberikan obat intravena
masalah bisa diatasi dengan penggunaan filter 1 sampai 5 m

3) Penempatan kanula pada vena proksimal (kubiti atau lengan bawah) sangat dianjurkan
untuk larutan infus dengan osmolaritas > 500 mOsm/L Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45%
hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah),
dan albumin. Hindarkan vena pada punggung tangan jika mungkin, terutama pada pasien usia
lanjut, karena akan mengganggu kemandirian lansia.

4) Kateter yang terbuat dari silikon dan poliuretan kurang bersifat iritasi dibanding
politetrafluoroetilen (teflon) karena permukaan lebih halus, lebih thermoplastik dan lentur.
Risiko tertinggi untuk flebitis dimiliki kateter yang terbuat dari polivinil klorida atau
polietilen.

b. Plebitis Mekanis
Flebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kanula. Kanula yang dimasukkan ada daerah
lekukan sering menghasilkan flebitis mekanis. Ukuran kanula harus dipilih sesuai dengan
ukuran vena dan difiksasi dengan baik.

c. Plebitis Bakterial
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap flebitis bakteri meliputi:
1) Teknik pencucian tangan yang buruk
2) Kegagalan memeriksa peralatan yang rusak. Pembungkus yang bocor atau robek
mengundang bakteri.
3) Teknik aseptik tidak baik
4) Teknik pemasangan kanula yang buruk
5) Kanula dipasang terlalu lama
6) Tempat suntik jarang diinspeksi visual

3. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala phlebitis adalah :
a. Nyeri yang terlokalisasi.
b. Pembengkakan.
c. kulit kemerahan timbul dengan cepat di atas vena
d. pada saat diraba terasa hangat
e. panas tubuh cukup tinggi (medicaster,2009)

4. Pencegahan dan Mengatasi Phlebitis ( Darmawan,2009 )


a. Mencegah flebitis bacterial.
Pedoman ini menekankan kebersihan tangan, teknik aseptik, perawatan daerah infus serta
antisepsis kulit. Walaupun lebih disukai sediaan chlorhexidine-2%, tinctura yodium , iodofor
atau alkohol 70% juga bisa digunakan.
b. Selalu waspada dan jangan meremehkan teknik aseptik.
Stopcock sekalipun (yang digunakan untuk penyuntikan obat atau pemberian infus IV, dan
pengambilan sampel darah) merupakan jalan masuk kuman yang potensial ke dalam tubuh.
Pencemaran stopcock lazim dijumpai dan terjadi kira-kira 45 50% dalam serangkaian besar
kajian.

c. Rotasi kanula
May dkk(2005) melaporkan di mana mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan kontralateral
setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas flebitis. Namun, dalam uji kontrol acak yang
dipublikasi baru-baru ini oleh Webster dkk disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di
tempatnya lebih dari 72 jam JIKA tidak ada kontraindikasi. The Centers for Disease Control
and Prevention menganjurkan penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk membatasi potensi
infeksi, namun rekomendasi ini tidak didasarkan atas bukti yang cukup.

d. Aseptic dressing
Dianjurkan aseptic dressing untuk mencegah flebitis. Kasa setril diganti setiap 24 jam.

e. Laju pemberian
Para ahli umumnya sepakat bahwa makin lambat infus larutan hipertonik diberikan makin
rendah risiko flebitis. Namun, ada paradigma berbeda untuk pemberian infus obat injeksi
dengan osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya
beberapa jam.

Durasi sebaiknya kurang dari tiga jam untuk mengurangi waktu kontak campuran yang iritatif
dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan pemberian tinggi (150 330 mL/jam).
Vena perifer yang paling besar dan kateter yang sekecil dan sependek mungkin dianjurkan
untuk mencapai laju infus yang diinginkan, dengan filter 0.45mm. Kanula harus diangkat bila
terlihat tanda dini nyeri atau kemerahan. Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam pemberian
infus jaga sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan maintenance atau nutrisi parenteral.

f. Titrable acidity
Titratable acidity dari suatu larutan infus tidak pernah dipertimbangkan dalam kejadian
flebitis. Titratable acidity mengukur jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menetralkan pH
larutan infus. Potensi flebitis dari larutan infus tidak bisa ditaksir hanya berdasarkan pH atau
titrable acidity sendiri. Bahkan pada pH 4.0, larutan glukosa 10% jarang menyebabkan
perubahan karena titrable acidity nya sangat rendah (0.16 mEq/L).Dengan demikian makin
rendah titrable acidity larutan infus makin rendah risiko flebitisnya.

g. Heparin dan hidrokortison


Heparin sodium, bila ditambahkan ke cairan infus sampai kadar akhir 1 unit/mL, mengurangi
masalah dan menambah waktu pasang kateter. Risiko flebitis yang berhubungan dengan
pemberian cairan tertentu (misal, kalium klorida, lidocaine, dan antimikrobial) juga dapat
dikurangi dengan pemberian aditif IV tertentu, seperti hidrokortison. Pada uji klinis dengan
pasien penyakit koroner, hidrokortison secara bermakna mengurangi kekerapan flebitis pada
vena yg diinfus lidokain, kalium klorida atau antimikrobial .

Pada dua uji acak lain, heparin sendiri atau dikombinasi dengan hidrokortison telah
mengurangi kekerapan flebitis, tetapi penggunaan heparin pada larutan yang mengandung
lipid dapat disertai dengan pembentukan endapan kalsium.
h. In-line filter
In-line filter dapat mengurangi kekerapan flebitis tetapi tidak ada data yang mendukung
efektivitasnya dalam mencegah infeksi yang terkait dengan alat intravaskular dan sistem
infus

5. Masalah Kejadian Plebitis


a. Akibat phlebitis bagi penderita
Dampak yang terjadi dari infeksi tindakan pemasangan infus (plebitis) bagi pasien
merupakan masalah yang serius namun tidak sampai menyebabkan kematian, tetapi banyak
dampak yang nyata yaitu tingginya biaya perawatan diakibatkan lamanya perawatan di rumah
sakit.

b. Akibat phlebitis bagi masyarakat


Bertambah panjangnya masa rawat penderita , penderita pulang masih menjadi pembawa
kuman selama beberapa bulan,daan dapat menularkan kuman pada keluarga maupun
masyarakat sekitarnya.

Anda mungkin juga menyukai