Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012),
Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem
kekebalan seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan
kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini
terjadi karena susunan syaraf tepi yang menghubungkan otak dan sumsum
belakang dengan seluruh bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem syaraf
tepi menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang sehingga ada
penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf. Angka kejadian
penyakit GBS kurang lebih 0,6-1,6 setiap 10.000-40.000 penduduk.
Perbedaan angka kejadian di negara maju dan berkembang tidak nampak.
Kasus ini cenderung lebih banyak pada pria dibandingkan wanita. Data RS
Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan pada akhir tahun
2010-2011 tercatat 48 kasus GBS dalam satu tahun dengan berbagai varian
jumlahnya per bulan. Pada Tahun 2012 berbagai kasus di RSCM
mengalami kenaikan sekitar 10% (Anonim, 2012 ; Mikail, 2012).
Keadaan tersebut di atas menunjukkan walaupun kasus penyakit
GBS relatif jarang ditemukan namun dalam beberapa tahun terakhir
ternyata jumlah kasusnya terus mengalami peningkatan. Meskipun bukan
angka nasional negara Indonesia, data RSCM tidak dapat dipisahkan
dengan kasus yang terjadi di negara ini, karena RSCM merupakan salah
satu Rumah Sakit pusat rujukan nasional. Berdasarkan fakta di atas perlu
kita mengenal penyakit GBS secara lebih rinci.

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui konsep pada Sindrom Guillain Barre.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui pengertian dari Sindrom Guillain Barre
b. Untuk mengetahui etiologi pada sindrom guillain barre
c. Untuk mengetahui patofisiologi sindrom guillane barre
d. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada sindrom guillane
barre.
e. Untuk mengetahui diagnosa dan intervensi pada sindrom guillane
barre.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Gullaine barre sindrom (GBS) merupakan penyakit autoimun yang
dapat menimbulkan peradangan dan kerusakan pada mielin (material
lemak yanag terdiri dari lemak dan protein yang membentuk selubung
pelindung di sekitar beberapa jenis serat syaraf perifer) (Inawati, 2010).
Gullaine barre sindrom adalah penyebab kelumpuhan yang sering di
jumpai pada usia dewasa muda. Gullaine barre sindrom merupakan suatu
kelompok heterogen dari proses yang perantarai oleh imunitas, suatu
kelainan yang jarang terjadi dimana sintem imunitas tubuh menyerang
sarafnya sendiri.kelainan ini di tandai dengan adanya disfungsi motorik,
sensorik, dan otonom. (Judawanto, 2009).
Center of disease control and prevention/CDC(2012),
mendefinisikan guillaine barre sindrom (GBS) adalah penyakit langka
dimana sistem kekebalan seseorag menyerang sistem saraf dan
menyebabkan kelemahan otot dan dapat terjadi kelumpuhan apabila
keadaan semakin marah. Hal ini terjadi karena adanya kerusakan pada
susunan saraf tepi yang menghubungkan otak da sumsum belakng degan
seluruh bagian tubuh. Kerusakan sistem saraf tepi menyebabkan sistem ini
sulit menghantarkan rangsang sehingga terjadi penurunan respon sistem
otot terhdap kerja sistem saraf.
Beberapa ahli menyebut GBS dengan nama lain, yaitu idiopathic
polyneuritis, acute febrile polyneuritis, infective polyneuritis, post
infectious polyneuritis, acute inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy, guillaine barre strohl syndrome, landry ascending
paralysis, dan landry gillain barre syndrome.
B. Etiologi
Penyebab dari SGB menurut Paramita (2011) belum diketahui
secara pasti, kemungkinan respons imun termediasi-sel dan disertai
serangan saraf periferal sebagai respon pada virus yang menyebabkan
demielinasi segmental saraf perifera. Adapun Faktor predisposisi yang
menyebabkan SGB yaitu:
1. Penyakit hodgkin atau beberapa penyakit ganas lainnya.
2. Riwayat terbaru mengenai penyakit febril minor, biasanya infeksi
traktus respiratorik atas atau gastroenteritis.
3. Pembedahan
4. Lupus eritematosus sistemik
5. Penyakit akibat virus
C. Manifestasi klinik
Gejala-gejala neurologi pada GBS diawali dengan adanya
parestesia (kesemutan dan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat
mejalar ke ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah. Kelemahan otot
dapat terjadi dengan cepat karena adanya parilis (hilangnya fungsi otot
untuk satu atau banyak otot) yang lengkap. Saraf kranial yang paling
sering terserang, yang menunjukkan adanya paralisis pada okular, wajah
dan otot orofaring dan juga menyebabkan kesukaran berbicara,
mengunyah dan menelan. Disfungsi autonom yang sering terjadi dan
memperlihatkan bentuk reaksi berlebihan atau kurang bereaksinya sistem
saraf simpatis dan parasimpatis, yang seerti di manifestasikan oleh
gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah
(hipertensi transien, hipotensi ortostatik), dan gangguan vasomotor lainnya
yang bervariasi. Keadaan ini juga menyebabkan nyeri berat dan menetap
pada pnggung dan daerah kaki. Seringkali pasien menunjukkan adanya
kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh sama seperti keterbatasan atau
tidak adanya reflek tendon. Perubahan sensori dimanifestasi dengan
bentuk parestesia (sensasi abnormal berupa kesemutan, tertusuk atau
terbakar pada kulit yang umumnya dirasakan di tangan, kaki, lengan dan
tungkai). Kebanyakan pasien mengalami pemulihan penuh beberapa bulan
sampai satu tahun, tetapi sekitar 10% menetap dengan residu ketidak
mampuan (Suzanne, 2001).
Menurut paramita (2011), tanda dan gejala dari Guillain Barre Syndrome
yaitu:
1. Anoreksia
2. Disfagia atau disartria dan melemahnya otot yang disuplai saraf kranial
XI (saraf asesori tulang belakang)
3. Hipotonia
4. Pelemahan otot yang bisa terbatas di saraf kranial (di tepi ringan)
5. Pelemahan otot, awalnya dikaki (pada tipe naik) dan menyebar ke
lengan dan saraf fasial dalam 24 sampai 72 jam, awalnya di lengan
(tipe menurun)
6. Parestesia yang mendahului pelemahan otot dan lenyap dengan cepat
(kadang-kadang)
7. Kehilangan fungsi sensorik dan motorik secara simultan
8. Kaku dan nyeri dalam bentuk charley horse (kaku kejang pada kaki
dan tangan) parah (umum terjadi).

D. Patofisiologi
Gangguan motorik yang pada GBS diawali dengan kelemahan otot
bagian bawah. Hal yang dirasakan pada gejala awal yaitu kelemahan
(parese), bila berlanjut maka menjadi lumpuh (plegia). Berawal dari
gangguan berjalan, contoh misalnya kaki terseret, hingga tidak bisa
berdiri. Perlahan lahan kelemahan naik otot lebih tinggi, seperti lulut
dan paha, sehingga penderita tidak bisa berdiri. Bila yang berlanjut
kelemahan otot bisa terjadi pada otot di sepanjang tulang punggung,
punggung dan dada. Terus hingga ke tangan dan lengan. Bila otot otot
pernapasan terganggu, akan terjadi kelemahan dalam bernapas. Penderita
merasa napasnya berat.
Kadang kadang gejala GBS dapat disertai gangguan saraf
otonomik, sehingga akan terjadi gangguan saraf simpatik dan para
simpatik. Yang tampak merupakan gejala naik turunnya tekanan darah
secara tiba tiba, atau pasien berkeringat di tempat yang dingin (Proyor &
Webber 1998). Bila terjadi gangguan karnial neves akibatnya yaitu tidak
bisa menelan, berbicara atau bernapas, atau, kelemahan otot otot muka.
Anehnya kelemahan otot biasanya simetris, yaitu anggota badan yang kiri
mengalami kelemahan yang sama dengan anggota badan kenan.
Selain gangguan motorik, biasanya juga disertai gangguan
sensorik. Gangguannya bisa berupa rasa kesemutan, terbakar, tebal, atau
nyeri. Pola penyebaran gangguan sensorik biasanya tidak sama
dengangangguan motorik. Gangguan sensorik bisa berpindah dari waktu
ke waktu (Fredericks et all 1996).
Sebagai akibat dari gangguan motorik dan sistem saraf otonomik,
terjadi gangguan kardio pulmonari. Berawal dari napas berat, oleh karena
kelemahan otot pernapasan (baik otot interkostal maupun diafragma),
hingga gangguan ritmik oleh karena gangguan saraf otonomik. Akibatnya
fungsi paru menjadi terganggu. Paru tidak bisa mengembang secara
maksimal akibatnya kapasitas vital menurun dan bisa menimbilkan
atelektasis. Bila kondisi ini berlanjut, bisa terjadi infeksi paru, pneumonia,
yang akan memperburuk kondisi. Ditambah kenyataannya pasien dalam
kondisi misalnya di atas biasanya hanya terbaring, posisi yang hanya akan
menurunkan fungsi paru (Pryor & Webber 1998). Bila fungsi glotis
tergantung, akibat tergantung sistem otonomik, penderita mungkin akan
terdesak. Sehingga makanan masuk ke saluran pernapasan, dan akan
menambah infeksi paru. Akibat terhanggunya saraf otonomik, irama
jantung juga terganggu. Sehingga tekanan darah bisa naik turun secara
mendadak, atau flushing, yaitu muka memerah secara mendadak. Gejala
gejala tersebut akan terus muncul dalam waktu maksimal 2 minggu.
Sesudah itu akan berhenti, hingga proses penyembuhan terjadi sekitar 2
sampai 4 minggu sesudah kelemahan berhenti (Suzanne, 2001).

E. Pathway (terlampir)
F. Pengkajian

Pengkajian terhadap komplikasi sindrom Guillain Barre yaitu

pemantauan terus menerus terhadap ancaman gangguan gagal napas akut

yang mengancam kehidupan. Komplikasi yang lain mencakup disritmia

jantung, yang terlihat melalui pemantauan EKG dan mengobservasi pasien

terhadap tanda trombosit vena profunda dan emboli paru paru, yang

sering mengancam pasien imobilisasi dan paralisis (Suzanne, 2001).

G. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada sindrom
Gullaine barre sindrom menurut Nurarif dan Kusuma (2015) meliputi:
1. Pungsi lumbal berurutan: memperlihatkan fenomena klasik dari
tekanan normal dan jumlah sel darah putih yang normal, dengan
peningkatan protein nyata dalam 4-6 minggu. Biasanya peningkatan
protein tersebut tidak akan tampak pada 4-5 hari pertama, mungkin
diperlukan pemeriksaan seri pungsi lumbal (perlu diulang dalam
beberapa hari).
2. Elektromiografi : hasilnya tergantung pada tahap dan perkembangan
sindrom yang timbul. Kecepatan konduksi saraf diperlambat pelan.
Fibrilasi (getaran yang berulang dari unit yang sama) umumnya terjadi
pada fase akhir.
3. Darah lengkap: terlihat adanya leukositosis pada fase awal.
4. Fotorontgen: dapat diperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari
gangguan pernapasan, seperti atelektasis, pneumonia.
5. Pemeriksaan fungsi paru: dapat menunjukkan adanya penurunan
kapasitas vital, volume tidal, kemampuan inspirasi.
H. Diagnosa Keperawatan :

1. Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif yang berhubungan dengan

kelemahan progresif cepat dan ancaman gagal pernapasan.

2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan paralisis.

3. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

ketidakmampuan menelan, akibat disfungsi saraf kranial sekunder.

4. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan disfungsi saraf

kranial.

5. Takut dan ansietas berhubungan dengan kehilangan kontrol dan

paralisis.

I. Diagnosa Prioritas
1. Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif yang berhubungan dengan

kelemahan progresif cepat dan ancaman gagal pernapasan.

2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan paralisis.


J. Intervensi Keperawatan
Kriteria hasil dan
No Diagnosa Intervensi
tujuan
Ketidak Tujuan : 1. Kaji dan tangani disfungsi
1.
efektifan Setelah dilakukan respiratorik
pola nafas tindakan keperawatan 2. Lakukan auskultasi bunyi
< 24 jam pasien nafas, balikakkan dan
mampu posisikan kembali tubuh
mempertahankan pasien secara teratur, dan
pernafasan efektif dan minta pasien batuk dan
bersihan jalan nafas. bernapas dalam.
Kriteria hasil: 3. Ukur gas darah arterial
1. Bunyi nafas sesuai perinta
normal pada 4. Lakukan bantuan
auskultasi respiratorik saat tanda
2. Memperlihatk dispnea muncu
an peningkatan 5. Lakukan pertolongan
fungsi darurat pada jalan napas
respiratori dan siapkan intubasi ET
bertahap jika gagal respiratorik
muncul.
Hambatan Tujuan: 1. Lihat adakah
2.
mobilitas Setelah dilakukan kehilangan sensorik
fisik tindakan keperawatan menurun, yang
pasien mampu mendahului kehilangan
memperlihatkan motorik.
peningkatan 2. Lakukan perawatan
mobilisasi. kulit secara
kriteria hasil: menyeluruh untuk
1. Mampu mencegah kerusakan
menggunakan dan kontraktur kulit.
ekstremitas 3. Susun jadwal ketat
kembali untuk membalikkan
2. Berpartisipasi badan pasien, lihat
dengan apakah kulit
program mengalami kerusakan,
rehabilitasi dan posisikan pasien
kembali setiap 2 jam
4. Lakukan latihan
jangkauan pergerakan
pasif dalam batasan
nyeri pasien
5. Jika kondisi pasien
sudah stabil, ganti ke
peregangan lembut dan
bantu pasien
melakukan latihan
aktif.

Note :
- Hipotonia: Merendahnya tegangan (tonus) otot pada waktu istirahat,
yang terjadi bila jalan yang menyampaikan rangsang dan kumparan
otot ke alfa motoneuron rusak atau putus, dapat terjadi juga bila otot
sendiri rusak, misalnya pada penyakit otot atau penyakit yang
mengenai saraf tepi
- Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan
tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf
DAFTAR PUSTAKA

Koes Irianto. (2015). Memahami berbagai penyakit (penyebab, gejala, penularan,

pengobatan,pemulihandan pencegahan). Alfabeta: Bandung.

Paramita. (2011). Memahami berbagai macam penyakit (SC) Jurnal Nursing PT

Indeks. Permata Puri Medika: Jakarta.

Koes Irianto. (2015). Memahami Berbagai Macam Penyakit. Alfabeta: Bandung.

Smeltzer and Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah edisi 8. EGC: Jakarta.

Nurarif,H. (2015). Aplikasi NANDA NIC-NOC 2015. Media Action: Jogjakarta.

Anda mungkin juga menyukai