Anda di halaman 1dari 38

1

BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Kortikosteroid merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh adrenal
kortek. Kortikosteroid terdiri dari 2 kelompok farmakologi dan fisiologi yaitu
(1) Glucocorticoid yang mempunyai efek dalam metabolisme, katabolisme,
respon imun, dan inflamasi. (2) Mineralocorticoid yang mengatur reabsorpsi
natrium dan kalium di collecting tubules dari kidney.1

Kortikosteroid dapat masuk ke dalam sel dengan berikatan pada reseptor


cytosolic kemudian masuk ke inti sel. Kompleks reseptor-steroid mengubah
eskpresi gen dengan berikatan dengan glucocorticoid respone elements (GREs)
atau mineralocorticoid-specific element. Respons spesifik jaringan terhadap
steroid dikarenakan disetiap jaringan terdapat regulator protein yang berbeda
dalam mengontrol interaksi antara kompleks reseptor hormon dengan respons
elemen.1

Farmakokinetik dari kortikosteroid, yaitu Cortisol (hydrocortisone) yaitu


merupakan glucocorticoid natural terbesar. Sekresi cortisol diatur oleh
adrenocorticotropin (ACTH), sekresi cortisol bervariasi sepanjang hari
(circadian rhythm), mencapai puncak pada pagi hari dan paling rendah pada
tengah malam. Pada plasma, cortisol berikatan 95% dengan corticosteroid-
binding globulin. Cortisol sebagai obat dapat diabsorpsi dengan baik pada
traktus gastrointestinal, dan dimetabolisme dihati. Cortisol memiliki waktu
paruh yang pendek dibandingkan dengan synthetic glucocorticoid. Meskipun
cortisol sedikit dapat melewati kulit normal tetapi cortisol dapat digunakan
untuk inflamasi pada kulit dan membran mukosa. Cortisol juga memiliki efek
retensi natrium (mineralocorticoid), ini penting karena dapat mengakibatkan
hipertensi pada pasien dengan cortisol-secreting adrenal tumor atau pituitary
ACTH secreting tumor (Cushings syndrome).1

1
2

Synthetic glucocorticoid mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan


cortisol. Yang tergolong synthetic glucocorticoid adalah prednisone,
prednisolone, dexamethasone, dan triamcinolone. Synthetic glucocorticoid
dibandingkan dengan cortisol memiliki waktu paruh dan durasi lebih panjang,
efek retensi natrium lebih sedikit, dan mempunyai efek topikal lebih baik
karena penetrasi terhadap lipid barrier lebih baik.1

Kortikosteroid mempunyai beberapa efek antara lain efek metabolik,


katabolik, immunosupresi, dan antiinflamasi. Sebagai efek immunosupresi
glucocorticoid menghambat mekanisme imunologi cell-mediated, terutama
yang dependent dengan limfosit. Glococorticoid berperan sebagai lymphotoxic
dan berperan dalam pengobatan kanker hematologi. Sebagai anti-inflamasi
glucocorticoid mempunyai efek terhada distribusi dan fungsi dari limfosit.
Glococorticoid berperan dalam meningkatkan neutrofil dan menurunkan kadar
limfosit, eosinofil, basofil, dan monosit. Mekanisme biokimia glococorticoid
sebagai anti-inflamasi yaitu menginduksi sintesis inhibisi phospolipase A2,
terjadi penurunan mRNA untuk Cox-2, penurunan IL-2 dan IL-3, dan
penurunan platelet activating factor (PAF), dan sitokin.1

B. Tujuan dan Manfaat


1. Tujuan
a. Tujuan Umum
Mengetahui Penggunaaan Kortikosteroid di bidang Dermatologi
b. Tujuan Khusus
Mengetahui penggunaan kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid
topikal di bidang Dermatologi.

2. Manfaat
Memberikan wawasan dan pengetahuan kepada mahasiswa dan penulis.
Setelah mempelajari referat ini mahasiswa dan penulis mampu mengetahui
dan memahami Penggunaaan Kortikosteroid di bidang Dermatologi.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Kortikosteroid Sistemik
a. Pengertian
Kortikosteroid sistemik (KS) banyak dugunakan dalam bidang
dermatologi karena obat tersebm mempunyai efek anti-inflamasi dan
imunosupresi. Sejak KS digunakan dalam bidang dermatologi, obat tersebut
sangat menobng pasien. Berbagai penyakit dapat dipersingkat masa
penyembuhannya, bahkan penyakit berat yang dahulu banyak menyebabkan
kematian, misalnya pemfugus, angka kematiannya dapat ditekan berkat
pengobatan dengan KS. Pada bab ini dibicarakan mengenai cara kerja KS,
indikasi, cara penggunaan serta efek samping KS.1

b. Cara Kerja Kortikosteroid Sistemik


Sebagian besar efek KS teq'adi melalui ikatan dengan reseptor
glukokortikoid yang terdapat di dalam sitoplasma, yang kemudian akan
memengaruhi ekspresi gen pada inti sel. Efek KS ternadap ekspresi gen ini
akan mengurangi pembentukan prostaglandin dan leukotrien, mengurangi
sintesis berbagai molekul peradangan, termasuk sitokin, interleukin, molekul
adesi dan protease. KS juga dapat bekerja Iangsung tanpa memengaruhi
ekspresi gen, yaitu melalui reseptor pada membran sel dan atau interaksi
fusikokimia dengan membran sel. 1

c. Indikasi
Penyakit-penyakit berikut ini merupakan indikasi penggunaan KS :
1. Penyakit vesikobulosa autoimun (pemflgus, pemflgoid bulosa)
2. Reaksi anafllaksis (akibat sengatan, alergi obat)
3. Penyakit jaringan ikat dan gangguan vaskular autolmun (lupus
erltematosus slstemik, dermatomlositis, vaskulitis)
4. Reaksi kusta tipe1
5. 5 Urlikaria yang luas atau rekalsitran dan angioedema
6. Lain-lain: ploderma gangrenosum, sarkoldosis, penyakit Behcet. 1

3
4

Sebagai tambahan, KS jangka pendek dapat diberikan pada berbagai


dermatitis yang beral, termasuk dermatitis kontak, dermatitis atopik dan
eritroderma. KS juga sering diben'kan pada kasus eritema multlforme dan SSJ-
NET, walaupun belum terbukti keunggulannya melalui uji klinis.1,2

d. Cara Penggunaan
KS dapat diberikan semra intralesi, oral, intramuskular atau inlravena
bergantung pada penyakit yang akan diobati. Tendapat 3 kelompok KS sesuai
dengan masa keq'anya (lihat tabel 57.1), yang memlliki perbedaan potensi
glukokortikold (GK) dan mlneralokortikold (MK), waktu paruh plasma (WPP)
dan waktu paruh blologls (WPB). 1,2

Prednison merupakan KS yang telah lama digunakan. Bila terdapat


gangguan hepar, dlanjurkan untuk menggunakan metilprednlsolon karena
prednison dimetabolisme hepar menjadi metilprednisolon. Pada paslen dengan
hipertensi, gangguan jantung atau keadaan lain dengan masalah retensi garam
Pada tabel 57.2 dimntumkam herbagal penyakit yang dapat diobati dengan KS
serta dosis awalnya, dipilih KS yang memillki efek mineralokortlkoid kedl atau
tidak ada (lihat tabel 57 .1). 1,2
Tabel 57.1 Konsep Farmakologi Kortikosteroid Sistemik.
Jenis KS Dosis Potensi Potensi WPP WPB
Ekuivalen GK MK (menit) (jam)
(mg)
Masa kerja singkat
Kortison 25 0,8 2+ 30-90 8-12
Kortisol 20 1 2+ 60-120 8-12
Masa kerja sedang
Prednison 5 4 1+ 60 24-36
Metilprednison 4 5 0 180 24-36
Triamnisolon 4 5 0 78-188 24-36
Masa kerja panjang
Deksametason 0,75 20-30 0 100-300 36-54
Tabel 57.2 Dosis inisial Kortikosteroid sistemik perhari untuk orang dewasa pada
berbagai dermatosis.
Nama Penyakit Jenis Kortikosteroid dan dosis per hari
Dermatitis Metilprednisolon 16 24 mg dosis terbagi
5

Erupsi alergi obat ringan Metilprednisolon 24 32 mg dosis terbagi


Sindrom Stevens-Johnson Metilprednisolon 1 3 x 62.5 mg dosis terbagi
NET
Eritoderma Metilprednisolon 40 mg 62,5 mg dosis terbagi
Reaksi lepra Metilprednisolon 24 48 mg
Pemfigus vulgaris Metilprednisolon 40 125 mg dosis terbagi
Pemfigoid bulosa Metilprednisolon 32 62,5 mg dosis terbagi

Pada pengobatan berbagai dermatosis dengan KS, bila telah mengalami


pebaikan. dosis diturunkan berangsur-angsur agar penyakit tidak mengalami
eksaserbasi dan tidak ten'adi sindrom putus obat. Pada sindrom putus obat
terdapat keluhan Iemah, lelah. anoreksia dan demam ringan. Tapering oiiF juga
diperlukan untuk pemulihan sumbu hipotalamus-hipofnsa-adrenal (HPA axis)
yang mengalami supresi dengan pemberian KS selama Iebih dan 3-4 minggu.
Pada supresi HPA axis, ten'adi supresi korteks kelenjar adrenal sehingga tubuh
pasien tidak dapat mengatasi berbagai stres. Supresi HPA axis juga dapat
dikurangi dengan pemberian KS dosis tunggal pada pagi hari jam 08.00 sesuai
dengan siklus diurnal produksi alamiah kortikosteroid. 1,2

Sebelum memulai pengobatan dengan KS jangka panjang, diperiukan


evaluasi tentang predisposisi diabetes, hipertensi, hiperlipidemia, glaukoma
dalam keluarga, pengukuran berat badan, tekanan darah dan bila
memungkinkan juga pengukuran densitas tulang belakang. Selama pengobatan
KS jangka panjang, perlu dilakukan pemeriksaan berkala terhadap berbagai
efek samping KS yang mungkin terjadi.1,2

Penggunaan kortikosteroid pada penyakit reumatik sebaiknya dicadangkan


untuk keadaan khusus, misalnya apabila obat-obat antiinflamasi lainnya tidak
memberikan hasil. Kortikosteroid dapat memicu osteoporosis, upaya
pencegahan sebaiknya dipertimbangkan jika diberikan jangka panjang. Untuk
anak, hanya boleh digunakan jika di bawah pengawasan dokter spesialis.
Kortikosteroid sistemik dapat diberikan untuk penanganan juvenile
idiopathic arthritis yang mengenai sistemik atau beberapa sendi. Dapat juga
6

diberikan pada keadaan parah dan mungkin mengancam jiwa seperti lupus
eritematosus sistemik, vaskulitis sistemik, juvenile dermatomyositis,
penyakit behcet, penyakit persendian yang poliartikular.2

Pada keadaan parah yang mungkin dapat mengancam jiwa, dosis awal
yang tinggi diberikan untuk menginduksi penyembuhan, kemudian secara
bertahap dosisnya dikurangi sampai dihentikan sama sekali. Masalah utama
adalah bahwa ketika dosis dikurangi penyakit dapat kambuh lagi, terutama bila
pengurangan dosis dilakukan terlalu cepat. Oleh karena itu kecenderungan
yang terjadi adalah meningkatkan dosis pemeliharaan, dan akibatnya pasien
menjadi bergantung pada kortikosteroid. Karena itu dewasa ini diberikan pulse
dose kortikosteroid (misalnya metilprednisolon intravena hingga 1 g selama
tiga hari berturut-turut) untuk menekan reaksi radang aktif, dan pengobatan
untuk jangka yang lebih lama digunakan DMARDs. Selain itu pada anak, jika
tidak mungkin menghentikan pemberian kortikosteroid, pertimbangkan untuk
diberikan selang hari (atau selang seling antara dosis tinggi dengan dosis
rendah); dan pada hari kortikosteroid tidak diberikan atau diberikan dalam
dosis rendah, dapat ditambah AINS.2

Pemberian kortikosteroid dapat menyebabkan penekanan pertumbuhan


dan perkembangan pubertas. Sebaiknya dipertimbangkan juga risiko
osteoporosis yang diinduksi oleh penggunaan kortikosteroid jangka panjang.
Kortikosteroid juga dapat meningkatkan risiko osteopenia pada pasien yang
tidak mampu melakukan olah raga.3

Prednisolon 7,5 mg sehari dapat mengurangi kecepatan perusakan sendi


pada artritis reumatoid sedang hingga berat yang sudah berlangsung kurang
dari dua tahun. Berkurangnya perusakan sendi harus dibedakan dengan
perkembangan simtomatik belaka (yang hanya bertahan selama 6 hingga 12
bulan pada dosis ini) dan sebaiknya dilakukan perawatan untuk menghindarkan
peningkatan dosis di atas 7,5 mg sehari. Bukti-bukti mendukung bahwa dosis
ini hanya dapat diberikan selama 2-4 tahun dan kemudian untuk mengurangi
7

efek yang tidak diinginkan akibat penggunaan jangka panjang, dosis sebaiknya
dikurangi secara bertahap.3

Polimialgia reumatik dan arteritis temporal (giant cell) selalu diobati


dengan kortikosteroid. Dosis awal prednisolon yang lazim untuk polimialgia
reumatik adalah 10-15 mg sehari dan untuk giant cell arteritis 40-60 mg sehari
(dosis yang lebih tinggi digunakan jika muncul gejala yang dapat teramati).
Pengobatan sebaiknya dilanjutkan sampai penyakit mereda, kemudian dosis
dikurangi secara bertahap sampai dosis pemeliharaan sekitar 7,5-10 mg/hari.
Penyakit sering kambuh lagi jika terapi dihentikan terlalu cepat. Banyak pasien
yang memerlukan pengobatan selama minimal 2 tahun dan beberapa
diantaranya kadang perlu melanjutkan terapi kortikosteroid dosis rendah dalam
jangka panjang.3

Poliarteritis nodosa dan polimiositis biasanya diobati dengan


kortikosteroid. Prednisolon dengan dosis awal 60 mg sehari sering digunakan,
kemudian dikurangi hingga mencapai dosis pemeliharaan 10-15 mg sehari.
Lupus eritematosus sistemik diobati dengan kortikosteroid, jika perlu
menggunakan dosis yang sama besarnya dengan dosis untuk poliarteritis
nodosa dan polimiositis.3

Pasien dengan pleuritis (radang selaput dada), perikarditis, atau


manifestasi sistemik lainnya akan memberikan respons terhadap kortikosteroid.
Selanjutnya dosis dapat dikurangi; pengobatan selang hari kadang memadai,
dan obat tersebut secara bertahap dapat dihentikan. Pada sebagian kasus yang
ringan, pengobatan dengan kortikosteroid bisa dihentikan setelah beberapa
bulan. Banyak kasus lupus eritematosus sistemik ringan tidak memerlukan
pengobatan dengan kortikosteroid. Pengobatan alternatif dengan analgesik
antiinflamasi sebaiknya dipertimbangkan. Kortikosteroid dosis rendah
bermanfaat untuk pasien lansia, dan dosis malam hari yang sama dapat
mengatasi kekakuan pada pagi harinya.3
8

Ankylosing spondilitis tidak boleh diobati dengan kortikosteroid jangka


panjang; kadang-kadang dibutuhkan pulse doses dan kortikosteroid mungkin
berguna pada penyakit yang sangat aktif yang tidak memberikan respons
terhadap pengobatan konvensional.3

Metode Pemberian Kortikosteroid pada Pasien AA


Beberapa metode pemberian kortikosteroid yang dapat diberikan, yaitu
berupa terapi intralesi, topikal, maupun terapi sistemik. Metode yang diberikan
tergantung dari perluasan penyakit, derajat potensi obat, dan efek samping
obat.3

Kortikosteroid Intralesi
Kortikosteroid intralesi merupakan terapi utama pada pasien AA dewasa
dengan lesi pada kulit kepala kurang dari 50%, dan tidak dianjurkan bila
lesinya lebih dari 50%. Terapi ini memberikan respons sebesar 64%
menggunakan triamcinolone acetonide dan 97% menggunakan triamcinolone
hexacetonide. Kortikosteroid intralesi menstimulasi pertumbuhan rambut pada
tempat injeksi. Pemberian triamcinolone acetonide menggunakan jarum 30-
gauge dengan panjang 0,5inch dengan injeksi 0,1 ml pada setiap tempat
disuntikan dengan jarak kira-kira 1cm. Pemberian injeksi tidak diberikan
secara superfisial tetapi dipenetrasi sampai dermis bagian dalam. Konsentrasi
yang diberikan berkisar antara 2,5-10 mg/ml dimana 10mg/ml digunakan untuk
kulit kepala, sedangkan konsentrasi yang lebih rendah 2,5 mg/ml digunakan
untuk alis-alis atau pada bagian wajah. Pemberian total maksimum untuk kulit
kepala direkomendasikan 3 ml pada satu kali pertemuan.4

Hasil terapi awal dengan kortikosteroid intralesi biasanya terlihat setelah


1-2 bulan. Terapi tambahan dapat diulang setiap 4-6 minggu. Yang paling
penting menjauhi efek samping dari kortikosteroid intralesi yaitu nyeri pada
tempat injeksi dan atropi transien. Atropi transien dapat terjadi pada area yang
sering dilakukan injeksi, pada penggunaan volume obat dosis besar, atau
injeksi yang dilakukan tidak cukup dalam tetapi atropi ini dapat membaik
9

setelah beberapa bulan. Resiko katarak dan peningkatan tekanan intraokular


dapat terjadi bila diberikan kortikosteroid injeksi dekat daerah mata seperti
untuk terapi alis mata. Nyeri biasanya dirasakan pada anak-anak yang usianya
kurang dari 10 tahun, sehingga pada usia ini terapi dengan kortikosteroid
intralesi tidak dianjurkan. Pada kasus perluasan AA (alopecia totalisi/alopecia
universalis), AA yang progresif secara cepat dan dengan lesi kronik kurang
merespon dengan baik dengan pemberian obat kortikosteroid intralesi.4

Kortikosteroid topikal
Beberapa kortikosteroid topikal yang memberikan efikasi pada pasien AA
yaitu fluocinolone acetonide cream, floucinolone scalp gel, betamethasone
valerate lotion, dexamethasone in a penetration-enhancing vehicle,
desoximetasone cream, halcininide cream, dan clobetasol propionate ointment,
tetapi kombinasi antara betamethasone dipropionate 0,05% dengan minoxidil
memberikan efek yang lebih menguntungkan daripada diberikan
betamethasone saja. Kortikosteroid topikal diberikan kepada pasien.4

AA dengan lesi kurang dari 50% mengenai kulit kepala terutama


efektif untuk anak-anak. Pada beberapa kasus pemberian kortikosteroid tidak
memberikan respons. Hal ini diakibatkan obat tidak dapat mencapai bulbus
rambut. Topikal steroid tidak memberikan efek pada perluasan alopesia areata
(alopecia totalis/ alopecia universalis). Efek samping yang paling sering pada
penggunaan kortikosteroid topikal adalah folliculitis, atropi epidermis, dan
infeksi lokal sehingga pemberian kortikosteroid tidak diberikan dalam jangka
waktu yang lama.4
Kortikosteroid Sistemik
Terapi kortikosteroid oral diberikan untuk mengobati pasien AA dengan
lesi lebih dari 50% mengenai kulit kepala atau perluasan AA (alopecia totalis/
alopecia universalis). Obat kortikosteroid sistemik yang dapat diberikan adalah
prednisolon oral. Pemberian obat ini untuk pasien AA dianjurkan dengan dosis
1mg/kg/hari untuk dewasa dan 0,1-1mg/kg/hari untuk anak-anak. Dosis yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan rambut pasien AA antara 30-150 mg perhari.
10

Terapi dengan kortikosteroid intramuskular, mempunyai efek recurrence yang


tinggi dan sedikit memberikan hasil pada pasien. Sedangkan terapi dengan
intravena methylprednisolon 250 mg 2 kali sehari selama 3 hari beruntun ini
efektif mengontrol kerontokan fase aktif terutama pada perluasan alopesia
areata. Terapi kortikosteroid sistemik diberikan dalam jangka waktu 1-6 bulan.
Bila jangka waktu yang diberikan diperpanjang harus hati-hati dengan efek
samping yang dapat terjadi seperti efek yang berhubungan dengan tulang
terutama pada saat mengobati anak-anak. Efek samping lainnya dapat berupa
insufisiensi adrenal akut, demam, mialgia, atralgia, malaise, abnormalitas
elektrolit dan cairan, hipertensi, hiperglikemia, meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi, osteoporosis, gangguan behavior, katarak, dan cushing
syndrome.4

e. Efek Samping
Pada umumnya, efek samping pada penggunaan KS meningkat sesuai
dengan peningkatan dosis, lama pengobatan dan frekuensi penggunaan. Namun
osteoporosis dan katarak juga terjadi pada penggunaan KS selang sehari dan
nekrosis avaskuiar dapat timbui pada terapi singkat KS. Berbagai efek samping
KS dapat dilihat pada tabel 57.3. 4

Tabel 57.3 Efek samping penggunaan kortikosteroid sistemik.


Lokasi Macam efek samping
HPA axix Krisis adrenal (atrofi korteks adrenal sehingga tidak dapat
mengatasi stres)
Metabolisme Hiperglikemia, hiperlipidemia, perlemakan hati, katabolisme
protein, perubahan Cuchingoid
Kardiovaskular Kenaikan tekanan darah, gagal jantung
Tulang dan Sendi Gangguan pertumbuhan (anak), osteoporosis, skoliosis,
nekrosis avaskular
11

Saluran Cerna Tukak lambung, hipersekresi asam lambung, pankreatitis,


ileitis regional, kolitis ulseratif
Otot Miopati panggul / bahu, hipotrofi, fibrosis
Kulit Striae atrofise, hirsutisme, hipotrofi, erupsi akneiformis,
purpura, talangiektasis
Mata Katarak, glaukoma
Darah Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit da limfosit retensi natrium,
hipokalemia
Sistem Imunitas Rentan terhadap infeksi, reaktivasi,
Lain-lain Sindrom Cuching, gangguan menstruasi, pseudotumor
serebri, nyeri kepala, impotensi, hiperhidrosis, flushing,
perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah, mudah
tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis, kecenderungan
bunuh diri), nafsu makan bertambah

Sehubungan dengan berbagai efek samping tersebut di atas, maka


penggunaan KS jangka panjang harus disertai dengan monitor yang ketat.
Pasien dianjurkan untuk mendapat diet rendah kalori, rendah Iemak, rendah
garam, tinggi protein, tinggi kalium dan tinggi kaisium. Konsumsi alkohol,
kopi dan rokok harus sangat dikurangi. Olahraga dan aktivitas flsik harus
diperbanyak. 5

Efek samping lain ialah sindrom Cushing yang terdiri atas muka bulan,
buffalo hump, penebalan lemak supraklavikula, obesitas sentral, strie atrofise.
purpura, dermatosis akneformis, dan hirsutisme. Selain itu juga gangguan
menstruasi, nyeri kepala, pseudotumor serebri, impotensi, hiperhidrosis,
flushing, vertigo, hepatomegali, dan keadaan aterosklerosis dipercepat. Pada
anak memperlambat pertumbuhan. 5

f. Cara Pengobatan
Pada pengobatan dengan K.S. hendaknya jangan lupa mencari
penyebabnya. K.S. yang banyak dipakai ialah prednison karena telah lama
digunakan dan harganya murah. Bila ada gangguan hepar digunakan
prednisolon karena prednison dimetabolisme di hepar menjadi prednisolon.6
12

Pada pendenta dengan hipertensi, gangguan kor, atau keadaan iain yang
retensi garam merupakan masaiah, maka dipilih K.S. yang efek
mineralokortikoidnya sedikit/tidak ada (Bhat tabei 48-2), tenebih-tebih bita
dipedukan dosis K.S. yang tinggi. K.S. yang memberi banyak efek
mineralokortikoid jangan dipakai pada pemberian long term (iebih daripada
sebulan). Triamsinolon |ebih sering memberi efek samping berupa miopati dan
anoreksia sehingga berat badan menurun. 6

Pada penyakit berat dan sukar menelan, misatnya toksik epidermal


nekrolisis dan sindrom Stevensodohnson hams diberikan K.S. dengan dosis
tinggi. Biasanya kami menggunakan deksametason i.v. karena tebih praktis.
Jika masa kritis telah diatasi dan penderita telah dapat menelan diganti dengan
tablet prednison. 6

Jika terjadi supresi korteks ketenjar adrenal, penderita tidak dapat


melawan stres. Supresi teriadi kalau dosis prednison melebihi 5 mg per hari
dan lebih dari sebulan. Pada sindrom putus obat terdapat keluhan lemah. lelah,
anoreksia, dan demam ringan yang iarang melebihi 39C. Pada pengobatan
penyakit autoimun diperlukan K.S. dalamjangka waktu yang iama dan dicari
dosis pemeliharaan. Dosis pemeliharaan ditentukan dengan menurunkan
dosisnya berangsur-angsur. Untuk mencegah terjadinya supresi korteks
kelenjar adrenal K.S. dapat diberikan setang sehari sebagai dosis tunggal pada
pagi hari (jam 8), karena kadar kortisol tertinggi datam darah pada pagi hari.
Keburukan pemberian dosis seiang sehari ialah pada hari bebas obat penyakit
dapat kambuh. 6

Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih


diberikan K.S. dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis pada hari
pemberian obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis
telah mencapai 7,5 mg prednison, selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas
obat tidak diberikan K.S. lagi. Alasannya ialah, bila diturunkan berarti hanya 5
13

mg dan dosis ini merupakan dosis fisioiogik. Seterusnya dapat diberikan seiang
sehari. 6

Teriadinya efek samping bergantung pada dosis, lama pengobatan dan


macam konikosteroid. Pada pengobatan jangka pendek (beberapa hari/minggu)
umumnya tidak tedadi efek samping yang gawat. Sebaliknya pada pengobatan
jangka panjang (beberapa butan/tahun) harus diadakan tindakan untuk
mencegah terjadinya efek tersebut, yaitu :
1. Diet tinggi protein dan rendah garam.
2. Pembenian KC! 3 x 500 mg sehari untuk orang dewasa, jika terjadi
defisiensi K
3. Obat anabotik
4. ACTH diberikan 4 minggu sekali, yang biasanya kami berikan ialah
ACTH sintetik. yaitu synacthen depot sebanyak 1 mg (100 IU); pada
pembarian konikosteroid dosis tinggi dapat diberikan saminggu sekali.
5. Antibiotik penu diberikan, jika dosis prednison melebini 40mg sehari.
6. Antasida.

Pada pengobatan jangka panjang harus waspada terhadap efek samping,


hendaknya diperiksa tensi dan berat badan (seminggu sekali), EKG (sebulan
sekali) terutama pada usia di atas 4O tahun. dan pemeriksaan iaboratorium :
Hb, jumiah leukosit, hitung jenis, L.E.D., urin lengkap,. kadar Na dan K
dalam darah, gula darah (seminggu sekali); fototoraks, apakah ada
tuberkulosis ham (3 bulan sekali). 6

Efek samping yang juga berat ialah osteoporosis yang dapat menyebabkan
fraktur. Pada pamperian K.S. yang diperkirakan long term, misalnya pada
penyakit autoimun hendaknya sejak semula diusahakan pencegahan'nya.
Ponderita dikonsultasikan ke Subbagian Onopedi. Pada wanita saat
menopause dikonsultasikan ke Bagian Kebidanan untuk kemungkinan terapi
hormonal, karena pada masa tersebut rentan mendapat osteoporosis.6
14

2. Kortikosteroid Topikal
a. Pendahuluan
Pada tahun 1952 SULZBERGER dan WITTEN memperkenalkan
hidrokortison dan hidrokortison asetat sebagai obat topikal pertama dan
golongan kortikosteroid. Hal ini merupakan kemajuan yang sangat
besar dalam pengobatan penyakit kulit karena kortikosteroid mempunyai
khasiat yang sangat luas yaitu anti inflamasi, anti alergi, anti pruritus, anti
mitotik, dan vasokontriksi. Pada penyelidikan ternyata bahwa kortison dan
adreno cortico trophic hormone (ACTH) tidak efektif sebagai obat topikal.
Pada perkembangan selanjutnya, pada tahun 1960 diperkenalkan kortikosteroid
yang lebih poten dari pada hidrokortison, yaitu kortikosteroid yang bersenyawa
halogen yang dikenal sebagai fluorinated corticosteroid. Penambahan 1 atom F
pada posisi 6 dan 9 dan satu rantai samping pada posisi 16 dan 17,
15

menghasilkan bentuk yang mempunyai potensi tinggi. Zat-zat ini pada


konsentrasi 0,025% sampai 0,1% memberikan pengaruh anti inflamasi yang
kuat, yang termasuk golongan ini ialah, antara lain ; betametason, betametason
valerat, betametason benzoat, fluosinolon asetonid dan triamsinolon asetonid.7

Kortikosteroid topikal (KT) merupakan salah satu obat yang sering


diresepkan dan digunakan untuk pasien dermatologi sejak pertama kali
diperkenalkan pada awal tahun 1950-an.1 Sayangnya, KT sering kali
digunakan secara tidak tepat baik oleh dokter, farmasi, toko obat, ahli
kecantikan ataupun pasien karena keampuhannya menghilangkan gejala dan
tanda berbagai penyakit kulit. Hal tersebut tidak jarang menimbulkan masalah
efek samping.1,2 Efektivitas KT bergantung pada potensi/ kekuatan,
vehikulum, frekuensi pengolesan, jumlah/banyaknya, dan lama pemakaian.
Selain diagnosis yang tepat, stadium penyakit, lokasi anatomi, dan faktor usia,
kepatuhan pasien juga ikut mempengaruhi keberhasilan terapi. Secara
farmakologik penulisan resep KT harus rasional, ter utama bila
dikombinasikan/dicampur dengan obat lain, serta selalu mempertimbangkan
efek samping yang mungkin terjadi.1- 4 Kortikosteroid merupakan derivat
hormon kortikosteroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini
memainkan peran penting termasuk mengontrol respons infl amasi.5
Kortikosteroid hormonal dapat digolongkan menjadi glukokortikoid dan
mineralokortikoid. Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek
utamanya terhadap penyimpanan glikogen hepar dan khasiat antiinfl amasinya
nyata. Prototip golongan ini adalah kortisol dan kortison, yang merupakan
glukokortikoid alami. Terdapat juga glukokortikoid sintetik, misalnya
prednisolon, triamsinolon, dan betametason. Golongan mineralokortikoid
adalah kortikosteroid yang mempunyai aktivitas utama menahan garam dan
terhadap keseimbangan air dan elektrolit. Umumnya golongan ini tidak
mempunyai efek antiinfl amasi yang berarti, sehingga jarang digunakan. Pada
manusia, mineralokortikoid yang terpenting adalah aldosteron.6 Berdasarkan
cara penggunaannya, kortikosteroid dapat dibagi dua, yaitu kortikosteroid
16

sistemik dan kortikosteroid topikal. Berikut ini akan banyak dibahas panduan
penggunaan KT yang tepat, efektif, dan aman dalam praktik sehari-hari.7

Kortikosteroid topikal dipakai untuk mengobati radang kulit yang bukan


disebabkan oleh infeksi, khususnya penyakit eksim, dermatitis kontak, gigitan
serangga dan eksim skabies bersama-sama dengan obat skabies. Kortikosteroid
menekan berbagai komponen reaksi pada saat digunakan saja; kortikosteroid
sama sekali tidak menyembuhkan, dan bila pengobatan dihentikan kondisi
semula mungkin muncul kembali. Obat-obat ini diindikasikan untuk
menghilangkan gejala dan penekanan tanda-tanda penyakit bila cara lain
seperti pemberian emolien tidak efektif. Kortikosteroid topikal tidak berguna
dalam pengobatan urtikaria dan dikontraindikasikan untuk rosasea dan kondisi
ulseratif, karena kortikosteroid memperburuk keadaan. Kortikosteroid tidak
boleh digunakan untuk sembarang gatal dan tidak direkomendasikan untuk
akne vulgaris.7,8,9

Kortikosteroid sistemik atau topikal yang kuat sebaiknya dihindari atau


diberikan pada psoriasis hanya di bawah pengawasan dokter spesialis karena
walaupun obat ini dapat menekan psoriasis dalam jangka pendek, bisa timbul
kekambuhan karena penghentian obat bahkan kadang memicu psoriasis
pustuler yang hebat. Pemakaian topikal kortikosteroid yang kuat pada psoriasis
yang luas dapat menimbulkan efek samping sistemik dan lokal. Cukup
meresepkan kortikosteroid yang lebih lemah untuk jangka waktu singkat (2-4
minggu) untuk psoriasis fleksural dan wajah (penting: pada wajah jangan
gunakan yang lebih kuat dari hidrokortison 1%). Pada kasus psoriasis kulit
kepala boleh menggunakan kortikosteroid yang lebih kuat seperti betametason
atau fluosinonid.7,8,9

Secara umum kortikosteroid topikal yang paling kuat hanya dicadangkan


untuk dermatosis yang sukar diatasi seperti diskoid kronis lupus
eritematosus, lichen simplex chronicus, hypertrophic lichen planus dan
palmoplantar pustulosis. Kortikosteroid yang kuat tidak boleh digunakan pada
wajah dan fleksur kulit, tetapi kadang-kadang pada keadaan tertentu dokter
17

spesialis meresepkannya untuk daerah tersebut dengan pengawasan khusus.


Bila pengobatan topikal gagal, injeksi kortikosteroid intralesi khusus
digunakan hanya pada kasus-kasus tertentu saja dengan lesi setempat (seperti
parut keloid, lichen planus hypertrofik atau alopecia localised areata). 8,9

LESI PERIORAL. Krim hidrokortison 1% dapat digunakan dalam waktu


tidak lebih dari 7 hari untuk mengatasi lesi radang yang tidak terinfeksi pada
bibir dan kulit disekitar mulut. Salep atau krim hidrokortison dan mikonazol
bermanfaat pada inflamasi yang disertai infeksi oleh organisme yang peka,
terutama pada awal pengobatan (sampai sekitar 7 hari) misalnya pada keilitis
angular. Organisme yang rentan terhadap mikonazol adalah Candida spp, dan
beberapa bakteri Gram positif termasuk strepkokus dan stapilokokus.8,9

PEMAKAIAN PADA ANAK. Anak-anak khususnya bayi sangat rentan


terhadap efek samping. Namun, jangan karena profil keamanan kortikosteroid
topikal, maka anak-anak menjadi tidak diobati. Tujuannya adalah untuk
mengatasi kondisi sebaik mungkin; pengobatan yang tidak memadai akan
memperparah kondisi. Kortikosteroid lemah seperti salep atau krim
hidrokortison 1% bermanfaat untuk mengobati ruam popok dan untuk eksim
atopik pada masa kanak-kanak. Kortikosteroid sedang sampai kuat cocok untuk
eksim atopik parah pada anggota badan, digunakan hanya 1-2 minggu, bila
kondisi membaik ganti ke sediaan yang kurang kuat. Pada keadaan kambuhan
akut eksim atopik cocok menggunakan sediaan kortikosteroid kuat dalam
jangka pendek untuk mengendalikan kondisi penyakit. Penggunaan harian
terus menerus tidak dianjurkan meskipun kortikosteroid ringan seperti
hidrokortison 1% sebanding dengan betametason 0,1% yang digunakan
sesekali. Untuk bayi di bawah 1 tahun, hidrokortison merupakan satu-satunya
kortikosteroid yang direkomendasikan penggunaannya. Kortikosteroid lain
dengan potensi lebih kuat dikontraindikasikan. Untuk anak usia di atas 1 tahun,
kortikosteroid topikal dengan potensi kuat dan kuat-sedang sebaiknya
digunakan dengan sangat hati-hati dan hanya digunakan dalam jangka
pendek (1-2 minggu). Kortikosteroid yang sangat poten hanya dapat digunakan
18

berdasarkan konsultasi dengan dokter spesialis kulit. Kortikosteroid topikal


untuk anak dapat digunakan pada kondisi berikut:
1. Gigitan dan sengatan serangga: kortikosteroid dengan potensi ringan
seperti krim hidrokortison 1 %.
2. Ruam kulit yang disertai inflamasi berat akibat penggunaan popok pada
bayi di atas 1 bulan: kortikosteroid dengan potensi ringan seperti
hidrokortison 0,5 atau 1% selama 5-7 hari (dikombinasikan dengan
antimikroba jika terjadi infeksi).
3. Eksim ringan hingga sedang, flexural dan eksim wajah atau psoriasis:
kortikosteroid ringan seperti hidrokortison 1%.
4. Eksim berat di sekitar badan dan lengan pada anak usia di atas 1 tahun:
kortikosteroid dengan potensi kuat atau kuat; sedang selama hanya 1-2
minggu; segera ganti ke sediaan dengan potensi lebih ringan pada saat
kondisi membaik.
5. Eksim di sekitar area kulit yang mengeras (misal: telapak kaki):
kortikosteroid topikal dengan potensi kuat dalam kombinasi dengan urea
atau asama salisilat (untuk meningkatkan penetrasi kortikosteroid).
PILIHAN FORMULASI. Krim larut air untuk lesi yang lembab atau
eksudatif dan salep umumnya dipilih untuk lesi yang kering, lichenified atau
bersisik atau bila efek oklusif diperlukan. Losion mungkin berguna bila
aplikasi minimal dibutuhkan untuk daerah yang luas atau untuk pengobatan
luka eksudatif. Perban oklusif polythene meningkatkan absorpsi, tetapi juga
meningkatkan efek samping. Oleh karena itu dipakai hanya di bawah
pengawasan dalam jangka waktu pendek untuk daerah kulit yang sangat tebal
(seperti telapak tangan dan kaki). Penambahan urea atau asam salisilat
meningkatkan penetrasi dari kortikosteroid. 8
19

b. Memilih Kortikosteroid Topikal


Untuk keberhasilan pengobatan dengan KT, beberapa faktor kunci yang
harus dipertimbangkan adalah diagnosis yangakurat, memilih obat yang benar,
mengingat potensi, jenis sediaan, frekuensi penggunaan obat, durasi
pengobatan, efek samping, dan profi l pasien yang tepat.8

c. Indikasi
KT mempunyai kemampuan menekan infl amasi/peradangan dengan cara
menghambat fosfolipase A dan menekan IL-1. Sebagai obat imunosupresan,
kortikosteroid dapat menghambat kemotaksis neutrofi l, menurunkan jumlah
sel Langerhans dan menekan pengeluaran sitokin, menekan reaksi alergi-
imunologi, serta menekan proliferasi/antimitotik. KT juga menyebabkan
vasokonstriksi dan efek ini sejalan dengan daya antiinflamasi.Beberapa jenis
penyakit kulit yang responsif terhadap kortikosteroid dapat dilihat di tabel 1.8

Tabel 2. Klasifikasi potensi kortikosteroid topikal

Topical steroid Topical steroid


Common representative topical
class American class Brithis Indications
steroids
calssification classification
20

I I Clobetasol propionate 0.05% Alopecia areata


Superpotent
Very potent cream or ointment
corticosteroids
Atopic dermatitis
Halobetasol propionate 0.05%
(resistant)
cream or ointment
Betamethasone dipropionate Discoid lupus
0.05% ointment
Betamethasone dipropionate Hyperkeratotic eczema
0.05% cream
II II Flucinonide 0.05% ointment Lichen planus
Potent corticosteroids Potent
Halcinonide 0.1% cream Lichen sclerosus (skin)
Mometasone furoate 0.1% Lichen simplex chronicus
ointment
Betamethasone dipropionate Nummular eczema
0.05% lotion
III Fluticasone propionate 0.005% Psoriasis
Upper mid-strength ointment
corticosteroids
Triamcinolone acetonide 0.1% Severe hand eczema
ointment
Halometasone 0.05% cream
IV Flucinolone acetonide 0.025% Asteatotic eczema
Mid-strength
ointment
corticosteroids
Mometasone furoate 0.1% Atopic dermatitis
cream or lotion
V III Betamethasone valerate 0.1% Lichen sclerosus (vulva)
Lower mid-strength Moderate cream
corticosteroids
Flucinolone acetonide 0.025% Nummular eczema
cream
Fluticasone propionate 0.05% Scabies (after scabicide)
cream
Hydrocortisone butyrate 0.1% Seborrheic dermatitis
cream
Severe dermatitis
Severe intertrigo (short-
term)
Statis dermatitis
VI Alclometasone dipropionate Dermatitis (diaper)
Mild corticosteroids 0.05% cream or onintment
Desonide 0.05% cream Dermatitis (eyelids)
Fluocinolone acetonide 0.01% Dermatitis (face)
cream
Triamcinolone acetonide Intertigo
0.025% cream
VII IV Hydrocortisone 1% or 2.5% Perianal inflammation
Least potent
Mild cream, 1% or 2.5% lotion, 1% or
corticosteroids
2.5% ointment
Hydrocortisone acetate (1% or
21

2.5% cream, 1% or 2.5% lotion,


1% or 2.5% ointment)

d. Kekuatan
Potensi/kekuatan adalah jumlah obat yang dibutuhkan untuk menghasilkan
efek terapi yang diinginkan. Potensi/kekuatan KT dapat diukur dengan
menghitung daya vasokonstriksi. Daya vasokonstriksi di kulit orang sehat
menjadi dasar klasifikasi potensi. Efek terapi KT pada setiap pasien hasilnya
bervariasi. Keberhasilan terapi tidak hanya bergantung pada kekuatan KT,
tetapi juga dipengaruhi oleh frekuensi dan jumlah obat yang diaplikasikan,
jangka waktu pemberian terapi, dan lokasi anatomi. Terdapat perbe-daan hasil
pengobatan KT walaupun formula generiknya sama atau di satu kelas yang
sama. Setiap nama dagang tertentu meng-gunakan vehikulum yang berbeda.
Bentuk lotion, krim, salep, ataupun gel memberikan hasil berbeda. Konsentrasi
formula juga akan mempengaruhi potensi KT. Sebagai aturan umum, KT
potensi rendah adalah agen paling aman untuk penggunaan jangka panjang,
pada area permukaan besar, pada wajah, atau pada daerah dengan kulit tipis
dan untuk anak-anak. KT yang lebih kuat sangat berguna untuk penyakit yang
parah dan untuk kulit yang lebih tebal di telapak kaki dan telapak tangan. KT
potensi tinggi dan super poten tidak boleh digunakan di selangkangan, wajah,
aksila dan di bawah oklusi, kecuali dalam situasi yang jarang dan untuk durasi
pendek. KT diklasifi kasi-kan menjadi tujuh kelas menurut sistem Amerika
dengan kelas I merupakan super poten dan kelas VII menunjukkan potensi
yang paling rendah. Menurut formularium nasional Inggris, KT dibagi menjadi
empat kelompok sesuai dengan potensinya.9,10

e. Bentuk Sediaan
Pemilihan bentuk sediaan disesuaikan dengan keadaan, di antaranya lokasi
dermatosis. Perhatikan kenyamanan pasien karena dapat mempengaruhi
kepatuhan. Salep bersifat lengket dan berminyak, kurang nyaman bagi pasien.
Salep lebih nyaman digunakan pada lesi hiperkeratotik yang kering dan tebal.
22

Salep lebih meningkatkan potensi dibandingkan dengan kemasan krim, karena


salep bersifat lebih oklusif. Salep tidak dianjurkan pada daerah intertriginosa
dan pada daerah berambut karena dapat menimbulkan maserasi dan folikulitis.
Krim lebih disukai terutama jika digunakan pada bagian tubuh yang terbuka,
karena tidak tampak berkilat setelah dioleskan. Selain nyaman, krim tidak
iritatif, juga dapat digunakan pada lesi sedikit basah atau lembap dan di daerah
intertriginosa Krim lebih baik untuk efeknya yang nonoklusif dan cepat kering.
Lotion dan gel paling sedikit berminyak dan oklusif dari semua sediaan KT.
Konsistensi lotion lebih ringan, mudah diaplikasikan dan nyaman dipakai di
daerah berambut, misalnya kulit kepala. Vehikulum beralkohol (tingtura) dapat
me-ngeringkan lesi eksudatif, tetapi terkadang ada rasa seperti tersengat.9,10

f. Jumlah
Untuk menghitung jumlah KT yang di-resepkan, sebaiknya menggunakan
ukuran fi ngertip unit yang dibuat oleh Long dan Finley. Satu fi ngertip
unit setara dengan 0,5 gram krim atau salep (Gambar 1). Ukuran tersebut
berbeda pada orang dewasa dan anak (tabel 3 dan 4).9,10
Pada dewasa dianjurkan pemberian KT poten tidak melebihi 45 gram per
minggu atau KT potensi menengah tidak melebihi 100 gram per minggu.
23

Pasien dermatitis kronik, misalnya dermatitis atopik, mungkin menggunakan


KT potensi kuat atau KT potensi lebih rendah dalam jumlah berlebihan atau
mengoles KT lebih sering atau memakai emolien. Sebaliknya, terkadang
mereka takut efek samping dan mengoleskan hanya seminggu sekali, sehingga
pemakaian KT di bawah standar dan tidak efektif. Pada laki-laki satu fi ngertip
unit setara dengan 0,5 gram, sedangkan
pada perempuan setara dengan 0,4
gram. Bayi dan anak kira-kira 1/4
atau 1/3 nya. Jumlah krim atau
salep yang dibutuhkan per hari
dapat dikalkulasi mendekati jumlah yang seharusnya diresepkan.10

Gambar 1. Fingertip Unit


2 FTU = 1 g
FTU = Fingertip Unit / 1 FTU = 0.5 g of cream or ointment
Contoh: jika seorang perempuan dewasa mengoleskan kedua lengan dan
tangan sekali sehari, dia membutuhkan 3,2 gram per hari (diperlukan 8 fi
ngertip unit x 0,4 gram = 3,2 gram/hari) atau 22,4 gram per minggu. Tube
besar 50 gram kira-kira dapat digunakan untuk 2 minggu, tetapi bila
mengoleskannya 2 kali sehari hanya cukup untuk satu minggu.10

g. Aplikasi
Pengolesan KT yang dianjurkan adalah 1-2 kali per hari tergantung
dermatosis dan area yang dioles. Pada terapi dermatitis atopik, dianjurkan 1-2
kali/hari. Pengolesan lebih dari 2 kali tidak memberikan perbedaan bermakna,
bahkan dapat mengurangi kepatuhan pasien. Bila menggunakan potensi sedang
atau kuat, cukup dioleskan 1 kali sehari. Perlu diingat bahwa makin sering
dioleskan makin mudah terjadi takifilaksis. Teknik aplikasi pengolesan KT,
aplikasi sederhana oleskan salep tipis merata, pijat perlahan-lahan. Aplikasi
oklusi baik digunakan untuk lesi kering, hiperkeratotik, dan likenifikasi. Lesi
24

sebaiknya dibersihkan dengan air dan sabun, kemudian oles KT dan tutup
dengan pembungkus plastik (kedap air), bebat atau fiksasi dengan selotip agar
tidak bergeser. Biarkan tertutup selama 2-8 jam, oklusi dianjurkan saat malam
hari atau menjelang tidur.10
h. Lama Pemakaian
Pemakaian KT jangka panjang dapat menyebabkan efek takifi laksis, yaitu
pe-nurunan respons efek vasokonstriksi (kulit toleran terhadap efek
vasokonstriksi). Takifilaksis dapat terjadi 4 hari setelah pemakaian KT potensi
sedang-kuat 3 kali sehari di wajah, leher, tengkuk, intertrigi-nosa, atau pada
pemakaian secara oklusi. Efek takifilaksis menghilang setelah KT dihentikan
selama 4 hari. KT golongan sangat poten atau poten sebaiknya di-gunakan
tidak lebih dari 2 minggu. Bila di-gunakan jangka panjang, turunkan potensi
perlahan-lahan, turunkan ke potensi yang lebih rendah setelah digunakan 1
minggu, kemudian hentikan. Penghentian tiba-tiba potensi kuat menyebabkan
rebound symptoms (dermatosis menjadi lebih buruk). Cara menghindari efek
rebound dan memperlambat kekambuhan penyakit kulit kronis adalah dengan
pemberian intermiten. Pada psoriasis dapat diberikan KT golongan sangat
poten selama 1 minggupenuh lalu dihentikan selama 1 minggu, kemudian
dilanjutkan kembali sampai lesi terkontrol. Cara lain adalah dengan meng-
oleskan KT selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu atau diberikan 2 kali
dalam 1 minggu. Pada dermatitis atopik terapi KT dapat diberikan selama 2
hari berturut-turut setiap minggu. Pada pemakaian KT golongan II dan VI,
dianjurkan pemakaian 2 kali/hari dan lama pemberian 2-4 minggu. Bila
respons adekuat tidak tercapai dalam 4-7 hari, segera pilih KT golongan lain.11

i. Pelembap
Dalam tatalaksana dermatitis atopik, pe-makaian KT dianjurkan bersama-
sama dengan emolien atau pelembap dengan interval beberapa menit di antara
peng-olesan kedua obat tersebut. Sampai sekarang masih diperdebatkan dan
tidak ada panduan pasti mana yang lebih dahulu digunakan. Secara rasional
obat oles topikal lebih efektif bila dipakai setelah pelembap. Terdapat
25

anggapan bahwa jika dioleskan setelah pelembap, KT dapat mengalami difusi


dan menyebar ke area yang tidak memerlukan KT.11,12

j. Kombinasi
Pemakaian KT kombinasi (campuran KT dengan antimikroba atau
antijamur dalam 1 kemasan) dibolehkan dengan alasan ter-tentu dan hanya
digunakan dalam waktu singkat, yaitu 1-2 minggu. Efek yang diinginkan
adalah mengatasi infl amasi terlebih dahulu, kemudian dihentikan dan
dilanjutkan dengan obat antijamur. Kombinasi KT dengan antimikroba di-
berikan dalam 1 minggu, kemudian dilanjutkan dengan kortikosteroid saja.
Akan tetapi, terdapat anggapan bahwa pemberian preparat kombinasi KT
dengan antimikroba atau antijamur berdampak menyuburkan tumbuhnya
mikroba dan jamur.2,8,11 Kemasan kombinasi yang sering dijumpai adalah KT
dengan antijamur seperti clioquinol, chloroquinaldol 1-3%, dan nistatin.
Sedangkan, dengan antimikroba adalah neomisin, natamisin, garamisin, dan
asam fusidat 2%.11,12,21

k. Efek Samping
Efek samping, baik lokal maupun sistemik, lebih sering terjadi pada bayi
dan anak, pada pemakaian KT jangka panjang, potensi kuat, dan pada
pengolesan lesi yang luas.11,12
26

l. Efek Samping Lokal


Pemakaian KT jangka panjang atau potensi kuat menginduksi atrofi
kulit, striae, telangiektasi, purpura, hipopigmentasi, akneiformis, dermatitis
perioral, hipertrikosis, dan moonface (Tabel 5).1,2,4,8,9 Pada pemakaian KT
tidak terkontrol dan jarang dilaporkan adalah adiksi KT. Beberapa contoh
adiksi KT, yaitu lesi eritematosa di wajah setelah peeling, kulit skrotum tipis
dan merah, vulvodynia, atrofi perianal, dan dermatitis atopik rekalsitrans.16
Pemakaian KT jangka panjang
di wajah dapat menyebabkan
topicalcorticosteroids-induces
rosacea-like dermatitis (TCIRD)
atau topical steroid-dependent
face (TSDF).1,2,12 (Gambar 2-4)

Gambar 2. Telangiektasi pada wajah akibat pemakaian KT

Gambar 3. Kulit atrofi akibat


pemakaian KT
27

Gambar 4. Dermatitis perioral akibat pemakaian KT

m. Efek Samping Sistemik


KT berpotensi kuat dan sangat kuat dapat diabsorbsi dan menimbulkan
efek sistemik, di antaranya sindrom Cushing, supresi kelenjar hypothalamic-
pituitary-adrenal, gangguan metabolik, misalnya hiperglikemi, gangguan
ginjal/elektrolit, contohnya hipertensi, edema hipokalsemi.17 Pada umumnya
efek samping tersebut bersifat reversibel, membaik setelah obat dihentikan,
kecuali atrophic striae yang lebih sulit diatasi karena telah terjadi kerusakan
sawar kulit.13,14,20

n. Reaksi Hipersensitivitas
Dermatitis kontak akibat KT umumnya jarang terjadi. Prevalensi
diperkirakan 0,2-6%, umumnya lebih sering disebabkan oleh KT non-fl
uorinated. Perlu diperhatikan respons KT kurang memuaskan bila terdapat
infeksi yang tidak terdiagnosis. Dermatitis kronik sulit diatasi, karena adanya
fenomena adiksi terhadap KT. Perlu dibedakan antara reaksi hipersensitif
terhadap KT atau reaksi hipersensitif terhadap vehikulum atau bahan pengawet;
pembuktian dapat dengan uji tempel. Vehikulum yang berpotensi menyebabkan
alergi di antaranya adalah propilen glikol, sorbitan sesquoleate, lanolin,
paraben, formaldehid, dan pewangi.13,14,15,20

o. Mengoptimalkan Penggunaan
1. Memilih KT dan vehikulum yang tepat sesuai indikasi dermatosis.
Mulailah dengan potensi ringan, terutama untuk lesi di wajah,
2. kelopak mata, intertriginosa, fl eksural, skrotum, dan untuk area yang luas.
3. Menggunakan potensi KT yang sesuai untuk mencapai pengendalian
penyakit. Makin kuat potensi, makin kuat daya infl amasi, dan
antiproliferasi.
28

4. Turunkan potensi KT atau kurangi frekuensi aplikasi setelah hasil yang


me-muaskan dicapai. Turunkan perlahan-lahan sampai remisi terkontrol
lengkap.
5. KT poten atau sangat poten dengan teknik oklusi lebih bermanfaat pada
6. lesi kronik ditandai hiperkeratosis dan likenifi kasi.
7. Hati-hati meresepkan KT, terutama untuk anak, orang tua, wanita hamil
dan menyusui.
8. Waspada terhadap efek samping dan segera hentikan bila terjadi.
9. Bila tidak ada indikasi hindari meng-gunakan preparat kombinasi KT
dengan antimikroba dan antijamur.
10. Menghindari penggunaan KT untuk ruam yang tidak terdiagnosis karena
akan mengaburkan diagnosis.15,18,19

p. Monografi
1. ALKLOMETASON DIPROPIONAT
Indikasi:
kelainan radang kulit seperti eksim.
Peringatan:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Kontraindikasi:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Penggunaan:
dioleskan tipis 1 - 2 kali sehari.

2. BEKLOMETASON DIPROPIONAT
Indikasi:
kelainan radang kulit yang berat seperti eksim yang tidak memberi respons
pada kortikosteroid yang kurang kuat; psoriasis, lihat keterangan di atas.
Peringatan:
lihat hidrokortison dan keterangan di atas.
29

Kontraindikasi:
lihat hidrokortison dan keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat hidrokortison dan keterangan di atas.
Penggunaan: dioleskan tipis 1-2 kali sehari.
3. BETAMETASON DIPROPIONAT
Indikasi:
psoriasis, lihat keterangan di atas.
Peringatan:
lihat pada hidrokortison dan keterangan di atas. Pemberian lebih dari 100 g
per minggu dari sediaan 0,1% menimbulkan penekanan adrenal.
Kontraindikasi:
lihat pada hidrokortison dan keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat pada hidrokortison dan keterangan di atas.
Penggunaan:
dioleskan tipis 1-2 kali sehari.

4. DESOKSIMETASON
Indikasi:
Radang akut yang berat, kelainan kulit alergis dan kronis; psoriasis, lihat
keterangan di atas.
Peringatan:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Kontraindikasi:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Penggunaan:
dioleskan tipis 1-2 kali sehari.

5. DIFLUKORTOLON VALERAT
30

Indikasi:
radang kulit yang hebat seperti eksim yang tidak menunjukkan respons
dengan kortikosteroid kurang kuat, kekuatan tinggi (0,3%) pengobatan
jangka pendek untuk eksaserbasi yang hebat; psoriasis, lihat keterangan di
atas.
Peringatan:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas; tidak lebih dari 60 g dari
sediaan 0.3% dioleskan per minggu.
Kontraindikasi:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Penggunaan:
oleskan tipis 1-2 kali sehari hingga 4 minggu (sediaan 0,1%) atau 2
minggu (sediaan 0,3%), kurangi kekuatan menurut respon.

6. ESTER BETAMETASON
Indikasi:
kelainan radang kulit yang berat seperti eksim tidak menunjukkan respons
pada kortikosteroid yang kurang kuat; psoriasis, lihat keterangan di atas.
Peringatan:
lihat pada hidrokortison dan keterangan di atas. Pemberian lebih dari 100 g
per minggu dari sediaan 0,1% menimbulkan penekanan adrenal.
Kontraindikasi:
lihat pada hidrokortison dan keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat pada hidrokortison dan keterangan di atas.
Penggunaan:
dioleskan tipis 1-2 kali sehari.

7. FLUOKORTOLON
Indikasi:
31

kelainan radang kulit yang berat seperti eksim yang tidak menunjukan
respons terhadap kortikosteroid yang kurang kuat; psoriasis, lihat
keterangan di atas.
Peringatan:
lihat pada Hidrokortison dan keterangan di atas.
Kontraindikasi:
lihat pada Hidrokortison dan keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat pada Hidrokortison dan keterangan di atas.
Penggunaan:
dioleskan tipis 1-2 kali sehari, kurangi kekuatan sesuai dengan respon.

8. FLUOSINOLON ASETONID
Indikasi:
kelainan radang kulit seperti eksim, psoriasis, lihat keterangan di atas.
Peringatan:
lihat hidrokortison dan keterangan di atas.
Kontraindikasi:
lihat hidrokortison dan keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat hidrokortison dan keterangan di atas.
Penggunaan:
dioleskan tipis 1-2 kali sehari, kurangi kekuatan sesuai respon.

9. FLUTIKASON PROPIONAT
Indikasi:
kelainan radang kulit seperti dermatitis dan eksim, yang tidak
menunjukkan respon terhadap kortikosteroid yang kurang kuat.
Peringatan:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Kontraindikasi:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
32

Efek Samping:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Penggunaan:
oleskan tipis krim 1 kali sehari atau salep 2 kali sehari.

10. HALSINONID
Indikasi:
pengobatan jangka pendek hanya untuk kelainan radang kulit yang resisten
seperti eksim yang membandel tidak menunjukkan respons terhadap
kortikosteroid yang kurang kuat; psoriasis, lihat keterangan di atas.
Peringatan:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Kontraindikasi:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Penggunaan:
oleskan tipis 1-2 kali sehari.

11. HIDROKORTISON
Indikasi:
radang kulit ringan seperti eksim, ruam popok.
Peringatan:
lihat keterangan di bawah; juga hindarkan penggunaan jangka panjang
pada bayi dan anak-anak (hati-hati pada dermatoses pada bayi termasuk
ruam popok yang sedapat mungkin pengobatan harus dibatasi 5-7 hari)
hindarkan penggunaan jangka lama pada wajah (dan hindarkan dari mata);
kortikosteroid yang lebih kuat tidak boleh diberikan pada bayi di bawah 1
tahun (lihat keterangan di atas).
PSORIASIS. Risiko dari kortikosteroid yang lebih kuat pada psoriasis
antara lain kemungkinan kambuhnya, berkembangnya psoriasis pustuler,
toksisitas lokal dan sistemik.
33

Kontraindikasi:
luka kulit akibat bakteri, jamur atau viral yang tak diobati; rosacea (jerawat
rosacea) perioral dermatitis; tidak dianjurkan untuk akne vulgaris
(kontraindikasi khususnya untuk kortikosteroid lebih kuat).
Efek Samping:
lihat keterangan di atas.
Penggunaan:
dioleskan tipis 1-2 kali sehariBila krim atau salep hidrokortison diresepkan
dan tak ada kekuatan disebutkan, harus diberikan kekuatan 1%.

12. HIDROKORTISON BUTIRAT


Indikasi:
kelainan radang kulit yang hebat seperti eksim tidak menunjukkan respons
pada kortikosteroid yang kurang kuat; psoriasis, lihat keterangan di atas.
Peringatan:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Kontraindikasi:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Penggunaan:
dioleskan tipis 1 - 2 kali sehari.

13. KLOBETASOL PROPIONAT


Indikasi:
34

pengobatan jangka pendek hanya untuk kelainan kulit inflamasi hebat


seperti eksim bandel yang tidak responsif terhadap kortikosteroid yang
kurang kuat, psoriasis lihat keterangan di atas.
Peringatan:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas. Tidak lebih dari 50 g sediaan
0,05% dioleskan per minggu.
Kontraindikasi:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Penggunaan:
oleskan tipis 1-2 kali sehari hingga paling lama 4 minggu.

14. MOMETASON FUROAT


Indikasi:
kelainan radang kulit yang berat seperti eksim yang tidak menunjukkan
respons terhadap kortikosteroid; psoriasis, lihat keterangan di atas.
Peringatan:
lihat keterangan di atas.
Kontraindikasi:
lihat keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat keterangan di atas.
Penggunaan:
oleskan tipis, sekali sehari (untuk lotion pada kulit kepala).

15. TRIAMSINOLON ASETONID


Indikasi:
kelainan radang kulit yang hebat seperti eksim yang tidak menunjukkan
respons terhadap kortikosteroid yang kurang kuat; psoriasis, lihat
keterangan di atas.
Peringatan:
35

lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.


Kontraindikasi:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Penggunaan: oleskan tipis 1-2 kali sehari.17

BAB III

36
36

DAFTAR PUSTAKA

1. Adhi Djuanda. Penggunaan kortikosteroid sistemik pada berbagai penyakit


kulit. MK! 1991 :41 2436-40.

2. Werth VP. Systemic glucocortiooid. Dalam ; Goldsmith LA, Katz SI,


Gilchrest BA, PallerAS, Leflell DJ, Wolff K penyunting. Fitzpatricks
dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hall

3. Wolverton SE penyunting. Comprehensive dennatologic drug therapy edisi


ke-3. China: Elsevier-Saunders; 2013; h.143-68.

4. Breathnach SM, Smith CH, Chalmers RJG, Hay RJ. Systemic therapy.
Dalam : Bums T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C penyunting. Rooks
Textbook of dermatology. Edisi ke-8. West Sussex: Wiley Blackwell
Publishing Ltd; 2010. h.74.2-4.

5. Rathi SK, DSouza P. Rational and ethical use of topical corticosteroids


based on safety and efficacy. Indian J Dermatol. 2012; 57(4): 251-9.

6. Boediardja SA. Kortikosteroid topikal: Penggunaan yang tepat dalam


praktek dermatologi. Jakarta: Departemen Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2013. Hal.1-14.

7. Peterson JD, Lawrence S, Chan MD. Management guide for stopic


dermatitis. Dermatology Nursing 2006; 18(6): 531-42.

8. Ference JD, Last AR. Choosing topical corticosteroids. Am Fam. Physician


2009; 79(2): 135-40.

9. Goldfien A. Adenokortikosteroid dan antagonis adrenokortikal. In: Katzung


BG. ed. Farmakologi dasar dan klinik. 4th ed.. Jakarta: EGC; 1998. p. 616-
32.
37

10. Jones JB. Topical therapy. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C,
eds. Rooks textbook of dermatology. 7th ed. Australia: Blackwell Publ.
2004. p. 516-23.

11.Oakley A. Topical corticosteroid treatment for skin conditions. A review.


Specialist Dermatologist and Clinical Associate Professor, Tristram Clinic,
Hamilton.

12. Valencia IC, Kerdel FA. Topical corticosteroids. In: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, eds. Fitzpatricks dermatology
in general medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill Co Inc; 2012. p. 2659-
65.

13. Topical Steroids Potency Ranking table {highest to lowest}. Available from:
http://www.dermnetnz.org/treatments/topical-steroids.html.

14. Hengge UR, Ruzicka T, Schwartz RA, Cork MJ. Adverse effect of topical
glucocorticosteroids. J Am Acad Dermatol. 2006; 54(1): 5.

15. Finlay AY, Edwards PH, Harding KG. Fingertip unit in dermatology.
Lancet. 1989; II: 155.

16. Long CC, Finlay AY. The fingertip unit: A new practical measure. Clin
Exper Dermatol. 1991; 16: 444-6.

17. Long CC, Mills CM, Finlay AY. A practical guide to topical therapy in
children. Br J Dermatol. 1998: 138: 293-6.

18. Hamzah M. Dermatoterapi. In: Djuanda A, ed. Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
p. 342-52.
38

19. Djuanda A. Pengobatan dengan kortikosteroid sistemik dalam bidang


dermatovenereologi. In: Djuanda A, ed. Ilmu penyakit kulit dan kelamin.
5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. p. 339-41.

20. Bigby, M. And Williams, H. C. (2010) Evidence-Based Dematology, in


Rooks Textbook of Dermatology, Eighth Edition (eds T. Burns, S.
Breathnach, N. Cox and C. Griffiths), Wiley-Blackwell, Oxford, UK. Doi:
10.1002/9781444317633.ch7

21. Gasbarre C. Antibiotics. In: Fitzpatricks Dermatology In General Medicine


8th Ed. Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffell, Wolff K eds.
USA: McGraw Hill; 2012. 2032-45 p.

Anda mungkin juga menyukai