Anda di halaman 1dari 16

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Definisi Depresi

Depresi merupakan salah satu masalah kesehatan mental. Orang yang

mengalami depresi umumnya mengalami gangguan yang meliputi keadaan emosi,

motivasi, fungsional, dan tingkah laku serta kognisis bercirikan ketidakpercayaan

yang berlebihan (Lubis, 2009). Depresi didefinisikan sebagai gangguan mental

dengan penurunan mood, kehilangan minat atau perasaan senang, adannya

perasaan bersalah atau rendah diri, gangguan tidur atau penurunan selera makan,

sulit kontrol atau kelemahan fisik. Gangguan ini dapat menjadi kronik atau

kambuh dan mengganggu aktifitas pasien. Pada keadaan terburuk dapat

mencetuskan bunuh diri, suatu kejadian fatal yang dewasa ini semakin sering

terjadi (Ganiswara, 1995).

2. Epidemiologi

Resiko selama masa hidup terkena penyakit depresi berkisar antara 10-20%

dengan angka kejadian hampir dua kali lipat pada wanita. Onset pertama biasanya

terjadi pada dekade ketiga, dengan prevalensi titik yang lebih tinggi pada usia

menengah dan tua. Depresi lebih sering ditemukan pada daerah perkotaan

dibandingkan pedesaan dan terutama terjadi pada wanita dari kelas sosio-ekonomi

yang rendah (Katona et al, 2012). Alasan dalam penelitian di negara barat

dikatakan karena masalah hormonal, dampak melahirkan, stressor dan pola

perilaku yang dipelajari (Depkesa, 2007).


commit to user

5

perpustakaan.uns.ac.id 6
digilib.uns.ac.id

Gangguan depresi berat paling sering terjadi dengan prevalensi seumur hidup

adalah kira-kira 15 persen, sedangkan pada wanita 25 persen (Kaplan & Saddock,

2007). Banyak orang mengalami gangguan depresif terkait dengan penggunaan

napza dan alkohol karena napza terdiri dari substansi kimia yang mempengaruhi

fungsi otak, terus menggunakan napza akan membuat zat kimiawi otak mengalami

ketidakseimbangan, sehingga mengganggu proses pikir, perasaan dan perilaku

(Depkesa, 2007).

3. Etiologi

Etiologi gangguan depresi sangat komplek dan melibatkan banyak faktor,

seperti faktor genetik, faktor biologi, dan faktor psikososial (Katona et al., 2012).

Penyebab gangguan jiwa senantiasa dipikirkan dari sisi organobiologik,

sosiokultural, dan psikoedukatif. Dari sisi biologik dikatakan adannya gangguan

pada neurontransmiter norefinefrin, serotonin, dan dopamin. Ketidakseimbangan

kimiawi otak yang bertugas menjadi penerus komunikasi antar serabut saraf

membuat tubuh menerima komunikasi secara salah dalam pikiran, perasaan dan

perilaku. Oleh karena itu, pada terapi farmakologik adalah memperbaiki kerja

neurotransmiter norefinefrin, serotonin dan dopamin (Depkesa, 2007).

4. Patofisiologi

Patofisiologi depresi dijelaskan dalam beberapa hipotesis. Amina biogenik

merupakan hipotesis yang menyatakan, depresi disebabkan menurunnya atau

berkurangnya jumlah neurotransmiter norefinefrin (NE), serotonin (5-HT) dan

dopamine (DA) di dalam otak (Sukandar dkk., 2008). Hipotesis sensitifitas

reseptor yaitu perubahan patologis pada reseptor yang dikarenakan terlalu


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id

kecilnya stimulasi oleh monoamin yang dapat menyebakan depresi. Hipotesis

desregulasi, tidak beraturannya neurotransmiter sehingga terjadi gangguan

depresi. Dalam teori ini ditekankan pada kegagalan homeostatik sistem

neurotransmiter, bukan pada penurunan atau peningkatan absolut aktivitas

neurotransmiter (Teter et al., 2007).

5. Faktor Resiko Depresi

Menurut Kaplan & Saddock (2007), faktor resiko terjadinnya depresi antara

lain:

a. Jenis kelamin

Prevalensi gangguan depresi berat dua kali lebih besar pada wanita

dibandingkan laki-laki. Hal ini dikarenakan perbedaan hormonal, efek

kelahiran, perbedaan stresor psikososial bagi wanita dan laki-laki, dan model

perilaku tentang keputusasaan yang dipelajari. Berbeda dengan gangguan

depresi berat, gangguan depresi bipolar 1 mempunyai prevalensi yang sama.

b. Usia

Rata-rata usia onset untuk gangguan depresi berat adalah kira-kira 40

tahun, 50 persen dari semua pasien mempunyai onset antara 20 dan 50 tahun.

Gangguan depresif berat juga mungkin memiliki onset selama masa anak-

anak atau pada lanjut usia, walaupun hal tersebut jarang terjadi. Beberapa

data epidemiologis baru-baru ini menyatakan bahwa insiden gangguan

depresif berat mungkin meningkat pada orang-orang yang berusia kurang dari

20 tahun.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id

c. Ras

Pervalensi gangguan mood tidak berbeda dari satu ras ke ras lain. Terapi

klinis cenderung kurang mendiagnosis gangguan mood dan terlalu

mendiagnosis skizofrenia pada pasien yang mempunyai latar belakang rasial

yang berbeda dengan dirinya.

d. Status perkawinan

Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada orang

yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat atau yang cerai atau

berpisah. Gangguan bipolar 1 adalah lebih sering pada orang yang bercerai

dan hidup sendirian dari pada orang yang menikah, tetapi perbedaan tersebut

mungkin mencerminkan onset awal dan percekcokan perkawinan yang

diakibatkan karakterikstik untuk gangguan tersebut.

6. Gejala Depresi

Berdasarkan pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ

III), gejala utama depresi meliputi menderita suasana perasan yang depresif,

kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju

meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktifitas, gejala lazim

lainnnya adalah konsentrasi dan perhatian kurang, harga diri dan kepercayaan diri

berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa

depan yang suram dan pesimistis, bunuh diri, tidur terganggu, nafsu makan

berkurang (Maslim, 2003).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

7. Diagnosis dan Klasifikasi Depresi

Berikut ini klasifikasi depresi menurut pedoman penggolongan Diagnosis

Gangguan Jiwa-III (Depkesb, 2007) yaitu:

Gejala utama pada gangguan depresif ringan, sedang dan berat:

a. Afek depresi

b. Kehilangan minat dan kegembiraan

c. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan

menurunnya aktivitas

Gajala lainnya adalah konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan

percaya diri berkurang, pikiran rasa bersalah dan tidak berguna, pikiran atau

perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu dan nafsu

makan terganggu.

Berdasarkan pedoman penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa-III (Depkesb,

2007) diagnosis antara lain:

a. Episode depresi ringan

Sekurang-kurangnya harus ada dua dari tiga gejala utama depresi ditambah

dua dari gejala lainnya. Lama periode depresi sekurang-kurangnya selama dua

minggu. Hanya sedikit kesulitan kegiatan sosial yang umum dilakukan.

b. Episode depresi sedang

Sekurang-kurangnya harus ada dua dari tiga gejala utama depresi seperti

pada episode depresi ringan ditambah tiga atau empat dari gejala lainnya. Lama

episode depresi minimum dua minggu serta menghadapi kesulitan nyata untuk

meneruskan kegiatan sosial.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

c. Episode depresi berat tanpa gejala psikotik

Semua tiga gejala utama harus ada ditambah sekurang-kurangnya empat

dari gejala lainnya. Lama periode depresi sekurang-kurangnya dua minggu

akan tetapi apabila gejala sangat berat dan onset sangat cepat maka dibenarkan

untuk mengegakkan diagnosa dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu. orang

sangat tidak mungkin mampu meneruskan kegiatan sosialnya.

d. Episode depresi berat dengan gejala psikotik

Episode depresi berat yang memenuhi kriteria tersebut disertai halusinasi.

Halusinasi biasannya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka

yang mengancam dan penderita merasa bertanggung jawab atas hal itu.

Halusinasi auditorik atau olfatorik biasannya berupa suara yang menghina atau

menuduh.

8. Obat Antidepresan

Antidepresi atau obat antimurung adalah obat-obat yang mampu memperbaiki

suasanan jiwa (mood) dengan menghilangkan atau meringankan gejala keadaan

murung yang tidak disebabkan oleh kesulitan sosial-ekonomi, obat-obatan atau

penyakit (Tjay & Rahardja, 2007).

Saat ini ada 23 obat antidepresan yang telah ada di pasaran yaitu golongan

SSRI, SNRs, NSRIs, TCA, MAOIs, dan Miscellaneous misalnya trazadone,

mirtazapine (Finley, 2008).

Berdasarkan pembanding standar Diagnosing and Treating Depression-

Adult-Primary Care Clinical Practice Guideline (CPG) September 2013 daftar

obat antidepresan dapat dilihat pada tabel I berikut:


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

Tabel I. Daftar Obat Antidepresan dan Dosis (Anonim, 2013)


Obat Antidepresan Dosis

Selective Serotonin Reuptake Inhibitor


(SSRI)
Citalopram 20-40 mg
Escitalopram 10-20 mg
Fluoxetin 10-80 mg
Paroxetin 10-60 mg
Sertalin 50-200 mg
Trazodone 150-600 mg
Norepinepherine Serotonin Reuptake
Inhibitors (NSRI)
Desvenlafaxine 50 mg
Duloxetin 40-60 mg
Mirtazapine 15-45 mg
Venlafaxine 75-225mg
Norepinephrine Dopamine Reuptake
Inhibitor (NDRIs)
Bupropion 100-150 mg
Antidepresan Trisiklik & Tetrasiklik
Amitripthylin 50-150 mg
Amoxapine 50 mg
Despiramine 100-300 mg
Doxepine 25-300 mg
Imipramine 75-200 mg
Maprotiline 75-150 mg
Nortriptyline 75-150 mg
Mono Amin Oxidase Inhibitor (MAOI)
Phenelzine 15 mg
Selegiline 6 mg
Tranylcypromine 30 mg

9. Penggolongan Antidepresan

a) Antidepresan Trisiklik (TCA)

Antidepresan Trisiklik (TCA) bekerja dengan menghambat ambilan

norepinefrin dan serotonin ke neuron (Mycek et al., 2001). Efek samping yang

ditimbulkan dari pengguaan obat ini misalnya mulut kering, penglihatan kabur,

konstipasi, retensi urin. Penghambatan pada reseptor histamin menghasilkan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

efek sedasi, sedangkan penghambatan pada reseptor q adrenergik

menghasilkan hipotensi ortostatik. Namun potensinya pada kedua reseptor

tersebut relatif lemah. Efek samping overdosis adalah kebingungan, mania, dan

gangguan irama jantung (Nugraha, 2006). Antidepresan trisiklik efektif dalam

mengobati depresi tetapi tidak lagi digunakan sebagai obat lini pertama, karena

efek sampingnya dan efek kardiotoksik pada pasien yang overdosis TCA

(Unutzer, 2007).

b) Norepinephrine Dopamine Reuptake Inhibitor (NDRIs)

Norepinephrine Dopamine Reuptake Inhibitor (NDRIs) adalah

antidepresan yang memiliki efek yang tidak begitu besar dalam reuptake

norepinefrin dan serotonin. Bupropion merupakan satu-satunya obat golongan

aminoketon (Teter et al., 2007). Bupropion digunakan sebagai terapi apabila

pasien tidak berespon terhadap antidepresan SSRI (Mann, 2005). Efek samping

yang ditimbulkan bupropion yaitu mual, muntah, tremor, insomnia, dan mulut

kering (Teter et al., 2007).

c) Selectif Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)

Selectif Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) merupakan golongan

antidepresan yang secara spesifik menghambat ambilan serotonin di dalam

otak (Mycek et al., 2001). Efek antikolinergiknya sangat rendah, dan relatif

tidak berbahaya pada penggunaan over dosis. Efektifitasnya sama dengan TCA

dan MAO inhibitor pada penanganan depresi menengah, namun kurang efektif

pada penanganan depresi berat (Nugraha, 2006). Diantara antidepresan SSRI,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

metabolit aktif fluoxetin mempunyai waktu paro yang paling panjang, sehingga

dapat digunakan hanya satu kali sehari (Mann, 2005).

Fluoxetin Obat ini merupakan obat golongan SSRI yang paling luas

digunakan, karena obat ini kurang menyebabkan antikolinergik, hampir tidak

menimbulkan sedasi dan cukup diberikan satu kali sehari (Katzung, 2004).

Fluoxetin merupakan antidepresan yang secara spesifik menghambat ambilan

5-HT yang sangat selektif dan poten. Obat ini diabsorpsi baik pada pemberian

per oral, bioavibilitas tidak dipengaruhi makanan. Waktu paruh dalam

pemberian dosis tunggal ialah 48-72 jam. Efek samping fluoxetin yang

berbahaya jarang terjadi, dalam dosis biasa dapat berupa keluhan SSP (cemas,

insomnia, mengantuk, lelah, astenia, tremor) berkeringat, gangguan saluran

cerna, sakit kepala dan rast kulit (Ganiswara, 1995).

Fluoxetin tidak boleh diberikan bersama penghambat MAO inhibitor dan

antidepresan trisiklik karena fluoxetin dapat menaikkan kadar plasma

antidepresan trisiklik hingga 2 kalinya, pemakaian bersamanya dapat

meningkatkan intensitas efek samping (Ganiswara, 1995).

d) Mono Amine Oxidase Inhibitor (MAOI)

Mono Amine Oxidase Inhibitor (MAOI) merupakan suatu sistem enzim

yang ditemukan di dalam jaringan syaraf dan jaringan lain, seperti usus dan

hati. Dalam neuron, MAO berfungsi sebagai katup penyelamat, memberikan

deaminasi okidatif dan meng-nonaktifkan setiap molekul neurotransmiter

(norepinefrin, dopamin, dan serotonin) yang berlebih dan bocor keluar vesikel

sinaptik ketika neoron istirahat. Inhibitor MAO bekerja dengan meng-


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

nonaktifkan enzim secara ireversibel atau reversibel, sehingga molekul

neurotransmiter tidak mengalami degradasi dan karenanya keduanya

menumpuk dalam neuron presinaptik dan masuk ke ruang sinaptik. Hal ini

menyebabkan aktivasi reseptor norepinefrin dan serotonin, dan menyebabkan

aktivasi reseptor norepinefrin dan serotonin, dan menyebabkan aktivasi depresi

obat (Mycek et al., 2001).

Mono Amine Oxidase (MAO) terdapat dalam dua bentuk, MAO-A dan

MAO-B, dan keduanya berperan dalam penguraian monoamin secara kimia

untuk membuat monoamin tersebut tidak aktif. Kedua monoamin tersebut

ditemukan pada neuron yang menghasilkan monoamin. Obat yang

menghambat penguraian tersebut disebut MAOI penghambatan penguraian

tersebut menyebabkan peningkatan ketersediaan monoamin, yang bersama

dengan antidepresan trisiklik, akan memicu efek antidepresan

(Barber et al., 2012).

Efek samping dari golongan MAO Inhibitor yang sering muncul yaitu

postural hipotensi. Efek samping ini lebih sering muncul pada penggunaan

fenelzin dan tranilsipromin. Hipotensi ini dapat diminimalisir dengan

pemberian dosis terbagi. Efek antikolinergik berupa mulut kering dan

konstipasi. Efek samping ini sering terjadi namun lebih ringan dari pada yang

disebabkan oleh antidepresan trisiklik (Kando et al., 2005).

Obat ini jarang digunakan karena tingginya resiko interaksi obat, terutama

bersama obat antidepresan lain. Obat ini juga dapat berinteraksi secara negatif

bersama makanan yang mengandung tiramin dan dopamin. Interaksi tersebut


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

dapat menimbulkan peningkatan tekanan darah ke tingkat membahayakan

(Barber et al., 2012). Pasien diperingatkan untuk tidak memakan makanan

dengan kandungan tiramin tinggi karena dapat terjadi krisis hipertensi. Contoh

makanan dengan kandungan tiramin tinggi yaitu keju, yogurt, hati sapi atau

ayam, anggur merah, buah seperti pisang, alpukat, coklat, ginseng, kafein, dll

(Depkesa, 2007).

e) Serotonin/Norepinephrin Reuptake Inhibitor (SNRI)

Golongan Serotonin/Norepinephrin Reuptake Inhibitor (SNRI) bekerja

dengan mengeblok monoamin dengan lebih selektif dari pada antidepresan

trisiklik, serta tidak menimbulkan efek yang tidak ditimbulkan antidepresan

trisiklik (Mann, 2005). Obat yang termasuk golongan SNRI yaitu venlafaxine

dan duloxetine. Efek samping yang biasa mincul pada obat venlafaxine yaitu

mual, disfungsi seksual. Efek samping yang muncul dari duloxetine yaitu mual,

mulut kering, konstipasi, dan insomnia (Teter et al., 2007).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

10. Penatalaksana Terapi


Pasien depresi yang secara fisik sehat
tanpa ada kontraindikasi terhadap
antidepresan

SSRI (First line untuk pasien depresi)

Terapi gagal, tidak ada Respon parsial Sembuh total


respon atau timbul
efek samping
Pertimbangan terapi Menjaga 4-9 bulan
Dipastikan kepatuhan (antidepresan non-SSRI, untuk terapi lanjutan,
pengobatan lithium, hormon tiroid, jika perlu 12-36
antipsikotik atipikal) atau bulan untuk terapi
diganti dengan alternatif pemeliharaan
lain (SSRI yang lain,
antidepresan non-SSRI)
Diganti dengan
alternatif lain (SSRI
yang lain,
antidepresan non- Terapi gagal Respon parsial Sembuh
SSRI)

Diganti dengan Pertimbangan terapi Menjaga 4-9 bulan


alternatif lain (antidepresan non-SSRI, untuk terapi
(antidepresan lithium, hormon tiroid, lanjutan, jika perlu
non-SSRI) antipsikotik atipikal) 12-36 bulan untuk
terapi pemeliharaan

Terapi gagal Respon parsial Sembuh

Diganti dengan Pertimbangan terapi Menjaga 4-9 bulan untuk


alternatif lain (antidepresan non- terapi lanjutan, jika perlu
(antidepresan non- SSRI, lithium, hormon 12-36 bulan untuk terapi
SSRI) tiroid, antipsikotik pemeliharaan
atipikal)
commit to user
Gambar 1. Algoritma terapi untuk depresi tanpa komplikasi (Teter et al., 2007)
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

11. Terapi Tambahan

Terapi tambahan berupa obat antipsikotik. Antipsikotik digunakan untuk

meningkatkan efek antidepresan. Ada dua macam antipsikotik yaitu antipsikotik

tipikal dan antipsikotik atipikal. Antipsikotik tipikal bekerja memblok reseptor

dopamin. Obat-obat yang termasuk antipsikotik tipikal yaitu clorpromazin,

fluphenazin, dan haloperidol. Antipsikotik atipikal bekerja memblok reseptor

dopamin dan serotonin. Obat-obat yang termasuk dalam antipsikotik atipikal yaitu

clozapin, olanzapin, dan aripripazol (Mann, 2005).

12. Terapi Non Farmakologi

a. Electro Convulsive Therapy (ECT)

ECT adalah terapi dengan melewatkan arus listrik ke otak. Metode terapi

semacam ini sering digunakan pada kasus depresif berat atau mempunyai risiko

bunuh diri yang besar dan respon terapi dengan obat antidepresan kurang baik.

Pada penderita dengan risiko bunuh diri, ECT menjadi sangat penting karena

ECT akan menurunkan risiko bunuh diri dan dengan ECT lama rawat di rumah

sakit menjadi lebih pendek. Pada keadaan tertentu tidak dianjurkan ECT,

bahkan pada beberapa kondisi tindakan ECT merupakan kontra indikasi. ECT

tidak dianjurkan pada keadaan usia yang masih terlalu muda (kurang dari 15

tahun), masih sekolah atau kuliah, mempunyai riwayat kejang, psikosis kronik,

kondisi fisik kurang baik, wanita hamil dan menyusui (Depkesa, 2007).

Selain itu, ECT dikontraindikasikan pada pasien yang menderita epilepsi,

TBC milier, tekanan tinggi intra kracial dan kelainan infark jantung. Depresif

berisiko kambuh manakala penderita tidak patuh, ketidaktahuan, pengaruh


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

tradisi yang tidak percaya dokter, dan tidak nyaman dengan efek samping obat.

Terapi ECT dapat menjadi pilihan yang paling efektif dan efek samping kecil.

Terapi perubahan perilaku meliputi penghapusan perilaku yang mendorong

terjadinya depresi dan pembiasaan perilaku baru yang lebih sehat. Berbagai

metode dapat dilakukan seperti CBT (Cognitive Behaviour Therapy) yang

biasanya dilakukan oleh konselor, psikolog dan psikiater (Depkesa, 2007).

b. Psikoterapi

Psikoterapi merupakan terapi yang digunakan untuk menghilangkan

atau mengurangi keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya gangguan

psikologik atau pola perilaku maladaptif. Terapi dilakukan dengan jalan

pembentukan hubungan profesional antara terapis dengan penderita.

Psikoterapi pada penderita gangguan depresif dapat diberikan secara individu,

kelompok, atau pasangan disesuaikan dengan gangguan psikologik yang

mendasarinya. Psikoterapi dilakukan dengan memberikan kehangatan, empati,

pengertian dan optimisme. (Depkesa, 2007).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

B. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan data Riskesdas tahun


2013 Indonesia menunjukkan prevalensi
gangguan mental emosional seperti
kecemasan dan depresi sebesar 6% dari
populasi orang dewasa dan 15% dirawat di
rumah sakit.

Pemberian obat antidepresan


merupakan salah satu aspek dalam
menangani penderita depresi. Obat
diharapkan dapat memperbaiki suasana
hait/mood.

Saat ini banyak terdapat golongan


antidepresan yang ada di pasaran. Pemilihan
antidepresan untuk terapi harus
memperhatikan keamanan dan efek samping
yang ditimbulkan serta dosis yang tepat, agar
pengobatan depresi dapat maksimal dan
meminimalkan efek samping yang dialami
pasien, sejumlah penelitian menunjukan
bahwa penggunaan antidepresan belum
sepenuhnya tepat.

Evaluasi peresepan obat


antidepresan pada pasien depresi dengan
kriteria tepat obat dan tepat dosis
berdasarkan standar Diagnosing and
Treating Depression-Adult-Primary Care
Clinical Practice Guideline (CPG)
September 2013.

commit
Gambar to userPemikiran
2. Kerangka
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

C. Keterangan Empirik

Dari penelitian Lukluiyyati (2009), tentang pola pengobatan pasien depresi

di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Soejarwadi Provinsi Jawa Tengah tahun 2009

didapatkan 50 kasus depresi, dari analisis yang telah dilakukan ditemukan pasien

yang tepat obat 89,47%, pasien yang tepat dosis 66,67%. Antidepresan yang

banyak digunakan adalah golongan SSRI yaitu fluoksetin sebesar 85, 96%.

Dari penelitian Yuniastuti (2013), tentang evaluasi terapi obat antidepresan

pada pasien depresi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta tahun 2012

didapatkan 14 kasus episode depresi, dari analisis yang dilakukan ditemukan

100% tepat indikasi, 92,8% tepat pasien, 100% tepat obat dan 78,6% tepat

pemberian besaran dosis, 100% tepat frekuensi pemberian. Antidepresan yang

paling banyak digunakan adalah golongan SSRI yaitu fluoxetin sebesar 64,4%.

Meningkatnya penderita depresi di Indonesia, serta penggunaan obat

antidepresan yang belum sepenuhnya tepat khususnya dalam pemberian besaran

dosis dan belum ada penelitian yang dilakukan di RSUD Dr. Soehadi prijonegoro

Sragen mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang evaluasi peresepan

obat antidepresan untuk mengevaluasi penggunaan obat antidepresan pada pasien

depresi yang dilihat dari ketepatan dosis dan ketepatan obat berdasarkan standar

Diagnosing and Treating Depression-Adult-Primary Care Clinical Practice

Guideline (CPG) September 2013.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai